Hukum Perkawinan and Waris Dalam Islam (1)

Hukum Perkawinan & Waris Dalam Islam
Hukum Perkawinan
Telah diketahui bahwa pernikahan adalah merupakan sunatullah, bahwa
makhluk yang bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, baik laki-laki maupun
perempuan (Q.S.Dzariat :49).
“dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu
mengingat akan kebesaran allah”.
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat
manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina
sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat.
Hubungan antara seorang laki - laki dan perempuan adalah merupakan tuntunan
yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini maka
disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki - laki dn perempuan yang diatur
dengan perkawinan ini akan membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan
baik bagi laki - laki maupun perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi
masyarakat yang berada disekeliling kedua insan tersebut.
Dalam agama samawi, masalah perkawinan mendapat tempat yang sangat
terhormat dan sangat terjunjung tinggi tata aturan yang telah ditetapkan dalam kitab
suci. Negara Indonesia misalnya, masalah perkawinan merupakan suatu hal yang
sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga pemerintah
Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga sekarang menaruh perhatian yang

sangat serius dalam hal perkawinan ini.
Pada makalah ini akan dijelaskan tentang masalah perkawinan menurut fiqh
islam, kompilasi hukum islam, dan undang – undang perkawinan.
Rumusan Masalah
1.
2.
3.

Apa pengertian perkawinan ?
Bagaimana dasar hukum perkawinan?
Apa hikmah perkawinan ?

Pengertian Perkawinan
1.
Pengertian Perkawinan
Perkawinan dalam fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan
zawaj. Kata na-kaha dan za-wa-ja terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin yang
berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad.
Menurut Fiqh, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama
dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan hanya untuk

mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga perkenalan antara suatu
kaum dengan kaum yang lainnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan
yang merupakan akad yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan
pelaksanaanya adalah merupakan ibadah.
Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masingmasing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut
perundang-undangan yang berlaku.
2.

a.
b.
c.
d.
e.
3.


Hukum Perkawinan
Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah
mampu untuk menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi yang bermacam macam, maka hukum nikah ini dapat dibagi menjadi lima macam.
Sunnah, bagi orang yang berkehendak dan baginya yang mempunyai biaya sehingga
dapat memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan - keperluan lain yang mesti
dipenuhi.
Wajib, bagi orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia
akan terjerumus dalam perzinaan.
Makruh, bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan karena tidak
mampu memberikan belanja kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat.
Haram, bagi orang yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau
menyia - nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang tidak mampu
memberi belanja kepada istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak.
Mubah, bagi orang - orang yang tidak terdesak oleh hal - hal yang mengharuskan
segera nikah atau yang mengharamkannya.

Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun perkawinan adalah sebagai berikut :
a. Calon suami

b. Calon istri
Syarat – syarat calon mempelai :
1) Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik
menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkenaan dengan
dirinya.
2) Keduanya sama-sama beragama islam.
3) Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan.
4) Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula pihak yang akan
mengawininya.
UU Perkawinan mengatur persyaratan persetujuan kedua mempelai ini dalam
Pasal 6 dengan rumusan yang sama dengan fiqh. Perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua mempelai. KHI mengatur persetujuan kedua mempelai itu dalam
Pasal 16.
5) Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.
Batas usia dewasa untuk calon mempelai diatur dalam UU Perkawinan pada
Pasal 7 dan KHI mempertegas persyaratan tersebut.
c.
Wali nikah dari mempelai perempuan
Syarat – syarat wali :
1) Telah dewasa dan berakal sehat


2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)

Laki – laki. Tidak boleh perempuan.
Muslim
Orang merdeka
Tidak berada dalam pengampuan
Berpikiran baik
Adil
Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.
UU Perkawinan sama sekali tidak menyebutkan adanya wali, yang disebutkan
hanyalah orang tua, itupun kedudukannya sebagai orang yang harus dimintai izinnya
pada waktu melangsungkan perkawinan. Hal itu diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4),
(5), dan (6). KHI berkenaan dengan wali menjelaskan secara lengkap mengikuti fiqh

dalam Pasal 19, 20, 21, 22, dan 23.

d. Dua orang saksi
Syarat – syarat saksi :
1) Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang.
2) Kedua saksi itu adalah bergama islam.
3) Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka.
4) Kedua saksi itu adalah laki – laki.
5) Kedua saksi itu bersifat adil.
6) Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.
UU Perkawinan tidak menghadirkan saksi dalam syarat-syarat perkawinan,
namun menghadirkan saksi dalam Pembatalan Perkawinan yang diatur dalam Pasal 26
ayat (1). KHI mengatur saksi dalam perkawinan mengikuti fiqh yang terdapat dalam
Pasal 24, 25, dan 26.
e.
Ijab dan Qabul
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari
pihak kedua.
Syarat – syarat akad nikah :
1) Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul.

2) Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda.
3) Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun
sesaat.
4) Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang.
UU Perkawinan tidak mengatur tentang akad pernikahan, namun KHI secara
jelas mengatur dalam Pasal 27, 28, dan 29.
B.
1.
a.

Dasar Hukum Perkawinan
Menurut Fiqh Munakahat
Dalil Al-Qur’an
Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut : [4]
” Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka
kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat dan
jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup satu orang.” (An - Nisa : 3).
Ayat ini memerintahkan kepada orang laki - laki yang sudah mampu untuk
melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam


memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain - lain yang bersifat
lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan
syarat - syarat tertentu.
Menurut Al-Qur’an, Surat Al A’raaf ayat 189 berbunyi :
“Dialah yang menciptakan kamu dari suatu zat dan daripadanya Dia
menciptakan istrinya agar Dia merasa senang.” (Al A’raaf : 189).
Sehingga perkawinan adalah menciptakan kehidupan keluarga anatar suami istri
dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tenteram
(Sakinah), pergaulan yang saling mencintai (Mawaddah) dan saling menyantuni
(Rohmah). [5]
b.

Dalil As-Sunnah
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Rasulullah yang bersabda,
“Wahai para pemuda, barangsiapa dioantara kalian memiliki kemampuan, maka
nikahilah, karena itu dapat lebih baik menahan pandangan dan menjaga kehormatan.
Dan siapa yang tidak memiiki kemampuan itu, hendaklah ia selalu berpuasa, sebab
puasa itu merupakan kendali baginya. (H.R.Bukhari-Muslim).[6]

2.


Menurut Undang – Undang Perkawinan tahun 1974
Landasan hukum terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) UU
Perkawinan yang rumusannya :[7]
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan –
peraturan, pereundang – undangan yang berlaku.

3.

Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dasar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3 disebutkan
bahwa :
Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.[8]

C.
1.

2.
3.
4.

Hikmah Perkawinan
Perkawinan dapat menentramkan jiwa dan menghindarkan perbuatan maksiat.
Perkawinan untuk melanjutkan keturunan
Bisa saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak – anak.
Menimbulkan tanggung jawab dan menimbulkan sikap rajin dan sungguh – sungguh
dalam mencukupi keluarga.
5.
Adanya pembagian tugas, yang satu mengurusi rumah tangga dan yang lain bekerja
diluar.
6.
Menumbuhkan tali kekeluargaan dan mempererat hubungan. [9]

Hukum Waris
Dalil yang menjelaskan tentang perintah da petunjuk waris diatur dalam AlQuran surah An-Nisa ayat 11, 12, dan 176. Disana diterangkan secara jelas oleh
Allah Subhanahu Wata’ala tentang pembagian waris kepada ahli waris. Ilmu waris
merupakan ilmu yang diturunkan Allah Subhanahu Wata’ala yang secara rinci

tertuang dalam Al-Quran sehingga tidak perlu banyak penafsiran lebih lanjut. Ini
menunjukkan bahwa ilmu faraid (ilmu hukum waris) menjadi ilmu yang sangat
penting karena dijelaskan secar rinci dalam Al-Quran, berbeda dengan ilmu lain yang
hanya dibahas secara umum dalam Al-Qur’an. Berikut terjemahan dari Surah An-nisa
yang membahas tentang pembagian waris tersebut.
"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibubapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. SesungguhnyaAllah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana." (an-Nisa': 11)
"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar
utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika
kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masingmasing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudarasaudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah,
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun." (an-Nisa': 12)

