Hubungan Antara Pemuasan Need For Affiliation Dengan Self-Disclosure Pada Orang Dengan Hiv Aids (Odha)

BAB II
LANDASAN TEORI

II.1

SELF-DISCLOSURE

II.1.1 Definisi Self-Disclosure
Sears (1999) menyebutkan bahwa pengungkapan diri dapat disebut juga
dengan keterbukaan diri, sementara Supratiknya (1995) menyebutkan bahwa
keterbukaan diri dapat disebut juga dengan self-disclosure. Self-disclosure adalah
suatu bentuk komunikasi yang melibatkan pemberian informasi mengenai diri
sendiri yang biasanya disembunyikan atau ditutupi (DeVito, 2015). Self-disclosure
yang dikemukakan oleh Johson (dalam Supratiknya, 1995) merupakan
pengungkapan reaksi atau tanggapan individu terhadap situasi yang sedang
dihadapinya serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau
berguna untuk memahami tanggapan individu tersebut. Rogers mendefinisikan selfdisclosure sebagai suatu keuntungan yang potensial dari pengungkapan diri
individu kepada orang lain. Menurut Morton self-disclosure adalah kegiatan
membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain (Baron &
Brascombe, 2012).
Fisher (1986) menyebutkan self-disclosure adalah penyingkapan informasi

tentang diri yang pada saat lain tidak dapat diketahui oleh pihak lain. Menurut
Pearson, et al., (1995) self-disclosure adalah proses berbagi informasi intim tentang
diri seseorang pada orang lain secara sengaja. Wheeless, Kathryn, dan James (1986)

11
Universitas Sumatera Utara

12

mengemukakan bahwa self-disclosure adalah bagian dari referensi diri yang
dikomunikasikan yang diberikan individu secara lisan pada suatu kelompok kecil.
Berdasarkan uraian beberapa tokoh mengenai pengertian self-disclosure,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa self-disclosure adalah suatu pola
komunikasi interpersonal yang memberikan informasi tentang dirinya kepada orang
lain. Dari sini kita dapat melihat dan memahami bahwa self-disclosure yang
dilakukan oleh ODHA adalah pengungkapan informasi yang meliputi segala
sesuatu hal yang biasanya tidak diketahui atau berusaha untuk ditutupi dari orang
lain, termasuk status mengenai status HIV/AIDS yang dimilikinya.

II.1.2 Dimensi Self-Disclosure

Self-disclosure berbeda bagi setiap individu dalam hal kelima dimensi di
bawah ini (DeVito, 2015):
1. Amount
Kuantitas dari self-disclosure dapat diukur dengan mengetahui
frekuensi dengan siapa individu mengungkapkan diri dan waktu yang
diperlukan untuk melakukan self-disclosure.
2. Valence
Valensi merupakan hal yang positif atau negatif yang diungkapkan
ketika melakukan self-disclosure. Ketika melakukan self-disclosure,
individu akan mengungkapkan baik hal-hal yang menyenangkan maupun
yang tidak menyenangkan mengenai dirinya, memuji hal-hal yang ada
dalam dirinya atau menjelek-jelekkan diri individu sendiri.

Universitas Sumatera Utara

13

3. Accuracy/Honesty
Ketepatan dan kejujuran individu dalam melakukan self-disclosure.
Ketepatan dari pengungkapan diri individu dibatasi oleh tingkat individu

mengetahui dirinya sendiri. Self-disclosure dapat berbeda dalam hal
kejujuran. Individu bisa saja jujur secara total atau dilebih-lebihkan,
melewatkan bagian penting atau berbohong.
4. Intention
Dalam

