Makalah Proposal Penelitian Mikrobiologi (1)
Makalah Proposal Penelitian Mikrobiologi Pertanian
Trichoderma Viride sebagai biofungisida untuk mengatasi penyakit antraknosa
pada tanaman cabai (Capsicum annuum).
Dosen Pengampu : Ir. Nur Rochman, MP
Oleh :
Yusuf Bachtiar
A.1410872
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian
Universitas Djuanda Bogor
Bogor
2016
BAB. I PENDAHULUAN
I.
1. Latar Belakang
Cabai merupakan komoditas hortikultura penting di Indonesia. Salah satu
kendala penyebab berfluktuasinya produksi cabai adalah gangguan penyakit yang
dapat menyerang sejak tanaman di persemaian sampai pascapanen. Antraknosa pada
cabai merupakan penyakit yang paling sering ditemukan dan hampir selalu terjadi
disetiap areal tanaman cabai. Penyakit antraknosa ini disebabkan oleh jamur
Colletotrichum capsici (Syd.) Bult.et.Bisby. Penyakit ini selain mengakibatkan
penurunan hasil juga dapat merusak nilai estetika dari cabai itu sendiri. Serangan
patogen ini dapat terjadi baik sebelum maupun setelah panen yang menurunkan hasil
produksi cabai dan merugikan para petani sampai 50% (Semangun, 2007).
Selama ini pengendalian penyakit ini masih bertumpu pada penggunaan
fungisida. Namun disadari selain hasilnya tidak memuaskan, penggunaan pestisida
terus menerus dapat mengakibatkan timbulnya resistensi patogen, merusak
lingkungan dan berbahaya bagi konsumen.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu diambil alternatif pengendalian yang
efektif terhadap penyebab penyakit tanaman tanpa mengandalkan fungisida sistetik.
Pengendalian biologi menunjukkan alternatif pengedalian yang dapat dilakukan tanpa
harus memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan dan sekitarnya, salah
satunya adalah dengan pemanfaatan agens hayati seperti virus, jamur atau cendawan,
bakteri atau aktiomisetes.
Jamur atau cendawan mempunyai potensi sebagai agens hayati dari jamur
patogenik diantaranya adalah Trichoderma spp. Jamur Trichoderma spp digunakan
sebagai jamur atau cendawan antagonis yang mampu menghambat perkembangan
patogen melalui proses mikroparasitisme, antibiosis, dan kompetisi. Jamur
Trichoderma spp secara mikoparasitisme menhasilkan enzim kitinase yang
berperanan penting dalam kontrol fungi patogen tanaman.
Pengendalian penyakit antraknosa pada tanaman cabai yang sering dilakukan
oleh petani adalah dengan menggunakan fungisida, karena sampai saat ini belum ada
tanaman cabai merah yang tahan terhadap penyakit antraknosa. Prinsip penggunaan
fungisida didasarkan pada prinsip antibiotik terhadap tanaman. Cara lainnya yang
digunakan untuk mengendalikan penyakit yaitu penggunaan bahan kimia sintetik
yang mampu memicu ketahanan tanaman.
Bila patogen sudah menginfeksi jaringan tanaman, umumnya fungisida tidak
efektif dalam pengendalian penyakit. Dalam banyak kasus, informasi spesifik tentang
siklus penyakit sangat dibutuhkan dalam aplikasi fungisida yang tepat untuk
melindungi tanaman. Dalam label fungisida memberikan petunjuk pengaplikasian,
biasanya dengan jarak interval 7-14 hari. Jika kelembaban tinggi atau pertumbuhan
tanaman cepat, maka interval terendah antar aplikasi yang sering digunakan, dan jika
kelembaban rendah maka digunakan interval tertinggi.
I.
2. Tujuan
Menguji Trichoderma Viride sebagai biofungisida untuk mengatasi penyakit
antraknosa pada tanaman cabai (Capsicum annuum).
BAB. II TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Prajnanta (1996) tanaman cabai dalam taksonomi
tumbuhan,
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub. Divisio
: Angiospermae
Kelas
: Dycotiledoneae
Ordo
: Solanales
Famili
: Solanaceae
Genus
: Capsicum
Spesies
: Capsicum annuum L.
Tanaman cabai mengandung vitamin A dan vitamin C serta mengandung zat
berkhasiat yaitu minyak atsiri capsaicin, yang menyebabkan rasa pedas dan
memberikan kehangatan panas. Cabai dapat ditanam dengan mudah sehingga dapat
mencukupi kebutuhan sehari-hari tanpa harus membelinya di pasar ( Harpenas,
2010).
