Keadilan Gender Hukum Waris Islam

PERSPEKTIF ADIL DALAM HUKUM WARIS ISLAM
Dr. Munadi, MA
Dosen Fiqh/Usul Fiqh IAIN Lhokseumawe
Email: [email protected]
ABSTRAK
Mobilisasi penduduk dan perkembangan industri dewasa ini berjalan cukup pesat
telah menggeserkan beberapa paradigma masyarakat yang telah berlangsung
dalam rentang waktu yang cukup lama, salah satunya menyangkut keadilan
dalam pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan. Paradigma
lama mengukuhkan bahwa laki-laki berhak mendapatkan harta lebih banyak
dibanding perempuan yaitu satu banding dua, di mana jumlah yang diterima lakilaki sama dengan dua kali bagian yang diterima perempuan. Porsi demikian
adalah ketentuan dalam hukum waris Islam berdasarkan ketetapan Alquran dan
Hadis, selanjutnya dianggap adil dan proporsional. Namun belakangan ini
paradigma tersebut dianggap tidak relevan lagi dan banyak mendapat gugatan
dari berbagai kalangan, khususnya kaum feminis. Mereka memandang porsi
pembagian waris seperti itu tidak mencerminkan keadilan dan terkesan
diskriminatif terhadap kaum perempuan. Perubahan zaman dan peran perempuan
dalam keluarga saat ini yang mulai bergeser menjadi latar belakang mereka
berpandangan demikian. Kajian ini menggunakan pendekatan normatif dan
filosofis untuk memahami dasar hukum dan tujuan dari penetapan porsi bagian
waris laki-laki dan perempuan yang berbeda dalam hukum waris Islam.

Keyword: Keadilan, Gender, Waris Islam
ABSTRACT
The mobilization of the population and the development of industry now has been
rapidly shifting some of the paradigms of society that have been going on for a
long time, one of which concerns justice in the distribution of inheritance between
men and women. The old paradigm affirms that men are entitled to more wealth
than women ie one in two, where the amount received by men equals two the
share that women receive. Such a portion is a provision in the law of inheritance
of Islam based on the provisions of the Qur'an and Hadith, hereafter considered
fair and proportionate. But lately this paradigm is considered irrelevant and
many get sued from various circles, especially feminists. They view the portion of
such inheritance as not reflecting justice and being discriminatory for women.
Changes in the age and role of women in the family today that began to shift into
their background this view. This study uses a normative and philosophical
approach to understanding the legal basis and purpose of determining the portion
of different male and female heritage in Islamic inheritance law.
Keyword: Justice, Gender, Inheritance of Islam
1

‫ملخص‬

‫حركممة السممكان وتنميممة الصممناعة اليمموم بسممرعة تحممول بعممض نممموذج‬
‫المجتمع التي كانت ثابتممة منممذ زمممن طويممل‪ ،‬منهمما يتعلممق بالعدالممة فممي‬
‫تقسمميم الميممراث بيممن الرجممل والمممرأة‪ .‬النممموذج القممديم أن الرجممال‬
‫يستحقون المال أكثر من النسمماء‪ ,‬يعنممى مثممل حممد انممثين‪ ،‬حيممث يعممادل‬
‫المبلغ الذي يتلقاه الرجال ضعف الحصة التي تحصل عليها المرأة‪ .‬هممذا‬
‫الجزء هو حكم في قممانون الميممراث مممن السمملم علممى أسمماس أحكممام‬
‫القرآن والحديث‪ ،‬وتعتبر هكذ عادلة ومتناسبة‪ .‬ولكن في الونة الخأيممرة‬
‫يعتبر النموذج غير ذي عادلة‪ ،‬وكممثير حصمملت علممى دعمموى قضممائية مممن‬
‫مختلف الدوائر‪ ،‬وخأاصة النسوية‪ .‬وهن ترى أن جزءا من هذا الميراث ل‬
‫يعكس العدالة ويميز ضد المرأة‪ .‬التغيرات فممي سممن ودور المممرأة فممي‬
‫السرة اليوم التي بدأت تحول إلممى خألفيتهمما ينشممئ هممذ الممرأي‪ .‬و هممذه‬
‫البحث تستخدم منهجا معياريا وفلسفيا لفهم الساس القانوني والغرض‬
‫من تحديد الجزء من مختلف أقسام الميراث مممن الممذكور والنمماث فممي‬
‫قانون الميراث السلمي‪.‬‬
‫الكلمة‪ :‬العدل‪ ،‬النوع الجتماعي‪ ،‬وراثة السلم‬

