Pelaksanaan Pembagian Warisan Pada Masyarakat Adat Nias (Studi Pada Masyarakat Adat Nias Kabupaten Nias Selatan)

28

BAB II
TATA CARA PEMBAGIAN WARISAN PADA MASYARAKAT ADAT NIAS
DI KECAMATAN TELUK DALAM DAN KECAMATAN GOMO
KABUPATEN NIAS SELATAN
A. Gambaran Daerah Penelitian
Kabupaten Nias Selatan berdiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2003 tentang Pembentukan Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Pakpak Bharat dan
Kabupaten Humbang Hasundutan di Propinsi Sumatera Utara. Awal berdirinya
Kabupaten Nias Selatan terdiri dari 8 (delapan) Kecamatan, antara lain Kecamatan
Teluk Dalam (sekarang sudah dimekarkan menjadi tujuh kecamatan), Kecamatan
Gomo (sekarang sudah mekar menjadi Sembilan kecamatan), Kecamatan Amandraya
(sekarang menjadi tiga kecamatan), Kecamatan Lolowa’u (sekarang menjadi empat
kecamatan), Kecamatan Lolomatua (sekarang menjadi tiga kecamatan), Kecamatan
Pulau-Pulau Batu (sekarang enam kecamatan), Kecamatan Hibala (sekarang tiga
kecamatan). Dengan demikian Kabupaten Nias Selatan sekarang ini terdiri atas 35
(tiga puluh lima) kecamatan.
Dulunya di Pulau Nias membagi wilayah berdasarkan óri. óri adalah wilayah
yang terdiri dari beberapa kampung yang didiami oleh orang-orang yang merasa
dirinya memiliki tata kehidupan yang sama).

Struktur óri di Pulau Nias dapat dilihat pada gambar berikut:
PULAU NIAS

óri yóu

óri raya

óri Gomo

Skema .1. Skema Struktur óri pada masyarakat adat Nias

28

Universitas Sumatera Utara

29

Pada óri yóu sekarang ini dikenal dengan wilayah Kabupaten Nias (wilayah
tengah ke selatan masuk óri Gomo), Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias Utara,
Kabupaten Nias Barat (sebagian tengah, tenggara, selatan dan timur termasuk óri

Gomo). Sementara óri raya terdiri dari wilayah Kecamatan Teluk Dalam dan daerah
Kepulauan.Sedangkan óri Gomo mulai dari pertengahan, timur, barat dan utara.
Salah satu contoh penggunaan istilah óri pada jaman dahulu di Pulau Nias,
seperti dibawah ini.
Tuhenóri
óri gomo

Balugu

Balugu

Balugu

óri gomo

óri susua

óri Mola

Balugu

óri

Terdiri dari beberapa kampong
(sekarang disebut sebagai Desa)

Skema .2. Skema Struktur óri pada óri Gomo
Dari gambar diatas, dapat di lihat bahwa di masyarakat adat Gomo terdapat
suatu struktur yang mirip dengan struktur kekaisaran. Tuhenóri membawahi beberapa
balugu (raja óri). Dan balugu membawahi beberapa kampung yang dipimpin oleh
seorang Ereatau Ama Mbanua (Ere jaman dahulu sebenarnya melekat kepada mereka
yang memimpin acara-acara ritual misalnya sebelum menanam padi, pada saat
penguburan orang meninggal, pada saat pendirian rumah, pada saat meresmikan

Universitas Sumatera Utara

30

kelahiran anak laki-laki). Tetapi tahun 1900-an kepala kampung disebut sebagai ama
mbanua dan istilah Ere hanya digunakan dikalangan para Balugu dan Tuhenóri 48.
Masing-masing óri masih memiliki óri dalam kelompok kecil. Struktur

masyarakat golongan raja pada órigomo hampir sama dengan struktur kekaisaran,
dimana dalam daerah kaisar terdapat beberapa kerajaan besar dan kerajaan kecil yang
masing-masing dipimpin oleh seorang raja, dan pada tataran tertinggi yakni Kaisar
(Tuhenóri)49
Penyebutan untuk masyarakat adat Teluk dalam adalah óri Raya terdiri dari
beberapa óri, antara lain óri to’ene asi, óri maniamolo, óri mazino, óri onolalu.
Umumnya dalam satu óri memiliki kesamaan karakteristik adat, tetapi dalam hal
tertentu bisa saja ada perbedaan artinya antara kampung yang satu dengan kampung
lainnya ada saja yang menjadi perbedaan (lingkup kecil dari óri adalah kampung,
sekarang disebut desa).
Keadaan geografi Kabupaten Nias Selatan50, sebagai berikut:
Lokasi

:

Barat Sumatera, ± 92 mil laut dari Kota Sibolga dan ± 120 km
dari Kota Gunungsitoli ke Teluk Dalam (Ibu Kota Kabupaten
Nias Selatan)

Luas Wilayah


:

1.825,2 km2

Batas Wilayah

:

Utara : Kabupaten Nias dan Kab. Nias Barat,
Selatan : Pulau-pulau Mentawai
Timur : Mandailing Natal dan Tapanuli Tengah

48
49

Wawancara dengan F. N, Ketua Lembaga Adat Nias Selatan, tanggal 1 Juni 2016.
Penjelasan Ketua Lembaga Adat Nias Selatan pada saat wawancara pada tanggal 1 Juni

2016

50

Sumber: Katalog BPS Nomor: 1102001.1214, Nias Selatan Dalam Angka Tahun 2015

Universitas Sumatera Utara

31

Barat
Topografi

:

: Samudera Hindia

Umumnya berbukit dengan ketinggian dari permukaan air laut
bervariasi antara 0-800 m

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa pemilihan tempat penelitian
karena setidaknya dapat mewakili keseluruhan keadaan masyarakat adat Nias

umumnya dan Kabupaten Nias Selatan pada khususnya. Jika dibedakan dalam
rumpun golongan pelaksanaan adatnya, setidaknya dikatakan sama misalnya
Kecamatan Telukdalam yang sejak dahulu dipercaya memiliki karakteristik wilayah
Adat Nias dibagian selatan sehingga masyarakatnya sering disebut sebagai Niha
Raya. Sementara Kecamatan Gomo yang dikenal sebagai daerah asal muasal Niha
Sifófóna atau Bóróta Niha (asal muasal orang pertama di Pulau Nias) sering disebut
sebagai Nias Tengah.
1.

Kecamatan Telukdalam
Kecamatan Telukdalam adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Nias

Selatan. Kecamatan Telukdalam terdiri dari 14 Desa dan 1 Kelurahan berada diantara
0 s/d 800 meter diatas permukaan laut dengan luas wilayah 115,1 km2, Jumlah
penduduk 18.926 jiwayang berbatasan dengan sebelah utara Kecamatan Mazino
(hasil pemekaran), sebelah selatan Kecamatan Pulau-Pulau Batu (yang dikenal
dengan sebutan Pulau Telo atau juga Kepulauan Nias Selatan), sebelah barat
Kecamatan Fanayama dan sebelah timur Kecamatan Toma yang kedua-duanya
merupakan kecamatan hasil pemekaran dari kecamatan Teluk Dalam51.


51

Sumber; Katalog BPS 1102001.1214030: Nias Selatan Dalam Angka 2015.

Universitas Sumatera Utara

32

2.

