Pelabuhan Air Bangis Sumatera Barat Pada Abad XIX Hingga Awal Abad XX

(1)

BAB II

KEADAAN PELABUHAN AIR BANGIS SUMATERA BARAT PADA ABAD XVII DAN XVIII

2.1 Kondisi Geografis dan Demografis

Kawasan Air Bangis8 berada di pesisir Pantai Barat Sumatera dan merupakan bagian utara dari wilayah administratif Gouvernement Sumatra’s Westkust. Batas-batas kawasan Air Bangis yakni di sebelah utara berBatas-batasan dengan Sungai Tapus, sebelah timur berbatasan dengan pegunungan Bukit Barisan9 yang membelakangi wilayah Tapanuli dan Siak, sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Residentie van Padang, dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia.10

Kawasan Air Bangis memiliki satu pelabuhan yang sangat indah. Pelabuhan Air Bangis ini menawarkan muara sungai yang lebar dan teluk yang aman bagi kapal-kapal yang hendak berlabuh di wilayah ini.11 Wilayah Pelabuhan Air Bangis

8 Nama Air Bangis muncul sekitar abad XVII, diberikan oleh seseorang dari rombongan Kerajaan Indrapura yang berlayar ke kawasan utara Pantai Barat Sumatera untuk mencari daerah baru. Rombongan tersebut mendarat disuatu tempat dan menemukan sebatang pohon Bangei di muara sungai, maka setelah mereka menetap, daerah yang mereka temukan itu diberi nama Air Bangis. Ketika bangsa Eropa datang, mereka menamakan daerah Air Bangis dengan nama Ayer Bangies dalam catatan-catatan perjalanan mereka. Orang Minang menyebut daerah Air Bangis dengan nama Aia Bangih (Air Bengis) yakni air yang marah, karena berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Lihat tulisan M. Nur, dkk., Dinamika Pelabuhan Air Bangis dalam Lintasan Sejarah Lokal Pasaman Barat, Padang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2004, hal. 91.

9 Pegunungan Bukit Barisan memiliki ketinggian berkisar antara 1000-1200 dpl. Lihat W. H. de Vriese, De Kamferboom van Sumatra, Leiden: H.R. De Bruek, 1851, hal. 39.

10 M. D. Teenstra, Beknopte Beschrijving van de Nederlandsch Overzeesche Bezittingen, Tweede Stuk, Groningen: J. Omskens & J. Zoon, 1852, hal. 345.

11 Arsip Sumatra’s Westkust (Swk.), No. 125/6, Algemeene VerslagSumatra’s Westkust 1837, ANRI; dan J. C. M. Radermacher, Beschryving van het Eiland Sumatra, In Zo Verre het Zelve Nog Toe Bekend Is, [s.l.] : [s.n], 1781,hal. 51.


(2)

merupakan wilayah yang berawa-rawa dengan pertumbuhan hutan yang sedang,12

tetapi memiliki perairan yang cukup dalam dan luas.

Lokasi Pelabuhan Air Bangis pada awalnya terpusat di muara Sungai Air Bangis dan Sungai Sikabau yang hulunya terletak di Gunung Malintang. Sungai Air Bangis memiliki lebar muara sekitar 50 meter, sehingga dapat dilayari kapal-kapal penduduk ke daerah hinterland seperti ke Ujung Gading.13 Namun seiring

berjalannya waktu, kawasan muara Sungai Air Bangis tidak mampu lagi menampung kapal-kapal berukuran besar yang hendak berlabuh di wilayah ini. Adapun hal penyebabnya adalah adanya endapan lumpur yang mengakibatkan terjadinya penyempitan dan pendangkalan di muara sungai, selain itu juga disebabkan banyaknya kapal-kapal penduduk yang hilir mudik ke daerah hinterland dan berlabuh di wilayah ini.

