Pengan Ibu HIV-AIDS dalam Melakukan Perawatan Postpartum dengan Sectio Caesarea

14

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep HIVAIDS, perawatan bedah caesarea, teori Ramona Mercer, dan studi fenomenologi.
Adapun penjelasan masing-masing setiap variabel akan diuraikan dibawah ini.
2.1.

Konsep HIV-AIDS
Salah satu masalah kesehatan akibat perubahan tatanan dunia dan

merupakan isu penting bersama masyarakat dunia adalah penyakit menular AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) yang disebabkan oleh HIV (Human
Immuno deficiency Viru) (Setyoadi & Triyanto, 2012). Penyakit ini pertama kali
ditemukan di wilayah Los Angeles California, Amerika Serikat oleh Gottlieb pada
tahun 1981 (PATH, 2011).
Penambahan jumlah kasus HIV-AIDS mengalami peningkatan dari waktu
ke waktu. Masalah kesehatan pandemik ini merupakan fenomena yang menarik
perhatian dunia belakangan ini. Berbagai program telah dibuat untuk menurunkan
angka mortalitas atau morbiditas akibat penularan HIV-AIDS. Salah satu program
tersebut adalah Prevention of Mother to Child Transmission (PMTCT). Penularan

HIV-AIDS dapat melalui berbagai cara baik melalui kontak seksual maupun non
seksual seperti transmisi parenteral dan transmisi transplasental.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di wilayah Asia yang
telah digolongkan menjadi negara dengan tingkat epidemik yang terkonsentrasi
atau Concentrated level Epidemic (CLE) karena memiliki kantong-kantong
epidemik dengan prevalensi lebih dari 5% pada sub populasi berisiko terinfeksi

14
Universitas Sumatera Utara

15

HIV (Depkes, 2009). Oleh karena itu pemerintah Indonesia membuat program
kebijakan dan strategi diantaranya: melakukan Strategi Nasional Penanggulangan
HIV-AIDS (STRANAS), mengadakan penyuluhan kesehatan masyarakat,
perawatan, pengobatan dan dukungan terhadap ODHA.
2.1.1. HIV- AIDS dan Kehamilan
Menurut
pengertian


Permenkes (2013) tentang Penanggulangan HIV dan AIDS,

Human

Immunodeficiency

Virus

(HIV)

adalah

virus

yang

menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). Sedangkan
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan gejala
berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virus
HIV dalam tubuh seseorang.

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak
fungsinya. Setelah infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah,
dan pengidapnya menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tahap lebih lanjut dari
infeksi HIV adalah Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) berlangsung
dalam waktu 10-15 tahun untuk orang yang terinfeksi HIV menjadi AIDS
(Handicap International, 2012).
Menurut Profil Kesehatan Indonesia (2011), HIV-AIDS merupakan
penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus
yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi tersebut menyebabkan penderita
mengalami penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah untuk terinfeksi
berbagai macam penyakit lain.

Universitas Sumatera Utara

16

Kehamilan tidak lantas memperburuk kondisi kesehatan perempuan yang
terinfeksi HIV atau mempercepat laju penyakitnya. Kehamilan pada perempuan
yang terinfeksi HIV dapat menyebabkan penurunan jumlah CD4 yang berbeda
pada setiap wanita dan kembali keangka semula setelah melahirkan (Spiritia,

2009).
Pada kehamilan, fungsi imun ditekan pada perempuan terinfeksi HIV dan
tidak terinfeksi. Ada penurunan imunoglobulin, mengurangi tingkat komplemen
pada awal kehamilan dan penurunan yang lebih signifikan dalam imunitas
diperantarai sel selama kehamilan (WHO & UNAIDS, 2004).
Pemantauan jumlah CD4 pada saat kehamilan penting dilakukan karena
dapat memicu terjadinya penyakit infeksi yang berisiko tinggi (IO) bila jumlahnya
rendah yang tentunya dapat mempengaruhi kondisi ibu dan janinnya (Aberg et al.,
2009).
Manajemen kehamilan pada perempuan yang terinfeksi HIV harus dilihat
secara holistik dan bagian dari perawatan jangka panjang. Perawatan medis dari
ibu yang terinfeksi HIV harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing ibu.
Manejemen obstetri pada ibu yang terinfeksi HIV sama dengan perempuan yang
tidak terinfeksi pada kebanyakan kasus (Chou et al., 2005).
Penggunaan obat antiretroviral pada kehamilan untuk pencegahan
penularan HIV dari ibu ke anak harus didukung dan diberikan seluas mungkin.
Dalam pengaturan di mana hal ini tidak dapat dilaksanakan dalam jangka pendek,
intervensi lain termasuk modifikasi praktek kebidanan harus dipertimbangkan.
Perawatan postpartum yang disertai penggunaan dan penyediaan kontrasepsi,