"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meningal dunia,
dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika
ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.
Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan,
maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak
sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (an-Nisa': 176)
Selain dalam Al-Quran, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga
menyatakan betapa pentingnya ilmu faraid (ilmu hukum waris) dalam Islam.
Dijelaskan bahwa ilmu ini merupakan ilmu yang sangat mudah untuk dilupakan dan
diremehkan. Selain itu ilmu ini adalah salah satu ilmu yang paling utama (ilmu
primer) dan yang paling pertama akan dicabut di muka bumi, sehingga sangat
penting untuk dipelajari. Hadist-hadist tersebut antara lain:
1. Abdullah bin Amr bin Al-Ash –radhiyallahu ‘anhu- berkata bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ilmu itu ada tiga, selain yang tiga
hanya bersifat tambahan (sekunder), yaitu ayat-ayat muhakkamah (yang
jelas ketentuannya), sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang
dilaksanakan, dan ilmu faraid.” (HR Ibnu Majah)
2. Ibnu Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda, “Pelajarilah ilmu faraid serta ajarkanlah kepada orangorang, karena aku adalah orang yang akan direnggut (wafat), sedang ilmu itu
akan diangkat dan fitnah akan tampak, sehingga dua orang yang bertengkar
tentang pembagian warisan, mereka berdua tidak menemukan seorang pun
yang sanggup meleraikan (menyelesaikan perselisihan pembagian hak
waris) mereka.” (HR Imam Ahmad, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim)
3. Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda, “Pelajarilah ilmu faraid serta ajarkanlah kepada orang lain,
karena sesungguhnya, ilmu faraid setengahnya ilmu; ia akan dilupakan, dan
ia ilmu pertama yang akan diangkat dari umatku.” (HR Ibnu Majah dan AdDarquthni)
4. Dalam riwayat lain disebutkan, “Pelajarilah ilmu faraid, karena ia termasuk
bagian dari agamamu dan setengah dari ilmu. Ilmu ini adalah yang pertama
kali akan dicabut dari umatku.” (HR Ibnu Majah, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi)
Terdapat pula riwayat dari Sahabat dan para Ulama tentang pentingnya ilmu faraid.
Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhu- telah berkata, “Pelajarilah ilmu
faraid, karena ia sesungguhnya termasuk bagian dari agama kalian.” Kemudian

Amirul Mukminin berkata lagi, “Jika kalian berbicara, bicaralah dengan ilmu
faraid, dan jika kalian bermain-main, bermain-mainlah dengan satu lemparan.”
Kemudian Amirul Mukminin berkata kembali, “Pelajarilah ilmu faraid, ilmu
nahwu, dan ilmu hadits sebagaimana kalian mempelajari Al-Qur`an.”
Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- berkomentar tentang ayat Al-Qur`an yang
berbunyi, “…Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah
diperintahkan Allah, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan
kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfaal: 73), menurut beliau makna ayat di atas
adalah jika kita tidak melaksanakan pembagian harta warits sesuai yang
diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita, niscaya akan terjadi
kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.
Abu Musa Al-Asy’ari –radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Perumpamaan orang
yang membaca Al-Qur`an dan tidak cakap (pandai) di dalam ilmu faraid, adalah
seperti mantel yang tidak bertudung kepala.”
Al-Futuhiy dalam syarahnya atas buku ‘Ala Muntaha Al-Iradah, dan AlButuhiy dalam syarahnya atas buku Al-Iqna` : “..Mempelajari satu masalah
dalam ilmu faraidh mempunyai ratusan kebajikan, sedangkan selainnya hanya
sepuluh kebajikan…”
Oleh karea itu ilmu Faraid menjadi sangat penting untuk dipelajari oleh umat islam.
PENGERTIAN WARIS DAN ILMU FARAID
Waris berasal dari bahasa arab al miirats yang berarti “berpindahnya sesuatu
dari seseorang kepada orang lain”, atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Makna
dari waris tersebut bukan hanya menyangkut barang tetapi juga yang bukan barang
misalnya ilmu. Hal ini sebagaimana terlihat salah satunya dalam hadits yang
berbunyi “Ulama adalah ahli waris para nabi”. Sementara menurut istilah yang
diterangkan oleh para ulama fiqih, al-miirats berarti berpindahnya hak kepemilikan
dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal
secara syar'i.
Ilmu yang mempelajari tentang waris dikenal dengan nama ilmu faraid. Faraid
berasal dari kata dalam bahasa Arab Faraidh yang merupakan bentuk jamak dari alfaridhah yang bermakna sesuatu yang diwajibkan, atau pembagian yang telah
ditentukan sesuai dengan kadarnya masing-masing. Dari segi istilah, ilmu faraid
adalah ilmu yang mempelajari tentang perhitungan dan tata cara pembagian harta
warisan untuk setiap ahli warits berdasarkan syariat Islam.
UNSUR WARIS, DAN PENGHALANG MENJADI AHLI WARIS
Ada tiga unsur dalam melakukan waris yaitu:
1. Pewaris

