Analisis Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Posyandu Lansia di Kecamatan Kolang Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2015
10
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lanjut Usia (Lansia)
2.1.1. Proses Menua
Menua adalah suatu proses menghilangnya kemampuan secara perlahan–lahan
untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi
normal sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan
yang diderita. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya
daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dalam maupun luar tubuh.
Walaupun demikian memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering
terjadi pada kaum lansia.
Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki
tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan
terjadi suatu proses yang disebut Aging Process atau proses penuaan (Nugroho,
2008).
Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari
suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua
merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan
yaitu anak, dewasa, dan tua. Memasuki usia tua berarti mengalami perubahan atau
kemunduran, seperti kemunduran fisiologis, fisik dan psikologis. Kemunduran fisik
yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong,
10
11
pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk dan gerakan lamban.
(Budianto, 2009).
Manusia yang mulai menjadi tua secara alamiah akan mengalami berbagai
perubahan, baik yang menyangkut kondisi fisik maupun mentalnya. Terdapat tiga
aspek yang perlu dipertimbangkan untuk membuat suatu batasan penduduk lanjut
usia menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (2012)
yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial. Secara biologis penduduk lanjut
usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yakni
ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap
serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya
perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Jika ditinjau
secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada
sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak
lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa
kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga
dan masyarakat.
2.1.2. Pengertian dan Batasan Lanjut Usia
Menurut ilmu Gerontologi, lanjut usia bukanlah suatu penyakit, melainkan
suatu masa atau tahap hidup manusia yang merupakan kelanjutan dari usia dewasa
dan merupakan tahap perkembangan normal yang akan dialami oleh setiap individu
yang mencapai usia lanjut tersebut (Nugroho, 2008). Beberapa pendapat tentang
batasan umur lanjut usia yaitu:
12
1. Menurut Undang-Undang nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia
pasal 1 ayat 2 adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Lansia
adalah seseorang yang telah mencapai umur 60 tahun ke atas yang karena
mengalami penuaan berakibat menimbulkan berbagai masalah kesejahteraan di
hari tua, kecuali bila sebelum umur tersebut proses menua itu terjadi lebih awal,
dilihat dari kondisi fisik, mental dan sosial.
2. Menurut Undang-undang Kesehatan No. 36 tahun 2009, lansia adalah seseorang
yang usianya 60 tahun keatas dan mengalami perubahan biologis, fisik, dan sosial.
3. Menurut Departemen Kesehatan RI (2006) dalam Fatmah (2010) batasan lansia
antara lain :
a. Virilitas (prasenium), yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan
kematangan jiwa (usia 55-59 tahun)
b. Usia lanjut dini (senescen), yaitu kelompok yang mulai memasuki masa usia
lanjut dini (usia 60-64 tahun)
c. Lansia beresiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif, yaitu
usia di atas 65 tahun.
4. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lanjut usia meliputi:
a. Usia pertengahan (Middle Age) adalah orang yang berusia 45-59 tahun
b. Usia Lanjut (Elderly) adalah orang yang berusia 60-74 tahun
c. Usia Lanjut Tua (Old) adalah orang yang berusia 75-90 tahun
d. Usia Sangat Tua (Very Old) adalah orang yang berusia > 90 tahun
13
2.2. Pos Pelayanan Terpadu Lansia (Posyandu Lansia)
2.2.1. Pengertian Posyandu Lansia
Menurut Depkes RI, (2005) bahwa pos pelayanan kesehatan terpadu
(posyandu) lansia adalah suatu bentuk keterpaduan pelayanan kesehatan terhadap
lansia di tingkat desa/kelurahan dalam wilayah kerja masing- masing puskesmas.
Keterpaduan dalam posyandu lansia berupa keterpaduan pada pelayanan yang dilatar
belakangi oleh kriteria lansia yang memiliki berbagai macam penyakit. Dasar
pembentukan posyandu adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
terutama lansia. Posyandu lansia merupakan wahana pelayanan bagi kaum lansia
yang dilakukan dari, oleh, dan untuk lansia yang menitikberatkan pada upaya
promotif dan preventif, tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif
(Notoatmodjo, 2007).
Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber daya
Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, dan untuk
masyarakat guna memberdayakan masyarakat dengan menitikberatkan pelayanan
pada
upaya
promotif
dan
preventif.
Pemberdayaan
masyarakat
dalam
menumbuhkembangkan posyandu lansia merupakan upaya fasilitas agar masyarakat
mengenal
masalah
yang
dihadapi,
merencanakan
dan
melakukan
upaya
pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat sesuai situasi, kondisi
kebutuhan setempat (Depkes RI, 2004).
14
2.2.2. Tujuan Posyandu Lansia
Tujuan umum pembentukan posyandu lansia menurut Departemen Kesehatan
RI (2010) adalah meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan lansia untuk
mencapai masa tua yang bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat sesuai dengan keberadaannya. Tujuan khusus pembentukan posyandu
lansia yaitu:
a. Meningkatkan kesadaran lansia untuk membina sendiri kesehatannya.
b. Meningkatkan kemampuan dan peran serta keluarga dan masyarakat dalam
menghayati kesehatan lansia.
c. Meningkatkan jenis dan jangkauan pelayanan kesehatan lansia.
d. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan lansia.
Menurut Azizah (2011) tujuan pembentukan dan pelayanan posyandu lansia
adalah :
a. Meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan lansia di masyarakat, sehingga
terbentuk pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia
b. Mendekatkan pelayanan dan meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta
dalam pelayanan kesehatan disamping meningkatkan komunikasi antara
masyarakat lansia.
c. Meningkatkan kesadaran pada lansia untuk mengenali masalah kesehatan dirinya
sendiri dan bertindak untuk mengatasi masalah tersebut terbatas kemampuan yang
ada dan meminta pertolongan keluarga atau petugas jika diperlukan.
d. Meningkatkan mutu derajat kesehatan lansia
15
e. Meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku positif dari lansia
2.2.3. Sasaran Posyandu Lansia
Menurut Departemen Kesehatan RI (2010), sasaran pelaksanaan pembinaan
kelompok lansia terbagi menjadi dua yaitu:
a. Sasaran Langsung
1) Kelompok Pra lansia (45–59 tahun)
2) Kelompo Lansia (60–69 tahun)
3) Kelompok Lansia dengan resiko tinggi (70 tahun ke atas)
b. Sasaran Tidak Langsung
1) Keluarga lansia
2) Masyarakat dilingkungan lansia
3) Organisasi sosial yang perduli terhadap pembinaan kesehatan lansia
4) Petugas kesehatan yang melayani kesehatan lansia
5) Petugas lain yang menangani kelompok lansia
2.2.4. Kegiatan Posyandu Lansia
Kegiatan posyandu lansia meliputi kegiatan pelayanan kesehatan dan kegiatan
lain yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup lansia. Bentuk pelayanan pada
posyandu lansia meliputi pemeriksaan kesehatan fisik dan mental emosional, yang
dicatat dan dipantau dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk mengetahui lebih awal
penyakit yang diderita atau ancaman masalah kesehatan yang dialami lansia.
Beberapa kegiatan pada posyandu lansia menurut Departemen Kesehatan RI
(2010) adalah :
16
a. Pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari meliputi kegiatan dasar dalam
kehidupan, seperti makan/minum, berjalan, mandi, berpakaian, naik turun tempat
tidur, buang air besar/kecil dan sebagainya.
b. Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan dengan mental
emosional dengan menggunakan pedoman metode 2 (dua ) menit
c. Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi
badan dan dicatat pada grafik indeks masa tubuh (IMT).
d. Pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter dan stetoskop serta
penghitungan denyut nadi selama satu menit.
e. Pemeriksaan hemoglobin menggunakan talquist, sahli atau cuprisulfat
f. Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal adanya penyakit gula
(diabetes mellitus)
g. Pemeriksaan adanya zat putih telur (protein) dalam air seni sebagai deteksi awal
adanya penyakit ginjal.
h. Pelaksanaan rujukan ke puskesmas bilamana ada keluhan dan atau ditemukan
kelainan pada pemeriksaan butir-butir diatas.
i. Penyuluhan Kesehatan, biasa dilakukan didalam atau diluar kelompok dalam
rangka kunjungan rumah dan konseling kesehatan dan gizi sesuai dengan masalah
kesehatan yang dihadapi oleh individu dan kelompok usia lanjut.
j. Kunjungan rumah oleh kader disertai petugas bagi kelompok usia lanjut yang tidak
datang, dalam rangka kegiatan perawatan kesehatan masyarakat.
17
h. Selain itu banyak juga posyandu lansia yang mengadakan kegiatan tambahan
seperti senam lansia, pengajian, membuat kerajinan ataupun kegiatan silaturahmi
antar lansia. Kegiatan seperti ini tergantung dari kreasi kader posyandu yang
bertujuan untuk membuat lansia beraktivitas kembali dan berdisiplin diri.
Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk peningkatan kesehatan terutama
dalam menunjang status gizi lansia dan pencegahan penyakit, dilakukan melalui
pemantauan keadaan kesehatan para lansia secara berkala dengan menggunakan
Kartu Menuju Sehat (KMS) lansia,dengan harapan gangguan kesehatan lansia dapat
dideteksi lebih dini untuk mendapatkan pertolongan secara cepat, tepat dan memadai
sesuai dengan keinginan yang diperlukan (Depkes RI, 2003).
