4 Hasil dan Pembahasan (2)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Sifat Fisikokimia Metil Ester Stearin

Penelitian pembuatan surfaktan metil ester sulfonat (MES) ini menggunakan bahan baku metil ester stearin sawit. Stearin sawit merupakan salah satu hasil fraksinasi berbentuk padat pada suhu ruang dari minyak sawit kasar (crude palm oil, CPO). Metil ester stearin diperoleh melalui proses transesterifikasi yaitu mereaksikan trigliserida (stearin sawit) dengan alkohol (metanol) dengan menggunakan katalis basa (KOH) untuk menghasilkan aklil ester asam lemak dan gliserol.

Analisis sifat fisikokimia metil ester stearin sawit diperlukan untuk mengetahui karakteristik sifat-sifat fisikokimia metil ester stearin sawit hasil proses transesterifikasi dan untuk mengetahui kesempurnaan konversi stearin sawit menjadi metil ester stearin. Sifat-sifat fisikokimia metil ester stearin akan menentukan kualitas metil ester sulfonat (MES) yang dihasilkan. Adapun sifat fisikokimia metil ester stearin yang diuji meliputi: bilangan asam, bilangan iod, kadar gliserol total, kadar gliserol bebas, kadar gliserol terikat, bilangan penyabunan dan komposisi asam lemak metil ester stearin. Hasil analisis sifat fisikokimia metil ester stearin sawit disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4 Hasil analisis sifat fisikokimia metil ester stearin

Metil ester Sifat fisikokimia

Referensi

stearin

Bilangan asam (mg KOH/ g ME)

Maks. 0,5* Bilangan iod (mg I/g ME)

Maks. 3,0** Kadar gliserol total (%b)

Maks. 0,5* Kadar gliserol bebas (%b)

- Kadar gliserol terikat (%b)

- Bilangan penyabunan (mg KOH/g ME)

Komposisi ester asam lemak (%)

Keterangan * Moretti dan Adami (2001), ** Sheat dan MacArthur (2002).

Analisis bilangan asam metil ester stearin sawit dilakukan untuk mengukur tingkat konversi metil ester. Penurunan bilangan asam dari stearin sebesar 1,08 mg KOH/g sampel menjadi 0,21 mg KOH/g menunjukkan penurunan asam lemak bebas, asam lemak bebas teresterifikasi menghasilkan metil ester. Nilai bilangan asam yang diperoleh ini sesuai dengan nilai bilangan asam yang digunakan oleh Ballestra S.p.A yaitu 0,1-0,5 mg KOH/g (Moretti dan Adami 2001).

Bilangan iod menunjukkan banyaknya jumlah iodin yang diserap oleh 100

g minyak atau lemak. Bilangan iod bergantung kepada komposisi asam lemak penyusun minyak/lemak ataupun produk turunannya. Asam lemak yang tidak jenuh dalam minyak atau lemak mampu menyerap sejumlah iod dan membentuk senyawa yang jenuh. Besarnya jumlah iod yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau tidak jenuh (Ketaren 2005).

Analisis sifat fisikokimia metil ester stearin menunjukkan bilangan iod sebesar 29,91 mg iod/g ME. Bilangan iod metil ester stearin yang digunakan dalam penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan standar yang digunakan Chemithon yaitu 3 mg iod/g ME (Sheat dan MacArthur 2002). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketidakjenuhan metil ester stearin yang digunakan dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan standar dari Chemithon. Tingginya bilangan iod akan menyebabkan warna MES yang lebih gelap. Warna gelap

dikarenakan reaksi gas SO 3 terhadap metil ester stearin sehingga terbentuk senyawa polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi. Untuk itu, pada umumnya metil ester yang dijadikan sebagai bahan baku MES dihidrogenasi terlebih dahulu untuk menurunkan bilangan iodnya (Robert et al. 2008). Warna gelap pada MES selalu menjadi permasalahan dalam aplikasi MES sebagai deterjen. MES yang dihasilkan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk aplikasi EOR (enhanced oil recovery), sehingga tidak dilakukan proses hidrogenasi metil ester untuk mengurangi ikatan rangkap pada metil ester.

Kadar gliserol bebas pada metil ester stearin hasil proses transesterifikasi terukur 0,018%, dan lebih rendah dibandingkan persyaratan gliserol bebas metil ester untuk bahan bakar (ASTM 6584) sebesar 0,02 %. Gliserol bebas merupakan gliserol dalam bentuk molekul gliserol pada metil ester. Gliserol bebas disebabkan oleh pemisahan yang tidak sempurna antara ester dan gliserol setelah proses Kadar gliserol bebas pada metil ester stearin hasil proses transesterifikasi terukur 0,018%, dan lebih rendah dibandingkan persyaratan gliserol bebas metil ester untuk bahan bakar (ASTM 6584) sebesar 0,02 %. Gliserol bebas merupakan gliserol dalam bentuk molekul gliserol pada metil ester. Gliserol bebas disebabkan oleh pemisahan yang tidak sempurna antara ester dan gliserol setelah proses

Komposisi asam lemak metil ester stearin didominasi oleh C 16 (ester asam lemak palmitat) dan C 18:1 (ester asam lemak oleat) yaitu 51,05 dan 25,19%. Asam lemak C 16 dan C 18 memiliki sifat deterjensi yang baik sehingga sesuai untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pada proses produksi surfaktan (Watkins 2001).

4.2 Proses Sulfonasi Metil Ester Stearin Menjadi Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA)

Pada penelitian ini proses sulfonasi gas SO 3 terhadap metil ester stearin berlangsung secara cepat pada singletube falling film reactor (STFR). Falling film reactor ini berukuran tinggi 6 m dengan diameter tube 25 mm. Gas SO 3 dialirkan dalam pipa, dimana didinding bagian dalam pipa dialirkan bahan organik dalam bentuk film tipis, kedua bahan tersebut mengalir secara co-currant. Reaktor falling film yang digunakan dilengkapi dengan tangki penampung bahan organik berkapasitas 8 L dan terbuat dari stainless steel yang dilengkapi dengan lubang pengeluaran produk dan pemanas, sistim bypass input bahan organik, saluran gas

SO 3 , pompa pemasukan bahan organik dan sistim pengatur input gas SO 3 . Proses sulfonasi metil ester dengan gas SO 3 terjadi di sepanjang tabung. Terdapat tiga interaksi yang terjadi dalam reaktor, yaitu : 1) kontak antara fase gas dan liquid, 2)

penyerapan gas SO 3 dari fase gas, dan 3) reaksi dalam fase liquid.

