Perbedaan Aktivitas Antibakteri Flavonoid Total Dan Tanin Total Pada Daun Bangun-Bangun (Coleus Amboinicus Lour) Terhadap Bakteri Shigella Dysenteriae, Escherichia Coli Dan Salmonella Typhi

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daun Bangun-Bangun (Coleus amboinicus Lour).
Menurut Heyne et al (1987), tanaman daun bangun-bangun ini termasuk dalam famili
Lamiaceae, genus Coleus yang bermanfaat untuk menu sayuran sehari-hari terutama
disajikan untuk ibu-ibu yang baru melahirkan. Menurut komposisi zat gizi pangan
Indonesia dalam 1000 gram daun bangun-bangun mengandung lebih banyak kalsium,
besi dan karoten total dibandingkan dengan daun katuk (sauropus androgynus). Data
lengkap tentang komposisi zat gizi daun bangun-bangun tercantum dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Komposisi Zat Gizi Daun Bangun-bangun (Santosa et al,2002)
Komposisi Zat Gizi

Jumlah

Energi

27.0 kal

Protein


1.3 g

Lemak

0.6 g

Hidrat Arang

40.0 g

Serat

1.0 g

Abu

1.6 g

Kalsium


279.0 g

Fosfor

40.0 g

Besi

13.6 g

Karoten Total

13288 mg

Vitamin A

0.0 g

Vitamin B1


0.16 mg

Vitamin C
Air

5.1 g
92.5 g

Menurut Heyne (1987), secara makroskopis tanaman bangun-bangun
memiliki ciri batang berkayu lunak, beruas-ruas dan berbentuk bulat, diameter
pangkal + 15 mm, tengah + 10 mm dan ujung + 5 mm. Daun tanaman ini tunggal,
helaiannya bundar telur, panjang helaiannya + 3.5 – 6 cm, pinggirnya agak berombak
dengan panjang tangkai + 1.5-3 cm, dan tulang dalamnya menyirip. Tanaman daun
bangun-bangun dapat dilihat pada Lampiran. Tanaman bangun-bangun tumbuh secara
liar, jarang berbunga namun mudah sekali dikembangbiakkan dengan stek dan cepat
berakar di dalam tanah yang gembur.
Pemanfaatan bahan alam yang berasal dari tumbuhan sebagai obat tradisional
telah lama dilakukan oleh masyarakat Indonesia khususnya untuk menangani
berbagai masalah kesehatan. Hal ini cukup menguntungkan karena bahan bakunya

mudah didapat atau dapat diramu sendiri di rumah bahkan jarang menimbulkan
dampak negatif. Menurut Sarastani et al (2002), ada banyak bahan pangan yang dapat
menjadi sumber antibakteri alami misalnya dedaunan dan sayur-sayuran. Kebanyakan
sumber antibakteri alami adalah tumbuhan dan umumnya merupakan senyawa fenolik
yang tersebar di seluruh bagian tumbuhan. Salah satu tumbuhan yang telah
dimanfaatkan sebagai antibakteri turun temurun oleh masyarakat Indonesia
khususnya suku Batak, Sumatera Utara adalah daun bangun-bangun. Menurut
Kartasapoetra (1992), daunnya banyak digunakan untuk bahan obat, berbau aromatik
dan rasanyapun enak. Khasiatnya bagi pengobatan yaitu untuk menyembuhkan batuk,
mulas dan sariawan.
Polisakarida, protein, lemak dan asam nukleat merupakan penyusun utama
dari mahluk hidup, karena itu disebut metabolit primer. Keseluruhan proses sintesis
dan perombakan zat-zat ini yang dilakukan organisme untuk kelangsungan hidupnya
disebut proses-proses metabolisme primer. Metabolisme primer dari semua
organisme sama, walaupun sangat berbeda genetiknya. Proses-proses kimia jenis lain
terjadi hanya pada organisme tertentu sehingga memberikan produk yang berlainan
sesuai dengan spesiesnya. Reaksi yang demikian disebut sebagai proses metabolisme
sekunder. Meskipun tidak penting bagi eksistensi suatu individu, metabolit sekunder