Morfologi Tanaman cabai
Menurut (Harpenas, 2010), cabai merupakan tanaman semusim (annual crop)
yang berbentuk perdu dengan perakaran akar tunggang. Sistem perakaran tanaman
cabai menyebar, panjangnya berkisar 25 – 35 cm. Akar ini berfungsi menyerap air
dan zat makanan dari dalam tanah, serta sebagai berdirinya batang tanaman. Struktur
perakaran cabai diawali dari akar tunggang yang sangat kuat dan bercabang ke
samping, dengan akar rambut terdiri atas akar utama (primer), panjang akar primer
berkisar 35 – 48 cm dan lateral (sekunder). Menurut (Tjahjadi, 1991) akar tanaman
cabai masuk tegak lurus ke dalam tanah. Akar ini berfungsi sebagai penegak pohon.
Batang utama cabai tegak dan pangkalnya berkayu dengan tinggi 20 – 28 cm
dan diameter 1,5 – 2,5 cm (Hewindati, 2006). Percabangan bersifat dikotomi atau
menggarpu. Menurut (Tjahjadi, 1991) tanaman cabai memiliki batang tegak
berbentuk bulat dapat tumbuh setinggi 50 – 150 cm, merupakan tanaman perdu yang
warna batangnya hijau dan beruas-ruas yang dibatasi dengan buku-buku yang
panjang tiap ruas 5 – 10 cm dengan diameter data 5 – 2 cm.
Daun cabai menurut Dermawan, (2010) berbentuk hati , lonjong, atau agak
bulat telur dengan posisi berselang-seling. Sedangkan menurut (Hewindati, 2006),
daun cabai berbentuk memanjang oval dengan ujung meruncing, tulang daun
menyirip dilengkapi urat daun. Panjang daun berkisar 9 – 15 cm dengan lebar 3,5 – 5
cm. Daun cabai merupakan daun tunggal, bertangkai dengan panjang 0,5 – 2,5 cm.
Helaian daun berbentuk bulat telur sampai elips, ujung runcing, pangkal meruncing,
panjang 1,5 – 12 cm, lebar 1 – 5 cm dengan warna hijau.
Menurut (Hendiwati, 2006), bunga tanaman cabai berbentuk terompet kecil,
umumnya bunga cabai berwarna putih. Cabai berbunga sempurna dengan benang sari
yang lepas tidak berlekatan. Bunga tanaman cabai cenderung bersifat protogyny,
yaitu kepala putik (stigma) telah masak (receptive) sebelum tepung sari atau sebelum
antesis, dan tepung sari keluar pada saat bunga mekar. (Yenni Kusandriani, 1996).
Warna mahkota putih, memiliki kuping sebanyak 5 – 6 helai, panjangnya 1 – 1,5 cm,
lebar 0,5 cm, warna kepala putik kuning. Mahkota bunga terdiri atas 6 – 7 petal yang
berwarna putih susu atau kadang-kadang ungu. Kepala sari berwarna kebiruan sampai
ungu.
Buah cabai berbentuk kerucut memanjang, lurus atau bengkok, meruncing
pada bagian ujungnya, menggantung, permukaan licin mengkilap, diameter 1 – 2 cm,
panjang 4 – 17 cm, bertangkai pendek. Buah muda berwarna hijau tua, setelah masak
menjadi merah cerah. Biji yang masih muda berwarna kuning, setelah tua menjadi
cokelat, berbentuk pipih, berdiameter sekitar 4 mm.
Penyakit Antraknosa Pada Tanaman Cabai
Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) penting yang sering menyerang
tanaman cabe adalah penyakit antraknosa yang disebabkan oleh jamur Gloeosporium
piperatum dan Colletotrichum capsici. Tingkat serangan penyakit ini bervariasi dan
dapat menyebabkan terjadinya kerugian 5-65% (Semangun, 1994).
Menurut Semangun (2007) Penyakit ini selain mengakibatkan penurunan hasil
juga dapat merusak nilai estetika dari cabai itu sendiri. Serangan patogen ini dapat
terjadi baik sebelum maupun setelah panen yang menurunkan hasil produksi cabai
dan merugikan para petani sampai 50%.
Penyakit ini memiliki gejala mati pucuk yang berlanjut ke bagian tanaman
bawah, daun, ranting dan cabang menjadi kering berwarna coklat kehitam-hitaman.
Pada batang cabai aservulus cendawan terlihat seperti tonjolan (Duriat, et al.2007).
pada lingkungann kondusif penyakit ini dapat menghancurkan seluruh areal
pertanaman cabai (Syukur, 2007).
Jamur Colletotrichum spp. merupakan jamur parasit fakultatif dari Ordo
Melanconiales dengan ciri-ciri konidia (spora) tersusun dalam aservulus. Jamur dari
Genus Colletotrichum termasuk dalam Class Deuteromycetes yang merupakan
bentuk anamorfik (bentuk aseksual), dan pada saat jamur tersebut dalam telemorfik
(bentuk seksual) masuk dalam Class Ascomycetes yang dikenal dengan jamur dalam
Genus Glomerella. (Alexopoulos et al., 1996).
Ciri-ciri umum jamur dari Genus Colletotrichum yaitu memiliki hifa bersekat
dan menghasilkan konidia yang transparan dan memanjang dengan ujung membulat
atau meruncing panjangnya antara 10-16 µm dan lebarnya 5-7 µm. Massa dari
konidia berwarna hitam dan hifanya berwarna abu-abu (Dickman,1993).
