Perlindungan Karya Cipta Tari dan Seni R

1

PERLINDUNGAN KARYA CIPTA TARI DAN SENI RUPA1
Oleh: Laina Rafianti, S.H.,M.H.
PENDAHULUAN
Manusia memiliki akal, budi, dan pikiran yang membedakan manusia
dengan makhluk lain sehingga ia dapat berkreasi dan menghasilkan berbagai
bentuk karya seni. Diperlukan tenaga, pikiran, waktu, bahkan biaya yang tidak
sedikit untuk mewujudkan suatu ide menjadi karya seni yang dapat dilihat,
didengar atau dibaca. Oleh karena itu,wajar apabila pencipta memperoleh
penghargaan yaitu berupa perlindungan karya cipta dalam suatu 'hak', yang
dikenal dengan hak kekayaan intelektual. Dalam hukum nasional di Indonesia
dikenal 7 rezim HKI yaitu: hak cipta, paten, merek, desain industri, desain tata
letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, dan perlindungan varietas tanaman.
Tulisan ini akan menitikberatkan pada potensi perolehan hak kekayaan
intelektual atas perlindungan karya cipta di bidang tari dan seni lukis.
Karya cipta di bidang tari dan seni lukis dapat menjadi objek hak cipta
terlebih lagi karena indonesia kaya akan seni budaya tradisional, karya di kedua
bidang ini dapat pula menjadi objek perlindungan ekspresi budaya tradisional.
Konsep kekayaan intelektual dan perlindungannya adalah pandangan yang
ditawarkan oleh para pemikir barat. Pandangan ini memang kurang selaras

dengan pola pikir masyarakat indonesia yang konkrit, komunal, magis, religius.
(Sumber: hukum adat) Sehingga di dalam pelaksanaannya, seringkali terdapat
perbedaan, seperti: konsep hak cipta memberikan hak eksklusif bagi pencipta
untuk membuat, mengumumkan dan memperbanyak karyanya untuk jangka
waktu tertentu. Sedangkan masyarakat Indonesia menganggap karya yang
diciptakannya dapat digunakan olehnya atau siapapun secara bersama-sama.
Perbedaan lainnya adalah, objek hak cipta adalah karya orisinil sedangkan karya
seniman indonesia biasanya mengangkat jenis kesenian baik seutuhnya atau
dengan format yang berbeda.
Pencipta di bidang seni

tari dan seni rupa dapat memperoleh

perlindungan hak cipta atas karya orisinil mereka berdasarkan Undang-undang
1

Disampaikan pada Bimbingan Teknis Industri Seni dengan tema: “Kaukus Perlindungan HKI atas
Karya Cipta dan Ekspresi Budaya Tradisional”, Bale Rumawat, Universitas Padjadjaran, Bandung,
21 November 2010.


2

Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Namun, perlu diingat bahwa seni yang
diangkat dari karya-karya tradisional harus dibedakan perlindungannya dari karya
cipta biasa karena karya tradisional memiliki karakteristik perlindungan yang
khusus.
Karya cipta dapat berupa karya-karya orisinil ataupun merupakan
ekspresi budaya tradisional, sehingga terdapat irisan karya yang masuk ke kedua
bidang tersebut maka perlu diangkat topik perlindungan karya seni di bidang tari
dan seni rupa untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut:
1.

Perlindungan apa yang dapat diperoleh pencipta karya-karya di bidang seni
tari dan seni rupa dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan Hak
Kekayaan Intelektual di Indonesia?

2.

Karya cipta seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai Ekspresi Budaya
Tradisional?


3.

Bagaimana pengaturannya apabila suatu karya diangkat dari kesenian
tradisional dikaitkan dengan konsep perlindungan ekspresi budaya
tradisional?

A. CABANG SENI YANG BERSIFAT DINAMIS DALAM INDUSTRI SENI
1.

Seni tari
Berbagai definisi tari dari para pakar adalah sebagai berikut:2
a.

Andre Levinson: Tari adalah gerak tubuh yang berkesinambungan
melewati ruang yang telah ditentukan sesuai dengan ritme tertentu
serta mekanisme yang sadar.

b.


Doubler: Tari adalah ekspresi gerak ritmis dari keadaan perasaan
secara estetis dinilai yang lambang-lambang geraknya dengan
sadar dirancang untuk kenikmatan serta kepuasan dari pengalaman
ulang, ungkapan, berkomunikasi, melaksanakan serta penciptaan
bentuk-bentuk.

c.

Waterman: Tari terdiri dari gerak-gerak tubuh secara artistik yang
secara kultular dipola serta distilasi.

2

Harmoko, et.al., Indonesia Indah, Tari Tradisional Indonesia, Buku Ke-7, Yayasan Harapan Kita,
BP 3 TMII, Jakarta, 1996, hlm. 2.

3

d.


Frans Boas: Tari adalah gerak-gerak ritmis setiap bagian tubuh,
lambaian lengan, gerak dari torso atau kepala atau gerak-gerak dari
tungkai serta kaki.

e.

Kealiinohomuku: Tari adalah seni sesaat dari ekspresi yang
dipertunjukkan dengan bentuk serta gaya tertentu lewat tubuh
manusia yang bergerak dalam ruang.

f.

Curt Sachs: Tari adalah gerak tubuh yang ritmis.

g.

