Elastisitas Permintaan Pangan Strategis (1)

ELASTISITAS PERMINTAAN PANGAN STRATEGIS BERDASAR ANALISIS DATA SUSENAS 2005 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KONSUMSI DAN UPAYA PERBAIKAN KONSUMSI PANGAN MASYARAKAT INDONESIA ANNA VIPTA RESTI MAULUDYANI PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

RINGKASAN

ANNA VIPTA RESTI MAULUDYANI. Elastisitas Permintaan Pangan Strategis berdasar Analisis Data Susenas 2005 dan Implikasinya terhadap Konsumsi dan Upaya Perbaikan Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia (Di bawah bimbingan DRAJAT MARTIANTO dan YAYUK F. BALIWATI)

Pemerintah terus berupaya untuk memenuhi permintaan pangan masyarakat, terutama pangan strategis. Permintaan pangan bersifat dinamis, antara lain dapat berubah akibat perubahan harga pangan tersebut, harga pangan lain, dan pendapatan. Seberapa besar pengaruh perubahan tersebut terhadap konsumsi pangan masyarakat merupakan informasi penting sebagai dasar pertimbangan pemerintah dalam menetapkan kebijakan berkaitan dengan perbaikan konsumsi pangan masyarakat Indonesia.

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis elastisitas permintaan pangan strategis pada rumah tangga di Indonesia. Tujuan khusus penelitian ini adalah menganalisis: 1) konsumsi pangan strategis menurut wilayah dan kelas pendapatan, 2) elastisitas permintaan pangan strategis menurut wilayah dan kelas pendapatan, dan 3) implikasi elastisitas permintaan pangan strategis terhadap konsumsi dan upaya perbaikan konsumsi pangan masyarakat.

Penelitian dilakukan di Bogor, pada bulan Maret hingga Juni 2008, dengan menggunakan desain survei. Penelitian ini menggunakan data sekunder Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2005 dengan sampel sebanyak 64.709 rumah tangga. Data diolah menggunakan program SAS versi 6.12 dan model ekonometrika regresi Log-Ganda. Data dianalisis secara deskriptif.

Secara nasional, jumlah konsumsi beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya, mi instan dan mi basah adalah 100.52 kg/kap/th, 3.36 kg/kap/th, 11.67 kg/kap/th, 4.10 kg/kap/th, 5.09 kg/kap/th, 3.39 kg/kap/th, 0.22 kg/kap/th. Sementara itu, jumlah konsumsi kedelai dan turunannya, gula pasir, daging sapi, dan minyak goreng adalah 7.29 kg/kap/th, 9.64 kg/kap/th, 0.51 kg/kap/th, dan 9.00 kg/kap/th. Tingkat partisipasi konsumsi pangan strategis secara nasional dalam berbagai bentuk adalah sebagai berikut: beras 97.05%; beras ketan 1.89%; tepung beras 6.33%; bihun 2.28%; jagung basah dengan kulit 3.95%; jagung pipilan 5.59%; tepung jagung 0.52%; ketela pohon/singkong 29.04%; gaplek 0.54%; tepung gaplek (tiwul) 0.90%; tepung ketela pohon (tapioka/kanji) 0.49%; ubi jalar 11.12%; mi instan 60.95%; mi basah 1.67%; tepung terigu 17.66%; kedelai 1.68%; tahu 60.47%; tempe 65.17%; tauco 1.83%; kecap 42.82%; gula pasir 92.22%; daging sapi 7.36%; minyak kelapa 41.27%; minyak jagung 0.13%; minyak sawit 54.46%.

Kontribusi energi dari beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya, mi instan, mi basah, gula pasir, dan minyak goreng secara nasional adalah 46.56%, 1.23%, 1.88%, 0.66%, 2.58%, 1.93%, 0.02%, 4.49%, dan 10.21%. Kontribusi protein dari kedelai dan daging sapi adalah 8.52% dan 0.43%. Secara nasional, konsumsi melalui pembelian untuk beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya, mi instan, mi basah, kedelai dan turunannya, gula pasir, daging sapi, dan minyak goreng adalah 82.01%, 32.89%, 39.09%, 40.21%, 99.02%, 98.93%, 98.94%, 98.55%, 99.43%, 95.25%, dan 97.30%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara nasional, pangsa pengeluaran beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya, mi instan, mi basah, kedelai dan turunannya, gula pasir, daging sapi, dan minyak goreng adalah 14.99%, 0.34%, 0.47%, 2.23%, 1.90%, 0.03%, 2.94%, 2.82%, 0.84%, dan

3.07%. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) nasional, perkotaan, dan pedesaan adalah berturut-turut 78.6, 81.9, dan 76.1.

Secara nasional, elastisitas harga sendiri untuk beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya, mi instan, mi basah, kedelai dan turunannya, gula pasir, daging sapi, dan minyak goreng adalah -0.88, -1.36, -0.61, -0.20, -

1.07, -0.86, -0.80, -1.03, -0.79, -0.54, dan -0.69. Secara nasional, elastisitas silang jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan mi instan terhadap beras adalah -0.15, -

0.09, 0.02, dan -0.05; elastisitas silang ikan segar, ikan asin, daging sapi, daging ayam, dan telur terhadap kedelai dan turunannya adalah -0.06, -0.06, 0.05, -0.09, dan -0.13; elastisitas silang gula merah terhadap gula pasir adalah 0.02; elastisitas silang daging ayam dan telur terhadap daging sapi adalah 0.09 dan

0.15. Secara nasional, elastisitas pendapatan dari beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya, mi instan, mi basah, kedelai dan turunannya, gula pasir, daging sapi, dan minyak goreng adalah 0.42, 0.09, 0.16, 0.12, 0.50, 0.52,

0.08, 0.33, 0.38, 0.55, dan 0.43. Beberapa implikasi elastisitas permintaan pangan strategis terhadap konsumsi dan upaya perbaikan konsumsi pangan masyarakat adalah 1) kenaikan harga pangan strategis akan menurunkan konsumsinya sehingga kestabilan harga sangat penting, 2) hampir seluruh pangan strategis memiliki elastisitas pendapatan yang kurang elastis sehingga perbaikan konsumsi pangan memerlukan stimulus peningkatan pendapatan yang cukup tinggi, 3) kuantitas dan kualitas konsumsi pangan rumah tangga berpendapatan rendah masih belum sesuai dengan AKG dan PPH sehingga perlu dilakukan perbaikan konsumsi pangan masyarakat miskin melalui berbagai program yang relevan, 4) target penurunan konsumsi beras dan peningkatan kualitas konsumsi pangan masih belum tercapai sehingga program diversifikasi pangan pokok selain beras perlu terus ditingkatkan, 5) untuk meningkatkan konsumsi pangan lokal, seperti jagung, ubi kayu, dan ubi jalar, perlu dilakukan peningkatan pengembangan agro industri berbasis pangan lokal dan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) mengenai diversifikasi konsumsi pangan kepada masyarakat melalui berbagai media, terutama televisi, secara terus-menerus.