Kecamatan Gomo
Kecamatan Gomo di kenal sebagai daerah asal muasal (bóróta niha) atau

orang pertama di Pulau Nias.Gomo merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Nias Selatan. Pada awalnya terdiri dari 23 Desa jumlah penduduk 39.349 jiwa, dan
setelah pemekaran kecamatan, menjadi Kecamatan Mazo, Kecamatan Susua,
Kecamatan Ulu Susua, Kecamatan Boronadu, Kecamatan Idanotae, Kecamatan Ulu
Idanotae, Kecamatan Umbunasi, maka Kecamatan Gomo tinggal 11 Desa dengan
jumlah penduduk 9.524 dan berada diantara 0 s/d 500 meter diatas permukaan laut
dengan luas wilayah 106,95 km2, yang berbatasan dengan sebelah utara Kecamatan

Boronadu dan Kecamatan Idanotae (hasil pemekaran), sebelah selatan Kecamatan
Siduaori (hasil pemekaran dari kecamatan Lahusa), sebelah barat Kecamatan Mazo,
dan sebelah timur Kecamatan Idanotae (pemekaran Kecamatan Gomo) dan
Kecamatan Somambawa (hasil pemekaran dari Kecamatan Lahusa)52.
Dulu Kecamatan Gomo terdiri dari beberapa ฀ri. Õri adalah satuan kelompok
masyarakat yang hidup dalam suatu wilayah yang menganggap dirinya memiliki
persamaan nasib.Setiap óri terdiri dari beberapa kampung yang memiliki kesamaan
tata adat.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa karakteristik adat Gomo merupakan
terbesar di Pulau Nias karena memiliki kesamaan dengan 2/3 daerah di Pulau Nias53.

52

Sumber; Katalog BPS 1102001.1214030: Nias Selatan Dalam Angka 2015.
Dokumen Perpustakaan Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, Makalah tentang Penyelesaian
Sengketa Tanah Secara Adat Pada Masyarakat Adat Nias, Tahun 2005.
53

Universitas Sumatera Utara


33

Tata cara dan/atau sistem pembagian warisan dalam masyarakat adat Nias
Selatan baik Kecamatan Teluk Dalam dan Kecamatan Gomo dapat dilihat pada uraian
selanjutnya.
B. Hukum Waris Adat Pada Umumnya
1.

Pengertian Hukum Waris Adat
Hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat merupakan

salah satu sumber pembentukan hukum nasional, namun berlakunya hukum adat itu
bersifat lokal yaitu berlaku di dalam lingkup tertentu di mana peraturan adat itu ada.
Dengan kata lain aturan-aturan tersebut hidup dan berkembang dalam kehidupan
sehari-hari kelompok masyarakat pada suatu wilayah tertentu yang dijadikan sebagai
tata cara untuk melakukan interaksi sosial.
Adat yang umumnya dikenal sebagai suatu kebiasaan, justru telah menjadi
hukum yang mengatur kehidupan masyarakat social.Salah satu pengaturan dalam adat
yakni perihal waris, yang dikalangan sarjana hukum disebut sebagai hukum waris
adat.

Beberapa ahli telah memberikan pendapatnya tentang apa yang dimaksud
dengan hukum waris adat. Dibawah ini sebagian dari pendapat tersebut, antara lain:
1. Betrand Ter Haar dalam bukunya Beginselen en Stelsel van het Adatrecht,
menulis bahwa Hukum adat waris adalah proses penerusan dan peralihan
kekayaan materiil dan immaterial dari turunan ke turunan.54

54

Ter Haar. Beginselleen en Stelsel van het Adatrecht. Diterjemahkan oleh Soebakti
Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta, Pradnya Paramita.1953.

Universitas Sumatera Utara

34

2. Soepomo, menulis bahwa hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang
mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda
dan barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriele goederen) dari
suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.55
Dari kedua defenisi tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum
waris adat merupakan kumpulan aturan-aturan yang mengatur tentang bagaimana
penerusan dan pengoperan harta benda peninggalan atau harga warisan dari satu
generasi ke generasi lainnya baik berupa materi dan nonmateri.
Masyarakat Indonesia yang terdiri atas beragam suku bangsa memiliki adat
istiadat dan hukum adat yang beragam antara yang satu dengan yang lainnya berbeda
dan memiliki karakteristik tersendiri yang menjadikan hukum adat termasuk di
dalamnya hukum waris menjadi pluralistis pula.
Hukum Waris adat di Indonesia tidak lepas dari pengaruh susunan masyarakat
kekerabatannya yang berbeda. Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari
alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem
keturunannya dibedakan dalam tiga golongan antara lain corak yaitu:
a. Sistem patrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan bapak
dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan
anak wanita dalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru,
Seram, Nusa tenggara, Irian).

55

Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Ad at. Cetakan ke-13. Jakarta, Pradnya Paramita. 1993,

hal. 79.

Universitas Sumatera Utara

35

b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan ibu
dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan
anak wanita dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano, Timor).
c. Sistem Parental, yaitu sistem yang ditarik menurut garis kedua orangtua, atau
menurut garis dua sisi. Bapak dan ibu dimana kedudukan pria dan wanita
tidak dibedakan didalam pewarisan (Aceh, Riau, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi).56
Selain ketiga sistem kekerabatan adat yang dikenal secara umum di Indonesia,
tetapi berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh Zainuddin Ali57, bahwa masih
terdapat sistem kekerabatan lainnya yang dianut oleh suku bangsa Indonesia yakni
sistem kekerabatan alternerend yaitu sistem kekerabatan yang berdasarkan pertalian
keturunan melalui kebapakan dan keibuan yang menarik garis keturunan pihak ayah
dan ibu secara berganti-ganti, dan pergantian itu dilakukan apabila ayah atau ibu
memiliki kelebihan diantara keduannya. Sistem kekerabatan alternerend ini terdapat
di daerah Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah (masyarakat adat Kaili,
orang Pamona, orang Da’, dan orang Bare’e).
Dari uraian diatas, jelas bahwa berlakunya sistem hukum adat di Indonesia
tergantung kepada daerah masing-masing sesuai adat dan kebiasaan mereka. Hal ini
sejalan dengan pemikiran Soepomo yang mengatakan bahwa hukum adat merupakan

56
57

Hilman Hadikusuma, Op.cit , hal.23
Ali, Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,

hal.27.

Universitas Sumatera Utara

36

hukum yang melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hukum yang
berisi asas-asas hukum dalam lingkungan, dimana ia memutuskan perkara58.
2.

Asas-Asas Hukum Waris Adat
Tidaklah semua hak dan kewajiban dapat diwarisi.Dalam hukum waris

berlaku suatu asas bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam
lapangan hukum kekayaan harta benda saya yang dapat diwariskan.Artinya hanyalah
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.Karenanya, hak
dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan tidak dapat diwariskan, seperti
hak dan kewajiban sebagai seorang suami atau sebagai ayah serta hak dan kewajiban
sebagai anggota suatu perkumpulan. Tetapi terdapat pengecualian misalnya hak
seorang ayah untuk menyangkal sahnya anaknya dan dipihak lainadalah seorang anak
menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak sah dari ayah dan ibunya. Selain itu
terdapat juga hak dan kewajiban yang tidak dapat diwariskan dalam lapangan hukum
perjanjian, misalnya hak vruchtgebruik atau suatu perjanjian perburuhan di mana
seorang akan melakukan suatu pekerjaan dengan tenaganya sendiri.
Hukum waris dalam pandangan masyarakat adat, dapat ditemukan 5 (lima)
asas hukum kewarisan adat. Zainuddin Ali dalam bukunya Pelaksanaan Hukum
Waris di Indonesia59 menguraikan asas-asas hukum waris tersebut, sebagai berikut:
a. Asas Ketuhanan dan Pengendalian Diri, yaitu adanya kesadaran bagi para
waris bahwa rezeki berupa harta kekayaan manusia yang dapat dikuasai dan

