Full Paper P00091
1
RI N GK ASAN
Perkawinan usia dini atau perkawinan dini banyak sekali terjadi di
wilayah-wilayah di Jawa tengah. Tidak ter-ekspose nya perkawinan dini
dikarenakan hal tersebut masih dianggap sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan
atau bahkan merupakan aib yang harus ditanggung. Kota Salatiga yang dikenal
dengan sebutan sebagai titik JOGLOSEMAR (Jogja, Solo dan Semarang)
merupakan kota kecil yang menjadi area bertemunya 3 kota besar, dimana banyak
anak muda yang mengenyam pendidikan di kota ini. Kerawanan yang timbul
adalah banyaknya pernikahan usia dini khususnya dikalangan remaja dan
mahasiswa.
Penelitian ini bertujuan antara lain untuk menjelaskan factor-faktor
penyebab terjadinya perkawinan usia muda di Kota Salatiga dan mengetahui
dampak perkawinan usia muda terhadap kondisi sosio ekonomi keluarga di Kota
Salatiga.
Pendekatan pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif,
dengan jenis penelitian diskriptif dengan unit amatan adalah para pihak yang
terkait dengan permasalahan penelitian, dengan key informan meliputi: keluarga
atau individu yang melakukan perkawinan usia dini, orang tua dari individu yang
melakukan perkawinan usia dini, para pihak terkait dengan kependudukan seperti,
Bapermas kota Salatiga, pengurus PKBI, Ikatan Bidan Salatiga. Sedangkan unit
analisisnya adalah dampak perkawinan usia muda terhadap kondisi sosio-ekonomi
keluarga dan faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan usia muda di Salatiga.
Untuk mendukung metodetersebut dilakukan triangulasi data dengan
mengabungkan beberapa teknik pengumpulan data seperti wawancara, study
dokumen dan observasi partisipatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan anak dan
orang tua menjadi salah satu variable terhadap ketidak-tahuan hukum structural
terkait dengan kebijakan perkawinan dan pentingnya menghindari perkawinan
usia dini, minimnya pengetahuan dan pendidikan tentang sexualitas secara benar
menjadi variabel penyebab paling besar terjadinya “kecelakaan” sehingga
pernikahan dini “terpaksa” dilakukan. Lingkungan keluarga dan lingkungan
masyarakat yang semakin permisif (longgar) dikarenakan kesibukan orang tua
karena pekerjaan, dan lingkungan pertemanan yang kurang sehat menjadi variable
terjadinya hubungan sex pra-nikah dan menjadi factor potensial terjadinya
perkawinan usia muda.
Sedangkan dampak yang terjadi meliputi dampak social-psychologis,
khususnya pihak wanita dan dampak ekonomi menjadi hal paling vital pada
semua pasangan.
Keywords: Pernikahan usia dini, dampak social-psychologis, dampak
ekonomi, faktor-faktor nikah muda
2
DAMPAK PERKAWINAN USIA DINI TERHADAP KONDISI SOSIOEKONOMI KELUARGA DI KOTA SALATIGA JAWA TENGAH
DAFTAR ISI
Bab 1. Pendahuluan
A.
Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B.
Rumusan Masalah .........................................................................5
C.
Tujuan Penelitian ...........................................................................5
D.
Manfaat Penelitian .........................................................................6
Bab 2. Kajian Pustaka
A.
Konsep Perkawinan Diri ................................................................7
B.
Penyebab Perkawinan Dini ............................................................7
C.
Kerangka Pikir Penelitian ..............................................................9
Bab 3. Metode Penelitian
A.
Pendekatan dan Jenis Penelitian ...................................................10
B.
Unit Amatan dan Unit Analisa .....................................................10
C.
Tehnik Pengumpulan Data ...........................................................10
D.
Tehnik Analisa Data .....................................................................10
Bab 4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
A.
Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Usia Dini ............................13
1. Faktor Pendidikan Anak dan Orang Tua ..................................14
2. Rasa Ingin Tahu dan Pergaulan ................................................16
3. Lingkungan Keluarga ...............................................................19
4. Pendidikan ................................................................................25
B.
Dampak Perkawinan Usia Dini ....................................................27
Bab 5. Kesimpulan dan Rekomendasi
A.
Kesimpulan ...................................................................................31
B.
Rekomendasi dan Saran ................................................................32
Daftar Pustaka .................................................................................................... 38
Lampiran ............................................................................................................ 40
3
DAM PAK PERK AWI N AN U SI A DI N I
T ERH ADAP K ON DI SI SOSI O-EK ON OM I K ELU ARGA
DI K OT A SALAT I GA J AWA T EN GAH 1
Oleh:
Daru Purnomo, Drs.,M.Si dan Seto Herwandito S.Pd.,M.M.M.Ikom2
BAB 1.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada tahun 2012 lalu, masyarakat dikejutkan dengan berita seorang
pengusaha kuningan asal Bedono, yaitu Syekh Pujiono atau sering disebut sebagai
“ Syekh Puji” yang berumur 43 tahun menikahi seorang gadis cilik Lutfiana Ulfa,
yang baru berumur 12 tahun. Perkawinan siri mereka menjadi suatu berita yang
banyak menimbulkan pro kontra pada masyarakat. Jika ditelusuri, perkawinan
adalah merupakan suatu bentuk ikatan yang dilakukan antara seorang laki-laki dan
perempuan dalam membentuk suatu keluarga (Subekti, 2006: 537-538).
Sedangkan menurut Undang-undang3 yang berlaku saat ini, yaitu Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hukum perkawinan ini menggantikan
hukum perkawinan yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Burgelijk Wetboek (Statsblad 1917 Nomor 129).
Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Disajikan dalam Sosialisasi Hasil Penelitian BKKBN Perwakilan Jawa Tengah Pada Tanggal 23
Desember 2013 di Hotel Patrajasa Semarang
2
Staff Pengajar Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
3
Sum ber : http:/ / www.tanyahukum .com / keluarga-dan-waris/ 173/ perkawinan-m enurut-undangundang/
1
4
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan menurut undang-undang perkawinan juga
dikatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
dan kepercayaannya masing-masing.
Di dalam Undang-undang tersebut syarat yang harus dipenuhi adalah
pihak pria harus sudah mencapai umur 19 tahun, dan pihak wanita harus sudah
mencapai umur 16 tahun. Dalam faktanya banyak sekali perkawinan usia muda
yang terjadi di Indonesia ini. Data BKKBN4 mennyebutkan bahwa Indonesia
menempati posisi atau ranking 37 dunia pada kasus pernikahan usia dini.
Sedangkan data dari RISKEDAS 20105 menunjukan bahwa prevalensi umur
perkawinan pertama antara 15-19 tahun sebanyak 41,9 persen.