ELASTISITAS PERMINTAAN PANGAN STRATEGIS BERDASAR ANALISIS DATA SUSENAS 2005 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KONSUMSI DAN UPAYA PERBAIKAN KONSUMSI PANGAN MASYARAKAT INDONESIA

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

ANNA VIPTA RESTI MAULUDYANI PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Judul

: Elastisitas Permintaan Pangan Strategis berdasar Analisis Data Susenas 2005 dan Implikasinya terhadap Konsumsi dan Upaya Perbaikan Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

Nama Mahasiswa

: Anna Vipta Resti Mauludyani

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS NIP. 131 861 464

NIP. 131 669 944

Diketahui Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 11 Oktober 1985 sebagai anak pertama dari 2 bersaudara dari keluarga Fatkul Arifin (Alm) dan Mewa Ariani. Pendidikan dasar ditempuh dari tahun 1991 sampai dengan tahun 1997 di SD Pertiwi Bogor. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan pertama di SLTP Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2000. Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikannya di SMU Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2003. Penulis diterima menjadi mahasiswa di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, melalui jalur USMI. Pada tahun 2006, penulis berkesempatan belajar di Universitas Utsunomiya, Jepang, selama 1 tahun. Setelah kembali ke Indonesia, pada tahun 2007, penulis melanjutkan studi kembali di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian (HIMAGITA), Bina Desa (Bindes), Badan Konsultasi Gizi (BKG), dan GMSK English Club (GEC).

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat berupa kesehatan, kesempatan, dan kemampuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, petunjuk, dorongan, doa dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi dan Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen pembimbing atas waktu, petunjuk, dan dorongannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen penguji atas saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini.

3. Ibu Nina dan staf Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian, atas bantuannya dalam pengolahan data, dan pencarian literatur.

4. Omme Gatoet Sroe Hardono yang selalu menjawab pertanyaan penulis bila penulis menemui kesulitan dalam penyelesaian skripsi, yang memberi dorongan, nasehat, dan bantuan selama penyusunan skripsi ini.

5. Papa yang selalu mendoakan dan memberi kasih sayang kepada penulis. Papa tidak sempat melihat anaknya memakai Toga. Semoga Allah SWT menempatkan di Surga, Amiin. Kepada Mama, yang berperan sebagai mama dan dosen pembimbing tambahan; Amoy, Mbah Ni, Om Anang, Tante Ike, Rahma, Adit, Mbah Kung dan Keluarga Besar atas bantuan, doa dan kasih sayangnya.

6. Ahmad, Indy, Juli, Udin, Adhi, teman suka-duka bimbingan (Aris, Aqsa, Daru, Ratna, dan Merry), GMSK 40 atas motivasi dan perhatiannya, serta GMSK 41 atas semangatnya yang tak kunjung pudar.

7. Pak Ugan dan staf administrasi lain atas kerja kerasnya dalam mengurus keperluan seminar, sidang, dan SKL.

8. Semua pihak yang tidak dapat dituliskan satu persatu atas bantuannya hingga selesainya skripsi ini.

Agustus 2008,

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Kerangka pemikiran elastisitas permintaan pangan strategis .................. 16

2 Tingkat konsumsi energi dan protein menurut wilayah ............................ 34

3 Tingkat konsumsi energi dan protein menurut kelas pendapatan............ 35

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang dituangkan dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1996 mengenai pangan. Berdasarkan kesepakatan tersebut, pemerintah berkewajiban untuk menciptakan iklim yang kondusif sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pangannya dan mampu menjangkau pangan secara cukup (DKP 2006). Menurut Suryana (2004), pemenuhan kebutuhan pangan baik dari segi jumlah, mutu, gizi dan keamanannya dalam konteks ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembentukan sumberdaya manusia berkualitas untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di tataran global. DKP (2006) lebih lanjut menyatakan bahwa salah satu indikator ketahanan pangan adalah terjaminnya konsumsi pangan, sesuai dengan kaidah gizi dan kesehatan serta preferensinya.

Pemahaman dan perumusan kebijakan ketahanan pangan akan semakin mantap bila ditopang dengan hasil analisis konsumsi secara komprehensif. Analisis konsumsi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya mencapai sasaran ketahanan pangan karena analisis konsumsi pangan adalah ”entry point” analisis dan pengembangan ketahanan pangan, khususnya tingkat rumah tangga (Maxwell 1996).

Departemen Pertanian telah menetapkan program prioritas pencapaian swasembada komoditas pangan strategis yang difokuskan pada 5 (lima) komoditas pangan, yaitu beras, jagung, kedelai, gula pasir, dan daging sapi (DKP 2006). Pangan-pangan tersebut termasuk dalam kelompok ”Sembilan Bahan Pokok/Sembako” yang kini dikenal dengan istilah ”Bahan Pangan Pokok”.

Amang dan Sawit (2001) menyatakan bahwa beras menjadi komoditas unik, tidak saja dilihat dari sisi produsen dan konsumen, tetapi juga dari sisi pemanfaatan investasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dari sisi produsen, beras dihasilkan oleh 18 juta rumah tangga petani dan 49% diantaranya adalah petani sempit yang menguasai lahan kurang dari 0.24 hektar per keluarga. Dari sisi konsumen, beras sebagai makanan pokok utama masyarakat dengan partisipasi konsumsi mencapai 95% dan kontribusi energi sebesar 51.42%. Komoditas beras juga penyumbang utama lapangan kerja sektor pertanian dengan pangsa 30% serta terkait dengan peningkatan pendapatan masyarakat

(Syafa’at, Ariani, Mardiyanto, Kristyantoadi & Sayaka 2003). Sementara itu, Sambutan Menteri Pertanian dalam Sastraatmadja (2007) mengemukakan bahwa beras, selain sering digambarkan sebagai komoditas pangan yang memiliki nilai ekonomis tinggi bagi masyarakat, beras juga merupakan komoditas politis dan strategis, mengingat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok masyarakat, tidak kurang dari 2.5 juta ton beras harus disediakan setiap bulannya.