melakukan

self-disclosure,

salah

satu

hal

yang

kita


pertimbangkan adalah maksud atau tujuannya. Tidak mungkin seseorang
tiba-tiba melakukan self-disclosure apabila tidak memiliki maksud dan
tujuan tertentu. Contoh, ketika ingin mengurangi rasa bersalah atau untuk
mengungkapkan perasaan. Ketika individu menyadari maksud dan tujuan
self-disclosure maka dapat dikatakan individu tersebut melakukan kontrol
atas self-disclosure yang dilakukan.
5. Intimacy
Dalam melakukan self-disclosure ada hal-hal yang sifatnya pribadi atau
intim misalnya mengenai perasaan kita, tetapi ada juga hal-hal yang sifatnya
umum, seperti pandangan kita terhadap situasi politik mutakhir di tanah air
atau bisa saja antara hal yang intim/pribadi dan hal yang impersonal publik.
Sejauh mana kedalaman dalam self-disclosure itu akan ditentukan oleh
derajat keakraban kita dengan lawan komunikasi. Semakin akrab kita
dengan seseorang maka akan semakin dalam self-disclosure yang

Universitas Sumatera Utara

14

dilakukan. Selain itu, akan makin luas juga cakupan bahasan yang kita

komunikasikan melalui self-disclosure itu.

Berdasarkan penjelasan teori di atas dapat disimpulkan bahwa selfdisclosure menurut DeVito dilihat dari sudut pandang lima dimensi yaitu, dimensi
amount, valence, accuracy/honesty, intention, dan intimacy. Self-disclosure yang
dilakukan oleh ODHA dilihat berdasarkan seberapa sering ODHA melakukannya
dan berapa lama waktu yang dibutuhkan ODHA untuk melakukannya. Selain itu
ketika ODHA melakukan self-disclosure maka juga dilihat berdasarkan apakah
informasi yang diungkapkan adalah hal negatif dan positif, apakah informasi yang
disampaikan bersifat apa adanya, dilebih-lebihkankan, atau bahkan dikurangkurangi. Self-disclosure juga dilihat dari dimensi apa yang menjadi tujuan ODHA
melakukannya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, peneliti menggunakan dimensi
amount, valence, accuracy/honesty, intention, intimacy dalam pengukuran selfdisclosure.

II.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self-Disclosure
Sejumlah faktor yang mempengaruhi self-disclosure yaitu who you are,
budaya, gender, siapa yang menjadi pendengar, dan apa topik yang diungkapkan
(DeVito, 2015).
1. Who You Are
Who you are menggambarkan bagaimana kepribadian seseorang. Faktor
ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa tipe kepribadian yang cenderung


Universitas Sumatera Utara

15

melakukan

self-disclosure dibandingkan tipe kepribadian lainnya.

McCroskey dan Wheeless mengatakan orang yang berkompeten memiliki
tingkat kepercayaan diri yang lebih baik mengenai hal-hal yang ingin
diungkapkan. Demikian pula, rasa percaya diri mereka dapat membuat
mereka lebih bersedia mengambil risiko akan reaksi negatif yang mungkin
terjadi ketika melakukan self-disclosure.
2. Budaya
Budaya yang berbeda memiliki pandangan yang berbeda terhadap selfdisclosure.

Beberapa

budaya


terutama

budaya

yang

didominasi

maskulinitas memandang self-disclosure sebagai bentuk dari kelemahan.
Orang-orang di Amerika Serikat lebih terbuka daripada orang-orang di
Inggris, Jerman, Jepang.
3. Your Gender
Stereotip populer mengenai perbedaan gender dalam self-disclosure
menekankan keengganan pria untuk berbicara tentang dirinya sendiri.
Sebagian besar penelitian mendukung pandangan yang menunjukkan
bahwa wanita lebih sering melakukan self-disclosure dibandingkan pria.
Perempuan sering mengungkapkan berbagai hal seperti hubungan
romantis, sahabat, ketakutan, dan apa yang tidak mereka sukai dari
pasangan mereka. Perempuan juga tampaknya memperdalam tingkat selfdisclosurenya seiring dengan semakin intimnya hubungan, sedangkan lakilaki tampaknya tidak mengubah tingkat self-disclosure mereka. Goodwin
dan Lee mengatakan bahwa pria lebih banyak memiliki topik yang tabu