‫‪2‬‬

A. Pendahuluan
Pesatnya perkembangan industri selama kurun waktu tiga puluh lima

tahun terakhir di Indonesia telah melahirkan berbagai perubahan sosial. Dahulu
perempuan yang berkedudukan sebagai pendamping lelaki dalam rumah tangga
telah mengalami berbagai perubahan yang signifikan seiring banyaknya
perempuan yang berkiprah dalam mencari nafkah di luar rumah. Di zaman
sekarang peran perempuan dan peran laki-laki hampir sama dalam menjalankan
roda perekonomian keluarga, perempuan yang dahulu hanya dikhotomikan
sebagai konco winking bagi suami yang bertugas dalam urusan rumah tangga,
namun hal itu telah mengalami pergeseran seiring perubahan zaman.
Dampak kapitalisme dan industri modern terhadap peran perempuan
diyakini juga ambigu, kapitalisme maju melalui komersialisasi aktivitas-aktivitas
produktif manusia dengan melakukan rasionalisasi pasar pemisahan yang
domestik dan pribadi dari yang publik dan sosial. Pada saat yang sama, dorongan
kuat akan keberhasilan telah mengabaikan gagasan-gagasan tradisional tentang
penghasilan keluarga yang bertumpu pada laki-laki, serta memaksa perempuan
dari kelas bawah dan menengah untuk bekerja.
Majunya kapitalisme telah membuka kesempatan bagi perempuan untuk
eksis di luar rumah dan menentang dominasi laki-laki akibat budaya patriarki.
Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan telah menjadi
kontrol kemampuan produksi, dan kesetaraan laki-laki dan perempuan akan
terwujud secara penuh dengan tercapainya kemajuan teknologi di mana pekerjaan

tidak harus mengunakan tenaga yang besar tetapi dapat dilaksanakan dengan
kemampuan ilmu dan ketrampilan.1
Kapitalisme industri telah menghancurkan unit kerja suami dan isteri,
awalnya perempuan lebih tergantung kepada laki-laki untuk keberlangsungan
ekonominya. Pernikahan bagi perempuan, menurut Hamilton, telah menjadi tiket
1Fakih Mansur, Analisis Gender dan Tranformasi Sosial, (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar,1999), h. 50

3

baginya untuk memperoleh kehidupan walau kadang kala sama sekali tidak
mencukupi.
Kapitalisme dan patriarki merupakan dua sistem yang saling berkaitan,
karenanya ada hubungan antara pembagian kerja, upah dan kerja domestik.
Pembagian kerja domestik yang hirarkis terus dihidupkan oleh keluarga telah
mengenyampingkan peranan produktif tradisional bagi keberlangsungan dan
kebaikan dalam masyarakat. Dahulu wanita hanya sebagai pendamping pria dalam
mencari nafkah, namun kini telah mengalami pergeseran, di mana perempuan
tidak sedikit malah menjadi tulang punggung perekonomian keluarga. Pergeseran
inilah yang menjadikan perubahan sosial yang dahulu wanita merupakan sebagai

mahluk kelas dua kini telah sejajar kedudukannya dengan laki-laki, 2 begitu pula
dalam tuntutan pembagian terhadap harta warisan.
Pergeseran peran laki-laki dan perempuan inilah yang menjadi isu hangat
dalam masyarakat, di mana kaum perempuan menuntut hak sesuai perannya
dalam keluarga. Sehingga hukum kewarisan Islam pun dituntut supaya dapat pula
mengakomodir perubahan masyarakat dengan ketentuan yang dapat memberikan
keadilan terhadap perempuan di masa sekarang ini. Tulisan ini ingin
mengetengahkan tentang perpsektif adil dalam hukum kewarisan Islam terhadap
laki-laki dan perempuan sesuai perannya dalam keluarga.
B. Pengertian Warisan
Dalam kitab fiqh, ilmu mawaris disebut juga dengan ilmu faraidh.
Zakariya Anshary dalam Kitab Syarah Tahrῑr menjelaskan bahwa kata “farāidh”
merupakan bentuk jamak dari kata “fardh” yang artinya “taqdir” yaitu ketentuan.
Fardh secara syar'i adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris. Secara
istilah yang dimaksud dengan farāidh yaitu ilmu yang mempelajari tentang
pembahagian harta warisan menurut bahagian-bahagian ahli waris sebagaimana
yang telah diatur dalam al-Quran.3
2Herry Santoso, Idiologi Patriarki dalan Ilmu-Ilmu Sosial, (Yogyakarta, Proyek
Penelitian PSW UGM, 2001), h. 78.
3Zakariya al-Anshary, Syarah Tahriir, juz II, (Indonesia: Al-Haramain), h. 184.


4

Sebagian ulama yang lain mengistilahkan farāidh dengan mawāris. Kata
mawārits merupakan bentuk jamak dari mīras. Maknanya menurut bahasa ialah
berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum
kepada kaum lain. Sedangkan maksud mawāris menurut istilah yang dikenal
menurut penjelasan ulama fiqh yaitu berpindah hak kepemilikan dari orang yang
meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu
berupa uang, tanah, atau apa saja hak milik yang legal menurut syara.4
Kewarisan merupakan salah satu mekanisme peralihan hak kepemilikan atas
suatu harta benda, yaitu pemindahan harta (hak milik) dan tanggung jawab dari orang
yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Harta yang dipindahkan
tersebut dapat berupa harta berwujud seperti uang, rumah, tanah dan lain-lain atau harta
tidak berwujud seperti royalti yang biasanya disebut tirkah (harta peninggalan).
Sedangkan yang dimaksud dengan tanggung jawab adalah kewajiban-kewajiban yang
harus dipenuhi oleh ahli waris, seperti hutang, wasiat, dan lain sebagainya. 5