Gejala serangan jamur Colletotrichum spp. penyebab penyakit antraknosa
pada buah cabai besar secara umum hampir sama dengan gejala serangan jamur
patogen lainnya. Gejala serangan jamur Colletotrichum spp. diawali dengan adanya
inokulasi jamur Colletotrichum spp. pada buah cabai, kemudian diikuti dengan proses
penetrasi, infeksi, kolonisasi, dan diseminasi. Inokulasi merupakan proses deposisi
atau kontaknya inokulum (spora) pada permukaan jaringan inang. Proses penetrasi
yaitu proses masuknya organisme patogen ke dalam tubuh inang. Kemudian setelah
organisme patogen tersebut masuk ke dalam tubuh inang, maka akan terjadi proses
perkecambahan spora.
Terdapat tiga jalan atau cara yang digunakan oleh patogen dalam melakukan
penetrasi yaitu, luka, lubang alami, dan penetrasi langsung. Luka yang ada pada
tanaman dapat disebabkan oleh manusia, faktor fisik seperti angin, air hujan, atau
serangan dari hama. Lubang alami yang biasa digunakan oleh patogen untuk masuk
ke dalam tubuh tanaman inang antara lain, stomata, hidatoda dan lenti sel. Sedangkan
untuk cara penetrasi langsung, dibutuhkan usaha dari patogen antara lain dengan
memproduksi zat kimia berupa enzim atau toksin yang berfungsi untuk mendegradasi
dinding sel dan atau merubah permeabilitas membran sel tanaman. Keadaan cuaca
yang lembab sangat cocok untuk pembentukan spora dan terjadinya infeksi sehingga
diameter lesio akan cepat membesar.
Trichoderma sp
Kemampuan Trichoderma sp untuk melindungi tanaman melibatkan beberapa
mekanisme yang terkait dengan sifat biokimiawi spesies tersebut. Semua galur
Trichoderma sp. yang merupakan fungi biokontrol efektif, akan tumbuh semakin baik
di sekitar perakaran tanaman yang sehat, sehingga terjadi simbiose mutualistis antara
fungi biokontrol tersebut dengan tanaman yang dilindunginya. Oleh karena itu,
mekanisme perlindungan tanaman oleh
Trichoderma sp tidak hanya melibatkan
serangan terhadap patogen pengganggu, tetapi juga melibatkan produksi beberapa
metabolit sekunder yang berfungsi meningkatkan pertumbuhan tanaman dan akar,
dan memacu mekanisme pertahanan tanaman itu sendiri (Shoresh & Harman, 2008,
Conteras-Cornejo et al., 2009).
Mekanisme penyerangan terhadap patogen tanaman antara lain adalah melalui
proses mikoparasitisme, yang melibatkan produksi berbagai enzim (biokatalis)
hidrolitik (pemecah berbagai senyawa polimer) dan sekresi (produksi dan
pengeluaran) senyawa antifungi, antibakteri dan antinematoda.
Mikoparasitisme sebagai salah satu mekanisme penyerangan fungi biokontrol
terhadap fungi patogen, dipengaruhi oleh kemampuan fungi biokontrol menghasilkan
enzim hidrolitik (biokatalis pemecah berbagai polimer). Salah satu golongan enzim
hidrolitik yang dianggap cukup penting peranannya pada proses mikoparasitisme dari
beberapa fungi patogen adalah enzim-enzim kitinolitik, yang terdiri dari kitinase.
Kitinase adalah nama untuk golongan enzim yang mampu menghidrolisis ikatan
Beta-1,4 pada kitin dan oligomer kitin. Kitin merupakan komponen penting dari
dinding sel beberapa fungi patogen. Produksi kitinase oleh fungi biokontrol antara
lain berfungsi untuk merusak kitin dinding sel fungi patogen.
BAB. III METODELOGI
Pembuatan Biofungisida Trichoderma Viride
Trichoderma, sp banyak ditemukan di dalam tanah hutan maupun tanah
pertanian atau pada tunggul kayu. Trichoderma, sp akan tumbuh dengan baik pada
suhu 6oC sampai dengan 41oC dengan pH optimum 3 sampai dengan 7 dan Sukrosa
dan glukosa merupakan karbon utama. Untuk berkembangbiak cendawan ini
menggunakan konidia (spora). simpan pada ruangan bersih dan terhindar dari sinar
matahari. Trichoderma, sp akan terlihat tumbuh setelah satu sampai dua minggu.
Trichoderma, sp yang telah tumbuh pada media beras dan sekam disebut dengan
starter beras yang selanjutnya dapat dibiakkan pada media tanah (BBPP
Lembang,2014)
1. Alat dan Bahan
Menurut BBPP Lembang (2014) bahan yang digunakan adalah
Jamur induk Trichoderma Viride (F0)
Beras
Air murni
Alkohol
Alat-alat yang diperlukan :
Plastikbening
Kompor
Panci
Sendok
Wadah / nampan
Lilin
Cara Membuat Trichoderma Viride
Beras dimasak menjadi 1/3 masak selama 10 meni.