Menurut SDKI Tahun 2007, 17 persen wanita yang saat ini berumur 45-49
tahun menikah pada umur 15 tahun, sedangkan proporsi wanita yang menikah
pada umur 15 tahun berkurang dari 9 persen untuk umur 30-34 tahun menjadi 4
persen untuk wanita umur 20-24 tahun.
Menurut data Susenas Tahun 2010, secara nasional rata-rata usia kawin
pertama di Indonesia 19.70 tahun, rata-rata usia kawin didaerah perkotaan 20.53
tahun dan di daerah perdesaan 18.94 tahun, masih terdapat beberapa propinsi ratarata umur kawin pertama perempuan dibawah angka nasional. Sedangkan menurut
data dari BKKBN6 bahwa Provinsi Jawa Tengah menduduki peringkat ke 7 dari
10 peringkat dalam laju pertumbuhan penduduk terbesar di Indonesia.
Kota Salatiga dikenal dengan sebutan sebagai titik JOGLOSEMAR (Jogja,
Solo dan Semarang) merupakan kota kecil yang menjadi area bertemunya 3 kota
besar, dimana banyak anak muda yang mengenyam pendidikan di kota ini. Yang
menjadi kerawanan adalah karena menjadi titik bertemu dari 3 kota, dan banyak
anak muda yang mengenyam pendidikan, maka dikhawatirkan banyak sekali
terjadi pernikahan usia muda. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan pengurus PKBI
4
Sumber:
http://www.bkkbn.go.id/infoprogram/Documents/Hasil%20Seminar%20Eksekutif%20Analisis%2
0Dampak%20Kependudukan/hasil%20pernikahan%20usia%20dini%20BKKBN%20PPT_RS%20[Rea
d‐Only].pdf
5
Sumber:
http://www.bkkbn.go.id/litbang/pusdu/Hasil%20Penelitian/Fertilitas/2011/Perkawinan%20Mud
a%20Dikalangan%20Perempuan.pdf
6
Sumber: http://news.okezone.com/read/2013/04/08/337/787910/10‐provinsi‐yang‐
mengalami‐ledakan‐penduduk‐terbesar
5
Salatiga yang menyatakan bahwa tingkat perkawinan dini yang disebabkan karena
kehamilan yang tidak disengaja cenderung mengalami peningkatan khususnya
dikalangan remaja dan mahasiswa7.
Berdasarkan data dari Bapeda8 Pada tahun 2010 Jumlah penduduk
perempuan lebih besar dibandingkan jumlah penduduk laki-laki, jumlah penduduk
laki-laki adalah 85.901 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 88.333 jiwa.
Salatiga terbagi kedalami 4 kecamatan, yaitu : Kecamatan Sidorejo, Kecamatan
Tingkir, Kecamatan Argomulyo dan Kecamatan Sidomukti. Dari keempat
kecamatan tersebut, jumlah penduduk menurut usia sekolah (umur 6 tahun- 24
tahun), Kecamatan Sidorejo9 menempati urutan pertama dibanding dengan 3
kecamatan yang lain dengan jumlah penduduk 17.437 jiwa, (Tingkir = 12.254
Jiwa, Argomulyo = 11.899 Jiwa, dan Sidomukti = 13.659 Jiwa),
Jika dilihat dari laju pertumbuhan penduduk (2000 – 2010), menunjukkan
bahwa kota Salatiga memiliki angka laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,09 %,
(jika dilihat dari tingkat propinsi, salatiga termasuk kedalam tiga terbesar LPP di
Jawa Tengah setelah Kota Semarang dam Kabupaten Jepara).
Wawancara dengan pengurus PKBI Salatiga pada 21 April 2013
Sumber: http://pemkot‐salatiga.go.id/Data/Info/Bappeda/ProfilDaerahSalatiga2010.pdf
9
Lihat tabel 1
7
8
6
Tabel 2. Laju Pertumbuhan Penduduk Hasil SP-2000 dan SP-2010 Kota
Salatiga
Jumlah Penduduk
Kecamatan
SP2000
(1)
*)
SP2010
LPP
2000-2010
(2)
(3)
(4)
1
Argomulyo
33 764
40 101
1,75
2
Tingkir
37 806
39 871
0,54
3
Sidomukti
34 016
38 756
1,32
4
Sidorejo
47 450
51 604
0,85
153 036
170 332
Jumlah
Sumber: BPS, tahun 2011
Dibandingkan
dengan Kabupaten/Kota di provinsi Jawa Tengah, laju
pertumbuhan penduduk Kota Salatiga termasuk dalam kategori tinggi (tiga
terbesar setelah kota Semarang dan Kabupaten Jepara), bahkan jika dibanding
rata-rata laju pertumbuhan di tingkat provinsi yang hanya mencapai 0,37% maka
nampak sekali bahwa Salatiga termasuk kota dengan tingkat kelahiran (Total
Fertility Rate/ TFR) yang cukup tinggi, yakni sekitar 2,7. TFR yang tinggi pada
umumnya berkorelasi dengan jumlah usia produktif yang besar dan peristiwa
perkawinan yang terjadi pada suatu wilayah.
Demikian pula jika dilihat dari indeks Unmet Need (persentase wanita
kawin yang tidak ingin punya anak lagi atau ingin menjarangkan kelahiran
berikutnya, tetapi tidak menggunakan alat/cara kontrasepsi) kota Salatiga
menunjukkan indeks yang paling tinggi (sama dengan kota Pekalongan) yakni
sebesar 12 (SP-2010), sedangkan unmet need provinsi hanya sekitar 6.
7
UNMET NEED KABUPATEN/KOTA,
PROVINSI JAWA TENGAH 2011
Jawa Tengah
6.0
Kota Pekalongan
Kota Salatiga
Tegal
Rembang
Kota Surakarta
Sukoharjo
Kebumen
Kota Magelang
Banyumas
Purworejo
Semarang
Magelang
Klaten
Kendal
Sragen
Cilacap
Purbalingga
Kota Tegal
Wonogiri
Pekalongan
Kota Semarang
Kudus
Banjarnegara
Grobogan
Temanggung
Brebes
Blora
Jepara
Wonosobo
Batang
Karanganyar
Demak
Pemalang
Pati
Boyolali
0.0
12.0
12.0
11.4
10.2
10.1
9.5
8.7
8.1
8.1
7.2
7.0
7.0
6.9
6.6
6.5
6.5
6.3
6.1
6.1
5.9
5.7
5.6
5.1
4.8
4.8
4.2
3.9
3.9
3.5
3.3
3.0
2.8
2.8
2.6
2.4
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
Total unmet need
12.0
14.0
Berdasarkan data dan fakta-fakta yang telah dikemukakan diatas, maka
Kota Salatiga menjadi hal yang penting untuk dikaji mengenai pernikahan usia
muda, dimana kota Salatiga memiliki TFR yang cukup tinggi yakni sebesar 2,7
(SP-2010 dan pada tahun 2013 menurun menjadi 2,6), disamping indeks unmet
need yang paling tinggi di provinsi Jawa Tengah. Oleh sebab itu penelitian ini
layak untuk diteliti.