Soedarsono: Tari adalah ungkapan perasaan manusia tentang
suatu dengan gerak-gerak ritmis yang indah.
Definisi tari yang dipaparkan oleh para pakar sebagaimana


disebutkan di atas sangat luas. Tari terbagi lagi menjadi dua golongan
besar yaitu tari tradisional dan tari modern. Pada tari tradisional,
gerakannya mengadopsi ide bentuk-bentuk gerak yang telah ada
sebelumnya. Tari tradisional pun memiliki gaya klasik dan gaya rakyat.
Gaya klasik lebih cenderung pada gaya tari yang biasa digunakan di
wilayah keraton sedangkan tari rakyat merupakan tari tradisional yang
berasal dari ekspresi rakyat di luar lingkungan keraton. Lain halnya
dengan tari modern, jenis tari ini dianggap telah mendapat pengaruh dari
luar masyarakat asli/ tradisional setempat atau dipengaruhi oleh tarian
dari negara barat.
Pada hakikatnya, suatu tari tidak terpisahkan dari yang dinamakan
koreografi3. Walaupun selintas tampak sama, istilah tari berbeda dengan
istilah koreografi, istilah yang kedua ini adalah seni dalam penataan tari.
Koreografi dapat dikatakan sebagai proses perwujudan gerak-gerak dan
posisi (blocking) sehingga menjadi tarian. Orang yang melakukan proses
tersebut dikenal dengan istilah koreografer. Tari adalah bentuk jadi
(produk) dari proses penataan sang koreografer.
Tari tidak semata-mata diciptakan tanpa memiliki fungsi, menurut
Sach, tari berfungsi untuk tujuan magis selain untuk kepentingan hiburan.


3

Koreografi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah seni mencipta dan mengubah gerak
tari. Lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I.,
Jakarta, 1988, hlm. 461. Bandingkan dengan pengertian koregrafi menurut Collins Build
Dictionary yaitu : choreography is the inventing of steps and movements for ballets and other
dances (koreografi adalah penemuan langkah dan gerak untuk balet dan tari-tari lainnya).

4

Tari untuk kepentingan magis masih dilakukan di daerah Bali. Di wilayah
Jawa Barat jarang ditemukan tari yang bersifat magis, adapun tari yang
berfungsi sebagai seni pertunjukan tetapi mengandung unsur-unsur
magis. Terutama di pantai utara Jawa Barat yaitu wilayah Cirebon,
Indramayu, Subang, dan Kuningan terdapat kesenian Sintren4 yang
merupakan salah satu jenis seni pertunjukan rakyat yang masih memiliki
sifat magis religius yaitu dengan adanya adegan kesurupan (trance) yang
dialami seorang sintren.
Sementara Soedarsono, membagi fungsi tari menjadi 3 kelompok,
yaitu: tari sebagai upacara atau ritual, hiburan pribadi, dan penyajian

estetis atau tontonan.5 Berdasarkan fungsinya, tarian di Indonesia dapat
dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu:
a. Tari Upacara
Sebelum

agama

masuk

ke

Indonesia,

dikenal

tiga

ajaran

kepercayaan, yaitu animisme, dinamisme dan totemisme. Animisme

yaitu ajaran agar manusia mempercayai benda-benda yang dianggap
memiliki kekuatan gaib. Lain halnya dengan dinamisme, aliran ini
mengajarkan manusia untuk mempercayai roh-roh para leluhur.
Sedangkan totemisme yaitu ajaran yang mempercayai binatang
sebagai Tuhan mereka. Pada saat itu, tari digunakan sebagai media
upacara untuk persembahan kepada apapun yang dianggap memiliki
kekuatan gaib. Tarian sebagai sarana upacara ini merupakan fungsi
tari yang tertua dalam sejarah.6 Tarian ini sebagai sarana untuk

4

Sintren berasal dari kata sin (sindir) dan tetaren (artinya pertanyaan melalui syair yang perlu
dipikirkan dan dicari jawabannya). Penari menggunakan kaca mata hitam untuk menutupi bola
matanya pada waktu kesurupan. Lagu-lagu yang dilantunkan umumnya memanggil ruh yang
dipercaya mendatangkan kekuatan. Deskripsi tarian ini secara lengkap dapat dilihat pada:
Ganjar Kurnia dan Arthur S. Nalan, Deskripsi Kesenian Jawa Barat, Disbudpar Jawa Barat dan
PDP Unpad, 2003, hlm. 60-62.
5
Harmoko, et.al., op.cit., hlm. 35.
6

Enden Irma Rachmawaty, Perkembangan Tari Serimpi di Jawa Barat, http://cippad.usc.edu.,
diakses tanggal: 15 April 2006

5

menyatakan rasa terima kasih atau mengungkapkan keinginan
masyarakat adat di masa itu. Misalnya, pada saat panen, masyarakat
adat melakukan upacara “serah bumi” seraya melakukan tari-tarian
sebagai ungkapan kegembiraan.
b. Tari Hiburan
Berdasarkan fungsinya sebagai hiburan, tarian lebih menitikberatkan
pada kepuasan penari tanpa memperhatikan keindahan gerak dan
umumnya merupakan tari pergaulan. Salah satu unsur pelengkap
dalam tari yaitu musik, dalam tarian ini para penari bergerak
sepuasnya sesuai alunan musik. Di Jawa Barat terdapat dua
golongan tari pergaulan atau tari hiburan, yaitu: tari hiburan yang
terdapat di kalangan bangsawan dan di kalangan rakyat. Tarian
hiburan yang hidup di kalangan bangsawan dikenal dengan nama tari
Tayuban. Tari-tarian hiburan rakyat banyak berkembang di daerah
Jawa Barat, misalnya: tari Bangreng di Sumedang, tari Belentuk

Ngapung dari Subang, dan tari Banjet dari Karawang.
c. Tari Pertunjukan
Tari pertunjukan adalah tari yang sengaja dibuat atau disusun oleh
koreografer untuk keperluan pertunjukan atau tontonan. Selain itu
banyak pula tari-tarian yang asalnya sebagai tari upacara dan
hiburan yang ditata kembali dan ditertibkan cara penyajiannya,
sehingga menjadi bentuk dari pertunjukan. Pada tari pertunjukan
sudah jelas cara penyajiannya, baik bentuk gerak, kostum, tata rias,
tata teknik pentas (panggung, lighting, setting, sound system) telah
dipersiapkan secara khusus. Bahkan dalam tarian ini tempat
penonton dan tempat pentas mempunyai batas yang memisahkan
antara penonton dan penari.