Umpan metil ester stearin dipanaskan pada suhu 100°C, kemudian dipompakan naik ke puncak reaktor dengan laju alir 50 ml/menit, kemudian masuk ke liquid chamber dan mengalir turun membentuk lapisan film dengan ketebalan tertentu yang dibentuk oleh corong head yang didisain khusus untuk

reaktor ini. Kontak metil ester stearin dengan gas SO 3 pada puncak falling film reaktor ini. Kontak metil ester stearin dengan gas SO 3 pada puncak falling film

Instalasi singletube falling film reactor (STFR) milik Laboratorium SBRC ini berada di PT Mahkota Indonesia, dimana bahan baku gas SO 3 diperoleh dari

proses produksi H 2 SO 4 dari PT Mahkota Indonesia. H 2 SO 4 diperoleh melalui proses pencairan sulfur pada suhu 140-150°C, kemudian dilakukan pembakaran sulfur cair dengan udara kering pada suhu 600-800°C untuk menghasilkan sulfur

dioksida (SO 2 ), untuk merubahnya menjadi sulfur trioksida (SO 3 ), maka dilakukan reaksi oksidasi SO 2 dalam empat bed converter dengan menggunakan katalis V 2 O 5 pada suhu 400 - 500°C dan dihasilkan gas SO 3 dengan konsentrasi 25-26%. Oleh karena itu diperlukan instalasi pensuplai udara kering untuk mengencerkan gas SO 3 menjadi 4-7% agar dapat digunakan dalam proses sulfonasi metil ester. Absorpsi SO 3 oleh metil ester dalam singletube falling film reactor (STFR) ditunjukkan oleh mekanisme reaksi yang cepat yang membentuk produk intermediet (II), biasanya dilukiskan sebagai satu sulfonated anhydride.

Sulfonated anhydride dapat bereaksi kembali dengan molekul SO 3 kedua melalui bentuk enol-nya. Molekul sulfonated anhydride yang membawa dua unit SO 3 , dapat kehilangan satu unit SO 3 yang dapat bereaksi dengan molekul metil ester lain. Untuk itu perlu digunakan SO 3 berlebih. Dalam kondisi reaksi yang setimbang, produk intermediet (II) tersebut akan mengaktifkan gugus alfa ( α) pada rangkaian gugus karbon metil ester sehingga membentuk produk intermediet (III). Selanjutnya, produk intermediet (III) tersebut mengalami restrukturisasi

dengan melepaskan gugus SO 3 . Dengan terlepasnya gas SO 3 selama proses aging tersebut, maka terbentuklah methyl ester sulfonic acid (MESA (IV). SO 3 yang dilepaskan lalu akan mengkonversi sisa produk intermediet (II) membentuk produk intermediet (III). Produk intermediet III kemudian dikonversi menjadi MESA (IV) (MacArthur et al. 1998).

Proses sulfonasi metil ester stearin menghasilkan produk antara yaitu methyl ester sulfonic acid (MESA) (MacArthur et al. 1998) atau fatty acid methyl ester ( α-SF) (Yamada dan Matsutani 1996) yang bersifat asam. MESA memiliki warna gelap dan kental. MESA bersifat anionik, memiliki deterjensi tinggi, dan bersifat Proses sulfonasi metil ester stearin menghasilkan produk antara yaitu methyl ester sulfonic acid (MESA) (MacArthur et al. 1998) atau fatty acid methyl ester ( α-SF) (Yamada dan Matsutani 1996) yang bersifat asam. MESA memiliki warna gelap dan kental. MESA bersifat anionik, memiliki deterjensi tinggi, dan bersifat

Gambar 15 Tahapan reaksi pembentukan MESA pada sulfonasi metil ester (MacArthur et al. 1998)

Produk tersulfonasi MESA (methyl ester sulfonic acid) dari reaktor singletube falling film reactor (STFR) dianalisis setelah proses sulfonasi selama

2 jam untuk mengetahui sifat fisikokimia sebelum di aging. Hasil analisis sifat fisikokimia MESA ini merupakan kondisi kontrol sebelum aging sehingga diketahui perubahan karakteristik fisikokimia akibat proses aging, adapun data lengkap disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Sifat fisikokimia MESA hasil sulfonasi menggunakan STFR Sifat fisikokimia

Nilai Viskositas (cP)

95,22 Densitas (g/ml)

0,9874 pH

0,68 Bilangan asam (mg KOH/g sampel)

18,41 Bilangan iod (mg I/g)

20,49 Bahan aktif (%)

20,08 Warna (Klett)

Hasil analisis sifat fisikokimia MESA dari reactor falling film menunjukkan bahwa viskositas MESA rata-rata 95,22 cP. Pada tahapan ini, MESA yang semakin kental menunjukkan tingkat konversi yang semakin tinggi.

Adanya penambahan gugus SO 3 pada gugus karboksil, akan mengaktivasi C α sehingga akan mudah diserang oleh SO 3 selanjutnya. Demikian pula dengan Adanya penambahan gugus SO 3 pada gugus karboksil, akan mengaktivasi C α sehingga akan mudah diserang oleh SO 3 selanjutnya. Demikian pula dengan

Viskositas MESA berkolerasi dengan densitas, dari hasil analisis rata-rata densitas MESA sebesar 0,9874 g/ml. Densitas menunjukkan massa persatuan volume. MESA yang kental menunjukkan bobot molekul bahan yang tinggi, dengan demikian massa persatuan volume pun semakin meningkat.

pH merupakan derajat keasaman MESA yang dihasilkan, pH MESA dari proses sulfonasi STFR sebesar 0,68. pH MESA yang rendah disebabkan oleh adanya gugus sulfonat dalam produk hasil sulfonasi dimana molekul SO 3 bersifat asam sehingga produk tersulfonasi pun memiliki pH yang rendah. Dengan demikian semakin lama proses sulfonasi maka senyawa asam yang terbentuk semakin bertambah sehingga pH MESA yang dihasilkan semakin menurun.

Nilai pH berkorelasi dengan tingkat keasaman dari produk tersulfonasi. Tingkat keasaman MESA dinyatakan dalam bilangan asam, yaitu mg KOH yang diperlukan untuk menetralisasi 1 g MESA. Bilangan asam MESA dari proses sulfonasi STFR rata-rata adalah sebesar 18,41 mg KOH/g MESA. pH MESA yang semakin rendah maka menunjukkan tingkat keasaman yang makin tinggi.

Pengikatan molekul SO 3 pada gugus karboksil, pada karbon α, maupun pada ikatan rangkap yang lain yang menyebabkan jumlah gugus SO 3 semakin meningkat pada produk tersulfonasi dan akan meningkatkan bilangan asam produk sulfonasi.

Bilangan iod menunjukkan jumlah ikatan rangkap di dalam MESA. Dari hasil analisis bilangan iod MESA hasil proses sulfonasi pada STFR rata-rata sebesar 20,49 mg iod/g MESA. Bilangan iod MESA lebih kecil dari pada bilangan iod metil ester stearin (29,91 mg iod/g ME), hal ini menunjukkan berkurangnya

jumlah ikatan rangkap karena terjadinya proses penyisipan gugus SO 3 pada ikatan rangkap ester molekul metil ester stearin. Selain itu reaksi sulfonasi juga terjadi melalui reaksi adisi pada ikatan rangkap setelah atom karbon α (Foster 1996). Bilangan iod berkolerasi linier dengan nilai pH dan bilangan asam, dimana

dengan semakin meningkatnya pengikatan gugus SO 3 pada metil ester stearin, maka akan menyebabkan pH yang semakin rendah dan bilangan asam semakin dengan semakin meningkatnya pengikatan gugus SO 3 pada metil ester stearin, maka akan menyebabkan pH yang semakin rendah dan bilangan asam semakin

2 20,08%. Mo olekul SO 3 a akan berikata an dengan m molekul oksi igen pada ka arbonil dan pada karbon p n α melalui ikatan C-S. Semakin la ama proses sulfonasi pa ada reactor

f falling film maka akan memungkin nkan semaki in besar SO O 3 yang kont tak dengan m metil ester s sehingga ting gkat konvers si semakin m meningkat d dengan demik kian bahan

a aktif terukur r semakin tin nggi. Prod duk tersulfon nasi berwarn na hitam gel lap, warna M MESA teruk kur sebesar 566 Klett. W 5 Warna gelap dikarenaka n reaksi ga as SO 3 terha adap metil es ster stearin s sehingga te erbentuk se enyawa po olisulfonat yang mem miliki ikatan n rangkap terkonjugasi t i (Robert et t al. 2008) . Pada pem mbentukan w warna, ikata an rangkap terkonjugasi t i berperan se ebagai krom mofor, yaitu g gugus fungsi i yang dapat t menyerap

g gelombang elektromagn netik pada s senyawa pem mberi warn na. Penampa akan visual secara fisik, s MESA yan ng terbentuk berwarna h hitam dengan n viskositas yang lebih tinggi bila d t dibandingkan n dengan me etil ester. Be erikut disajik kan Gambar r 16 methyl

ester sulfoni e ic acid (MES SA) yang dih hasilkan dari i proses sulf fonasi denga an gas SO 3.