Komoditas jagung dapat memiliki peranan yang ganda, tidak hanya sebagai bahan makanan pokok, tetapi juga sebagai bahan baku industri (Pasandaran & Kasryno 2005). Jagung dapat berfungsi seperti beras bila dinilai dari kandungan nilai gizinya. Kandungan energi antara beras dan jagung relatif sama dalam setiap seratus gramnya, bahkan protein jagung lebih tinggi daripada beras (Ariani & Pasandaran 2005). Jagung juga merupakan bahan baku utama pakan unggas (sekitar 50% dari ransum) sehingga harga jagung akan sangat mempengaruhi biaya produksi unggas dan pada akhirnya juga berpengaruh pada harga daging unggas (Tangendjaya, Yusdja & Ilham 2005). Ketergantungan impor yang cukup tinggi menyebabkan jagung rentan dengan gejolak pasar luar negeri (Syafa’at et al. 2003).

Kedelai merupakan komoditas pangan terpenting ketiga setelah beras dan jagung. Kedelai adalah tanaman yang kaya protein, sehingga mempunyai peranan yang sangat penting dalam industri pangan dan pakan. Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena harganya yang relatif terjangkau (Balitbangtan 2005). Rata-rata konsumsi kedelai nasional mencapai 1.803 juta ton per tahun tidak diimbangi dengan produksi dalam negeri sehingga 60% ketersediaan harus dipenuhi dari impor (Anonymous 2008a).

Gula pasir merupakan pangan yang banyak digunakan oleh masyarakat untuk kebutuhan makanan dan minuman. Hampir semua masyarakat mengkonsumsi gula, terutama gula pasir. Pada tahun 2002, tingkat konsumsinya mencapai 9.18 kg/kap/th (Ariani 2003). Walaupun kebutuhan gula tidak sebesar pangan lain, seperti beras, namun karena proporsi rumah tangga yang mengkonsumsinya sangat tinggi, gula termasuk komoditas strategis. Ketergantungan impor yang tinggi (42.05%) menyebabkan gula rawan terhadap gejolak pasar internasional sehingga membutuhkan campur tangan pemerintah Gula pasir merupakan pangan yang banyak digunakan oleh masyarakat untuk kebutuhan makanan dan minuman. Hampir semua masyarakat mengkonsumsi gula, terutama gula pasir. Pada tahun 2002, tingkat konsumsinya mencapai 9.18 kg/kap/th (Ariani 2003). Walaupun kebutuhan gula tidak sebesar pangan lain, seperti beras, namun karena proporsi rumah tangga yang mengkonsumsinya sangat tinggi, gula termasuk komoditas strategis. Ketergantungan impor yang tinggi (42.05%) menyebabkan gula rawan terhadap gejolak pasar internasional sehingga membutuhkan campur tangan pemerintah

Daging sapi termasuk salah satu jenis pangan yang perlu mendapat perhatian dalam hal penyediaannya. Konsumen daging sapi adalah masyarakat berpendapatan menengah ke atas dan para wisatawan atau pekerja asing. Walaupun rata-rata impor daging sapi masih rendah, namun dalam dasawarsa terakhir terdapat kecenderungan peningkatan nilai impor daging sapi dan sapi hidup. Hal ini disebabkan produksi dalam negeri baru dapat memenuhi sekitar 70% dari kebutuhan domestik (Balitbangtan 2005).

Selain kelima komoditas yang termasuk dalam program prioritas pencapaian swasembada komoditas pangan strategis, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya (mi instan dan mi basah), dan minyak goreng juga termasuk komoditas penting yang perlu menjadi perhatian pemerintah. Ubi kayu dan ubi jalar merupakan komoditas penting dalam program penganekaragaman (diversifikasi) pangan pokok. Program ini mendorong konsumsi umbi-umbian, khususnya ubi kayu dan ubi jalar serta produk olahannya sebagai substitusi sebagian dari beras dan terigu (Syafa’at et al. 2003).

Minyak goreng banyak dikonsumsi oleh masyarakat dan industri makanan. Pernyataan ini diperkuat dengan hasil analisis Survei Konsumsi Gizi (SKG) oleh Depkes yang menyatakan bahwa minyak goreng merupakan bahan pangan yang sering dikonsumsi masyarakat di wilayah perkotaan dan pedesaan (Hardinsyah, Amalia & Setiawan (2002). Martianto, Soekatri, Komari, Mujayanto dan Soekirman (2004) menyatakan bahwa minyak goreng merupakan komoditas strategis yang dikonsumsi oleh hampir 100% rumah tangga di Indonesia dan berpotensi besar difortifikasi dengan vitamin A untuk menanggulangi Kurang Vitamin A (KVA) di Indonesia. Minyak goreng digunakan sebagai bahan pembantu untuk menciptakan aroma, rasa, warna, daya simpan dan peningkatan nilai gizi (Sumaryanto & Rantetana 1996). Kenaikan harga minyak goreng dalam negeri sangat membebani masyarakat sehingga pemerintah menetapkan kebijakan terkait dengan minyak goreng, antara lain peningkatan pajak ekspor kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) dan turunannya, yaitu dari 10% menjadi 15% jika harga di pasar dunia diatas 10 dollar AS per ton (Anonymous 2008b).

Perumusan Masalah

Permintaan pangan bersifat dinamis, antara lain dapat berubah akibat perubahan pengetahuan gizi, pendapatan, harga pangan (harga pangan tersebut dan harga pangan lain), preferensi, dan karakteristik pangan. Seberapa besar pengaruh perubahan harga pangan dan pendapatan terhadap kuantitas dan kualitas konsumsi pangan masyarakat perlu dikaji karena merupakan informasi penting bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan berkaitan dengan perbaikan konsumsi pangan masyarakat. Di tengah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), perubahan iklim dunia yang berpengaruh terhadap produksi pangan dan kompetisi penggunaan pangan, pakan, dan bahan bakar (biofuel) yang berakibat pada kenaikan harga pangan serta peningkatan jumlah penduduk miskin, maka analisis terhadap pengaruh harga dan pendapatan terhadap konsumsi pangan tersebut perlu untuk dilakukan. Berdasarkan pertimbangan ini, penulis tertarik untuk menganalisis secara lebih mendalam mengenai permintaan pangan strategis dalam kaitannya dengan faktor harga dan pendapatan.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis elastisitas permintaan pangan strategis pada rumah tangga di Indonesia. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis konsumsi pangan strategis menurut wilayah dan kelas pendapatan

2. Menganalisis elastisitas permintaan pangan strategis menurut wilayah dan kelas pendapatan

3. Menganalisis implikasi elastisitas permintaan pangan strategis terhadap konsumsi dan upaya perbaikan konsumsi pangan masyarakat

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu masukan dalam perumusan kebijakan di bidang pangan dan gizi, khususnya untuk meningkatkan kualitas konsumsi pangan dan dukungan kebijakan produksinya. Di samping itu, hasil penelitian ini juga memperkaya khasanah ilmu ekonomi pangan dan gizi, terutama yang berkaitan dengan permintaan pangan.