C. Dasar Hukum Waris dan Sebab-Sebab Memperolehnya
Sejarah mencatat bahwasanya sebelum datang Islam, bangsa Arab

memperlakukan kaum wanita dan anak-anak secara diskriminatif. Wanita dan
anak-anak tidak diberikan harta warisan sedikitpun dari peninggalan ayah, suami,
maupun kerabat mereka, mereka sama sekali tidak diperhitungkan sebagai ahli
waris. Namun setelah datangnya Islam tradisi demikian diubah secara total dan
menetapkan perempuan sebagai ahli waris yang berhak atas harta dengan
bahagian tertentu, demikian pula anak-anak. Islam memberikan perempuan hak
waris, tanpa boleh siapapun menghalang dan menghapusnya. Inilah ketetapan
yang Allah tetapkan dalam syariat sebagai keharusan yang tidak dapat diubah.6
Dasar hukum bagi kewarisan Islam terdapat dalam Alqur’an dan Hadīs,

4 Jalaluddin Al-Mahalli, Qalyubi wa Amirah, Juz. III, (Beirut: Daarul Fikr, 2000), h. 184.

5Komnas Perempuan, Hak Waris Perempuan & Perwalian Anak, (Banda Aceh: Komnas
Perempuan, 2007), h. 1.
6Muhamamad Syaththa Al-Dimyaathy, Haasyiyah I’anah Al-Thaalibiin ‘Ala Halli
Alfadli Fathu Al-Mu’iin, juz III, (Semarang: Toha Putra, tt), h. 222.

5

‫‪dalil-dalil tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.‬‬

‫‪1. QS. An-Nisa’ (4) : 11‬‬

‫ق‬
‫ل ق ظ وك‬
‫مث و ك‬
‫ساءء فقووقق‬
‫م نللذ نك قرن ن‬
‫ي كوو ن‬
‫ن‪ ,‬فقإ ن و‬
‫ن نن ق‬
‫ه نفى أوول قد نك ك و‬
‫م الل ك‬
‫صي وك ك ك‬
‫ن كك ن‬
‫حظ الن وث قي قي و ن‬
‫و‬
‫ن ق‬
‫ما ت ققر ق‬
‫ف ‪ ,‬وقنل قب قوقي وهن ل نك ك ظ‬
‫ل‬

‫ص ك‬
‫ت قوا ن‬
‫ك ‪ ,‬وقإ ن و‬
‫كان ق و‬
‫ن ث كل كقثا ق‬
‫حد قة ء فقل ققها الن ظ و‬
‫ن فقل قهك ن‬
‫اثن قت قي و ن‬
‫ن ق‬
‫ما ت ققر ق‬
‫قوا ن‬
‫س ن‬
‫حد د ن‬
‫ه وقل قد د‬
‫ه وقل قد د ‪ ,‬فقإ ن و‬
‫كا ق‬
‫ك إن و‬
‫ما ال س‬
‫ن لن ك‬
‫ن لق و‬

‫ن لق ك‬
‫م ن‬
‫من وهك ق‬
‫سد ك ك‬
‫م ي قك ك و‬
‫ق‬
‫ق‬
‫وورث ق ق‬
‫ك‬
‫م‬
‫مهن الث كل ك ك‬
‫ن ب قعود ن وق ن‬
‫ث ن‬
‫ن ‪ ,‬أقباؤ كك ك و‬
‫واه ك فقنل ظ‬
‫ق ق ن ك‬
‫صي نةد ي كوو ق‬
‫م و‬
‫ه أب ق ق‬
‫صى ب نقها أوو د قي و د‬

‫وأ قبنائ كك كم قلتدرون أ قيه ق‬
‫ه ق‬
‫ن‬
‫م نق و‬
‫ض ء‬
‫ة ن‬
‫ق وق‬
‫كا ق‬
‫ن اللهن ‪ ,‬إ ن ن‬
‫فءعا‪ ,‬فقرني و ق‬
‫م أقوقر ك‬
‫ن الل ق‬
‫ب ل قك ك و‬
‫و ق وك و ق سك و‬
‫م ق‬
‫ما‪.‬‬
‫ما ق‬
‫حك ني و ء‬
‫ع قل ني و ء‬
‫‪Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak‬‬‫‪anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian‬‬
‫‪dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan‬‬
‫‪lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang‬‬
‫‪ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia‬‬
‫‪memperoleh separuh harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing‬‬‫‪masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal‬‬
‫‪itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak‬‬
‫‪dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat‬‬
‫‪sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka‬‬
‫)‪ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas‬‬
‫‪sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar‬‬
‫‪hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak‬‬
‫)‪mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak‬‬
‫‪manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya‬‬
‫)‪Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa’ (4) : 11‬‬
‫‪2. QS. An-Nisa’ (4) : 12‬‬