Ga ambar 16 Me Methyl ester s ulfonic acid (MESA) ha asil sulfonasi i.

4 4.3 Proses s Aging Met thyl Ester Su ulfonic Acid d (MESA)

Prose es aging d ilakukan pa ada campur ran reaksi ( (sulfonated compound

a anhydride) h hasil sulfona asi pada sing gletube fallin ng film react tor (STFR). Campuran r reaksi (sulfo onated comp pound anhyd dride) terdir ri dari senya awa interme diet II dan senyawa int s termediet II

II serta met til ester yan ng belum te erkonversi. Sulfonated

c compound a anhydride ini i bersifat asa am dengan p pH sekitar 0 ,70 – 1,2. Pr roses aging bertujuan un b ntuk menyem mpurnakan r reaksi sulfon nasi antara g gas SO 3 dan metil ester c compound a anhydride ini i bersifat asa am dengan p pH sekitar 0 ,70 – 1,2. Pr roses aging bertujuan un b ntuk menyem mpurnakan r reaksi sulfon nasi antara g gas SO 3 dan metil ester

intermediet (RCHSO 3 HCOOSO 3 CH 3 ) menjadi methyl ester sulfonic acid atau

MESA (RCHSO 3 HCOOCH 3 ).

Aging merupakan proses pemaparan suatu bahan pada kondisi lingkungan tertentu sehingga menyebabkan perubahan sifat-sifat bahan dari kondisi semula (Gates dan Gayson 1998). Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam proses aging yaitu faktor kondisi lingkungan, mekanisme degradasi kritis dan akselerasi aging. Kondisi lingkungan antara lain pemanasan dan kelembapan sedangkan mekanisme degradasi kritis merupakan fakta bahwa semua sistim polimer rentan terhadap serangkaian faktor lingkungan. Dengan demikian akselerasi aging merupakan proses yang diperlukan untuk mendapatkan mekanisme tertentu sehingga diperoleh perubahan yang sama dengan kondisi real namun dalam waktu yang lebih singkat (Gates dan Gayson 1998). Dalam hal ini yang menjadi pembatas dalam proses aging MESA adalah mekanisme aging pada kondisi lingkungan tertentu untuk terjadinya perubahan struktur namun tidak mengarah pada degradasi produk.

Proses aging dilakukan pada reaktor aging dengan ukuran diameter 20 cm dan tinggi 30 cm dengan kapasitas 6-8 L. Reaktor aging dilengkapi dengan instalasi pengadukan dengan kecepatan pengadukan maksimal 280 rpm. Dalam penelitian ini proses aging dilakukan pada produk tersulfonasi dari reactor falling film (STFR) setelah proses sulfonasi selama 2 jam kemudian dikumpulkan selama

1 jam (hasil sulfonasi 2-3 jam) untuk mendapatkan kapasitas 1,5-2 L sehingga cukup untuk dilakukan pengadukan. Proses aging merupakan proses yang memberikan kondisi lingkungan terhadap MESA sehingga proses penyusunan ulang struktur molekul dalam produk tersulfonasi terjadi. Mekanisme proses penyusunan kembali pada proses aging (Gambar 17) menunjukkan bahwa pada tahapan pertama proses sulfonasi

pada reaktor falling film berlangsung cepat, SO 3 bereaksi ekstrim dimana akan membawa muatan positif atom sulfur pada pasangan elektron bebas oksigen karbonil gugus ester. Karena aktivasi yang meningkat dari atom hidrogen C α dikarenakan pembentukan sulfonated anhydride, atom hidrogen c α digantikan pada reaktor falling film berlangsung cepat, SO 3 bereaksi ekstrim dimana akan membawa muatan positif atom sulfur pada pasangan elektron bebas oksigen karbonil gugus ester. Karena aktivasi yang meningkat dari atom hidrogen C α dikarenakan pembentukan sulfonated anhydride, atom hidrogen c α digantikan

Gambar 17 Mekanisme reaksi pembentukan α-sulfo fatty ester (Kapur et al. 1978)

Dalam penelitian proses aging ini, input produk tersulfonasi dari STFR masuk secara gravitasi dari atas, gas SO 3 yang bereaksi merupakan kelebihan SO 3 yang terdapat pada produk tersulfonasi. Pemanasan pada aging menggunakan heater dari bawah, dan pengadukan pada proses aging sekitar 100 rpm. Proses aging dilakukan pada perlakuan suhu aging sekitar 80, 100 dan 120°C dengan lama aging sekitar 30,45 dan 60 menit serta pengadukan sekitar 100 rpm, sehingga dihasilkan produk MESA pasca aging.

Produk MESA pasca aging kemudian dianalisis untuk mengetahui pengaruh suhu aging dan lama aging terhadap keberhasilan proses aging. Parameter uji yang dilakukan meliputi kadar bahan aktif, bilangan asam, bilangan iod, pH, densitas, viskositas, warna dan tegangan permukaan.

Produk MESA pasca aging, selanjutnya dilakukan proses netralisasi. Proses netralisasi MESA bertujuan untuk menghasilkan MES dengan kisaran nilai pH 6-8 sehingga diperoleh produk yang stabil. MES yang dihasikan dari proses sulfonasi masih mengandung produk samping berupa sabun yang tersulfonasi (sulfonated soap) yang disebut di-salt. Di-salt terbentuk melalui proses hidrolisis

MES. Walaupun di-salt termasuk surfaktan namun memiliki karakteristik yang tidak diinginkan sehingga mengurangi kinerja dari MES. Titik larut di-salt pada suhu 65°C sedangkan untuk MES pada suhu 17°C, serta memiliki sensitivitas terhadap kesadahan air lebih tinggi dari MES (Sheat dan Mac Arthur 2002).

Proses netralisasi pada penelitian ini menggunakan NaOH 50%, titik akhir titrasi ditentukan dengan adanya perubahan warna dari hitam menjadi coklat dan indikator kertas pH menunjukkan warna pH 7 (netral). Jika netralisasi pada MESA tidak dilakukan maka MESA akan menjadi kental dan cenderung memadat tanpa dipanaskan. Chemithon dan Ballestra S.p.A mensyaratkan pH MES pada kisaran 6-8.