TINJAUAN PUSTAKA

Permintaan Pangan

Permintaan adalah jumlah barang yang sanggup dibeli oleh para pembeli pada tempat dan waktu tertentu dengan harga yang berlaku saat itu. Pengertian permintaan digunakan untuk mengetahui hubungan antara harga dengan jumlah barang yang dibeli konsumen dengan anggapan bahwa faktor-faktor lainnya tetap (cateris paribus). Hal ini dapat dijelaskan dengan kurva permintaan, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara jumlah maksimum dari barang yang dibeli konsumen dengan harga alternatif pada waktu tertentu (Purba 2004).

Besarnya permintaan dapat diketahui dengan pendekatan teori permintaan. Menurut teori tersebut, besarnya permintaan terhadap suatu komoditi bergantung pada harga komoditi yang bersangkutan, harga komoditi lainnya, tingkat pendapatan, besarnya rumah tangga, susunan umur, selera atau preferensi, dan letak geografis (Azahari 1984). Keragaan permintaan pangan dilihat melalui variabel elastisitas permintaan pangan dan konsumsi pangan.

Elastisitas permintaan merupakan suatu ukuran kuantitatif yang menunjukkan besarnya pengaruh perubahan harga atau faktor-faktor lainnya terhadap perubahan permintaan suatu komoditas. Elastisitas permintaan dapat dibedakan menjadi 1) elastisitas permintaan terhadap harga (elastisitas harga),

2) elastisitas permintaan terhadap pendapatan (elastisitas pendapatan), dan 3) elastisitas permintaan silang (elastisitas silang) (Sugiarto, Herlambang, Brastoro, Sudjana & Kelana 2005).

Nilai elastisitas harga antara 0 - 1 disebut inelastis, merupakan barang- barang kebutuhan pokok dan antara 1 - ∞ disebut elastis merupakan barang mewah. Elastisitas pendapatan bernilai positif untuk barang normal, bernilai nol untuk barang netral, dan bernilai negatif untuk barang inferior. Apabila nilai elastisitas pendapatan lebih besar dari satu, barang tersebut disebut barang mewah, dan lebih kecil dari satu termasuk barang kebutuhan pokok. Nilai elastisitas silang dapat mengklasifikasikan apakah suatu barang berhubungan sebagai barang subtitusi atau komplemen. Apabila tanda elastisitas silang negatif, maka barang X komplemen terhadap barang Y. Sebaliknya, bila bertanda positif, maka barang X merupakan barang subtitusi terhadap barang Y (Suhartini 2001).

Hasil penelitian Darmawan, Rusastra dan Sjafa’at (1984) menunjukkan bahwa permintaan minyak bersifat kurang elastis terhadap perubahan Hasil penelitian Darmawan, Rusastra dan Sjafa’at (1984) menunjukkan bahwa permintaan minyak bersifat kurang elastis terhadap perubahan

Kuntjoro (1984) menyatakan bahwa rumah tangga yang berpendapatan lebih tinggi memperlihatkan daya konsumsi yang inelastis dengan pangan nabati, tetapi elastis terhadap pangan hewani dan sebaliknya bagi tingkat pendapatan rendah. Sementara itu, umumnya pangan bersifat kurang elastis baik di kota maupun di desa.

Tabor (1988) diacu dalam Daris (1993) menyatakan bahwa elastisitas pendapatan dan elastisitas harga dari komoditi kedelai cukup tinggi dibandingkan dengan bahan pokok yang mengandung energi yang tinggi. Permintaan menjadi sangat sensitif terhadap perubahan harga kedelai bagi bahan makanan pokok yang berprotein tinggi. Rosegrant (1987) diacu dalam Daris (1993) menyatakan bahwa elastisitas permintaan terhadap harga kedelai bersifat inelastis yang bertanda negatif dan terhadap pendapatan juga bersifat inelastis namun dengan tanda positif.

Hasil penelitian Utari (1996) dengan menggunakan AIDS menemukan bahwa elastisitas harga daging menunjukkan tanda negatif, sejalan dengan fungsi permintaan yang mempunyai arah yang negatif. Elastisitas harga daging mempunyai nilai yang lebih kecil dari satu, yaitu masing-masing -0.65 dan -0.41 untuk daerah desa dan kota. Berdasarkan kelas pendapatan, walaupun tidak konsisten, elastisitas harga semakin tinggi dengan semakin tingginya tingkat pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa bagi rumah tangga berpendapatan tinggi, harga bukan merupakan kendala untuk mengkonsumsi daging. Koefisien elastisitas silang yang bertanda negatif menunjukkan adanya hubungan yang bersifat komplementer antara daging dengan ikan, telur, dan susu. Hal ini diduga karena terbatasnya pengeluaran pangan yang dialokasikan untuk pangan hewani sehingga kenaikan harga salah satu pangan hewani akan menurunkan permintaan terhadap pangan hewani lainnya.