2.2.5. Mekanisme Pelayanan Posyandu Lansia
Menurut Departemen Kesehatan RI (2003), dalam memberikan pelayanan
kesehatan terhadap lansia di kelompok, mekanisme pelayanan yang sebaiknya
digunakan adalah sistem 5 tahapan (lima meja) sebagai berikut:
1. Meja 1 : Pendaftaran
Mendaftarkan lansia, kader mencatat lansia tersebut, kemudian peserta yang sudah
terdaftar dibuku register langsung menuju meja selanjutnya.
2. Meja 2 : Pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah
Kader melakukan pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah lansia.
3. Meja 3 : Pencatatan (Pengisian Kartu Menuju Sehat)
Kader melakukan pencatatan di KMS lansia meliputi: Indeks Masa Tubuh,
tekanan darah, berat badan dan tinggi badan lansia.
18
4. Meja 4 : Penyuluhan
Penyuluhan kesehatan perorangan berdasarkan KMS dari pemberian makanan
tambahan.
5. Meja 5 : Pelayanan medis
Pelayanan oleh tenaga professional yaitu petugas puskesmas/kesehatan meliputi
kegiatan: pemeriksaan dan pengobatan ringan.
2.2.6. Strata Kegiatan Posyandu Lansia
Posyandu lansia dapat digolongkan menjadi 4 tingkatan, penentuan tingkat
perkembangan kelompok usia lanjut didasarkan indikator terendah yang terdiri dari
Pratama, Madya, Purnama, Mandiri (Depkes RI, 2003).
1. Posyandu Pratama adalah posyandu yang masih belum mantap. Kegiatan yang
terbatas dan tidak rutin setiap bulan dengan frekuensi < 8 kali. Jumlah kader aktif
terbatas serta masih memerlukan dukungan dana dari pemerintah.
2. Posyandu Madya adalah posyandu yang telah berkembang dan pada tingkat ini
dapat melaksanakan kegiatan hamper setiap bualn ( paling sedikit 8 kali setahun),
jumlah kader aktif lebih dari tiga akan tetapi cakupan program utamanya masih
rendah yaitu kurang dari 50% serta masih memerlukan dana dari pemerintah.
3. Posyandu Purnama adalah posyandu yang sudah mantap dan melaksanakan
kegiatan secara lengkap paling sedikit 10 kali setahun, dengan beberapa kegiatan
tambahan di luar kesehatan dan cakupan lebih tinggi (> 60%).
4. Posyandu Mandiri adalah posyandu Purnama dengan kegiatan tambahan yang
beragam dan telah mampu membiayai kegiatannya dengan dana sendiri.
19
2.3. Perilaku dan Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
2.3.1. Konsep Perilaku
Skiner (1938) seorang ahli psikologi, dalam Notoatmodjo (2012) merumuskan
bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Selanjutnya teori Skiner menjelaskan adanya dua jenis respon,
yaitu:
a. Responden Respons atau Refleksi yakni respon yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan
tertentu
yang
disebut
electing
stimuli
karena
menimbulkan respon yang relative tetap.
b. Operant respon atau instrumental respons, yakni respon yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh rangsangan yang lain.
2.3.2. Bentuk Perilaku
Perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu :
a. Perilaku tertutup (covert behavior) yaitu respon seseorang terhadap stimulus
dalam bentuk terselubung, masih terbatas pada persepsi, kesadaran, perhatian yang
terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati
secara jelas oleh orang lain.
b. Perilaku terbuka (overt behavior) adalah bentuk tindakan atau praktek yang mudah
diamati dan dilihat oleh orang lain.
Empat unsur pokok perilaku kesehatan menurut Skiner dalam Notoatmodjo
(2007) meliputi :
a. Perilaku seseorang terhadap sakit atau penyakit
20
Perilaku bagaimana seseorang mengetahui, bersikap dan mempersepsikan penyakit
dan rasa sakit pada dirinya maupun tindakan aktif sehubungan dengan penyakit
dan sakit tersebut yaitu perilaku sehubungan dengan peningkatan dan
pemeliharaan kesehatan, perilaku pencegahan penyakit, perilaku sehubungan
dengan pencarian pengobatan, perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan.
b. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan
Perilaku berupa respon terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, cara pelayanan,
petugas kesehatan, dan obat-obatannya yang terwujud dalam pengetahuan,
persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas, petugas dan obat-obatan.
c. Perilaku terhadap makanan
Perilaku respon seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi
kehidupan. Perilaku ini meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktik kita
terhadap makanan serta unsure-unsur yang ada di dalamnya.
d. Perilaku terhadap lingkungan
Respon seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia.
2.3.3. Faktor yang Memengaruhi Perilaku
Faktor-faktor yang memegang peranan di dalam pembentukan perilaku dapat
dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2012), yakni faktor intern berupa kecerdasan,
persepsi, motivasi, minat, emosi dan sebagainya untuk mengolah pengaruh-pengaruh
dari luar, dan faktor ekstern, meliputi objek, orang, kelompok, dan hasil-hasil
kebudayaan yang dijadikan sasaran dalam mewujudkan bentuk perilakunya. Kedua
faktor tersebut akan dapat terpadu menjadi perilaku yang selaras dengan
21
lingkungannya apabila perilaku yang terbentuk dapat diterima oleh lingkungannya,
dan dapat diterima oleh individu yang bersangkutan.
Teori lain yang telah mencoba mengungkap determinan perilaku yang
berhubungan dengan kesehatan adalah teori Lawrence Green (1980) dalam buku
Notoatmodjo (2012) dan Notoatmodjo (2010) bahwa perilaku dibentuk dari tiga
faktor yaitu :
a. Faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor predisposisi merupakan faktok-faktor yang mempermudah terjadinya
perilaku seseorang yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilainilai, persepsi
b. Faktor-faktor
pendukung
(enabling
factors)
yaitu
factor-faktor
yang
memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan yang terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau saranasarana kesehatan.
c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) yaitu factor-faktor yang mendorong
atau memperkuat terjadinya perilaku yang terwujud dalam sikap dan perilaku
petugas kesehatan, perilaku masyarakat, keluarga dan tokoh masyarakat.
Menurut teori Bloom (1908), yang dijabarkan Notoatmodjo (2012), membagi
perilaku manusia ke dalam tiga kawasan (domain), yakni kognitif (cognitive), afektif
(affective), dan psikomotor (psychomotor. Dalam perkembangannya, teori Bloom ini
dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni :
22
1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan (sebagian besar diperoleh dari indra mata dan telinga) terhadap objek
tertentu. Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan merupakan dominan yang paling
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) dan pengetahuan
dapat diukur dengan melakukan wawancara. Perilaku yang didasari dengan
pengetahuan dan kesadaran akan lebih bertahan lama dari pada perilaku yang tidak
didasari ilmu pengetahuan dan kesadaran. Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan
yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu :
a. Tahu (know)
Tahu diartikan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang
telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkatan pengetahuan yang
paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa saja yang
dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan
sebagainya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek
yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang
yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
23
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek
yang dipelajari.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan
sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis diartikan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi suatu objek
terhadap komponen-komponennya tetapi masih dalam suatu struktur organisasi
dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan,
mengelompokkan dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di
dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
f. Evaluasi (evaluation)\
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan
pada satu criteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang
telah ada. Pengukuran dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
24
menyatakan tentang isi materi yang diukur dari objek penelitian. Kedalaman
penegtahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat kita sesuaikan dengan
tingkatan tersebut di atas (Notoatmodjo, 2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang antara lain :
a. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain
agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi
pendidikan seseorang semakin mudah pula bagi mereka untuk menerima
informasi dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang mereka miliki.
b. Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan
pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.
c. Umur
Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik
dan psikologis (mental), dimana pada aspek psikologis ini, taraf berpikir
seseorang semakin matang dan dewasa.
d. Minat
Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap
sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba menekuni suatu hal dan
pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang dalam.
25
e. Pengalaman
Pengalaman merupakan suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.
f. Kebudayaan lingkungan sekitar
Kebudayaan lingkungan sekitar diartikan sebagai kebudayaan dimana kita hidup
dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita.
g. Informasi
Informasi merupakan kemudahan untuk memperoleh suatu informasi sehingga
dapat membantu mempercepat seseoarang untuk memperoleh pengetahuan yang
baru.
2. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap stimulus atau objek. Notoatmodjo (2012) dalam bukunya membagi sikap
menjadi empat tingkatan, yaitu :
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang
diberikan (obyek).
b. Merespon (responding)
Merespon diartikan memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap ini karena
dengan usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang
26
diberikan, terlepas pekerjaan itu benar atau salah, adalah bahwa orang menerima
ide tersebut.
c. Menghargai (valuing)
Menghargai
diartikan
mengajak
orang
lain
untuk
mengerjakan
atau
mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat ini.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab diartikan berkaitan atas segala sesuatu yang telah dipilihnya
dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi dalam tingkatan
sikap.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden
terhadap suatu obyek.
Menurut Ahmadi dalam Notoatmodjo (2007), fungsi (tugas) sikap dibagi
empat golongan, yaitu :
a.