Pada proses netralisasi harus dihindarkan pH yang ekstrim untuk menghindari terjadinya hidrolisis MES menjadi di-salt. Menurut Robert et al. (2008) pada pH 3-9,5 hidrolisis berlangsung lambat, sementara pH MESA hasil penelitian kurang dari 1 sehingga memungkinkan terjadi hidrolisis asam yang

akan merubah gugus COOCH 3 pada MES menjadi COOH. Sementara jika pH terlalu tinggi (alkali) melebihi 9,5 maka hidrolisis merubah COOCH 3 pada MES menjadi COONa.

4.4 Sifat Fisikokimia Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dan Metil Ester Sulfonat (MES) Pasca Aging

4.4.1 Nilai pH MESA

Pengukuran pH bertujuan untuk mengetahui derajat keasaman MESA yang dihasilkan. Hasil analisis pH MESA pasca aging berkisar pada 0,61 – 1,12. Data hasil analisis nilai pH MESA selengkapnya disajikan pada Lampiran 3a.

Hasil analisis ragam ( α=0,05) terhadap suhu dan lama aging menunjukkan bahwa suhu aging berpengaruh nyata terhadap nilai pH MESA, sedangkan lama aging dan interaksi antara suhu dan lama aging tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH MESA, hasil selengkapnya disajikan pada Lampiran 3b.

Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 3c) pengaruh suhu aging terhadap pH MESA menunjukkan bahwa pH MESA pada suhu aging 80°C (0,71) berbeda nyata dengan pH MESA pada suhu 100°C (0,83) dan suhu 120°C (0,93). Sedangkan pH MESA pada suhu 100 dan 120°C tidak berbeda nyata.

pH MESA pasca aging mempunyai kecenderungan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu aging. Pengaruh suhu dan lama aging terhadap pH MESA disajikan pada Gambar 18. Nilai pH MESA terendah diperoleh dari kombinasi perlakuan suhu aging 80°C dengan lama aging 60 menit yaitu 0,66 sedangkan nilai pH MESA tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan suhu aging 120°C dengan lama aging 60 menit yaitu 1,00. Nilai pH MESA pasca aging pada kombinasi perlakuan suhu aging 80°C dengan lama aging 30 menit (0,77), lama aging 45 menit (0,68) dan lama aging 60 menit (0,66) mempunyai nilai pH yang tidak berbeda nyata dengan nilai pH MESA sebelum aging yaitu 0,68.

A S 0.80 E 0.60 M 0.40

Lama Aging (Menit)

Gambar 18 Pengaruh suhu dan lama aging terhadap pH MESA (suhu aging ‹ 80°C, „ 100°C S 120°C)

Semakin tinggi suhu aging maka pH MESA akan semakin meningkat dimana peningkatan pH MESA pada suhu aging 120°C lebih tinggi dibandingkan suhu aging 80 dan 100°C pada lama aging yang sama (Gambar 18). Hal ini diduga karena pada proses aging yang melibatkan suhu tinggi dan waktu tinggal yang lama serta adanya pengadukan maka memungkinkan terjadinya proses

penyusunan ulang (rearrangement) dan pelepasan SO 3 dari produk tersulfonasi. Kapur et al. 1978 menyatakan bahwa senyawa intermediet hasil sulfonasi akan melakukan proses penyusunan ulang (rearrangement) sehingga SO 3 dilepaskan dari gugus karboksil. Terlepasnya SO 3 mengakibatkan berkurangnya keasaman produk sulfonasi sehingga pH terukur meningkat. Nilai pH juga berkaitan dengan konsentrasi ion hidrogen sebagai bagian komponen keasaman dan konsentrasi ion hidroksil sebagai bagian komponen kebasaan Rondinini et al. (2001). Pada kondisi pH netral maka konsentrasi kedua penyusunan ulang (rearrangement) dan pelepasan SO 3 dari produk tersulfonasi. Kapur et al. 1978 menyatakan bahwa senyawa intermediet hasil sulfonasi akan melakukan proses penyusunan ulang (rearrangement) sehingga SO 3 dilepaskan dari gugus karboksil. Terlepasnya SO 3 mengakibatkan berkurangnya keasaman produk sulfonasi sehingga pH terukur meningkat. Nilai pH juga berkaitan dengan konsentrasi ion hidrogen sebagai bagian komponen keasaman dan konsentrasi ion hidroksil sebagai bagian komponen kebasaan Rondinini et al. (2001). Pada kondisi pH netral maka konsentrasi kedua

berkaitan struktur molekul di dalamnya yang mengandung (SO 3 H). Gugus SO 3 H

di dalam air akan terdisosiasi menjadi SO +

3 dan H . Dengan terjadinya pelepasan molekul SO 3 H yang intensif pada proses aging suhu tinggi dan waktu tinggal yang

lama, maka konsentrasi SO +

3 - semakin berkurang sehingga konsentrasi ion H menurun dan nilai pH larutan menjadi naik.

4.4.2 Bilangan Asam MESA

Bilangan asam merupakan jumlah mg KOH/NaOH yang diperlukan untuk menetralisasi asam lemak bebas dalam 1 g minyak atau lemak (Ketaren 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bilangan asam MESA pasca aging berkisar pada 12,20–20,36 mg NaOH/g MESA. Data bilangan asam MESA pasca aging selengkapnya disajikan pada Lampiran 4a.

Hasil analisis ragam ( α=0,05) terhadap suhu dan lama aging menunjukkan bahwa suhu aging berpengaruh nyata terhadap bilangan asam MESA pasca aging, sedangkan perlakuan lama aging maupun interaksi antara suhu dan lama aging tidak memberikan pengaruh nyata terhadap bilangan asam MESA pasca aging. Hasil analisis ragam bilangan asam MESA selengkapnya disajikan pada Lampiran

4b. Hasil uji lanjut Duncan terhadap perlakuan suhu aging menunjukkan bahwa rata-rata bilangan asam MESA suhu aging 80°C (19,06 mg NaOH/g) tidak berbeda nyata dengan bilangan asam MESA suhu aging 100°C (17,77 mg NaOH/g) akan tetapi bilangan asam MESA suhu aging 80 dan 100 °C berbeda nyata dengan perlakuan suhu aging 120°C (13,38 mg NaOH/g). Data uji lanjut Duncan selengkapnya disajikan pada Lampiran 4c.

Bilangan asam MESA pasca aging menunjukkan kecenderungan menurun seiring dengan peningkatan suhu dan lama aging. Grafik hubungan antara suhu dan lama aging terhadap bilangan asam MESA pasca aging disajikan pada Gambar 19.