58
59

Soepomo, Op.cit. hal. 30
Ali, Zainuddin. Op.cit. hal.8-9

Universitas Sumatera Utara

37

dimiliki merupakan karunia dan keridhaan Tuhan atas keberadaan harta
kekayaan.
b. Asas Kesamaan dan Kebersamaan Hak, yaitu setiap ahli waris mempunyai
kedudukan yang sama sebagai orang yang berhak untuk mewarisi harta
peninggalan pewarisnya, seimbang antara hak dan kewajiban tanggungjawab
bagi setiap ahli waris untuk memperoleh harta warisannya.
c. Asas Kerukunan dan Kekeluargaan, yaitu para ahli waris mempertahankan
untuk memlihara hubungan kekerabatan yang tenteram dan damai baik
menikmati dan memanfaatkan harta warisan tidak terbagi maupun dalam
menyelesaikan pembagian harta warisan terbagi.
d. Asas Musyawarah dan Mufakat, yaitu para ahli waris membagi harta
warisanny melalui musyawarah yang dipimpin oleh ahli waris yang dituakan
dan bila terjadi kesepakatan dalam pembagian warisan, kesepakatan itu
bersifat tulus, ikhlas yang dikemukakan dengan perkataan yang baik yang
keluar dari hati nurani pada setiap ahli waris.
e. Asas Keadilan, yaitu keadilan berdasarkan status, kedudukan dan jasa
sehingga setiap keluarga pewaris mendapatkan harta warisan, baik bagian
sebagai ahli waris maupun bagian sebagai bukan ahli waris, melainkan bagian
jaminan harta sebagai Anggota keluarga pewaris.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pembagian warisan atau harta
peninggalan atau harta warisan dalam proses pembagiannya tidak menimbulkan
silang sengketa diantara para ahli waris.

Universitas Sumatera Utara

38

Pewarisan umumnya dilakukan ketika orang tua atau pemilik harta benda
masih hidup dan tidak sedikit juga pembagian harta yang dilakukan setelah pewaris
meninggal dunia. Harta benda yang akan diteruskan kepada keturunan berikutnya
dapat digolongkan dalam 2 jenis yaitu harta yang tidak terbagi dan harta dapat dibagibagi. Kedua jenis harta tersebut akan menjadi harta peninggalan ketika pemilik harta
atau pewaris meninggal dunia. Harta peninggalan terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu harta
asal dan harta dalam perkawinan.
Harta asal adalah harta yang dimiliki oleh seseorang baik yang didapatkan
sebelum perkawinan maupun yang didapatkan dalam perkawinan sebagai pemberian
orang tua (khususnya pemberian Ibu kepada anaknya perempuan yang sudah menikah
dan tidak tergolong sebagai harta gono-gini). Sedangkan harta dalam perkawinan
adalah harta yang didapatkan setelah seseorang menikah. Harta perkawinan sering
juga disebut sebagai harta gono gini.
3.

Unsur-Unsur Waris pada Umumnya
Warisan adalah soal apakah dan bagaimana pelbagai hak dan kewajiban

kekayaan seseorang pada saat ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang
masih hidup60.
Hadikusuma61 menggaris bawahi hukum waris adat di Indonesia sangat
terpengaruh oleh sikap budaya bangsa Indonesia, seperti sistem kekeluargaan yang

60
61

Soepomo.Op. Cit. hal. 67
Hadikusuma. 2003.Op. Cit. hal. 9

Universitas Sumatera Utara

39

lebih mendahulukan rukun dan damai dari pada sifat-sifat kebendaan dan
mementingkan diri sendiri.
Hukum waris adat mempunyai corak dan sifat-sifat yang khas bangsa
Indonesia, sebagaimana yang dinyatakan oleh Hilman Hadikusuma62 bahwa hukum
waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat yang khas Indonesia, yang berbeda
dari hukum islam maupun hukum barat sebab perbedaannya terletak dari latar
belakang alam pikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan
masyarakat yang bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah
kehidupan bersama yang bersifat tolong-menolong guna mewujudkan dan kedamaian
di dalam hidup.
Dari beberapa pendapat di atas terdapat suatu kesamaan bahwa, hukum waris
adat yang mengatur penerusan dan pengoperan harta waris dari suatu generasi
keturunannya. Hal ini menunjukkan dalam hukum adat untuk terjadinya pewarisan
haruslah memenuhi 3 (tiga) unsur pokok, yaitu :
1. adanya Pewaris;
2. adanya Harta Waris;
3. adanya Ahli Waris;
Unsur-unsur pewarisan tersebut di atas, oleh Zainuddin Ali63 telah
menguraikan secara rinci dalam bukunya tentang pelaksanaan hukum waris di
Indonesia sebagai berikut:

62
63

Hadikusuma, 2003.Hukum Waris Adat. Bandung: Alumni. hal. 19
Ali Zainuddin. Op. Cit. hal. 2

Universitas Sumatera Utara

40

1. Pewaris
Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu
yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup, baik keluarga melalui
hubungan kekerabatan, perkawinan maupun keluarga melalui persekutuan hidup
dalam rumah tangga.Karenanya yang tergolong pewaris adalah orang tua,
saudara-saudara yang belum berkeluarga, suami dan/atau Isteri. Artinya bahwa
setelah seseorang meninggal dunia barulah ia disebut pewaris.
2. Ahli Waris
Ahli waris adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan atau harta
orang tua.Yakni suami/isteri yang hidup lebih lama, anak kandung, orang tua,
saudara, ahli waris pengganti. Selain itu dikenal juga ahli waris yang berstatus
sebagai anak angkat, anak tiri, dan anak luar kawin.
a. Anak, adalah ahli waris dari orang tua kandung. Status hukum anak dalam
keluarga sangatlah penting. Baik anak kandung, anak angkat, anak tiri atau
baik anak yang lahir dalam perkawinan yang sah ataupun anak yang lahir
diluar perkawinan yang sah.
b. Ayah dan/atau Ibu, adalah orang yang melahirkan seseorang atau beberapa
orang baik karena perkawinan yang sah, sehingga ia menjadi ahli waris dari
anaknya bila anaknya meninggal dunia.
c. Saudara, adalah orang yang se-ayah se-ibu (sekandung), se-ayah dan/atau seibu. Saudara menjadi ahli waris dari saudaranya yang meninggal dunia serta
meninggalkan harta warisan.

Universitas Sumatera Utara

41

d. Ahli waris pengganti adalah seseorang yang menggantikan kedudukan orang
tuanya menjadi ahli waris, karena lebih dulu meninggal. Sehingga
kedudukannya digantikan oleh turunannya.
e. Suami dan/atau Isteri, adalah orang yang mempunyai ikatan perkawinan yang
sah, yang kemudian salah seorang di antara keduanya meninggal, sehingga
yang hidup lebih lama disebut sebagai ahli waris.
1.