Pelabuhan Air Bangis lalu dikembangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, dengan menjadikan wilayah perairan teluk Air Bangis sebagai pelabuhan untuk kapal-kapal besar dengan dermaga Pulau Panjang, sedangkan kawasan muara Sungai Air Bangis dan Sungai Sikabau untuk menampung kapal-kapal atau perahu kecil yang hilir mudik mengangkut komoditas ekspor daerah hinterland ke Pelabuhan Air Bangis. Berikut gambar pelabuhan muara Air Bangis dan kapal atau perahu penduduk yang sedang berlayar di Sungai Air Bangis.

12 H. L. Osthoff, Topograpische Scetsen van Sumatra, Batavia: [s.n.], 1851, hal. 138-140. 13 Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, Jogjakarta, 2007, hal. 23-24; dan J. C. M. Radermacher, op.cit., hal. 51.


(3)

Gambar 1.

Pelabuhan Muara Air Bangis

Sumber: Arsip KITLV Leiden, Colllection KITLV, Digital Image Library. (diakses dari www.kitlv.nl)

Gambar 2.

Kapal Penduduk yang Berlayar di Sungai Air Bangis

Sumber: Arsip KITLV Leiden, Colllection KITLV, Digital Image Library. (diakses dari www.kitlv.nl)


(4)

Teluk Air Bangis memiliki luas 7 K.M. dengan kedalaman 6-8 depa ketika air surut dan tergolong aman dari terjangan keganasan ombak Samudera Hindia.14 Hal ini dikarenakan adanya pulau-pulau kecil yang menghambat laju ombak samudera langsung ke kawasan pantai Air Bangis. Salah satu pulau yang terkenal adalah Pulau Panjang.15 Namun rangkaian pulau yang terdapat di kawasan barat Pelabuhan Air Bangis tidak sepenuhnya berhasil melindunginya dari terjangan ombak Samudera Hindia yang terkenal besar dan kuat. Para ahli mencatat terjadi pengikisan pantai (abrasi) oleh laut sejauh 20 cm. Rata-rata tinggi gelombang yang menghantam Pantai Barat Sumatera adalah 220 cm. Ombak yang besar tersebut disebabkan oleh hamparan laut bebas juga dikarenakan oleh kuatnya hembusan angin di daerah ini.16

Secara astronomis Pelabuhan Air Bangis terletak pada titik koordinat 0° 11' 0" Lintang Utara dan 99° 9' 50" Bujur Timur.17 Letak Pelabuhan Air Bangis yang berdekatan dengan garis khatulistiwa memberi daerah ini iklim tropis maritim dengan ciri-ciri khusus, seperti suhu yang tinggi, kelembaban yang relatif besar, pembentukan awan yang moderat dan gerak angin yang sedang.18

14 S. Muller dan L. Horner, Reizen en onderzoekingen in Sumatra, Gedaan Op Last der

Nederlandsche Indische Regering, Tusschen de Jaren 1833 en 1838, ‘s-Gravenhage: K. Fuhri, 1855, hal. 63-64; dan lihat juga P. H. van der Kemp, Eene Bijdrage Tot E. B. Kielstra’s Opstellen Over

Sumatra’s Westkust, ‘s-Gravenhage: [s.n.], 1894, hal. 84.

15 Selain Pulau Panjang, terdapat Pulau Harimau, Pulau Tello, Pulau Pigago, Pulau Unggas, Pulau Tamiang, dan Pulau Pangka, yang melindungi teluk Air Bangis dari terjangan langsung ombak Samudera Hindia. Lihat J. E. Teijman, Dagverhaal Eener Botanischereis over de Westkust van Sumatra, Batavia: [s.n], 1857, hal. 125-126.