6

Adapun Anthony V. Shay mengemukakan bahwa tari memiliki 6
fungsi, yaitu: tari sebagai refleksi dari organisasi sosial, tari sebagai
sarana ekspresi untuk ritual sekuler dan keagamaan, tari sebagai aktivitas
rekreasi, tari sebagai refleksi ungkapan psikologis, tari sebagai refleksi
ungkapan estetis, dan tari sebagai refleksi dari kegiatan ekonomi.7
Fungsi

tari

yang

dipaparkan

oleh

Shay

di

atas

sangat

komprehensif melihat tari dari berbagai sudut pandang. Fungsi terakhir
yang beliau kemukakan adalah sebagai refleksi dari keterkaitannya
dengan bidang industi seni. Seniman tari sangat berkepentingan dalam
menjadikan tari sebagai mata pencaharian, namun karena kebebasannya
berekspresi kadang-kadang mereka terlena untuk berkarya tanpa
memikirkan

aspek-aspek

intelektual

yang

dapat menjadi sumber

penghasilan.
2.

Seni rupa
Seni rupa adalah cabang seni yang membentuk karya seni dengan
media yang bisa ditangkap mata dan dirasakan dengan rabaan. Kesan ini
diciptakan dengan mengolah konsep garis, bidang, bentuk, volume, warna,
tekstur, dan pencahayaan dengan acuan estetika. Berdasarkan gayanya,
seni rupa dapat terbagi atas beberapa bagian:8
a. Seni Rupa Tradisional
Seni tradisional adalah unsur kesenian yang menjadi bagian hidup
masyarakat dalam suatu suku bangsa tertentu. Seni tradisional yang ada
di suatu daerah berbeda dengan yang ada di daerah lain, meski pun tidak
menutup kemungkinan adanya seni tradisional yang mirip antara dua
daerah

yang

berdekatan.

Seni

rupa

jenis

ini

memiliki

ciri-ciri

penciptaannya selalu berdasarkan pada filosofi sebuah aktivitas dalam
suatu

budaya,

bisa

berupa

aktivitas

religius

maupun

seremonial/istanasentris, karyanya selalu terikat dengan pakem-pakem
tertentu. Contoh: Wayang kulit, wayang golek, wayang beber, ornamen
pada rumah-rumah tradisional di tiap daerah, batik, songket, dan lain-lain.
b. Seni Rupa Modern

7

Ibid.

7

Seni rupa modern adalah seni rupa yang tidak terbatas pada kebudayaan
suatu adat atau daerah, namun tetap berdasarkan sebuah filosofi dan
aliran-aliran seni rupa. Seni rupa modern memiliki ciri-ciri: konsep
penciptaannya tetap berbasis pada sebuah filosofi , tetapi jangkauan
penjabaran visualisasinya tidak terbatas dan tidak terikat pada pakempakem tertentu. Contohnya Lukisan-lukisan karya Raden Saleh Syarif
Bustaman, Basuki Abdullah, Affandi, S.Soedjojono dan pelukis era
modern lainnya.
c. Seni Rupa Kontemporer
Seni Kontemporer adalah salah satu cabang seni yang terpengaruh
dampak modernisasi. Kontemporer itu artinya kekinian, modern atau lebih
tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama
atau saat ini. Jadi seni kontemporer adalah seni yang tidak terikat oleh
aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman sekarang.
Lukisan kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan
situasi waktu yang sedang dilalui. Misalnya lukisan yang tidak lagi terikat
pada Rennaissance. Seni rupa kontemporer dicirikan dengan, karyanya
tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai
zaman; tidak adanya sekat antara berbagai disiplin seni, alias meleburnya
batas-batas antara seni lukis, patung, grafis, kriya, teater, tari, musik,
hingga aksi politik. Contohnya yaitu karya-karya happening art, karyakarya Christo dan berbagai karya enviromental art. Seniman: Gregorius
Sidharta, Christo, dan Saptoadi Nugroho.
Berdasarkan produknya, seni rupa dapat dibedakan ke dalam tiga
kategori, yaitu seni rupa murni atau seni murni, kriya, dan desain. Seni rupa
murni mengacu kepada karya-karya yang hanya untuk tujuan pemuasan
eksresi pribadi, sementara kriya dan desain lebih menitikberatkan fungsi dan
kemudahan produksi. Seni rupa murni terdiri atas: seni lukis, seni grafis, seni
patung, seni instalasi, seni pertunjukan, seni keramik, seni film, seni
koreografi, seni fotografi. Desain terdiri atas: arsitektur, desain grafis, desain

8

Kris Adji A.W., “Pengertian Seni Rupa Tradisional, Modern, dan Kontemporer”,
http://tipzsangguru.wordpress.com, 28 Januari 2010, akses tanggal 19 November 2010.