Sebagai alat menyesuaikan diri
Sikap adalah sesuatu yang bersifat communicable yang artinya sesuatu yang
mudah menjalar, sehingga mudah menjadi milik bersama. Sikap bisa menjadi
rantai penghubung antara orang atau kelompoknya atau dengan anggota
kelompok lain.
b. Sebagai alat pengatur tingkah laku
27
Pertimbangan antara pendorng dan reaksi pada orang dewasa. Pada umumnya
tidak diberi dorongan secara spontan, tetapi adanya proses secara sadar untuk
menilai dorongan tersebut.
c. Sebagai alat pengatur pengalaman
Manusia didalam menerima pengalaman-pengalaman dari luar sikapnya tidak
pasif, tetapi diterima secara aktif, artinya semua yang berasal dari luar tidak
semuanya dilayani oleh manusia, tetapi manusia memilih mana yang perlu
dilayani dan mana yang tidak perlu dilayani. Jadi semua pengalaman diberin
nilai lalu dipilih.
d. Sebagai pernyataan kepribadian
Sikap sering mencerminkan kepribadian seseorang. Ini disebabkan karena sikap
tidak pernah terpisah pribadi yang mendukungnya. Oleh karena itu, dengan
melihat sikap pada objek tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi
objek tersebut.
3. Praktik atau tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior). Agar terwujud sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor
pendukung berupa faslitas dan dukungan dari pihak lain.
Praktik/tindakan mempunyai beberapa tingkatan (Notoatmodjo, 2012),
yaitu :
28
a. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil.
b. Respon terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh
adalah indicator praktik tingkat kedua.
c. Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau
sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencaapai praktik tingkat
ketiga.
d. Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran
tindakannya tersebut.
2.3.4. Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Posyandu Lansia
Menurut Departemen Kesehatan RI, (2005), yang mempengaruhi rendahnya
pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:
1. Jarak yang jauh (faktor geografi)
2. Tidak tahu adanya suatu kemampuan fasilitas (faktor informasi)
3. Biaya yang tidak terjangkau (faktor ekonomi)
4. Tradisi yang menghambat pemanfaatan fasilitas (faktor budaya)
29
Menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2012) menganalisis perilaku
manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi
oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar
perilaku (non behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau
terbentuk dari 3 faktor yaitu :
1. Faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor predisposisi merupakan faktok-faktor yang mempermudah terjadinya
perilaku seseorang yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai,
persepsi yang berhubungan dengan motivasi seseorang atau kelompok untuk
bertindak. Secara umum faktor predisposisi adalah preferensi individu atau kelompok
dalam berperilaku. Faktor predisposisi yang lain adalah faktor demografi seperti status
sosial ekonomi, usia, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga.
a. Faktor demografi
Umur adalah masa hidup seseorang dalam tahun dengan pembulatan ke bawah
atau umur pada waktu ulang tahun yang terakhir. Dengan bertambahnya umur
seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis. Dari hasil
penelitian Fitriasih (2010) tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan di Posyandu
Lansia Puskesmas Semuli Raya Kabupaten Lampung Utara diperoleh bahwa yang
lebih banyak memanfaatkan posyandu lansia adalah lansia yang berumur 60-68
tahun.
Jenis kelamin adalah perbedaan seks yang didapat sejak lahir yang dibedakan
antara laki-laki dan perempuan. Menurut Lestari (2005) dengan p=0,001 dan
30
Fitriasih (2010) dengan p=0,021 dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan di
posyandu lansia diperoleh bahwa jumlah lansia perempuan lebih banyak
memanfaatkan posyandu laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan
antara jenis kelamin dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di posyandu lansia.
b.
Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan
peraba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya perilaku manusia (Notoatmodjo, 2010).
Pengetahuan yang rendah tentang manfaat posyandu lansia dapat menjadi kendala
bagi lansia dalam mengikuti kegiatan posyandu lansia. Pengetahuan yang salah
tentang tujuan dan manfaat posyandu dapat menimbulkan salah persepsi yang
akhirnya kunjungan ke posyandu rendah (Purnama, 2010). Pengetahuan lansia
akan manfaat posyandu ini dapat diperoleh dari pengalaman pribadi dalam
kehidupan sehari-harinya. Dengan menghadiri kegiatan posyandu, lansia akan
mendapatkan penyuluhan tentang bagaimana cara hidup sehat dengan segala
keterbatasan atau masalah kesehatan yang melekat pada mereka. Dengan
pengalaman ini, pengetahuan lansia menjadi meningkat, yang menjadi dasar
pembentukan sikap dan dapat mendorong minat atau motivasi mereka untuk
selalu mengikuti kegiatan posyandu lansia.
31
Menurut Lestari (2005) dan Mulyadi (2008) dalam penelitiannya menyatakan
bahwa ada hubungan bermakna antara pengetahuan dengan pemanfaatan
posyandu lansia. Penelitian Ariyani (2011) juga menunjukkan secara statistik
adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan pemanfaatan
posyandu lansia. Selain itu Andayani (2010) dalam penelitiannya juga
mengatakan bahwa responden yang memiliki pengetahuan yang baik tentang
posyandu lansia berpeluang 2,78 kali untuk memanfaatkan pelayanan posyandu
lansia secara optimal dibandingkan yang berpengetahuan rendah.
c. Pekerjaan
Pekerjaan adalah jenis kegiatan yang menggunakan waktu terbanyak atau yang
memberikan penghasilan terbesar. Sedangkan menurut Arikunto (2002) pekerjaan
adalah aktivitas yang dilakukan seseorang setiap hari dalam kehidupan untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang
memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak
lansung.
Hasil penelitian Lestari (2005) dan Murniati (2004) menyatakan bahwa ada
hubungan bermakna antara pekerjaan dengan keaktifan
dalam memanfaatkan
posyandu lansia.
d. Keyakinan/kepercayaan
Kepercayaan adalah komponen kognitif dari faktor sosio-psikologis. Kepercayaan
di sini tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang gaib, tetapi hanyalah
keyakinan bahwa sesuatu itu benar atau salah. Kepercayaan sering dapat bersifat
32
rasional atau irasional. Kepercayaan yang rasional apabila kepercayaan orang
terhadap sesuatu tersebut masuk diakal. Kepercayaan dibentuk oleh pengetahuan,
kebutuhan, dan kepentingan. Hal ini dimaksudkan bahwa orang percaya kepada
sesuatu dapat disebabkan karena ia mempunyai pengetahuan tentang itu
(Notoatmodjo, 2010).
e.
Value/Nilai
Nilai yang dianut seseorang berhubungan dengan pilihan perilakunya. Misalnya
alasan mengapa seseorang merokok atau tidak merokok. Konflik mengenai nilai
yang berkaitan dengan kesehatan menjadi tantangan bagi praktisi pendidikan
kesehatan.
f.
Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap
suatu stimulus atau objek, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang
bersangkutan (Notoatmodjo, 2012).
Menurut Lestari (2005) di Puskesmas Kemiri Muka Depok ada hubungan
bermakna antara sikap dengan pemanfaatan posyandu lansia. mengatakan bahwa
adanya hubungan antara sikap terhadap posyandu lansia dengan pemanfaatan
pelayanan kesehatan di posyandu lansia dan menurut penelitian Zarniyeti (2010)
memperoleh bahwa adanya hubungan antara sikap dengan pemanfaatan posyandu
lansia di wilayah kota Pariaman. Selain itu penelitian Ariyani (2011) juga
menunjukkan secara statistik adanya hubungan yang bermakana antara sikap
dengan pemanfaatan posyandu lansia di Puskesmas Bambanglipuro Yogyakarta.
33
2. Faktor pendukung/pemungkin (enabling factor)
Faktor pemungkin adalah faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi
perilaku atau tindakan kesehatan (Green, 1980). Sumber daya dapat berupa fasilitas
pelayanan kesehatan seperti posyandu, puskesmas, rumah sakit, keterjangkauan
sumberdaya, biaya, jarak, ketersediaan transportasi, jam buka pelayanan dan
sebagainya. Keterampilan disini merupakan kemampuan untuk melakukan tugas yang
merupakan perilaku yang diharapkan.
a.
Sarana
Untuk memperlancar pelaksanaan kegiatan di posyandu lansia, dibutuhkan sarana
dan prasarana penunjang, yaitu tempat kegiatan (gedung, ruangan atau tempat
terbuka), meja dan kursi, alat tulis, buku pencatatan kegiatan, timbangan dewasa,
meteran pengukuran tinggi badan, stetoskop, tensimeter, peralatan laboratorium
sederhana, thermometer, dan Kartu Menuju Sehat (KMS) lansia (Ismawati, 2010)
b.
Jarak
Menurut Anderson dan Mc.Farlen dalam Susanti (2009) jarak merupakan
penghalang yang meningkatkan kecenderungan penundaan upaya seseorang atau
masyarakat dalam mencari pelayanan kesehatan.
Menurut Setyowati, Lubis dan Agustina (2003) dalam Syafriadi Kusnanto dan
Lazuardi (2008) faktor keterpencilan, sulit, dan mahalnya transportasi merupakan
hambatan untuk menjangkau Puskesmas sehingga kunjungan masyarakat yang
bertempat tinggal lebih dekat dari puskesmas lebih banyak jika dibanding dengan
masyarakat yang jaraknya jauh. Begitupun menurut Mills dan Gillson (1990)
34
dalam Kusnanto dan Saimi (2006) sulitnya pelayanan kesehatan dicapai secara
fisik banyak menuntut pengorbanan sehingga akan menurunkan permintaan.