16 Gusti Asnan, 2007, op.cit., hal. 27.

17 M. D. Teenstra, op.cit., hal. 350; dan S. Muller dan L. Horner, op.cit., hal. 63.

18 Adrian B. Lapian, Orang Laut Bajak Laut Raja Laut, Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad


(5)

Di wilayah Pelabuhan Air Bangis dan juga kawasan sepanjang perairan Pantai Barat Sumatera tidak ditemui angin musim yang berpola tetap seperti yang terjadi di kawasan Indonesia pada umumnya. Posisi kawasan ini yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, relatif terbebas dari tekanan udara yang diakibatkan oleh arus panas dari Benua Asia dan Benua Australia serta dibagi dua oleh garis equator merupakan penyebab utama penyimpangan pola angin musim di kawasan ini. Daerah Pelabuhan Air Bangis sampai ke daerah Singkel di utara merupakan daerah perbatasan musim. Kawasan Singkil ke utara hingga posisi 2° Lintang Utara dipengaruhi oleh angin musim barat daya dan timur laut. Angin barat daya bertiup dengan keras antara bulan Mei hingga September. Dari bulan Desember hingga bulan Maret bertiup angin timur laut, sedangkan antara bulan Maret hingga Mei dan bulan September hingga Desember merupakan bulan pergantian arah angin di daerah ini. Daerah yang terletak di selatan Air Bangis hingga Selat Sunda bertiup angin musim Samudera Hindia, yakni musim barat laut dan tenggara. Dari bulan April hingga Oktober di kawasan ini berhembus angin musim tenggara dan antara bulan Oktober hingga April berhembus angin musim barat laut.19 Tingkat curah hujan di kawasan

Pelabuhan Air Bangis mencapai rata-rata 3.012 mm per tahun.20

Keterangan tentang keadaan penduduk di kawasan Air Bangis masih fragmentaris. Pada abad XVII kawasan Air Bangis didiami oleh dua suku bangsa

19 William Marsden, Sejarah Sumatra, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, hal. 21-22; dan Gusti Asnan, op.cit., hal. 27-28.

20Encyclopedie van Nederlandsch-Indie (ENI), Deel I A-G. ‘s-Gravenhage-Leiden: Martinus Nijhoof – E . J. Brill, 1917 hal. 25.


(6)

utama yang menetap yaitu Minangkabau dan Mandailing. Di samping itu dapat pula ditemui kelompok masyarakat yang lain seperti Aceh, Nias, Mentawai, Pak-Pak, Toba, Arab, India, Cina, Belanda, Inggris, Prancis, dan Amerika.21 Pada periode

berikutnya kelompok masyarakat ini bertambah beragam oleh kedatangan suku bangsa Jawa, Bugis, dan lain sebagainya.22 Kelompok masyarakat tersebut silih berganti berdatangan ke Air Bangis dalam kegiatan perdagangan dan pelayaran.

Sumber-sumber tentang kepadatan penduduk kawasan Air Bangis pada Abad XVII hingga XVIII sulit didapatkan. Hal ini dikarenakan kondisi kawasan Air Bangis pada periode tersebut sering diperebutkan dan pemerintah yang berkuasa di Air Bangis hanya mementingkan keuntungan. Hal ini tidaklah mengherankan karena kawasan hinterland Pelabuhan Air Bangis kaya akan hasil lada dan emas.

Adapun perkiraan kepadatan penduduk yang bermukim di kawasan Pelabuhan Air Bangis pada abad XVII hingga XVIII berkisar sekitar 3.000 jiwa.23 Data tersebut

merupakan hasil penghitungan keseluruhan penduduk tanpa membedakan etnis, sehingga pada periode tersebut tidak didapat data tentang berapa jumlah penduduk setempat dan pendatang.

Keberagaman etnik yang mendiami kawasan Pelabuhan Air Bangis menyebabkan masyarakatnya hidup dalam kebersamaan. Kondisi seperti ini banyak menimbulkan perkawinan campur, baik antar penduduk setempat maupun pendatang

21 Bernard H. M. Vlekke. Nusantara A History of Indonesia, The Hague: W. van Houve, 1965, hal. 87, 298, dan 319.

22 Gusti Asnan, op.cit., hal. 31. 23 Swk., op.cit., no. 125/6.


(7)

dengan orang asing (Eropa). Hasil kawin campur dengan orang-orang asing ini melahirkan masyarakat baru yang sering disebut orang Indo. Kaum Indo di kawasan Pelabuhan Air Bangis sangat banyak, dan mereka lebih cenderung berbudaya barat. Salah satu diantara kaum Indo ini bernama Arnold Snackey, ayahnya seorang Eropa dan ibunya anak Dt. Mudo (salah seorang penghulu di Air Bangis).24