Universitas Sumatera Utara

16

untuk diungkapkan kepada teman-teman mereka daripada wanita. Menurut
Argyle et al., wanita lebih banyak mengungkapkan berbagai hal kepada
anggota keluarga besar dibandingkan laki-laki.
4. Your Listeners
Self-disclosure umumnya dilakukan dengan orang yang disukai,
dipercayai, dan lebih mudah terjadi dalam kelompok kecil daripada dalam
kelompok besar, dan yang paling sering adalah kelompok yang terdiri dari
dua orang (dyadic) yaitu satu orang melakukan self-disclosure dan satu
orang sebagai pendengar. Individu dapat mengendalikan self -disclosure,
tetap melakukan self-disclosure jika ada dukungan dari pendengar dan
berhenti jika tidak ada. Pendengar yang berjumlah lebih dari satu akan
mempersulit proses self-disclosure karena respon pendengar bervariasi.
5. Your Topic
Individu akan lebih mudah untuk mengungkapkan tentang beberapa
topik dari topik yang lain. Sebagai contoh, seseorang lebih mungkin untuk

mengungkapkan informasi tentang pekerjaan atau hobi daripada tentang
kehidupan seks atau situasi keuangan (Jourard, 1971 dalam DeVito, 2015).
Seseorang juga lebih cenderung untuk mengungkapkan informasi yang
menguntungkan dari informasi yang tidak menguntungkan. Jadi, umumnya
seseorang akan semakin sedikit melakukan self-disclosure untuk hal yang
bersifat lebih pribadi dan topik negatif.
Ada beberapa topik informasi yang biasanya diberikan kepada orang
lain ketika melakukan self-disclosure, antara lain sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

17

1. Sikap terhadap agama, negara, dan ras yang berbeda
2. Status finansial, berapa banyak uang bisa dihasilkan, berapa banyak
uang yang dimiliki, dan berapa jumlah uang tabungan
3. Perasaan terhadap orangtua
4. Fantasi seksual
5. Kesehatan fisik dan mental
6. Pasangan ideal

7. Perilaku minum-minum atau penggunaan obat
8. Pengalaman hidup yang paling memalukan
9. Keinginan yang belum dicapai
10. Konsep diri

Berdasarkan teori di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi self-disclosure pada ODHA adalah faktor who you are yang
merujuk pada bagaimana kepribadian seseorang, faktor budaya, faktor gender,
faktor listener yaitu siapa dan berpaa orang yang menjadi lawan bicara, dan faktor
terakhir yaitu informasi dengan topik seperti apa yang akan diungkapkan pada
orang lain.

Universitas Sumatera Utara

18

II.1.4 Dampak Positif Dan Negatif Self-Disclosure
Self-disclosure
perkembangan suatu


sebagai

bentuk

komunikasi

hubungan memiliki

yang

penting

banyak keuntungan.

dalam

Beberapa

keuntungan/dampak positif yang diperoleh dengan melakukan self-disclosure.
1. Self-Knowledge
Seseorang mungkin tidak dapat sepenuhnya mengetahui dan memahami
bagaimana dirinya jika tidak melakukan self-disclosure dengan. Melalui
self-disclosure seseorang memperoleh sebuah perspektif baru mengenai
dirinya sendiri, pemahaman yang lebih mendalam mengenai perilakunya.
2. Meningkatkan Kemampuan Coping
Self-Disclosure dapat meningkatkan kemampuan dalam menghadapi
masalah terutama perasaan bersalah. Ketika melakukan self-disclosure
individu akan merasa lebih mendapatkan kekuatan dibandingkan
penolakan. Mereka yang telah melakukan self-disclosure merasa lebih dapat
menerima diri mereka, dan dapat mengembangkan respon-respon positif
bagi diri mereka sendiri.
3. Communication Enhancement
Self-disclosure

juga

membantu

dalam

meningkatkan

kualitas

berkomunikasi. Mereka yang telah mengenal seseorang dengan baik akan
lebih mengerti pesan yang disampaikan oleh orang tersebut. Hal ini
memungkinkan untuk dapat lebih mengerti dan mengetahui kapan
seseorang itu serius atau hanya bercanda, kapan orang dapat menjadi
sarkastik dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