Pewaris adalah seseorang yang telah meninggal dan meninggalkan sesuatu
untuk keluarga yang masih hidup. Berdasarkan asas ijbari pewaris tidak berhak
menentukan siapa yang berhak mendapat warisan, berapa banyak, dan
bagaimana cara mengalihkannya. Sebab, semuanya telah diatur oleh Allah dan
secara pasti yang wajib dilaksanakan.
2. Harta warisan atau harta peninggalan
Harta warisan atau harta peninggalan adalah Segala sesuatu yang ditinggalkan
oleh pewaris yang sepenuhnya milik pewaris. Sedangkan benda yang
sepenuhnya bukan milik pewaris tidak dapat tidak dapat dialihkan menjadi milik
ahli waris. Mengenai hutang ahli waris tidak berhak membayar hutang-hutang
pewaris dengan harta pribadinya jika hutang- hutang melebihi harta yang
diwariskan, namun orang muslim sering membayar hutang-hutang pewaris
hingga semuanya sah.
3. Ahli waris
Ahli waris merupakan orang yang berhak mendapat harta peninggalan dari
pewaris atau orang yang sudah meninggal. Disamping karena hubungan darah
dan perkawinan ada beberapa syarat agar seseorang dapat menjadi ahli waris
yaitu:
a) Masih hidup saat pewaris meninggal
b) Tidak ada sebab-sebab yang menghalanginya menjadi ahli waris
c) Tidak tertutup ahli waris yang utama
poin b) menunjukkan bahwa ada sesuatu hal yang dapat menghalangi atau
menggugurkan hak seseorang untuk menjadi ahli waris. Ada 4 yang dapat
menggugurkan seseorang untuk memperoleh hak waris yaitu:
1. Budak.
Semua budak tidak dapat memperoleh waris meskipun dari saudara sendiri. Hal
itu disebabkan segala sesuatu yang dimiliki oleh budak adalah menjadi milik
tuannya, oleh karena itu budak tidak mendapat warisan karena tidak mempunyai
hak milik
2. Pembunuhan
Seseorang ahli waris tidak dapat menjadi ahli waris apabila ia membunuh si
pewaris. Ini sesua dengan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang
berbunyi "Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang
dibunuhnya. "

3. Berbeda Agama
Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang
berbunyi "Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula
orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)
4. Perbedaan antara al-mahrum dan al-mahjub
Mahjub adalah hilangnya hak waris seorang ahli waris disebabkan adanya ahli
waris yang lebih dekat kekerabatannya atau lebih kuat kedudukannya. Sebagai
contoh, adanya kakek bersamaan dengan adanya ayah, atau saudara seayah
dengan adanya saudara kandung. Jika terjadi hal demikian, maka kakek tidak
mendapatkan bagian warisannya dikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat
kekerabatannya dengan pewaris, yaitu ayah. Begitu juga halnya dengan saudara
seayah, ia tidak memperoleh bagian disebabkan adanya saudara kandung
pewaris. Maka kakek dan saudara seayah dalam hal ini disebut dengan istilah
mahjub.
Untuk lebih memperjelas gambaran tersebut, saya sertakan contoh kasus dari
keduanya.
Contoh Pertama
Seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, saudara
kandung, dan anak --dalam hal ini, anak kita misalkan sebagai pembunuh. Maka
pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat bagian seperempat harta yang
ada, karena pewaris dianggap tidak memiliki anak. Kemudian sisanya, yaitu tiga
per empat harta yang ada, menjadi hak saudara kandung sebagai 'ashabah
Dalam hal ini anak tidak mendapatkan bagian disebabkan ia sebagai ahli waris
yang mahrum. Kalau saja anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri
seperdelapan, sedangkan saudara kandung tidak mendapatkan bagian
disebabkan sebagai ahli waris yang mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi,
sisa harta yang ada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.
Contoh Kedua
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu, serta saudara
kandung. Maka saudara kandung tidak mendapatkan warisan dikarenakan termahjub oleh adanya ahli waris yang lebih dekat dan kuat dibandingkan mereka,
yaitu ayah pewaris. ()
‘ASH-HABUL FURUDH
‘Ash-habul Furudh adalah golongan utama penerima waris. Golongan ini adalah ahli
waris yang diterangkan secara jelas dan tegas beserta bagian-bagiannya dalam Al-