Untuk berinteraksi dalam kegiatan perdagangan, penduduk di kawasan Pelabuhan Air Bangis menggunakan bahasa Melayu sebagai alat komunikasi. Namun Bahasa Melayu di kawasan Pelabuhan Air Bangis tidak seperti bahasa Melayu umumnya karena mengalami sedikit perubahan.25 Bahasa Melayu kawasan ini merupakan gabungan dari beberapa bahasa seperti bahasa Minangkabau, Aceh, Mandailing, Angkola, Toba dan lain sebagainya, sehingga membentuk satu kesatuan bahasa baru yang sampai sekarang masih tetap ada dan dikenal dengan bahasa Melayu Pesisir. Tidak itu saja, adat Melayu yang dipakai masyarakat Air Bangis juga mengalami perubahan dan tercipta tradisi baru.26 Perubahan budaya ini terlihat berbeda dengan budaya Melayu pada umumnya ketika diadakan upacara-upacara adat seperti acara perkawinan, pergantian kepala penghulu dan lain sebagainya.27

24 Rusli Amran, Padang Riwayatmu Dulu. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya Offset, 1988, hal. 38-40.

25 H. L. Osthoff, op.cit., hal. 138-139. 26Ibid.

27 Contohnya dalam acara perkawinan. Di daerah Air Bangis sering terjadi amalgamasi (perkawinan antar suku bangsa yang berbeda) antara Minangkabau dan Mandailing yang memiliki adat perkawinan yang berbeda. Perkawinan antara dua suku ini mempengaruhi adat perkawinan sukunya masing-masing, sehingga melahirkan budaya baru. Adat perkawinan yang dipakai tetap adat

sumando (suami datang ke tempat istri), yang merupakan ciri khas Minangkabau, baik yang melakukan perkawinan itu orang Minangkabau dengan orang Mandailing, maupun sesama orang Mandailing itu sendiri. Walaupun orang Mandailing memakai adat perkawinan sumando, mereka tetap memakai marga sebagai identitas sukunya.


(8)

Masyarakat di Pelabuhan Air Bangis berprofesi sebagai pedagang, pelaut, distributor dan juga ada sebagai kuli angkut barang dari pelabuhan ke daerah hinterland. Biasanya barang yang diangkut ke daerah hinterland adalah garam, kain, tembikar, candu dan lain sebagainya. Adapun masyarakat di daerah hinterland Air Bangis berprofesi sebagai penambang emas, terutama daerah Rao, dan juga banyak diantara mereka sebagai petani lada.28

2.2 Hubungan Pelabuhan Air Bangis dengan Daerah Hinterland dan Foreland. Peranan pelabuhan sangat penting sebagai pusat aktivitas kegiatan kemaritiman. Artinya, berbicara tentang kemaritiman tidak bisa dilepaskan dengan masalah eksistensi dan fungsi dari pelabuhan. Ada hubungan antara pelabuhan dengan daerah hinterland, dan foreland dalam mendukung aktivitas pelabuhan itu.29

Aktivitas sebuah pelabuhan berawal dari pertemuan antara pedagang yang membutuhkan barang komoditi yang dimiliki oleh pedagang lain.30

Daerah hinterland dari Pelabuhan Air Bangis yaitu Ujung Gading, Simpang Empat, Kinali, Talu, Panti, Bonjol, Rau, Muara Sipongi, dan lain sebagainya.31 Daerah hinterland ini dihubungkan oleh jalan-jalan kecil yang sering dilewati kuda

28 Gusti Asnan, “Persaingan di Pantai Barat Sumatera”, dalam Taufik Abdullah dan A. B. Lapian (eds.), Indonesia dalam Arus Sejarah, Kolonisasi dan Perlawanan, Jilid IV, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2012, hal. 46; dan H.L. Osthoff, op.cit., hal. 138-139.