Harta Warisan
Harta warisan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang
yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Harta warisan terdiri atas64:
a. Harta bawaan atau harta asal adalah harta yang dimiliki seseorang
sebelum kawin dan harta itu akan kembali kepada keluarganya bila ia
meninggal tanpa anak.
b. Harta perkawinan, atau sering juga disebut harta bersama dalam
perkawinan yaitu harta yang diperoleh suami-isteri selama dalam
ikatan perkawinan. Harta ini juga sering disebut sebagai harta gono
gini.
c. Harta pusaka adalah harta warisan yang hanya diwariskan kepada ahli
waris tertentu karena sifatnya tidak terbagi, melainkan hanya dinikmati
atau dimanfaatkan secara bersama oleh semua ahli waris dan
keturunannya. Seperti harta pusaka tinggi di Minangkabau.
d. Harta menunggu adalah harta yang akan diterima oleh ahli waris,
tetapi karena satu-satunya ahli waris yang akan menerima harta itu
tidak diketahui dimana ia berada.

C. Hukum Waris pada Masyarakat Adat di Kabupaten Nias Selatan
1.

Pengertian dan Istilah
Membahas hukum adat Nias untuk saat ini, masih membutuhkan penelitian

mendalam, karena minim sumber yang digunakan. Selain itu sumber-sumber data

64

Ali Zainuddin, Ibid. hal, 3-4.

Universitas Sumatera Utara

42

dari informan sekarang ini, kebanyakan telah mengalami beberapa pergeseran dari
terdahulu. Artinya adat kebanyakan telah mengalami beberapa pergeseran dengan
berbagai alasan dan faktor. Salah satunya adalah sejak peristiwa terjadinya gempa
Tsunami Aceh dan Nias Desember 2006 yang disusul gempa dahsyat bulan Maret
2005, dimana orang-orang dari berbagai budaya dan adat bertemu di pulau nias dalam
rangka pemberian bantuan kemanusiaan. Benturan atau pertemuan beberapa budaya
tersebutlah dijadikan pedoman oleh masyarakat Nias yang merasa bahwa adat yang
sudah ada sebagiannya tidak membangun dan perlu ditinggalkan. Sehingga beberapa
dapat dikatakan bahwa adat Nias telah banyak mengalami inovasi-inovasi mulai
tahun 2005. Hal ini selaras dengan pendapat para ahli bahwa hukum adat akan
mengalami suatu proses pertumbuhan, berkembang, hilang (ditiadakan) serta
melahirkan bentuk-bentuk baru. Sebagai contoh beberapa budaya dan adat yang
mengalami hal di atas antara lain:
1) Dulu, setiap ada pesta baik pesta Owasa mapun pesta perkawinan
(fangowalu, mangai niha), budaya Tari Maena merupakan suatu
kewajiban kedua belah pihak. Pihak laki-laki disebut sebagai Tome
(Tamu)atau Sangai Niha (mengambil orang; Sangai artinya mengambil,
Niha artinya manusia, orang), sedangkan pihak pengantin perempuan
disebut Sowató. Tetapi sejak tahun akhir tahun 2005 masyarakat Nias
mulai mengurangi acara Tari/Maena dan menggantinya dengan nyanyiannyanyian yang dibantu dengan alat musik modern/keyboard. Walaupun

Universitas Sumatera Utara

43

saat ini masih terdapat satu dua acara perkawinan yang menghadirkan
tari/maena.
2) Dulu, masyarakat adat Nias tidak mengenal istilah isteri kesatu, kedua
dan seterusnya, tapi namanya hanya satu yakni Istri (Ndronga,
Ngambató). Seiring perkembangan beberapa pihak sudah mulai
membedakan antara isteri pertama dan isteri berikutnya (Ibu Tiri; ina
safuria) tetapi biasanya sebutan bagi laki-laki yang menikah beberapa
kali disebut sebagai Samake Rua.
3) Dulu, tidak membeda-bedakan istilah terhadap anak. Maksudnya antara
anak kandung dan anak angkat atau anak tiri. Istilah yang digunakan
hanya satu yakni Anak (Ono), dimana hak dan kewajiban seorang Ono,
memiliki hak dan kewajiban sebagai seorang anak terhadap orang tuanya.
Hukum Adat dalam bahasa Nias dikenal dengan istilah huku hada (huku
artinya hukum, hada artinya Adat).
Tetapi dalam buku Johannes Hammerle65 dalam bukunya Famató Harimao,
mengatakan bahwa Hukum dalam masyarakat adat Nias ditetapkan dan diatur
dalam Fondrakó. Akan tetapi dalam buku beliau tersebut tidak membahas
tentang hukum waris adat. Buku tersebut hanya fokus pada hukum-hukum zaman
dulu dalam masyarakat adat Nias, terutama menyangkut sumpah yang apabila
dilanggar, saat itu juga akibat pelanggaran hukum itu dapat dilihat buktinya,
misalnya muntah darah dan sering juga pelanggar langsung meninggal. Serta
membahas tentang hukum bagi pelaku tindak kejahatan misalnya
ditenggelamkan di sungai (di daerah Telukdalam), sementara kalau di Daerah
Gomo, hukuman bagi pelaku tindak kejahatan adalah hukuman mati dengan cara
lehernya di potong (la taba mbagi).

65

P. Johannes Maria Harmmerle, Op.Cit, hal. 186.

Universitas Sumatera Utara

44

Dari uraian diatas dalam penelitian ini, lebih cenderung menggunakan istilah
Huku Hada (karena berlaku secara umum, termasuk masalah perkawinan dan harta
warisan) dari pada menggunakan istilah fondrakó (karena terbatas pada aturan tindak
kejahatan).
Sedangkan untuk istilah pembagian warisan, cenderung menggunakan istilah
Fombagi Harato Zatua atau Fombagi Okhóta Zatua. Karena harta warisan dalam
Bahasa Nias diartikan sebagai Okh฀ta Zatua, Harato Zatua.
Beberapa istilah lain terkait hukum waris secara adat untuk menggambarkan
waris dalam adat Nias (zaman sekarang) antara lain:
a. Suami dan Istri :

Ndronga, Ngambató, Fo’omo
(Kecamatan Gomo cenderung menggunakan istilah
Ndronga dan Fo’omo).

b. Anak

:

Ono. Ono terdiri atas:
Ono Simatua dan Ono Sialawe (Kecamatan Teluk
Dalam), sedang di Kecamatan Gomo: Ono Matua dan
Ono Alawe.

c. Harta

:

Harato, Okhóta

d. Warisan

:

Ondróita

e. Pewaris

:

Sokhó Harato, Sokhó Okhóta
(pewaris adalah suami/isteri; orang tua).

f. Ahli Waris

:

Sanema Harato, Sanema Ondróita
(sanema artinya penerima). Sanema adalah mereka yang
berhak sebagai penerima yakni Ono.

g. Pewarisan

:

Famagi Ondróita, Famagi Harato, Famagi Okhóta

Universitas Sumatera Utara

45

Secara umum penyebutan harta warisan atau harta peninggalan adalah harato
zatua, okhóta zatua (kata benda), sementara Ondróita Zatua digunakan sebagai kata
sifat.
2.