Setelah beras menjadi 1/3 masak dinginkan pada wadah nampan yang telah
disediakan.
Masukkan beras yang telah didinginkan tersebut kedalam plastik bening.
Setiap plastik diisi dengan beras 3 sendok makan.
Kemudian beras yang telah selesai dimasukkan kedalam plastik kemudian
disterilkan dengan cara dikukus selama 10 menit.
Selanjutnya dinginkan lagi pada nampan hingga benar-benar dingin.
Sterilkan sendok yang akan digunakan dengan menggunakan alcohol, begitu
juga dengan tangan kita.
Sendok tersebut dekatkan dengan api lilin secara sekilas saja, hal ini untuk
bertujuan mensterilkan sendok dari bakteri-bakteri di udara.
Gunakan sendok yang telah disterilkan tersebut untuk mengambil bahan induk
jamur Trichoderma yang telah disediakan.
Setiap 1 kantong plastik yang berisi beras yang telah dikukuskan tadi akan
kita isi dengan bahan induk jamur Trichoderma sebanyak 1/3 sendok.
Kocokkan agar jamurTrichoderma merata tercampur dengan media beras
yang telah kita kukuskan tadi.
Kemudian setelah itu streples ujung plastik yang terbuka agar tidak ada celah
binatang kecil seperti semut masuk kedalam plastik tersebut. diamkan pada
wadah nampan selama 14 hari.
Setelah 14 hari media beras diatas akan berubah warna menjadi warna hijau
yang merata.
Perlakuan Tanaman
Perlakuan Trichoderma Viride. sebagai agen pengimbas tanaman cabai
diberikan sebelum tanam dan sesudah tanam bibit cabai. Perlakuan sebelum tanam
diberikan 2 minggu sebelum penanaman bibit cabai dan diaplikasikan ke dalam tanah
tempat tumbuh bibit cabai. Sedangkan aplikasi sesudah tanam diberikan setelah 2
minggu tanam bibit cabai dengan cara disemprotkan pada seluruh tanaman. Sebanyak
250 mL larutan suspensi konidia Trichoderma Viride. dengan kepadatan 3,7 x
108 konidia/mL dituang ke dalam tanah tempat tumbuh tanaman cabai dan
disemprotkan pada tanaman cabai yang telah berumur 2 minggu. Penyemprotan
dilakukan pada seluruh tanaman terutama pada organ daunnya. Selanjutnya 3 hari
kemudian sebanyak 300 mL suspensi sporangia jamur patogen Colletotrichum
capsici dengan kepadatan 103 sporangia/mL juga disemprotkan pada seluruh tanaman
kecuali pada perlakuan kontrol positif. Kelembaban udara relatif dijaga dan diatur di
sekitar 100%
Daftar pustaka
Alexopoulos, C.J; C.W.Mims & M. Blackwell, 1996. Introdctory Micology 4thedition
John Wiley and Sons, New York.869 p
BBPP Lembang. 2014. Manfaat dan Cara Pembuatan Biofungisida Trikoderma.
http://www.bbpp-lembang.info/index.php/arsip/artikel/artikel-pertanian/759manfaat-dan-carapembuatan-biofungisida-trikoderma diakses pada 27 Juni
2016
Conteras-Cornejo, H. A., Macias-Rodriguez, L., Cortes-Penagos, C., Lopez-Bucio, J.
2009. Plant Physiology
Dickman, M.B. (1993). Colletrotichum gloesporoides. Department of Plant Pathology
University of Hawaii. Hilo
Djarwaningsih, T. 1984. Jenis- jenis Cabai di Indonesia, dalam Penelitian
Peningkatan Pendayagunaan Sumber Daya Alam
Duriat, A.S., N.Gunaeni., dan A.W.Wulandari. 2007. Penyakit Penting Pada
Tanaman Cabai dan Pengendaliannya. Balai Penelitian Tanaman Sayuran.
Bandung.
Harpenas, Asep & R. Dermawan. 2010. Budidaya Cabai Unggul. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Hewindati, Yuni Tri dkk. 2006. Hortikultura. Universitas Terbuka. Jakarta.
Prajnanta. 1994. Agribisnis Cabai Hibrida. Penebar Swadaya. Jakarta.
Semangun, H. 1994. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta
Semangun, H. 2007. Penyakit-penyakit Hortikultura di Indonesia (edisi kedua).
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Shoresh, M., Harman, G. E. 2008. The relationship between increased growth and
resistance induced in plants by root colonizing microbes. Plant Signaling &
Behavior 3: 737--739
Syukur, M,. 2007. Mencari Genotipe Cabai Tahan Antraknosa. Diakses dari
http://ipb.bogor.agricultural.university/mencari.genotipe.cabai.tahan.antrakn
osa.htm.