‫ف ما تر ق ق‬
‫ن ق‬
‫ن وقل قد د ‪,‬‬
‫كا ق‬
‫د‪ ,‬فقإ ن و‬
‫ن وقل ق د‬
‫م إن و‬
‫ك أوزوق ك‬
‫ن لق و‬
‫جك ك و‬
‫وقل قك ك و‬
‫م نن و‬
‫ن ل قهك ن‬
‫ن ل قهك ن‬
‫م ي قك ك و‬
‫ص ك ق قق‬
‫ق‬
‫ن ق‬
‫صي نةد ي كوو ن‬
‫ن ب قعود ن وق ن‬
‫ن‪ ,‬ن‬
‫م السرب كعك ن‬
‫كا ق‬
‫فقإ ن و‬
‫م ن‬
‫ن وقل قد د فقل قك ك ك‬
‫ن ب نقها أوو‬
‫صي و ق‬
‫م و‬
‫ما ت ققرك و ق‬
‫ن ل قهك ن‬
‫ن ق‬
‫ن‬
‫ن السرب كعك ن‬
‫كا ق‬
‫ن وقل قد د ‪ ,‬فقإ ن و‬
‫م إن و‬
‫ن ل قك ك و‬
‫ن لق و‬
‫ما ت ققرك وت ك و‬
‫م ن‬
‫م وقل قد د فقل قهك ن‬
‫م ي قك ك و‬
‫ن ‪ ,‬وقل قهك ن‬
‫د قي و د‬
‫ق‬
‫ن ق‬
‫ج د‬
‫ل‬
‫ن ب قعود ن وق ن‬
‫م‪ .‬ن‬
‫ن ن‬
‫ن قر ك‬
‫كا ق‬
‫ن ‪ ,‬وقإ ن و‬
‫صو و ق‬
‫ما ت ققرك وت ك و‬
‫م ن‬
‫الث س ك‬
‫صي نةد ت كوو ك‬
‫م و‬
‫م ك‬
‫ن ب نقها أوود قي و د‬
‫ة أ قوإ ق‬
‫ت فقل نك ك ظ‬
‫ه أق د‬
‫ن‬
‫خ أ قوو أ ك و‬
‫ل قوا ن‬
‫ي كووقر ك‬
‫حد د ن‬
‫س ‪ ,‬فقإ ن و‬
‫ما ال س‬
‫من وهك ق‬
‫خأ د‬
‫مقرأة د وقل ق ك‬
‫ث ك قل قل ق ء و ن و‬
‫سد ك ك‬
‫ق‬
‫شقر ق‬
‫ق‬
‫ن ذ قل ن ق‬
‫م ك‬
‫صى ب نقها‬
‫ن ب قعود ن وق ن‬
‫ث ن‬
‫كاكء نفى الث سل ك ن‬
‫كان كوو أك وث ققر ن‬
‫ك فقهك و‬
‫صي نةد ي كوو ق‬
‫م و‬
‫م و‬
‫ق‬
‫م‪.‬‬
‫صي ن ء‬
‫ة ن‬
‫ضارر ‪ ,‬وق ن‬
‫م ق‬
‫م ق‬
‫حل ني و د‬
‫ه ع قل ني و د‬
‫ن اللهن ‪ ,‬قوالل ك‬
‫ن غ قي وقر ك‬
‫م ق‬
‫أوود قي و د‬
‫‪6‬‬

Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta
yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu
mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau
(dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik lakilaki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masingmasing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudarasaudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. (QS. AnNisa’ (4) : 12)
3. Hadits Riwayat Ibnu Abbas

‫ق‬
‫سو ك‬
‫ل ققا ق‬
‫س ققا ق‬
‫ي‬
‫قوا ال ق‬
‫ح ك‬
‫ل اللهن أ قل و ن‬
‫ممما ب ق ن‬
‫ل قر ك‬
‫ض ب نأهول نهقمما فق ق‬
‫فقرائ نمم ق‬
‫قمم ق‬
‫ن ع قنبا د‬
‫ن اب و ن‬
‫عق ن‬
(‫ل ذ قك قرد )روه البخارى‬
‫فقل نووقلى قر ك‬
‫ج د‬
Artinya: Dari Ibnu Abbas radiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan
apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama." (HR
Bukhari)

4. Hadits riwayat Usamah.

‫عق ك‬
‫سممو ك‬
‫ ققمما ق‬, ‫ل‬
‫ن قزي ودد ققا ق‬
‫م‬
‫ل اللممهن ل ق ي قممرن ك‬
‫م ق‬
‫م و‬
‫ل قر ك‬
‫نأ ق‬
‫سممل ن ك‬
‫ث ال ك‬
‫سا ق‬
‫و‬
‫ة بو ن‬
‫الكا قفنقر وقل ق ال ق‬
(‫ة‬
‫ماع ق د‬
‫م )قروقه ك ق‬
‫م و‬
‫ج ق‬
‫سل ن ق‬
‫كافنكر ال ك‬
Artinya: Dari Usamah bin Zaid Radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah
SAW bersabda:"Seorang muslim tidak mendapat warisan dari orang
kafir dan orang kafir tidak mendapat warisan dari seorang muslim. (HR
Jamaah kecuali An-Nasai).