B. Rumusan Masalah
1. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia
muda di Kota Salatiga?
2. Bagaimanakah dampak perkawinan usia muda terhadap kondisi sosio
ekonomi keluarga di Kota Salatiga?
C. Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan factor-faktor penyebab terjadinya perkawinan usia muda di
Kota Salatiga.
8
2. Mengetahui dampak perkawinan usia muda terhadap kondisi sosio
ekonomi keluarga di Kota Salatiga
D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan gambaran mengenai dampak perkawinan usia muda terhadap
kondisi sosio ekonomi keluarga di Kota Salatiga.
2. Memberikan penjelasan mengenai factor-faktor yang menyebabkan
terjadinya perkawinan usia muda di Kota Salatiga
9
BAB 2.
KAJIAN PUSTAKA
A.
Konsep Perkawinan Dini
Definisi umur anak dalam Undang-undang (UU) Pemilu No.10 tahun
2008 (pasal 19, ayat1) hingga berusia 17 tahun. Di Indonesia, menurut UU No
1/1974 tentang perkawinan, perempuan di atas usia 16 tahun diperbolehkan untuk
menikah. Namun, UU Perlindungan Anak Tahun 2002 menetapkan bahwa siapa
pun di bawah usia 18 tahun masih tergolong usia remaja. Pernikahan anak
didefinisikan sebagai pernikahan yang terjadi sebelum anak mencapai usia 18
tahun, sebelum anak matang secara fisik, fisiologis, dan psikologis untuk
bertanggungjawab terhadap pernikahan dan anak yang dihasilkan dari pernikahan
tersebut.
Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak
negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog,
ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga.
Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara
pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya
memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya
mentoleri pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita
B.
Penyebab Perkawinan Dini
Perkawinan dini atau lebih dikenal dengan istilah pernikahan di bawah
umur merupakan salah satu fenomena sosial yang banyak terjadi diberbagai
tempat di tanah air, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Di daerah perkotaan
sebanyak 21,75% anak-anak dibawah usia 16 tahun sudah dinikahkan. Di
perdesaan, angkanya jauh lebih besar yaitu 47,79 %, yang menampakkan
kesederhanaan pola pikir masyarakatnya sehingga mengabaikan banyak aspek
yang seharusnya menjadi syarat dari suatu perkawinan. Setelah menikah seorang
gadis di desa sudah harus meninggalkan semua aktivitasnya dan hanya mengurusi
10
rumah tangganya, begitu pula suaminya di tuntut lebih memiliki tanggung jawab
karena harus mencari nafkah.
Namun secara umum, perkawinan dini ini tidak terlepas dari beberapa
faktor
yang
mempengaruhi.
Menurut
Hadi
Supeno,
ada
tiga
faktor
atau sinyalemen ini yaitu: (1) Tradisi lama yang sudah turun temurun yang
menganggap perkawinan pada usia anak-anak sebagai suatu hal yang wajar.
Dalam masyarakat Indonesia, bila anak gadisnya tidak segera memperoleh jodoh,
orang tua merasa malu karena anak gadisnya belum menikah atau orang
menyebutnya sebagai “perawan tuwo”, sterotipe ini bagi orang tua merupakan
tabu keluarga, sehingga mereka akan segera mengawinkan anak perempuannya
apabila sudah dianggap “dewasa”. (2) Faktor kedua adalah budaya eksploitasi
terhadap anak dengan berbagai dalih. Budaya ini membuat anak tidak berdaya
menghadapi kehendak orang dewasa, baik orang tuanya yang menginginkan
perkawinan itu, maupun orang yang mengawini. Ada yang mengeksploitasi anak
atas nama ekonomi atau materi, ada yang karena gengsi atau harga diri bisa
mengawinkan anaknya dengan orang yang dianggap terpandang tanpa
memperdulikan apakah calon suami anaknya sudah beristri atau belum, apakah
anak perempuannya sudah siap secara fisik, mental dan sosial ataukah belum. Ada
yang mengeksploitasi anak karena mental hedonis, mencari kesenangan pada
banyak hal termasuk poligami dengan anak-anak di bawah umur. Ada pula yang
karena kelainan mental, pedophilis. Alasan lain bahkan mengeksploitasi anak atas
nama agama, walaupun banyak tokoh agama telah tegas menyatakan bahwa
perkawinan pada usia anak bukanlah ajaran agama. (3) Faktor ketiga adalah faktor
hukum, dimana secara hukum perkawinan usia anak dilegitimasi oleh Undangundang R.I Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini
memperbolehkan anak berusia 16 tahun untuk menikah, seperti disebutkan dalam
pasal 7 ayat 1, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19
(sembilanbelas) tahun, dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enambelas) tahun.”
Pasal 26 UU R.I Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, orang tua
diwajibkan melindungi anak dari perkawinan dini, tetapi pasal ini, sebagaimana
UU Perkawinan, tanpa ketentuan sanksi pidana sehingga ketentuan tersebut nyaris
tak ada artinya dalam melindungi anak-anak dari ancaman perkawinan dini.
Walaupun Undang-undang ini bertentangan dengan UU Perlindungan Anak
11
Tahun 2002 yang menetapkan bahwa siapa pun di bawah usia 18 tahun masih
tergolong usia remaja atau belum dewasa.
Fenomena perkawinan dini adalah fakta perilaku seksual remaja yang
melakukan hubungan seks pra-nikah sering berujung pada pernikahan dini serta
kultur masyarakat Indonesia yang masih memposisikan anak perempuan sebagai
warga kelas dua dan ingin mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan
ekonomi dan sosial. Anggapan pendidikan tinggi tidak penting bagi anak
perempuan dan stigma negatif terhadap status perawan tua. Posisi tersebut dalam
perspektif kesetaraan dan keadilan gender berarti telah memarginalkan pihak
perempuan.
Tingginya
angka
pernikahan
usia
anak,
menunjukkan
bahwa
pemberdayaan law enforcement dalam hukum perkawinan masih rendah. Apapun
alasannya, masa muda adalah masa yang sangat indah untuk dilewatkan, dengan
hal-hal yang positif. Masa muda adalah waktu untuk membangun emosi,
kecerdasan dan fisik. Ketiganya merupakan syarat dalam menjalani kehidupan
yang lebih layak pada masa depan. Fenomena tersebut menuntut perhatian semua
pihak untuk memperhatikan masa depan anak sebagai generasi yang akan
melanjutkan pembangunan bangsa dan negara. Haruskah direnggut kemerdekaan
anak hanya karena sebuah ketakutan? Benarkah pernikahan di bawah umur satusatunya solusi atas kekahwatiran-kekhawatiran yang ada? Pertanyaan ini dapat di
jawab dengan sikap ilmiah dan bijaksana.
C. Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka Pikir Penelitian
PENYEBAB
AKIBAT
Pendidikan rendah
Putus Sekolah
“Terpaksa”
Putus Sekolah
Subordinasi
Adat /Tradisi
Perilaku Sex
Menyimpang
Pendidikan Sex
“Jalanan”
Terpaan Media &
Melek Media
PERNIKAHAN
DINI
Disharmonisasi
Keluarga
Kesiapan ekonomi
Kesiapan Mental
Lingkungan
Semakin “Permisif”
12
BAB 3.
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif,
dengan jenis penelitian diskriptif. Pendekatan dan jenis penelitian ini digunakan
agar diperoleh suatu pencandraan terhadap kasus perkawinan usia dini secara
lebih mendalam sehingga diperoleh suatu gambaran yang mendalam terkait
dengan substansi permasalahannya.
B. Unit Amatan dan Unit Analisa
Satuan amatan adalah sesuatu yang dijadikan sumber untuk memperoleh
data dalam rangka menggambarkan atau menjelaskan tentang satuan analisis
(Ihalauw, 2004:178). Oleh karena itu, yang menjadi unit amatan dalam penelitian
ini adalah para pihak yang terkait dengan permasalahan penelitian, dengan key
informan meliputi: keluarga atau individu yang melakukan perkawinan usia dini,
orang tua dari individu yang melakukan perkawinan usia dini, para pihak terkait
dengan kependudukan seperti, Bapermas kota Salatiga, pengurus PKBI, Ikatan
Bidan Salatiga.
Terkait dengan unit analisa, Abell (dalam Ihalauw, 2004:174) menyatakan
bahwa
satuan analisis adalah hakekat dari populasi yang tentangnya hasil
penelitian berlaku. Unit Analisis dalam penelitian ini adalah dampak perkawinan
usia muda terhadap kondisi sosio-ekonomi keluarga dan faktor-faktor penyebab
terjadinya perkawinan usia muda di Salatiga.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan triangulasi, yaitu teknik yang
mengabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang ada.
Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang
berbeda dari sumber data yang sama, atau dengan menggunakan teknik
pengumpulan data yang sama dari sumber data yang berbeda.
13
Adapun teknik triangulasi mengabungkan beberapa teknik pengumpulan data
seperti :
1. Wawancara.
Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan tanya jawab kepada
informan yang dilakukan untuk memperoleh gambaran dan infromasi yang
seluas-luasnya berkaitan dengan persoalan yang diteliti.
2. Observasi partisipatif.
Observasi partisipatif yaitu teknik pengambilan data dimana peneliti
terlibat dalam kegiatan sehari-hari sumber data. Lebih lanjut Stainback
dalam (Sugiyono, 2006: 256), menyatakan bahwa
dalam observasi
partisipatif, peneliti mengamati yang dikerjakan orang yang dileliti,
mendengarkan yang diucapkan orang yang diteliti dan berpartisipasi dalam
aktivitas orang yang diteliti.
3. Study Dokumen.
Dalam rangka memperoleh gambaran yang obyektif dan utuh atas fakta –
fakta yang dilapangan maka study dokumen perlu dilakukan. Kajian
pustaka. Study dokumen dilakukan untuk melengkapi hasil wawancara
dan observasi dalam penelitian kualitatif. Studi dokumen yaitu
menghimpun data dari berbagai literature yang berhubungan dengan topik
skripsi ini. Dokumen dapat berupa dokumen tertulis dan tidak tertulis.
Dokumen tertulis dapat berupa sejarah kehidupan, peraturan, kebijakan,
karya tulis, sedangkan dokumen dalam bentuk tidak tertulis dapat berupa
gambar dan foto.
Selain menggunakan teknik tersebut diatas, peneliti dalam penggumpulan
data pada awalnya juga akan menggunakan metode FGD (Fokus Group
Diskusion), akan tetapi oleh karena mempertemukan para pihak yang meliputi
pelaku perkawinan usia dini, eksekutif, pengurus MUI Salatiga, PKBI tidak dapat
dilakukan maka pengunaan teknik FGD dibatalkan.
14
D. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan analisis
deskriptif kualitatif terhadap setiap data yang diperoleh dari lapangan dengan
berbagai teknik pengumpulan data yang dipakai. Setelah melakukan analisis dan
intepretasi data, selanjutnya penulis melaporkan hasil penelitian yang sudah
dilakukan. Dalam penelitian kualitatif data yang ada dianalisis dan disusun dalam
wujud kata-kata ke dalam teks yang diperluas (Miles dan Huberman 1992: 15-16).
Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif dengan melalui tiga
tahap (Sugiyono, 2006: 276-284).
1. Tahap Reduksi Data.
Mereduksi data merupakan kegiatan merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya
dari setiap data yang diperoleh dilapangan. Pada tahap ini peneliti
melakukan reduksi data dengan memilih mana data yang penting,
membuat kategori dan memilah data yang tidak penting. Reduksi data
akan memberikan gambaran yang jelas, dan akan mempermudah peneliti
untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya untuk memperlengkapi
data yang dicari.
2. Tahap Penyajian Data (Data Display).
Dalam penelitian kualitatif penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowcahart. Lebih lanjut Miles
and Huberman dalam (Sugiyono, 2006 : 280) menyatakan bahwa paling
sering penyajian data dalam kualitatif disajikan dalam bentuk teks yang
bersifat naratif. Data display dapat juga berupa grafik, matrik, network
(jejaring kerja), dan chart.
3. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing/Verification).
Pada tahap terakhir ini penulis melakukan penarikan kesimpulan atas dasar
pembahasan dan analisa terhadap data yang sudah diperoleh dari lapangan.
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif dapat menjawab rumusan masalah
15
yang dirumuskan pada bab pertama, tetapi mungkin juga tidak, karena
rumusan masalah dalam penelitian kualitatif ada yang bersifat sementara
dan berkembang dilapangan. Kesimpulan juga dapat berupa temuan baru.
Kesimpulan ini dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang
sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti
menjadi jelas. Kesimpulan dapat berupa hubungan kausal atau interaktif,
hipotesis atau teori.
16
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan dipaparkan hasil penelitian yang terkait dengan faktorfaktor penyebab terjadinya perkawinan usia muda dan dampaknya terhadap
kondisi sosio-ekonomi keluarga.
Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Usia Dini
Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono disebabkan
oleh:
•
Masalah ekonomi keluarga
•
Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki
apabila mau mengawinkan anak gadisnya
•
Bahwa dengan adanya perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam
keluarga gadis akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi
tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan, dan sebagainya)
(Soekanto, 1992: 65).
Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor yang mendorong
terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat
kita yaitu:
•
Ekonomi, Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang
hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka
anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu
•
Pendidikan, Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang
tua,
anak
dan
masyarakat,
menyebabkan
adanya
kecenderungan
mengawinkan anaknya yang masih di bawah umur
•
Faktor orang tua, Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya
berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera
mengawinkan anaknya
•
Media massa, Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan
remaja modern kian Permisif terhadap seks
•
Faktor adat, Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut
anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.
17
1. Faktor Pendidikan (Anak dan Orang Tua)
Banyak peneltian yang menunjukkan bahwa faktor pendidikan baik
pendidikan orang tua ataupun pendidikan formal si anak merupakan salah satu
variabel (yang mungkin tidak berdiri sendiri) yang menyebabkan terjadinya
perkawinan dini. Pendidikan yang rendah atau putus sekolah mau tidak mau
menjadi peluang terjadinya perkawinan usia dini, karena tidak adanya kegiatan
yang bersifat formal yang membatasi terjadinya suatu peristiwa perkawinan.
Berdasarkan hasil penelitian Rafidah dkk (2009) menyatakan bahwa jika
pasangan memiliki pendidikan yang rendah, maka potensi untuk melakukan
pernikahan dini (nikah pada usia < 20 tahun) adalah 2,9 kali lebih besar jika
dibandingkan meraka yang memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi.
Demikian halnya penelitian yang dilakukan oleh East West Center (EWC)
menunjukkan bahwa Usia Kawin Pertama (UKp) berkorelasi dengan tingkat
pendidikan dan daerah tempat tinggal. Perempuan daerah pedesaan dengan tingkat
pendidikan rendah cenderung UKP-nya tinggi, dimana UKP < 18 tahun
perempuan yang berpendidikan SD sebesar 50%, SMP 40%, dan 10 %
berpendidikan > SMP. Proporsi ini agak berbeda pada perempuan yang ada di
perkotaan dimana masing-masing proporsi UKP-nya adalah sebagai berikut: SD
sebesar 40%, SMP sebesar 20%, dan diatas SMP sebesar 5%.
Berdasarkan fakta di lapangan menunjukkan bahwa hasil-hasil penelitian
sebelumnya semakin memperkuat temuan penelitian ini, hal ini nampak dari
pernyataan Siti Latifah10 yang melakukan UKP pada usia 16 tahun dengan tingkat
pendidikan lulus SMP, demikian halnya dengan tingkat pendidikan orang tua
yang bersangkutan yang hanya mengenyam bangku SD.
…….”ngih pripun malih wong kulo sampun mboten sekolah lan
ugi bapak nyereng terus supados kulo ken emah-emah…ngih
kulo pasrah pun nikahaken”…..(ya gimana lagi, karena saya juga
sudah ngak sekolah dan juga bapak terus-menerus mendesak untuk
berkeluarga…ya akhirnya saya pasrah untuk dinikahkan…)
(petikan wawancara dengan Latifah).
10
Lihat hasil petikan wawancara (life history) Siti Latifah tanggal 30 April 2013
18
Dalam kasus ini faktor pendidikan (putus sekolah karena ketiadaan biaya) menjadi
faktor pendorong kenapa Latifah akhirnya memutuskan untuk menikah, namun
demikian ada faktor lain yaitu desakan orang tua dan juga ketidak-tahuan hukum
struktural terkait kebijakan perkawinan merupakan faktor eksternal terjadinya
perkawinan usia dini. Hal ini nampak jelas dari pernyataan orang tua Latifah,
“…… karena anaknya sudah besar dan sudah bekerja dan
mengantarkan anak untuk hidup berumah tangga itu kan
kewajiban orang tua,….jadi ya sudah semestinya anak
segera dinikahkan untuk menghindari resiko……di desa ini
sudah biasa nikah usia segitu (16 tahun), bahkan ada yang
dibawah 16 tahun sudah nikah…….”
Dari kasus tersebut semakin memperkuat bahwa tingkat pendidikan yang
rendah merupakan faktor pendorong terjadinya perkawinan dini (kasus Siti
Latifah). Ketidak-tahuan hukum struktural juga menunjukkan bahwa tidak
disemua wilayah memiliki pemahaman yang sama terkait aturan hukum
perkawinan dan arti pentingnya pengunduran usia kawin dalam membangun suatu
keluarga (kasus orang tua Latifah). Keely11 menyatakan bahwa perempuan yang
masih berada dalam sebuah institusi pendidikan cenderung untuk menikah seusai
sekolah, sehingga institusi membuat perempuan menikah di usia lanjut.
Pendidikan yang rendah akan berdampak pada terputusnya informasi yang
diperoleh pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi selain itu juga dapat
meningkatkan kemungkinan aktivitas remaja yang kurang. Wajib belajar 9 tahun
kelihatannya belum menjadi sesuatu indikator terjadinya penundaan usia kawin,
karena selesai pendidikan 9 tahun mereka masih berada pada usia yang rentan
untuk terjadinya perkawinan dini, apalagi setelah mereka lulus SMP dan tidak
mendapat kesempatan belajar dan bekerja yang baik, maka pilihan terbaik adalah
pernikahan.
Bruederl,Josef and Andreas Diekmann, Education and Marriage, a Comparative Study (ISA
World Congres, Bielefeld, 1997)p.6
11
19
2.
Rasa Ingin Tahu dan Pergaulan12
Siswa SMA berada pada masa remaja yaitu usia antara 14-18 tahun. Pada
masa ini telah terjadi kematangan organ-organ reproduksinya. Kematangan organ
reproduksi ditandai dengan adanya mimpi basah pada pria dan terjadinya
menstruasi pada wanita disebut pubertas. Hormon-hormon reproduksi telah
berfungsi dengan sempurna pada masa ini. Hormon-hormon reproduksi yang
sebelumnya dihasilkan dalam jumlah sangat terbatas karena pengaruh kelenjar
pineal dan thyroid telah dihasilkan dalam jumlah yang cukup sehingga
mempengaruhi secara hormonal remaja.
Kelenjar hipofise mensekresikan hormon gonadotrofin yang memicu
gonade (kelenjar kelamin) untuk menghasilkan hormon-hormon kelamin yaitu
testosteron untuk pria dan estrogen untuk wanita. Hormon-hormon kelamin selain
menghasilkan spermatozoa dan sel telur juga menumbuhkan ciri-ciri kelamin
sekunder seperti perubahan suara, timbulnya rambut pada organ genitalia, tumbuh
kumis, dan tumbuh jakun pada pria. Sementara itu, pada wanita muncul ciri-ciri
sekunder seperti payudara membesar, timbulnya rambut pada organ genitalia, dan
pinggul membesar (Soewolo, 2000). Secara biologis remaja yang telah mengalami
pubertas telah siap untuk melakukan tugas reproduksi.