29 Singgih Tri Sulistiyono, Pengantar sejarah Maritim Indonesia, Jakarta: DIKTI-DEPDIKNAS, 2004, hal. 101-103.

30 Mhd. Nur, “Kota-kota Pelabuhan Nusantara dalam Perspektif Sejarah”, dalam Ikahimsi, Edisi I, No. 2 Juli-Desember 2011, hal. 61.


(9)

pedati dan pejalan kaki menuju Pelabuhan Air Bangis.32 Topografi daerah hinterland

ini berbukit-bukit dan lereng gunung yang curam karena berada dalam gugusan pegunungan Bukit Barisan.

Hubungan antara Pelabuhan Air Bangis dengan daerah hinterland terkait akan komoditas ekspor dan impor. Komoditas impor dari pelabuhan dibawa ke daerah hinterland untuk kepentingan masyarakat di daerah tersebut. Komoditas impor utama meliputi garam, lilin, tembikar, minyak tanah, candu (opium)33, dan alat-alat keperluan kapal. Adapun komoditas yang dihasilkan daerah hinterland dan diekspor melalui Pelabuhan Air Bangis adalah berupa hasil perkebunan lada,34 kopi, kapur barus, kemenyan, rotan, damar, dan emas.35 Secara jelas komoditas yang diperdagangkan antara daerah pesisir dengan daerah hinterland dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

32 S. Muller dan L. Horner, op.cit., hal. 64-65; dan Swk., op.cit., no. 125/6. 33

Praktek menghisap candu sudah sangat umum bagi masyarakat pribumi. Penjualan candu pada awalnya hak prerogatif kepala daerah setempat dan diawasi langsung oleh VOC. Namun periode berikutnya VOC memonopoli perdagangan candu dan orang-orang Cina dijadikan sebagai distributor candu ke daerah hinterland Sumatera. Lihat John Ball, Indonesian Legal History: British West Sumatra 1685-1825, Sydney: Oughtershaw Press, 1984,hal. 154-155.

34 Lada merupakan komoditi yang paling dicari oleh pedagang di Pantai Barat Sumatera. Kawasan hinterland Air Bangis merupakan daerah penghasil lada, dan daerah ini merupakan daerah kekuasaan Aceh. Ketika terjadi perebutan kekuasaan antara Aceh dengan VOC untuk memonopoli perdagangan lada, Aceh sebagai penguasa awal di daerah-daerah kota Pantai Barat Sumatera melarang masyarakat untuk melakukan perdagangan dengan bangsa Eropa. Aceh juga membuat kebijakan bagi masyarakat untuk membumihanguskan sebahagian kebun lada agar lada tidak banyak dipasaran. Namun hal ini tidak diindahkan orang Cina. Orang Cina yang menetap di sana masih saja menanam lada di lahan-lahan pertanian disekitar tempat tinggal mereka dan menjualnya ke pihak Eropa karena harganya jauh lebih tinggi daripada dijual kepada orang Aceh. M. Nur, dkk., op.cit., hal. 31.

35 Adolph Eschels-Kroon, Beschryving van Het Eiland Sumatra, Inzonderheid Ten

Aanzienvan Deszelfs Koophandel, Harlem: C. H. Bohn en Zoon, 1783, hal. 19-20 dan 50. Baca juga tulisan Jane Drakard, A Malay Frontier Unity And Duality In A Sumatran Kingdom, New York: Cornell University Ithaca, 1990, hal. 33.


(10)

Tabel 1.