8

interior, desain busana, dan desain produk. Sedangkan kriya, terbagi
menjadi: kriya tekstil, kriya kayu, kriya keramik, dan kriya rotan.9
Terkait dengan perlindungan pencipta atas karya intelektual di bidang
seni rupa, banyak hal yang dapat diakomodasi oleh Hak Kekayaan
Intelektual. Bidang seni rupa sangat luas sehingga dapat mencakup pula hak
atas Desain Industri di samping Hak Cipta. Kini, industri seni di bidang seni
rupa kian meningkat, hal tersebut harus dibarengi dengan kesadaran
penciptanya atas hak-hak yang mereka miliki supaya tidak terjadi
penyalahgunaan dalam pemanfaatannya.
B. HAK

CIPTA:

HAK

EKSKLUSIF

PENCIPTA

UNTUK

MEMBUAT,

MENGUMUMKAN, MEMPERBANYAK DAN MEMBERI IZIN UNTUK ITU
Berdasarkan ketentuan hukum nasional mengenai hak cipta yaitu
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (selanjutnya
disebut UUHC), Pasal 1 angka 1 menyebutkan pengertian Hak Cipta sebagai
berikut:
“Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak
untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasanpembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Ciptaan yang dilindungi berdasarkan UUHC adalah ciptaan di bidang
ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang mencakup:10
a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis
yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan
pantomim;

9

Seni Rupa, http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_rupa, 18 September 2010, akses tanggal 19
November 2010.
10
Pasal 12 Ayat 1 Undang-undang R.I. Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

9

f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni
ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni
terapan;
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k. sinematografi;
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya
lain dari hasil pengalihwujudan.”
Hak cipta memiliki unsur-unsur hak cipta sebagai berikut:
1. Merupakan hak eksklusif bagi pencipta;
2. Melindungi kreasi di bidang seni dan sastra;
3. Terdiri dari hak ekonomi dan hak moral.
Terdapat pula beberapa prinsip-prinsip hak cipta yang secara
konseptual berlaku bagi suatu ciptaan:11
1. Karya cipta yang berwujud;
Ciptaan dapat dilindungi hak cipta apabila wujudnya dapat dilihat, dibaca,
atau didengar. Ide, gagasan, pikiran, atau cita-cita tidak dapat dianggap
sebagai karya yang dilindungi hak cipta.
2. Karya asli;
Suatu ciptaan dianggap asli apabila bentuk perwujudannya bukan
merupakan jiplakan (plagiat) dari ciptaan lain yang telah diwujudkan.
3. Hak cipta timbul secara otomatis;
Suatu hak cipta eksis pada saat seorang pencipta mewujudkan idenya
dalam suatu bentuk yang berwujud. Setelah wujud dari ide itu lahir, ciptaan
dapat diumumkan maupun tidak diumumkan. Suatu ciptaan yang tidak
diumumkan hak ciptannya tetap melekat pada pencipta.
4. Hak cipta harus dibedakan dari penguasaan fisik suatu ciptaan.
Manakala suatu ciptaan sudah dialihwujudkan menjadi materi yang bisa
diperbanyak, kepemilikan seseorang atas materi tersebut tidak dapat
disamakan dengan memiliki hak cipta atas karya yang terdapat
didalamnya. Contoh: Tari Merak karya R. Tjetje Soemantri telah
dialihwujudkan ke dalam bentuk rekaman VCD. Pihak yang memiliki

11

Bandingkan Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, Alumni, Bandung, 2004, hlm. 98 s.d. 106; J.W.R.
Cornish, Intellectual Property, Patents Copyright, Trade Marks and Allied Rights, Second

10

rekaman VCD dimaksud bukan berarti memiliki hak cipta Tari Merak. Hak
cipta tetap melekat pada R. Tjetje Soemantri.
5. Hak cipta tidak bersifat absolut.
Terdapat batasan-batasan dalam pemberlakuan hak cipta. Misalnya
pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak
cipta pun bukan merupakan monopoli mutlak melainkan hanya monopoli
terbatas. Seperti misalnya, jika karya cipta tercipta secara koinsiden
dengan ciptaan lain pada waktu yang sama. Dalam hal demikian tidak
terjadi plagiat dan bukan merupakan pelanggaran.
Dari penjelasan di atas, hak cipta memiliki dua ciri utama, yang
pertama adalah hak ekonomi yaitu berupa hak kekayaan intelektual atas
ciptaan dan kedua yakni hak moral.
1. Hak Ekonomi
Hak ekonomi khususnya untuk karya cipta di bidang tari dapat
dikelompokkan ke dalam kategori sebagai berikut:12
a. Hak perbanyakan (right of reproduction);
Hak perbanyakan adalah hak kekayaan intelektual yang paling dasar
dan substansial. Hak perbanyakan berarti menggunakan bagian dari
ciptaan atau seluruh ciptaan untuk membuat produk yang lain,
membuat salinannya, atau membuat rekaman audio atau visual.
Seperti halnya membuat rekaman audio visual dari tarian beserta
musik pengiringnya juga merupakan hak perbanyakan.
b. Hak mempertunjukkan (right of performance);
Hak mempertunjukkan berarti hak untuk mempertunjukkan di muka
umum sebuah tarian hasil ciptaan seseorang atau beberapa orang
secara bersama-sama. Pencipta memiliki hak eksklusif untuk
mengadakan pertunjukan. Di muka umum berarti di depan sejumlah
orang,

tidak

mencakup

kegiatan

berlatih

seorang

diri

atau

mengadakan pertunjukan di hadapan anggota keluarga sendiri. Hal ini
berlaku bagi pertunjukan langsung dan pemutaran rekaman di depan

12

Edition, Sweet and Maxwell, 1989, hlm. 286-296; dan Afrillyana Purba, (et.al), TRIPs-WTO dan
Hukum HKI di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm. 22.
Tomotsu Hozumi, Penerjemah: Masri Maris, Asian Copyright Handbook, ACCU, Ikatan Penerbit
Indonesia, 2004, hlm. 14-21.