Perubahan hormonal di dalam tubuh menyebabkan perubahan cara
pandang remaja terhadap berbagai permasalahan. Secara psikologis banyaknya
hormon yang dihasilkan juga mempengaruhi pandangan terhadap lawan jenis
sehingga terjadi peningkatan ketertarikan terhadap lawan jenis. Suardiman (1995)
menyatakan bahwa remaja pada fase akhir memiliki minat yang meningkat
terhadap lawan jenis (heteroseksualitas). Sementara itu, Encharta (2005)
menyatakan bahwa pada masa remaja terjadi peningkatan perilaku seksual. Lebih
lanjut, dorongan untuk hubungan seks akan semakin besar jika ada rangsangan
atau stimulus dari luar dalam bentuk gambar, bacaan, atu cerita.
Rasa ingin tahu yang besar mendorong siswa untuk memperoleh informasi
tentang seks dari berbagai sumber. Rasa ingin tahu, ketidakmampuan menyeleksi
informasi, dan tiadanya bimbingan dari orang dewasa menyebabkan informasi
Sumber:
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132302517/makalah%20living%20values%20education.p
df
12
20
yang diperoleh tidak benar. Lebih lanjut, kemudahan memperoleh informasi
menyebabkan semakin banyak informasi yang diperoleh remaja. Informasi yang
masuk merupakan stimulus yang kuat. Dorongan internal akibat banyaknya
hormon yang dihasilkan ditambah stimulus yang kuat akan semakin memperbesar
dorongan siswa untuk mencoba melakukan hubungan seks.
Rasa ingin tahu memang menjadi alasan kenapa pasangan tersebut
melakukan hubungan sexual dan akhirnya menjadi hamil. Keingintahuan tersebut
menjadi hasrat dan memiliki keberanian diri untuk mencoba bersama dengan
pasangannya. Lemahnya membentengi diri serta adanya pergaulan di lingkungan
yang baru (sekolah, kampus, pertemanan, kelompok/komunitas, dll) menjadikan
akses untuk mendapat referensi mengenai hubungan sexual menjadi mudah.
Adanya internet serta HP yang berteknologi tinggi memudahkan mereka di dalam
mencari film porno. Hal ini terjadi seperti pada pasangan “D” (26 tahun) dan “T”
(24 tahun) yang memutuskan untuk menikah muda pada umur 19 dan 17 tahun,
dalam status “D” sebagai mahasiswa dan “T” saat itu masih siswi SMA kelas III
(“D” baru saja lulus kuliah, akan tetapi belum mendapat kerja, sedangkan T
karena terlanjur hamil dan dikeluarkan dari sekolah).
(Petikan Wawancara dengan pasangan “D” dan “T”)
“ ......Pertama sih timbul rasa ingin tahu mengenai hubungan
sexual rasanya seperti apa, keingin tahuan ini akibat dari
menonton film porno yang teman-teman punyai,
biasanya ada
video di HP teman-teman dan saya meng-copy dan menonton di
HP saya sendiri. Setelah melihat video itu timbul rasa ingin
mencoba....Paling mudah adalah dengan pasangan/pacar saya.
Satu kali mencoba dan selanjutnya beberapa kali hingga akhirnya
menjadi ketagihan dan mengakibatkan pacar saya hamil. Saya
tidak memakai alat pelindung (kondom) karena malu untuk
membeli di apotik atau toko, selain itu saya belum menikah,
sehingga apabila masuk ke apotik/ toko untuk membeli kondom
menjadi canggung......”.
21
Untuk pasangan selanjutnya “Y” (26 tahun) dan “E” (26 tahun) yang
menikah pada usia 18 tahun pada saat mereka masih duduk di bangku SMK.
Pernikahan yang mereka
jalani sebenarnya dikarenakan kondisi yang
mengharuskan mereka untuk lanjut ke pernikahan, yaitu MBA (Marriage by
Accident)
atau hamil duluan. Hal ini disebabkan karena pergaulan dengan
lingkungan sekitar seperti di dunia pendidikan, kumpul-kumpul dengan temanteman membuat mereka penasaran akan bidang atau hal yang baru yaitu sex.
Peredaran film-film porno diantara kumpulan tersebut menambah rasa penasaran
untuk mencoba.
(Petikan Wawancara dengan pasangan “Y” dan “E”)
”.....Mulanya dulu saya pacaran dengan “E” pada waktu SMK
hingga sekarang menjadi istri saya. Bersama dengan teman-teman
SMK dulu, saya sering menonton film porno. Dari menonton
inilah lalu timbul rasa ingin mencoba dengan pacar, awalnya sih
hanya pegang-pegang saja dan akhirnya malah keterusan
melakukan hubungan sex. Kebetulan orang tua dari “E” semua
kerja sehingga pada saat rumah kosong saya melakukan
hubungan tersebut. Selain itu adanya teknoligi internet dan HP
menjadikan mencari film porno semakin mudah. Karena
“kebablasan” akhirnya “E” menjadi hamil, dan mau tidak mau
saya harus menikahinya”.
Dari dua kasus diatas menegaskan bahwa rasa ingin tahu memicu untuk
melakukan hubungan sexual, ditambah dengan pergaulan dengan teman-teman di
kampus ataupun di sekolah. Rasa ingin tahu yang besar mendorong siswa untuk
memperoleh informasi tentang seks dari berbagai sumber. Rasa ingin tahu,
ketidakmampuan menyeleksi informasi, dan tiadanya bimbingan dari orang
dewasa menyebabkan informasi yang diperoleh tidak benar. Lebih lanjut,
kemudahan memperoleh informasi menyebabkan semakin banyak informasi yang
diperoleh remaja. Informasi yang masuk merupakan stimulus yang kuat, dorongan
internal akibat banyaknya hormon yang dihasilkan ditambah stimulus yang kuat
22
akan semakin memperbesar dorongan siswa untuk mencoba melakukan hubungan
seks.
Seperti yang diungkapkan oleh Videllia Engelien Pontoh, SS13 bahwa
Pada era globalisasi ini, pembicaraan soal seks seakan-akan menjadi trend bagi
kalangan remaja, tanpa kita sadari. Sangat lazim, kita menjumpai kaum remaja
membawa Handphone maupun Smartphone, yang bisa digunakan untuk
mengakses internet. Melalui alat canggih tersebut, mereka bisa mengakses
konten-konten yang terkait dengan pornografi, mulai dari berita, gambar, maupun
video. Cukup dengan mengakses Google maupun Youtube dan memasukkan katakata atau istilah-istilah tertentu akan muncul materi pornografi. Meskipun
Kementrian Komunikasi dan Informatika telah memblokir ratusan ribu, bahkan
jutaan situs-situs pornografi, namun tidak dapat memblokir seluruhnya.