Universitas Sumatera Utara

17

dukungan pemberian makan bayi dan tindak lanjut yang tepat untuk bayi yang
baru lahir dan ibu (British Columbia Guidelines, 2013).
Infeksi HIV telah dilaporkan memiliki sedikit efek pada kehamilan atau
komplikasi di negara maju, oleh karena itu penting dilakukan beberapa hal pada
ibu yang terinfeksi HIV antara lain: skrining antenatal, terapi obat-obatan,
perawatan antenatal, perawatan persalinan dan perawatan postpartum yang
mencakup monitoring universal precaution, perawatan perineum, lochea,
penggunaan kontrasepsi, penatalaksanaan perdarahan, perawatan luka, dan lainlain terkait dengan risiko infeksi pada ibu yang positif HIV.
Komplikasi infeksi juga lebih umum selama periode postpartum pada ibu
positif HIV. Operasi caesarea terutama terkait dengan morbiditas infeksi lebih
tinggi dalam beberapa laporan, terutama pada wanita dengan jumlah CD4 rendah,
dengan kematian meningkat dalam satu studi di Rwanda (WHO & UNAIDS,
1998).
2.1.2. Perjalanan Infeksi HIV
Sesudah HIV memasuki tubuh seseorang, maka tubuh akan terinfeksi dan
virus mulai mereplikasi diri dalam sel orang tersebut (terutama sel limfosit T CD4

dan makrofag). Virus HIV akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan
menghasilkan antibodi untuk HIV. Masa antara masuknya infeksi dan
terbentuknya antibodi yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium
adalah selama 2-12 minggu dan disebut masa jendela (window period)
(Permenkes, 2013). Selama masa jendela, pasien sangat infeksius, mudah

Universitas Sumatera Utara

18

menularkan kepada orang lain, meski hasil pemeriksaan laboratoriumnya masih
negatif.
Hampir 30-50% orang mengalami masa infeksi akut pada masa infeksius
ini, di mana gejala dan tanda yang biasanya timbul adalah: demam, pembesaran
kelenjar getah bening, keringat malam, ruam kulit, sakit kepala dan batuk. Orang
yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda (asimtomatik) untuk jangka
waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Namun orang tersebut
dapat menularkan infeksinya kepada orang lain. Kita hanya dapat mengetahui
bahwa orang tersebut terinfeksi HIV dari pemeriksaan laboratorium antibodi HIV
serum. Sesudah jangka waktu tertentu, yang bervariasi dari orang ke orang, virus

memperbanyak diri secara cepat dan diikuti dengan perusakan sel limfosit T CD4
dan sel kekebalan lainnya sehingga terjadilah gejala berkurangnya daya tahan
tubuh yang progresif. Progresivitas tergantung pada beberapa faktor seperti: usia
kurang dari 5 tahun atau di atas 40 tahun, infeksi lainnya, dan faktor genetik.
Infeksi, penyakit, dan keganasan dapat terjadi pada individu yang
terinfeksi HIV. Penyakit yang berkaitan dengan menurunnya daya tahan tubuh
pada orang yang terinfeksi HIV, misalnya infeksi tuberkulosis (TB), herpes zoster
(HSV), oral hairy cell leukoplakia (OHL), oral candidiasis (OC), papular pruritic
eruption (PPE), Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), cryptococcal meningitis
(CM), retinitis Cytomegalovirus (CMV), dan mycobacterium avium (MAC)
(Kemenkes, 2012).

Universitas Sumatera Utara

19

2.1.3. Manifestasi Klinis
Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda
(asimtomatik) untuk jangka waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau
lebih. Namun orang tersebut dapat menularkan infeksinya kepada orang lain

(Permenkes, 2013). Selama masa jendela, pasien sangat infeksius, mudah
menularkan kepada orang lain, meski hasil pemeriksaan laboratoriumnya masih
negatif. Hampir 30-50% orang mengalami masa infeksi akut pada masa infeksius
ini, di mana gejala dan tanda yang biasanya timbul adalah: demam, pembesaran
kelenjar getah bening, keringat malam, ruam kulit, sakit kepala dan batuk (WHO
(2004) dalam Thomlinson, 2004).
Menurut Noviana (2013), Individu yang terinfeksi HIV menjadi AIDS di
bagi menjadi dua gejala yaitu mayor (umum terjadi) dan minor (tidak umum
terjadi). Adapun gejala mayor berupa: Penurunan berat badan > 10% dalam 1
bulan, diare kronis yang berlangsung lebih dari satu bulan, demam
berkepanjangan lebih dari satu bulan, penurunan kesadaran dan gangguan
neurologi, demensia/ HIV enselofat. Sedangkan gejala minor berupa: batuk
menetap lebih dari satu bulan, dermatitis generalisat, kandidias orofaringeal,
herpes simpleks kronis progresif, limfadenopati generalisata, retinitis virus
sitomegalo, infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita,

herpes zoster

multisegmental dan herpes zoster berulang.


Universitas Sumatera Utara

20

2.1.4.

