Famadaya Harimao dalam kehidupan masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias.

(1)

FAMADAYA HARIMAO

DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MAENAMÖLÖ

KABUPATEN NIAS SELATAN KEPULAUAN NIAS

(KAJIAN SEJARAH SENI)

TESIS

OLEH,

ANTONIUS HARITA

NIM. 117037008

PROGRAM STUDI

MAGISTER (S.2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PESETUJUAN

Judul Tesis : FAMADAYA HARIMAO DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MAENAMÖLÖ KABUPATEN NIAS SELATAN KEPULAUAN NIAS (KAJIAN SEJARAH SENI)

Nama : ANTONIUS HARITA

Nomor Pokok : 117037008

Program Studi : Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara Tanggal Lulus :

Menyetujui Komisi Pembimbing,

Pembimbing I, Permbimbing II,

Dr. Budi Agustono, M.S. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si

NIP. 196008051987031001 NIP. 196003251986012001

Program Studi:

Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya

Ketua, Dekan,

Drs. Irwansyah, M.A. Dr. Syahron Lubis, M.A.


(3)

PANITIA PENGUJI

Ketua : Drs. Irwansyah, M.A. ( )

NIP. 196212211997031001

Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu, M.Hum ( )

NIP. 196212211997031001

Komisi Pembimbing I : Dr. Budi Agustono, M.S ( )

NIP. 196008051987031001

Komisi Pembimbing II : Dr. Asmyta Surbakti, M.Si ( )

NIP. 196003251986012001

Penguji : Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si ( )


(4)

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ANTONIUS HARITA

NIM : 117037008

Program Studi : Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul Famada Harimao Dalam Kehidupan Masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias adalah hasil karya penulis sebagai salah satu ketentuan guna untuk meraih gelar Magister Seni pada Program Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Bilamana dikemudian hari ternyata ditemukan bahwa tesis ini bukanlah hasil karya penulis atau plagiat, maka penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar sesuai dengan norma, kaidah dan kepatutan akademik serta peraturan perundang-undangan yang berlaku di wilayah NKRI.

Medan, 23 Juli 2014 Penulis,

Materai 6000

ANTONIUS HARITA NIM. 117037008


(5)

ABSTRAK

Salah satu seni budaya tradisional yang paling unik dan nyaris tidak terdokumentasi sebagai bagian yang utuh dalam sejarah adalah “Famadaya

Harimao dalam kehidupan masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan

Kepulauan Nias.”

Famadaya Harimao merupakan seni pertunjukan yang berfungsi sebagai

sarana upacara adat istiadat dan ritual keagamaan dalam kehidupan masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias pada masa lalu. Selain keunikannya tidak pernah ditemukan di seluruh penjuru etnis suku bangsa lain di dunia, didalamnya terkandung makna kearifan yang sangat mengagungkan sehingga tak jarang bila setiap orang menjulukinya sebagai sebuah pertunjukan yang sangat spektakuler.

Seiring dengan gerakan perubahan zaman, yakni sejak masuknya misi penginjilan yang dibawa oleh kaum Puritanisme dari Eropa secara bergelombang, ternyata melarang keras setiap warga lokaluntuk mengikuti upacara adat tertentu karena dianggap mengandung berhala, padahal semuanya itu merupakan budaya yang sudah mendarah daging, sementara pesan-pesan moral yang terkandung di dalam patung-patung itu sama sekali tidak dihiraukan. Ratusan tahun kemudian baru disadari bahwa tindakan pemusnahan sarana upacara adat dan religi kuno yang dilakukan oleh para misionar pada masa lalu bahkan masa kini merupakan kesalahan yang sangat merugikan etnis suku bangsa Nias, terutama penghancuran identitas dan pembunuhan kreativitas seni yang dahulu mengalir begitu deras dalam darah masyarakat Maenamölö sejak zaman dahulu.

Dalam rangka pelestarian Famadaya Harimao sebagai kebanggaan masa lalu, maka dibutuhkan prakarsa revitalisasi sehingga warisan budaya yang nyaris terlupakan, pada akhirnya dapat dikemas menjadi grand skenario guna mendukung pembangunan daerah.


(6)

ABSTRACT

One of the traditional arts and culture of the most unique and barely documented as an integral part of the history is "Famadaya Harimao in public life Maenamölö South Nias Nias Islands."

Famadaya Harimao a performing arts facility that serves as the ceremonial customs and religious rituals in public life Maenamölö South Nias Nias Island in the past. In addition to its uniqueness was never found all over the other ethnic nationalities in the world, meaning it contains highly exalts wisdom so often if everyone called him as a very spectacular show.

Along with the movement of the changing times, since the entry of the mission of which is carried by the Puritanism of Europe in waves, it strictly prohibits any local residents to follow certain traditional ceremonies because they contain idols, since all that is culturally ingrained, while message-moral message contained in the statues were completely ignored. Hundreds of years later it was realized that the means of destruction of ancient religious ceremonies and conducted by the misionar in the past and even today is very detrimental mistake Nias ethnic nationalities, especially the destruction of identity and murder of artistic creativity that once flowed so profusely in the blood community Maenamölö since time immemorial.

In order to conserve the Famadaya Harimao as the pride of the past, then takes initiatives to revitalize the cultural heritage that was almost forgotten, in the end can be packed into the grand scenario to support regional development.


(7)

PENGANTAR

Tesis ini berjudul “FAMADAYA HARIMAO DALAM KEHIDUPAN

MASYARAKAT MAENAMÖLÖ KABUPATEN NIAS SELATAN

KEPULAUAN NIAS (KAJIAN SEJARAH SENI).”

Tujuan melakukan penelitian dan penulisan serta seminar tesis ini adalah untuk memenuhi salah satu ketentuan akademik guna untuk meraih gelar Magister Seni pada Program Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Selama melakukan kegiatan penelitian tesis ini, beragam persoalan yang dihadapi namun penulis dapat melewatinya dengan sikap yang arif dan rasional sehingga pada akhirnya dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

Ini merupakan kesempatan terbaik bagi penulis untuk menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut serta dalam mendukung penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik, sebagai berikut:

1. Bapak Idealisman Dachi, selaku Bupati Nias Selatan Masa Bakti 2011-2016 yang telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 890/423/K/2011 Tentang Tugas Belajar Pegawai Negeri Sipil Kabupaten Nias Selatan Pada Program Pendidikan Pascasarjana (S.2) Tahun 2011.

2. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.


(8)

4. Bapak Drs. Irwansyah, M.A., selaku Ketua Program Studi Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum, selaku sekretaris Program Studi Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S., selaku Komisi Pembimbing I. 7. Ibu Dr. Asmyta Surbakti, M.Si, selaku Komisi Pembimbing II. 8. Bapak Prof. Dr. Ikhwanudin Nasution, M.A., selaku Ketua Penguji.

9. Bapak Prof. Drs. Mauly Purba, M.A., Ph.D, Bapak Drs. Muhammad Takari, M.A., Ph.D, Bapak Dr. Muhizar Muchtar, M.A., Bapak Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si, Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A., Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si, Ibu Dra. Ritha Ony Hutajulu, M.A., Ibu Yusnizar Eniwaty, ST, M.Hum, Ibu Dra. Heristina, M.Pd, selaku dosen pada Program Studi Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

10. Bapak Drs. Ponisan, selaku Pegawai Kantor Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

11. Bapak Amos Harefa, Bapak Pdt. Bamböwö Laiya, S.Th, M.A., Bapak Ariston Manaö, Bapak Hikayat Manaö, selaku Informan.

12. Ayahnya († Sitae Harita), Ibunda Bunoria Gaho, atas kesetiaannya mendukung sepenuhnya penulis selama melaksanakan tugas belajar pada


(9)

Program Studi Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

13. Kakak saya Kartina Harita di Lahewa Timur, Kabupaten Nias Utara, abang Senantiasa Harita di Pekanbaru, abang Meiman Harita di Kabupaten Nias Selatan dan abang Martinus Harita di Pekanbaru yang mengharapkan keberhasilan saya dalam meraih masa depan yang lebih baik.

Penulis menyadari bahwa hasil karya ilmiah ini masih belum sempurna. Oleh sebab itu, diharapkan kepada semua pihak untuk menyampaikan kritikan maupun saran guna menyempurnakannya ke arah yang lebih baik lagi.

Medan, 23 Juli 2014 Penulis,

ANTONIUS HARITA NIM. 117037008


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : ANTONIUS HARITA

IDENTITAS

NIP : 197810222010011007

Tempat, Tanggal Lahir : Bawoganowo, 22 Oktober 1978 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Guru

Alamat Rumah : Genasi Hill, Km. 14. Desa Bawoganowo Kecamatan Toma Kabupaten Nias Selatan

Telepon : 081263446210, 082273697202

1984 - 1990 : SD Negeri No. 071109 Bawoganowo, Kabupaten Nias Selatan

PENDIDIKAN

1990 - 1993 : SMP Negeri Hilisatarö, Kabupaten Nias Selatan 1993 - 1996 : SMA Negeri 3 Gunungsitoli, Kabupaten Nias 1999 - 2004 : (S.1) Sekolah Tinggi Teologi INALTA, Jakarta


(11)

2010 : Guru SD Negeri Nomor 075072 Hilindrasoniha Kecamatan Toma

PENGALAMAN PEKERJAAN

Kabupaten Nias Selatan

2010 : Kepala Sekolah SMP Negeri 3 Toma Kabupaten Nias Selatan 2011 : Guru SMK Negeri 2 Dharma Caraka Telukdalam Kabupaten Nias

Selatan

2011 : Guru SMK Negeri 1 Kecamatan Toma Kabupaten Nias Selatan 2011 : Tugas Belajar Pegawai Negeri Sipil Pada Program Pendidikan

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

2010 - 2011 : Penggagas dan Pendiri SMP Negeri 3 Kecamatan Toma

PENGALAMAN ORGANISASI

Kabupaten Nias Selatan

2011 - 2015 : Ketua Umum Pengurus Persatuan Catur Seluruh Indonesia (PERCASI) Kabupaten Nias Selatan

2011 - 2016 : Sekretaris Dewan Pakar Gabungan Pendidik dan Tenaga Pendidikan (GP. Tendik) Indonesia Kabupaten Nias Selatan 2012 - 2015 : Ketua Persekutuan Kasih Alumni SETIA (PERKAKAS)


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN ... i

PANITIA PENGUJI ... ii

PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

PENGANTAR ... vi

RIWAYAT HIDUP ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN……… 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.3.1. Tujuan Penelitian ... 5

1.3.2. Manfaat Penelitian ... 5

1.4. Tinjauan Pustaka ... 6

1.5. Konsep dan Landasan Teori ... 8

1.5.1. Konsep ... 8


(13)

1.5.2.1. Teori Fungsionalisme ... 9

1.5.2.2. Teori Semiotik ... 11

1.6. Metodologi Penelitian ... 14

1.7. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II KEBUDAYAAN MASYARAKAT MAENAMÖLÖ... 21

2.1. Geografi Maenamölö ... 21

2.2. Asal Usul Maenamölö ... 22

2.3. Sistem Kepercayaan Masyarakat Maenamölö ... 29

2.3.1. Sanömba Nadu ... 29

2.3.2. Katolik ... 33

2.3.3. Kristen Protestan... 35

2.3.4. Islam ... 37

2.4. Sistem Pemerintahan Maenamölö ... 49

2.4.1. Masa Pra Penjajahan ... 39

2.4.2. Masa Penjajahan ... 49

2.4.2.1. Pemerintah Kolonial Belanda ... 49

2.4.2.2. Pemerintah Jepang ... 51

2.4.3. Masa Kemerdekaan Republik Indonesia ... 52

2.4.3.1. Kabupaten Tk. II Nias ... 52

2.4.3.2. Kabupaten Nias Selatan ... 53

2.5. Sistem Pencaharian Masyarakat Maenamölö ... 61


(14)