sering berperan pada kelangsungan hidup suatu spesies dalam perjuangan

menghadapi spesies-spesies lain (Manitto , 1992). Menurut Santosa et al (2002), daun
bangun-bangun mengandung saponin, flavonoid, tanin, polifenol serta dapat
meningkatkan hormon-hormon menyusui seperti prolaktin dan oksitosin oleh sebab
itu dapat berpotensi sebagai laktagogum. Menurut Kartasapoetra (1992), metabolit
sekunder dari tanaman daun bangun-bangun mengandung golongan senyawa kimia
seperti fenol yang menunjukkan sifat antibakteri. Beberapa golongan fenol seperti
flavonoid, tanin dan senyawa fenol lainnya berfungsi sebagai alat pertahanan bagi
tumbuhan untuk melawan mikroorganisme patogen.

2.2. Senyawa Flavonoid
Menurut Robinson (1995), senyawa flavonoid adalah senyawa-senyawa polifenol
yang mempunyai 15 atom karbon, terdiri dari dua cincin benzen yang dihubungkan
menjadi satu oleh rantai linier yang terdiri dari tiga atom karbon. Senyawa flavonoid
biasanya terdapat dalam sel-sel jaringan dalam bunga. Flavonoid terdapat secara
universal pada tumbuhan sebagai kelompok tunggal senyawa cincin oksigen yang
terbesar. Flavonoid terdapat dalam berbagai warna pada jaringan tumbuhan dan
rotenoid misalnya, memiliki sifat insektisidal.
Menurut Herbert (1995), fungsi flavonoid yang dikandung oleh tumbuhtumbuhan yaitu sebagai pengaturan fotosintesis, kerja antibakteri dan antivirus serta
kerja terhadap serangga. Menurut Heinrich et al (2010), senyawa flavonoid sangat
bermanfaat dalam makanan karena berupa senyawa fenolik dan bersifat antioksidan.

Banyak kondisi penyakit yang diketahui bertambah parah oleh adanya radikal bebas
seperti superoksida dan hidroksil, dan flavonoid memiliki kemampuan untuk
menghilangkan dan secara efektif ‘menyapu’ spesies pengoksidasi yang merusak.
Oleh sebab itu, makanan kaya flavonoid dianggap penting untuk mencegah timbulnya
penyakit-penyakit, seperti kanker dan penyakit jantung yang dapat memburuk akibat
oksidasi lipoprotein densitas-rendah.

Menurut Mojab et al (2008), kandungan flavonoid merupakan senyawa fenol
yang dapat menyebabkan penghambatan terhadap sintesis dinding sel dan bersifat
koagulator protein (Dwijoseputro, 1994). Protein yang menggumpal tidak akan dapat
berfungsi lagi sehingga akan mengganggu pembentukan dinding sel bakteri (Jawetz
et al, 2001). Oleh karena itu flavonoid merupakan komponen antibakteri yang
potensial. Adapun struktur flavonoid yang mengandung gugus fenol yaitu seperti
gambar dibawah ini :
B.

B.

O


O
A.

A.

C.

C.
OH

OH
O

O

Gambar 2.1. Flavonol

Gambar 2.2. Flavanonol

OH

OH

O

B.
O

HO
A.

A.

B.

+

C.

C.


OH
OH

HO

OH

Gambar 2.3. Leukoantosianidin

Gambar 2.4. Antosianidin

Sumber : Robinson (1995)

Menurut Markham (1988), aglikon flavonoid adalah polifenol sehingga
flavonoid merupakan senyawa polar maka pada umumnya flavonoid larut dalam
pelarut

polar

seperti


etanol,

metanol,

butanol,

aseton,

dimetilsulfoksida,

dimetilformadida, air dan lain-lain. Menurut Noor et al (2006), metanol banyak
digunakan untuk ekstraksi tanaman obat dan dapat menarik zat aktif yang terkandung
didalamnya.