11

umum atau menggunakan pengeras suara untuk menyiarkan sebuah
pertunjukan kepada orang-orang di luar gedung atau teater.
c. Hak presentasi (right of presentation);
Hak mempresentasikan berarti hak memproyeksikan karya di depan
layar atau objek lain seperti LC (liquid crystal) proyektor. Penyajian
dapat juga dimaksudkan untuk ditampilkan pada media-media
elektronik seperti alat pemutar VCD atau DVD.
d. Hak siaran (right of public transmission);
Pencipta memiliki hak eksklusif untuk menyebarluaskan ciptaannya di
depan umum. Hal ini termasuk juga menyebarkannya melalui media
lain seperti televisi dan jaringan komputer.
e. Hak distribusi, mengalihkan hak milik, dan meminjamkan (right of
distribution, transfer of ownership, and lending);
Distribusi berarti perbanyakan karya yang telah dialihwujudkan ke
dalam bentuk rekaman. Hak mengalihkan hak milik ialah memberikan
hak kepemilikan kepada pihak lain. Hak meminjamkan adalah hak
menawarkan ciptaan kepada umum dengan meminjamkan salinan
dari ciptaan yang bersangkutan.
f.

Hak mengadaptasi (right of adaptation);
Adaptasi berarti mengubah karya orisinal dan bentuk ekspresi
menjadi suatu tarian tanpa mengubah cerita atau motif. Misalnya
cerita atau tokoh dalam pewayangan diekspresikan menjadi sebuah
Tari Gatot Gaca.

g. Hak mengeksploitasi ciptaan turunan (rights in the exploitation of a
derivative work);
Ciptaan turunan adalah sebuah ciptaan baru yang diciptakan melalui
adaptasi. Meskipun hak cipta bagi ciptaan turunan adalah milik
penciptanya, pada waktu bersamaan, pencipta ciptaan orisinal juga
memiliki hak yang sama dengan hak yang dimiliki pencipta ciptaan
turunan. Izin perbanyakan suatu karya turunan harus diminta dari
pemegang hak cipta orisinal. Apabila penciptanya lebih dari satu
orang maka izin dari satu pemegang hak cipta saja tidak cukup. Izin
harus diperoleh dari semua pemegang hak cipta.
2. Hak Moral

12

Hak moral merupakan hak yang sifatnya non ekonomi bagi
pencipta untuk mengklaim karya ciptanya, hak untuk melarang pihak lain
untuk melakukan distorsi, mutilasi, atau berbagai modifikasi sehingga
dapat merusak reputasi pencipta.13 Hak moral, pada umumnya terdiri dari
hak menyebarluaskan ciptaan, hak mencantumkan nama pencipta, dan
hak melindungi integritas ciptaan.14
a. Hak menyebarluaskan ciptaan;
Pencipta memiliki hak untuk menyebarkan ciptaannya kepada
masyarakat luas. Ini berarti bahwa pencipta memiliki hak memutuskan
apakah ciptaannya akan disebarkan atau tidak. Hal ini juga
melindungi ciptaan dari penyebarluasan tanpa izin. Dalam hal ciptaan
telah dialihkan hak ciptanya, pencipta dianggap telah menyetujui
bahwa ciptaan yang bersangkutan dapat disebarluaskan.
b. Hak mencantumkan nama pencipta;
Bila suatu ciptaan diumumkan, pencipta memiliki hak untuk
menentukan apakah nama pencipta harus dicantumkan atau tidak,
dan apakah nama sebenarnya atau nama samaran yang digunakan,
atau tidak. Pencipta juga memiliki hak untuk menentukan hal ini bila
sebuah ciptaan turunan diumumkan. Hak ini bukan berarti keharusan
menggunakan nama pencipta.
Dalam penulisan sinopsis tari untuk suatu pertunjukan, biasa
dicantumkan nama koreografer tari. Pada suatu lukisan biasa pula
disebutkan nama dan tanggal pelukisnya.
c. Hak melindungi integritas ciptaan;
Pencipta memiliki hak untuk melindungi integritas ciptaan dan judul
ciptaannya dari distorsi, mutilasi, atau perubahan-perubahan lain
tanpa izin pencipta. Dalam tarian, untuk kepentingan pertujukan suatu

13

UNCTAD-ICTSD, Resource Book on TRIPs and Development, Cambridge University Press,
Cambridge, 2005, hlm. 140.
14
Bandingkan dengan doktrin Hak Moral dari Desbois dalam Eddy Damian, Hukum Hak Cipta,
op.,cit, hlm. 63-64. Menurut Desbois Hak Moral mengandung 4 makna, yaitu:
1. Droit de publication: hak untuk melakukan atau tidak melakukan pengumuman ciptaan;
2. Droit de repentier: hak untuk melakukan perubahan yang dianggap perlu atas ciptaannya, dan
hak untuk menarik dari peredaran ciptaan yang telah diumumkan;
3. Droit au respect: hak untuk tidak menyetujui dilakukannya perubahan atas ciptaannya oleh
orang lain;

13

karya sering mengalami mutilasi karena keterbatasan waktu, kreasi
pelaku, atau kebutuhan panggung. Sebenarnya hal ini tidak dapat
dilakukan tanpa terlebih dahulu memberi tahu pencipta atau meminta
izin dari pemegang hak cipta.
Selain dua jenis ciri utama dijelaskan di atas, hak cipta juga
mengenal suatu jenis hak lain, dinamakan sebagai hak terkait atau
neighboring rights. Dalam penerapannya, hak terkait dibedakan dari hak
cipta. Hak cipta selain dipegang oleh pencipta, hak terkait diberikan kepada
pelaku (performer), produser rekaman (producers of phonogram), dan
lembaga penyiaran (broadcasting organisation). Hak terkait adalah hak yang
diberikan kepada pelaku, produser rekaman, dan lembaga penyiaran yang
memainkan peranan penting dalam penyebaran sebuah karya kepada
masyarakat luas dengan izin pencipta. Pemilik hak tersebut seperti penari
sebagai pelaku (performer) mendapatkan perlindungan serupa hak cipta
didasarkan pada pertimbangan atas kemungkinan adanya kerugian
ekonomis dan kerugian lain yang timbul karena pelanggaran hak terkait yang
pada dasarnya sama dengan kerugian pada pelanggaran hak cipta. Penari
mungkin bukan pencipta dari tarian yang dibawakannya, tetapi penari
tersebut bisa membawakan tarian dengan gaya dan ekspresi yang berbeda
sehingga dianggap tindakan yang kreatif dengan seizin dari pencipta. Gaya
dan ekspresi penari tersebut dilindungi dengan hak terkait dalam hal ini
adalah pelaku yaitu pelaku tari yang membawakan tarian.
C. PERLINDUNGAN