Jarak posyandu yang dekat akan membuat lansia mudah menjangkau posyandu
tanpa harus mengalami kelelahan atau kecelakaan fisik karena penurunan daya
tahan atau kekuatan fisik tubuh. Penelitian yang dilakukan Sutanto (2006) dan
Henniwati (2008) membuktikan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
jarak tempuh dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di posyandu lansia.
Penelitian yang dilakukan oleh Ariyani (2011) menunjukkan ada hubungan yang
bermakna antara jarak tempuh posyandu lansia dengan pemanfaatan posyandu
lansia dimana para lansia lebih cenderung 2,47 kali memanfaatkan posyandu
lansia dibandingkan dengan lansia yang mempunyai jarak rumah yang jauh
(p=0,012 dan OR=2,47) dan begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh
Andayani (2010) dengan p=0,008 dengan OR 8,143 terlihat adanya hubungan
bermakna jarak tempuh dengan pemanfaatan posyandu lansia.
c.
Transportasi
Menurut Sutanto (2006) bahwa ada hubungan bermakna antara jenis transportasi
yang digunakan terhadap pemanfaatan posyandu lansia.
3. Faktor pendorong (reinforcing factor)
Faktor pendorong adalah semua faktor yang mendorong atau memperkuat
terjadinya perilaku kesehatan (Green, 1980). Reinforcement dapat berasal dari
keluarga, teman sebaya, petugas kesehatan, atau dapat juga orang atau kelompok
yang berpengaruh yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
35
a.
Peran petugas kesehatan
Subarniati (1999) mendefinisikan masyarakat akan memanfaatkan pelayanan
tergantung pada penilaian tentang pelayanan tersebut. Jika pelayanan kurang baik
atau kurang berkualitas, maka kecenderungan untuk tidak memanfaatkannyapun
akan semakin besar. Persepsi tentang pelayanan selalu dikaitkan dengan kepuasan
dan harapan pengguna layanan. Konsumen mengatakan mutu pelayanan baik jika
harapan dan keinginan sesuai dengan pengalaman yang diterimanya.
Penilaian pribadi atau persepsi yang baik terhadap petugas merupakan dasar atas
kesiapan atau kesediaan lansia untuk mengikuti kegiatan posyandu. Dengan
persepsi yang baik tersebut, lansia cenderung untuk selalu hadir atau mengikuti
kegiatan yang diadakan di posyandu lansia. Hal ini dapat dipahami karena
persepsi seseorang adalah suatu cermin kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu
obyek. Kesiapan merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan
cara-cara tertentu apabila individu dihadapkan pada stimulus yang menghendaki
adanya suatu respons.
Menurut Sutanto (2006) diperoleh bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara persepsi terhadap petugas kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan
kesehatan di posyandu lansia. Dari hasil penelitian Andayani (2010) menemukan
bahwa 100% responden mendapat dukungan dari petugas kesehatan untuk
datang ke posyandu lansia. Pelayanan kader dan petugas kesehatan yang baik
terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi keaktifan lansia ke posyandu lansia.
Sejalan dengan penelitian Ariyani (2011) menyatakan dukungan petugas
36
kesehatan mempunyai kecenderungan 29,33 kali untuk memanfaatkan posyandu
lansia dibandingkan dengan yang menyatakan tidak ada dukungan petugas
kesehatan, ada hubungan peran petugas dengan pemanfaatan posyandu lansia.
b.
Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga sangat berperan dalam mendorong minat atau kesediaan
lansia untuk mengikuti kegiatan posyandu. Keluarga bisa menjadi motivator kuat
bagi lansia apabila selalu menyediakan diri untuk mendampingi atau mengantar
lansia ke posyandu, mengingatkan lansia jika lupa jadwal posyandu, dan
berusaha membantu mengatasi segala permasalahan bersama lansia (Erfandi,
2008).
Efek dari dukungan keluarga yang adekuat terhadap kesehatan dan
kesejahteraan terbukti dapat menurunkan mortalitas, mempercepat penyembuhan
dari sakit, meningkatkan kesehatan kognitif, fisik dan emosi, disamping itu
pengaruh positif dari dukungan keluarga adalah pada penyesuaian terhadap
kejadian dalam kehidupan sehari-hari yang penuh dengan stress (Setiadi, 2008).
Friedman (2005) menyatakan pemberian dukungan keluarga diantaranya
dukungan instrumental.
Aspek
ini
meliputi
penyediaan sarana
untuk
mempermudah lansia datang ke Posyandu termasuk didalamnya pemberian
peluang waktu.
Kurang adekuatnya dukungan keluarga terhadap lansia membuat keluarga tidak
memperhatikan lansia untuk berkunjung ke Posyandu, mengingatkan jadwal
Posyandu, maupun mengantar ke Posyandu yang disebabkan jarak rumah dengan
37
posyandu yang jauh, sehingga menyebabkan responden cenderung tidak aktif
mengikuti kegiatan Posyandu lansia.
Sutanto (2006) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa adanya hubungan yang
bermakna antara dukungan yang diperoleh dari keluarga dengan pemanfaatan
pelayanan di posyandu lansia dan Ariyani (2011) menyatakan secara statistic ada
hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan pemanfaatan
posyandu lansia di Puskesmas Bambanglipuro Yogyakarta dan penelitian Lestari
(2005) menunjukkan adanya hubungan dukungan keluarga dengan pemanfaatan
posyandu lansia. Sedangkan menurut penelitian Andayani (2010) dikatakan
bahwa tidak terdapat adanya hubungan antara dukungan keluarga dan
pemanfaatan pelayanan posyandu lansia.
c.
Dukungan teman sebaya
Hasil penelitian Andayani (2010) memperoleh bahwa responden yang mendapat
dukungan dari teman sebaya lebih banyak memanfaatkan posyandu lansia
dibandingkan dengan lansia yang tidak mendapatkan dukungan dari teman
sebaya.
2.4. Landasan Teori
Memasuki usia tua berarti mengalami perubahan atau kemunduran, seperti
kemunduran fisiologis, fisik dan psikologis. Fase ini dapat dilalui dengan baik bila
lansia selalu berada dalam kondisi yang sehat. Berkaitan dengan status kesehatan
pada lansia, saat ini dengan meningkatnya pelayanan kesehatan oleh pemerintah
38
memungkinkan pula peningkatan derajat kesehatan para lansia. Salah satu tempat
pelayanan kesehatan yang digalakkan pemerintah bagi lansia adalah pos pelayanan
terpadu lansia (posyandu lansia).
Posyandu lansia merupakan pengembangan dari kebijakan pemerintah melalui
pelayanan kesehatan bagi lansia yang penyelenggaraannya melalui program
puskesmas dengan melibatkan peran serta para lansia, keluarga, tokoh masyarakat
dan organisasi sosial dalam penyelenggaraannya (Erfandi, 2008). Tujuan pembinaan
kesehatan bagi kaum lanjut usia adalah meningkatkan derajat kesehatan dan mutu
kehidupan untuk mencapai masa tua yang bahagia dan berguna dalam kehidupan
keluarga dan masyarakat sesuai dengan keberadaannya dalam masyarakat
(Kementerian Kesehatan R.I., 2012).
Menurut teori Lawrence Green (1980) menjelaskan bahwa perilaku untuk
memanfaatkan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu, faktor
predisposisi (pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai), faktor
pendukung/pemungkin (biaya, jarak, waktu dan keterampilan petugas), dan faktor
penguat (dukungan teman, petugas kesehatan, keluarga).
39
Tahap 5
Tahap 4
Tahap 3
Administrasi
Dan Kebijakan
Diagnosa
Penilaian
Pendidikan dan
Ekologis
Penilaian
perilaku
Presdiposing
Non
Perilaku
Enabling
Perilaku
dan Gaya
Hidup
Tahap 2
Penilaian
Epidemiologi
Tahap 1
Penilaian
Sosiologi
Promosi
Kesehatan
Pendidikan
Kesehatan
Kebijakan,
Peraturan,
Organisasi
Reinforcing
Tahap 6
Tahap 7
Pelaksanaan
Proses Evaluasi
Tahap 8
Hasil Evaluasi
Kesehatan
Kualitas
Hidup
Tahap 9
Dampak Evaluasi
Gambar 2.1 Teori Determinan Perilaku
Sumber : Green LW, Kreuteur MW (1999) dalam Theory a Glance A Guide For
Health Promotion Practice (2005)
40
2.5. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori yang diambil dari teori Lawrence Green (1980)
mengenai perilaku untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga
faktor yaitu, faktor predisposisi, faktor, dan faktor penguat. Faktor predisposisi dalam
penelitian ini yaitu umur, jenis kelamin, pengetahuan dan sikap, faktor pendukung
yaitu jarak dan faktor penguat yaitu dukungan keluarga dan peran petugas
kesehatan/kader.
Faktor Predisposisi
(presdiposi)
-Umur
-Jenis Kelamin
-Pengetahuan
-Sikap
Faktor Pendukung (Enabling)
-Jarak
Faktor Penguat (Reinforcing)
-Dukungan Keluarga
- Peran Petugas
Kesehatan/kader
Pemanfaatan
Posyandu Lansia
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Analisis Faktor yang Memengaruhi
Pemanfaatan Posyandu Lansia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lanjut Usia (Lansia)
2.1.1. Proses Menua
Menua adalah suatu proses menghilangnya kemampuan secara perlahan–lahan
untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi
normal sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan
yang diderita. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya
daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dalam maupun luar tubuh.