2.3. Senyawa Tanin
Menurut Robinson (1991), tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang
mampu mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena
kemampuannya menyambung silang protein. Kadar tanin yang tinggi mempunyai arti
penting bagi tumbuhan yakni pertahanan bagi tumbuhan dan membantu mengusir

hewan pemakan tumbuhan. Tanin terdapat luas pada tumbuhan berpembuluh, dalam
Angiospermae terdapat khusus di jaringan kayu. Menurut Desmiaty et al (2008),
tanin merupakan senyawa aktif metabolit sekunder yang diketahui mempunyai
beberapa khasiat yaitu sebagai astringen, anti diare, antibakteri dan antioksidan.
Menurut Harborne (2006), tanin berdasarkan tipe struktur dan aktivitasnya
terhadap senyawa hidrolitik terutama asam dapat digolongkan menjadi dua golongan,
yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin terhidrolisis mengandung
ikatan ester yang dapat terhidrolisis jika dididihkan dalam asam klorida encer. Bagian
alkohol dari ester ini biasanya gula, dan seringkali glukosa tetapi dalam beberapa
tanin mungkin saja gula lain. Inti molekulnya berupa senyawa dimer asam gallat,
yaitu asam heksaoksidifenat yang berikatan dengan glukosa. Tanin terhidrolisis
disebut juga elagitanin yang pada hidrolisis menghasilkan asam gallat. Struktur
beberapa asam fenolat yang terdapat pada tanin terhidrolisis ditunjukkan pada gambar
dibawah ini :
HO
O
HO
OH
HO

Gambar 2.5. Asam gallat

OH

O

OH
O
OH

HO
O

H

O

HO
H

O

OH

HO

O

HO
O

O

O

OH
H

HO
O

O
OH

H

HO
OH

HO
OH

Gambar 2.6. Gallotannin

Tanin terkondensasi terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal yang
membentuk senyawa dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Ikatan karbon-karbon
menghubungkan satu satuan flavon dengan satuan berikutnya melalui ikatan 4-8 atau
6-8. Kebanyakan flavon mempunyai 2-20 satuan flavon. Tanin terkondensasi disebut
juga dengan proantosianidin karena bila direaksikan dengan asam panas, beberapa
ikatan karbon-karbon penghubung satuan terputus dan dibebaskanlah monomer
antosianidin. Struktur beberapa asam fenolat yang terdapat pada tanin terkondensasi
ditunjukkan pada gambar dibawah ini :

OH
OH
B.
O

HO
A.

C.
OH

OH

Gambar 2.7. Katekin
OH
OH
O

HO

R

OH
OH

OH
OH
HO

O

R
OH
OH

OH
OH
HO

O
R
OH
OH

Gambar 2.8. Catechol tannin

Menurut Desmiaty et al (2008), senyawa fenolik yang dimiliki tanin
menyebabkan tanin sukar dipisahkan, sukar mengkristal, mengendapkan protein dari
larutannya bahkan bersenyawa dengan protein tersebut sehingga dapat membentuk
ikatan silang yang stabil dengan protein dan bipolimer yang lain. Menurut Harborne
(1996), karena tanin merupakan senyawa aktif yang memiliki struktur polifenol
sehingga mempunyai beberapa khasiat yaitu sebagai astringen, antidiare, antibakteri,
antioksidan dan menghambat pertumbuhan tumor. Menurut Ajizah (2004), sifat
astringen tanin berefek spasmolitik, yang dapat mengerutkan membran sel sehingga