2.5.2. Pertanian ... 64

2.5.3. Nelayan ... 66

2.5.4. Peternakan ... 67

2.6. Kesenian Masyarakat Maenamölö ... 68

2.6.1. Megalitikum ... 69

2.6.2. Bolanafo... 71

2.6.3. Li Niha ... 74

2.6.4. Hoho ... 75

2.6.5. Fahombo Batu ... 77

2.6.6. Faluaya ... 79

2.6.7. Arsitektur ... 82

BAB III SEJARAH, FUNGSI DAN MAKNA FAMADAYA HARIMAO 85 3.1. Sejarah Famadaya Harimao ... 85

3.2. Fungsi Famadaya Harimao ... 87

3.3. Makna Famadaya Harimao ... 102

3.3.1. Busana dan Asesoris ... 102

3.3.2. Musik ... 104

3.3.2.1. Teks Lagu ... 108

3.3.2.2. Transkripsi Teks Lagu ... 108

3.3.2.3. Tangga Nada ... 109

3.3.2.4. Nada Dasar ... 110


(15)

3.3.2.6. Jumlah Nada ... 112

3.3.2.7. Interval ... 112

3.3.2.8. Kontur ... 113

3.3.3. Prosesi Famadaya Harimao ... 114

3.3.4. Transkripsi Famadaya Harimao ... 117

BAB IV UPAYA PELESTARIAN FAMADAYA HARIMAO ………… 124

4.1. Konsep Kebudayaan ... 124

4.1.1. Pengertian ... 124

4.1.2. Konsep Kebudayaan ... 124

4.2. Upaya Pelestarian Famadaya Harimao ... 126

4.2.1. Pemerintah Kabupaten Nias Selatan ... 128

4.2.1.1. Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Kabupaten Nias Selatan ... 129

4.2.1.2. Dinas Pariwisata Kabupaten Nias Selatan ... 132

4.2.2. Non Government Organization (NGO) ... 134

4.2.2.1. Sanggar Seni Budaya ... 135

4.2.2.2. Yayasan Pusaka Nias ... 139

4.2.3. Infrastruktur ... 139

4.2.3.1. Transportasi ... 141


(16)

BAB V PENUTUP ... 147

5.1. Kesimpulan ... 147

5.2. Saran ... 147

DAFTAR PUSTAKA ... 149

INFORMAN ... 153

GLOSARIUM ... 157


(17)

ABSTRAK

Salah satu seni budaya tradisional yang paling unik dan nyaris tidak terdokumentasi sebagai bagian yang utuh dalam sejarah adalah “Famadaya

Harimao dalam kehidupan masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan

Kepulauan Nias.”

Famadaya Harimao merupakan seni pertunjukan yang berfungsi sebagai

sarana upacara adat istiadat dan ritual keagamaan dalam kehidupan masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias pada masa lalu. Selain keunikannya tidak pernah ditemukan di seluruh penjuru etnis suku bangsa lain di dunia, didalamnya terkandung makna kearifan yang sangat mengagungkan sehingga tak jarang bila setiap orang menjulukinya sebagai sebuah pertunjukan yang sangat spektakuler.

Seiring dengan gerakan perubahan zaman, yakni sejak masuknya misi penginjilan yang dibawa oleh kaum Puritanisme dari Eropa secara bergelombang, ternyata melarang keras setiap warga lokaluntuk mengikuti upacara adat tertentu karena dianggap mengandung berhala, padahal semuanya itu merupakan budaya yang sudah mendarah daging, sementara pesan-pesan moral yang terkandung di dalam patung-patung itu sama sekali tidak dihiraukan. Ratusan tahun kemudian baru disadari bahwa tindakan pemusnahan sarana upacara adat dan religi kuno yang dilakukan oleh para misionar pada masa lalu bahkan masa kini merupakan kesalahan yang sangat merugikan etnis suku bangsa Nias, terutama penghancuran identitas dan pembunuhan kreativitas seni yang dahulu mengalir begitu deras dalam darah masyarakat Maenamölö sejak zaman dahulu.

Dalam rangka pelestarian Famadaya Harimao sebagai kebanggaan masa lalu, maka dibutuhkan prakarsa revitalisasi sehingga warisan budaya yang nyaris terlupakan, pada akhirnya dapat dikemas menjadi grand skenario guna mendukung pembangunan daerah.


(18)

ABSTRACT

One of the traditional arts and culture of the most unique and barely documented as an integral part of the history is "Famadaya Harimao in public life Maenamölö South Nias Nias Islands."

Famadaya Harimao a performing arts facility that serves as the ceremonial customs and religious rituals in public life Maenamölö South Nias Nias Island in the past. In addition to its uniqueness was never found all over the other ethnic nationalities in the world, meaning it contains highly exalts wisdom so often if everyone called him as a very spectacular show.

Along with the movement of the changing times, since the entry of the mission of which is carried by the Puritanism of Europe in waves, it strictly prohibits any local residents to follow certain traditional ceremonies because they contain idols, since all that is culturally ingrained, while message-moral message contained in the statues were completely ignored. Hundreds of years later it was realized that the means of destruction of ancient religious ceremonies and conducted by the misionar in the past and even today is very detrimental mistake Nias ethnic nationalities, especially the destruction of identity and murder of artistic creativity that once flowed so profusely in the blood community Maenamölö since time immemorial.

In order to conserve the Famadaya Harimao as the pride of the past, then takes initiatives to revitalize the cultural heritage that was almost forgotten, in the end can be packed into the grand scenario to support regional development.


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kepulauan Nias yang disebut dengan Tanö Niha1 adalah sebuah pulau Sumatera sebagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dihuni

oleh etniOno Niha.2

Meskipun sampai saat ini intepretasi asal usul Ono Niha masih terus menimbulkan perdebatan dan belum menghasilkan sebuah hipotesis yang otentik. Sebagaimana hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para arkeolog dari Balai Arkeologi Sumatera Utara dan Institut de Recherche Pour le Developpment,

Perancis yang dikutip oleh Harry Truman Simanjuntak, (11 Oktober 2006),

bahwa pada masa Paleolitik (abad 12.000 B.P.), ditemukan sudah ada manusia dari daratan Asia di sebuah daerah Hoabinh, Vietnam yang bertransmigrasi ke kepulauan Nias.

3

1Tanö Niha, secara etimologi memiliki pengertian, sebagai berikut: Tanö artinya tanah, pulau dan Niha, artinya manusia, orang, Nias

Akan tetapi, menurut Ketut Wiradnyana, yang disadur oleh Panitia Seminar Internasional Asal Usul Suku Bangsa Nias, (2013:5), berpendapat bahwa dari hasil analisa radio carbon, asal usul suku kepulauan Nias terjadi pada masa Neolitik (abad 14-16 Masehi), yakni setelah kepulauan Nias terpisah dari pulau Sumatera dengan menggunakan transportasi perahu dalam beberapa tahapan

2Ono Niha, secara etimologi memiliki pengertian, sebagai berikut: Ono, artinya anak dan Niha,

artinya manusia, orang, Nias 3


(20)

dan lama-kelamaan menyebar diberbagai penjuru kepulauan Nias.4

Berdasarkan dokumen sejarah, Kepulauan Nias terkenal karena dibingkai oleh ragam pesona kebudayaannya, salah satunya adalah seni budaya ‘Famadaya

Harimao.’ Famadaya Harimao merupakan seni pertunjukan yang berfungsi

sebagai sarana dalam upacara adat istiadat dan ritual keagamaan tradisional dalam kehidupan masyarakat Maenamölö pada masa lalu. Di dalamnya menyimpan sejumlah makna filosofi yang arif dan rasional. Proses pertunjukannya dilakukan dengan cara sekumpulan serdadu kampung mengusung patung Harimao sembari berarak-arakkan dengan tari-tarian yang diiiringi dengan instrumen musik tradisional bagaikan pawai. Namun sejak masuknya misi penginjilan yang dibawa oleh kaum puritanisme dari Eropa secara bergelombang, ternyata Famadaya

Harimao sebagai budaya masyarakat Maenamölö yang sudah mendarah-daging

secara perlahan-lahan dilupakan, ditinggalkan. Sementara pesan moral yang terkandung di dalam patung-patung itu sama sekali tidak dihiraukan. Ratusan tahun kemudian baru disadari bahwa tindakan pemusnahan wahana religi kuno yang dilakukan oleh para misionar pada masa lalu bahkan masa kini merupakan Akan tetapi ditinjau dari interpretasi folklor yang berkembang di masyarakat lokal, disebutkan bahwa asal-usul leluhur suku Nias adalah para putra Sirao Uwu Jihönö yang bertahta di kerajaan Teteholi Ana’a (suatu negeri yang sangat indah dan permai) yang berada di langit lapisan ke sembilan. Atas kekalahan mereka dalam memperebutkan mahkota langit, pada akhirnya mereka harus dibuang ke bumi kepulauan Nias kemudian keturunannya menyebar ke seluruh kepulauan Nias.

4 Panitia, (11-13 April 2013), Asal-Usul Suku Bangsa Nias Ditinjau Dari DNA dan Benda-Benda Purbakala Suku Bangsa Nias, (Pulau Nias: Bahan Seminar Internasional Asal-Usul Suku Bangsa Nias Ditinjau Dari DNA), hlm.5


(21)

kesalahan yang sangat merugikan etnis suku bangsa. Sama artinya dengan mereka telah melakukan pemusnahan bukti sejarah suku Nias, penghancuran identitas dan pembunuhan kreativitas seni yang dahulu mengalir begitu deras dalam darah generasi zaman itu.

Bamböwö Laiya, (2006:3-4), mengatakan bahwa tempo dulu, hampir setiap kegiatan acara-acara adat atraksi mengarak Harimao selalu ditampilkan namun semenjak tahun 1883, kehadiran para misionaris Jerman untuk memperkenalkan Protestanisme kepada masyarakat Nias Selatan ternyata tidak memiliki komitmen dalam mendukung memelihara kebudayaan masyarakat setempat. Kecurigaan ini semakin bertambah ketika para misionaris dengan berani melarang warga jemaat untuk bersyair (Molau Hoho), menari (Maluaya), makan sirih (Manafo), atraksi mengarak (Mamadaya) dan sebagainya. Pada akhirnya orang-orang Nias Selatan yang menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, mulai meninggalkan adat-istiadat yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur karena dianggap bernuansa takhayul dan berhala, padahal semua itu adalah budaya yang sudah mendarah daging.5

5 Bamböwö Laiya, (2011), Sejarah Singkat BNKP Raya, (Telukdalam: Tata Gereja BNKP Raya),

hlm.3-4

Selanjutnya Johannes M. Hämmerle, (1995:44), mengatakan bahwa pada tahun 1916 ketika para misionaris menggelarkan pertobatan massal, sejak itulah kebanyakan masyarakat Nias mulai berani membuang, membakar dan menghanyutkan di sungai patung-patung yang sebelumnya diyakini sebagai perwujudan para dewa


(22)

dan arwah leluhur mereka termasuk benda-benda peninggalan leluhur lainnya yang dianggap mengandung berhala.6

Dalam rangka upaya pelestarian Famadaya Harimao sebagai kebanggaan masyarakat Maenamölö masa lalu dan hampir terlupakan, para pemangku kepentingan perlu menyusun rencana strategis sebagai grand skenario secara ontologi (input), epistemologi (process) dan aksiologi (output) guna untuk menghidupkan kembali pariwisata dan kebudayaan kuno yang semula hampir terlupakan pada akhirnya dapat diaktifkan kembali menjadi sebuah konsumsi

heritage yang menarik guna mendukung mikro finance yang berdampak pada

pembangunan berbasis otonomi daerah.