DESAIN

INDUSTRI

SEBAGAI

POTENSI

PERLINDUNGAN KARYA SENI RUPA YANG DIPRODUKSI MASAL
Desain industri adalah suatu desain industri mengacu pada aspek
tampilan bentuk atau konfigurasi atau komposisi garis atau warna atau
gabungannya yang memiliki kesan estetik (keindahan). Sedangkan hak bagi
pendesain adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara RI kepada
pendesain

atas

hasil

kreasinya

untuk

selama

waktu

tertentu

melaksanakannya sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak
4. Droit a la paternite: hak untuk mencantumkan nama pencipta, hak untuk tidak menyetujui
perubahan atas nama pencipta yang akan dicantumkan, dan hak untuk mengumumkan sebagai

14

lain untuk melaksanakan hak tersebut. Hukum nasional telah mengatur
rezim desain industri dalam suatu ketentuan yaitu Undang-undang R.I.
Nomor 31 Tahun 2000, yang diundangkan pada tanggal 20 Desember 2000.
Karya-karya di bidang seni rupa, selain mendapat perlindungan
berdasarkan

rezim

Hak

Cipta,

juga

berpotensi

untuk

memperoleh

perlindungan Desain Industri. Pada seni rupa, yang menjadi pembedanya
adalah, ketika suatu karya seni rupa diproduksi masal, ini menjadi objek
perlindungan desain industri. Seperti misalnya, suatu lukisan yang kemudian
dibuat dalam bentuk desain kaos dan diproduksi masal secara berulangulang, hal ini dapat dikategorikan sebagai desain industri.
D. Ekspresi Budaya Tradisional: suatu konsep baru dalam perlindungan
seni tradisional yang bersifat komunal
Pengelolaan Ekspresi Budaya Tradisional atau Folklor (selanjutnya
disebut EBT) baik melalui rezim public domain maupun rezim hak cipta, tidak
dapat memuaskan para pemangku kepentingan di bidangnya.

Untuk itu

diperlukan suatu rezim khusus yang mengatur EBT secara terpisah. Alternatif
pengaturannya adalah melalui ketentuan yang bersifat
mengingat

karakteristik EBT yang

sui

generis

berbeda dengan hak cipta pada

umumnya atau memasukkan pengaturannya ke dalam rezim public domain.
Dimulai sejak tahun 2000, WIPO (World Intellectual Property Organisation)
telah membentuk suatu Inter-governmental Committee

(IGC) on Genetic

Resources,

Bulan

Traditional

Knowledge,

and

Folklore.

Desember

mendatang, pertemuan IGC ini sudah sampai pada Sesi ke-17. Pokok-pokok
yang dibahas

pada pertemuan tersebut sebagaimana telah dituangkan

dalam rekomendasi WIPO15, perlindungan EBT mencakup hal-hal berikut ini:
1. Definisi;
2. Subjek dan objek perlindungan;
3. Mekanisme;
a. disclosure of origin: penyebutan daerah tempat EBT berasal;
b. dokumentasi dan inventarisasi EBT;

15

pencipta setiap waktu yang diinginkan.
www.wipo.int, Inter-governmental Committee (IGC) on Genetic Resources, Traditional
Knowledge, and Folklore.

15

c. access

and benefit sharing:

pemberian izin

dan pembagian

keuntungan.
4. Kelembagaan;
Terdapat sekurang-kurangnya dua unsur, yaitu pemerintah dan kostudian
(pemilik EBT yang sifatnya komunal).
Hal-hal yang dicantumkan di atas adalah karakteristik atau unsurunsur dan syarat-syarat yang diperlukan untuk menentukan eksistensi EBT
dan membedakannya dengan pengaturannya berdasarkan rezim hak cipta
pada umumnya. Karakteristik inilah yang megakibatkan perlunya dibentuk
peraturan khusus mengenai EBT.
EBT pada umumnya bersifat anonim, akan tetapi ada kalanya budaya
tradisional yang sudah diketahui penciptanya dianggap sebagai EBT.
Sebagai contoh, dalam kebiasaan seniman di Jawa Barat, Tari Merak karya
Irawati Durban dianggap milik bersama, sehingga dimanfaatkan oleh semua
penari tanpa seizin pencipta. Dalam hal ini pencipta pun membiarkan hal ini
terjadi. Sama halnya dengan jaipongan, Tari Bajidor Kahot misalnya,
penyebarannya berlangsung sangat cepat dari satu penari ke penari lainnya
tanpa sepengetahuan pencipta.
Di samping Inter-governmental Committee, diselenggarakan juga
pertemuan para pakar di bidang Sumber Daya Genetika, Pengetahuan
Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional ini dalam suatu Intersessional
Working Groups (IWG) on Genetic Resources, Traditional Knowledge, and
Folklore di organisasi yang sama, yaitu WIPO. IWG yang telah dilakukan
pada bulan September 2010 di Jenewa, lebih memperhatikan nilai-nilai yang
harus diangkat dalam perlindungan Sumber Daya Genetika, Pengetahuan
Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (SDGPTEBT) ini, seperti
mengenai: penghormatan kepada komunitas yang memiliki budaya asli;
memperhatikan kebutuhan komunitas; mencegah terjadinya penyalahgunaan
dan pemanfaatan yang salah atas SDGPTEBT; memperkuat komunitas;
memberikan dukungan langkah-langkah yang diperlukan serta kerja sama
bagi komunitas; pelestasian budaya tradisi; meningkatkan inovasi dan
kreativitas komunitas; mendukung kebebasan intelektual, penelitian dan
pertukaran budaya; melakukan kontribusi terhadap keanekaragaman budaya;
memberdayakan