mengganggu permeabilitas sel, akibatnya sel tidak dapat melakukan aktivitas hidup
sehingga pertumbuhannya terhambat atau bahkan mati.
Menurut Trease dan Evan (1983), senyawa flavonoid dan tanin terdapat dalam
satu tumbuhan secara bersamaan, oleh sebab itu kedua senyawa ini memiliki sifat
yang sama yaitu bersifat polar dan memberikan reaksi positif terhadap FeCl3 yang
bila ditetesi akan memberikan warna biru gelap sehingga sangat penting dilakukan
pemisahan antara tanin dan flavonoid dimana pemisahan tersebut dilakukan
berdasarkan perbedaan sifat kelarutannya dalam pelarut protik dan aprotik. Tanin
hanya larut dalam pelarut protik yaitu metanol yang bersifat polar dan tidak larut
dalam aprotik yaitu etil asetat yang bersifat semi polar. Berdasarkan persamaan kedua
sifat inilah maka dilakukan skrining fitokimia. Menurut Harborne (2006), hal yang
berperan penting dalam skrining fitokimia adalah pemilihan pelarut dan metode
ekstraksi.

2.4. Pemisahan Komponen dengan Ekstraksi
Teknik pemisahan memiliki tujuan untuk memisahkan komponen yang akan
ditentukan dalam keadaan murni, tidak tercampur dengan komponen-komponen
lainnya. Pemisahan secara kimia merupakan suatu teknik pemisahan berdasarkan
adanya perbedaan yang besar dari sifat-sifat fisika komponen dalam campuran yang
akan dipisahkan sedangkan Pemisahan fisika merupakan suatu teknik pemisahan
berdasarkan pada perbedaan-perbedaan kecil dari sifat-sifat antara senyawa-senyawa
yang termasuk dalam satu golongan. Menurut Depkes RI (1995), ekstraksi adalah
suatu proses pemisahan secara kimia yang dilakukan untuk memperoleh kandungan
senyawa kimia dari jaringan tumbuhan maupun hewan. Ekstrak adalah sediaan
kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut
cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung, ekstrak kering harus
mudah digerus menjadi serbuk. Cairan penyari yang digunakan air, metanol dan
campuran air etanol.

Menurut Lenny (2006), ekstraksi suatu senyawa dalam tumbuhan dapat
dilakukan dengan cara maserasi, perkolasi, sokletasi dan destilasi uap. Maserasi
merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut organik yang digunakan pada
temperatur ruangan. Proses ini sangat menguntungkan karena dengan perendaman
maka pada sampel tumbuhan terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat
perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang
ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik. Pemilihan pelarut untuk
proses maserasi akan memberikan efektifitas yang tinggi dengan memperhatikan
kelarutan senyawa bahan alam tersebut. Menurut Heinrich et al (2010), keuntungan
utama cara ini adalah merupakan metode ekstraksi yang mudah karena ekstrak tidak
dipanaskan sehingga kemungkinan kecil bahan alam terurai.
Menurut Seidel (2008), pemilihan pelarut ekstraksi sangat penting , pemilihan
pelarut ekstraksi umumnya menggunakan prinsip likes dissolve likes, dimana
senyawa yang non polar akan larut dalam pelarut non polar sedangkan senyawa yang
polar akan larut pada pelarut polar. Menurut Heinrich et al (2010), penggunaan
pelarut dengan peningkatan kepolaran secara berurutan memungkinkan pemisahan
bahan alam berdasarkan kelarutan dan polaritasnya dalam ekstraksi. Hal ini sangat
mempermudah proses isolasi. Ekstraksi dingin memungkinkan banyak senyawa
terekstraksi, meskipun beberapa senyawa memiliki kelarutan terbatas dalam pelarut
ekstraksi pada suhu kamar. Menurut Harborne (1996), ekstraksi dianggap selesai bila
tetesan terakhir memberikan reaksi negatif terhadap senyawa yang diekstraksi. Untuk
mendapatkan larutan ekstrak pekat, biasanya pelarut ekstrak diuapkan dengan
menggunakan alat rotari evaporator. Menurut

Harborne

(2006),

uji

fitokimia

merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui senyawa-senyawa kimia yang
terdapat di dalamnya. Tahapan pengujian flavonoid dan tanin dilakukan berdasarkan
metode Harborne (2006) dimana pada pereaksi Besi (III) klorida 5% flavonoid dan
tanin memberikan perubahan warna yang sama yaitu biru gelap.