1.2. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan uraian di latar belakang, maka penulis merumuskan masalah, sebagai berikut:

1. Apakah sejarah, fungsi dan makna Famadaya Harimao dalam kehidupan masyarakat Maenamölö.

2. Bagaimana upaya pelestarian Famadaya Harimao dalam kehidupan masyarakat Maenamölö.


(23)

1.3. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan penelitian Famadaya Harimao, sebagai berikut:

1. Menjelaskan sejarah, fungsi dan makna Famadaya Harimao dalam kehidupan masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias.

2. Menjelaskan upaya pelestarian Famadaya Harimao dalam kehidupan masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias.

1.3.2. Manfaat Penelitian

Setelah menyelesaikan penelitian Famadaya Harimao, harapan penulis, sebagai berikut:

1. Guna untuk memajukan kebudayaan daerah berbasis kearifan lokal, maka Pemerintah Kabupaten Nias Selatan, melalui:

a. Dinas Pendidikan Kabupaten Nias Selatan untuk dimasukkan dalam daftar kurikulum muatan lokal, baik di tingkat pendidikan formal maupun non formal, sebagai strategi pengenalan, pemahaman, kecintaan, kebanggaan dan menghargai dalam kerangka pelestarian nilai-nilai kebudayaan leluhur.

b. Menjadi bahan bagi Dinas Pariwisata Kabupaten Nias Selatan untuk melakukan upaya pelestarian Famadaya Harimao yang bermutu dan unggul sehingga budaya kuno tersebut yang nyaris hampir terlupakan


(24)

pada akhirnya dapat diaktifkan kembali guna mendukung mikro

finance yang berdampak bagi pembangunan Kabupaten Nias Selatan.

2. Hasil penelitian ini dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat lokal untuk menghargai sebagai identitas dan kebanggaan masa lalu. Selanjutnya, dapat dijadikan sebagai referensi, baik kalangan akademis, lembaga adat, para budayawan, seniman maupun peneliti lainnya guna penelitian lanjutan yang berhubungan dengan pelestarian Famadaya Harimao.

3. Melalui penelitian ini semakin menambahkan pengetahuan penulis selaku peneliti, berkaitan dengan kesejarahan, fungsi dan makna Famadaya

Harimao. Selanjutnya dapat mengimplementasikannya secara praktis

dengan mengemasnya dalam bentuk modul atau paket yang menarik guna untuk memajukan kebudayaan daerah.

1.4. Tinjauan Pustaka

Sebagai pedoman pada pelaksanaan penelitian di lapangan, maka terlebih dahulu penulis melakukan rujukan dari hasil karya orang lain khususnya yang berkaitan dengan Famadaya Harimao.

Di dalam karya tulis ilmiah Albinus Fombagi Fau, dalam skripsinya, Fondrakö Suatu Uraian Etis-Kritis Atas Nilai-Nilai Fondrakö Dalam Kehidupan

Masyarakat Nias, (1997:84-85), menjelaskan bahwa salah satu dambaan manusia

di dunia ini adalah terciptanya kehidupan yang harmonis. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut maka manusia harus membutuhkan Fondrakö sebagai pandangan hidup manusia sebagai warga masyarakat. Skripsi Tugas Duha, Kepercayaan


(25)

Agama Suku Dalam Kehidupan Masyarakat Nias Selatan Dan Wadah

Pembaharuan Famatö Harimao, (2004), menerangkan bahwa di dalam budaya

masyarakat Nias terdapat semacam wadah pembaharuan untuk semua aspek kehidupan masyarakat. Wadah pembaharuan yang dimaksud adalah upacara

Famatö Harimao sebagai bagian integral dalam kehidupan masyarakat

Maenamölö di Nias Selatan. Namun akibat gerakan perubahan zaman baru, menyebabkan keaslian nilai-nilai yang terkandung di dalam perarak-arakkan

Harimao perlahan-terus memudar. Walaupun masih ditampilkan pada acara-acara

tertentu hingga saat ini akan tetapi konteksnya tidak sama dengan peristiwa yang sebenarnya-benarnya, melainkan dijadikan sebagai media untuk mencapai kepentingan para elite politik terutama bagi mereka yang sedang berkuasa di wilayah pemerintah Kabupaten Nias Selatan. Disertasi Jerome Allen Feldman, berjudul The Arcitekture of Nias Indonesia With Special Reference To

Bawömataluo Village,(1977), mendeskripsikan bahwa di daerah Maenamölö ada

upacara khusus pembuangan bersimbol Harimao yang diselenggarakan tiap-tiap tujuh atau empat belas tahun dengan cara menenggelamkan buangnya ke kedalam sungai Gomo di Jumali sebagai tumbal atas kesalahan manusia, baik secara personal maupun komunitas sehingga totalitas kehidupan manusia mengalami pemulihan (restorasi) seutuhnya. Bentuk patung Harimao tersebut bukanlah binatang harimau yang sebenarnya, sebab belum pernah ditemukan harimau di kepulauan Nias kecuali di Pulau Sumatera dan di daerah lainnya. Selanjutnya, karya Yosafat F. Dachi, berjudul Masyarakat Nias dan Kebudayaannya, (2012), menjelaskan bahwa salah satu kepercayaan masyarakat Nias Selatan tempo dulu


(26)

adalah pemujaan terhadap dewa laki-laki bersimbolkan patung Harimao. Badannya berbentuk anjing, mulutnya seperti Lasara atau Lawölö (ular naga). Setelah selesai dibuat patung tersebut maka masing-masing desa berkumpul dan mengarak-arakan patung harimau tersebut sambil mengusungnya ke Jumali untuk diritualkan dan membuangnya ke kedalaman sungai Gomo sebagai tebusan jiwa manusia.

Semua karya ilmiah tersebut di atas menjadi sumber inspirasi bagi penulis untuk melakukan kajian dalam penelitian Famadaya Harimao dalam kehidupan masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias.

1.5. Konsep dan Landasan Teori

1.5.1 Konsep

Famadaya Harimao merupakan bagian yang integral dalam kehidupan

masyarakat Maenamölö pada masa lalu. Hal ini tercermin pada upacara adat-istiadat dan ritual keagamaan masyarakat Maenamölö masa lalu. Bila dibandingkan dengan seni budaya lainnya, barangkali Famadaya Harimao tergolong paling unik dan spektakuer, di dalamnya terkandung makna yang arif dan rasional. Interpretasi folklor yang berkembang, dikatakan bahwa munculnya pemikiran Famadaya Harimao adalah suatu amanat yang diilhamkan oleh dewa pencipta langit dan bumi beserta seluruh isinya) kepada Mölö (seorang leluhur masyarakat Maenamölö) untuk membuat suatu patung Harimao. Setelah mencapai 7 tahun lamanya menyelesaikan patung itu, menjelang bulan purnama tepatnya masa musim panen mulai berakhir, Mölö mengumpulkan seluruh


(27)

kaumnya untuk melaksanakan ritual kemudian serombongan serdadu mengusung patung tersebut sembari berarak-arakan bagaikan pawai, selanjutnya mematahkan dan membuangnya ke kedalam sungai Gomo di Jumali.

Fungsi Famadaya Harimao dalam kehidupan masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias, sebagai berikut:

1. Sebagai media pengesahan amandemen Fondrakö

2. Sebagai media pemulihan, pembaharuan (restorasi) totalitas kehidupan manusia seutuhnya, baik secara personal maupun komunal.

3. Sebagai media penobatan status seseorang di tengah-tengah masyarakat di kampung.

4. Sebagai media penghormatan adat.

1.5.2 Landasan Teori

1.5.2.1. Teori Fungsionalisme

Teori Fungsionalisme adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial pada abad sekarang ini. Beberapa tokoh yang pertama kali mencetuskan teori Fungsional, yaitu; August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer.

Lahirnya teori Fungsionalisme adalah karena masih didapatkannya kelemahan-kelemahan pada paradigma-paradigma sebelumnya (evolusi, difusi, dan sejarah kebudayaan) meskipun mereka selalu memperbaiki metode analisis dalam penelitiannya dengan baik namun kesan yang muncul dari hipotesis penelitian mereka seakan spekulatif. Meskipun ada beberapa ilmuwan yang telah


(28)

melakukan penelitian lapangan hingga abad 20, masih juga terdapat kelemahan-kelemahan di dalamnya. Berbagai kritik yang dilontarkan pada teori tersebut karena dalam penelitian yang mereka lakukan tidak membandingkan dengan kebudayaan lain yang memiliki keterkaitan tetapi lebih kepada data yang telah tersedia dalam budaya itu sendiri.

Menurut Bundahega, (15 Januari 2011), dijelaskan bahwa teori Fungsionalisme menekankan kepada keteraturan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain, dengan kata lain masyarakat senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan.7

Dalam rangka pengkajian tentang fungsi Famadaya Harimao dalam kehidupan masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan, penulis berpedoman pada teori Bronislaw Kasper Malinowski (1884-1942) berasal dari keluarga bangsawan Cracow berkebangsaan Polandia. Sebagai pakar Antropologi, berawal dari pendalamannya tentang folklor dan dongeng-dongeng rakyat akhirnya melahirkan suatu teori Fungsional tentang kebudayaan. Menurut Bronislaw Kasper Malinowski yang dikutip oleh Koentjaraningrat, (1987:167), bahwa ada 3 tingkat abstraksi fungsi sosial, sebagai berikut:

1. Pengaruh terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat.

2. Pengaruh terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lainnya untuk 7 Bundahega, (15 Januari 2011),


(29)

mencapai maksudnya seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan.

3. Pengaruh terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara integrasi dari suatu sistem sosial tertentu.8

1.5.2.2. Teori Semiotik

Menurut Lorenz Bagus, (2002:985), mendefinisikan bahwa Semiotik adalah sebagai teori filsafat yang mempelajari tentang tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi.9

Sesuai dengan tulisan Junaedi, (7 September 2008), bahwa secara garis besar semiotik digolongkan menjadi tiga konsep dasar, sebagai berikut:

1. Semiotic Pragmatic. Menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda

oleh yang menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam batas perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotik Prakmatik Arsitektur berpengaruh terhadap indera manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam

8 Koentjaraningrat, (1987), Sejarah Teori Antroplologi I, (Jakarta: Universitas Indonesia Press),

hlm.167


(30)

menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya.

2. Semiotic Syntactic. Menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa

memperhatikan ‘makna’nya ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotik Sintaktik ini mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek yang menginterpretasikan. Dalam arsitektur, semiotik sintaktik merupakan tinjauan tentang perwujudan arsitektur sebagai paduan dan kombinasi dari berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur akan dapat diuraikan secara komposisional dan ke dalam bagian-bagiannya, hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan secara jelas.

3. Semiotic Semantic. Menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai

dengan ‘arti’ yang disampaikan. Dalam arsitektur semiotik semantik merupakan tinjauan tentang sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan. Hasil karya arsitektur merupakan perwujudan makna yang ingin disampaikan oleh perancangnya yang disampaikan melalui ekspresi wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya. Perwujudan makna suatu rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau ‘arti’ yang ingin disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya.10

10 Junaedi, (7 September 2008),


(31)

Hal yang terpenting dalam proses semiotik adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan menggairahkan.