Cara Penularan

HIV masuk kedalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu secara
vertikal, horizontal dan transeksual mencapai sirkulasi sistemik secara langsung
diperantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau
secara tidak langsung melalui kulit dan membran mukosa (Noviana, 2013).
Menurut Permenkes (2013), Human immunodeficiency virus (HIV) dapat masuk
ke tubuh melalui tiga cara, melalui hubungan seksual, penggunaan jarum yang
tidak steril atau terkontaminasi HIV, dan penularan HIV dari ibu yang terinfeksi
HIV ke janin dalam kandungannya.
1. Hubungan seksual
Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan dari
semua cara penularan. Paling sering, infeksi HIV menyebar dengan melakukan
hubungan seks dengan pasangan yang terinfeksi. Virus ini dapat masuk ke dalam

tubuh melalui selaput vagina, vulva, penis, rektum, atau mulut selama seks.
transmisi oral seks juga mungkin (Tran, 2014). Penularan melalui hubungan
seksual dapat terjadi selama sanggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki
dengan laki-laki (homoseksual) yang sebahagian besar dipengaruhi oleh faktor
perilaku (WHO/UNAIDS, 2009 dalam Setyodi & Triyanto, 2012).
Senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal, atau oral
antara dua individu. Risiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak
terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.

Kontak seksual oral langsung

(mulut ke penis atau mulut ke vagina) termasuk dalam kategori risiko rendah
tertular HIV. Tingkatan risiko tergantung pada jumlah virus yang ke luar dan

Universitas Sumatera Utara

21

masuk ke dalam tubuh seseorang, seperti pada luka sayat/gores dalam mulut,
perdarahan gusi, dan atau penyakit gigi mulut atau pada alat genital (Permenkes,

2013).
2. Pajanan oleh darah, produk darah, atau organ dan jaringan yang terinfeksi
Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak ditapis (uji
saring) untuk pemeriksaan HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit suntikan,
atau penggunaan alat medis lainnya yang dapat menembus kulit yang dapat terjadi
pada semua pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, poliklinik, pengobatan
tradisional melalui alat penusuk/jarum, juga pada pengguna napza suntik
(Permenkes, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di India oleh Singru dan
Banerjee (2008) persentase terbesar yang terinfeksi HIV melalui darah dan cairan
tubuh pasien adalah perawat, dan pemaparan darah dan cairan tubuh yang
terbanyak adalah melalui jarum suntik. Pajanan HIV pada organ dapat juga terjadi
pada proses transplantasi jaringan/organ di fasilitas pelayanan kesehatan
(Kemenkes, 2012).
3. Penularan dari ibu ke anak
Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya selama masa
kehamilan, saat persalinan dan menyusui (Permenkes, 2013). WHO/UNAIDS
(2009) melaporkan terjadi peningkatan signifikan usia anak dibawah 15 tahun
terinfeksi HIV dengan perkiraan 1.2 - 2.9 juta.

Universitas Sumatera Utara

22

Penularan dari ibu ke anak dapat terjadi karena faktor biologi (Inherited
Biological Risk) dimana infeksi ditularkan secara langsung dari ibu ke janin yang
di kandungnya (Kendal, 2014). Selain itu juga biasa ditularkan melalui proses
menyusui (UNICEF, 2009). Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, setengah dari
anak yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua. Hal ini
sejalan dengan penelitian Fang et al. (2009) dalam Setyodi dan Triyanto (2012)
yang menyebutkan bahwa risiko tinggi kematian bayi yang terinfeksi HIV adalah
9.87 kali dibanding dengan bayi yang tidak terinfeksi.
2.1.5. Strategi Penanggulangan/Pencegahan HIV-AIDS
Strategi Penanggulangan HIV-AIDS telah dirumuskan oleh KPA Nasional
(2007) yang mengacu pada pedoman penanggulangan HIV-AIDS yang
dikeluarkan oleh WHO yaitu dengan cara mengembangkan hasil-hasil yang sudah
dicapai dan menjabarkan paradigma baru dalam upaya penangggulangan HIVAIDS secara bersama-sama, komprehensif, terpadu yang diselenggarakan secara
sinergis oleh semua stakeholder (Setyodi & Triyanto, 2012).
Penanggulangan merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukan
meliputi kegiatan promosi, pencegahan, penanganan dan rehabilitasi. Cara
pencegahan penularan HIV yang paling efektif adalah dengan memutus rantai
penularan (Noviana, 2013). Untuk itu diperlukan peran serta masyarakat dan
tenaga kesehatan dalam tindakan promosi kesehatan melalui perubahan gaya
hidup, perubahan lingkungan dan perubahan dalam pelayanan perawatan
kesehatan yang merupakan pusat aktivitas perawatan kesehatan masyarakat dalam
memberikan pelayanan keperawatan (Hitchcock, Schubert, & Thomas, 1999).