Tjahjadi, Nur. 1991. Bertanam Cabai. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Trichoderma Viride sebagai biofungisida untuk mengatasi penyakit antraknosa
pada tanaman cabai (Capsicum annuum).
Dosen Pengampu : Ir. Nur Rochman, MP
Oleh :
Yusuf Bachtiar
A.1410872
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian
Universitas Djuanda Bogor
Bogor
2016
BAB. I PENDAHULUAN
I.
1. Latar Belakang
Cabai merupakan komoditas hortikultura penting di Indonesia. Salah satu
kendala penyebab berfluktuasinya produksi cabai adalah gangguan penyakit yang
dapat menyerang sejak tanaman di persemaian sampai pascapanen. Antraknosa pada
cabai merupakan penyakit yang paling sering ditemukan dan hampir selalu terjadi
disetiap areal tanaman cabai. Penyakit antraknosa ini disebabkan oleh jamur
Colletotrichum capsici (Syd.) Bult.et.Bisby. Penyakit ini selain mengakibatkan
penurunan hasil juga dapat merusak nilai estetika dari cabai itu sendiri. Serangan
patogen ini dapat terjadi baik sebelum maupun setelah panen yang menurunkan hasil
produksi cabai dan merugikan para petani sampai 50% (Semangun, 2007).
Selama ini pengendalian penyakit ini masih bertumpu pada penggunaan
fungisida. Namun disadari selain hasilnya tidak memuaskan, penggunaan pestisida
terus menerus dapat mengakibatkan timbulnya resistensi patogen, merusak
lingkungan dan berbahaya bagi konsumen.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu diambil alternatif pengendalian yang
efektif terhadap penyebab penyakit tanaman tanpa mengandalkan fungisida sistetik.
Pengendalian biologi menunjukkan alternatif pengedalian yang dapat dilakukan tanpa
harus memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan dan sekitarnya, salah
satunya adalah dengan pemanfaatan agens hayati seperti virus, jamur atau cendawan,
bakteri atau aktiomisetes.
Jamur atau cendawan mempunyai potensi sebagai agens hayati dari jamur
patogenik diantaranya adalah Trichoderma spp. Jamur Trichoderma spp digunakan
sebagai jamur atau cendawan antagonis yang mampu menghambat perkembangan
patogen melalui proses mikroparasitisme, antibiosis, dan kompetisi. Jamur
Trichoderma spp secara mikoparasitisme menhasilkan enzim kitinase yang
berperanan penting dalam kontrol fungi patogen tanaman.
Pengendalian penyakit antraknosa pada tanaman cabai yang sering dilakukan
oleh petani adalah dengan menggunakan fungisida, karena sampai saat ini belum ada
tanaman cabai merah yang tahan terhadap penyakit antraknosa. Prinsip penggunaan
fungisida didasarkan pada prinsip antibiotik terhadap tanaman. Cara lainnya yang
digunakan untuk mengendalikan penyakit yaitu penggunaan bahan kimia sintetik
yang mampu memicu ketahanan tanaman.
Bila patogen sudah menginfeksi jaringan tanaman, umumnya fungisida tidak
efektif dalam pengendalian penyakit. Dalam banyak kasus, informasi spesifik tentang
siklus penyakit sangat dibutuhkan dalam aplikasi fungisida yang tepat untuk
melindungi tanaman. Dalam label fungisida memberikan petunjuk pengaplikasian,
biasanya dengan jarak interval 7-14 hari. Jika kelembaban tinggi atau pertumbuhan
tanaman cepat, maka interval terendah antar aplikasi yang sering digunakan, dan jika
kelembaban rendah maka digunakan interval tertinggi.
I.
2. Tujuan
Menguji Trichoderma Viride sebagai biofungisida untuk mengatasi penyakit
antraknosa pada tanaman cabai (Capsicum annuum).
BAB. II TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Prajnanta (1996) tanaman cabai dalam taksonomi
tumbuhan,
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub. Divisio
: Angiospermae
Kelas
: Dycotiledoneae
Ordo
: Solanales
Famili
: Solanaceae
Genus
: Capsicum
Spesies
: Capsicum annuum L.
Tanaman cabai mengandung vitamin A dan vitamin C serta mengandung zat
berkhasiat yaitu minyak atsiri capsaicin, yang menyebabkan rasa pedas dan
memberikan kehangatan panas. Cabai dapat ditanam dengan mudah sehingga dapat
mencukupi kebutuhan sehari-hari tanpa harus membelinya di pasar ( Harpenas,
2010).
Morfologi Tanaman cabai
Menurut (Harpenas, 2010), cabai merupakan tanaman semusim (annual crop)
yang berbentuk perdu dengan perakaran akar tunggang. Sistem perakaran tanaman
cabai menyebar, panjangnya berkisar 25 – 35 cm. Akar ini berfungsi menyerap air
dan zat makanan dari dalam tanah, serta sebagai berdirinya batang tanaman. Struktur
perakaran cabai diawali dari akar tunggang yang sangat kuat dan bercabang ke
samping, dengan akar rambut terdiri atas akar utama (primer), panjang akar primer
berkisar 35 – 48 cm dan lateral (sekunder). Menurut (Tjahjadi, 1991) akar tanaman
cabai masuk tegak lurus ke dalam tanah. Akar ini berfungsi sebagai penegak pohon.