Bilangan asam MESA tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan suhu aging 80°C dengan lama aging 60 menit yaitu 19,87 mg KOH/g, sedangkan Bilangan asam MESA tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan suhu aging 80°C dengan lama aging 60 menit yaitu 19,87 mg KOH/g, sedangkan

A 25.00 20.00

H/g) 15.00

Asam MES

g KO

ngan (m

Lama Aging (Menit)

Gambar 19 Grafik hubungan antara suhu dan lama aging terhadap bilangan asam MESA pasca aging

(suhu aging ‹ 80°C, „ 100°C S 120°C)

Berdasarkan Gambar 19 dapat diketahui bahwa semakin tinggi suhu aging bilangan asam akan semakin menurun dimana penurunan bilangan asam pada suhu aging 120°C lebih tinggi dibandingkan suhu aging 80 dan 100°C pada lama aging yang sama. Peningkatan suhu akan menyebabkan peningkatan jumlah energi bagi molekul reaktan sehingga tumbukan antar molekul per waktu lebih produktif. Oleh karena itu, semakin besar suhu aging dan semakin lama waktu

aging mengakibatkan pelepasan molekul SO 3 dari struktur produk tersulfonasi menjadi semakin intensif. Pelepasan SO 3 produk tersulfonasi mengakibatkan berkurangnya jumlah SO 3 yang terdapat dalam MESA sehingga menyebabkan bilangan asam menurun. Penelitian Battaglini et al. (1986) terhadap alpha sulfo methyl tallowate menyebutkan bahwa bilangan asam juga dipengaruhi oleh adanya gugus karboksilat (COOH) pada asam lemak bebas (RCOOH) dan juga monosodium

alpha tallow acid (RCHSO 3 NaCOOH). Demikian pula Germain (2001) menyatakan bahwa ester stabil pada pH netral, pada pH kurang dari 4 dapat terhidrolisa menjadi disodium salt dari sulfonated fatty acid.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa bilangan asam MESA berkolerasi dengan nilai pH MESA dimana keduanya berkaitan dengan keberadaan SO 3 yang bersifat asam dalam struktur molekul produk tersulfonasi. Dengan menurunnya bilangan asam MESA maka pH MESA akan meningkat. Penurunan bilangan asam MESA disebabkan karena berkurangnya SO 3 di dalam struktur MESA. Suhu aging yang semakin tinggi dan semakin lama proses aging mengakibatkan SO 3 terlepas dari struktur molekul produk tersulfonasi. Terlepasnya SO 3 mengakibatkan keasaman produk berkurang sehingga pH produk tersulfonasi meningkat.

4.4.3 Bilangan Iod MESA

Bilangan iod merupakan parameter yang dijadikan detektor adanya ikatan rangkap dalam suatu bahan. Adanya perubahan nilai bilangan iod mengindikasikan bahwa diduga telah terjadi reaksi pada ikatan rangkap tersebut. Terjadinya reaksi tersebut ditunjukkan dengan penurunan atau meningkatnya nilai bilangan iod.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bilangan iod MESA pasca aging berkisar pada 18,32 – 22,32 mg I/g MESA. Data bilangan iod MESA pasca aging selengkapnya disajikan pada Lampiran 5a. Dari hasil analisis ragam ( α=0,05) terhadap suhu dan lama aging menunjukkan bahwa suhu aging dan lama aging serta interaksi antara suhu dan lama aging tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan iod MESA. Hasil analisis ragam bilangan iod MESA pasca aging selengkapnya disajikan pada Lampiran 5b.

Apabila dibandingkan dengan bilangan iod bahan baku metil ester stearin yaitu 29,1 mg I/g, maka telah terjadi penurunan bilangan iod MESA pasca aging. Hal ini menunjukkan bahwa SO 3 telah mampu mengadisi ikatan rangkap yang terdapat pada metil ester stearin.

4.4.4 Kadar Bahan Aktif MESA dan MES

Bahan aktif merupakan salah satu mutu yang dinilai dari banyak surfaktan. Kinerja surfaktan mempunyai korelasi yang nyata pada kadar bahan aktif. Semakin banyak bahan aktif sebuah surfaktan maka akan semakin baik Bahan aktif merupakan salah satu mutu yang dinilai dari banyak surfaktan. Kinerja surfaktan mempunyai korelasi yang nyata pada kadar bahan aktif. Semakin banyak bahan aktif sebuah surfaktan maka akan semakin baik

Prosedur yang digunakan untuk menguji kadar bahan aktif yang diterima secara universal adalah metode titrasi dua fasa, atau sering dikenal dengan metode epthon. Menurut Stache (1995) prinsip dasar dari uji ini adalah titrasi bahan aktif anionik menggunakan cetylpiridinium bromide, yang merupakan salah satu jenis surfaktan kationik. Indikator yang digunakan adalah methylen blue. Campuran surfaktan dengan indikator ditambah kloroform sehingga tercipta dua fasa yaitu fasa kloroform di bagian bawah dan fasa larutan surfaktan dan methylen blue yang berada di bagian atas. Bahan aktif yang larut pada methylen blue akan memberikan warna biru pekat pada larutan surfaktan. Langkah selanjutnya adalah dititrasi dengan surfaktan kationik. Dalam proses titrasi ini warna biru akan berpindah ke fasa kloroform hingga warna dua fasa tersebut seragam. Bila titrasi diteruskan maka fasa kloroform akan menjadi lebih pucat lalu lama-kelamaan akan menjadi bening.

1. Bahan Aktif MESA

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan aktif MESA pasca aging berkisar pada 14,23 – 24,60 %. Data bahan aktif MESA pasca aging selengkapnya disajikan pada Lampiran 6a. Hasil analisis ragam ( α=0,01) terhadap suhu dan lama aging menunjukkan bahwa suhu aging berpengaruh sangat nyata terhadap kadar bahan aktif MESA pasca aging, sedangkan lama aging dan interaksi antara suhu dan lama aging tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bahan aktif MESA pasca aging. Hasil analisis sidik ragam bahan aktif MESA selengkapnya disajikan pada Lampiran 6b.

Hasil uji lanjut Duncan terhadap perlakuan suhu aging menunjukkan bahwa rata-rata bahan aktif MESA suhu aging 80°C (22,29%) berbeda nyata dengan perlakuan suhu aging 100°C (18,46%) dan suhu aging 120°C (14,83%). Data analisis uji lanjut Duncan selengkapnya disajikan pada Lampiran 6c.

Kadar bahan aktif MESA pasca aging menunjukkan kecenderungan menurun seiring dengan peningkatan suhu dan lama aging. Grafik hubungan Kadar bahan aktif MESA pasca aging menunjukkan kecenderungan menurun seiring dengan peningkatan suhu dan lama aging. Grafik hubungan

Ba SA 10.00

Lama Aging (Menit)

Gambar 20 Grafik hubungan antara suhu dan lama aging terhadap bahan aktif MESA

(suhu aging ‹ 80°C, „ 100°C S 120°C)

Kadar bahan aktif MESA tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan suhu aging 80°C dengan lama aging 60 menit yaitu 23,51%, sedangkan bahan aktif MESA terendah pada kombinasi perlakuan suhu aging 120°C dengan lama aging 60 menit (14,49%). Kadar bahan aktif MESA pasca aging pada kombinasi perlakuan suhu aging 80°C dengan lama aging 30 menit (20,75%), 45 menit (22,62%) dan 60 menit (23,51%) mempunyai kecenderungan meningkat bila dibandingkan dengan kadar bahan aktif MESA sebelum aging yaitu 20,06%. Akan tetapi pada kombinasi perlakuan suhu aging 100°C dengan lama aging 30 menit (19,48%), 45 menit (18,26%) dan 60 menit (17,64%) serta suhu aging 120°C pada lama aging yang 30 menit (15,20%), 45 menit (14,81%) dan 60 menit (14,49%) mempunyai kecenderungan penurunan kadar bahan aktif MESA pasca aging.

Pada Gambar 20 terlihat bahwa perlakuan suhu aging yang lebih tinggi dan waktu aging yang semakin lama cenderung menurunkan bahan aktif MESA. Hal ini diduga karena pemanasan suhu tinggi, lama aging dan adanya

pengadukan, maka pelepasan SO 3 dari bahan tersulfonasi semakin meningkat. Suhu yang tinggi juga menyebabkan degradasi dan pemutusan rantai molekul, ikatan C-S menjadi lemah dan SO 3 terputus dari struktur molekul produk tersulfonasi. Dengan berkurangnya SO 3 maka nilai bahan aktif terukur menurun.