Universitas Sumatera Utara

23

Promosi kesehatan adalah ilmu dan seni yang dapat membantu orang
untuk mengubah gaya hidup mereka menuju keadaan kesehatan yang optimal,
termasuk dalam pencegahan penyakit HIV-AIDS (Edelman & Mandle, 2002
dalam Mthobeni & Peu, 2012). Upaya untuk mencapai tujuan promosi kesehatan
dan pencegahan penyakit dilakukan dengan menggunakan pendekatan tiga tingkat
pencegahan yaitu pencegahan primer, pencegahan sekundar dan pencegahan
tersier (Stanhope & Lancaster, 2000).
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya pencegahan yang berfokus pada
faktor risiko sebelum proses penyakit dimulai dengan mengarahkan pada
perubahan faktor risiko lingkungan dan perilaku individu (Global Report, 2010).
Pendidikan kesehatan merupakan strategi utama dalam pencegahan primer yang
diarahkan pada perubahan perilaku untuk mencegah terjadinya kesakitan
(Stanhope & Lancaster, 2000).
Pemberian pendidikan kesehatan dapat memberikan informasi pada
pengidap AIDS, dimana informasi yang akurat mengenai HIV-AIDS merupakan
syarat penting bagi orang dalam mengadopsi perilaku untuk mencegah infeksi
AIDS. Upaya pencegahan primer yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya infeksi HIV adalah dengan cara merubah faktor risiko yang ada pada
kelompok sub populasi yang berisiko atau masyarakat umum.
Penelitian yang dilakukan Crepaz et al. (2009) menunjukkan bahwa terjadi
penurunan yang efektif terhadap infeksi HIV berkaitan dengan perilaku seksual
dan penularan infeksi seksual dengan menggunakan pendekatan terapi perilaku.

Universitas Sumatera Utara

24

Penelitian telah menunjukkan bahwa perilaku berisiko HIV dapat dikurangi dalam
populasi yang ditargetkan melalui intervensi yang memberikan konseling
pengurangan risiko, menekankan pendekatan kognitif untuk pemecahan masalah
dan perubahan perilaku, dan membantu individu untuk membangun keterampilan
yang mereka butuhkan untuk mengurangi risiko HIV (NICE, 2011).
Penelitan yang dilakukan CDC antara siswa sekolah tinggi AS (2011)
menunjukkan bahwa 47,4% pernah melakukan hubungan seksual, 3,7% telah
melakukan hubungan seksual selama tiga bulan sebelumnya, dan 39,8% tidak
menggunakan kondom terakhir kali mereka berhubungan seks, 76,7% tidak
menggunakan pil KB atau Depo-Provera untuk mencegah kehamilan yang
terakhir kali mereka berhubungan seks, 15,3% pernah melakukan hubungan seks
dengan empat atau lebih orang selama hidup mereka. Untuk mengurangi perilaku
seksual berisiko dan masalah kesehatan yang terkait di kalangan pemuda, sekolah
dan organisasi pemuda lainnya dapat membantu kaum muda mengadopsi sikap
seumur hidup dan perilaku yang mendukung kesehatan dan kesejahteraan
termasuk perilaku yang mengurangi risiko mereka untuk HIV, PMS lainnya, dan
kehamilan yang tidak diinginkan. Hasil penelitian Hunt et al. (2011)
menggambarkan bahwa pendidikan kesehatan berpengaruh terhadap pilihan dan
perubahan perilaku.
2. Pencegahan Sekunder
Upaya pencegahan sekunder pada kelompok berisiko tinggi tertular atau
menularkan HIV bertujuan untuk mengidentifikasi dan meminimalkan perilaku
atau lingkungan berisiko dan mengurangi kemajuan virus lebih lanjut (CAS,

Universitas Sumatera Utara

25

2009). Pencegahan dengan deteksi dini terhadap penyakit dan penanganan awal
penyakit yang dilakukan melalui program skrining (Setyodi & Triyanto, 2012).
Skrining berupa pemeriksaan awal terhadap suatu kasus yang dapat
dilakukan dengan berbagai metode. Penelitian yang dilakukan Illa (2010)
menggunakan proyek ROADMAP (Reeducating Older Adult in Maintaining
AIDS Prevention) yaitu intervensi pencegahan sekunder terbukti efektif untuk
mengurangi perilaku seksual berisiko tinggi diantara pasien positif HIV dewasa di
klinik perawatan primer.
3. Pencegahan Tersier
Jenis pencegahan ini menitikberatkan pada upaya rehabilitasi dan
pemulihan setelah terjadi sakit untuk meminimalkan kesakitan, kecatatan, dan
meningkatkan kualitas hidup (Hitccock, Schubert, & Thomas, 1991 dalam Setyodi
& Triyanto, 2012). Pelayanan keperawatan pada tingkat ini harus memperhatikan
pegalaman hidup individu dan keluarga sebagai pedoman untuk bekerjasama.
Perawat sebagai konselor dan pendidik berperan untuk menjelaskan kembali,
memberikan penguatan dan memberikan arahan peningkatan kesehatan atau
meminimalkan kecatatan pada tingkat yang paling rendah (Stanhope & Lancaster,
1996). Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual merupakan berbagai
upaya untuk mencegah seseorang terinfeksi HIV dan/atau penyakit IMS lain yang
ditularkan melalui hubungan seksual.