Untuk mengungkap makna yang terkandung dalam Famadaya Harimao, penulis mengacu pada teori Charles Sanders Peirce (1893:1914), seorang pendiri Pragmatisme, sebagai berikut:

Tabel 1:1

1 Qualisign

[=suatu kualitas yang merupakan suatu tanda]

Sinsign

[‘sin”= “hanya sekali”:peristiwa yang

merupakan suatu tanda]

Legisign

[=suatu kualitas yang merupakan suatu tanda]

2 Ikon

[= tanda yang memiliki kualitas objek yang didenotasikannya]

Index (Petunjuk)

[= tanda yang m,endenotasikan suatu

objek melalui keterpengaruhannya pada

objek itu]

Symbol

[= sebuah tanda konvensional]

3 Rheme

[= tanda suatu

kemungkinan kualitatif, yaitu bahwa ia

meawakili suatu onjek yang mungkin ada]

Dicent sign

[= tanda eksistensi aktual suatu objek]

Argument

[= tanda suatu hukum]

Sumber: John Lechte, 2001 Menurut Charles Sanders Peirce, sebagaimana dikutip oleh John Lechte, (2001:226-231), bahwa berawal dari kerangka filsafat, tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Misalnya, kata STOP pada latar belakang


(32)

cahaya merah disebuah simpang empat pertanda mobil harus berhenti. Tandanya adalah STOP; Objeknya adalah BERHENTI; Penafisrnya adalah GAGASAN (menggabungkan tanda itu dengan objek). Tanda juga bisa menunjukkan adanya jalan utama atau wilayah yang sangat padat penduduknya. Melalui fungsi dari penafsir melahirkan sebuah proses semiotik yang tidak terbatas. Oleh sebab itu, suatu tanda tidak pernah berupa suatu entitas yang sendirian melainkan memiliki ketiga aspek. Tipe tanda juga memiliki memiliki bentuk dasar triad, yaitu Ikon, Indeks, Symbol. Nilai penting sebuah Ikon adalah kualitasnya. Indeks merupakan sebuah tanda yang secara fisik terkait atau dipengaruhi oleh objeknya. 11

1.6. Metodologi Penelitian

Menurut Merriam Alan P. (1964:30-40), istilah metode mencakup tehnik-tehnik dan juga berbagai-bagai pemecahan msalah sebagai bingkai kerja dalam penelitian lapangan.12

11

John Lechte, (2001), 50 Filsuf Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius, Cetakan ke-6), hlm.226-231

Selanjutnya, menurut Nyoman Kutha Ratna, (2010:89-90), mengatakan bahwa munculnya metode kualitatif dipicu oleh pemahaman bahwa gejala kehidupan terdiri atas 2 unsur yang berbeda, Pertama yaitu unsur yang terindra dan tak terindra. Dalam kehidupan sehari-hari dikenal sebagai bentuk jasmani dan rohani, fisik dan non fisik, konkrik dan abstrak, kasar dan halus, nyata dan tidak nyata. Kedua yaitu gejala tersebut sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia bahkan manusia terbentuk atas dasar kedua gejala

12 Merriam Alan P. 1964, The Antrophology of Music. Chocago: North Western University Prees


(33)

tersebut. Pemahaman lebih jauh menunjukkan bahwa kedua unsur tersebut termasuk memerlukan metode kualitatif.13

Berpedoman pada metode penelitian kualitatif di atas, maka untuk mendapatkan data tentang fungsi dan makna Famadaya Harimao, penulis menggunakan pendekatan, sebagai berikut:

1. Observasi

Meskipun observasi bukanlah alat untuk mengetahui segala-galanya tetapi paling tidak observasi menjadi langkah awal untuk mengetahui makna yang tersembunyi di balik pendengaran dan penglihatan. Sehubungan dengan penelitan Famadaya Harimao, maka penulis melakukan observasi melalui pesta budaya Nias Selatan yang diselenggarakan di Telukdalam Kabupaten Nias Selatan Tahun 2009, Event Bawömataluo Ekspo-1 yang diselenggarakan di desa Bawömataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan Tahun 2011, Acara penyambutan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal bernama Helmy Faishal, saat berkunjung di desa Bawömataluo Kabupaten Nias Selatan tahun 2011. Dalam pelaksanaan

Famadaya Harimao, penulis mendokumentasikannya dengan menggunakan

Handphone merek NOKIA type N73 untuk direkam dan divideokan

Famadaya Harimau dan menggunakan Cammera Digital merek SONY

Type DCS-S700 Cyber-shot untuk pemoteratan.

13 Nyoman Kutha Ratna, (2010), Metodologi Penelitan Kajian Budaya Dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan I), hlm.89-90


(34)

2. Wawancara

Koentjaraningrat, (1991:162), mengemukakan bahwa wawancara merupakan suatu proses tanya jawab antara peneliti dengan informan tentang suatu masalah yang sedang diteliti guna melengkapi data yang diperoleh dari observasi maupun dari data pustaka yang telah ada.14 Secara garis besar, wawancara melibatkan dua komponen, pewawancara yaitu peneliti itu sendiri dan orang-orang yang diwawancarai. Pada saat melakukan wawancara peneliti adalah pihak yang memerlukan ‘sesuatu’ dan segala sesuatu yang dimaksudkan adalah milik para informan. Bagian yang paling sulit dalam pengumpulan data adalah pada saat pertama kali turun ke lapangan memasuki lokasi sekaligus menemui para nara sumber tersebut. Keberhasilan penelitian ditentukan oleh kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi masyarakat tempat melakukan penelitian.15

14 Koentjaraningrat, (1991), Metode Wawancara Dalam Metode-Metode Penelitian Masyarakat,

(Jakarta: Gramedfia Pustaka Utama), hlm.162

Jauh-jauh hari sebelum melakukan penelitian, penulis mengidentifikasi beberapa orang yang dianggap berwawasan luas tentang kebudayaan masyarakat Maenamölö kemudian mewawancarai langsung di lapangan secara mendalam dan berkesinambungan sambil mencatat hal-hal yang dianggap paling urgen serta merekamnya secara audiovisual. Informan pertama adalah bernama Amos Harefa, seorang keluarga keturunan Si’ulu di desa Lawindra Kecamatan Majinö Kabupaten Nias Selatan. Pada masa ini beliau telah dinobatkan oleh masyarakat setempat sebagai ahli waris nenek

15 Janice M Morse, Membuat Desain Penelitian Kualitatif Yang Didanai, (dalam handbook of

Qualitative Recearch, Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, eds., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.289


(35)

moyangnya. Beliau juga masih aktif menjabat sebagai Kepala Desa Hilinawalö Fau serta berperan sebagai pemerhati sanggar seni budaya

Wanita Tarahö’ Desa Hilinawalö Fau Kecamatan Fanayama Kabupaten

Nias Selatan. Sampai hari ini Pemerintah Kabupaten Nias Selatan melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mengangkatnya sebagai Tim ad hoc yang mengawasi dan mengendalikan nilai-nilai sub kultur masyarakat Kabupaten Nias Selatan. Informan kedua adalah bernama Bamböwö Laiya, seorang tokoh Nias yang memiliki banyak talenta. Beliau berasal dari keturunan

Si’ulu (bangsawan) desa Botohilitanö Kecamatan Luahagundre Maniamölö

Kabupaten Nias Selatan. Beliau juga terkenal sebagai komponis lagu daerah Nias yang menduduki papan atas sepanjang masa, diantaranya lagu yang berjudul Asi Silimba-Limba, Sarara Holi. Saat ini beliau bersama istri tercintanya bernama Nyonya Sitasi Zagötö yang sudah mencapai umur 65 tahun sedang mengikuti kuliah doktor pada bidang Linguistik di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara di Medan. Satu-satunya alasannya memilih untuk kuliah di tempat ini karena bagi mereka berdua tidak mampu lagi untuk pulang-pergi dalam perjalanan yang jauh ke luar negeri. Jadi cari yang paling dekat saja. Informan ketiga bernama Ariston Manaö, seorang pendiri sanggar seni budaya ‘Gaule Ana’a’ di desa Bawömataluo Kecamatan Fanayama, masih aktif menjabat sebagai Kepala Desa Bawömataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan. Ia juga seringkali mendapat tugas dari Pemerintah Kabupaten Nias Selatan untuk mempersentasikan budaya Nias Selatan baik di tingkat lokal, nasional,


(36)

regional maupun tingkat dunia. Dia juga yang menggagas event

Bawömataluo Ekspo I dan Bawömataluo Ekspo II dalam rangka promosi

budaya Nias Selatan. Pemerintah Kabupaten Nias Selatan melalui Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mengangkatnya Tim Pengawas dalam bidang seni dan budaya daerah sampai hari ini. Informan keempat adalah bernama Hikayat Manaö, salah satu komponis yang berasal dari desa Bawömataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias. Pada tahun 80-an, dia terkenal sebagai pelompat batu terbaik di desanya. Beliau adalah penggagas sekaligus pendiri sanggar seni budaya ‘Baluseda’ yang beralamat di Desa Bawömataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan. Sangar ini seringkali diundang oleh berbagai kalangan, baik pada tingkat event lokal, nasional, regional bahkan dunia. Pada masa tuanya, Hikayat Manaö, telah nobatkan sebagai Kafalo Faluaya (panglima tari perang) oleh masyarakat desa Bawömataluo melalui upacara adat. Selanjutnya, sampai hari ini Pemerintah Kabupaten Nias Selatan melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mengangkatnya sebagai Tim ad hoc yang mengawasi dan mengendalikan nilai-nilai sub kultur masyarakat Kabupaten Nias Selatan. Walaupun hanya sebagai komponis lokal, namun namanya terus tersohor di seluruh penjuru kepulauan Nias karena nada dan lagu yang bernuansa kebudayaan telah membahana dimana-mana, salah satunya adalah album 9 SANORA.


(37)

1.7. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis ini, penulis membuat outline sebanyak lima BAB, sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab satu, penulis menjelaskan Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Konsep dan Landasan Teori terdiri dari Teori Fungsional, Teori Semiotik. Metodologi Penelitian. Sistematika Penulisan.

BAB II DINAMIKA KEBUDAYAAN MAENAMÖLÖ

Pada bab kedua, penulis menjelaskan Geografi Maenamölö, Asa Usul Maenamölö, Sistem Keagamaan Maenamölö terdiri dari Sanömba Adu, Katolik, Kristen Protestan, Islam. Sistem Pemerintahan Maenamölö terdiri dari Masa Pra Penjajahan, Masa Penjajahan terdiri dari Pemerintahan Kolonial Belanda, Pemerintahan Jepang. Masa Kemerdekaan Republik Indonesia terdiri dari Kabupaten Tk. II Nias, Kabupaten Nias Selatan. Sistem Pencaharian Maenamölö terdiri dari Perburuan, Pertanian, Nelayan, Peternakan. Kesenian Maenamölö terdiri dari Megalitik, Bolanafo, Li Niha, Hoho, Fogaele, Fahombo Batu, Faluaya, Arsitektur, Arsitektur.

BAB III SEJARAH, FUNGSI DAN MAKNA FAMADAYA HARIMAO

Pada bab tiga, penulis menjelaskan tentang Sejarah Famadaya


(38)

terdiri dari Busana dan Asesoris, Musik terdiri dari Teks Lagu antara lain Transkripsi Teks Lagu, Tangga Nada Nada Dasar, Wilayah Nada, Jumlah Nada, Interval, Kontur. Persiapan, Prosesi Famadaya

Harimao, Transkripsi Famadaya Harimao.