19

4. Meaningful of Relationship
Self-disclosure penting jika dua orang sedang membina suatu hubungan
yang bemakna (meaningful relationships). Jika dalam suatu hubungan selfdisclosure dilakukan, maka bisa dilihat sikap saling mempercayai,
menghargai, dan memperdulikan satu dengan yang lain. Hal ini dapat
memunculkan suatu hubungan yang bermakna, yaitu suatu hubungan jujur
dan terbuka.

Selain memiliki keuntungan, self-disclosure juga memiliki kemungkinan
menimbulkan dampak negatif. Beberapa dampak negatif dari self-disclosure
adalah:
1. Personal Risk
Seseorang tidak akan melakukan self-disclosure pada sembarang orang.
Secara umum self-disclosure hanya akan dilakukan pada orang yang dirasa
akan mendukung dirinya. Namun hal ini tidak dapat dipastikan. Orang yang
dianggap pasti akan mendukung, bisa saja menolak dan menjauh setelah
self-disclosure dilakukan.
2. Relationship Risk
Walaupun individu sudah memiliki hubungan yang dekat, tidak jarang
ketika melakukan self-disclosure mengenai hal-hal baru, maka dapat
menimbulkan resiko pada hubungan. Orang tua yang umumnya selalu
mendukung anaknya memiliki kemungkinan melakukan penolakan ketika
mengetahui anaknya adalah homoseksual, atau menikah dengan orang yang

Universitas Sumatera Utara

20

berbeda agama. Sahabat atau pacar bisa saja memberikan reaksi yang sama,
ketika mengetahui bahwa teman atau pasangannya mengidap penyakit yang
mematikan.
3. Professional Risk atau Material Losses
Self-disclosure tidak selalu menghasilkan sesuatu yang menyenangkan.
Self-disclosure yang berisi informasi negatif umumnya akan menimbulkan
dampak negatif juga. Tidak jarang self-disclosure menyebabkan seseorang
akan kehilangan materi dengan berbagai cara. Orang yang diketahui
homoseksual akan dikeluarkan dari pekerjaannya. Karyawan yang mengaku
menggunakan narkotika atau mencuri sesuatu akan mendapatkan
pemecatan dan tindakan kriminal sebagai hasilnya.

Berdasarkan penjelasan mengenai dampak positif dan negatif dari selfdisclosure, maka dapat disimpulkan bahwa ketika ODHA melakukan selfdisclosure akan menimbulkan dampak positif seperti lebih mampu memahami
dirinya, kemampuan coping meningkat, meningkatkan kualitas komunikasi ODHA
dengan orang lain, serta meningkatkan kualitas hubungan ODHA dengan orang
yang menjadi tempatnya berbagi informasi. Selain dampak positif, ketika ODHA
melakukan self-disclosure maka akan ada kemungkinan munculnya dampak negatif
terhadap hubungan ODHA dengan tempatnya berbagi informasi, serta pada
hubungan profesional seperti di tempat kerja dan materi yang ODHA miliki.