Batang utama cabai tegak dan pangkalnya berkayu dengan tinggi 20 – 28 cm
dan diameter 1,5 – 2,5 cm (Hewindati, 2006). Percabangan bersifat dikotomi atau
menggarpu. Menurut (Tjahjadi, 1991) tanaman cabai memiliki batang tegak
berbentuk bulat dapat tumbuh setinggi 50 – 150 cm, merupakan tanaman perdu yang
warna batangnya hijau dan beruas-ruas yang dibatasi dengan buku-buku yang
panjang tiap ruas 5 – 10 cm dengan diameter data 5 – 2 cm.
Daun cabai menurut Dermawan, (2010) berbentuk hati , lonjong, atau agak
bulat telur dengan posisi berselang-seling. Sedangkan menurut (Hewindati, 2006),
daun cabai berbentuk memanjang oval dengan ujung meruncing, tulang daun
menyirip dilengkapi urat daun. Panjang daun berkisar 9 – 15 cm dengan lebar 3,5 – 5
cm. Daun cabai merupakan daun tunggal, bertangkai dengan panjang 0,5 – 2,5 cm.
Helaian daun berbentuk bulat telur sampai elips, ujung runcing, pangkal meruncing,
panjang 1,5 – 12 cm, lebar 1 – 5 cm dengan warna hijau.
Menurut (Hendiwati, 2006), bunga tanaman cabai berbentuk terompet kecil,
umumnya bunga cabai berwarna putih. Cabai berbunga sempurna dengan benang sari
yang lepas tidak berlekatan. Bunga tanaman cabai cenderung bersifat protogyny,
yaitu kepala putik (stigma) telah masak (receptive) sebelum tepung sari atau sebelum
antesis, dan tepung sari keluar pada saat bunga mekar. (Yenni Kusandriani, 1996).
Warna mahkota putih, memiliki kuping sebanyak 5 – 6 helai, panjangnya 1 – 1,5 cm,
lebar 0,5 cm, warna kepala putik kuning. Mahkota bunga terdiri atas 6 – 7 petal yang
berwarna putih susu atau kadang-kadang ungu. Kepala sari berwarna kebiruan sampai
ungu.
Buah cabai berbentuk kerucut memanjang, lurus atau bengkok, meruncing
pada bagian ujungnya, menggantung, permukaan licin mengkilap, diameter 1 – 2 cm,
panjang 4 – 17 cm, bertangkai pendek. Buah muda berwarna hijau tua, setelah masak
menjadi merah cerah. Biji yang masih muda berwarna kuning, setelah tua menjadi
cokelat, berbentuk pipih, berdiameter sekitar 4 mm.
Penyakit Antraknosa Pada Tanaman Cabai
Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) penting yang sering menyerang
tanaman cabe adalah penyakit antraknosa yang disebabkan oleh jamur Gloeosporium
piperatum dan Colletotrichum capsici. Tingkat serangan penyakit ini bervariasi dan
dapat menyebabkan terjadinya kerugian 5-65% (Semangun, 1994).
Menurut Semangun (2007) Penyakit ini selain mengakibatkan penurunan hasil
juga dapat merusak nilai estetika dari cabai itu sendiri. Serangan patogen ini dapat
terjadi baik sebelum maupun setelah panen yang menurunkan hasil produksi cabai
dan merugikan para petani sampai 50%.
Penyakit ini memiliki gejala mati pucuk yang berlanjut ke bagian tanaman
bawah, daun, ranting dan cabang menjadi kering berwarna coklat kehitam-hitaman.
Pada batang cabai aservulus cendawan terlihat seperti tonjolan (Duriat, et al.2007).
pada lingkungann kondusif penyakit ini dapat menghancurkan seluruh areal
pertanaman cabai (Syukur, 2007).
Jamur Colletotrichum spp. merupakan jamur parasit fakultatif dari Ordo
Melanconiales dengan ciri-ciri konidia (spora) tersusun dalam aservulus. Jamur dari
Genus Colletotrichum termasuk dalam Class Deuteromycetes yang merupakan
bentuk anamorfik (bentuk aseksual), dan pada saat jamur tersebut dalam telemorfik
(bentuk seksual) masuk dalam Class Ascomycetes yang dikenal dengan jamur dalam
Genus Glomerella. (Alexopoulos et al., 1996).
Ciri-ciri umum jamur dari Genus Colletotrichum yaitu memiliki hifa bersekat
dan menghasilkan konidia yang transparan dan memanjang dengan ujung membulat
atau meruncing panjangnya antara 10-16 µm dan lebarnya 5-7 µm. Massa dari
konidia berwarna hitam dan hifanya berwarna abu-abu (Dickman,1993).