BAB IV UPAYA PELESTARIAN FAMADAYA HARIMAO

Pada bab empat, penulis menjelaskan tentang Pengertian Pelestarian, Ruang Lingkup Pelestarian. Upaya Pelestarian Famadaya Harimao terdiri dari Pemerintahan antara lain Dinas Pendidikan Kabupaten Nias Selatan, Dinas Pariwisata Kabupaten Nias Selatan. Non

Government Organization terdiri dari Sanggar Seni Budaya, Yayasan

Pusaka Nias. Infrastruktur terdiri dari Transportasi, Perhotelan.

BAB V PENUTUP


(39)

BAB II

KEBUDAYAAN MASYARAKAT MAENAMÖLÖ

2.1. Geografi Maenamölö

Secara geografi, Maenamölö terletak pada 0° 33’ 25” LS dan 1° 4’ 5” LU serta 97° 25’ 59” dan 98° 48’ 29” BT. Berbatasan dengan:

฀ Sebelah Utara : Kecamatan Aramö ฀ Sebelah Selatan : Samudera Hindia

฀ Sebelah Timur : Kecamatan Telukdalam ฀ Sebelah Barat : Kecamatan Mazinö

Topografi Maenamölö sebagaian besar berbukit-bukit dan terjal dengan ketinggian mencapai 800 meter di atas permukaan laut dan dataran yang rendah terdapat lembah dikelilingi oleh Samudera Hindia yang membentang langsung ke Afrika di Barat dan Antartika di Selatan.

Iklim di daerah Maenamölö antara 17,0°-32,60° celcius dan rata-rata kelembaban udara antara 80 - 90%. Kecepatan angin mencapai 14 hingga 16 knot per jam menyebabkan musim kemarau dan musim hujan datang dengan silih berganti. Curah hujan perbulan rata-rata 298,60 mili meter, diperkirakan lebih banyak hari hujan daripada kemarau setiap bulan. Dengan demikian, kondisi alamnya menjadi sangat lembab dan basah sehingga mengakibatkan sering terjadinya longsor di sana-sini bahkan daerah aliran sungai yang berpindah-pindah. Hal ini sering kali dibarengi dengan badai besar. Badai laut biasanya terjadi antara bulan Maret, Juni, September dan November setiap tahun tetapi


(40)

terkadang badai bisa berubah secara mendadak. Akibat kondisi alam yang demikian melahirkan aliran sungai kecil, sedang dan besar ditemui di seluruh wilayah.

2.2. Asal Usul Maenamölö

Secara etimologi, kata ‘Maenamölö’ dibagi menjadi Mae, artinya citra, seperti, menyerupai, penjelmaan, inkarnasi. Na, adalah singkatan dari seseorang yang dituakan. Mölö adalah nama pribadi leluhur yang pernah bertransmigrasi ke

Böröfösi pada masa lalu. Sebelum peristiwa pemekaran Kecamatan Maniamölö,

seluruh desa di wilayah ini masih menyebutnya Maenamölö. Argumentasi tersebut dibuktikan dengan pendirian nama kampung Bawömaenamölö, Hilimaenamölö yang berada di wilayah Kecamatan Maniamölö hingga saat ini masih menyebut dirinya sebagai Maenamölö Tou. Demikian juga warga kampung Hilinawalö Fau, Onohondrö dan Siwalawa yang berada di wilayah Kecamatan Fanayama, menyebut identitas sebagai Maenamölö atas. Jadi dapat didefinisikan Maenamölö merupakan sekumpulan masyarakat beberapa kampung yang memiliki hubungan darah dalam satu garis keturunan leluhur yang sama bernama Mölö di wilayah Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias.

Menurut Sökhiaro Welther Mendröfa, (1980:63-137), bahwa nenek moyang masyarakat suku Nias diturunkan dari Teteholi Ana’a,16

16Teteholi Ana’a, artinya langit lapisan ke-9, tempat dewa dewa pencipta bertahta, rahim sang ibu,

suatu negeri yang sangat indah dan permai.

disanalah Sirao


(41)

masing-masing dikaruniai tiga orang anak laki-laki. Permaisuri yang pertama adalah bernama Mburutio Rao Gawe Zihönö. Anaknya laki-laki bernama Baewadanö,

La’indrö Lai Sitambaliwö, Balugu Luo Mewöna. Permaisuri yang kedua adalah

bernama Nawaöndru Ere Gowasa. Anaknya laki-laki bernama Lasoro Gae Sitölu

Ndraha, Gözö Tuuha Zangaröfa, Hia Walani Adu. Permaisuri yang ketiga adalah

bernama Zi’adulo Rao Ana’a. Anaknya laki-laki bernama Lahari Sofusö Kara,

Daeli Bagabölö Lani, Lulu Hada Ana’a. Pada suatu hari terjadi keributan yang

sangat sengit diantara ke sembilan putra Sirao Uwu Jihönö untuk merebut mahkota Tetehőli Ana’a. Karena suasana pertengkaran di istana semakin memanas, maka untuk menenangkan keadaan tersebut Sirao Uwu Jihönö mengundang seluruh rakyat dari berbagai penjuru untuk menyaksikan sayembara memperebutkan mahkota Teteholi Ana’a. Sebelum sayembara dimulai, bangkitlah raja Sirao Uwu Jihönö Uwu Jato seperti seekor singa yang mengaung dihadapan ribuan orang dengan menyerukan barangsiapa diantara kesembilan anak-anakku yang sanggup memanjat dan menari-nari di atas mata tombak yang dipancangkan di halaman istana bagaikan seekor burung yang sedang bertengger di atasnya maka kepadanyalah aku berkenan. Dialah yang akan mewariskan tahta kerajaan di Teteholi Ana’a.’ Kemudian raja Sirao Uwu Jihönö mempersilahkan satu persatu putranya mulai dari yang tertua secara berurutan. Ironisnya, dari delapan orang anaknya tak seorangpun yang berhasil melakukannya. Namun tiba pada giliran si bungsu bernama Luomewöna, dia mengawali dengan bersujud dihadapan ayahnya dan kepada ketiga orang istri ayahnya serta kepada seluruh rakyat memohon restu. Tidak lama kemudian, tiba-tiba suasana sayembara mulai berubah, semua


(42)

perhatian tertuju kepadanya. Saat melakukannya, dengan penuh mudah sekali baginya mencapai mata tombak itu dan akhirnya iapun berhasil memenangkan sayembara itu. Maka berseru-serulah raja Sirao dihadapan ribuan orang yang menyaksikan kebolehan Luomewöna bahwa mulai pada hari ini dialah yang akan bertahta di Teteholi Ana’a. Tidak lama setelah dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya, ke delapan orang abangnya yang kalah dibuang ke bumi kepulauan Nias. Salah satunya adalah bernama Hia Walani Adu dan menjadi leluhur penduduk Nias Selatan.17

Selanjutnya menurut Amos Harefa, (2013), bahwa keberadaan Hia

Walangi Adu di Sifalagö Gomo, dikarunai sembilan orang anak laki-laki.

Nama-namanya dimulai dari yang sulung hingga bungsu, sebagai berikut: Telau, Boto, Bawa, Mata, Ikhu, Talina, Gahe, Tana, Tara. Pada suatu hari mereka pergi mencari makanan tetapi di tengah hutan menemukan pohon sagu. Telau bertugas menebang pohon sagu itu sedangkan ketujuh adik-adiknya mendapat tugas untuk menayang dari bawah. Karena mereka tidak kuat menayangnya, akhirnya pohon sagu itu menimpa mereka dan matilah Boto, Bawa, Mata, Ikhu, Talina, Kahe dan Tana hanya Telau dan Tara saja yang beruntung selamat. Pada prinsipnya hidup adalah pilihan, ibarat Haega so mbua geho, gaö möi manugela wofo (dimana ada pohon berbuah ke situlah burung datang bertengger). Demikianlah Telau hidup menetap Sifalagö Gomo tetapi sebelum Tara meninggalkan kota leluhurnya di

Sifalagö Gomo, ayahnya Hia Walangi Adu mengadakan perjamuan bersama dan

memberinya banyak nasehat sebagai petuah kehidupan termasuk tongkatnya

17 Sökhiaro Welther Mendröfa, (1980), Fondrakö Ono Niha, (Jakarta: Inkultra Foundation


(43)

terbuat dari Lewuo hao (sejenis pohon bambu) kapada Tara anaknya. Dimana saja tongkat itu ditancapkan hingga menembus ke dalam tanah maka itulah pertanda bahwa tanah itu yang akan memberi bagimu kesuburan selama-lamanya. Keesokan harinya, sebelum matahari terbit pada pagi hari di ufuk Timur, berangkatlah Tara bersama isterinya. Dari tatapan mata yang sangat dekat, kini semakin mengecil lalu pada akhirnya menghilang karena mereka melintasi lereng-lereng gunung yang tinggi, melewati pinggir jurang yang dalam. Banyak sungai yang dalam dan luas diseberangi hingga menemukan sungai Mejaya di desa

Hili’alawa. Mereka menyusuri ke atas sungai itu hingga di tanah yang agak datar

tepatnya di desa Lawindra wilayah Kecamatan Majinö Kabupaten Nias Selatan. Karena isteri Tara sangat letih dan meminta untuk istrahat sejenak untuk memulihkan tenaga yang telah banyak terkuras. Momentum ini dimanfaatkan oleh

Tara untuk memancangkan tongkat milik ayahnya di sekitar tempat itu dan

langsung tertanam hingga ke kedalaman. Maka tersungkurlah Tara ke tanah. Saking girangnya, ia mulai menyair sembari menari-nari di depan istrinya karena telah menemukan tanah perjanjian dan menamainya Lawindra. Setelah terjadi inkulturasi baru di tempat itu, maka Tara mengumpulkan seluruh kaumnya untuk mengadakan Owasa Sebua (pesta besar) dan menobatkannya menjadi ‘Sanaya Bute.’ Pada musim kelaparan mulai tiba, ke empat putra Sanaya Bute bernama

Mölö, Jinö, Tuha Ene dan Lalu pergi berburu dan mencari makanan di tengah

hutan belantara, ternyata mereka menemukan berjejeran pohon sagu di tengah hutan belantara. Jinö mendapat tugas untuk menebang batang pohon sagu tetapi ketiga orang lainnya menjaga menayang pucuk. Pada saat pohon sagu tumbang,


(44)

Tuha Ene dan Lalu menyelamatkan diri tetapi Mölö hampir terjebak ditimpa pohon sagu itu. Beruntung ia dapat menyelamatkan dirinya dari peristiwa naas itu. Kejadian ini membuat hati Mölö tidak terima dan merasa ditipu oleh adik-adiknya. Dari situlah situasi mulai tidak aman dan lama-kelamaan semakin menegang, kebersamaan yang sudah lama terbina lama-kelamaan semakin memudar, merasa tidak nyaman bila hidup bersama lagi. Rasa senasib dan sepenanggungan yang dulu, kini tinggal kenangan, suasana semakin meruncing. Tak ada pilihan lain mereka harus berpisah. Jinö menetap di Lawindra tetapi Lalu,