Komoditas Perdagangan antara Daerah Pesisir dengan Hinterland Daerah Pesisir

Atap nipah Ikan Kering Minyak tanah

Baki Kain dan Kapas Nampan

Barang-barang dari besi Kelapa Opium

Barang-barang dari kulit Kain sarung Payung

Barang-barang dari perunggu Kertas Rokok nipah

Besi Kuda Sabun

Cangkir Mata uang Terasi

Garam Minuman keras Teh

Ikan asin Minyak makan Tikar rotan

Daerah Hinterland

Barang-barang dari besi Getah percha Kopi

Barang-barang dari emas Gula enau Kulit

Barang-barang dari perak Gula merah Padi

Beras Kain tenun Tanduk

Beras pulut Kapur barus Tembakau

Daun kopi (kahwa) Kapur sirih Tembikar

Gambir Kemenyan Rotan

Emas Madu

Sumber: Arsip Sumatra’s Westkust (Swk.), No. 127, “Administratief Verslag van het

Gouvernement Sumatra’s Westkust” (di rangkum dari beberapa laporan tahunan); Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, Jogjakarta: Ombak, 2007, hal. 377-378; dan Tome Pires, Suma Oriental: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina & Buku Francisco Rodrigues, Yogyakarta: Ombak, 2014, hal. 194.


(11)

Komoditas tersebut, baik yang dibawa ke daerah hinterland maupun keluar menuju Pelabuhan Air Bangis, diangkut dengan menggunakan pedati-pedati yang ditarik oleh kuda dan juga kerbau. Namun terdapat juga kuli panggul karena keterbatasan pedati dari daerah hinterland, dan juga disebabkan oleh jalanan yang rusak parah dan berlubang serta sempit dan licin.36 Keadaan ini juga disebabkan topografi alam kawasan hinterland Air Bangis yang berbukit-bukit, sehingga perjalanan dari daerah hinterland menuju Pelabuhan Air Bangis memakan waktu antara 6-10 hari,37 tergantung berapa jauh daerah hinterland tersebut dengan

Pelabuhan Air Bangis.38 Komoditas yang dibawa ke Pelabuhan Air Bangis ditumpuk di gudang penyimpanan yang ada di pelabuhan sebelum dijual kepada para pedagang yang berasal dari luar daerah.

Hubungan Pelabuhan Air Bangis dengan daerah foreland terkait dengan aktivitas pelayaran dan perdagangan. Daerah foreland dari Pelabuhan Air Bangis yaitu pulau-pulau yang mengitari teluk Air Bangis seperti Pulau Panjang, Pulau Harimau, Pulau Tello, Pulau Pigago, Pulau Unggas, Pulau Tamiang, dan Pulau Pangka, dan pulau-pulau yang termasuk gugusan kepulauan Batu yang berada di Samudera Hindia. Selain itu kota-kota pantai baik di selatan maupun di utara memberi peranan penting bagi Pelabuhan Air Bangis seperti Padang, Tiku, Pariaman, Sasak, Natal, dan Barus.

36 S. Muller dan L. Horner, op.cit., hal. 64-65. Lihat juga tulisan A. Pruys van der Houven,

Een Woord Over Sumatra In Brieven Verzameld en Uitgegeven, Rotterdam: H. Nijgh, 1864, hal. 22. 37 Gusti Asnan, 2007, op.cit., hal. 30.

38 C.W. Janssen, Die Hollandische Kolonialwirthschaft In den Battalandern, Strassburg: Karl J. Trubner, 1886, hal. 38.


(12)

Pulau Panjang memainkan peran sebagai tempat bersandar kapal-kapal besar yang memasuki teluk Air Bangis. Di pulau ini terdapat perkampungan, dermaga, pos militer, menara suar dan gudang penyimpanan barang. Barang-barang dari Pulau Panjang dibawa ke muara Sungai Sikabau dengan menggunakan kapal atau perahu kecil untuk dipasarkan di kota Air Bangis. Pulau Panjang berjarak 3 mil laut dari muara Sungai Sikabau.39 Pulau Panjang menyediakan air bersih untuk persediaan

kapal besar selama berlayar. Pulau Panjang juga penghasil kelapa, kopra, minyak kelapa, dan hewan ternak kerbau.40

Posisi Pelabuhan Air Bangis yang berada di pertengahan jalur pelayaran dan perdagangan Pantai Barat Sumatera memberikan keuntungan tersendiri bagi pelabuhan ini. Kapal-kapal yang berlayar dari utara (pelabuhan Barus dan Natal) menuju selatan (pelabuhan Tiku, Pariaman dan Padang) tetap akan melewati perairan Air Bangis. Kapal-kapal ini tidak hanya lewat, tetapi juga singgah untuk beristirahat (bahkan ada yang menetap) di pelabuhan ini dan melaksanakan aktivitas perdagangan di pasar-pasar Air Bangis. Berikut adalah komoditas yang diperdagangkan antar daerah pesisir Pantai Barat Sumatera dengan daerah seberangnya, tidak terkecuali Pelabuhan Air Bangis.