7

5. Hadits Riwayat Abdullah bin Umar.

‫ل ن ن‬
‫ث أ قهومم ك‬
‫سممو ك‬
‫ل ققمما ق‬
‫مرو ققمما ق‬
‫ن‬
‫واقر ك‬
‫ل قر ك‬
‫ن عق و‬
‫ل اللممه ل ق ي قت قمم ق‬
‫عق و‬
‫ملت قي ومم ن‬
‫ن ع قب ود ن اللهن ب و ن‬
‫ق‬
(‫ أبو دود و إبن ماجه‬, ‫ )روه أحمد‬.‫شنتى‬
Artinya: Dari Abullah bin Amr Radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Dua orang yang berbeda agama tidak saling mewarisi.(HR.
Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah)
Selain ayat dan hadits yang telah disebutkan sebenarnya masih banyak lagi
dalil yang menjadi dasar hukum bagi kewarisan Islam, namun penulis tidak
menyebutkan semuanya di sini untuk membuat tulisan ini ringkas. Ayat dan hadits
tersebut merupakan dasar hukum pembahagian harta warisan dalam Islam.
Bahkan bila diamati penjelasan ayat maupun hadits sangat jelas uraian mengenai
warisan ini, khususnya mengenai ahli waris dan bahagian mereka. Hal itu telah
ditetapkan secara pasti dalam dalil. Kejelasan dan kepastian uraian dalil terhadap
masalah warisan ini menggambarkan bahwa hukum waris Islam mesti dijalankan
sebagaimana yang diatur syara’ tanpa boleh merubahnya.
Adapun sebab-sebab memperoleh harta warisan ada beberapa faktor, yaitu:
1. Garis Keturunan (nasab), yaitu orang yang mempunyai hubungan darah
dengan pewaris, yaitu anak, saudara, ayah, ibu.
2. Ikatan Perkawinan (mushaharah), yaitu suami atau Isteri
3. Kepemilikan Budak (wala’), sebab mendapatkan kewarisan berdasarkan
wala’ul ‘ataqah adalah hubungan yang tercipta dari tindakan seseorang
pemilik budak yang memerdekakan budaknya. Kemudian bekas budak itu
mati dan meninggalkan harta warisan maka orang yang telah
memerdekakan budak tersebut berhak mendapat harta warisan dari budak
yang dimerdekakan tersebut, jika ia tidak memiliki ahli waris.
4. Wasiat, hak mendapatkan warisan dalam hukum Islam karena wasiat
apabila sepanjang hidupnya ahli waris telah membuat surat wasiat yang
menyatakan bahwa orang tersebut berhak mendapat hak atas harta
peninggalan setelah pewaris meninggal. Sedangkan jumlah bagian dari

8

wasiat ini sangat dibatasi tidak boleh lebih dari 1/3 dari harta warisan
setelah dikurangi semua beban dan biaya.
5. Hubungan Islam, penerima warisan atas nama hubungan Islam adalah
Baitil Mal, di saat seorang meninggal tidak meninggalkan seorang ahli
waris pun. Harta orang tersebut diambil alih oleh badan Baitil Mal dan
mempergunakannya untuk kepentingan dan kemaslahatan masyarakat
umum.7
D. Hak Laki-Laki dan Perempuan dalam Kewarisan Islam
Sebelum menjelaskan tentang bentuk keadilan dalam hukum kewarisan
Islam antara laki-laki dan perempuan, terlebih dahulu akan dijelaskan tentang
pengertian adil menurut bahasa dan istilah. Adil merupakan kata bahasa Indonesia
yang berasal dari kata “adl” di dalam al-Qur’an. Kata “adl” atau turunannya
disebut lebih dari 28 kali. Sebagian di antaranya diturunkan Allah dalam bentuk
kalimat perintah dan sebagian dalam bentuk kalimat berita. Kata “adl” itu
dikemukakan dalam konteks yang berbeda dan dalam arah yang berbeda pula.
Sehingga memberikan definisi yang berbeda sesusai dengan konteks tujuan
penggunaanya.
Dalam hubungannya dengan hak yang menyangkut materi khususnya yang
menyangkut

dengan

kewarisan

kata

tersebut

dapat

diartikan

sebagai

keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan keseimbangan antara yang diperoleh
dengan keperluan dan kegunaan.8 Pembagian hak waris dilakukan secara
proporsional berdasarkan hak dan tanggungjawab seorang pewaris.
Atas dasar pengertian tersebut di atas terlihat jelas asas keadilan dalam
pembagian harta warisan dalam hukum Islam, di mana secara mendasar dapat
dikatakan bahwa perbedaan gender tidak membatasi hak menerima warisan dalam
Islam. Artinya sebagaimana laki-laki, perempuan mempunyai hak yang sama
kuatnya untuk mendapatkan warisan. Hal ini secara jelas disebut dalam Alqur’an

7 T. Mahmud Ahmad, S.Ag, Ilmu Faraidh Praktis, (Banda Aceh: Pena, 2012), h. 4.
8Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta Prenada Media 2004), h. 24-27.

9

dalam surah al-Nisa ayat 7 yang menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan
dalam hak mendapatkan warisan. Pada ayat 11, 12 dan 176 surah an-Nisa juga
secara rinci diterangkan kesamaan kekuatan hak menerima warisan antara lakilaki dan perempuan, antara ayah dan ibu (ayat 11), antara suami dan isteri (ayat
12) dan antara saudara laki-laki dan perempuan (ayat 12 dan 176).
Mengenai jumlah bagian yang diterima laki-laki dan perempuan terbagi
dalam dua bentuk. Pertama: laki-laki mendapat jumlah yang sama banyak dengan
perempuan; seperti ayah dengan ibu sama-sama mendapatkan seperenam dalam
keadaan pewaris meninggalkan anak kandung, sebagaimana yang dinyatakan
dalam ayat 11 surah al-Nisa. Begitu pula dengan sudara laki-laki dengan saudara
perempuan seibu sama-sama mendapat seperenam. Dan jika seorang pewaris tidak
memiliki ahli waris langsung seperti suami, isteri, anak, bapak dan, ibu maka
berlaku surah al-Nisa’ ayat 12.
Kedua: laki-laki memperoleh bagian lebih banyak dari perempuan, yaitu
dua kali lipat dari yang diperoleh perempuan yaitu; 1) anak laki-laki dengan anak
perempuan, 2) suami dengan isteri, sebagaimana tersebut dalam ayat 12 surat AnNisa’. Ditinjau dari segi jumlah yang diterima dari harta warisan, memang
terdapat perbedaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena
keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang sama
didapat saat menerima hak waris, akan tetapi juga dikaitkan dengan kegunaan dan
kebutuhan masing-masing dari ahli waris.
Secara umum laki-laki membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan
perempuan, hal tersebut dikarenakan laki-laki dalam Islam memikul kewajiban
nafkah ganda yaitu terhadap dirinya dan terhadap keluarganya (anak, isteri, ibu
saudara perempuan, dan seterusnya). Terkait hal ini Allah menjelaskan dalam QS.
al-Nisa’ (4) 34 yang berbunyi:

....‫الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أمولهم‬

10

Artinya: Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka... (QS. al-Nisa’ (4) 34)
Ayat di atas menjelaskan tentang posisi laki-laki sebagai pemimpin kaum
perempuan. Kata ‫ قوومون‬dalam ayat ditafsirkan oleh para ulama dengan ‫مسولطون‬
yang berarti memimpin.9 Dengan demikian laki-laki adalah pemimpin bagi kaum
perempuan, yang bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan, kasih
sayang dan nafkah bagi kaum perempuan, baik isteri, anak, ibu, saudara dan
kerabat perempuan yang lain.
Kewajiban memberi nafkah oleh suami terhadap perempuan, khususnya
isteri tidak dipengaruhi oleh situasi apapun, sekalipun isteri adalah orang kaya
ataupun memiliki penghasilan sendiri, namun sebagai suami tetap harus
menunaikan kewajiban memberi nafkah kepada isteri sesuai martabat dan
kebutuhannya. Jika si isteri berasal dari keluarga yang kaya, maka suami harus
memberikan nafkah layaknya orang kaya, begitu juga sebaliknya isteri yang
miskin wajib diberikan nafkah selayaknya orang miskin. 10 Dengan demikian isteri
tidak tersakiti karena hak-haknya terpenuhi.
Bila dihubungkan antara hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan
dalam sebuah keluarga, maka perbedaan jumlah harta warisan yang diterima oleh
laki-laki dan perempuan tidak mempertimbangkan satu pihak saja, tetapi tetap
mempertimbangkan kedua belah pihak, di mana laki-laki dan perempuan
diberikan harta waris sesuai dengan kebutuhan dan tanggungjawab masingmasing. Perbedaan tersebut digolongkan adil secara berimbang, di mana laki-laki
yang memperoleh bagian harta warisan dua kali bagaian perempuan, namun tidak
semua harta tersebut untuk dirinya. Sebahagian dari harta yang diterimanya harus
diberikan kepada perempuan di bawah tanggungannya baik isteri, anak, ibu dan
saudara perempuan yang berada di bawah tanggungjawabnya. Sedangkan

9 Lihat Tafsir al-Jalalain, Juz I, h. 303.
10 Muhamamad Syaththa Al-Dimyaathy, Haasyiyah... h. 256.

11

perempuan yang menerima hak waris lebih sedikit, namun sepenuhnya untuk
dirinya. Ia tidak tidak dibebankan untuk menafkahi keluarga. Dengan demikian
hak yang diterima masing-masing laki-laki dan perempuan bersifat adil dan
berimbang sesuai tanggung jawab masing-masing. Ahli waris yang memiliki
tanggungjawab yang besar, maka berhak memperoleh harta dalam jumlah yang
besar pula, sebaliknya ahli waris perempuan yang memiliki tanggungjawab kecil
dalam bidang nafkah berhak memperoleh harta waris yang lebih kecil.
Demikianlah konsep keadilan yang diterapkan dalam hukum kewarisan Islam.
Kerabat dari segala sisi atas, bawah maupun ke samping semua berhak
mendapatkan harta warisan baik laki-laki maupun perempuan sebagaimana
dijelaskan oleh surah An-Nisa ayat 11 yang bahwa laki-laki dan perempuan samasama memperoleh warisan, hanya saja berbeda dari segi jumlahnya. Anak
memperoleh bagian lebih besar dari orang tua, laki-laki lebih besar bahagian dari
perempuan. Perbedaan ini tidak lain adalah karena tinjauan terhadap kewajiban
atau tanggungjawab mereka.
Hak warisan yang diterima oleh ahli waris pada hakekatnya merupakan
kontinuitas tanggungjawab pewaris terhadap keluarganya atau ahli waris
berimbang dengan perbedaan tanggung jawab seseorang (yang kemudian menjadi
pewaris) terhadap keluarga (yang kemudian menjadi ahli waris) bagi seorang lakilaki tanggungjawab adalah isteri dan anak-anak merupakan kewajiban yang harus
dipikulnya.
Umur juga tidak menjadi faktor yang menentukan bagi jumlah harta
warisan. Dilihat dari segi jumlah hak yang diterima, terlihat jumlah yang besar
dengan yang kecil tidaklah adil, tetapi tinjauan kebutuhan tidak dihitung saat
dilangsungkannya pembagian harta warisan tetapi untuk jangka waktu yang lama
sampai usia dewasa, anak kecil juga akan membutuhkan materi yang sama
banyaknya dengan orang yang sudah dewasa jika ia telah beranjak dewasa. Jika
demikian halnya, maka anak-anak dan orang dewasa akan mendapatkan manfaat
yang sama atas apa yang mereka terima. Inilah keadilan hakiki yang diatur Islam,
yaitu keadilan berimbang dan bukan keadilan yang sama rata.