Tuha Ene dan Mölö memilih untuk meninggalkan tempat itu. Lalu beserta

rombongannya menuju daerah Ono Mönö. Tuha Ene beserta rombongan menuju Hili’amuruta. Selanjutnya, Mölö beserta rombongannya pergi dengan melintasi lereng-lereng gunung yang tinggi, melewati pinggir jurang yang dalam. Akhirnya mereka tiba Böröfösi. Pada mulanya Böröfösi mencerminkan suatu kehidupan yang rukun, damai dan bahagia tetapi seiring dengan berjalannya waktu ke waktu, hubungan kekerabatan yang utuh lama-kelamaan mulai memudar, masing-masing bersaudara saling menonjolkan diri dengan bertepuk dada, suka merampas yang bukan haknya, gemar mencari-cari kesalahan saudaranya dengan menuduh tanpa ampun, merasa susah hati ketika melihat saudaranya berhasil dan amat senang bila melihat saudara kandungnya menderita kesusahan. Para isteri saling irihati, semua saling bertengkar mulut, mengancam mau berlaga, ditambah lagi pada masa ini seringkali mengalami musibah kelaparan. Akhirnya Mölö mengumpulkan seluruh keluarganya untuk bersepakat. Masing-masing ke lima putranya menanam pohon pisang di pusat pekarangan. Mölö memberikan petunjuk bahwa mereka harus


(45)

menunggu pisang itu sampai berbuah kira-kira enam bulan lamanya. Bilamana condong batang dan buah pisangmu, ke situlah engkau pergi dan menetaplah di sana. Sebelum kelima orang putra tersebut berpisah satu sama lainnya, Mölö dan isterinya Nandua Ziliwu menjamu kelima putranya itu dengan menyembelih berpuluh-puluh ekor babi dan ayam. Momentum ini dimanfaatkan untuk memberikan nasehat sebagai petuah serta membagi-bagikan harta warisannya secara adil. Adapun Fau adalah anak sulung mendapat bagian warisan Farada (emas murni), kemudian bernama Takhi mendapat bagian Adu Zatua (patung leluhur), sedangkan Boto, bagiannya adalah Toho (tombak), dan Maha mendapatkan Tölögu (pedang), Hondrö, mendapat Baluse (perisai) sedangkan Hörözaitö seorang perempuan bungsu mendapat bagian perhiasan emas. Pada akhirnya kedua orangtua mereka memberkati kelima rang anak-anaknya dimanapun mereka berada kelak beroleh kehidupan dalam damai sejahtera. Kesekoan harinya, mereka semua berangkat meninggalkan Böröfösi menuju ke tempat dimana arah condong pisangnya. Laki-laki memikul beban yang berat dan perempuan menggendong keranjang yang bergelantangan dengan melewati banyak gunung-gunung melintasi lereng bukit dan menyusuri berbagai lembah dan menyeberangi hulu sungai yang dalam dan sangat luas. Setelah Fau beserta isterinya Nalai Mbarasi dan anak-anaknya tiba di lokasi itu, bersukacitalah hati Fau dan mengatakan: ‘Di sinilah petunjuk bagiku, di sinilah arah condong pisangku’. Kemudian semuanya memotong kayu berdahan, menarik akar dan membersihkan dengan membakarnya, meratakan batang puar lalu mulai mendirikan suatu desa bernama Lahusa Fau.Berhubung karena jumlah penduduk


(46)

dalam kampung tersebut semakin bertambah sedangkan lahan untuk mendirikan rumah baru sudah mulai terbatas berhubung lahan sudah tidak memadai, demikian juga sudah tidak terjaminnya keamanan kampung akibat bencana alam, musuh sehingga warga kampung setiap saat terancam jiwanya, terjadinya perselisihan pendapat antara keluarga satu keturunan dengan keturunan lainnya, maka mereka memisahkan diri dari kampung induk dan mencari lokasi yang dianggap aman dan nyaman. Pada akhirnya mereka menyebar ke beberapa tempat, ada yang mendirikan kampung Orahili Fau, Hilinawalö Fau, Bawöfanayama dan Hilizondrege’asi. Hal serupa dialami oleh Takhi. Ia membawa isterinya Nawua Geho beserta anak-anaknya. Setibanya di lokasi itu, maka bersukacitalah hatinya, atas kegirangannya yang tak dapat dibendung lagi, pada akhirnya ia menari dan berkata: ‘Di sinilah petunjuk bagiku, di sinilah arah condong pisangku’. Kemudian mereka semua saling bergotong-royong memotong kayu berdahan, menarik akar dan membersihkan dengan membakarnya, meratakan batang puar lalu mulai mendirikan suatu kampung bernama Hili Lawalani tak lama kemudian pindah ke Hili’amaigila. Karena jumlah penduduk dalam kampung tersebut semakin bertambah sedangkan lahan untuk mendirikan rumah baru sudah mulai terbatas belum lagi terjadinya perselisihan pendapat antara keluarga satu keturunan dengan keturunan lainnya, maka mereka memisahkan diri dari kampung induk dan mencari lokasi yang dianggap aman dan nyaman. Pada akhirnya mereka menyebar ke beberapa tempat, ada yang mendirikan kampung Setelah bertahun-tahun lamanya, keturunannya mendirikan kampung Hilisaudanö, Bawögosali, Bawömaenamölö, Hilimaenamölö dan Hilisimaetanö. Berikutnya


(47)

adalah Boto. Ia membawa isterinya bernama Silini Hösi dan anak-anaknya, mendirikan kampung bernama Hili Lalimboto sebagai desa induk. Keturunannya mendirikan kampung Hilifalawu, Hilifalawu, Hilimböwö, Hilihöru, Hiligombu, Botohösi. Kemudian Maha juga mengalami hal yang serupa. Ia memiliki seorang istri Rai Balaki, pada akhirnya meninggalkan Böröfösi menuju Ulimbawa. Lama-kelamaan keturunannya mendirikan beberapa kampung yang baru, diantaranya adalah kampung Siwalawa, Hiligeho, Lahömi, Bawölowalani, Hili’ana’a, Hilisondrekha. Demikian pula Hondrö, memiliki isteri bernama Siholai. hidup dan menetap di Huluhösi. Kemudian keturunannya mendirikan kampung Onohondrö. Karena Hörözaitö adalah anak si bungsu perempuan, maka ia harus menetap bersama orangtuanya. Berhubung karena Nandua Jiliwu lebih dahulu meninggal dunia, pada akhirnya Mölö pergi berkelana sebagai musafir di Tanoi Disana mempersuntung anak seorang bangsawan dan mempunyai anak laki-laki bernama

Sebua Tendroma. Di tempat dimana ia tinggal disebut orang Ono Namölö Laraga

Tumöri, di tempat itulah Mölö nantinya dikuburkan.18

2.3. SistemKepercayaan Masyarakat Maenamölö

2.3.1. Sanömba Nadu

Menurut Johannes Maria Hämmerle, (1990:201), bahwa sebelum datangnya agama Katolik, Protestan, Islam, Hindu dan Budha bersebar di seluruh


(48)

pelosok kepulauan Nias, sistem kepercayaan masyarakat suku Nias bersifat Politheisme, Naturisme, Fetisisme, Dinamisme, Animisme.19

Sesembahan suku Nias termasuk di dalamnya penduduk Maenamölö sejak zaman dahulu adalah Inada Samihara Luo selaku dewa pencipta dan berkuasa atas seluruh kehidupan yang bertahta di atas langit lapisan ke sembilan,

Latura Danö selaku dewa yang berkuasa di bumi, Silewe Najarata selaku dewi

yang berkuasa menengahi Inada Samihara Luo dengan Latura Danö. Selain itu juga mereka juga percaya kepada dewa-dewa yang menampakkan diri sebagai gejala-gejala alam, seperti; matahari, bulan, bintang, pohon besar, arwah nenek moyang, Sigelo Danö sebagai dewa yang menjaga gua atau lubang-lubang yang dalam, Laöhö sebagai dewa yang berkuasa atas angin topan, Fauhesa sebagai dewa yang menjaga gua atau lubang-lubang yang dalam, Luaha Goholu sebagai dewa yang menjaga sungai, Anonatö sebagai dewa yang memberikan kekuatan untuk mengalahkan musuh pada saat terjadi perang dan sebagainya. bahwa dewa pujaan orang Nias lainnya adalah. Semua itu dipersonifikasikan ataupun dimanifestasikan dalam bentuk patung dari bahan batu ataupun kayu dan mengganggapnya bahwa di dalam patung-patung itu akan ditempati oleh para dewa ataupun roh.

Menurut Nenden Artistiana, (2011:23), berpendapat bahwa pada acara pemujaan, Ere sebagai perantara selalu membunyikan atau memukul-mukul

Fondrahi (tambur) dan pada saat menyampaikan permohonan dalam bentuk Hoho

(syair-syair kuno) atau mantera-mantera, Ere juga mempersiapkan sesajen dalam 19 Johannes Maria Hämmerle, OFMCap, Asal Usul Masyarakat Nias Suatu Interoretasi,


(49)

bentuk makanan (babi, ayam, telur) disertai kepingan emas juga diberikan supaya segala sesuatu yang dimohonkan itu dapat dikabulkan. Kemudian persembahaan dalam bentuk korban makanan dapat dibagi-bagi kepada orang yang hadir, akan tetapi setelah ritual selesai, uang, emas dan barang-barang berharga lainnya sebagai persembahan warga akan menjadi hak Ere.20

Menurut Johannes. M. Hämmerle, (15 Maret 2009), bahwa pemikiran masyarakat Nias yang menganut kepercayaan Sanömba Nadu, sebagai berikut: 1. Manusia mempunyai Boto (tubuh), Noso (nafas) dan Lumö-Lumö

(bayangan). Setelah seseorang mati maka Boto akan menjadi ke tanah, Noso akan kembali ke Teteholi Ana’a (sorga) dan Lumö-Lumö (bayangan) akan menjadi Bekhu (roh). Agar bisa sampai ke Tetehõli Ana’a, setiap roh harus menyeberangi suatu jembatan antara dunia orang hidup dan orang mati. Bila roh itu berjalan tetapi jembatannya semakin mengecil bagaikan rambut, pertanda bahwa selama hidupnya banyak melakukan kejahatan. Pada akhirnya ia akan jatuh dan masuk ke dalam api yang menyala-nyala. Sebaliknya, seseorang yang selama hidupnya banyak berbuat baik, jembatannya semakin melebar dan perjalanannyapun lancar hingga ke

Teteholi Ana’a dengan selamat.

2. Mereka yang telah meninggal akan diwariskan Tõi (nama) dan Lakõmi (kemuliaan). Apabila selama hidupnya telah berbuat yang terbaik dan sangat mengharumkan bagi keluarga bahkan masyarakat umum dengan bukti-bukti yang otentik, dia akan dikenang sepanjang masa. Maka untuk mengenang 20 Nenden Artistiana, (2011), Menelisik Keunikan Budaya Tanö Niha, (Jakarta: PT. Multazam


(50)

jasa-jasanya di dunia ini maka dibuatlah suatu patung yang menyerupai sehingga arwahnya dapat menjelma melalui patung tersebut dan meletakkan patungnya di tempat yang strategis serta selalu merawatnya dengan baik. Jikalau tidak menghormati rohnya maka janganlah heran bila mereka yang masih hidup akan menerima berbagai ganjaran malapetaka dan dapat tertular bagi banyak orang tetapi apabila taat dan menghormati orangtuanya maka anak itu pasti akan menjumpai banyak berkat-berkat seumur hidupnya. Untuk menangkal semua itu, setiap keluarga segera mengundang Ere untuk mengadakan acara sesajen.

3. Kalau dulu semasa hidup dia adalah seorang raja maka di dunia seberang

Tetehõli Ana’a juga ia akan tetap menjadi raja dan yang miskin akan tetap

miskin.