Universitas Sumatera Utara

26

Sebagian besar infeksi HIV dapat dicegah dengan upaya pencegahan
penularan dari ibu pada anak secara komprehensif dan efektif di fasilitas
pelayanan kesehatan yang meliputi empat pilar atau komponen, yang dikenal
sebagai “prong”.
Menurut Permenkes (2013) tentang pedoman pencegahan penularan HIV
dari ibu ke anak dapat dilakukan melalui empat prong/kegiatan yaitu: 1) pen
cegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi, 2) pencegahan
kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif, 3) pencegahan
penularan HIV dari ibu hamil positif HIV ke bayi yang dikandungnya dan 4)
pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif
beserta anak dan keluarganya.
Prong 1: Pencegahan Penularan HIV pada Perempuan Usia Reproduksi
Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan
HIV pada anak adalah dengan mencegah penularan HIV pada perempuan usia
reproduksi 15-49 tahun (pencegahan primer). Pencegahan primer bertujuan
mencegah penularan HIV dari ibu ke anak secara dini, yaitu baik sebelum
terjadinya perilaku hubungan seksual berisiko atau bila terjadi perilaku seksual
berisiko maka penularan masih bisa di cegah, termasuk mencegah ibu dan ibu
hamil agar tidak tertular oleh pasangannya yang terinfeksi HIV.
Upaya pencegahan ini tentunya harus dilakukan dengan penyuluhan dan
penjelasan yang benar terkait penyakit HIV dan AIDS, dan penyakit IMS dan di
dalam koridor kesehatan reproduksi. Informasi yang disampaikan tentunya harus
memperhatikan usia, norma, dan adat istiadat setempat, sehingga proses edukasi

Universitas Sumatera Utara

27

termasuk peningkatan pengetahuan komprehensif terkait HIV dan AIDS
dikalangan remaja semakin baik. Untuk menghindari perilaku seksual yang
berisiko upaya mencegah penularan HIV menggunakan strategi “ABCD”, yaitu:
A (Abstinence) berarti tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum
menikah, B (Be Faithful) berarti bersikap saling setia kepada satu pasangan seks
(tidak berganti-ganti pasangan), C (Condom) berarti menggunakan kondom untuk
mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual, D (Drug No) berarti tidak
menggunakan narkoba.
Kegiatan yang dapat dilakukan pada pencegahan tahap ini antara lain:
1. Menyebarluaskan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV dan
AIDS dan kesehatan reproduksi, baik secara individu maupun kelompok yang
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang cara menghindari
penularan HIV dan IMS, menjelaskan manfaat mengetahui status atau tes HIV
sedini mungkin, meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan tentang tatalaksana
ODHA perempuan dan meningkatkan keterlibatan aktif keluarga dan komunitas
untuk meningkatkan pengetahuan komprehensif HIV dan IMS .
Pesan pencegahan Penularan HIV dari ibu ke anak juga disampaikan
kepada remaja, sehingga mereka mengetahui cara agar tidak terinfeksi HIV.
Informasi tentang pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak juga penting
disampaikan kepada masyarakat luas sehingga dukungan masyarakat kepada ibu
dengan HIV dan keluarganya semakin kuat.

Universitas Sumatera Utara

28

2. Mobilisasi masyarakat
Kegiatan ini dapat dilakukan dengan melibatkan petugas lapangan (seperti
kader kesehatan/PKK, Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), atau
posyandu) sebagai pemberi informasi pencegahan HIV dan IMS kepada
masyarakat dan untuk membantu klien mendapatkan akses layanan kesehatan.
Selain itu mobilisasi masyarakat dapat dilakukan dengan cara menjelaskan tentang
cara pengurangan risiko penularan HIV dan IMS, termasuk melalui penggunaan
kondom dan alat suntik steril serta melibatkan komunitas, kelompok dukungan
sebaya, tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam menghilangkan stigma dan
diskriminasi (Permenkes, 2013).
3. Layanan tes HIV
Kegiatan ini dilakukan dengan melakukan konseling dan tes HIV melalui
pendekatan konseling dan Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan (TIPK) dan
Konseling dan Tes Sukarela (KTS), yang merupakan komponen penting dalam
upaya Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak. Cara untuk mengetahui status
HIV seseorang adalah melalui tes darah. Prosedur pelaksanaan tes darah
dilakukan dengan memperhatikan tiga C yaitu: counselling, confidentiality, dan
informed consent. Jika status HIV ibu sudah diketahui (Permenkes, 2013).
Konseling bagi HIV positif dilakukan dengan

intervensi PPIA

komprehensif agar ibu tidak menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya.
Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) telah terbukti
sebagai intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke
anak. Di negara maju risiko anak tertular HIV dari ibu dapat ditekan hingga