Walaupun demikian memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering
terjadi pada kaum lansia.
Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki
tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan
terjadi suatu proses yang disebut Aging Process atau proses penuaan (Nugroho,
2008).
Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari
suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua
merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan
yaitu anak, dewasa, dan tua. Memasuki usia tua berarti mengalami perubahan atau
kemunduran, seperti kemunduran fisiologis, fisik dan psikologis. Kemunduran fisik
yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong,
10
11
pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk dan gerakan lamban.
(Budianto, 2009).
Manusia yang mulai menjadi tua secara alamiah akan mengalami berbagai
perubahan, baik yang menyangkut kondisi fisik maupun mentalnya. Terdapat tiga
aspek yang perlu dipertimbangkan untuk membuat suatu batasan penduduk lanjut
usia menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (2012)
yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial. Secara biologis penduduk lanjut
usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yakni
ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap
serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya
perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Jika ditinjau
secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada
sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak
lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa
kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga
dan masyarakat.
2.1.2. Pengertian dan Batasan Lanjut Usia
Menurut ilmu Gerontologi, lanjut usia bukanlah suatu penyakit, melainkan
suatu masa atau tahap hidup manusia yang merupakan kelanjutan dari usia dewasa
dan merupakan tahap perkembangan normal yang akan dialami oleh setiap individu
yang mencapai usia lanjut tersebut (Nugroho, 2008). Beberapa pendapat tentang
batasan umur lanjut usia yaitu:
12
1. Menurut Undang-Undang nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia
pasal 1 ayat 2 adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Lansia
adalah seseorang yang telah mencapai umur 60 tahun ke atas yang karena
mengalami penuaan berakibat menimbulkan berbagai masalah kesejahteraan di
hari tua, kecuali bila sebelum umur tersebut proses menua itu terjadi lebih awal,
dilihat dari kondisi fisik, mental dan sosial.
2. Menurut Undang-undang Kesehatan No. 36 tahun 2009, lansia adalah seseorang
yang usianya 60 tahun keatas dan mengalami perubahan biologis, fisik, dan sosial.
3. Menurut Departemen Kesehatan RI (2006) dalam Fatmah (2010) batasan lansia
antara lain :
a. Virilitas (prasenium), yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan
kematangan jiwa (usia 55-59 tahun)
b. Usia lanjut dini (senescen), yaitu kelompok yang mulai memasuki masa usia
lanjut dini (usia 60-64 tahun)
c. Lansia beresiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif, yaitu
usia di atas 65 tahun.
4. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lanjut usia meliputi:
a. Usia pertengahan (Middle Age) adalah orang yang berusia 45-59 tahun
b. Usia Lanjut (Elderly) adalah orang yang berusia 60-74 tahun
c. Usia Lanjut Tua (Old) adalah orang yang berusia 75-90 tahun
d. Usia Sangat Tua (Very Old) adalah orang yang berusia > 90 tahun
13
2.2. Pos Pelayanan Terpadu Lansia (Posyandu Lansia)
2.2.1. Pengertian Posyandu Lansia
Menurut Depkes RI, (2005) bahwa pos pelayanan kesehatan terpadu
(posyandu) lansia adalah suatu bentuk keterpaduan pelayanan kesehatan terhadap
lansia di tingkat desa/kelurahan dalam wilayah kerja masing- masing puskesmas.
Keterpaduan dalam posyandu lansia berupa keterpaduan pada pelayanan yang dilatar
belakangi oleh kriteria lansia yang memiliki berbagai macam penyakit. Dasar
pembentukan posyandu adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
terutama lansia. Posyandu lansia merupakan wahana pelayanan bagi kaum lansia
yang dilakukan dari, oleh, dan untuk lansia yang menitikberatkan pada upaya
promotif dan preventif, tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif
(Notoatmodjo, 2007).
Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber daya
Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, dan untuk
masyarakat guna memberdayakan masyarakat dengan menitikberatkan pelayanan
pada
upaya
promotif
dan
preventif.
Pemberdayaan
masyarakat
dalam
menumbuhkembangkan posyandu lansia merupakan upaya fasilitas agar masyarakat
mengenal
masalah
yang
dihadapi,
merencanakan
dan
melakukan
upaya
pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat sesuai situasi, kondisi
kebutuhan setempat (Depkes RI, 2004).
14
2.2.2. Tujuan Posyandu Lansia
Tujuan umum pembentukan posyandu lansia menurut Departemen Kesehatan
RI (2010) adalah meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan lansia untuk
mencapai masa tua yang bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat sesuai dengan keberadaannya. Tujuan khusus pembentukan posyandu
lansia yaitu:
a. Meningkatkan kesadaran lansia untuk membina sendiri kesehatannya.
b. Meningkatkan kemampuan dan peran serta keluarga dan masyarakat dalam
menghayati kesehatan lansia.
c. Meningkatkan jenis dan jangkauan pelayanan kesehatan lansia.
d. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan lansia.
Menurut Azizah (2011) tujuan pembentukan dan pelayanan posyandu lansia
adalah :
a. Meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan lansia di masyarakat, sehingga
terbentuk pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia
b. Mendekatkan pelayanan dan meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta
dalam pelayanan kesehatan disamping meningkatkan komunikasi antara
masyarakat lansia.
c. Meningkatkan kesadaran pada lansia untuk mengenali masalah kesehatan dirinya
sendiri dan bertindak untuk mengatasi masalah tersebut terbatas kemampuan yang
ada dan meminta pertolongan keluarga atau petugas jika diperlukan.
d. Meningkatkan mutu derajat kesehatan lansia
15
e. Meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku positif dari lansia
2.2.3. Sasaran Posyandu Lansia
Menurut Departemen Kesehatan RI (2010), sasaran pelaksanaan pembinaan
kelompok lansia terbagi menjadi dua yaitu:
a. Sasaran Langsung
1) Kelompok Pra lansia (45–59 tahun)
2) Kelompo Lansia (60–69 tahun)
3) Kelompok Lansia dengan resiko tinggi (70 tahun ke atas)
b. Sasaran Tidak Langsung
1) Keluarga lansia
2) Masyarakat dilingkungan lansia
3) Organisasi sosial yang perduli terhadap pembinaan kesehatan lansia
4) Petugas kesehatan yang melayani kesehatan lansia
5) Petugas lain yang menangani kelompok lansia
2.2.4. Kegiatan Posyandu Lansia
Kegiatan posyandu lansia meliputi kegiatan pelayanan kesehatan dan kegiatan
lain yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup lansia. Bentuk pelayanan pada
posyandu lansia meliputi pemeriksaan kesehatan fisik dan mental emosional, yang
dicatat dan dipantau dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk mengetahui lebih awal
penyakit yang diderita atau ancaman masalah kesehatan yang dialami lansia.
Beberapa kegiatan pada posyandu lansia menurut Departemen Kesehatan RI
(2010) adalah :
16
a. Pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari meliputi kegiatan dasar dalam
kehidupan, seperti makan/minum, berjalan, mandi, berpakaian, naik turun tempat
tidur, buang air besar/kecil dan sebagainya.
b. Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan dengan mental
emosional dengan menggunakan pedoman metode 2 (dua ) menit
c. Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi
badan dan dicatat pada grafik indeks masa tubuh (IMT).
d. Pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter dan stetoskop serta
penghitungan denyut nadi selama satu menit.
e. Pemeriksaan hemoglobin menggunakan talquist, sahli atau cuprisulfat
f. Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal adanya penyakit gula
(diabetes mellitus)
g. Pemeriksaan adanya zat putih telur (protein) dalam air seni sebagai deteksi awal
adanya penyakit ginjal.
h. Pelaksanaan rujukan ke puskesmas bilamana ada keluhan dan atau ditemukan
kelainan pada pemeriksaan butir-butir diatas.
i. Penyuluhan Kesehatan, biasa dilakukan didalam atau diluar kelompok dalam
rangka kunjungan rumah dan konseling kesehatan dan gizi sesuai dengan masalah
kesehatan yang dihadapi oleh individu dan kelompok usia lanjut.
j. Kunjungan rumah oleh kader disertai petugas bagi kelompok usia lanjut yang tidak
datang, dalam rangka kegiatan perawatan kesehatan masyarakat.
17
h. Selain itu banyak juga posyandu lansia yang mengadakan kegiatan tambahan
seperti senam lansia, pengajian, membuat kerajinan ataupun kegiatan silaturahmi
antar lansia. Kegiatan seperti ini tergantung dari kreasi kader posyandu yang
bertujuan untuk membuat lansia beraktivitas kembali dan berdisiplin diri.
Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk peningkatan kesehatan terutama
dalam menunjang status gizi lansia dan pencegahan penyakit, dilakukan melalui
pemantauan keadaan kesehatan para lansia secara berkala dengan menggunakan
Kartu Menuju Sehat (KMS) lansia,dengan harapan gangguan kesehatan lansia dapat
dideteksi lebih dini untuk mendapatkan pertolongan secara cepat, tepat dan memadai
sesuai dengan keinginan yang diperlukan (Depkes RI, 2003).