komunitas

setempat

untuk

melakukan

aktivitas

16

perdagangan di bidang Sumber Daya Genetika, Pengetahuan Tradisional
dan Ekspresi Budaya Tradisional.
Berikut adalah beberapa contoh penyalahgunaan atas pemanfaatan
ekspresi budaya tradisional di bidang tari dan seni rupa.
1. Kasus penyalahgunaan ekspresi budaya tradisional dalam bentuk seni
pertunjukan tari.
Salah satu contoh pemanfaatan EBT dari Bugis, yaitu pertunjukan
drama tari I La Galigo berikut memperlihatkan bahwa terdapat
kekosongan hukum untuk EBT yang akan dimanfaatkan secara
komersial, utamanya oleh pihak asing. Surek Galigo, epik yang berasal
dari Bugis, Sulawesi Selatan diangkat menjadi suatu pertunjukan teater
besar di beberapa gedung teater dunia seperti Singapura (2004),
Amsterdam (2004), Barcelona (2004), Prancis (2004), Italia (2004), New
York (2005), Indonesia (2005), dan Australia (2006).16 Pertunjukan yang
semua pemainnya berkewarganegaraan Indonesia ini dipentaskan atas
arahan dari sutradara Broadway, Amerika Serikat Robert Wilson dan
dukungan penulis naskah Rhoda Grauer.

Hal ini menjadi pertanyaan

besar, mengapa karya sastra Indonesia khususnya Sulawesi Selatan
yang dikemas dalam pertunjukan kombinasi dari gerak, tari, musik, dan
seni peran harus ditangani oleh seseorang yang bukan anak bangsa
Indonesia.
Keterlibatan Robert Wilson bukan atas keinginan pribadinya, ia
diminta oleh Change Performing Arts (CPA)17 untuk dapat berpartisipasi
sebagai sutradara untuk pertunjukan ini. Pada saat Yayasan Bali Purnati
memiliki gagasan untuk mengangkat cerita I La Galigo, hanya CPA yang

16

I La Galigo Premier in Indonesia, http://www.balipurnati.com. akses tanggal 18 Juni 2006.

17

sanggup membiayai, sehingga terjalin kerjasama antara kedua lembaga
ini. Pada awalnya CPA berkeberatan apabila semua pemain adalah orang
Indonesia, akan tetapi Restu Kusumaningrum sebagai kordinator artistik
berpendirian bahwa semua pemain harus dari Indonesia.18
Seandainya orang Indonesia yang membuatnya, maknanya akan
lebih kaya. Lagipula jika orang asing dibiarkan lebih lanjut terlibat dalam
karya-karya tradisi Indonesia, dikhawatirkan kesenian Indonesia dianggap
sebagai public domain yang bisa seenaknya dikomersilkan. Padahal
karya cipta yang tidak diketahui penciptanya berdasarkan UUHC
dipegang oleh negara.
Dari ilustrasi mengenai pementasan I La Galigo di atas, dapat
dikelompokkan kendala di bidang pengaturan EBT adalah sebagai
berikut:
a. Tidak ada peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur
tentang kesenian;
b. Tidak ada lembaga khusus di bidang kesenian, yang ada sekarang
kesenian terdapat di bawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
R.I.;
c. Keterbatasan dana;
d. Bangsa Indonesia tidak terbiasa dengan budaya menulis sehingga
tidak terdapat dokumentasi dan inventarisasi yang otentik;
e. Seniman Indonesia kurang percaya diri untuk menunjukkan karya.

17

18

Change Performing Arts adalah produser dari Italia yang dikenal berhasil memproduksi berbagai
pementasan internasional. Lihat: Ratna Sarumpaet, “I La Galigo: Panggung Megah Miskin
Makna, 2004, http://www.mspi.org, akses tanggal 18 Juni 2006.
Wawancara dengan Wangi Indriya, Tambi, Indramayu, 29 Maret 2007. Wangi adalah penari
topeng gaya Dermayon (Indramayu), ia berperan sebagai Ratu We Nyilik Timo pada
pertunjukan I La Galigo. Lihat: Ninuk M. Pambudy dan Jimmy S. Hariyanto, “Kesetiaan Wangi
Indriya”, http://www.kompas.com., 15 Oktober 2006, akses tanggal: 26 Maret 2007.

18

2. Kasus penyalahgunaan hak cipta masyarakat adat aborigin yang
diproduksi untuk desain karpet.

(Kasus Milpurrurru Yumbulul v.

19

Indofurn)

Kasus berikut adalah sengketa yang terjadi antara 3 orang pelukis
Aborigin yaitu George M, Kumantjayi Tjapangati, dan Banduk Marika di
satu pihak melawan perusahaan ekspor impor yang berkedudukan di
Parth, Indofurn. Objek sengketa ini yaitu lukisan karya ketiga orang
pelukis di atas yang diproduksi menjadi karpet di Vietnam. Karpet dengan
desain khas Aborigin tersebut kembali diekspor ke Australia dengan
harapan

akan

laku

karena

desainnya

yang

sangat

menarik,

menggunakan gambar yang biasa digunakan oleh suku Aborigin. Indofurn
digugat oleh kelompok masyarakat Aborigin karena dianggap telah
melecehkan

kepercayaan

mereka.