Unsur-Unsur Pewarisan pada Masyarakat Adat di Kecamatan Telukdalam
dan Kecamatan Gomo Kabupaten Nias Selatan.
Berdasarkan unsur-unsur waris adat pada umumnya yakni pewaris, ahli waris

dan harta warisan, maka dalam masyarakat adat Nias terdapat unsur-unsur dalam
pewarisan antara lain:
1) Pewaris atau pemilik harta warisan atau pemilik harta peninggalan (Nias:
Sokhó Harato, Sokhó Okhóta) yang dalam masyarakat adat Nias dikenal
sebagai orang yang telah menikah yakni Suami/Isteri (orang yang sudah
menikah disebut sebagai orang tua: satua). Apabila suami/isteri tersebut
tidak memiliki anak maka dapat mengambil atau mengangkat anak, yang
biasanya diambil dari anak famili atau anak saudara (tanpa surat
perjanjian). Dan anak yang diangkat tersebut berhak dan berkewajiban
sepenuhnya

kepada

orang

tua

yang

mengambilnya

atau

yang

mengangkatnya sebagai anak, demikian juga sebaliknya.
2) Ahli Waris. Adalah anak-anak dari pewaris. Dalam adat Nias dikenal
sebagai orang yang berhak untuk meneruskan keturunan dari orang tuanya.
Garis keturunan ini dapat dilihat dari silsilah marga (mado).
3) Harta Warisan. Adalah harta yang dimiliki oleh seseorang pewaris yang
akan diteruskan atau dibagi-bagikan kepada ahli warisnya.

Universitas Sumatera Utara

46

Di Kecamatan Telukdalam perempuan yang akan melangsungkan perkawinan
dikenal dengan sebutan “Mowató” sedangkan untuk laki-laki dengan sebutan
“Faóli”66.
Berikut adalah tabel persentasi terkait dengan orang paling berkuasa terkait
dengan harta benda dalam keluarga. Jumlah responden sebanyak 20 orang dengan
usia responden antara 20 tahun sampai 60 tahun.
Tabel 1.
Yang Menjadi
Ahli Waris pada Masyarakat Adat Kecamatan Telukdalam
n

Pertanyaan

Volume

Frekuensi

Suami adalah sebagai kepala keluarga
Suami adalah pemilik atau berkuasa atas
harta dalam keluarga
Suami atau anak laki-laki adalah penerus
keturunan dalam keluarga
Suami atau anak laki-laki paling berhak
atas harta warisan orang tua

20

100%

18

90%

20

100%

13

65%

Anak laki-laki yang pertama
mendapatkan bagian warisan lebih
banyak daripada anak laki-laki lainnya

15

75%

Isteri memiliki hak sebagai pewaris?

8

40%

Isteri berhak menjadi ahli waris?

13

65%

Saudara perempuan atau anak
perempuan berhak atas warisan orang
tua

13

65%

9.

Kalau anak laki-laki lahir di rayakan
dengan pesta besar

18

90%

10.

Kalau anak laki-laki berhak bersekolah
sedangkan anak perempuan tidak

12

60%

No
1.
2.
3.
4.

5.

6.
7.

8.

Ket.

Sumber : data olahan peneliti 2016

66

Wawancara dengan Ketua Lembaga Adat Nias Selatan dan Si Ulu dari Desa
Bawolowalangi dan Si Ila dari Desa Hilitobara pada tanggal 1 Juni 2016, pukul 20.00 Wib

Universitas Sumatera Utara

47

Dari tabel 1. di atas dapat dilihat bahwa laki-laki memiliki kelebihan tersendiri
dari pada perempuan. Sebagai contoh pada nomor 6 tentang Isteri apabila suaminya
meninggal dunia hanya dibenarkan oleh 8 orang dari 20 orang sampel, atau hanya
dibenarkan dan didukung oleh 40% saja. Hal ini menunjukkan bahwa seorang Isteri
tidak dapat dikatakan sebagai seorang pewaris. Artinya pewaris hanya melekat pada
diri seorang suami (laki-laki), tetapi seorang Isteri berhak menjadi ahli waris
dibenarkan oleh 13 orang dari 20 orang responden, atau setara dengan 65%.
Sejalan dengan hasil kuisioner di atas, berdasarkan keterangan Ketua
Lembaga Adat Nias Selatan dengan menunjukkan catatan hasil pembahasan dalam
rapat Lembaga Adat Nias Selatan, bahwa ahli waris yang berhak mendapat bagian
warisan dalam struktur masyarakat adat di Teluk Dalam terdiri dari:67
a) Isteri.
Istri yang dimaksudkan adalah isteri kedua apabila isteri pertama telah
meninggal dunia.Bagian warisan tersebut dikenal dengan sebutan tana we
zekhula yang bagiannya terdiri dari nukha (kain atau pakaian), dan ana’a
(emas).Tetapi kepada isteri tidak dapat disebut sebagai pewaris setelah
suaminya meninggal dunia. Apabila seorang suami meninggal dunia, maka
diharapkan agar segera dilakukan pembagian warisan agar mendapat titik
terang tentang siapa mendapatkan apa dari bagian harta. Sementara ibu akan
diberikan hak untuk dirawat oleh salah satu anak-anaknya.
b) Anak.
67

Wawancara dengan Ketua Lembaga Adat Nias Selatan Pada tanggal 2 Juni 2016

Universitas Sumatera Utara

48

Yang dimaksud adalah anak kandung dari Isteri pertama. Sementara anak
kandung dari isteri kedua mendapat bagian warisan dari harta perkawinan
yang didapat oleh Ayah dan Isteri keduanya termasuk harta yang berasal dari
pembagian harta setelah isteri pertama meninggal dunia. Harta yang didapat
oleh Ayah dan Ibu untuk perkawinan kedua, tidak lagi di berikan kepada anak
dari isteri pertama.
Keterangan Ketua Lembaga Adat Nias Selatan, Si Ulu dari Botohili Tan฀
Kecamatan Telukdalam menjelaskan bahwa, selain ahli waris isteri dan anak
masih terdapat satu kelompok ahli waris lagi yakni saudara kandung dari
suami dan saudara kandung dari isteri. Hal ini terjadi apabila pewaris (suamiisteri) sama sekali tidak memiliki anak dan tidak mau mengadopsi atau
mengangkat anak. Tetapi setelah hal ini dikonfirmasi kembali kepada Ketua
Lembaga Adat Nias Selatan (yang nota bene berasal dari Desa Adat
Bawomataluo Kecamatan Fanayama) menjelaskan bahwa dari cerita para
orang tua di masa dahulu:68
a) Apabila seseorang pewaris (suami-isteri yang sudah menikah) kemudian
tidak punya anak sebagai orang yang melanjutkan keturunannya (ahli
waris) maka seluruh harta peninggalannya secara otomatis menjadi hak Si
Ulu; dan
b) Adat ini semakin hari semakin mengalami pergeseran disebabkan
masyarakat Nias sudah beragama, dan percaya bahwa tidak diperbolehkan
mengambil hak orang lain hanya karena memiliki kekuasaan, karena itu
dosa.

68

Wawancara dengan I. D. (Si Ulu), tanggal 2 Juni 2016 pukul 09.00 Wib.Menjelaskan
bahwa hal ini pernah terjadi pada masa ayahnya (Si Ulu saat itu), dan ayahnya sendirilah yang
melaksanakan pembagian warisan tersebut yakni setengah untuk keluarga suami dan setengahnya lagi
untuk keluarga perempuan. Harta yang dibagi setelah dikurangi bagian Si Ulu dan Si Ila Mbanua.