4. Dunia Teteholi Ana’a keadaanya terbalik. Apa yang baik di dunia ini, di sana akan jadi buruk. Maka ada kebiasan, orang-orang Nias, bila menitipkan baju dan barang-barang lainnya, semua barang itu dirusak. Jika di sini siang di sana malam demikian juga kalimat dalam bahasa di sana adalah serba terbalik. 21

Namun semenjak terjadinya penyebaran agama kristen yang dibawa oleh kaum puritanisme dari Eropa dan akibat perkembangan zaman, pada akhirnya tradisi kepercayaan Sanömba Nadu perlahan-lahan mulai ditinggalkan.

21Johannes. M. Hämmerle


(51)

2.3.2. Katolik

Menurut Fries yang dikutip oleh Johannes M. Hämmerle, (1985:3-7), bahwa masuknya misi Katolik Roma di kepulauan Nias ditandai dengan kedatangan pastor muda bernama Fr. Jean Pierre Vallon yang diutus oleh Society

Misionaries Khatolik Perancis di bawah pimpinan Uskup Florens dari Perancis

pada 14 Desember 1831 dan tiba di kepulauan Nias pada bulan Maret 1832. Ia tinggal di kampung Lasara dan memulai pelayanannya namun Tuhan berkehendak lain, di bulan Juni 1832 beliau meninggal dunia karena makanannya diracuni oleh warga. Tidak lama setelah itu datanglah Pastor Fr. Jean Laurent Bërard untuk menggantikannya namun dalam waktu tidak terlalu lama ia juga mati keracunan. Kemudian pada tahun 1834, Henry Lyman berkebangsaan Amerika yang diutus oleh Society Misionaries Khatolik Perancis melakukan pelayanan di Nias Selatan tetapi gagal dan kembali. Kemudian tahun 1854, datang lagi Pastor Caspar de Hesellse (missionaris Belanda). Ia tinggal di Sogawu-gawu namun tak juga bertahan lama meninggal dan dikubur 31 Agustus 1854 di Hilihati, Gunungsitoli.22

Setelah Perang Dunia Kedua, Misi Katolik tumbuh dan menyebar dari Gunungsitoli ke bagian utara Nias dan dari Telukdalam ke bagian selatan Nias. Saat ini para Xaverian melayani beberapa Paroki. Salah satunya adalah di kota Telukdalam. Umat umumnya berasal dari jemaat BNKP.

Sebagaimana diuraikan oleh Menurut Marianus Amsal, (Oktober 2013), bahwa beberapa langkah-langkah yang ditempuh untuk mengembangkan 22 Johannes M. Hämmerle, (1985), Sejarah Gereja Katolik di Pulau Nias, (Telukdalam: Yayasan


(52)

pelayanan pastoral, antara lain; perayaan Ekaristi harian dan mingguan sebagai tanda dan ungkapan persatuan umat dengan Tuhan Yesus, mengusahakan dialog dan kegiatan ekumenis dengan umat beragama Kristen, mengusahakan komunio dengan perhatian pada orang-orang miskin lewat seksi sosial, mengadakan pendalaman iman paad momen-momen tertentu pada tingkat basis, serta mempromosikan Gereja kon-katedral sebagai pusat ziarah bunda Maria bagi seluruh umat Nias. Dalam bidang kegiatan oikumene para Xaverian mempunyai andil besar. Hal itu terlihat dari adanya beberapa kegiatan ekumene yang telah berjalan lancar dan adanya persaudaraan yang cukup akrab di antara para pemimpin Katolik dan para pendeta, mengusahakan kunjungan stasi bisa lebih dari 3 kali dalam setahun, memperkuat peranan awam dengan mendidik katekis paroki dan membentuk katekis wilayah, membangun struktur yang cukup kuat di tingkat paroki (dewan paroki inti). Pada wilayah dan stasi, mengusahakan pemberdayaan umat melalui berbagai kursus seperti: kursus para pemuka jemaat, katekis wilayah, mudika, guru-guru sekolah minggu, mengadakan kerja sama dengan komisi-komisi untuk pembinaan umat seperti komisi kateketik dan komisi sosial ekonomi (CU), mengusahakan oikumene di tingkat wilayah/ stasi dan melaksanakan katekese/ homili agar iman Kristiani semakin mengakar di hati umat sehingga nilai-nilai adat yang merugikan mereka dapat semakin berkurang. Karya yang telah dilakukan para Xaverian di Nias yang berusaha menghadirkan Kabar Gembira Injil dalam kehidupan nyata umat sehingga lama-kelamaan keterlibatan umat dalam kehidupan menggerja bisa sungguh semakin nyata. Semuanya itu tidak lepas dari banyaknya tantangan yang mesti dihadapi.


(53)

Tantangan utama yang dihadapi adalah jarak antara stasi yang satu dengan yang lain berjauhan, keterbatasan tenaga untuk menggerakkan dan memandirikan mereka (para pengurus dan katekis) dalam berbagai kegiatan sehingga kehidupan jemaat semakin bergairah.23

Umat Katolik yang berada di seluruh penjuru kepulauan Nias, Mata pencaharian mereka bervariasi, ada yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan, guru, tukang becak, tukang bangunan, pedangang dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa umat di Paroki ini termasuk umat yang sudah berpendidikan dan memiliki kedudukan penting dalam masyarakat.

2.3.3. Kristen Protestan

Pada tahun 1836 Rheinische Missions Geselschaft (RMG) yaitu gabungan zending yang berdiri pada tahun 1823 dan berpusat di Barmen wilayah Dusseldorf di Jerman, mengirimkan 9 orang pendeta di wilayah Indonesia dalam rangka melaksanakan amanat agung Tuhan Yesus Juruselamat.

Secara kolektif pada tanggal 27 September 1865, seluruh denominasi gereja di Nias telah menetapkannya sebagai hari Yubelium (hari memperingati berita Injil di kepulauan Nias). Tim Penyusun, buku Waö-Waö Duria Somuso

Dödö ba Danö Niha, (1986:6), menejelaskan bahwa L. Denninger adalah salah

satu dari ke 9 orang misionaris yang diutus oleh Rheinische Missions Geselschaft (RMG) yang berdiri pada tahun 1823 dan kini telah diganti namanya menjadi

Vision Evangelis’m Mission (VEM) di Germani. Sebelum tiba di Nias,


(54)

Ludwig Ernst Denninger melakukan pekabaran Injil disekitar kota Padang, Sumatera Barat namun penduduk setempat menolaknya. Karena hampir setiap hari ia bertemu dengan orang-orang Nias sebagai pendatang di Padang sangat ramah kepadanya, maka ia terus membina persahabatan yang akrab dan melayani mereka sambil belajar berbahasa daerah Nias dengan fasih. Kemudian pada tanggal 27 September 1865.24 Beberapa lama kemudian ia meminta petunjuk Roh Kudus dan pada akhirnya ia memutuskan untuk segera meninggalkan kota Padang, Sumatera Barat dengan menumpang kapal kayu dari pelabuhan Teluk Bayur menuju pelabuhan lama kota Gunungsitoli di Kepulauan Nias. Disebutkan bahwa Ludwig Ernst Denninger tiba di Gunungsitoli tepatnya pada tanggal 27 September 1882. Sebagai langkah awal kehidupannya, ia harus menyewa sebuah rumah kecil tempat untuk keluarga menginap sementara waktu. Keesokan harinya, ia mulai berkunjung dari rumah ke rumah, desa yang satu dengan desa tetangga lainnya untuk memberitakan Injil Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Sekalipun berbagai hambatan yang harus dihadapi oleh Ludwig Ernst Denninger

24

27 September 1865, Ernst Ludwig Denninger menginjakan kaki pertama sekali di Gunungstioli melalui pelabuhan Teluk Bayur, Padang Sumatera Barat. Tanggal kedatangan Ernst Ludwig Denninger ini telah diabadikan sebagai hari Jubellium (berita injil, keselamatan) yang diperingati setiap tahun oleh seluruh denominasi gereja dipenjuru kepulauan Nias

dalam melaksanakan misi yang mulia ini seperti; jalan penghubung antara kampung belum ada, masih jalan setapak dan penuh dengan semak-semak duri, seringkali terjadi perang antar kampung, maraknya pengayau manusia, penduduk suku Nias adalah penyembah patung berhala, mewabahnya musim penyakit demam, typus, kolera, TBC, sering terjadinya musim kelaparan. Namun semangat jiwa untuk memberitakan Injil Kristus semakin berkobar. Karena penduduk


(55)

sekitar gunungsitoli menilainya sebagai Tuan yang sangat rendah hati, memiliki perhatian yang murni terhadap semua warga. Ludwig Ernst Denninger membuka sekolah bagi anak-anak untuk belajar mengenal membaca dan pada akhirnya mendirikan Seminary (sekolah Alkitab) untuk mempersipakan pribumi menjadi guru injil. Karena menuai keberhasilan dalam pelayanan, maka Tuan Ludwig Ernst Denninger

meminta kepada Rheinische Missions Geselschaft (RMG) untuk mengirimkan tenaga pelayan namun RMG mengirimkan misionar secara bertahap, diantaranya adalah J.W. Thomas dan De Weertt (1873-1897), H. Lagemann. (1982-1933= 41 Tahun), Bortta (1907–1931), Rabenech (1901-1934), Ed. Sartor, Pieper (1928-1929), Fr.Dermann (1928-1940), Skamrad, dr. Harma, Peterson dan lain-lain. Selanjutnya atas gerakan pertobatan massal dalam bahasa Nias disebut “fangesa dödö sebua, peningkatan yang terjadi bukan hanya secara kwantitatif saja, tetapi juga dalam hal spritualitas. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya patung, ilmu-ilmu sihir dan racun yang dimusnahkan. Perselisihan dan peperangan di antara penduduk mulai berkurang, kerukunan mulai berkembang.

2.3.4. Islam

Saluran Islamisasi di Indonesia adalah melalui jalur perdagangan sesuai dengan kegiatan perdagangan abad 7 sampai 16, dimana para pedagang muslim turut mengambil bagian mengislamkan ternyata sangat menguntungkan karena dalam agama Islam tidak ada pemisahan antara manusia sebagai pedagang dengan kewajibannya sebagai seorang muslim untuk menyampaikan ajaran kepercayaannya kepada orang lain.


(56)

Masuknya agama Islam di daratan Nias tidak dapat diketahui secara pasti, sebab masuknya agama Islam bukan dari spesialis misi yang terorganisir. Dalam dokumen Informasi dan Profil Kabupaten Nias, yang disusun oleh Tim Penyusun (2001:12), dijelaskan bahwa masuknya agama Islam di kepulauan Nias sudah dimulai sejak tahun 851 Masehi ketika seorang saudagar bangsa Persia bernama Sulaiman untuk mengislamkan orang-orang Nias. Kemudian pada tahun 1605 masehi, seorang pengelana dari Arab bernama Ibnu Batutah, datang ke Nias tepatnya di wilayah Lahewa Kabupaten Nias Utara. Ibnu Batutah mencatat bahwa di kepulauan Nias menjumpai pribumi yang berkebudayaan mirip dengan kebudayaan Arab kuno di zaman Jahiliyah.25 Selanjutnya, menurut Schroder yang dikutip oleh F. Zebua, (1996:82), bahwa masuknya agama Islam di pulau Nias dimulai dari kedatangan etnis Melayu, Aceh, Padang, Bugis, Muko-muko, Surabaya, Tarusan, Arab. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang lari dari hukuman dan bersembunyi untuk mencari perlindungan yang aman dalam hidupnya.26

25 Tim Penyusun, (2001), Informasi dan Profil Kabupaten Nias, (Gunungsitoli: BAPPEDA),

hlm.12

Ketika orang-orang Islam mencoba memasuki desa-desa adat di wilayah Nias Selatan, pada akhirnya mereka tidak bisa bertahan karena penduduknya mayoritas beternak babi. Kendati demikian, perkembangan Islam di kepulauan Nias tergolong fenomenal. Hal ini ditandai dengan jumlah mereka semakin lama semakin terjadi peningkatan yang signifikan. Hal tersebut dapat tinjau bahwa mereka berada pada posisi yang sangat strategis. Diantaranya, ada yang menjadi pedagang, ada yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil, Polri,

26 F. Zebua, (1996), Kota Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya, (Gunungsitoli),


(57)

Tentara bahkan Politikus dan lain sebagainya bahkan hampir semua pusat pasar ke 4 Kabupaten/ Kotamadya se-kepulauan Nias, saat ini mayoritas dikuasainya oleh penduduk yang beragama Islam. Demikian juga lokasi wisata pantai diberbagai penjuru kepulauan Nias saat ini hampir semuanya dikuasai oleh penduduk yang beragama Islam.