Proses aging merupakan tahapan proses yang tidak terlepas dari proses sulfonasi pada reaktor falling film dimana kelebihan SO 3 terhadap metil ester harus tetap terjaga untuk menyempurnakan reaksi sulfonasi. Demikian pula kondisi reaktor dan proses aging harus mampu menyempurnakan reaksi sehingga tingkat konversi sulfonated compound anhydride menjadi methyl ester sulfonic acid meningkat. Pada penelitian ini, suhu aging tinggi dan waktu aging yang semakin lama memungkinkan terjadi pengerakan MESA yang mengendap pada bagian bawah tangki reaktor aging. Endapan semi solid ini diduga hasil degradasi

produk tersulfonasi pada suhu tinggi yang banyak mengandung SO 3 . Menurut Foster dan Rollock (1997) degradasi pada alcohol sulfuric acid merupakan fungsi waktu dan temperatur. Pada temperatur yang tinggi dan waktu tinggal yang lama pada kondisi pH asam akan memicu dekomposisi menjadi asam sulfuric acid dan unsulfonated alcohol. Sesuai dengan hasil penelitian Battaglini et al. (1986) bahwa perlakuan pemanasan pada suhu 80°C selama 2 jam dengan kondisi asam pada saat pengukuran senyawa aktif alpha sulfo methyl tallowate ternyata menyebabkan hidrolisis sehingga kandungan sodium alpha sulfo methyl tallowate menurun dari 86,33% menjadi 42,03%, dan sebaliknya meningkatkan kandungan disodium alpha sulfo tallowate (di-salt) dan sodium metil sulfat.

2. Kadar Bahan Aktif MES

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar bahan aktif MES pasca aging berkisar 15,24 - 24,74%. Data bahan aktif MES pasca aging selengkapnya disajikan pada Lampiran 7a. Hasil analisis ragam ( α=0,01) terhadap suhu dan lama aging menunjukkan bahwa suhu aging berpengaruh sangat nyata terhadap bahan aktif MES pasca aging, sedangkan lama aging dan interaksi antara suhu dan lama aging tidak berpengaruh nyata terhadap bahan aktif MES pasca aging. Hasil analisis sidik ragam bahan aktif MES selengkapnya disajikan pada Lampiran 7b.

Hasil uji lanjut Duncan terhadap perlakuan suhu aging menunjukkan bahwa rata-rata bahan aktif MES suhu aging 80°C (22,32%) berbeda nyata dengan perlakuan suhu aging 100°C (18,31%) dan suhu aging 120°C (16,03%). Data analisis uji lanjut Duncan selengkapnya disajikan pada Lampiran 7c.

Kadar bahan aktif MES pasca aging menunjukkan kecenderungan menurun seiring dengan peningkatan suhu dan lama aging. Grafik hubungan Kadar bahan aktif MES pasca aging menunjukkan kecenderungan menurun seiring dengan peningkatan suhu dan lama aging. Grafik hubungan

f 30.00

ti k A ) 25.00

n a 20.00 h 15.00

r Ba MES (% 10.00

Lama Aging (Menit)

Gambar 21 Grafik hubungan antara suhu dan lama aging terhadap bahan aktif MES

(suhu aging ‹ 80°C, „ 100°C S 120°C)

Berdasarkan Gambar 21 diketahui bahwa perlakuan aging dengan suhu tinggi (>80°C) dan waktu aging yang semakin lama , menyebabkan kadar bahan aktif MES menurun. Peningkatan suhu akan menyebabkan peningkatan jumlah energi bagi molekul reaktan sehingga tumbukan antar molekul per waktu lebih produktif. Tingginya suhu aging lebih banyak menyebabkan proses degradasi termal, suhu tinggi memberikan energi yang lebih tinggi untuk terjadinya

pemisahan ikatan antar molekul khususnya melemahnya ikatan SO 3 pada atom karbon dan juga pemecahan molekul menjadi rantai yang lebih pendek. Sehingga menyebabkan kadar bahan aktif MES terukur menurun.

Bila dibandingkan kadar bahan aktif MESA suhu aging 80, 100 dan 120°C dengan lama aging 30, 45 dan 60 menit dengan kadar bahan aktif MES pada kombinasi perlakuan yang sama maka bahan aktif MES mempunyai kadar yang lebih tinggi. Hal ini diduga karena proses netralisasi dengan menggunakan NaOH 50% mampu meningkatkan bahan aktif MES pada MESA pasca aging. MESA dalam kondisi asam bersifat tidak stabil, netralisasi diperlukan untuk menghindari hidrolisis menjadi sulfonated fatty acid (Foster 1997).

Kadar bahan aktif MESA dan MES tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan suhu aging 80°C dengan lama aging 60 menit yaitu 23,51% dan 24,08%, bila dibandingkan dengan MESA sebelum aging yaitu sekitar 20,06 % maka telah terjadi peningkatan sekitar 14,67% dan 16,7%. Berdasarkan hasil penelitian, tingkat konversi sulfonated compound anhydride menjadi methyl ester sulfonic acid belum sesuai dengan target yang diinginkan. Menurut Moretti et al. (2001) total bahan aktif pada MES pasta berkisar antara 30-65%, untuk mencapainya memerlukan perbaikan proses diantaranya kontrol yang akurat

terhadap rasio molar metil ester terhadap SO 3 , konsentrasi SO 3 , kualitas bahan baku, dan kondisi reaktor. Proses aging secara teoritis menghasilkan sebagian besar produk MESA (RCH(SO 3 )COOCH 3 ) dan sisa sulfonated compound anhydride RCH(SO 3 H)COOSO 3 CH 3 . MESA jika dinetralkan maka akan menghasilkan MES (reaksi 1). Sedangkan sulfonated compound anhydride ini jika langsung dinetralkan dengan NaOH maka akan menyebabkan terbentuknya di-salt dan sodium metil sulfat (reaksi 2). Oleh karena itu untuk meningkatkan yield MES maka sulfonated compound anhydride ini harus direaksikan dengan metanol untuk reesterifikasi membentuk MESA sehingga jika dinetralkan dengan metanol akan dihasilkan MES (reaksi 3). Demikian pula menurut MacArthur et al. (1998) bahwa untuk menghindari terbentuknya di-salt dilakukan proses aging pasca sulfonasi pada reaktor falling film dan penambahan metanol sebelum netralisasi. Reaksi selengkapnya mengenai hal tersebut di atas disajikan pada Gambar 22.

Gambar 22 Reaksi pembentukan MES, di-salt dan reesterifikasi (MacArthur et al. 1998)

Penurunan bahan aktif MESA pasca aging dengan kenaikan pH, penurunan bilangan asam, serta kenaikan bilangan iod dapat dikaitkan dengan terjadinya pelepasan SO 3 dari struktur molekul produk tersulfonasi pada proses aging. Perlakuan suhu aging dengan suhu tinggi (> 80°C), lebih banyak menyebabkan proses degradasi termal, suhu tinggi memberikan energi yang lebih tinggi untuk terjadinya pemisahan ikatan antar molekul khususnya melemahnya

ikatan SO 3 pada atom karbon dan juga pemecahan molekul menjadi rantai yang lebih pendek. Jumlah SO 3 dalam produk tersulfonasi yang semakin berkurang, mengakibatkan kontribusi terhadap keasaman produk menurun.