2.2.5. Mekanisme Pelayanan Posyandu Lansia
Menurut Departemen Kesehatan RI (2003), dalam memberikan pelayanan
kesehatan terhadap lansia di kelompok, mekanisme pelayanan yang sebaiknya
digunakan adalah sistem 5 tahapan (lima meja) sebagai berikut:
1. Meja 1 : Pendaftaran
Mendaftarkan lansia, kader mencatat lansia tersebut, kemudian peserta yang sudah
terdaftar dibuku register langsung menuju meja selanjutnya.
2. Meja 2 : Pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah
Kader melakukan pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah lansia.
3. Meja 3 : Pencatatan (Pengisian Kartu Menuju Sehat)
Kader melakukan pencatatan di KMS lansia meliputi: Indeks Masa Tubuh,
tekanan darah, berat badan dan tinggi badan lansia.
18
4. Meja 4 : Penyuluhan
Penyuluhan kesehatan perorangan berdasarkan KMS dari pemberian makanan
tambahan.
5. Meja 5 : Pelayanan medis
Pelayanan oleh tenaga professional yaitu petugas puskesmas/kesehatan meliputi
kegiatan: pemeriksaan dan pengobatan ringan.
2.2.6. Strata Kegiatan Posyandu Lansia
Posyandu lansia dapat digolongkan menjadi 4 tingkatan, penentuan tingkat
perkembangan kelompok usia lanjut didasarkan indikator terendah yang terdiri dari
Pratama, Madya, Purnama, Mandiri (Depkes RI, 2003).
1. Posyandu Pratama adalah posyandu yang masih belum mantap. Kegiatan yang
terbatas dan tidak rutin setiap bulan dengan frekuensi < 8 kali. Jumlah kader aktif
terbatas serta masih memerlukan dukungan dana dari pemerintah.
2. Posyandu Madya adalah posyandu yang telah berkembang dan pada tingkat ini
dapat melaksanakan kegiatan hamper setiap bualn ( paling sedikit 8 kali setahun),
jumlah kader aktif lebih dari tiga akan tetapi cakupan program utamanya masih
rendah yaitu kurang dari 50% serta masih memerlukan dana dari pemerintah.
3. Posyandu Purnama adalah posyandu yang sudah mantap dan melaksanakan
kegiatan secara lengkap paling sedikit 10 kali setahun, dengan beberapa kegiatan
tambahan di luar kesehatan dan cakupan lebih tinggi (> 60%).
4. Posyandu Mandiri adalah posyandu Purnama dengan kegiatan tambahan yang
beragam dan telah mampu membiayai kegiatannya dengan dana sendiri.
19
2.3. Perilaku dan Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
2.3.1. Konsep Perilaku
Skiner (1938) seorang ahli psikologi, dalam Notoatmodjo (2012) merumuskan
bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Selanjutnya teori Skiner menjelaskan adanya dua jenis respon,
yaitu:
a. Responden Respons atau Refleksi yakni respon yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan
tertentu
yang
disebut
electing
stimuli
karena
menimbulkan respon yang relative tetap.
b. Operant respon atau instrumental respons, yakni respon yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh rangsangan yang lain.
2.3.2. Bentuk Perilaku
Perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu :
a. Perilaku tertutup (covert behavior) yaitu respon seseorang terhadap stimulus
dalam bentuk terselubung, masih terbatas pada persepsi, kesadaran, perhatian yang
terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati
secara jelas oleh orang lain.
b. Perilaku terbuka (overt behavior) adalah bentuk tindakan atau praktek yang mudah
diamati dan dilihat oleh orang lain.
Empat unsur pokok perilaku kesehatan menurut Skiner dalam Notoatmodjo
(2007) meliputi :
a. Perilaku seseorang terhadap sakit atau penyakit
20
Perilaku bagaimana seseorang mengetahui, bersikap dan mempersepsikan penyakit
dan rasa sakit pada dirinya maupun tindakan aktif sehubungan dengan penyakit
dan sakit tersebut yaitu perilaku sehubungan dengan peningkatan dan
pemeliharaan kesehatan, perilaku pencegahan penyakit, perilaku sehubungan
dengan pencarian pengobatan, perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan.
b. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan
Perilaku berupa respon terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, cara pelayanan,
petugas kesehatan, dan obat-obatannya yang terwujud dalam pengetahuan,
persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas, petugas dan obat-obatan.
c. Perilaku terhadap makanan
Perilaku respon seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi
kehidupan. Perilaku ini meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktik kita
terhadap makanan serta unsure-unsur yang ada di dalamnya.
d. Perilaku terhadap lingkungan
Respon seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia.
2.3.3. Faktor yang Memengaruhi Perilaku
Faktor-faktor yang memegang peranan di dalam pembentukan perilaku dapat
dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2012), yakni faktor intern berupa kecerdasan,
persepsi, motivasi, minat, emosi dan sebagainya untuk mengolah pengaruh-pengaruh
dari luar, dan faktor ekstern, meliputi objek, orang, kelompok, dan hasil-hasil
kebudayaan yang dijadikan sasaran dalam mewujudkan bentuk perilakunya. Kedua
faktor tersebut akan dapat terpadu menjadi perilaku yang selaras dengan
21
lingkungannya apabila perilaku yang terbentuk dapat diterima oleh lingkungannya,
dan dapat diterima oleh individu yang bersangkutan.
Teori lain yang telah mencoba mengungkap determinan perilaku yang
berhubungan dengan kesehatan adalah teori Lawrence Green (1980) dalam buku
Notoatmodjo (2012) dan Notoatmodjo (2010) bahwa perilaku dibentuk dari tiga
faktor yaitu :
a. Faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor predisposisi merupakan faktok-faktor yang mempermudah terjadinya
perilaku seseorang yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilainilai, persepsi
b. Faktor-faktor
pendukung
(enabling
factors)
yaitu
factor-faktor
yang
memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan yang terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau saranasarana kesehatan.
c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) yaitu factor-faktor yang mendorong
atau memperkuat terjadinya perilaku yang terwujud dalam sikap dan perilaku
petugas kesehatan, perilaku masyarakat, keluarga dan tokoh masyarakat.
Menurut teori Bloom (1908), yang dijabarkan Notoatmodjo (2012), membagi
perilaku manusia ke dalam tiga kawasan (domain), yakni kognitif (cognitive), afektif
(affective), dan psikomotor (psychomotor. Dalam perkembangannya, teori Bloom ini
dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni :
22
1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan (sebagian besar diperoleh dari indra mata dan telinga) terhadap objek
tertentu. Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan merupakan dominan yang paling
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) dan pengetahuan
dapat diukur dengan melakukan wawancara. Perilaku yang didasari dengan
pengetahuan dan kesadaran akan lebih bertahan lama dari pada perilaku yang tidak
didasari ilmu pengetahuan dan kesadaran. Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan
yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu :
a. Tahu (know)
Tahu diartikan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang
telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkatan pengetahuan yang
paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa saja yang
dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan
sebagainya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek
yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang
yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
23
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek
yang dipelajari.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan
sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis diartikan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi suatu objek
terhadap komponen-komponennya tetapi masih dalam suatu struktur organisasi
dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan,
mengelompokkan dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di
dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
f. Evaluasi (evaluation)\
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan
pada satu criteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang
telah ada. Pengukuran dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
24
menyatakan tentang isi materi yang diukur dari objek penelitian. Kedalaman
penegtahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat kita sesuaikan dengan
tingkatan tersebut di atas (Notoatmodjo, 2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang antara lain :
a. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain
agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi
pendidikan seseorang semakin mudah pula bagi mereka untuk menerima
informasi dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang mereka miliki.
b. Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan
pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.
c. Umur
Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik
dan psikologis (mental), dimana pada aspek psikologis ini, taraf berpikir
seseorang semakin matang dan dewasa.
d. Minat
Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap
sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba menekuni suatu hal dan
pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang dalam.
25
e. Pengalaman
Pengalaman merupakan suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.
f. Kebudayaan lingkungan sekitar
Kebudayaan lingkungan sekitar diartikan sebagai kebudayaan dimana kita hidup
dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita.
g. Informasi
Informasi merupakan kemudahan untuk memperoleh suatu informasi sehingga
dapat membantu mempercepat seseoarang untuk memperoleh pengetahuan yang
baru.
2. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap stimulus atau objek. Notoatmodjo (2012) dalam bukunya membagi sikap
menjadi empat tingkatan, yaitu :
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang
diberikan (obyek).
b. Merespon (responding)
Merespon diartikan memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap ini karena
dengan usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang
26
diberikan, terlepas pekerjaan itu benar atau salah, adalah bahwa orang menerima
ide tersebut.
c. Menghargai (valuing)
Menghargai
diartikan
mengajak
orang
lain
untuk
mengerjakan
atau
mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat ini.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab diartikan berkaitan atas segala sesuatu yang telah dipilihnya
dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi dalam tingkatan
sikap.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden
terhadap suatu obyek.
Menurut Ahmadi dalam Notoatmodjo (2007), fungsi (tugas) sikap dibagi
empat golongan, yaitu :
a.