Gejala serangan jamur Colletotrichum spp. penyebab penyakit antraknosa
pada buah cabai besar secara umum hampir sama dengan gejala serangan jamur
patogen lainnya. Gejala serangan jamur Colletotrichum spp. diawali dengan adanya
inokulasi jamur Colletotrichum spp. pada buah cabai, kemudian diikuti dengan proses
penetrasi, infeksi, kolonisasi, dan diseminasi. Inokulasi merupakan proses deposisi
atau kontaknya inokulum (spora) pada permukaan jaringan inang. Proses penetrasi
yaitu proses masuknya organisme patogen ke dalam tubuh inang. Kemudian setelah
organisme patogen tersebut masuk ke dalam tubuh inang, maka akan terjadi proses
perkecambahan spora.
Terdapat tiga jalan atau cara yang digunakan oleh patogen dalam melakukan
penetrasi yaitu, luka, lubang alami, dan penetrasi langsung. Luka yang ada pada
tanaman dapat disebabkan oleh manusia, faktor fisik seperti angin, air hujan, atau
serangan dari hama. Lubang alami yang biasa digunakan oleh patogen untuk masuk
ke dalam tubuh tanaman inang antara lain, stomata, hidatoda dan lenti sel. Sedangkan
untuk cara penetrasi langsung, dibutuhkan usaha dari patogen antara lain dengan
memproduksi zat kimia berupa enzim atau toksin yang berfungsi untuk mendegradasi
dinding sel dan atau merubah permeabilitas membran sel tanaman. Keadaan cuaca
yang lembab sangat cocok untuk pembentukan spora dan terjadinya infeksi sehingga
diameter lesio akan cepat membesar.
Trichoderma sp
Kemampuan Trichoderma sp untuk melindungi tanaman melibatkan beberapa
mekanisme yang terkait dengan sifat biokimiawi spesies tersebut. Semua galur
Trichoderma sp. yang merupakan fungi biokontrol efektif, akan tumbuh semakin baik
di sekitar perakaran tanaman yang sehat, sehingga terjadi simbiose mutualistis antara
fungi biokontrol tersebut dengan tanaman yang dilindunginya. Oleh karena itu,
mekanisme perlindungan tanaman oleh
Trichoderma sp tidak hanya melibatkan
serangan terhadap patogen pengganggu, tetapi juga melibatkan produksi beberapa
metabolit sekunder yang berfungsi meningkatkan pertumbuhan tanaman dan akar,
dan memacu mekanisme pertahanan tanaman itu sendiri (Shoresh & Harman, 2008,
Conteras-Cornejo et al., 2009).
Mekanisme penyerangan terhadap patogen tanaman antara lain adalah melalui
proses mikoparasitisme, yang melibatkan produksi berbagai enzim (biokatalis)
hidrolitik (pemecah berbagai senyawa polimer) dan sekresi (produksi dan
pengeluaran) senyawa antifungi, antibakteri dan antinematoda.
Mikoparasitisme sebagai salah satu mekanisme penyerangan fungi biokontrol
terhadap fungi patogen, dipengaruhi oleh kemampuan fungi biokontrol menghasilkan
enzim hidrolitik (biokatalis pemecah berbagai polimer). Salah satu golongan enzim
hidrolitik yang dianggap cukup penting peranannya pada proses mikoparasitisme dari
beberapa fungi patogen adalah enzim-enzim kitinolitik, yang terdiri dari kitinase.
Kitinase adalah nama untuk golongan enzim yang mampu menghidrolisis ikatan
Beta-1,4 pada kitin dan oligomer kitin. Kitin merupakan komponen penting dari
dinding sel beberapa fungi patogen. Produksi kitinase oleh fungi biokontrol antara
lain berfungsi untuk merusak kitin dinding sel fungi patogen.
BAB. III METODELOGI
Pembuatan Biofungisida Trichoderma Viride
Trichoderma, sp banyak ditemukan di dalam tanah hutan maupun tanah
pertanian atau pada tunggul kayu. Trichoderma, sp akan tumbuh dengan baik pada
suhu 6oC sampai dengan 41oC dengan pH optimum 3 sampai dengan 7 dan Sukrosa
dan glukosa merupakan karbon utama. Untuk berkembangbiak cendawan ini
menggunakan konidia (spora). simpan pada ruangan bersih dan terhindar dari sinar
matahari. Trichoderma, sp akan terlihat tumbuh setelah satu sampai dua minggu.
Trichoderma, sp yang telah tumbuh pada media beras dan sekam disebut dengan
starter beras yang selanjutnya dapat dibiakkan pada media tanah (BBPP
Lembang,2014)
1. Alat dan Bahan
Menurut BBPP Lembang (2014) bahan yang digunakan adalah
Jamur induk Trichoderma Viride (F0)
Beras
Air murni
Alkohol
Alat-alat yang diperlukan :
Plastikbening
Kompor
Panci
Sendok
Wadah / nampan
Lilin
Cara Membuat Trichoderma Viride
Beras dimasak menjadi 1/3 masak selama 10 meni.