Adapun perkembangan Islam di wilayah Maenamölö dikategorikan mengalami kemajuan dibandingkan dengan agama Budha dan Hindu.

2.4. Sistem Pemerintahan Maenamölö

2.4.1. Masa Pra Penjajahan

Sistem pemerintahan di Maenamölö pada masa pra penjajahan adalah disebut Banua. Istilah ‘Banua’ mempunyai pengertian langit, kerajaan, kampung atau desa, badan pemerintahan. Setiap Banua dihuni oleh bagian-bagian dari beberapa marga yang terdiri dari sejumlah kekerabatan, antara lain Ngambatö (suami, istri dan anak), Faiwasa (keluarga keturunan dari kakek yang sama,

Sisambua banua (penghuni yang hidup se-kampung).

Menurut Sorayana Zebua, (2006:1), mendefinisikan Banua merupakan suatu kumpulan warga dalam suatu kesatuan hukum, baik menyangkut pemerintah, adat istiadat maupun kepercayaan yang dipimpin oleh Si’ulu yang dibantu oleh para Si’ila dalam menangani tugas-tugas kemasyarakatan.27

27 Sorayana Zebua, (2006), Sistem dan Peranan Banua/ Öri Dalam Kehidupan Bermasyarakat Dahulu dan Kini, (Gunungsitoli: Bahan Seminar Studi Kelembagaan Adat dan Budaya Nias), hlm.1


(58)

Secara hirarkis bahwa stratifikasi sosial yang berlaku pada kehidupan masyarakat Maenamölö, sebagai berikut:

1. Si’ulu

Si’ulu adalah golongan masyarakat yang berkuasa mutlak untuk memerintah

seluruh warga di kampung secara turun-temurun dimana pengukuhan, keabsahannya hanya dapat dilaksanakan melalui upacara Owasa. Keberadaan Si’ulu adalah sebagai representasi Inada Samihara Luo, penggagas dan yang mendirikan kampung, sebagai teladan yang baik bagi seluruh warga di kampung, setiap perselisihan yang terjadi di masyarakat harus mampu menetralisasikannya, tidak bertindak otokrasi dalam kepemimpinannya, segala kebijakan harus dilakukan secara musyawarah mufakat. Namun pada sisi lain, keberadaan Si’ulu sebagai wakil dewa sebagai penguasa di kampung justru banyak menimbulkan malapetaka, kesengsaraan bagi warga. Ironisnya, ‘Hönö li, rohu-rohu nia, khö ndra Si’ulu’ artinya, ribuan kata tetapi keputusan Si’ulu yang akan terjadi. Untuk mencapai segala rencananya, Si’ulu tidak segan-segan menindas bahkan menjadikan warga sebagai tumbal tanpa mempertimbangkan keadilan. Tak jarang warganya dijadikan sebagai tumbal hanya karena tidak mampu memenuhi keinginan para Si’ulu. Hal ini terungkap dari berbagai sumber tulisan yang diterjemahkan oleh Johannes M. Hämmerle, (2013:4,31,34), bahwa pulau Sömambawa adalah satu dari ketiga pelabuhan tertua di kepulauan Nias sebagai tempat perdagangan manusia menjadi budak, pandelingen di Padang dan diberbagai penjuru lainnya. Dari hasil penjualan


(59)

para budak itulah para Si’ulu menikmati kekayaan, berupa; emas, kuningan, besi, pakaian, gong, piring dan sebagainya mereka mampu mendirikan rumah adat yang besar, pesta Owasa dan mendirikan batu-batu megalit. Namun pada kesempatan lain, rombongan orang Melayu dan Aceh menculik para perempuan dan anak-anak Nias untuk diperdagangkan ke seberang.28 Si’ulu terbagi 2, yakni

a. Si’ulu Sima’awali

Menurut Waspada Wau, (2012), bahwa ada 11 tingkatan untuk layak disebut sebagai Si’ulu Sima’awali, sebagai berikut:

Laböoda, artinya pesta kelahiran anak laki-laki genap umur 8

hari.

Lakhai, artinya pesta sunat yang pesta syukurannya ditanggung

paman yaitu saudara laki-laki dari pihak ibu.

Mambu Ana’a Siduavfulu, artinya pesta emas batangan (farada)

24 karat seperti kalung (Kalabubu) untuk laki-laki seberat 20 Batu setara 200 gram.

Mambu Ana’a Silimavfulu, artinya pesta emas batangan

(farada) 24 karat seperti anting-anting telinga (Fondruru)

sebelah kanan bagi laki-laki, Taraho, konde perempuan dan aya

gaule sebagai kalung perempuan sebart 50 batu setara 500 gram.

Mambu Ana’a Si’otu, artinya pesta emas batangan (farada) 24

karat seperti; Fondruru (anting-anting telinga sebelah kanan 28 Johannes M. Hämmerle, (2013), Pasukan Belanda di Kampung Para Penjagal, (Gunungsitoli),


(60)

bagi laki-laki), Taraho (konde perempuan), Aya Gaule (kalung perempuan), Rai (mahkota), Sukhu (sisir) seberat kumulatif 100 batu setara 1000 gram.

Mambu Ana’a Sizuanacu, artinya pesta emas batangan (farada)

24 karat seperti anting-anting telinga (Fondruru) sebelah kanan bagi laki-laki, Taraho konde perempuan dan aya gaule sebagai kalung perempuan, mahkota (Rai), sisir (sukhu), gelang emas (tölajaga) hanya sebelah kanan bagi laki-laki kedua lengan bagi perempuan seberat kumulatif 200 batu setara 2000 gram.

Mambu Oroba Ana’a, artinya pesta emas batangan (farada) 24

karat seberat sesuai dengan kebutuhan.

Faulu, artinya pesta emas batangan (farada) 24 karat seperti

anting-anting telinga (Fondruru) sebelah kanan bagi laki-laki,

Taraho konde perempuan dan aya gaule sebagai kalung

perempuan, mahkota (Rai), sisir (sukhu), gelang emas (tölajaga) hanya sebelah kanan bagi laki-laki kedua lengan bagi perempuan seberat kumulatif 200 batu setara 2000 gram.

Motomo, artinya, pesta pendirian rumah.

Simboto, artinya pesta skala besar dengan mengundang desa


(61)

Mambu Oroba Ana’a, artinya pesta pamer baju laki-laki berlapis emas 24 karat seberat kebutuhan.29

b. Si’ulu Sito’ölö.

Si’ulu Sito’ölö adalah kaum keluarga dari Si’ulu Sima’awali yang

berkuasa sebagai wakil Si’ulu Sima’awali bilamana berhalangan.

2. Ere

Jajang A. Sonjaya (ama Robi Hia) mengatakan bahwa Ere berperan sebagai perantara dalam memanjatkan doa dan menyampaikan permohonan kepada roh leluhur. Saat melakukan komunikasi dengan leluhur, biasanya akan diberikan sesaji sirih, pinang, biji-bijian, hasil ladang dan kepingan emas.30

29

Waspada Wau, (26 Desember 2012), Fanaruyama, (Bawömataluo: Makalah Seminar International Potensi, Pemuda, Prospek dan Tantangan Masa Depan)

Ere adalah para ahli yang biasanya selalu ada dalam tatanan kehidupan setiap kampung. Ketika sebuah kampung dibangun, maka bangsawan akan memastikan terlebih dahulu apakah para Ere dengan berbagai keahlian masing-masing tersedia di desa terbut. Seringkali bila belum tersedia, Maka Ere dari desa lain akan diundang untuk menetap di desanya. Bilamana seorang Ere berkunjung ke suatu kampung maka hal ini menjadi kebanggaan bagi warga yang dikunjungi dan akan menyambutnya dengan pesta besar-besaran. Setibanya di pintu gerbang kampung, ia disambut dengan berbagai atraksi dan tari-tarian tradisional yang diiringi pemukulan gong, gendang hingga sampai ke halaman depan rumah Si’ulu kemudian mempersilahkannya duduk di tempat yang telah disediakan. Ketika

30 Jajang A. Sonjaya (ama Robi Hia), Melacak Batu Menguak Mitos, (Yokyakarta: Kanisius,


(1)

Ndraha, Gözö Tuuha Zangaröfa, Hia Walani Adu. Permaisuri yang ketiga adalah bernama Zi’adulo Rao Ana’a. Anaknya laki-laki bernama Lahari Sofusö Kara,


(2)

LAMPIRAN

Etnografi Masyarakat Öri Maenamölö

SKETS

Sirao

Lahari Daeli Hulu

Mburutio Rao Ana’a

Mölö Jinö

Telau

Lalu Tuha Ene

Boto Bawa Mata Ikhu Talina Tana Ahe Tara

Hia = Samihara Luo

Hia La’indrö Luomewona Laso Gözö La’indrö

Nawaöndru Ee Gowasa Mburutio Rao


(3)

Struktur Pemerintah Kolonial Belanda

Goverrnment Sumatera Westksest

Residentis Tapanuli

Afdeeling Nias

Onder Afdeeling Nias Selatan Onder Afdeeling Nias Onder Afdeeling Nias Utara

Distric (Öri) Distric (Öri)

Distric (Öri)


(4)

Struktur Pemerintahan Jepang Di Kepulauan Nias

Assistant Resident (Panglima Tentara Angkatan Laut)

Kepala Negeri

(Tuhenöri)

Kampung

(Banua)

Kampung

(Banua)

Kampung


(5)

Struktur Pemerintahan Republik Indonesia

Pemerintah Pusat

Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Sumatera Utara

Pemerintah Daerah Tingkat I I Kabupaten Nias

Kecamatan Sirombu Kecamatan Lahewa Kecamatan Telukdalam


(6)

Struktur Masyarakat Maenamölö --- --- Balö Ji’ulu/ Si’ulu Sima’awali Ere Fatuwusö Jato (Si’ila Samagurui) Tambalina

(Si’ila Sifelendrua) Fatuwusö Ndra Ama (Si’ila Sitölu nafulu)

Balö Niha Si’ulu Samuhe Tuka Nomo Tuka Dofao Tuka Gana’a Tuka Mialu Tuka Nowo

Balö Mo’ama Balö Gana Balö Nafulu Sambua Mo’ama Gana Nafulu Balö Jamuru Telaumbanua Bohalima

Balö Jamu’i Dödölala Kabölö- Kabera Ere Börönadu Ere Hoho Ere Döröu dan lain-lain Sato Fadölö

Sato Fadölö Sato Fadölö Sato Fadölö Sato Fadölö

Sawuyu Sawuyu Sawuyu