Singkatnya,

gambar

yang

mengandung nilai sakral digunakan sebagai desain karpet, mengingat
lazimnya karpet akan diinjak orang.20 Dalam hal ini Indofurn dianggap
telah melakukan impor illegal.
Selain masalah arti dari gambar yang digunakan sebagai desain
karpet tersebut, dalam persidangan ditemukan keuntungan yang
diperoleh Indofurn atas penjualan karpet tersebut. Indofurn mengimpor
lebih kirang 200 karpet sekira 850 meter persegi dan beberapa
diantaranya dijual dengan harga masing-masing diatas 4000 dolar
Australia. Masyarakat Aborigin seharusnya memperoleh pembagian
keuntungan atas karpet yang desainnya diambil dari gambar tradisional
Aborigin.
PENUTUP
Sebagai simpulan, diperoleh beberapa hal sebagai berikut, pertama,
perlindungan yang dapat dinikmati oleh pencipta karya-karya di bidang seni tari
yaitu hak cipta berdasarkan Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 tahun 2002.
19
20

Terri Janke, “Minding Culture: Case Studies on Intellectual Property and Traditional Cultural
Expressions, under commission by WIPO, 200-2001., hlm. 3.
Agus Sardjono, Komik Memahami Hak Kekayaan Intelektual: Antara Hak Kekayaan Intelektual
dan Seni Tradisi”, LSPP dan Ford Foundation, 2010, hlm.121-122.

19

Sementara seni rupa, atas seni murni dan beberapa seni terapan dapat
dilindungi oleh hak cipta, disamping perlindungan desain industri untuk seni
terapan dan seni kriya. Kedua, karya cipta yang dapat dikategorikan sebagai
Ekspresi Budaya Tradisional memiliki ciri-ciri: disampaikan dari generasi ke
generasi secara turun-temurun, disampaikan secara lisan, dan terus dijaga
kelestariaannya oleh masyarakat pemangku budaya. Ketiga, pemanfaatan setiap
Ekspresi Budaya Tradisional harus memperhatikan hak moral dan hak ekonomi
dari pemangku budaya setempat.
Adapun beberapa hal yang dapat disarankan untuk melindungi karya tari
dan seni rupa antara lain:
1.

Perlunya sosialisasi yang terus-menerus mengenai hak cipta sebagai hak
bagi

pencipta

untuk

membuat

karya,

mengumumkan

dan

memperbanyaknya, serta memberikan izin kepada pihak lain untuk
melakukan ketiga hal dimaksud. Sosialisasi ini dimaksudkan agar para
kreator di bidang seni menyadari pentingnya hak cipta bagi mereka dan
pihak lain yang akan memperoleh manfaat dari karya tersebut.
2.

Diperlukannya pembentukan ketentuan yang bersifat sui generis untuk
melindungi karya-karya yang merupakan Ekspresi Budaya Tradisional.

3.

Perlu kejelasan mengenai mekanisme izin pemanfaatan Ekspresi Budaya
Tradisional Indonesia sehingga pemangku budaya yang berhak memperoleh
pembagian keuntungan secara adil.

20

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Agus Sardjono, Komik Memahami Hak Kekayaan Intelektual: Antara Hak
Kekayaan Intelektual dan Seni Tradisi”, LSPP dan Ford Foundation, 2010.
Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, Alumni, Bandung, 2004.
Ganjar Kurnia dan Arthur S. Nalan, Deskripsi Kesenian Jawa Barat, Disbudpar
Jawa Barat dan PDP Unpad, 2003.
Harmoko, et.al., Indonesia Indah, Tari Tradisional Indonesia, Buku Ke-7,
Yayasan Harapan Kita, BP 3 TMII, Jakarta, 1996
J.W.R. Cornish, Intellectual Property, Patents Copyright, Trade Marks and Allied
Rights, Second Edition, Sweet and Maxwell, 1989.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I.,
Jakarta, 1988.
Purba, Afrillyana (et.al), TRIPs-WTO dan Hukum HKI di Indonesia, Rineka Cipta,
Jakarta, 2005.
Tomotsu Hozumi, Penerjemah: Masri Maris, Asian Copyright Handbook, ACCU,
Ikatan Penerbit Indonesia, 2004.
UNCTAD-ICTSD, Resource Book on TRIPs and Development, Cambridge
University Press, Cambridge, 2005.

ARTIKEL
Enden Irma Rachmawaty, Perkembangan Tari Serimpi di Jawa Barat,
http://cippad.usc.edu.
Kris Adji A.W., “Pengertian Seni Rupa Tradisional, Modern, dan Kontemporer”,
http://tipzsangguru.wordpress.com, 28 Januari 2010.
Ninuk M. Pambudy dan Jimmy S. Hariyanto, “Kesetiaan Wangi Indriya”,
http://www.kompas.com., 15 Oktober 2006, akses tanggal: 26 Maret
2007.
Ratna Sarumpaet, “I La Galigo: Panggung Megah Miskin Makna, 2004,
http://www.mspi.org, akses tanggal 18 Juni 2006.
Terri Janke, “Minding Culture: Case Studies on Intellectual Property and
Traditional Cultural Expressions, under commission by WIPO, 200-2001.

21

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang R.I. Nomor 30 Tahun 2000 tentang Desain Industri
Undang-undang R.I. Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
SITUS INTERNET
http://www.balipurnati.com.
http://www.wipo.int
http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_rupa