4.4.5 Viskositas MESA

Viskositas merupakan sifat intrinsik fluida yang menunjukkan ketahanan fluida untuk mengalir. Suatu jenis cairan yang mudah mengalir dapat dikatakan memiliki viskositas yang rendah dan sebaliknya bahan-bahan yang sulit mengalir memiliki viskositas yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa viskositas MESA pasca aging berkisar antara 68 - 102 cP. Data viskositas MESA pasca aging selengkapnya disajikan pada Lampiran 8a.

Hasil analisis ragam ( α=0,01) terhadap suhu dan lama aging menunjukkan bahwa suhu aging berpengaruh sangat nyata terhadap viskositas MESA pasca aging sedangkan lama aging dan interaksinya tidak berpengaruh nyata terhadap viskositas MESA pasca aging. Hasil analisis ragam viskositas MESA pasca aging disajikan pada Lampiran 8b.

Hasil uji lanjut Duncan terhadap perlakuan suhu aging menunjukkan bahwa rata-rata viskositas MESA pasca aging pada suhu aging 80°C (97,38 cP) tidak berbeda nyata dengan perlakuan suhu aging 100°C (93,06 cP) tetapi viskositas MESA pada kedua suhu aging tersebut berbeda nyata dengan viskositas MESA pada suhu aging 120°C (74,37 cP). Hasil analisis uji lanjut Duncan selengkapnya disajikan pada Lampiran 8c.

Viskositas MESA pasca aging tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan suhu aging 80°C dengan lama aging 60 menit yaitu 100,13 cP, sedangkan viskositas MESA terendah pada kombinasi perlakuan suhu aging 120°C dengan lama aging 60 menit yaitu 71,13 cP. Viskositas MESA pasca aging Viskositas MESA pasca aging tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan suhu aging 80°C dengan lama aging 60 menit yaitu 100,13 cP, sedangkan viskositas MESA terendah pada kombinasi perlakuan suhu aging 120°C dengan lama aging 60 menit yaitu 71,13 cP. Viskositas MESA pasca aging

30, 45 dan 60 menit, mempunyai kecenderungan terjadinya penurunan nilai viskositas. Viskositas MESA pasca aging menurun seiring dengan peningkatan suhu dan lama aging. Grafik hubungan antara suhu dan lama aging terhadap viskositas MESA pasca aging disajikan pada Gambar 23.

120.00 cP) ( 100.00

E 80.00 60.00

tas M si 40.00 o

Lama Aging (Menit)

Gambar 23 Grafik hubungan antara suhu dan lama aging terhadap viskositas MESA

(suhu aging ‹ 80°C, „ 100°C S 120°C)

Pada Gambar 23 terlihat bahwa perlakuan suhu aging yang lebih tinggi dan waktu aging yang lebih lama cenderung menurunkan viskositas MESA pasca aging. Kenaikan suhu aging akan melemahkan ikatan antar molekul khususnya

ikatan C-S sehingga SO 3 terlepas. Diduga pula oleh adanya penyusunan ulang pada sulfonated compound anhydride dimana terjadi pelepasan gugus SO 3 pada karboksil pada suhu tinggi sehingga berat molekul berkurang karena terbentuknya metil ester sulfonic acid (Kapur et al. 1978). Berkurangnya berat molekul juga mengakibatkan berkurangnya viskositas.

Besaran viskositas berbanding terbalik dengan perubahan suhu. Kenaikan suhu akan melemahkan ikatan antar molekul suatu jenis cairan sehingga menurunkan nilai viskositasnya. Suhu aging yang semakin tinggi (> 80°C) akan

melemahkan ikatan antar molekul khususnya ikatan C-S sehingga SO 3 terlepas.

SO 3 yang terlepas mengakibatkan berat molekul berkurang sehingga viskositasnya juga menurun.

4.4.6 Densitas MESA

Densitas merupakan perbandingan berat dari suatu volume sampel pada suhu 25 °C dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Efek temperatur pada densitas cairan tidak dapat diabaikan karena cairan akan meregang mengikuti perubahan temperatur. Densitas umumnya dikaitkan dengan viskositas dimana cairan lebih padat maka viskositasnya lebih tinggi, hal ini tentunya berkolerasi dengan kandungan total padatan pada bahan.

Densitas MESA pasca aging berkisar antara 0,955 - 1,000 g/ml. Data densitas MESA pasca aging selengkapnya disajikan pada Lampiran 9a. Hasil analisis ragam ( α=0,01) terhadap suhu dan lama aging menunjukkan bahwa suhu aging berpengaruh sangat nyata terhadap densitas MESA pasca aging sedangkan lama aging dan interaksinya tidak berpengaruh nyata terhadap densitas MESA pasca aging. Hasil analisis ragam densitas MESA pasca aging disajikan pada Lampiran 9b.

Hasil uji lanjut Duncan terhadap perlakuan suhu aging menunjukkan bahwa rata-rata densitas MESA pasca aging pada perlakuan suhu aging 80°C (0,9917 g/ml) berbeda nyata dengan perlakuan suhu aging 100°C (0.9833 g/ml) dan berbeda nyata dengan densitas MESA pada suhu aging 120°C (0.9590 g/ml). Hasil analisis uji lanjut Duncan selengkapnya disajikan pada Lampiran 9c.

Densitas MESA pasca aging menurun seiring dengan peningkatan suhu dan lama aging. Grafik hubungan antara suhu dan lama aging terhadap densitas MESA disajikan pada Gambar 24.

Densitas MESA pasca aging tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan suhu aging 80°C dengan lama aging 60 menit yaitu 0,997 g/ml, sedangkan densitas MESA terendah pada kombinasi perlakuan suhu aging 120°C dengan lama aging 60 menit yaitu 0,957 g/ml. Densitas MESA pasca aging pada kombinasi perlakuan suhu aging 80°C dengan lama aging 30 menit (0,985 g/ml),

45 menit (0,992 g/ml) dan 60 menit (0,997 g/ml) mempunyai kecenderungan meningkat bila dibandingkan dengan kadar bahan aktif MESA sebelum aging 45 menit (0,992 g/ml) dan 60 menit (0,997 g/ml) mempunyai kecenderungan meningkat bila dibandingkan dengan kadar bahan aktif MESA sebelum aging

30, 45 dan 60 menit, mempunyai kecenderungan terjadinya penurunan nilai densitas.

l) 1.000 (g/m 0.990

tas MESA

Lama Aging (Menit)

Gambar 24 Grafik hubungan antara suhu dan lama aging terhadap densitas MESA

(suhu aging ‹ 80°C, „ 100°C S 120°C)

Pada Gambar 24 terlihat bahwa perlakuan suhu aging yang lebih tinggi dan waktu aging yang lebih lama cenderung menurunkan densitas MESA pasca aging. Kenaikan suhu dan lama aging berpengaruh terhadap gaya kohesi (tarik menarik) antar molekul pada cairan dimana dengan meningkatnya suhu dan lama aging akan mengurangi gaya kohesi dan meningkatkan perubahan molekul di

dalamnya termasuk melemahnya ikatan C-S sehingga SO 3 terlepas yang mengakibatkan massa persatuan volume berkurang yang menyebabkan densitas menurun.