Universitas Sumatera Utara

49

c) Ahli waris kelompok ini, menginginkan seluruh hal-hal yang berkaitan
dengan adat, harus dibukukan bila perlu dibuatkan peraturan daerah di
DPRD sebagai pedoman ke depan kepada anak cucu kita.
Pernyataan Ketua Lembaga Adat Nias Selatan tersebut mengisyaratkan dan
menyetujui bahwa terhadap pewaris yang tidak memiliki memiliki keturunan (anak)
maka seluruh harta warisannya dibagi dua, antara saudara kandung suami dan saudara
kandung perempuan. Hal ini terjadi sebagai akibat pengaruh agama yang melarang
mengambil hak seseorang untuk dikuasai, apalagi yang bertujuan untuk memiliki.
Dalam hal bagian warisan pada masyarakat adat di Kecamatan Gomo, mutlak
merupakan hak dan kewajiban ahli waris anak laki-laki sebagai penerus keturunan
sedangkan anak perempuan tidak mendapatkan apa-apa, karena dianggap, ia-nya
telah keluar dari kekerabatan keluarga dan mendapatkan harta dari kekerabatan
suaminya69. Tetapi sejak terjadinya peristiwa gempa Tahun 2005, melalui para
pendatang dengan misi kemanusiaan untuk korban Gempa dan Tsunami, serta
semakin banyaknya generasi muda yang telah melanjutkan studi ke daerah sumatera
dan jawa, sedikit demi sedikit terjadi pergeseran perlakuan diskriminasi terhadap
anak perempuan, walaupun masih terbatas pada keluarga-keluarga yang telah
berpendidikan tinggi.70 Seseorang pewaris hanya melekat pada diri seorang laki-laki
(suami). Seorang laki-laki yang menikah disebut dengan istilah “mangowalu, faóli”71.

69

Wawancara dengan F. Z. (Tokoh Adat) pada tanggal 5 Juni 2016 pukul 16.00 Wib
Wawancara dengan Y. H. (Ketua Lembaga Adat Nias Selatan Kecamatan Gomo), tanggal 5
Juni 2016, pukul 19.00 Wib
71
Wawancara dengan Ketua Lembaga Adat Nias Selatan dan Si Ulu dari Desa Bawolowalangi
dan Si Ila dari Desa Hilitobara pada tanggal 1 Juni 2016, pukul 20.00 Wib
70

Universitas Sumatera Utara

50

Artinya masyarakat Gomo, tidak membedakan istilah Sebutan antara laki-laki dan
perempuan yang menikah seperti di daerah adat Telukdalam.
Berikut adalah tabel persentasi terkait dengan orang paling berkuasa terkait
dengan harta benda dalam keluarga. Jumlah responden sebanyak 20 orang dengan
usia responden antara 20 tahun sampai 60 tahun.
Tabel .2.
Yang Menjadi Ahli Waris
Pada Masyarakat Adat Kecamatan Gomo
n
No
1.
2.
3.
4.

5.

Pertanyaan
Suami adalah sebagai kepala
keluarga
Suami adalah pemilik atau berkuasa
atas harta dalam keluarga
Suami atau anak laki-laki adalah
penerus keturunan dalam keluarga
Suami atau anak laki-laki paling
berhak atas harta warisan orang tua
Anak laki-laki yang pertama
mendapatkan bagian warisan lebih
banyak daripada anak laki-laki
lainnya

Volume

Frekuensi

20

100%

20

100%

20

100%

20

100%

20

100%

6.

Isteri memiliki hak sebagai pewaris

0

0%

7.

Isteri berhak menjadi ahli waris

3

15%

Saudara perempuan atau anak
perempuan berhak atas warisan
orang tua

0

0%

Kalau anak laki-laki lahir di rayakan
dengan pesta besar

20

100%

Kalau anak laki-laki berhak
bersekolah sedangkan anak
perempuan tidak

18

90%

8.

9.

10.

Ket.

Sumber : data olahan peneliti 2016

Universitas Sumatera Utara

51

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa laki-laki memiliki hak mutlak terkait
dengan waris. Sebagai contoh pada nomor 6 tentang Isteri apabila suaminya
meninggal dunia satupun responden dari 20 orang sampel tidak membenarkan
seorang ibu menjadi disebut sebagai pewaris, sementara pada kolom nomor 7 tentang
ibu/isteri menjadi ahli waris hanya dibenarkan oleh 3 responden atau setara dengan
15%. Hal ini menunjukkan bahwa seorang Ibu/Isteri tidak dapat dikatakan sebagai
sorang pewaris.Artinya pewaris hanya melekat pada diri seorang ayah/suami (lakilaki), serta seorang isteri tidak dapat menjadi ahli waris dari suaminya, artinya apabila
suaminya meninggal maka semua harta menjadi kewenangan anak laki-laki.
Demikian halnya dengan anak perempuan pada kolom 8, bahwa anak perempuan
tidak berhak mendapatkan bagian warisan dari harta orang tua.
Sejalan dengan data penelitian diatas, Ketua Lembaga Adat Nias Selatan72
membenarkan bahwa di daerah si fa kandró (sebutan orang teluk dalam kepada orang
Kecamatan aramó yang adatnya sama dengan kecamatan gomo), masih memegang
teguh hukum adat zaman dulu yang mengasumsikan bahwa anak perempuan tidak
terhitung mendapat bagian dari warisan keluarga kerabatnya, karena perempuan
keluar dari keluarga kerabatnya dan mengikuti keluarga kerabat suaminya. Hal ini,
dapat dilihat bahwa seorang perempuan yang telah menikah, maka anak-anaknya
tetap mengikuti marga suaminya, dan tidak pernah marganya si perempuan
disebutkan. Sehingga dalam adat kita Nias, bagi laki-laki dan perempuan yang telah

72

Wawancara dengan Bapak F. N Ketua Lembaga Adat Nias Selatan pada tanggal 1 Juni
2016, pukul 20.00 Wib

Universitas Sumatera Utara

52

menikah tidak lagi dipanggil nama kecilnya semasih lajang, tetapi memakai nama
alias, seperti Ama Gasane (suami/laki-laki) dan Ina Gasane (untuk istri/perempuan)
dan marga yang digunakan adalah marga suami/laki-laki.
Pernyataan tersebut di atas, diperkuat juga oleh pernyataan Ketua Lembaga
Adat Nias Kecamatan Gomo, bahwa di wilayah Gomo, khususnya masalah warisan
hanya diterima oleh anak laki-laki, dan anak perempuan tidak berhak atas warisan
orang tua (pewaris), kecuali yang pemberian setelah disetujui oleh seluruh ahli waris,
apabila satu orang saja ahli waris tidak menyetujui pemberian warisan kepada anak
perempuan maka keputusannya tetap tidak diberikan. Demikian juga pernyataan
Bapak F.Z, membenarkan pernyataan Bapak Y.H (Ketua Lembaga Adat Nias Selatan
Kecamatan Gomo), tetapi “itu zaman dahulu”, sejak 10 tahun terakhir sudah ada
keluarga yang memberikan sebagian warisan kepada anak perempuan, dengan tujuan
sebagai bekal hidup dengan suami (bagi perempuan yang melangsungkan
perkawinan, mengingat jujuran yang begitu tinggi, maka bisa saja suami perempuan
tidak ada persiapan lagi). Pemberian kepada anak perempuan ini disebut sebagai nóna
mbola (sebutan untuk perempuan yang menikah), sedangkan pemberian warisan
untuk anak perempuan yang masih perawan disebut sebagai nóna zi lóna (jika di
Indonesiakan, persiapan bagi yang belum ada) atau nóna zi so (artinya kurang lebih
bahwa sekalipun ada dapat hidup, tapi tetap lebih baik jika ada persediaan awal). 73
Masyarakat adat Gomo, dalam kekerabatannya tidak membedakan antara
isteri pertama dan isteri kedua (suami yang menikah untuk kedua kalinya dan isteri
73

Wawancara pada tanggal 5 Juni 2016, pukul 16.00 Wib

Universitas Sumatera Utara

53

kedua disebut dengan samake rua), demikian juga terhadap anak, tidak membedakan
antara anak pertama dan anak tiri. Untuk melihat lebih jelasnya, dapat dibaca dari
penuturan dan penjelasan Bapak F. Z salah satu Tokoh Adat dan yang di-Tua-kan
oleh masyarakat Gomo, sebagai berikut:
a.