Universitas Sumatera Utara

29

kurang dari 2% karena tersedianya intervensi PPIA dengan layanan optimal.
Namun di negara berkembang atau negara miskin, dengan minimnya akses
intervensi, risiko penularan masih berkisar antara 20% dan 50% sedangkan pada
pasien HIV negatif konseling dilakukan agar tidak tertular (Permenkes, 2013).
Layanan konseling dan tes HIV diintegrasikan dengan pelayanan KIA
sesuai dengan strategi layanan komprehensif berkesinambungan bertujuan agar:
1) konseling dan tes HIV dapat ditawarkan kepada semua ibu hamil dalam paket
pelayanan ANC terpadu, sehingga akan mengurangi stigma terhadap HIV dan
AIDS, 2) layanan konseling dan tes HIV di layanan KIA akan menjangkau
banyak ibu hamil, sehingga pencegahan penularan ibu ke anaknya dapat
dilakukan sedini mungkin, 3) penyampaian informasi dan tes HIV dapat
dilakukan oleh semua petugas di fasilitas pelayanan kesehatan kepada semua ibu
hamil dalam paket pelayanan ANC terpadu, sehingga akan mengurangi stigma
terhadap HIV dan AIDS, 4) pelaksanaan konseling dan tes HIV mengikuti
pedoman konseling dan tes HIV; petugas wajib menawarkan tes HIV dan
melakukan pemeriksaan IMS, termasuk tes sifilis, kepada semua ibu hamil mulai
kunjungan antenatal pertama bersama dengan pemeriksaan laboratorium lain
untuk ibu hamil (inklusif dalam paket pelayanan ANC terpadu), 5) tes HIV
ditawarkan juga bagi pasangan laki-laki perempuan dan ibu hamil yang dites
(couple conselling), 6) harus ada petugas yang mampu melakukan konseling dan
tes HIV di setiap jenjang layanan kesehatan yang memberikan layanan PPIA
dalam paket pelayanan KIA, 7) di layanan KIA, konseling pasca tes bagi
perempuan HIV negatif difokuskan pada informasi dan bimbingan agar klien

Universitas Sumatera Utara

30

tetap HIV negatif selama kehamilan, menyusui dan seterusnya, 8) konseling
penyampaian hasil tes bagi perempuan atau ibu hamil yang HIV positif juga
memberikan kesempatan untuk dilakukan konseling berpasangan dan penawaran
tes HIV bagi pasangan laki-laki, 9) pada setiap jenjang pelayanan kesehatan,
aspek kerahasiaan ibu hamil ketika mengikuti proses konseling sebelum dan
sesudah tes HIV harus terjamin, 10) menjalankan konseling dan tes HIV di klinik
KIA berarti mengintegrasikan juga program HIV dan AIDS dengan layanan
lainnya, seperti pemeriksaan rutin untuk IMS, pengobatan IMS, layanan kesehatan
reproduksi, pemberian gizi tambahan, dan keluarga berencana, dan 11) upaya
pengobatan IMS menjadi satu paket dengan pemberian kondom sebagai bagian
dari upaya pencegahan (Permenkes, 2013).
4. Dukungan untuk perempuan HIV negatif
Dukungan ini bertujuan agar status ibu tetap negatif yang dapat dilakukan
dengan menganjurkan agar pasangannya menjalani tes HIV, membuat pelayanan
KIA yang bersahabat untuk pria, sehingga mudah dan dapat diakses oleh
suami/pasangan ibu hamil, mengadakan kegiatan konseling berpasangan pada saat
kunjungan ke layanan KIA, meningkatan pemahaman tentang dampak HIV pada
ibu hamil, dan mendorong dialog yang lebih terbuka antara suami dan istri/
pasangannya tentang perilaku seksual yang aman, memberikan informasi kepada
pasangan laki-laki atau suami bahwa dengan melakukan hubungan seksual yang
tidak aman, dapat berakibat pada kematian calon bayi, istri dan dirinya sendiri,
menyampaikan informasi kepada pasangan laki-laki atau suami tentang
pentingnya memakai kondom untuk mencegah penularan HIV (Permenkes, 2013).

Universitas Sumatera Utara

31

Prong 2 : Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada
dengan HIV

perempuan

Bagi perempuan hamil dengan HIV disarankan untuk mendapatkan akses
layanan yang menyediakan informasi dan sarana kontrasepsi yang aman dan
efektif untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan. Konseling yang
berkualitas, penggunaan alat kontrasepsi yang aman dan efektif serta penggunaan
kondom secara konsisten akan membantu perempuan dengan HIV agar
melakukan hubungan seksual yang aman, serta menghindari terjadinya kehamilan
yang tidak direncanakan. Perlu diingat bahwa infeksi HIV bukan merupakan
indikasi aborsi (Permenkes, 2013).
Perempuan dengan HIV yang tidak ingin hamil dapat menggunakan kontra
sepsi yang sesuai dengan kondisinya. Bagi perempuan dengan HIV yang
memutuskan untuk tidak mempunyai anak lagi disarankan untuk menggunakan
kontrasepsi mantap dan tetap menggunakan kondom. Sejalan dengan kemajuan
pengobatan HIV dan intervensi PPIA, ibu dengan HIV dapat merencanakan
kehamilannya dan diupayakan agar bayinya tidak terinfeksi HIV. Petugas
kesehatan harus memberikan informasi yang lengkap tentang berbagai kemung
kinan yang dapat terjadi, terkait kemungkinan terjadinya penularan, peluang anak
untuk tidak terinfeksi HIV. Dalam konseling perlu juga disampaikan bahwa
perempuan dengan HIV yang belum terindikasi untuk mengikuti terapi ARV bila
memutuskan untuk hamil (Permenkes, 2013).
Jika ibu sudah mendapatkan terapi ARV, jumlah virus HIV di tubuhnya
menjadi sangat rendah (tidak terdeteksi), sehingga risiko penularan HIV dari ibu
ke anak menjadi kecil, artinya, ia mempunyai peluang besar untuk memiliki anak