12

E. Hikmah Bagian Laki-Laki Dua Kali Bagian Wanita
Dalam sistem hukum kewarisan Islam menempatkan pembagian yang
tidak sama antara laki-laki dengan perempuan. Seiring dengan bias gender, kaum
feminis menuntut kedudukan yang sama dengan laki-laki, sebab pada prinsipnya
hukum tidak membeda-bedakan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan.
Tuntutan ini membawa pengaruh terhadap sistem hukum dan juga arti keadilan,
dahulu laki-laki merupakan orang yang bertanggung jawab dalam rumah tangga, 11
kini laki-laki bukan satu-satunya lagi sebagai pencari nafkah dalam keluarga,
sehingga tuntutan mengenai keadilan pun mengalami perubahan.
Di zaman pra-Islam wanita bukanlah sebagai ahli waris karena sistem
keluarga waktu itu menganut sistem patrilinial di mana semua harta adalah milik
suami atau laki-laki. Masyarakat pada waktu itu berpandangan bahwa hanya orang
laki-lakilah satu-satunya yang dapat mengumpulkan harta, sedangkan perempuan
tidak mampu melakukannya. Oleh sebab itu semua harta menjadi hak laki-laki.
Dengan datangnya Islam, maka wanita mempunyai hak yang sama kuat dalam
memperoleh harta warisan sebagaimana bunyi QS. an-Nisa (4) : 7 :

‫ممما ت قممقر ق‬
‫ما ت ققر ق‬
‫ك‬
‫ب ن‬
‫سممانء ن ق ن‬
‫ب ن‬
‫ل نق ن‬
‫صممي و د‬
‫ن قواول ققوقرب كوو ق‬
‫وال ن ق‬
‫صي و د‬
‫نللظر ق‬
‫ن وقنللن ظ ق‬
‫م ن‬
‫م ن‬
‫دا ن‬
‫ك ال و ق‬
‫جا ن‬
‫ل من ق‬
.‫ضا‬
‫م و‬
‫ ن ق ن‬,‫ه أووك قث كقر‬
‫ن ن‬
‫فكروو ء‬
‫ن قواول ققوقرب كوو ق‬
‫وال ن ق‬
‫صيب وا ء ق‬
‫ما قق ن ن و ك‬
‫م ن‬
‫دا ن‬
‫وال ق‬
Artinya: bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan. (QS. Al-Nisa (4) : 7)
Asas hukum dalam kewarisan Islam tidak memandang perbedaan antara
laki-laki dan perempuan, semua ahli waris baik laki-laki maupun perempuan
mempunyai hak yang sama sebagai ahli waris. Tetapi hanyalah perbandingan
haknya saja yang berbeda. Dalam hukum kewarisan Islam yang ditekankan
keadilan yang berimbang, bukan keadilan yang sama rata sesama ahli waris.
Karena prinsip inilah yang sering menjadi polemik dan perdebatan yang kadang
kala menimbulkan persengketaan di antara para ahli waris.
11 Bambang, Sugiharto, Post Modern Tantangan Bagi Filsafat, (Yogyakarta,Kanisius,
1996), h. 100.

13

Allah Swt. menjadikan bahagian warisan laki-laki melebihi bahagian
perempuan, kecuali saudara laki-laki seibu. Mereka mendapat warisan tidak
melebihi sepertiga, sekalipun jumlah mereka lebih dari satu orang. Mereka
mendapatkan warisan melalui perantaraan ibunya. Oleh karena itu mereka
mendapat bagian yang sama (sepertiga). Berbeda dengan saudara laki-laki dari
pihak bapak. Kedudukan mereka lebih tinggi, bagian mereka sebagaimana yang
terdapat dalam nash yaitu dua banding satu dari bagian perempuan.
Hikmah laki-laki mendapatkan hak waris melebihi bagian perempuan, Ali
Ahmad al Jarjawi seorang ulama Al-Azhar Mesir mengemukakan bahwa laki-laki
adalah sosok pekerja keras dan bersusah payah dalam mencari nafkah untuk
menafkahi keluarganya. Dalam syariat Islam, suami wajib memberikan nafkah
bagi isterinya, walaupun sang isteri termasuk orang yang kaya dan mampu. Lelaki
dibebankan untuk memikul beban hidup yang demikian berat, sementara beban
tersebut tidak sanggup dipikul oleh perempuan. Lelaki bertugas untuk
memakmurkan bumi dan mengembangkannya, dan selalu berhadapan dengan
berbagai kesulitan. Lelaki wajib berperang mempertahankan tanah air dan agama.
Demikian juga lelaki memikul peranan untuk mewujudkan kemaslahatan umat,
dibidang keuangan, pengadilan dan lain sebagainya.12 Peran-peran jarang dapat
dilakukan oleh perempuan.
Atas alasan ini Allah swt melebihkan bagian warisan laki-laki dari bagian
wanita, karena harta termasuk bahagian terpenting dalam membantu manusia
memenuhi kebutuhan hidup serta memudahkan dalam mencari pekerjaan. 13 Imam
al-Nasafi mengemukakan bahwa keunggulan laki-laki dari wanita terdapat pada
akal, tekad, keteguhan hati, gagasan ide, kekuatan, perang, kesempurnaan, puasa,
shalat, kenabian, khilafah, kepemimpinan, adzan, khutbah, jamaah, juma’atan,
baca takbir di Hari Tasyriq (menurut Abu Hanifah), kesaksian dalam hudud,

12Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, (Beirut: Darul alFikri, 1997), Cet. Ke 5, h. 717.
13 Ibid, h. 717.