Pada dasarnya dalam adat Gomo tidak mengenal pembagian warisan
sebelum pewaris meninggal dunia, karena dianggap sebagai “aib”. Tetapi
hal ini mengalami pergeseran karena orang-orang menganggap bahwa
apabila pembagian warisan dilakukan setelah pewaris meninggal dunia,
maka ahli waris akan saling berebut harta warisan, sudah banyak contoh
yang terjadi di wilayah gomo yang di lihat dan di dengar oleh Bapak F. Z.
Bahkan Bapak F. Z. sendiri mengalami hal demikian, dimana Kakek
beliau bernama S.W. dan nenek meninggal sebelum pembagian warisan
diantaranya, Rumah Adat, Emas (emas, tidak membedakan jenis emas
seperti di Teluk dalam) dan Tanah (tanah sawah maupun tanah kering),
termasuk seluruh barang-barang berharga lainnya yang masuk kategori
dibagi kepada masing-masing ahli waris (seperti piring cap naga, piring
cap ikan, piring cap bunga, mangkok emas, baju kebesaran raja, pedang
yang sebagiannya dari emas, tongkat kebesaran yang sebagiannya dari
emas).
Akhirnya, diantara ayah beliau dan sepupunya terjadi perkelahian dan
diantaranya yang kuat adalah ayah beliau, akhirnya karena kebaikannya
kepada saudara-saudaranya, ia membagi harta tersebut, terutama tanah.

Universitas Sumatera Utara

54

Sementara yang lain-lain menjadi kekuasaannya dan milikinya karena
ayah beliau didaulat sebagai raja (Razo, Balugu) di daerah wilayah óri
Ulu Mola. Demikian juga ayahnya, tidak pernah menjelaskan kepada
anak-anaknya batas-batas tanah yang dimiliki sehingga menimbulkan
perdebatan panjang diantara mereka dengan anak-anak dari saudara
ayahnya, yang terakhir terjadi antara anaknya yang dibunuh oleh anak
saudara kandungnya pada Tahun 2015, sebagai akibat perdebatan
kepemilikan tanah. Perdebatan dan saling klaim ini terjadi sebagai akibat
tidak dibaginya harta pada saat orang tua masih hidup. Pengalaman
seperti inilah yang menjadi alasan terjadinya pergeseran tata adat di gomo
dalam hal pembagian warisan sekarang ini cenderung dilakukan pada saat
orang tua atau pewaris atau pemilik harta masih hidup.
b.

Apabila dalam sebuah keluarga, ayah dan ibu masih hidup (pewaris)
mutlak hak kebendaan masih atas nama pewaris, tapi terkadang sekarang
ini, ada beberapa keluarga ketika anaknya laki-laki telah menikah dan
mau memisahkan diri dari orang tua, maka orang tua (pewaris) akan
memberikan bagian warisan kepadanya untuk bekal hidup. Pemberian ini,
tidak dapat ganggu gugat oleh saudara kandungnya laki-laki. Sekalipun
pada saat pembagian warisan bisa saja bagian yang pernah diterima
tersebut tidak terhitung lagi sebagai bagian dari pembagian warisan yang
dilaksanakan.

Universitas Sumatera Utara

55

c.

Ada juga keluarga (jaman sekarang), yang meminta warisan dibagi adalah
anak-anaknya. Hal ini disebabkan oleh salah satu anggota keluarga yang
merupakan ahli waris, oleh saudara kandungnya dirasa akan merebut
seluruh harta orang tua, ada juga yang memberi alasan karena saudara
mereka sering mabuk-mabukan dan memarahi orang tua karena tidak
diberikan uang. Dari pada harta habis di jual untuk memenuhi salah satu
keinginan ahli waris, lebih baik dilakukan pembagian warisan dan
menetapkan bagian masing-masing ahli waris.

d.

Dalam hal pembagian warisan, sangatlah tegas bahwa hanya anak-laki
yang berhak atas warisan atau peninggalan orang tua/pewaris. Sementara
sekarang ini, ada juga yang memberikan bagian anak perempuan tetapi
dengan kesepakatan dan persetujuan seluruh ahli waris laki-laki.

e.

Beberapa jenis harta yang dalam masyarakat adat Gomo, yakni Rumah
(omo zatua), Tanah (tanah sawah atau laza, dan tanah kering/kebun atau
tanó ba hili), Emas (emas batangan atau ana’a ni ndradra, terdiri dari
emas batangan dan emas mahkota/berbentuk topi atau tekula ana’a dan
emas biasa atau ana’a, yang biasa dipakai sehari-hari baik oleh ayah
maupun ibu).74
Uraian diatas menunjukkan bahwa sangatlah penting melakukan pembagian
warisan semasa pewaris masih hidup agar tidak menimbulkan saling klaim bagian
74
Masyarakat adat di Kecamaan Gomo menyebutnya sebagai tekula ana’a (hanya dipakai
oleh perempuan) sedangkandi daerah Teluk dalam disebut sebagai rai (untuk perempuan) dan rane
(untuk laki-laki).Tekula ana’a berbentuk mahkota pada kerajaan yang dipenuhi berbagai manik-manik
yang kesemuanya terdiri dari emas murni.Zaman dahulu tekula ana’a hanya dipakai oleh perempuan
menikah dari keturunan Balugu dan Tuhen฀ri. Sejak penghapusan penggunaan istilah Balugu (raja)
atau Tuhen฀ri (Kaisar) di daerah Gomo, sejak awal tahun 1970-an sampai pertengahan tahun 90-an,
tekula ana’a dapat dipakai oleh perempuan yang menikah, yang dipinjam dari perempuan keturunan
raja. Awal tahun 2000-an, tekula ana’a sudah jarang kelihatan karena orang gomo mulai sadar bahwa
lebih baik tidak memiliki apa-apa dari pada kelihatan kaya tetapi bukan miliknya.Tekula ana’a terbuat
dari emas murni yang beratnya mencapai 5 kg.

Universitas Sumatera Utara

56

masing-masing oleh ahli waris. Tata cara pembagian warisan di Kecamatan Gomo
dapat dilihat pada uraian selanjutnya.
3.