2.5. Mekanisme Kerja Penghambatan Senyawa Antibakteri.
Menurut Jawetz et al (2001) , suatu zat antibakteri yang ideal memiliki toksisitas
selektif. Istilah ini secara tidak langsung menyatakan suatu obat berbahaya terhadap
parasit tetapi tidak berbahaya bagi inangnya. Antibakteri adalah obat pembasmi
bakteri, khususnya bakteri yang merugikan manusia.
Menurut Jawetz et al (1998), mekanisme penghambatan pertumbuhan
mikroorganisme oleh senyawa antibakteri dapat berlangsung dengan cara
mengganggu pembentukan dinding sel dengan adanya akumulasi komponen lipofilat
yang terdapat pada dinding atau membran sel akan menyebabkan perubahan
komposisi penyusun dinding sel, penghambatan fungsi membran plasma dimana
beberapa antibakteri merusak permeabilitas membran akibatnya terjadi kebocoran
materi intraseluler seperti senyawa penol yang dapat mengakibatkan lisis sel dan
denaturasi protein serta menghambat ikatan ATP-ase pada membran sel,
penghambatan sintesa protein, asam nukleat dan aktivitas enzim dimana efek
senyawa antibakteri dapat menghambat kerja enzim jika senyawa antibakteri
mempunyai spesifitas yang sama dengan ikatan kompleks yang menyusun struktur
enzim. Penghambatan ini dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme sel seperti
sintesa protein dan asam nukleat.
Menurut Jawetz et al (2001), antibakteri dapat bekerja secara bakteriostatik
maupun bakterisidal. Bakteriostatik memiliki arti memiliki kemampuan menghambat
multiplikasi bakteri. Multiplikasi akan berlangsung lagi jika unsur tersebut tidak ada.
Bakterisidal memiliki sifat mematikan bakteri. Aksi bakterisidal berbeda dalam hal
tidak dapat dipulihkan lagi, yaitu bakteri yang dimatikan tidak dapat lagi
bermultiplikasi meskipun sudah tidak ada hubungan lagi dengan unsur itu. Menurut
Sudjaswadi (2006), efektivitas senyawa antibakteri dipengaruhi oleh karakter dinding
sel atau membran sel dari bakteri tersebut. Penetrasi obat melalui membran yang
lebih cepat dan jumlah yang lebih besar segera menginisiasi efek menghambat reaksi
sintesis protein dalam inti sel mikroorganisme. Menurut Tim Mikrobiologi Unibraw
(2003), efektivitas antibakteri terhadap spesies bakteri atau suatu galur bakteri

berbeda antara yang satu dengan yang lain. Sensitivitas setiap bakteri patogen
terhadap suatu antibakteri harus diuji dengan berbagai konsentrasi untuk menentukan
tingkat konsentrasi yang menyebabkan pertumbuhan bakteri tersebut terhambat atau
mati. Dengan pengujian tersebut dapat diketahui apakah bakteri tersebut masih
sensitif atau telah resisten terhadap suatu antibiotik. Pengujian tersebut biasanya
dilakukan dengan metode difusi atau metode dilusi.
Menurut Kusmiyati (2007), metode difusi merupakan salah satu metode yang
sering digunakan dalam uji antibakteri. Metode difusi dapat dilakukan 3 cara yaitu
metode silinder, lubang dan cakram kertas. Metode cakram kertas yaitu meletakkan
cakram kertas yang telah direndam larutan uji di atas media padat yang telah
diinokulasi dengan bakteri. Pengujian dilakukan dengan mengukur daerah hambat
yang berwarna bening pada gel beserta kertas cakramnya. Menurut Davis dan Stout
(1971), bila diameter hambatan 5 mm atau kurang maka aktifitas penghambatannya
dikategorikan lemah, 5-10 mm dikategorikan sedang, 10-19 mm dikategorikan kuat
dan 20 mm atau lebih dikategorikan sangat kuat. Menurut Rostinawati (2007), kadar
minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri dikenal dengan
Kadar Hambat Minimal (KHM) atau Minimum Inhibitory Concentration (MIC). Nilai
MIC ditentukan dengan melakukan suatu seri pengenceran senyawa yang akan diuji
di dalam cawan petri, kemudian digoreskan bakteri yang akan diperiksa dengan dosis
tertentu. Lalu ditentukan batas atau dosis terkecil yang dapat menghambat tumbuhnya
bakteri, yang disebut MIC.