Quran. Golongan ini dapat dibagi berdasarkan jatah pembagiannya yang terdiri dari
½, ¼, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6 bagian.
1. ‘Ash-habul Furudh yang mendapat setengah bagian
a. Suami apabila pewaris tidak mempunyai anak
b. Anak perempuan apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki dan anak
perempuan tersebut merupakan anak tunggal
c. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki, apabila ia anak tunggal, dan tidak
ada anak dari pewaris (sudah meninggal)
d. Saudara kandung perempuan, apabila ia merupakan saudara tunggal dan
pewaris tidak ada keturunan dan ayah ke atas (sudah meningal).
e. Saudara perempuan seayah apabila ia merupakan anak tunggal dan pewaris
tidak mempunyai (sudah meninggal) keturunan, ayah keatas dan saudara
kandung.
2. ‘Ash-habul Furudh yang mendapatkan seperempat bagian
a. Suami, apabila pewaris mempunyai anak atau cucu dari anak laki-lakinya
b. Istri, apabila pewaris tidak mempunyai anak baik dari istri tersebut maupun dari
istri lainnya.
3. ‘Ash-habul Furudh yang mendapatkan seperdelapan bagian
Yaitu Istri, apabila suami mempunyai anak cucu.
4. Ash-habul Furudh yang mendapatkan dua pertiga bagian.
a. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih, jika tidak punya saudara laki-laki.
b. Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih. Apabila tidak
punya saudara laki-laki, dan si pewaris tidak mempunyai anak kandung (telah
meninggal)
c. Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih, apabila tidak mempunyai
saudara laki-laki sebagai ‘asabah, dan pewaris tidak punya keturunan dan
tidak punya ayah ke atas (telah meninggal)
d. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih. Apabila tidak mempunyai
saudara laki-laki, dan pewaris tidak mempunyai keturunan, ayah ke atas, dan
saudara kandung.

5. Ash-habul Furudh yang mendapatkan sepertiga bagian
a. Ibu
b. Dua orang saudara seibu apabila pewaris tidak punya keturunan dan tidak
mempunyai saudara sekandung, seayah, maupun seibu.
6. Ash-habul Furudh yang mendapatkan seperenam bagian
a. Ayah, jika pewaris mempunyai keturunan.
b. Kakek dari ayah, bila pewaris mempunyai anak ataupun cucu laki-laki dari
keturunan anak tetapi tidak mempunyai ayah (meninggal)
c. Bapak, bila jenazah mempunyai anak atau anak dari laki-laki
d. Nenek yang shahih atau ibunya ibu/ibunya ayah.
e. Cucu perempuan dari anak laki-laki (seorang atau lebih) bila bersama seorang
anak perempuan. Bila anak perempuan lebih dari satu maka cucu perempuan
tidak mendapat harta warisan.
f. Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih), bila beserta saudara
perempuan seibu sebapak. Bila saudara seibu sebapak lebih dari satu, maka
saudara perempuan sebapak tidak mendapat warisan.
g. Saudara laki-laki atau perempuan seibu, bila ia mewarisi sendirian
‘ASHABAH
‘Ashabah menurut istilah para fuqaha ialah ahli waris yang tidak disebutkan
banyaknya bagian di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan tegas. Sedangkan
pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang
menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga
menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh menerima dan
mengambil bagian masing-masing.
'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah
sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini disebabkan
memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik budak) dapat menjadi
ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak
mempunyai keturunan.
Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu:
1. 'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur wanita),

2. 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang lain)
3. 'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama dengan yang lain).
'Ashabah bin nafs
'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri
kaum wanita, mempunyai empat arah, yaitu:
1. Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu, cicit,
dan seterusnya.
2. Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari pihak
laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.
3. Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki
seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki
keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas pada
saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka, namun
hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk
'ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
4. Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang
seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.
Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas.
Arah anak lebih didahulukan (lebih kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih
kuat daripada arah saudara.
Telah dielaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi mempunyai empat arah, dan derajat
kekuatan hak warisnya sesuai urutannya. Bila salah satunya secara tunggal
(sendirian) menjadi ahli waris seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak
mengambil seluruh warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli
waris dari ashhabul furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah
dibagikan kepada ashhabul furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul
furudh ternyata tidak ada sisanya, maka para 'ashabah pun tidak mendapat bagian.
Sebagai misal, seorang istri wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung
perempuan, saudara laki-laki seayah.
HIKMAH HUKUM WARIS
1. Mencegah terjadinya konflik akibat perebutan harta warisan
2. Mencapai rasa keadilan bagi para penerima waris