Kedudukan Anak dalam Masyarakat Adat di Kecamatan Telukdalam dan
Kecamatan Gomo Kabupaten Nias Selatan.
Masyarakat adat Nias (umumnya) dan Kabupaten Nias Selatan khususnya

masih sangat memegang keberadaan anak laki-laki dan anak perempuan.
Sebagai penganut patrilineal, kelahiran anak laki-laki biasanya dilakukan
syukuran besar-besaran sementara ketika anak perempuan yang lahir terkesan
biasa-biasa saja, karena anak laki-laki sudah pasti sebagai penerus marga,
penerus keturunan sementara anak perempuan akan keluar dari keluarga
kerabatnya dan akan mengikuti keturunan atau marga dari suaminya. 75
Bukan rahasia umum bahwa masalah ketidaksetaraan antara laki-laki dan
perempuan masih terasa sangat kuat dalam masyarakat adat di Indonesia. Dan sebagai
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, masyarakat adat Nias tidaklah luput
dari masalah ketidaksetaraan. Berbagai usaha penyadaran telah dilakukan terutama
sejak sepuluh tahun terakhir hingga saat ini.
Bambowo Laiya menuliskan bahwa masyarakat Nias menganut sistem
kekerabatan patrilineal, patokan garis keturunan mengafiliasikan seseorang kepada
satu kelompok keluarga yang berhubungan dengan melalui laki-laki76. Tulisan
tersebut menegaskan bahwa laki-laki merupakan pemegang hak meneruskan segalasesuatu yang terkait dengan hak dan kewenangan orang tua, baik dalam pengambilan
keputusan dalam keluarga, meneruskan keturunan, maupun yang berhubungan
75

Rio F. Girsang, 2014, Nias Dalam Perspektif Gender, Caritas Keuskupan Sibolga,
Gunungsitoli-Nias, hal. 8
76
Bambowo Laiya, 1979, Solidaritas Kekeluargaan Dalam Salah Satu Masyarakat Desa Di
Nias Indonesia, Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Yogyakarta, hal. 96

Universitas Sumatera Utara

57

dengan pembagian warisan, paling berhak dan menentukan adalah laki-laki.
Sekalipun demikian, khususnya yang bertalian dengan warisan, untuk sebagian
daerah tertentu dalam masyarakat adat di Nias Selatan masih memberikan
memberikan peluang kepada pihak perempuan untuk mendapat bagian dari warisan
orang tua, dan itu hanya bersifat pemberian atau masi-masi zatua.
Dalam buku yang disusun oleh Rio F. Girsang yang bekerjasama dengan
Caritas Keuskupan Sibolga dan Caritas Italiana Organismo Pastorale Della CEI,
dalam acara pelatihan pemahaman dan penyadaran gender untuk siswa-siswi
beberapa sekolah di kepulauan Nias tahun 2013,77 meminta peserta menuliskan cerita
tentang ketidakadilan gender yang dialami, dilihat atau didengar. Dari 271 (dua ratus
tujuh puluh satu) orang peserta (peserta perempuan 211 orang dan laki-laki 60 orang),
terdapat 147 (seratus empat puluh tujuh) atau 54,2% orang menuliskan berbagai
ketimpangan dan/atau diskriminasi gender. Hasil 54,2% tersebut sebagian
diantaranya (45,8%) menuliskan cerita yang tidak berhubungan dengan diskriminasi
gender. Mereka menuliskan hal lain, seperti kesulitan dalam mengurus berbagai
administrasi yang dibutuhkan. Menurut penulis, hasil 54,2% tersebut, “mungkin”
akan bertambah jika dilakukan penelitian langsung kepada para perempuan yang
usianya rata-rata diatas 40 tahun. Namun, berikut pemaparan atau ringkasan hasil
yang digambarkan oleh Rio F. Girsang78:
1) Bahwa hanya laki-laki yang bisa memimpin;
2) Perempuan bersekolah=perempuan tidak beres;
77

78

Rio F. Girsang, Op.cit, hal. 13
Rio F. Girsang, Ibid, Hal 21-38

Universitas Sumatera Utara

58

3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)

Keberhasilan perempuan kurang dihargai;
Pesta besar untuk kelahiran anak laki-laki;
Kesempatan ketua OSIS untuk laki-laki;
Perempuan dilarang marah pada Laki-laki;
Perempuan hanya pekerja dapur;
Pelecehan seksual;
Waris tidak untuk perempuan.
Uraian diatas merupakan gambaran permasalahan-permasalahan gender yang

yang terjadi dalam masyarakat Nias umumnya dan Nias Selatan khususnya.
Perempuan dan laki-laki sama-sama ciptaan Tuhan, namun oleh masyarakat
menciptakan perbedaan yang sebenarnya tidak menjadi persoalan apabila memiliki
hak dan kewajiban yang sama. Namun dalam tataran praktis, terlebih dalam
masyarakat yang menganut budaya patriarkhi gender menjadi masalah karena
ketidakadilan79, antara lain:
1) Perempuan cenderung dirugikan, misalnya minimnya kesempatan bagi anak
perempuan untuk bersekolah;
2) Perempuan cenderung dibedakan derajatnya, misalnya dalam hal warisan;
3) Perempuan cenderung dianggap tidak cakap dibanding laki-laki, misalnya
hanya laki-laki yang berhak menjadi kepala desa,
4) Perempuan cenderung diperlakukan lebih rendah, misalnya dalam keluarga
dengan kondisi apapun laki-laki itu harus dihormati, sementara perempuan
mendapat posisi sebaliknya.
Gambaran kondisi tempat penelitian sebagaimana diuraikan di atas,
menunjukkan bahwa status anak laki-laki dan perempuan dalam tataran praktis
sangatlah berbeda. Demikian juga halnya dalam bagian warisan.Sehingga, sepuluh
tahun terakhir banyak gerakan pencerahan, penyuluhan, himbauan agar diskriminasi
terhadap gender khususnya di Pulau Nias dapat diminimalisir.

79

Rio F. Girsang, Ibid, Hal 7

Universitas Sumatera Utara

59

D. Tata Cara Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Adat Nias di
Telukdalam dan Kecamatan Gomo Kabupaten Nias Selatan.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa sampai sekarang pada masyarakat
adat Nias berlaku sistem keturunan dari pihak bapak (Patrilineal) yaitu
didasarkan atas pertalian darah menurut garis bapak. Sehingga hanyalah anak
laki-laki yang menjadi ahli waris, karena anak perempuan dianggap telah keluar
dari kerabat bapaknya, jika ia telah kawin.80
Pada masyarakat adat Nias, apabila seseorang anak perempuan telah menikah
maka dianggap telah keluar dari kekerabatan orang tuanya dan masuk pada
kekerabatan suaminya. Oleh karena itu dapatlah dimengerti bahwa yang meneruskan
garis keturunan dalam masyarakat Adat Nias adalah anak laki-laki saja, sedangkan
anak perempuan apabila ia telah kawin maka kekerabatannya akan beralih kepada
kerabat suaminya. Garis keturunan dalam masyarakat Nias ditarik berdasarkan marga
(dalam bahasa Nias disebut Mado) yang mengakibatkan timbulnya hubungan
kekeluargaan yang hidup dalam masyarakat. Misalnya mado Laoli, maka secara terus
menerus dalam keluarga yang memiliki mado Laoli hanya dapat diteruskan dan
diwariskan oleh anak laki-laki, sedangkan anak perempuan ketika menikah (Nias:
mongambató, mangowalu, mói nihaló), secara otomatis mado Laoli yang lengket
pada namanya tidak digunakan lagi. Terhapusnya marga anak perempuan ketika
sudah menikah terlihat dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat adat Nias menggunakan
nama alias.81 Salah satu contoh dipaparkan oleh F.Nehe.yaitu pernikahan antara
marga Laoli dan marga Zebua, seorang perempuan bernama Adinda Laoli, menikah
dengan laki-laki yang bernama Laoli MP. Awal berkeluarga saja mereka berdua akan
dipanggil Ama Ndraono yang memiliki arti orang tua dari anak (penggunaan Ama

80
81

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001, hal.240.
F. N. (Ketua Lembaga Adat Nias Selatan) wawancara pada tanggal 02 Juni 2016.

Universitas Sumatera Utara

60

Ndraono karena mereka masih belum punya anak). Istilah nama alias Ama Ndraono
digunakan secara umum karena laki-laki dan perempuan yang telah menikah tidak
boleh lagi dipan