2.6. Bakteri Patogen
Menurut Pelczar dan Chan (1988), patogenitas merupakan kemampuan organisme
untuk menimbulkan penyakit. Jadi bakteri patogen merupakan bakteri yang memiliki
kemampuan untuk menimbulkan penyakit pada manusia. Menurut Tim Mikrobiologi
Unibraw (2003), dinding sel adalah struktur bakteri yang berfungsi untuk
mempertahankan bentuk bakteri. Adapun struktur penyusun bakteri dapat dilihat pada
Tabel. 2.2.

Tabel 2.2. Komposisi Bakteri (Carpenter,L.P, 1967)
Komposisi

Jumlah (%)

Air

70

Zat Padat, terdiri dari :

30
9

(M.W = 2.10 )

3%

-

DNA

-

RNA

12%

-

Protein, terdiri dari :

70%



Ribosom (M.W = 104)



RNA

(M.W = 3.106)

-

Polisakarida

5%

-

Lipid

6%

-

Pospolipid

4%

Secara kimiawi, dinding sel bakteri terdiri atas peptidoglikan yang tersusun
dari N-asetil glukosamin dan N-asetil asam muramat. Selain berfungsi untuk
mempertahankan bentuk bakteri, dinding sel juga berfungsi dalam menentukan sifat
pewarnaan, antigenisitas maupun patogenisitas bakteri. Berdasarkan pewarnaan gram,
bakteri dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu bakteri gram positif dan bakteri
gram negatif. Struktur dinding sel bakteri gram positif berbeda dengan bakteri Gram
negatif. Menurut Tim Mikrobiologi Unibraw (2003), pada bakteri gram positif,
dinding selnya mengandung polisakarida yang disebut asam teikhoat yang berperan
pada proses transportasi ion-ion dari dalam maupun ke luar sel. Pada bakteri gram
negatif, kandungan peptidoglikan pada dinding selnya lebih sedikit, oleh karenanya
bakteri gram negatif lebih peka terhadap pengaruh mekanik. Selain peptidoglikan,
dinding sel bakteri gram negatif juga mengandung lipopolisakarida, fosfolipid,
lipoprotein yang berperan dalam proses masuknya bahan-bahan dari luar sel ke dalam
sel. Selain itu lipopolisakarida juga akan menghalangi terjadinya proses fagositosis
dan juga bersifat toksik. Bahan toksik dari dinding sel bakteri gram negatif disebut