Universitas Sumatera Utara

21

II.2 NEED FOR AFFILIATION
II.2.1 Definisi Need for Affiliation
McClelland (1987), need for affiliation adalah kebutuhan akan
persahabatan, berkaitan dengan adanya keinginan untuk memastikan, memelihara
atau mementingkan efektivitas dari hubungan dengan individu atau kelompok.
Need for affiliation muncul karena individu ingin disukai, ingin diterima sebagai
sahabat atau ingin dimaafkan ketika melakukan kesalahan. Individu dengan need
for affiliation yang tinggi diindikasikan memiliki harapan tentang kehangatan dan
hubungan yang erat dengan individu lain.
Menurut Maslow, manusia adalah makhluk sosial sehingga kebutuhan
afiliasi pada manusia timbul secara naluriah. Karena sifatnya yang naluriah,
kebutuhan ini sudah timbul sejak seseorang dilahirkan dan terus bertumbuh dan
berkembang dalam perjalanan hidupnya. Karena sifatnya yang naluriah juga maka
keinginan untuk memuaskannya pun berada pada intensitas yang tetap tinggi
(Schultz, 2005). Dwyer (2000) menganggap afiliasi sebagai kebutuhan dasar untuk
berhubungan dengan orang lain. Kita berafiliasi dalam berbagai keadaan seperti
bersenang-senang, memperoleh perizinan, mengurangi ketakutan, dan untuk
berbagai keintiman seksual.
Berdasarkan penjelasan di atas need for affiliation dapat disimpulkan
sebagai kebutuhan untuk menjalin dan mempertahankan hubungan dengan orang
lain. Need for affiliation pada ODHA dapat diperoleh melalui proses persahabatan,
atau mendapatkan dukungan, atau maaf dari orang lain.

Universitas Sumatera Utara

22

II.2.2 Aspek Need for Affiliation
Hill (1987) berdasarkan teori McClelland melakukan penelitian dan
mengembangkan aspek need for affiliation, yaitu:
1. Positive Stimulation
Stimulus positif dapat berupa kondisi menyenangkan yang didapat
ketika individu melakukan kontak fisik yang melibatkan perasaan dan emosi
yang mendalam dan membina hubungan yang harmonis, kasih sayang dan
rasa cinta dengan orang lain.
2. Attention/Praise
Setiap individu membutuhakan perhatian dan pujian dari orang lain.
Perhatian

dan

pujian

diberikan

sebagai

rasa

penghargaan

atas

kemampuannya bergaul dengan orang lain, serta kebutuhan akan dorongan
untuk membina hubungan sosial melalui persetujuan dan dukungan orang
lain.
3. Social Comparison
Perbandingan sosial dapat mempengaruhi kebutuhan afiliasi individu
ketika membina hubungan sosial dengan orang lain. Perbandingan sosial
dapat mengurangi ketidakjelasan mengenai identitas diri dalam hubungan
dengan orang lain dengan cara melakukan perbandingan dengan orang lain.
4. Emotional Support
Keinginan akan kehadiran orang lain saat mempunyai masalah dan
keinginan untuk diperhatikan berguna untuk mengurangi perasaan negatif,
yaitu rasa takut atau tekanan situasi dengan percaya pada orang lain.

Universitas Sumatera Utara

23

Berdasarkan penjelasan teori di atas dapat disimpulkan bahwa need for
affiliation terdiri dari empat aspek yaitu, aspek positive stimulation, attention atau
praise, social comparison, dan emotional support. Need for affiliation pada ODHA
dilihat berdasarkan keinginan ODHA untuk mendapakan simpati atau dukungan
emosional lainnya dari orang lain. Selain itu need for affiliation ODHA juga dilihat
ketika ODHA melakukan perbandingan sosial untuk melihat apakah orang lain
memiliki kesamaan atau perbedaan dengan dirinya. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, peneliti menggunakan aspek positive stimulation, attention atau praise,
social comparison, dan emotional support untuk mengukur need for affiliation pada
ODHA.

II.3 HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia. HIV ini menyerang sel-sel darah putih yang
berfungsi untuk melindungi tubuh dari serangan penyakit. Salah satu unsur yang
penting dalam sistem kekebalan tubuh adalah sel CD4 yang merupakan salah satu
jenis sel darah putih. Namun sel CD4 dibunuh ketika HIV menggandakan diri
dalam darah. Semakin lama individu terinfeksi HIV maka semakin banyak sel CD4
dibunuh sehingga jumlah sel semakin rendah dan kemampuan sistem kekebalan
tubuh untuk melindungi diri dari infeksi semakin rendah.
Seseorang yang terinfeksi HIV tetapi tanpa gejala disebut HIV positif dan
ketika gejala seperti infeksi oportunistik yang lain muncul maka individu tersebut
memasuki fase AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan

Universitas Sumatera Utara

24

kumpulan gejala penyakit yang disertai oleh infeksi HIV. Gejala-gejala tersebut
tergantung dari infeksi oportunistik yang menyertainya. Infeksi oportunistik terjadi
karena menurunnya daya tahan tubuh yang disebabkan rusaknya imun tubuh akibat
infeksi HIV tersebut.
Individu yang terinfeksi HIV dinyatakan sebagai penderita AIDS ketika
menunjukkan gejala atau penyakit tertentu akibat penurunan daya tahan tubuh yang
disebabkan oleh HIV. Kerusakan sistem kekebalan tubuh terjadi secara bertahap
yaitu mula-mula tidak ada gejala, kemudian diikuti oleh gejala seperti pembesaran
kelenjar getah bening, diare, penurunan berat badan dan sariawan. (Green, 2006).

II.4 HUBUNGAN ANTARA PEMUASAN NEED FOR AFFILIATION
DENGAN SELF-DISCLOSURE PADA ODHA
Self-disclosure ODHA adalah proses mengkomunikasikan informasi yang
berpotensi menimbulkan stigma yang sebelumnya disembunyikan, sehingga
kesejahteraan psikologis ODHA meningkat (Paiva, Segurado, Filipe, 2011). Setiap
individu memiliki alasannya masing-masing hingga akhirnya melakukan atau tidak
melakukan self-disclosure. Hal yang menghalangi self-disclosure ODHA adalah
ketakutan akan penolakan/diskriminasi. Ketakutan akan diskriminasi merupakan
ketakutan akan diskriminasi sosial yang dapat mengarah pada isolasi sosial dan
tidak adanya dukungan sosial (WHO, 2003). Zea, et al., (2007) menyimpulkan
ODHA melakukan self-disclosure agar lebih dekat dengan orang yang menjadi
tempat berbagi informasi dan mendapatkan dukungan, sedangkan ODHA tidak
melakukan self-disclosure karena takut akan penolakan, dan mengecewakan orang

Universitas Sumatera Utara

25

lain. ODHA tidak melakukan self-disclosure untuk menghindari penolakan
keluarga, dan teman (Simoni, Mason, Marks, Ruiz, et al., 1995). Hays (1993)
menyebutkan faktor utama yang mempersulit proses self-disclosure adalah takut
akan diskriminasi, dan rusaknya hubungan interpersonal.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat beberapa alasan ODHA
melakukan dan tidak melakukan self-disclosure yaitu karena rasa takut dan cemas
terhadap diskriminasi, penolakan, keinginan untuk lebih dekat dengan orang yang
menjadi tempat berbagi informasi, dan mendapat dukungan sosial. Alasan tersebut
berbeda-beda dan hal ini menggambarkan bagaimana keunikan dan perbedaan
masing-masing individu dalam menanggapi hal-hal yang terjadi dalam
kehidupannya. Keunikan dan suatu hal yang membuat individu berbeda dari
individu lainnya merupakan merupakan kepribadian (Hall,1985).
Kepribadian merupakan salah satu faktor dari self-disclosure yaitu who you
are (Devito, 2015). Self-disclosure berhubungan dengan bagaimana seseorang
berkomunikasi dan dipengaruhi oleh kepribadian seseorang. Aspek kepribadian
yang mempengaruhi self-disclosure adalah flexibility. Semakin tinggi flexibility,
maka semakin mudah melakukan self-disclosure. Shyness yang merupakan faktor
signifikan dari rendahnya kemampuan bersosialisi sehingga menurunkan
kemampuan seseorang untuk melakukan self-disclosure (Ignatius, Kokkonen,
2007). Individu dengan self-esteem dan tingkat sosialisasi yang tinggi, dan
exstrovert lebih sering melakukan self-disclosure (Dolgin, Meyer, & Schwartz,
1991; McCroskey & Wheeless, 1976 dalam DeVito, 2013). Individu dengan tipe
kepribadian exstrovert suka menghabiskan waktu dengan cara berbicara dengan