Universitas Sumatera Utara

32

HIV negatif. Ibu dengan HIV berhak menentukan keputusannya sendiri atau
setelah berdiskusi dengan pasangan, suami atau keluarganya. Perlu selalu
diingatkan

walau

ibu/pasangannya

sudah

mendapatkan

ARV

demikian

penggunaan kondom harus tetap dilakukan setiap hubungan seksual untuk
pencegahan penularan HIV pada pasangannya. Beberapa kegiatan untuk
mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV antara lain:
mengadakan KIE tentang HIV dan AIDS dan perilaku seks aman, menjalankan
konseling dan tes HIV untuk pasangan, melakukan upaya pencegahan dan
pengobatan IMS, melakukan promosi penggunaan kondom, memberikan
konseling pada perempuan dengan HIV untuk ikut KB dengan menggunakan
metode kontrasepsi dan cara yang tepat, memberikan konseling dan memfasilitasi
perempuan dengan HIV yang ingin merencanakan kehamilan.
Prong 3: Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya.
Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah terinfeksi
HIV ini merupakan inti dari kegiatan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak.
Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif mencakup kegiatan sebagai
berikut: layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV, diagnosis HIV,
pemberian terapi antiretroviral, persalinan yang aman, tata laksana pemberian
makanan bagi bayi dan anak, menunda dan mengatur kehamilan, pemberian
profilaksis ARV dan cotrimoxazole pada anak, pemeriksaan diagnostik HIV pada
anak. Strategi ini akan mencapai hasil yang efektif jika dilaksanakan secara
berkesinambungan (Permenkes, 2013).

Universitas Sumatera Utara

33

Prong 4:

Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu
dengan HIV beserta anak dan keluarganya.

Upaya Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke anak tidak berhenti setelah
ibu melahirkan. Ibu akan hidup dengan HIV di tubuhnya. Ia membutuhkan
dukungan psikologis, sosial dan perawatan sepanjang waktu. Hal ini terutama
karena si ibu akan menghadapi masalah stigma dan diskriminasi masyarakat
terhadap ODHA. Faktor kerahasiaan status HIV ibu sangat penting dijaga. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan Peltzer dan Shikwanel (2010) pada 607
orang perempuan yang positif HIV di Nkngala, Afrika Selatan yang menyatakan
bahwa 45,1% perempuan melaporkan mengalami perasaan depresi pasca
melahirkan yang disebabkan pengalaman diskriminasi, kurangnya dukungan
sosial terutama dukungan pasangan, hubungan dengan orang tua sendiri dan telah
memiliki penyakit menular seksual dalam 12 bulan terakhir. Dukungan juga harus
diberikan kepada anak dan keluarganya. Ibu dengan HIV membutuhkan antara
lain: pengobatan ARV jangka panjang, pengobatan gejala penyakitnya,
pemeriksaan kondisi kesehatan dan pemantauan terapi ARV (termasuk CD4 dan
viral load), konseling dan dukungan kontrasepsi dan pengaturan kehamilan,
informasi dan edukasi pemberian makanan bayi, pencegahan dan pengobatan
infeksi penyakit infeksi yang berisiko tinggi untuk ibu dan bayinya, penyuluhan
kepada anggota keluarga tentang cara penularan HIV dan pencegahannya, layanan
klinik dan rumah sakit yang bersahabat, kunjungan ke rumah (home visite),
dukungan teman-teman sesama HIV positif, terlebih sesama ibu dengan HIV,
adanya pendamping saat sedang dirawat, dukungan dari pasangan, dukungan