endotoksin yang akan dilepas bila bakteri tersebut selnya rusak atau bakteri tersebut
mati.
Menurut Gibson (1996), infeksi saluran pencernaan disebabkan karena
tertelannya mikroorganisme patogen contohnya bakteri gram negatif, yang dapat
menimbulkan infeksi dan intoksikasi pada manusia dan menimbulkan penyakit
seperti disentri, diare dan demam tifoid dimana bakteri patogennya seperti Shigella
dysenteriae, Escherichia coli dan Salmonella typhi. Menurut Pelczar (1988), Shigella
dysenteriae merupakan bakteri gram negatif, fakultatif anaerobik, berbentuk batang
yang tidak bergerak, tidak membentuk spora. Bakteri ini berukuran sekitar 0,5-0,7
mikrometer dan tumbuh baik pada suhu 370C. Bakteri ini dapat menyebabkan disentri
basiler. Disentri adalah salah satu dari berbagai gangguan pencernaan yang ditandai
dengan peradangan usus terutama kolon, disertai nyeri perut dan buang air besar yang
sering mengandung darah dan lendir. Menurut Anonim (2008), Escherichia coli
merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang dengan panjang sekitar 2
mikrometer dan diamater 0,5 mikrometer, bersifat anaerob fakultatif, biasanya dapat
bergerak dan tidak membentuk spora. Bakteri ini umumnya hidup pada rentang 20400C, optimum pada 370C. Escherichia coli merupakan bakteri yang secara normal
terdapat di dalam usus dan berperan dalam proses pembusukan sisa-sisa makanan.
Keberadaan bakteri ini merupakan parameter ada tidaknya materi fekal di dalam
suatu habitat khususnya air. Escherichia coli adalah salah satu jenis bakteri yang ada
dalam tinja manusia dan dapat mengakibatkan gangguan pencernaan seperti diare.
Escherichia coli yang menimbulkan diare dengan invasi langsung lapisan sel
epitelium dinding usus yang disebabkan karena pengaruh beracun lipopolisakarida
dinding sel (endotoksin).
Menurut Gibson (1996), Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif,
bersifat motil (bergerak), bakteri anaerob fakultatif. Berbentuk batang pendek
berderet seperti rantai. Salmonella typhi tidak dapat menfermentasi glukosa dan
laktosa, tidak menghasilkan asam dan gas dari glukosa. Bakteri ini tumbuh secara
optimal pada suhu sekitar 35-370C. Salmonella typhi biasanya ditemukan pada

jaringan limfa saluran pencernaan kemudian masuk ke dalam nodus limfa dan aliran
darah. Salmonella typhi dapat menyebabkan penyakit demam tifoid. Menurut Pelczar
(1988), Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik yang disebabkan karena
salmonella tidak memfermentasi laktosa tetapi kebanyakan membentuk H2S dan gas
dari karbohidrat dan akan mendekarboksilasi lisin.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Daun Bangun Bangun (coleus amboinicus) Untuk Meningkatkan Produksi ASI

29 119 53

Karakterisasi Simplisia dan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Kulit Buah Manggis (Garcinia Mangostana L.) Terhadap Bakteri Salmonella Typhi, Escherichia Coli dan Shigella Dysenteriae

3 46 92

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Ceplukan (Physalis minima L.) Terhadap Bakteri Shigella dysenteriae, Escherichia coli Dan Salmonella typhimurium

21 148 72

Uji Daya Antibakteri dan Antioksidan dari Ekstrak Etanol Daun Bangun-Bangun (Coleus amboinicus Lour.)

6 52 81

Perbedaan Aktivitas Antibakteri Flavonoid Total Dan Tanin Total Pada Daun Bangun-Bangun (Coleus Amboinicus Lour) Terhadap Bakteri Shigella Dysenteriae, Escherichia Coli Dan Salmonella Typhi

1 1 16

Perbedaan Aktivitas Antibakteri Flavonoid Total Dan Tanin Total Pada Daun Bangun-Bangun (Coleus Amboinicus Lour) Terhadap Bakteri Shigella Dysenteriae, Escherichia Coli Dan Salmonella Typhi

0 0 2

Perbedaan Aktivitas Antibakteri Flavonoid Total Dan Tanin Total Pada Daun Bangun-Bangun (Coleus Amboinicus Lour) Terhadap Bakteri Shigella Dysenteriae, Escherichia Coli Dan Salmonella Typhi

1 3 5

Perbedaan Aktivitas Antibakteri Flavonoid Total Dan Tanin Total Pada Daun Bangun-Bangun (Coleus Amboinicus Lour) Terhadap Bakteri Shigella Dysenteriae, Escherichia Coli Dan Salmonella Typhi

0 0 3

Perbedaan Aktivitas Antibakteri Flavonoid Total Dan Tanin Total Pada Daun Bangun-Bangun (Coleus Amboinicus Lour) Terhadap Bakteri Shigella Dysenteriae, Escherichia Coli Dan Salmonella Typhi

0 1 5

Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Cacing Tanah (Megascolex sp.) terhadap Bakteri Salmonella typhosa, Escherichia coli, Shigella dysenteriae

0 0 9