Hasil penelitian Martianto (1995) menyebutkan bahwa daging ternak umunya responsif terhadap perubahan harga. Angka elastisitas harga sendiri bernilai negatif di seluruh wilayah. Dalam kaitannya dengan perubahan pendapatan, permintaan pangan hewani umumnya sangat responsif terhadap perubahan pendapatan karena komoditas pangan hewani, khususnya pangan hewani asal ternak, bersifat superior. Elastisitas harga silang daging ternak besar Hasil penelitian Martianto (1995) menyebutkan bahwa daging ternak umunya responsif terhadap perubahan harga. Angka elastisitas harga sendiri bernilai negatif di seluruh wilayah. Dalam kaitannya dengan perubahan pendapatan, permintaan pangan hewani umumnya sangat responsif terhadap perubahan pendapatan karena komoditas pangan hewani, khususnya pangan hewani asal ternak, bersifat superior. Elastisitas harga silang daging ternak besar

Selain hasil-hasil penelitian di atas, terdapat beberapa hasil studi permintaan pangan lain yang menggunakan metode analisis AIDS. Hasil tersebut ditampilkan dalam Tabel 1 dan 2. Tabel 1 Ringkasan hasil studi permintaan pangan terdahulu mengenai

elastisitas pendapatan dengan menggunakan metode analisis AIDS

Peneliti Komoditas

Wilayah

Kelas Pendapatan

ST

Hermanto Daging

D D (1996) D sapi+kerbau 2.10 0.90 0.45

KK

Utari (1996) K Daging - 0.99 0.95 0.99 0.97 0.99

D D 0.94 D 1.07 0.97 Dianarafah

- - (1999) Rachman

Kemalawaty Daging ternak 1.86 -

1.04 1.11 0.96 1.75 1.26 0.83 Mi/terigu

1.12 1.23 1.08 1.13 0.96 0.76 Daging

0.35 Keterangan: K=Kota; D=Desa; R=Rendah; S=Sedang; T=Tinggi

0.70 0.71 0.74 0.00 -0.05

Tabel 2 Ringkasan hasil studi permintaan pangan terdahulu mengenai elastisitas harga sendiri dengan menggunakan metode analisis AIDS

Peneliti Komoditas

Wilayah

Kelas Pendapatan

ST

Hermanto K Daging - - - -1.00 -0.91 -0.58

KK

D D (1996) D sapi+kerbau -1.69 -1.30 -0.61

Utari (1996) K Daging - -0.41 -0.65 -0.38 -0.40 -0.35

KK

D D -0.54 D -0.67 -0.63 Dianarafah

Beras -0.48 -0.24 -0.62 -0.81 -0.55 -0.26 (1999)

Jagung -1.43 -1.20 -1.32 -1.50 -0.76 -0.92 Kedelai

-1.70 -1.11 -2.41 -1.52 -1.61 -2.08 Daging

-0.09 -0.11 -0.07 -0.02 -0.08 -0.34 Kemalawaty Daging ternak -1.27

- - (1999) Rachman

Beras -0.64 -0.74 -0.55 -0.98 -0.70 -0.51 (2001)

Umbi-umbian -1.19 -1.11 -1.35 -1.38 -1.15 -0.70 Mi/terigu

-1.15 -1.20 -1.11 -1.27 -1.14 -1.07 Daging

-1.39 -1.56 -1.34 -2.74 -1.18 -8.77 Keterangan: K=Kota; D=Desa; R=Rendah; S=Sedang; T=Tinggi

Konsumsi Pangan

Enoch (1979) diacu dalam Husefra (1996) menyatakan bahwa konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Salah satu yang termasuk dalam faktor eksternal adalah pendapatan/pengeluaran. Pola konsumsi protein asal ternak antar wilayah dipengaruhi oleh komposisi pendidikan dan umur penduduk untuk pedesaan, sedangkan untuk perkotaan dipengaruhi oleh komposisi pendidikan dan tingkat pendapatan (Iwantoro 1987).

Suhardjo (1993) menyatakan bahwa peningkatan pendapatan mempunyai hubungan erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi pangan. Lebih lanjut, Sanjur (1982) mengemukakan bahwa pendapatan merupakan penentu utama yang berhubungan dengan kualitas makanan, yang berarti apabila pendapatan keluarga meningkat, mutu konsumsi keluarga akan meningkat. Caleindo (1979) diacu dalam Hardinsyah (1988) mengemukakan 2 hubungan pendapatan dengan konsumsi pangan, yaitu 1) peningkatan pendapatan akan berimplikasi pada peningkatan pengeluaran pangan secara absolut tetapi persentasenya cenderung menurun secara relatif sesuai dengan Hukum Engel dan 2) peningkatan pendapatan akan berimplikasi pada perubahan pola konsumsi pangan dan mengurangi konsumsi pangan inferior.

Pendapatan yang meningkat akan memungkinkan keluarga untuk membeli dan mengkonsumsi pangan yang lebih mahal. Selain itu, peluang untuk

mengkonsumsi beragam jenis pangan menjadi semakin tinggi. Tingkat pendapatan yang terbatas pada rumah tangga miskin menyebabkan perubahan pola makanan pokok ke barang-barang paling murah dengan jumlah yang berkurang (Irawan & Romdiati 2000). Hasil studi yang dilakukan Irawan (1999) menemukan bahwa mayoritas penduduk pedesaan cenderung merubah pola konsumsi makanan, baik kualitas (dari nasi ke jagung atau umbi-umbian) maupun kuantitas (dari 3 kali sehari menjadi 1 atau 2 kali sehari).

Hasil penelitian Fachrina (2005) menggunakan data Susenas 2002 menunjukkan bahwa secara umum, tingkat konsumsi energi rumah tangga di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Konsumsi beras cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun (Martianto & Ariani 2004). Konsumsi beras dan daging sapi per kapita di wilayah perkotaan lebih tinggi daripada wilayah pedesaan, lain halnya dengan konsumsi jagung yang lebih tinggi di pedesaan dibandingkan dengan di perkotaan. Pada tingkat nasional, konsumsi Hasil penelitian Fachrina (2005) menggunakan data Susenas 2002 menunjukkan bahwa secara umum, tingkat konsumsi energi rumah tangga di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Konsumsi beras cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun (Martianto & Ariani 2004). Konsumsi beras dan daging sapi per kapita di wilayah perkotaan lebih tinggi daripada wilayah pedesaan, lain halnya dengan konsumsi jagung yang lebih tinggi di pedesaan dibandingkan dengan di perkotaan. Pada tingkat nasional, konsumsi

Konsumsi protein hewani masih rendah, terutama bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Hal ini karena pada umumnya pangan hewani harganya mahal dan bahkan sebagian orang berpendapat bahwa jenis pangan ini dianggap barang mewah. Meskipun memiliki bahan pangan hewani, kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan menukarnya dengan jenis pangan yang lain (Atmojo & Rustiawan 1990). Konsumsi daging ternak berkisar antara 0.8 kg/kap/th hingga 10.6 kg/kap/th (Martianto 1995). Di wilayah perkotaan rata-rata konsumsi daging menurun dari 24 gr/kap/hr pada tahun 1997 menjadi 12 gr/kap/hr pada tahun 1998, sementara di wilayah pedesaan menurun dari 20 gr/kap/hr (1997) menjadi 10 gr/kap/hr (1998) (Latief, Atmarita, Minarto, Basuni & Tilden 2000).