Universitas Sumatera Utara

34

kegiatan peningkatan ekonomi keluarga, dukungan perawatan dan pendidikan
bagi anak (Permenkes, 2013).
Dukungan psikososial yang baik bagi ibu dengan HIV dapat menjadikan
ibu bersikap optimis dan bersemangat mengisi kehidupannya sehingga dapat
bertindak bijak dan positif untuk senantiasa menjaga kesehatan diri dan anaknya,
serta berperilaku sehat agar tidak terjadi penularan HIV dari dirinya ke orang lain.
Informasi tentang adanya layanan dukungan psikososial untuk ODHA ini perlu
diketahui oleh masyarakat luas, termasuk para perempuan usia reproduktif.
Diharapkan informasi ini bisa meningkatkan minat mereka yang merasa berisiko
tertular HIV untuk mengikuti konseling dan tes HIV agar mengetahui status HIV
mereka (Permenkes, 2013).
2.1.6. Upaya Pengobatan
Banyak orang yang hidup dengan HIV rentan terhadap berbagai infeksi
penyakit infeksi yang berisiko tinggi, termasuk bakteri, infeksi parasit, virus dan
jamur karena kehilangan sistem kekebalan tubuh. Pencegahan dan manajemen
yang tepat terkait infeksi ini dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan
penundaan penggunaan ART (Handycap International, 2012).
Kemajuan menuju akses universal untuk layanan pengobatan, perawatan
dan dukungan adalah keberhasilan yang nyata di tahun 2009, terutama mengingat
tantangan yang cukup besar yang disertai pemerataan pendanaan global untuk
program HIV di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah (Global
Report, 2010). Peningkatan jumlah orang yang mendapat pengobatan ART tahun

Universitas Sumatera Utara

35

2009 hampir meluas di dunia. Seperti Eropa Timur (34%), sub-Sahara Afrika
(33%), Asia (29%), Karibia (30%), dan Amerika Selatan (6%).
Peningkatan jumlah perempuan yang terinfeksi HIV di seluruh dunia
terutama dikalangan usia produktif menekankan pentingnya pemahaman
managemen HIV pada saat kehamilan Selama dekade terakhir, kemajuan
signifikan telah dilakukan dalam pencegahan penularan HIV, termasuk
penggunaan terapi antiretroviral secara tunggal atau kombinasi, bedah caesarea
elektif sebagai pilihan persalinan dan meniadakan proses menyusui (Loutfy &
Walmsley, 2004).
Perkembangan pengobatan telah mengakibatkan penurunan tingkat
kematian akibat HIV-AIDS di negara-negara maju. Ada tiga tahap dalam
pengobatan orang HIV-positif. Tahap pertama, terjadi ketika mereka terinfeksi
dan jumlah CD4 yang tinggi. Pada titik ini, penekanannya adalah pada "hidup
positif" tetap sehat, makan makanan yang benar dan sebagainya. Tahap kedua
terjadi ketika jumlah CD4 mulai turun. Pengobatan profilaksis untuk mencegah
TB dan penyakit umum lainnya biasanya dimulai. Tahap ketiga terdiri dari
penggunaan obat antiretroviral untuk melawan HIV secara langsung. Hal ini
dapat dimulai waktu jumlah CD4 turun di bawah 350 (Whiteside & Sunter,
2001). Sebuah studi di Cape Town mengungkapkan bahwa pengobatan
antiretroviral telah terbukti mengurangi kejadian TB pada pasien terinfeksi HIV
lebih dari 80% (Cohen & Maartens (2004), Evian (2000), Xudu & Karstaed,
2001).

Universitas Sumatera Utara

36

Pemberian obat ARV untuk ibu selama kehamilan dan persalinan dan pada
neonatus adalah intervensi yang terkait dengan penurunan terbesar dalam
transmisi perinatal. Obat ARV mengurangi penularan perinatal melalui beberapa
mekanisme, diantaranya, dengan menurunkan viral load ibu dan dengan
menyediakan pra dan pasca pajanan untuk bayi melalui transfer plasenta. Oleh
karena itu, setidaknya 1 nucleoside/agen nukleotida dengan transfer plasenta yang
tinggi harus dimasukkan dalam rejimen ARV pada kehamilan (HRSA, 2013).
Profilaksis ARV direkomendasikan untuk semua perempuan hamil yang
terinfeksi HIV, terlepas dari jumlah CD4 dan/atau viral load. Meskipun tingkat
penularan perinatal rendah pada wanita dengan viral load HIV tidak terdeteksi
atau rendah, tidak ada batas di bawah ini yang kekurangan transmisi dapat
terjamin. Keputusan mengenai penggunaan ARV atau profilaksis selama
kehamilan harus dilakukan oleh seorang wanita setelah diskusi rinci dan tanpa
paksaan dari manfaat dan risiko potensial dari terapi (HRSA, 2013).
Pilihan rejimen ARV pada kehamilan harus mengikuti prinsip-prinsip
yang sama diterapkan ketika memilih rejimen ARV untuk pasien yang tidak hamil
antara lain: mengoptimalkan efektivitas dan daya tahan terhadap respon,
memaksimalkan keamanan dan daya toleransi, menyederhanakan rejimen untuk
meningkatkan kemungkinan kepatuhan dan mengurangi kemungkinan resistensi,
pertimbangan khusus seperti keselamatan ibu dan janin bagi wanita hamil (HRSA,
2013).

Universitas Sumatera Utara

37

Durasi yang lebih lama dan/atau inisiasi awal ARV dikaitkan dengan
tingkat penularan yang lebih rendah. Dalam sebuah studi Prancis mengevaluasi
faktor risiko penularan perinatal pada wanita dengan viral load