Universitas Sumatera Utara

26

orang lain dan tidak menyukai aktivitas yang tidak melibatkan orang lain (Burger,
2000).
McClelland mengatakan individu dengan tipe kepribadian ekstrovert, suka
bersosialisasi, mudah mengekspresikan pendapat, suka menghabiskan waktu
dengan orang lain digambarkan sebagai individu yang memiliki need for affiliation
tinggi. Individu demikian memiliki keuntungan pada kesehatan, yaitu berkorelasi
dengan sistem imun. (Jemmott, 1987; McClelland, 1979; McClelland & Jemmott,
1980 dalam Pervin, 2008). Nevedal (2009) mengatakan need for affiliation
memiliki hubungan positif dengan kesehatan ODHA.
Individu dengan need for affiliation yang terpenuhi akan memiliki kualiatas
kesehatan yang lebih baik, akan tetapi ketika need ini tidak terpenuhi maka dapat
menimbulkan gangguan psikologis. Salah satu cara pemenuhan need for affiliation
adalah dengan melakukan self-disclosure. Kilamanca (2010) dalam penelitiannya
mengatakan bahwa need for affiliation memiliki hubungan yang signifikan dengan
self-disclosure. Berdasarkan penelitian Yoseptian (2012), need for affiliation juga
memiliki hubungan positif dengan self-disclosure. Dari hasil-hasil penelitian
tersebut apakah hal yang sama juga terjadi pada ODHA, mengingat ODHA
mendapat stigma negatif dari masyarakat.
McClelland (1987) mengatakan bahwa individu dengan need for affiliation
yang cenderung tinggi akan memiliki ketakutan akan penolakan yang lebih tinggi
juga. Ketakutan akan penolakan dari orang lain yang tinggi membuat individu
cenderung menghindari konflik dan kompetisi, serta takut untuk menerima
feedback yang bersifat negatif dari orang lain. Individu demikian akan berusaha

Universitas Sumatera Utara

27

untuk mempertahankan hubungan dengan orang lain sehingga menghindari hal-hal
yang dapat menimbulkan konsekuensi negatif atas hubungan interpersonalnya.
Self-disclosure yang dimungkinkan dapat memperkuat kualitas hubungan
antarindividu, pada saat yang sama memiliki konsekuensi dapat menurunkan
kualitas hubungan antarindividu juga. Hal ini memungkinkan individu tidak
melakukan self-disclosure dengan orang lain. Ketika ODHA mengetahui akan
adanya konsekuensi negatif yang muncul ketika melakukan self-disclosure, maka
akan ada kemungkinan proses self-disclosure akan terhambat. Akan tetapi terdapat
kemungkinan ketika seseorang melakukan self-disclosure maka orang lain akan
memahami dirinya.
Berdasarkan penjelasan di atas peneliti merasa bahwa ada hubungan positif
antara pemuasan need for affiliation dengan self-disclosure pada ODHA.

II.5 KERANGKA KONSEP

Need for Affiliation
1. Positive stimulation
2. Attention/praise
3. Social comparison
4. Emotional support

Self-Disclosure
Amount
Valence
Accuracy/honesty
Intention
intimacy

1.
2.
3.
4.
5.

Gambar II.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan gambar II.1 dapat dilihat bahwa aspek dari need for affiliation
yaitu positive stimulation, attention/praise, social comparison, dan emotional

Universitas Sumatera Utara

28

support dapat memberikan kontribusi dalam menentukan bagaimana selfdisclosure pada ODHA.

II.6 HIPOTESIS PENELITIAN
Hipotesis penelitian pada penelitian ini yaitu: Ada hubungan positif antara
need for affiliation dengan self-disclosure pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

Universitas Sumatera Utara