Hapsari (2005) menemukan bahwa konsumsi minyak goreng cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan dan konsumsinya lebih tinggi di perkotaan dibandingkan pedesaan. Perpaduan antara peningkatan konsumsi per kapita dan pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan permintaan minyak goreng untuk pangan rumah tangga semakin meningkat. Laju pertumbuhan total konsumsi minyak goreng sekitar 3,31 per tahun (Amang, Simatupang & Sjafa’at 1996).

Hasil analisis Susenas 1999 menunjukkan bahwa konsumsi tahu pada rumah tangga rawan pangan adalah sebesar 22.41 kg/kap/th di perkotaan dan

15.80 kg/kap/th di pedesaan. Adapun konsumsi tempe pada rumah tangga tersebut adalah sebesar 2.99 kg/kap/th di perkotaan dan 2.38 kg/kap/th di pedesaan (Saliem, Lokollo, Purwantini, Ariani dan Marisa 2001). Konsumsi tahu dan tempe di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan. Pada rumah tangga berpendapatan rendah maupun tinggi, pada sebelum, masa dan pasca krisis ekonomi, konsumsi tahu dan tempe menunjukkan tren yang selalu meningkat dengan nilai yang cukup besar hingga 34% (Martianto & Ariani 2004).

Tingkat partisipasi konsumsi pangan didefinisikan sebagai persentase rumah tangga contoh yang dilaporkan mengkonsumsi jenis pangan tertentu (Suyanto 1992 diacu dalam Purba 2004). Kegunaannya adalah untuk mengetahui mana di antara komoditas yang merupakan sumber utama zat gizi Tingkat partisipasi konsumsi pangan didefinisikan sebagai persentase rumah tangga contoh yang dilaporkan mengkonsumsi jenis pangan tertentu (Suyanto 1992 diacu dalam Purba 2004). Kegunaannya adalah untuk mengetahui mana di antara komoditas yang merupakan sumber utama zat gizi

Erwidodo, Santoso, Ariani, Ariningsih dan Siagian (1998) menyatakan bahwa tingkat partisipasi konsumsi protein hewani cenderung meningkat dari tahun 1987 sampai tahun 1993, kecuali daging kambing dan ayam kampung untuk wilayah perkotaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Erwidodo, Saliem, Ariani dan Ariningsih (1999) di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga yang membeli beras, jagung dan daging sapi untuk keperluan konsumsinya adalah masing-masing sebesar 60.8%, 50.0%, dan 91.7%, sementara untuk rumah tangga di Kabupaten Tanah datar berturut-turut sebesar 32.9%, 12.5% dan 100.0%. Martianto (1995) menemukan bahwa proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi hasil ternak lebih tinggi di wilayah kota dibanding desa.

5 persen dapat dinyatakan sebagai pola konsumsi pangan pokok. Dengan analog yang sama, pangan yang memiliki kontribusi protein ≥

Pangan yang memiliki kontribusi energi ≥

5 persen dapat dinyatakan sebagai pola konsumsi pangan sumber protein (BPS 1984 diacu dalam Martianto 1995). Kontribusi energi konsumsi minyak goreng di perkotaan lebih tinggi dibandingkan pedesaan (Hapsari 2005).

Mayrowani (1991) menemukan bahwa pangan yang dikonsumsi masyarakat diperoleh sebagian besar dari pembelian (59.8%). Selain itu, pangan

juga dapat diperoleh dari produksi sendiri (25.3%), dan pemberian dari orang lain (9.6%).

Pangsa pengeluaran pangan sering digunakan sebagai indikator kesejahteraan rumah tangga (Rachman & Erwidodo 1994; Ariani, Saliem, Hastuti, Wahida & Sawit 2000). Ariani et al. (2000) juga mengungkapkan bahwa pangsa pengeluaran juga sering digunakan sebagai indikator tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Secara lebih jelas, Tabel 3 menunjukkan bahwa ketahanan pangan dapat dicerminkan oleh kecukupan energi dan pangsa pengeluaran pangan. Semakin tinggi pangsa pengeluaran pangan, semakin rendah tingkat kesejahteraan dan ketahanan pangannya. Rumah tangga dapat dinyatakan miskin jika memiliki pangsa pengeluaran pangan ≥ 70% (BPS 1992). Menurut Soekirman (2000), rumah tangga miskin memiliki pangsa pengeluaran pangan antara 60-80%, sedangkan rumah tangga mampu memiliki pangsa pengeluaran pangan antara 20-59%.

Tabel 3 Ketahanan pangan: kecukupan energi dan pangsa pengeluaran pangan Konsumsi energi per unit

Pangsa pengeluaran pangan ekuivalen dewasa

Rendah

Tinggi

(>60% pengeluaran total) Cukup (> 80% syarat

( ≤ 60% pengeluaran total)

Rentan pangan kecukupan energi) Kurang ( ≤ 80% syarat

Tahan pangan

Rawan pangan kecukupan energi) Sumber: Jonsson dan Toole (1991) diacu dalam Maxwell et al. (2000) diacu dalam Saliem et al. (2001)

Kurang pangan

Rachman dan Erwidodo (1994) menyatakan mengenai Hukum Working, yaitu pangsa pengeluaran pangan memiliki hubungan yang negatif dengan pengeluaran rumah tangga. Mayrowani (1991) menemukan bahwa di Jawa Barat, pengeluaran pangan masih mendominasi pengeluaran rumah tangga, yaitu sebesar 53.1%.

Suhardjo (1989) berpendapat bahwa pengeluaran pangan rumah tangga dipengaruhi salah satunya oleh pendapatan rumah tangga (semua sumber). Pendapatan rumah tangga dapat dilihat dari tingkat pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan pangan dan non pangan. Pada kondisi tidak tersedianya data pendapatan, pendapatan dapat didekati dari pengeluaran total (Fachrina 2005).

Bila tingkat pendapatan rendah, maka kebutuhan pangan cenderung lebih dominan dibandingkan dengan kebutuhan non pangan. Sebaliknya, bila pendapatan semakin baik, maka pengeluaran untuk non pangan akan semakin besar, mengingat semua kebutuhan pokok untuk makan sudah terpenuhi. Dengan kata lain, pendapatan yang meningkat akan mendorong terjadinya pergeseran pola konsumsi (Husaini, Widodo, Triwinarto & Saliman 2000; Hapsari 2005). Hal ini sesuai dengan Hukum Engel, pada saat terjadi peningkatan pendapatan, konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan persentase yang semakin kecil. Sebaliknya, bila pendapatan menurun, persentase yang dibelanjakan untuk pangan semakin meningkat (Soekirman 2000).