Sifat densitas sangat erat kaitannya dengan viskositas yaitu tahanan aliran fluida yang merupakan gesekan antara molekul-molekul cairan satu dengan yang lainnya. MESA yang mempunyai densitas rendah mempunyai viskositas yang encer. Suhu tinggi menyebabkan melemahnya ikatan antara molekul atau bahkan degradasi yang mengakibatkan pemutusan ikatan antar molekul pada suatu jenis cairan. Hal ini menyebabkan kerapatan massa berkurang, hal ini berimplikasi terhadap menurunnya densitas dan viskositas (kekentalan).

4.4.7 Warna MESA

Pengukuran warna MESA dilakukan dengan pembacaan absorbansi pada spektrofotometer. Absorbansi MESA diukur pada panjang gelombang 420 nm. nilai absorbansi yang tertera dicatat. Warna (Klett) dihitung dengan mengkalikan nilai absorbansi dengan 1000. Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna MESA berkisar antara 556 – 708 Klett. Data warna MESA selengkapnya disajikan pada Lampiran 10a.

Hasil analisis ragam ( α=0,05) terhadap suhu dan lama aging menunjukkan bahwa suhu dan lama aging berpengaruh nyata terhadap warna MESA pasca aging sedangkan interaksi antara suhu dan lama aging tidak berpengaruh nyata terhadap warna MESA pasca aging. Hasil analisis ragam terhadap warna MESA disajikan pada Lampiran 10b.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa warna MESA pada perlakuan suhu aging 80°C (600,08 Klett) berbeda nyata dengan warna MESA suhu aging 100°C (639,75 Klett) dan warna MESA pada suhu aging 120°C (690,5 Klett). Lama aging 30 menit (621,17 Klett), berbeda nyata dengan perlakuan lama aging

45 menit (649,75 Klett) dan lama aging 60 menit (659,42 Klett), sedangkan perlakuan lama aging 45 dan 60 menit tidak berbeda nyata. Hasil analisis uji lanjut Duncan terhadap suhu dan lama aging selengkapnya disajikan pada Lampiran 10c dan 10d.

Warna MESA pasca aging meningkat seiring dengan peningkatan suhu dan lama aging. Grafik pengaruh suhu dan lama aging terhadap warna MESA pasca aging dapat dilihat pada Gambar 25

Warna MESA 100

Lama Aging (Menit)

Gambar 25 Grafik pengaruh suhu dan lama aging terhadap warna MESA (suhu aging ‹ 80°C, „ 100°C S 120°C)

Warna MESA pasca aging terendah diperoleh dari kombinasi perlakuan suhu aging 80°C dengan lama aging 30 menit yaitu 566 Klett, sedangkan warna MESA pasca aging tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan suhu aging 120°C dengan lama aging 60 menit yaitu 705 klett. Warna MESA pasca aging pada kombinasi perlakuan suhu aging 80, 100 dan 120°C dengan lama aging 30,

45 60 menit, mempunyai kecenderungan meningkat bila dibandingkan dengan warna MESA sebelum aging yaitu 517 Klett. Berdasarkan Gambar 25 dapat dilihat bahwa warna MESA mempunyai kecenderungan untuk meningkat seiring dengan peningkatan suhu dan lama aging. Menurut Robert et al. (2008) proses aging MESA pasca sulfonasi menyebabkan warna MESA menjadi gelap (hitam). Tingginya intensitas warna MESA yang dihasilkan juga dapat dikaitkan dengan nilai bilangan iod bahan baku (metil ester stearin) yang digunakan. Pada penelitian ini bilangan iod metil ester stearin sekitar 2,9 cg I/g ME. Tingginya bilangan iod akan menyebabkan intensitas warna MES menjadi gelap. Chemithon menggunakan 5 bahan baku dalam pembuatan MES yaitu minyak kelapa, stearin sawit, PKO, tallow dan minyak kedelai. Bilangan iod minyak kelapa, stearin sawit, dan tallow berkisar antara 0,1-0,3 cg I/g ME dan dihasilkan produk dengan warna 30-180 Klett, sedangkan untuk PKO dan minyak kedelai dengan bilangan iod yang lebih tinggi dari 0,3 cg I/g ME yaitu berkisar antara 1,1 – 1,4 cg I/g ME dihasilkan produk dengan warna lebih gelap yaitu 310- 410 Klett.

Warna gelap dikarenakan reaksi gas SO 3 terhadap metil ester stearin sehingga terbentuk senyawa polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi pada strukturnya (Yamada dan Matsutani 1996, Robert et al. 2008). Menurut Yamada dan Matsutani (1996) Ikatan rangkap memberikan peranan penting pada pembentukan senyawa pembentuk warna gelap, khususnya ikatan rangkap terkonjugasi. Pada pembentukan warna, ikatan rangkap terkonjugasi berperan sebagai kromofor, yaitu gugus fungsi yang dapat menyerap gelombang elektromagnetik pada senyawa pemberi warna.

Reaksi utama yang terjadi adalah konversi senyawa sulfonat anhidrid menjadi MESA dan SO 3 yang bereaksi dengan ME yang belum terkonversi. Mekanisme reaksi yang terjadi yaitu melalui reaksi bolak-balik pembentukan Reaksi utama yang terjadi adalah konversi senyawa sulfonat anhidrid menjadi MESA dan SO 3 yang bereaksi dengan ME yang belum terkonversi. Mekanisme reaksi yang terjadi yaitu melalui reaksi bolak-balik pembentukan

Gambar 26 Mekanisme pembentukan warna (Robert et al. 2008)

4.5 Kinerja Surfaktan MESA dan MES

Reaksi sulfonasi melibatkan penyisipan ion SO 3 ke dalam struktur metil ester. Rantai karbon pada metil ester akan berikatan langsung dengan gugus sulfur dari SO 3 sehingga membentuk gugus RCHSO 3 HCOOCH 3 . Pada molekul RCHSO 3 HCOOCH 3, gugus SO 3 bertindak sebagai gugus aktif bersifat aktif permukaan yang suka air. Sementara itu, ester asam lemak bersifat hidrofobik. Untuk itu, adanya molekul hidrofobik dan hidrofilik dalam struktur MESA/ MES memungkinkan MESA/MES bersifat aktif permukaan. Uji kinerja yang dapat dilakukan untuk mengetahui sifat aktif permukaan suatu senyawa aktif adalah melalui uji kemampuan senyawa aktif untuk menurunkan tegangan permukaan.

Tegangan permukaan merupakan batas antara dua fasa yang berbeda antara air dan udara. Gaya tarik menarik antara molekul cairan adalah sama ke segala arah. Hal ini tidak berlaku bagi molekul cairan yang berada di permukaan. Molekul yang berada di permukaan mempunyai energi potensial lebih besar Tegangan permukaan merupakan batas antara dua fasa yang berbeda antara air dan udara. Gaya tarik menarik antara molekul cairan adalah sama ke segala arah. Hal ini tidak berlaku bagi molekul cairan yang berada di permukaan. Molekul yang berada di permukaan mempunyai energi potensial lebih besar

Tegangan permukaan, disebut juga energi bebas permukaan, didefinisikan sebagai usaha minimum yang dibutuhkan untuk memperluas permukaan cairan per satuan luas (Rosen 2004 dan Shaw 1980). Bird (1993) menyatakan Satuan tegangan permukaan sama dengan tegangan antarmuka yaitu dinyatakan dalam