Sebagai alat menyesuaikan diri
Sikap adalah sesuatu yang bersifat communicable yang artinya sesuatu yang
mudah menjalar, sehingga mudah menjadi milik bersama. Sikap bisa menjadi
rantai penghubung antara orang atau kelompoknya atau dengan anggota
kelompok lain.
b. Sebagai alat pengatur tingkah laku
27
Pertimbangan antara pendorng dan reaksi pada orang dewasa. Pada umumnya
tidak diberi dorongan secara spontan, tetapi adanya proses secara sadar untuk
menilai dorongan tersebut.
c. Sebagai alat pengatur pengalaman
Manusia didalam menerima pengalaman-pengalaman dari luar sikapnya tidak
pasif, tetapi diterima secara aktif, artinya semua yang berasal dari luar tidak
semuanya dilayani oleh manusia, tetapi manusia memilih mana yang perlu
dilayani dan mana yang tidak perlu dilayani. Jadi semua pengalaman diberin
nilai lalu dipilih.
d. Sebagai pernyataan kepribadian
Sikap sering mencerminkan kepribadian seseorang. Ini disebabkan karena sikap
tidak pernah terpisah pribadi yang mendukungnya. Oleh karena itu, dengan
melihat sikap pada objek tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi
objek tersebut.
3. Praktik atau tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior). Agar terwujud sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor
pendukung berupa faslitas dan dukungan dari pihak lain.
Praktik/tindakan mempunyai beberapa tingkatan (Notoatmodjo, 2012),
yaitu :
28
a. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil.
b. Respon terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh
adalah indicator praktik tingkat kedua.
c. Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau
sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencaapai praktik tingkat
ketiga.
d. Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran
tindakannya tersebut.
2.3.4. Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Posyandu Lansia
Menurut Departemen Kesehatan RI, (2005), yang mempengaruhi rendahnya
pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:
1. Jarak yang jauh (faktor geografi)
2. Tidak tahu adanya suatu kemampuan fasilitas (faktor informasi)
3. Biaya yang tidak terjangkau (faktor ekonomi)
4. Tradisi yang menghambat pemanfaatan fasilitas (faktor budaya)
29
Menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2012) menganalisis perilaku
manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi
oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar
perilaku (non behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau
terbentuk dari 3 faktor yaitu :
1. Faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor predisposisi merupakan faktok-faktor yang mempermudah terjadinya
perilaku seseorang yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai,
persepsi yang berhubungan dengan motivasi seseorang atau kelompok untuk
bertindak. Secara umum faktor predisposisi adalah preferensi individu atau kelompok
dalam berperilaku. Faktor predisposisi yang lain adalah faktor demografi seperti status
sosial ekonomi, usia, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga.
a. Faktor demografi
Umur adalah masa hidup seseorang dalam tahun dengan pembulatan ke bawah
atau umur pada waktu ulang tahun yang terakhir. Dengan bertambahnya umur
seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis. Dari hasil
penelitian Fitriasih (2010) tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan di Posyandu
Lansia Puskesmas Semuli Raya Kabupaten Lampung Utara diperoleh bahwa yang
lebih banyak memanfaatkan posyandu lansia adalah lansia yang berumur 60-68
tahun.
Jenis kelamin adalah perbedaan seks yang didapat sejak lahir yang dibedakan
antara laki-laki dan perempuan. Menurut Lestari (2005) dengan p=0,001 dan
30
Fitriasih (2010) dengan p=0,021 dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan di
posyandu lansia diperoleh bahwa jumlah lansia perempuan lebih banyak
memanfaatkan posyandu laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan
antara jenis kelamin dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di posyandu lansia.
b.
Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan
peraba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya perilaku manusia (Notoatmodjo, 2010).
Pengetahuan yang rendah tentang manfaat posyandu lansia dapat menjadi kendala
bagi lansia dalam mengikuti kegiatan posyandu lansia. Pengetahuan yang salah
tentang tujuan dan manfaat posyandu dapat menimbulkan salah persepsi yang
akhirnya kunjungan ke posyandu rendah (Purnama, 2010). Pengetahuan lansia
akan manfaat posyandu ini dapat diperoleh dari pengalaman pribadi dalam
kehidupan sehari-harinya. Dengan menghadiri kegiatan posyandu, lansia akan
mendapatkan penyuluhan tentang bagaimana cara hidup sehat dengan segala
keterbatasan atau masalah kesehatan yang melekat pada mereka. Dengan
pengalaman ini, pengetahuan lansia menjadi meningkat, yang menjadi dasar
pembentukan sikap dan dapat mendorong minat atau motivasi mereka untuk
selalu mengikuti kegiatan posyandu lansia.
31
Menurut Lestari (2005) dan Mulyadi (2008) dalam penelitiannya menyatakan
bahwa ada hubungan bermakna antara pengetahuan dengan pemanfaatan
posyandu lansia. Penelitian Ariyani (2011) juga menunjukkan secara statistik
adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan pemanfaatan
posyandu lansia. Selain itu Andayani (2010) dalam penelitiannya juga
mengatakan bahwa responden yang memiliki pengetahuan yang baik tentang
posyandu lansia berpeluang 2,78 kali untuk memanfaatkan pelayanan posyandu
lansia secara optimal dibandingkan yang berpengetahuan rendah.
c. Pekerjaan
Pekerjaan adalah jenis kegiatan yang menggunakan waktu terbanyak atau yang
memberikan penghasilan terbesar. Sedangkan menurut Arikunto (2002) pekerjaan
adalah aktivitas yang dilakukan seseorang setiap hari dalam kehidupan untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang
memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak
lansung.
Hasil penelitian Lestari (2005) dan Murniati (2004) menyatakan bahwa ada
hubungan bermakna antara pekerjaan dengan keaktifan
dalam memanfaatkan
posyandu lansia.
d. Keyakinan/kepercayaan
Kepercayaan adalah komponen kognitif dari faktor sosio-psikologis. Kepercayaan
di sini tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang gaib, tetapi hanyalah
keyakinan bahwa sesuatu itu benar atau salah. Kepercayaan sering dapat bersifat
32
rasional atau irasional. Kepercayaan yang rasional apabila kepercayaan orang
terhadap sesuatu tersebut masuk diakal. Kepercayaan dibentuk oleh pengetahuan,
kebutuhan, dan kepentingan. Hal ini dimaksudkan bahwa orang percaya kepada
sesuatu dapat disebabkan karena ia mempunyai pengetahuan tentang itu
(Notoatmodjo, 2010).
e.
Value/Nilai
Nilai yang dianut seseorang berhubungan dengan pilihan perilakunya. Misalnya
alasan mengapa seseorang merokok atau tidak merokok. Konflik mengenai nilai
yang berkaitan dengan kesehatan menjadi tantangan bagi praktisi pendidikan
kesehatan.
f.
Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap
suatu stimulus atau objek, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang
bersangkutan (Notoatmodjo, 2012).
Menurut Lestari (2005) di Puskesmas Kemiri Muka Depok ada hubungan
bermakna antara sikap dengan pemanfaatan posyandu lansia. mengatakan bahwa
adanya hubungan antara sikap terhadap posyandu lansia dengan pemanfaatan
pelayanan kesehatan di posyandu lansia dan menurut penelitian Zarniyeti (2010)
memperoleh bahwa adanya hubungan antara sikap dengan pemanfaatan posyandu
lansia di wilayah kota Pariaman. Selain itu penelitian Ariyani (2011) juga
menunjukkan secara statistik adanya hubungan yang bermakana antara sikap
dengan pemanfaatan posyandu lansia di Puskesmas Bambanglipuro Yogyakarta.
33
2. Faktor pendukung/pemungkin (enabling factor)
Faktor pemungkin adalah faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi
perilaku atau tindakan kesehatan (Green, 1980). Sumber daya dapat berupa fasilitas
pelayanan kesehatan seperti posyandu, puskesmas, rumah sakit, keterjangkauan
sumberdaya, biaya, jarak, ketersediaan transportasi, jam buka pelayanan dan
sebagainya. Keterampilan disini merupakan kemampuan untuk melakukan tugas yang
merupakan perilaku yang diharapkan.
a.
Sarana
Untuk memperlancar pelaksanaan kegiatan di posyandu lansia, dibutuhkan sarana
dan prasarana penunjang, yaitu tempat kegiatan (gedung, ruangan atau tempat
terbuka), meja dan kursi, alat tulis, buku pencatatan kegiatan, timbangan dewasa,
meteran pengukuran tinggi badan, stetoskop, tensimeter, peralatan laboratorium
sederhana, thermometer, dan Kartu Menuju Sehat (KMS) lansia (Ismawati, 2010)
b.
Jarak
Menurut Anderson dan Mc.Farlen dalam Susanti (2009) jarak merupakan
penghalang yang meningkatkan kecenderungan penundaan upaya seseorang atau
masyarakat dalam mencari pelayanan kesehatan.
Menurut Setyowati, Lubis dan Agustina (2003) dalam Syafriadi Kusnanto dan
Lazuardi (2008) faktor keterpencilan, sulit, dan mahalnya transportasi merupakan
hambatan untuk menjangkau Puskesmas sehingga kunjungan masyarakat yang
bertempat tinggal lebih dekat dari puskesmas lebih banyak jika dibanding dengan
masyarakat yang jaraknya jauh. Begitupun menurut Mills dan Gillson (1990)
34
dalam Kusnanto dan Saimi (2006) sulitnya pelayanan kesehatan dicapai secara
fisik banyak menuntut pengorbanan sehingga akan menurunkan permintaan.