Berg (1986) menyatakan bahwa pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli. Keluarga dengan tingkat pendapatan tinggi dapat membeli pangan dengan lebih beragam dan jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan keluarga yang pendapatannya rendah. Pernyataan ini senada dengan hasil penelitian Martianto, Briawan dan Dwiriani (1993) di Propinsi Maluku, bahwa peningkatan pendapatan bagi kelompok berpendapatan rendah akan meningkatkan pengeluaran untuk pangan pokok. Sebaliknya, bagi kelompok berpendapatan tinggi, pengeluaran untuk Berg (1986) menyatakan bahwa pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli. Keluarga dengan tingkat pendapatan tinggi dapat membeli pangan dengan lebih beragam dan jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan keluarga yang pendapatannya rendah. Pernyataan ini senada dengan hasil penelitian Martianto, Briawan dan Dwiriani (1993) di Propinsi Maluku, bahwa peningkatan pendapatan bagi kelompok berpendapatan rendah akan meningkatkan pengeluaran untuk pangan pokok. Sebaliknya, bagi kelompok berpendapatan tinggi, pengeluaran untuk

Daud (1986) menyatakan bahwa pola konsumsi dapat dicerminkan oleh pangsa pengeluaran pangan yang berbeda antara kota dan desa. Selanjutnya, besar kecilnya pengeluaran pangan dapat dipakai sebagai acuan untuk melihat tingkat konsumsi zat gizi, walaupun tidak akurat. Hal ini karena semakin besar pengeluaran pangan belum tentu diikuti oleh peningkatan tingkat konsumsi zat gizi apabila harga dari pangan tersebut mengalami kenaikan (Ariani & Saliem 1992).

Hasil studi yang dilakukan Irawan (1998) menemukan bahwa penurunan tajam pada pendapatan menyebabkan banyak rumah tangga mengalami kesulitan untuk membeli makan yang selanjutnya berakibat pada berubahnya pola pengeluaran konsumsi. Proporsi untuk kebutuhan pangan lebih besar dibandingkan untuk kebutuhan non pangan, seperti kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Irawan dan Romdiati (2000) menjelaskan bahwa proporsi pengeluaran untuk pangan yang lebih besar daripada non pangan dapat dijelaskan atas dua alasan. Pertama, meningkatnya porsi konsumsi pangan tidak selalu mengindikasikan perbaikan pada kandungan energi dan protein yang dikonsumsi oleh setiap individu dalam suatu rumah tangga. Kedua, semakin kecilnya porsi konsumsi non pangan juga berarti berkurangnya pengeluaran untuk kebutuhan-kebutuhan non pangan yang paling esensial, khususnya kebutuhan dasar untuk kesehatan dan pendidikan anak.

Hasil penelitian Saliem et al. (2001) menunjukkan bahwa rata-rata (kota dan desa) kelompok rumah tangga tahan pangan di Indonesia pada tahun 1999 mengalokasikan 45 persen pengeluarannya untuk kebutuhan pangan dengan total pengeluaran rata-rata lebih dari satu juta rupiah per kapita per bulan. Pada kondisi ekstrim, kelompok rumah tangga rawan pangan dengan rata-rata total pengeluaran sekitar Rp 506.000 per kapita per bulan mengalokasikan lebih dari

70 persennya untuk kebutuhan pangan. Keragaan pangsa pengeluaran rumah tangga tersebut secara tidak langsung dapat mengungkap mutu pangan yang dikonsumsi oleh

tangga. Dengan mengasumsikan harga-harga pangan yang dihadapi oleh masing-masing

masing-masing kelompok

rumah rumah

Secara umum, pengeluaran pangan di tiap propinsi lebih besar di wilayah pedesaan daripada wilayah perkotaan, sedangkan pengeluaran non pangan di wilayah perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah pedesaan. Hal ini terjadi karena kehidupan di perkotaan memerlukan pengeluaran yang lebih beragam dibandingkan di wilayah pedesaan (Irawan 2002; Hapsari 2005). Menurut Ariani et al. (2000), secara absolut, pedesaan memiliki tingkat pendapatan yang lebih rendah dibandingkan perkotaan.

Hasil penelitian Hapsari (2005) menemukan bahwa pangsa pengeluaran minyak goreng di pedesaan lebih tinggi dibanding perkotaan. Lebih lanjut, Ariani et al. (2000) menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran minyak goreng terhadap pengeluaran pangan untuk golongan pendapatan rendah cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan golongan pendapatan lainnya. Martianto (1995) menyatakan bahwa secara rata-rata, rumah tangga di wilayah kota mengalokasikan pengeluaran untuk pangan hewani dua kali lebih besar dibandingkan rumah tangga di wilayah desa.

Salah satu parameter untuk menilai tingkat keanekaragaman pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH). PPH juga notabene dapat menjadi cermin kualitas konsumsi pangan masyarakat. Prinsip PPH tidak hanya memenuhi kecukupan gizi tetapi sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung oleh cita rasa, daya terima masyarakat, kuantitas, dan daya beli.

Badan Urusan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian, pada tahun 2000, melakukan diskusi lintas subsektor yang terkait dengan pangan dan gizi tentang harmonisasi PPH dengan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Penyempurnaan tersebut mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: 1) persentase energi untuk PPH dihitung terhadap Angka Kecukupan Energi (AKG), 2) rating/bobor disempurnakan sesuai teori rating, 3) skor maksimum PPH adalah 100, 4) peran pangan hewani, gula, serta sayur dan buah disesuaikan dengan PUGS, 5) peran umbi-umbian ditingkatkan sejalan dengan kebijakan diversifikasi pangan pokok dan pengembangan pangan lokal, dan 7) peran makanan lainnya, terutama bumbu dan minuman lainnya, tidak dinihilkan. Tabel 2 menunjukkan perbandingan PPH FAO-RAPA, Menteri Negeri Pangan 1994, dan Departemen Pertanian 2001 (Hardinsyah, Baliwati, Martianto, Rachman, Widodo & Subiyakto 2001).