Setelah beras menjadi 1/3 masak dinginkan pada wadah nampan yang telah
disediakan.
Masukkan beras yang telah didinginkan tersebut kedalam plastik bening.
Setiap plastik diisi dengan beras 3 sendok makan.
Kemudian beras yang telah selesai dimasukkan kedalam plastik kemudian
disterilkan dengan cara dikukus selama 10 menit.
Selanjutnya dinginkan lagi pada nampan hingga benar-benar dingin.
Sterilkan sendok yang akan digunakan dengan menggunakan alcohol, begitu
juga dengan tangan kita.
Sendok tersebut dekatkan dengan api lilin secara sekilas saja, hal ini untuk
bertujuan mensterilkan sendok dari bakteri-bakteri di udara.
Gunakan sendok yang telah disterilkan tersebut untuk mengambil bahan induk
jamur Trichoderma yang telah disediakan.
Setiap 1 kantong plastik yang berisi beras yang telah dikukuskan tadi akan
kita isi dengan bahan induk jamur Trichoderma sebanyak 1/3 sendok.
Kocokkan agar jamurTrichoderma merata tercampur dengan media beras
yang telah kita kukuskan tadi.
Kemudian setelah itu streples ujung plastik yang terbuka agar tidak ada celah
binatang kecil seperti semut masuk kedalam plastik tersebut. diamkan pada
wadah nampan selama 14 hari.
Setelah 14 hari media beras diatas akan berubah warna menjadi warna hijau
yang merata.
Perlakuan Tanaman
Perlakuan Trichoderma Viride. sebagai agen pengimbas tanaman cabai
diberikan sebelum tanam dan sesudah tanam bibit cabai. Perlakuan sebelum tanam
diberikan 2 minggu sebelum penanaman bibit cabai dan diaplikasikan ke dalam tanah
tempat tumbuh bibit cabai. Sedangkan aplikasi sesudah tanam diberikan setelah 2
minggu tanam bibit cabai dengan cara disemprotkan pada seluruh tanaman. Sebanyak
250 mL larutan suspensi konidia Trichoderma Viride. dengan kepadatan 3,7 x
108 konidia/mL dituang ke dalam tanah tempat tumbuh tanaman cabai dan
disemprotkan pada tanaman cabai yang telah berumur 2 minggu. Penyemprotan
dilakukan pada seluruh tanaman terutama pada organ daunnya. Selanjutnya 3 hari
kemudian sebanyak 300 mL suspensi sporangia jamur patogen Colletotrichum
capsici dengan kepadatan 103 sporangia/mL juga disemprotkan pada seluruh tanaman
kecuali pada perlakuan kontrol positif. Kelembaban udara relatif dijaga dan diatur di
sekitar 100%
Daftar pustaka
Alexopoulos, C.J; C.W.Mims & M. Blackwell, 1996. Introdctory Micology 4thedition
John Wiley and Sons, New York.869 p
BBPP Lembang. 2014. Manfaat dan Cara Pembuatan Biofungisida Trikoderma.
http://www.bbpp-lembang.info/index.php/arsip/artikel/artikel-pertanian/759manfaat-dan-carapembuatan-biofungisida-trikoderma diakses pada 27 Juni
2016
Conteras-Cornejo, H. A., Macias-Rodriguez, L., Cortes-Penagos, C., Lopez-Bucio, J.
2009. Plant Physiology
Dickman, M.B. (1993). Colletrotichum gloesporoides. Department of Plant Pathology
University of Hawaii. Hilo
Djarwaningsih, T. 1984. Jenis- jenis Cabai di Indonesia, dalam Penelitian
Peningkatan Pendayagunaan Sumber Daya Alam
Duriat, A.S., N.Gunaeni., dan A.W.Wulandari. 2007. Penyakit Penting Pada
Tanaman Cabai dan Pengendaliannya. Balai Penelitian Tanaman Sayuran.
Bandung.
Harpenas, Asep & R. Dermawan. 2010. Budidaya Cabai Unggul. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Hewindati, Yuni Tri dkk. 2006. Hortikultura. Universitas Terbuka. Jakarta.
Prajnanta. 1994. Agribisnis Cabai Hibrida. Penebar Swadaya. Jakarta.
Semangun, H. 1994. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta
Semangun, H. 2007. Penyakit-penyakit Hortikultura di Indonesia (edisi kedua).
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Shoresh, M., Harman, G. E. 2008. The relationship between increased growth and
resistance induced in plants by root colonizing microbes. Plant Signaling &
Behavior 3: 737--739
Syukur, M,. 2007. Mencari Genotipe Cabai Tahan Antraknosa. Diakses dari
http://ipb.bogor.agricultural.university/mencari.genotipe.cabai.tahan.antrakn
osa.htm.
Tjahjadi, Nur. 1991. Bertanam Cabai. Penerbit Kanisius. Yogyakarta