Jarak posyandu yang dekat akan membuat lansia mudah menjangkau posyandu
tanpa harus mengalami kelelahan atau kecelakaan fisik karena penurunan daya
tahan atau kekuatan fisik tubuh. Penelitian yang dilakukan Sutanto (2006) dan
Henniwati (2008) membuktikan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
jarak tempuh dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di posyandu lansia.
Penelitian yang dilakukan oleh Ariyani (2011) menunjukkan ada hubungan yang
bermakna antara jarak tempuh posyandu lansia dengan pemanfaatan posyandu
lansia dimana para lansia lebih cenderung 2,47 kali memanfaatkan posyandu
lansia dibandingkan dengan lansia yang mempunyai jarak rumah yang jauh
(p=0,012 dan OR=2,47) dan begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh
Andayani (2010) dengan p=0,008 dengan OR 8,143 terlihat adanya hubungan
bermakna jarak tempuh dengan pemanfaatan posyandu lansia.
c.
Transportasi
Menurut Sutanto (2006) bahwa ada hubungan bermakna antara jenis transportasi
yang digunakan terhadap pemanfaatan posyandu lansia.
3. Faktor pendorong (reinforcing factor)
Faktor pendorong adalah semua faktor yang mendorong atau memperkuat
terjadinya perilaku kesehatan (Green, 1980). Reinforcement dapat berasal dari
keluarga, teman sebaya, petugas kesehatan, atau dapat juga orang atau kelompok
yang berpengaruh yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
35
a.
Peran petugas kesehatan
Subarniati (1999) mendefinisikan masyarakat akan memanfaatkan pelayanan
tergantung pada penilaian tentang pelayanan tersebut. Jika pelayanan kurang baik
atau kurang berkualitas, maka kecenderungan untuk tidak memanfaatkannyapun
akan semakin besar. Persepsi tentang pelayanan selalu dikaitkan dengan kepuasan
dan harapan pengguna layanan. Konsumen mengatakan mutu pelayanan baik jika
harapan dan keinginan sesuai dengan pengalaman yang diterimanya.
Penilaian pribadi atau persepsi yang baik terhadap petugas merupakan dasar atas
kesiapan atau kesediaan lansia untuk mengikuti kegiatan posyandu. Dengan
persepsi yang baik tersebut, lansia cenderung untuk selalu hadir atau mengikuti
kegiatan yang diadakan di posyandu lansia. Hal ini dapat dipahami karena
persepsi seseorang adalah suatu cermin kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu
obyek. Kesiapan merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan
cara-cara tertentu apabila individu dihadapkan pada stimulus yang menghendaki
adanya suatu respons.
Menurut Sutanto (2006) diperoleh bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara persepsi terhadap petugas kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan
kesehatan di posyandu lansia. Dari hasil penelitian Andayani (2010) menemukan
bahwa 100% responden mendapat dukungan dari petugas kesehatan untuk
datang ke posyandu lansia. Pelayanan kader dan petugas kesehatan yang baik
terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi keaktifan lansia ke posyandu lansia.
Sejalan dengan penelitian Ariyani (2011) menyatakan dukungan petugas
36
kesehatan mempunyai kecenderungan 29,33 kali untuk memanfaatkan posyandu
lansia dibandingkan dengan yang menyatakan tidak ada dukungan petugas
kesehatan, ada hubungan peran petugas dengan pemanfaatan posyandu lansia.
b.
Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga sangat berperan dalam mendorong minat atau kesediaan
lansia untuk mengikuti kegiatan posyandu. Keluarga bisa menjadi motivator kuat
bagi lansia apabila selalu menyediakan diri untuk mendampingi atau mengantar
lansia ke posyandu, mengingatkan lansia jika lupa jadwal posyandu, dan
berusaha membantu mengatasi segala permasalahan bersama lansia (Erfandi,
2008).
Efek dari dukungan keluarga yang adekuat terhadap kesehatan dan
kesejahteraan terbukti dapat menurunkan mortalitas, mempercepat penyembuhan
dari sakit, meningkatkan kesehatan kognitif, fisik dan emosi, disamping itu
pengaruh positif dari dukungan keluarga adalah pada penyesuaian terhadap
kejadian dalam kehidupan sehari-hari yang penuh dengan stress (Setiadi, 2008).
Friedman (2005) menyatakan pemberian dukungan keluarga diantaranya
dukungan instrumental.
Aspek
ini
meliputi
penyediaan sarana
untuk
mempermudah lansia datang ke Posyandu termasuk didalamnya pemberian
peluang waktu.
Kurang adekuatnya dukungan keluarga terhadap lansia membuat keluarga tidak
memperhatikan lansia untuk berkunjung ke Posyandu, mengingatkan jadwal
Posyandu, maupun mengantar ke Posyandu yang disebabkan jarak rumah dengan
37
posyandu yang jauh, sehingga menyebabkan responden cenderung tidak aktif
mengikuti kegiatan Posyandu lansia.
Sutanto (2006) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa adanya hubungan yang
bermakna antara dukungan yang diperoleh dari keluarga dengan pemanfaatan
pelayanan di posyandu lansia dan Ariyani (2011) menyatakan secara statistic ada
hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan pemanfaatan
posyandu lansia di Puskesmas Bambanglipuro Yogyakarta dan penelitian Lestari
(2005) menunjukkan adanya hubungan dukungan keluarga dengan pemanfaatan
posyandu lansia. Sedangkan menurut penelitian Andayani (2010) dikatakan
bahwa tidak terdapat adanya hubungan antara dukungan keluarga dan
pemanfaatan pelayanan posyandu lansia.
c.
Dukungan teman sebaya
Hasil penelitian Andayani (2010) memperoleh bahwa responden yang mendapat
dukungan dari teman sebaya lebih banyak memanfaatkan posyandu lansia
dibandingkan dengan lansia yang tidak mendapatkan dukungan dari teman
sebaya.
2.4. Landasan Teori
Memasuki usia tua berarti mengalami perubahan atau kemunduran, seperti
kemunduran fisiologis, fisik dan psikologis. Fase ini dapat dilalui dengan baik bila
lansia selalu berada dalam kondisi yang sehat. Berkaitan dengan status kesehatan
pada lansia, saat ini dengan meningkatnya pelayanan kesehatan oleh pemerintah
38
memungkinkan pula peningkatan derajat kesehatan para lansia. Salah satu tempat
pelayanan kesehatan yang digalakkan pemerintah bagi lansia adalah pos pelayanan
terpadu lansia (posyandu lansia).
Posyandu lansia merupakan pengembangan dari kebijakan pemerintah melalui
pelayanan kesehatan bagi lansia yang penyelenggaraannya melalui program
puskesmas dengan melibatkan peran serta para lansia, keluarga, tokoh masyarakat
dan organisasi sosial dalam penyelenggaraannya (Erfandi, 2008). Tujuan pembinaan
kesehatan bagi kaum lanjut usia adalah meningkatkan derajat kesehatan dan mutu
kehidupan untuk mencapai masa tua yang bahagia dan berguna dalam kehidupan
keluarga dan masyarakat sesuai dengan keberadaannya dalam masyarakat
(Kementerian Kesehatan R.I., 2012).
Menurut teori Lawrence Green (1980) menjelaskan bahwa perilaku untuk
memanfaatkan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu, faktor
predisposisi (pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai), faktor
pendukung/pemungkin (biaya, jarak, waktu dan keterampilan petugas), dan faktor
penguat (dukungan teman, petugas kesehatan, keluarga).
39
Tahap 5
Tahap 4
Tahap 3
Administrasi
Dan Kebijakan
Diagnosa
Penilaian
Pendidikan dan
Ekologis
Penilaian
perilaku
Presdiposing
Non
Perilaku
Enabling
Perilaku
dan Gaya
Hidup
Tahap 2
Penilaian
Epidemiologi
Tahap 1
Penilaian
Sosiologi
Promosi
Kesehatan
Pendidikan
Kesehatan
Kebijakan,
Peraturan,
Organisasi
Reinforcing
Tahap 6
Tahap 7
Pelaksanaan
Proses Evaluasi
Tahap 8
Hasil Evaluasi
Kesehatan
Kualitas
Hidup
Tahap 9
Dampak Evaluasi
Gambar 2.1 Teori Determinan Perilaku
Sumber : Green LW, Kreuteur MW (1999) dalam Theory a Glance A Guide For
Health Promotion Practice (2005)
40
2.5. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori yang diambil dari teori Lawrence Green (1980)
mengenai perilaku untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga
faktor yaitu, faktor predisposisi, faktor, dan faktor penguat. Faktor predisposisi dalam
penelitian ini yaitu umur, jenis kelamin, pengetahuan dan sikap, faktor pendukung
yaitu jarak dan faktor penguat yaitu dukungan keluarga dan peran petugas
kesehatan/kader.
Faktor Predisposisi
(presdiposi)
-Umur
-Jenis Kelamin
-Pengetahuan
-Sikap
Faktor Pendukung (Enabling)
-Jarak
Faktor Penguat (Reinforcing)
-Dukungan Keluarga
- Peran Petugas
Kesehatan/kader
Pemanfaatan
Posyandu Lansia
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Analisis Faktor yang Memengaruhi
Pemanfaatan Posyandu Lansia