Tabel 4 Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg Pangan 1994, dan Deptan 2001

No. Kelompok

Deptan (2001) Pangan

FAO-RAPA

Meneg Pangan (1994)

% Bobot Skor 1 Padi-padian

50.0 0.5 25.0 50.0 0.5 25.0 2 Umbi- umbian

40.0 40.0-60.0

5.0 0.5 2.5 6.0 0.5 2.5 3 Pangan hewani

5.0 0.0-8.0

15.3 2.0 30.6 12.0 2.0 24.0 4 Minyak dan lemak

20.0 5.0-20.0

10.0 1.0 10.0 10.0 0.5 5.0 5 Buah/biji berminyak

10.0 5.0-15.0

3.0 0.5 1.5 3.0 0.5 1.0 6 Kacang- kacangan

6.7 0.5 3.4 5.0 0.5 2.5 8 Sayur dan buah

8.0 2.0-15.0

5.0 2.0 10.0 6.0 5.0 30.0 9 Lain-lain

5.0 3.0-8.0

3.0 0.0-5.0

KERANGKA PEMIKIRAN

Permintaan pangan bersifat dinamis, antara lain dapat berubah akibat perubahan pengetahuan gizi, pendapatan, harga pangan (harga pangan tersebut dan harga pangan lain), preferensi, dan karakteristik pangan. Keragaan permintaan pangan strategis dilihat melalui variabel konsumsi pangan strategis dan elastisitas permintaan pangan strategis. Variabel yang termasuk ke dalam komponen konsumsi pangan strategis secara kuantitas adalah jumlah konsumsi pangan strategis, tingkat partisipasi konsumsi pangan strategis, konsumsi pangan strategis berdasarkan sumber perolehan, kontribusi energi dan protein pangan strategis, dan pangsa pengeluaran pangan strategis. Secara kualitas, konsumsi pangan strategis dicerminkan dengan skor PPH. Ukuran kuantitatif yang dapat menunjukkan besarnya pengaruh perubahan harga atau faktor-faktor lainnya terhadap perubahan permintaan pangan strategis merupakan elastisitas permintaan pangan strategis. Elastisitas permintaan dapat dibedakan menjadi elastisitas harga sendiri, elastisitas silang, dan elastisitas pendapatan.

Seberapa besar pengaruh perubahan harga pangan dan pendapatan terhadap permintaan pangan oleh masyarakat memberikan implikasi. Hal ini perlu dikaji karena merupakan informasi penting bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan perbaikan konsumsi pangan masyarakat. Di tengah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), perubahan iklim dunia yang berpengaruh terhadap produksi pangan dan kompetisi penggunaan pangan, pakan, dan bahan bakar (biofuel) yang berakibat pada kenaikan harga pangan serta peningkatan jumlah penduduk miskin, maka analisis terhadap pengaruh harga dan pendapatan terhadap konsumsi pangan tersebut perlu untuk dilakukan. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini digolongkan menurut wilayah (nasional, pedesaan, dan perkotaan) dan kelas pendapatan (rendah, sedang, dan tinggi).

Pengetahuan

Karakteristik Gizi

Harga

Pangan Pendapatan

Pangan

Preferensi

PERMINTAAN PANGAN STRATEGIS

 KONSUMSI PANGAN STRATEGIS Jumlah Konsumsi Pangan Strategis

Tingkat Partisipasi Konsumsi Pangan Strategis Konsumsi Pangan Strategis berdasarkan Sumber Perolehan Kontribusi Energi dan Protein Pangan Strategis

Energi: beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, terigu dan turunannya

(mi instan dan mi basah), gula pasir, minyak goreng Protein: kedelai dan daging sapi Pangsa Pengeluaran Pangan Strategis Kualitas Konsumsi Pangan (Skor PPH)

 ELASTISITAS PERMINTAAN PANGAN STRATEGIS Elastisitas Harga Sendiri

Elastisitas Silang Elastisitas Pendapatan

Implikasi untuk Kebijakan Perbaikan Konsumsi Pangan Masyarakat

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Elastisitas Permintaan Pangan Strategis

Keterangan:

Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Bogor pada bulan Maret hingga Juni 2008. Pengolahan data dilakukan di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian yang bertempat di Jalan Jend. A. Yani No. 70 Bogor. Pengolahan data dilakukan selama dua bulan, yaitu bulan Maret hingga April 2008.

Sumber dan Jenis Data

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2005 yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data tersebut berupa data dasar (raw data) dalam bentuk CD sehingga dapat diolah sesuai dengan keperluan analisis.

Susenas merupakan survei rumah tangga yang dirancang untuk mengumpulkan data sosial ekonomi yang sangat luas dengan lingkup nasional. Kerangka sampel yang digunakan adalah blok sensus. Suatu blok sensus harus memenuhi kriteria seperti berikut: (1) setiap wilayah desa/kelurahan dibagi habis menjadi beberapa blok sensus, (2) blok sensus harus mempunyai batas-batas yang jelas/mudah dikenali baik batas alam maupun buatan (RT, RW, dan sebagainya), dan (3) satu blok sensus harus terletak dalam satu hamparan.

Kategori data kategori data yang terdapat dalam Susenas terdiri dari 2 set, yaitu: (1) variabel pokok yang disebut dengan Kor, yang terdiri dari data karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dan kelompok pangan serta pendapatan; dan (2) variabel sasaran yang disebut dengan Modul, yang terdiri dari data konsumsi pangan rumah tangga secara terperinci dan lengkap. Data Kor dikumpulkan setiap tahun sekali, sedangkan data Modul dikumpulkan setiap tiga tahun sekali.

Data konsumsi pangan yang disajikan dalam Modul Susenas mencakup 214 jenis pangan dan 104 jenis bukan pangan. Data konsumsi pangan terdapat dalam bentuk data kuantitas dan nilainya. Selain itu, dari Modul Susenas juga dapat diperoleh data harga pangan. Data bukan pangan umumnya hanya berupa besar pengeluarannya kecuali untuk beberapa jenis pengeluaran tertentu, seperti listrik, air, gas, arang dan bahan bakar minyak (BBM) yang dikumpulkan kuantitasnya (BPS 2004). Pengelompokan dan jumlah jenis pangan Susenas 2005 yang digunakan dalam penelitian ini terdapat pada Tabel 5.

Tabel 5 Pengelompokan dan jumlah jenis pangan dalam data Susenas 2005

No Kelompok Pangan Jumlah Jenis Pangan

3 Ikan/udang segar

4 Ikan/udang diawetkan

5 Daging segar

6 Daging diawetkan dan lainnya

7 Telur dan susu

11 Minyak dan lemak

12 Bahan minuman

13 Bumbu-bumbuan

14 Konsumsi lainnya

15 Makanan dan minuman jadi