Orang yang kecanduan pornografi akan berusaha mencari materi-materi
pornografi, seperti kecanduan alkohol maupun narkoba. Tahap berikutnya adalah
eskalasi, pecandu akan mencari materi pornografi yang lebih bervariasi, seperti
pornografi kekerasan yang menyimpang. Tahap ketiga adalah desensitisasi, materi
pornografi yang tadinya dianggap tabu, illegal dan tidak bermoral, menjadi
sesuatu yang normal dan sebagai hal yang biasa saja. Tahap terakhir adalah keluar
dari kebuasaan, yang tadinya hanya mengkonsumsi pornografi, kini berusaha
mempraktekkan, seperti pelecehan seksual, pergi ke tempat pelacuran, seks bebas,
pemerkosaan bahkan memaksa pasangan untuk mempraktekkan hubungan seks
yang menyakitkan.
3. Lingkungan Keluarga14
Menurut seorang psikolog, Sarwono, dalam bukunya “Psikologi
Remaja”, pendidikan seksualitas yang harus diberikan kepada remaja sebaiknya
mencakupnorma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang
dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang
berlaku di masyarakat. Pendidikan seksualitas bertujuan menjelaskan aspek-aspek
anatomis, biologis, psikologis, moralitas serta nilai-nilai budaya dan agama.
13
14
http://sulut.kemenag.go.id/file/file/Katolik/ipkh1363215396.pdf
http://sulut.kemenag.go.id/file/file/Katolik/ipkh1363215396.pdf
23
Pendidikan seksualitas bertujuan untuk membentuk sikap emosional yang sehat
terhadap masalah seksualitas dan membimbing remaja menjalani kehidupan
dewasa yang sehat dan bertanggungjawab.
Sedangkan Menurut Dr Rose Mini AP, M.Psi, psikolog pendidikan,
seksualitas bagi anak wajib diberikan orangtua sedini mungkin, saat anak masuk
play group (usia 3-4 tahun), karena pada usia ini anak sudah mengenal organ
tubuh mereka. Salah satu cara menyampaikan pada anak dapat dimulai dengan
mengajari mereka membersihkan alat kelaminnya sendiri, setelah buang air kecil
maupun buang air besar, agar anak dapat mandiri dan tidak tergantung pada orang
lain.
Pendidikan ini pun secara tidak langsung dapat mengajari anak untuk tidak
sembarangan mengijinkan orang lain menyentuh alat kelaminnya. Pada usia
balita, orangtua dapat memberitahu berbagai organ tubuhnya, mulai rambut,
kepala, tangan, kaki, perut, alat kelamin (penis/vagina). Jelaskan juga perbedaan
alat kelamin dari lawan jenisnya, misalnya jika si kecil memiliki saudara yang
berlawanan jenis. Pada usia 5-10 tahun, anak cenderung aktif bertanya, misalnya
dari mana aku berasal. Orang tua harus siap memberikan jawaban, misalnya
dengan menunjukkan gambar ibu yang sedang hamil dan terlihat bayi di dalam
perut ibu. Perlu juga diajarkan bahwa alat kelamin merupakan hal yang pribadi,
jika ada orang lain yang memegang alat kelamin tanpa sepengetahuan orang tua,
agar anak berteriak. Hal ini sebagai salah satu usaha preventif agar anak terhindar
dari pelecehan seksual. Pada masa menjelang remaja dan remaja, biasanya anakanak sudah mengalami pubertas, di mana perubahan tubuhnya secara morfologi
sudah terlihat.
Peran orang tua adalah menjelaskan mereka bahwa perubahan tersebut
adalah bersifat alami, dan dialami oleh setiap orang. Masa Remaja adalah masa di
mana bisa dikatakan organ seksualnya sudah matang. Di sini peran orang tua
sangat di butuhkan dalam memberikan nilai moral, dampak negatif dan dampak
hukum, agar anak-anak tidak yang terjerumus ke dalam masalah kawin muda.
Maka dari itu perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap anak-anak yang ada
pada masa remaja. Agar terhindar dari informasi-informasi yang tidak mendidik.
Misalnya informasi dari teman, VCD porno, majalah, dan internet.
24
Kurangnya pengertian yang diberikan oleh keluarga menjadikan mereka
merasa tabu untuk masalah sex, sehingga mereka akan merasa canggung untuk
menanyakan hal tersebut kepada keluarga. “D” memiliki orang tua yang
semuanya bekerja, ibunya berprofesi sebagai pedagang daging di pasar,
sedangkan ayahnya memiliki profesi sebagai pengusaha kayu. Frekuensi
pertemuan mereka antara anak dan orang tua sangatlah jarang terjadi, sehingga
lingkungan keluarga juga merupakan salah satu faktor yang utama dalam
terjadinya nikah usia muda.
(Petikan Wawancara dengan pasangan “D” dan “T”)
“...Keluarga memang mendukung apa yang sudah saya lakukan,
habis mau gimana lagi karena sudah hamil duluan. Tapi di
dalam keluarga saya sangat jarang dalam membahas mengenai
pendidikan sex. Bagi mereka membicarakan hal ini menjadi
sangat tabu, karena biasanya pembicaraan seperti ini adalah
pembicaraan orang dewasa. Selain itu jarang sekali bisa
berkumpul dengan keluarga, saya ada acara sendiri dan orang
tua juga memiliki kesibukan sendiri. Saya jarang sekali
mendapatkan pembicaraan mengenai pendidikan sex, bahkan
hampir tidak pernah”
Sedangkan untuk pasangan “Y” dan “E” pasangan ini memiliki latar
belakang yang religius, orang tua mereka bahkan sempat menjadi majelis. Tapi
pembicaraan mereka mengenai dunia sex masih dianggap tabu oleh mereka,
sehingga hampir tidak pernah membahas mengenai bidang ini. Hasilnya adalah
anak-anak makin penasaran akan dunia sex, dan lingkungan kuliah mereka sangat
membantu untuk mencari tahu mengenai dunia sex tanpa ada kontrol dari orang
tua.
(Petikan Wawancara dengan pasangan “Y” dan “E”)
“Orang tua dari “E” adalah majelis di salah satu Gereja di
Salatiga. Sedangkan orang tua saya hanya tinggal ibu saya saja,
25
ayah saya meninggal sewaktu saya duduk di Sekolah Dasar.
Pengertian mengenai sex atau dunia sex, hampir tidak pernah
diberikan kepada saya. Beranjak dewasa rasa ingin tahu
mendorong saya untuk mencari mengenai sex. Orang tua dari
“E” juga tidak pernah membicarakan mengenai sex, karena
“saru” atau tabu. Jadi tidak ada pendidikan sex atau mengenai
sex yang diberikan kepada kami. Itu sebabnya kami melakukan
hubungan sexual dan akhirnya hamil.