14

qishash dan lebih banyak dalam warisan, hak ashabah, pemegang nikah dan hak
talak.14
Dengan berbagai alasan dan pertimbangan di atas maka syara’ menetapkan
bagian waris laki-laki harus melebihi perempuan, laki-laki dan perempuan
memiliki keunggulan masing-masing. Dalam pandangan Allah swt tidak ada
istilah makhluk nomor satu dan nomor dua. Maka kemudian Allah menetapkan
hukum bagi laki-laki dan perempuan dengan adil dan proporsional sesuai fitrah
masing-masing. Allah menciptakan laki-laki dengan tubuh yang kuat supaya ia
sanggup mencari rezeki untuk menafkahi keluarganya, demikian juga sejumlah
kelebihan lainnyha diberikan kepada laki-laki agar dapat berkiprah dalam
masyarakat.
Sedangkan perempuan Allah menciptakannya sebagai makhluk yang
indah, lembut dan penuh kasih sayang. Tugas perempuan yang utama adalah
melayani suami dan mengasuh anak-anak. Perempuan tidak diwajibkan mencari
nafkah, namun ia hanya menerima saja nafkah yang diberikan suaminya. Maka
hukum dan tanggung jawab perempuan terhadap nafkah tidak sama seperti lakilaki. Perempuan dalam posisi menerima nafkah, bukan sebagai pencari nafkah.
Pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan dalam Islam cukup jelas,
laki-laki bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah, sedangkan perempuan
bekerja di rumah untuk menjaga dan merawat anak-anak, membersihkan rumah,
memasak, mencuci dan lain sebagainya. Sesuai kodratnya pekerjaan perempuan
bersifat domestik, sedangkan laki-laki bersifat publik. Namun dalam batas tertentu
perempuan juga dapat berkiprah di luar dengan melakukan berbagai aktivitas yang
sesuai dengan kodrat dirinya.
Perempuan yang bekerja mencari uang tidak dilarang secara mutlak,
namun tergantung kondisi. Dalam keadaan darurat, di mana kondisi ekonomi
keluarga yang sempit, atau ekonomi mereka mapan namun suami mengizinkannya
bekerja, maka seorang isteri boleh saja bekerja dalam kondisi ini. Dalam bekerja
seorang isteri harus memperhatikan aspek keselamatan dan maruah dirinya, serta

14 Ibid, h. 718.

15

memastikan kewajiban menjaga anak dan mengurus rumah tangga tidak
terbengkalai.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ketetapan hukum kewarisan
Islam yang melebihkan hak waris laki-laki atas perempuan bersifat adil, diukur
dari segi kebutuhan dan tanggung jawab masing-masing. Ketetapan tersebut akan
tetap berlaku di mana pun dan kapan pun selama kodrat dan tanggungjawab
masing-masing laki-laki dan perempuan belum berubah.
F.

Kesimpulan
Hukum waris Islam telah mengakomodir prisip hukum yang berkeadilan

gender dengan bukti antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama
kuat dalam mendapatkan harta warisan dari orang tuanya maupun dari
saudaranya. Hukum waris Islam telah memposisikan sebagai ahli waris, sama
seperti laki. Perempuan memperoleh bagian yang telah tertentu dari harta warisan
melalui skema zaw al-furud, bahkan bisa menjadi ahli waris ashabah bila
mewarisi bersama-sama dengan anak laki-laki.
Perbandingan hak waris antara laki-laki dan wanita adalah dua banding
satu, dikarenakan laki-laki memiliki beban tanggungjawab yang besar dalam
menafkahi isteri atau keluarganya. Laki-laki merupakan penanggungjawab utama
terhadap ekonomi rumah tangga, sedangkan perempuan pada posisi penerima
nafkah. Hukum kewarisan Islam menganut asas keadilan berimbang antara lakilaki dan perempuan, yaitu penentuan bagian berdasarkan kebutuhan dan
tanggungjawab. Bukan asas mempersama ratakan antara bagian laki-laki dan
perempuan.

KEPUSTAKAAN

16

Ahmad, T. Mahmud, Ilmu Faraidh Praktis, Banda Aceh: Pena, 2012.
Al-Dimyaathy, Muhamamad Syaththa, Haasyiyah I’anah Al-Thaalibiin
‘Ala Halli Alfadli Fathu Al-Mu’iin, juz III, Semarang: Toha Putra,
tt.
Anshary, Zakariya, Syarah Tahriir, juz II, Indonesia: Al-Haramain.
Bambang, Sugiharto, Post Modern Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius, 1996.
Jarjawi, Ali Ahmad, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Beirut: Darul alFikri, 1997, Cet. Ke 5.
Mahalli, Jalaluddin, Qalyubi wa Amirah, Juz. III, Beirut: Daarul Fikr,
2000.
Mansur, Fakih, Analisis Gender dan Tranformasi Sosial, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar,1999.
Santoso, Herry, Idiologi Patriarki dalan Ilmu-Ilmu Sosial, Yogyakarta,
Proyek Penelitian PSW UGM, 2001.
Syarifudin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta Prenada Media 2004.

17