Dari hasil kedua wawancara diatas dapat dilihat bahwa lingkungan
keluarga memiliki peranan penting di dalam pendidikan sex untuk anak. Sudah
seyogyanya apabila keluarga mendampingi dan memberi pemahaman mengenai
dunia sex supaya tidak terjerumus ke dalam sex bebas ataupun norma-norma yang
ada di dalam masyarakat dan agama.
Pertama-tama perlu disadari bahwa lingkungan awal bertumbuh
kembangnya seorang anak adalah lingkungan keluarga. Dalam hal ini, ayah dan
ibu bertanggungjawab untuk memberikan pendidikan seksualitas kepada anakanaknya, sehingga mereka memahami apa yang terjadi dan apa yang mungkin
terjadi pada diri remaja. Pendidikan seksualitas di sekolah juga dapat memberikan
peranan penting dalam hal peningkatan pengetahuan, tingkah laku dan sikap yang
sesuai bagi para remaja. Selain itu, peran serta masyarakat secara luas juga
diperlukan supaya tercipta iklim pemberian informasi mengenai pendidikan seks
yang tepat dan sesuai untuk remaja. Jika pendidikan seksulitas telah dilakukan,
baik secara formal dan informal, maka bisa dipastikan pernikahan dini, penyakit
kelamin, kehamilan yang tidak diinginkan, pelecehan seksual, pemerkosaan dan
lain-lain akan berkurang. Jika remaja sudah mendapatkan pendidikan seksual
yang terarah, maka mereka dapat mengontrol diri mereka sendiri dan tidak
terjerumus dalam pergaulan bebas.
Menurut Friedman (1998)15 menyatakan bahwa tipe-tipe keluarga dibagi
atas keluarga inti, keluarga orientasi, keluarga besar. Keluarga inti adalah keluarga
15
Friedman, Sosiologi (Diterjemahkan oleh Amiruddin Ram dan Tito Sobari), Erlangga,
Jakarta,
1998
26
yang sudah menikah, sebagai orang tua, atau pemberi nafkah. Keluarga inti terdiri
dari suami istri dan anak mereka baik anak kandung ataupun anak adopsi.
Keluarga orientasi (keluarga asal) yaitu unit keluarga yang didalamnya seseorang
dilahirkan. Keluarga besar yaitu keluarga inti ditambah anggota keluarga lain
yang masih mempunyai hubungan darah seperti kakek dan nenek, paman dan
bibi13.
Sedangkan Keluarga menurut Khairuddin16:
•
Keluarga merupakan kelompok sosial yang kecil umumnya terdiri dari
ayah,ibu dan anak.
•
Hubungan sosial di antara nggota keluarga relatif tetap dan berdasarkan
ikatan darah, perkawinan atau adopsi.
•
Hubungan antara keluarga yang di jiwai oleh suasana kasih sayang dan
rasa penuh tanggung jawab.
•
Keluarga berfungsi untuk merawat,memelihara dan melindungi anak
dalam rangka sosialisasi agar mereka mampu mengendalikan diri dan
berjiwa sosial14.
Fungsi keluarga Menurut Horton dan Hurt (2001)17 sebagai berikut :
1. Fungsi Biologis
Fungsi biologis berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan seksual
suami istri.
Keluarga ialah lembaga pokok yang secara absah memberikan
uang bagi pengaturan dan pengorganisasian kepuasan seksual. Apabila salah satu
pasangan kemudian tidak
berhasil
mungkinkan akan terjadinya gangguan
menjalankan
dalam
fungsi
keluarga
biologisnya,
yang
di
biasanya
berujung pada perceraian dan poligami.
2. Fungsi Sosialisasi Anak
Fungsi sosialisasi menunjuk pada peranan keluarga dalam membentuk
kepribadian anak. Melalui fungsi ini, keluarga berusaha mempersiapkan
bekal selengkap-lengkapnya kepada anak dengan memperkenalkan pola
tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai yang di anut oleh
Khairuddin, Sosiologi Keluarga. Liberti, Jogyakarta; 2002
17
Hurt, Horton, Pengantar Studi Sosiologi Keluarga. Pustaka Setia, Bandung ; 2001
16
27
masyarakat serta mempelajari peranan yang di harapkan akan di jalankan
mereka. Keluarga yang seperti ini akan menyosialisasikan anak-anak dan
ketergantungan terhadap orang tua.
3. Fungsi Afeksi
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan kasih sayang atau
rasa dicinta. Banyak fakta menunjukkan bahwa kebutuhan persahabatan
dan keintiman sangat penting bagi anak, kebutuhan kasih sayang sangat
diharapkan bisa di perankan oleh keluarga. Akan tetapi perlu di waspadai
apabila kebutuhan afeksi itu kemudian di ambil alih oleh kelompok lain di
luar keluarga
4. Fungsi Edukatif
Keluarga merupakan guru pertama dalam mendidik manusia, hal itu dapat
di lihat dari pertumbuhan seorang anak mulai dari bayi, belajar jalan-jalan,
hingga mampu berjalan,semuanya di ajari oleh keluarga. Tanggung jawab
keluarga untuk mendidik anak-anaknya sebagian besar atau bahkan
mungkin seluruhnya telah di ambil oleh lembaga pendidikan formal
maupun nonformal. Oleh karena itu, muncul fungsi laten pendidikan
terhadap anak, yaitu melemahnya pengawasan dari orang tua.
5. Fungsi Religius
Fungsi religius dalam keluarga merupakan salah satu indikator keluarga
sejahtera,Keluarga sejahtera adalah keluarga yang di bentuk berdasarkan
atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan
material yang layak. Pendidikan agama dalam keluarga tidak saja bisa di
jalankan
dalam
keluarga,
menawarkan
pendidikan
agama,seperti
pesantren, tempat pengajian majelis taklim dan sebagainya.
6. Fungsi Protektif
Fungsi ini bertujuan agar para anggota keluarga dapat terhindar dari halhal yang negatif, dalam setiap masyarakat keluarga memberikan
perlindungan fisik, ekonomis, dan psikologi bagi anggotanya.
7. Fungsi Rekreatif
Fungsi ini bertujuan untuk memberikan suasana yang segar dan gembira
dalam keluarga, fungsi rekreatif di jalankan untuk mencari hiburan.
28
Dewasa ini, tempat-tempat hiburan banyak berkembang di luar rumah
karena berbagai fasilitas dan aktivitas rekreasi berkembang dengan
pesatnya.
8. Fungsi Ekonomis
Keluarga adalah unit primer yang memproduksi kebutuhan ekonomi bagi
kebutuhan keluar