39 S. Muller dan L. Horner, op.cit., hal. 63-64 dan 79.

40 H. L. Osthoff, Beschrijving van Het Voorwater Langs De Westkust van Sumatra Tusschen

Padang en Tapanoly, Behoorende Bij De Kaart Opgenomen 1834-1838, Batavia: Landsdrukkerij, 1840, hal. 33.


(13)

Tabel 2.

Komoditas Perdagangan Antar Daerah Pantai Nama Komoditi

Alat-alat rumah tangga Gula merah Madu

Baki Ikan asin Minyak tanah

Barang-barang dari besi Ikan kering Opium

Barang-barang dari emas Kain tenun Padi

Barang-barang dari kulit Kain dan kapas Perlengkapan kapal

Barang-barang dari perak Kapur barus Perkakas dapur

Barang-barang dari perunggu Kapur sirih Perlengkapan tenun

Beras Kuda Rokok

Beras pulut Kelapa Rotan

Cangkir Kemenyan Tanduk

Gambir Kertas Tembakau

Getah damar Kopi Tembikar

Getah perca Kopra Tikar rotan

Gula enau Kulit

Sumber: Arsip Sumatra’s Westkust (Swk.), No. 152, “Maandrapporten van het

Gouvernement Sumatra’s Westkust” (di rangkum dari beberapa laporan tahunan dari 1853-1862); dan lihat juga Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, Jogjakarta: Ombak, 2007, hal. 378-379.

Komoditas dagang tersebut diangkut dengan kapal dagang, baik pribumi maupun bangsa asing, dari setiap pelabuhan ke pelabuhan lain di sepanjang Pantai Barat Sumatera. Pelabuhan Air Bangis yang strategis di tengah jalur pelayaran dan perdagangan Pantai Barat Sumatera memainkan peran sebagai penghubung daerah utara dan selatan, dan juga pemasok atau pendistribusi komoditas dagang tersebut ke pulau-pulau luar di Samudera Hindia.


(14)

Peta 1.

Wilayah Pelabuhan Air Bangis dan Daerah Hinterland-nya.


(15)

2.3 Persaingan Kekuasaan di Pelabuhan Air Bangis Abad XVII dan XVIII 2.3.1 Hegemoni dan Monopoli Dagang Aceh

Sejak penaklukan dan penguasaan Malaka oleh Portugis, Kesultanan Aceh tampil menjadi sebuah kekuatan politik dan ekonomi baru di kawasan barat dan timur Sumatera dan bahkan kawasan barat Semenanjung Malaya juga merasakan akibat kehadiran kesultanan baru ini.41 Portugis yang menguasai Malaka pada masa itu

terlibat konflik dan tidak menyukai pedagang-pedagang Arab, Gujarat, dan Persia. Sikap orang Portugis ini masih terkait dengan keagamaan (peristiwa perang Salib), sehingga orang Portugis menjuluki pedagang Islam di daerah timur dengan sebutan bangsa Moor. Akibatnya, pedagang Muslim tidak mau berlayar dan berdagang melewati selat Malaka dan mengubah jalur pelayaran melewati Pantai Barat Sumatera menuju Selat Sunda dan terus ke Pantai Utara Jawa.42 Situasi ini dimanfaatkan oleh Kesultanan Aceh untuk menanamkan hegemoni politik dan monopoli dagangnya di daerah Pantai Barat Sumatera.43

Ekspansi teritorial Kesultanan Aceh ke daerah pesisir timur dan barat Sumatera dimulai sejak pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al Qahhar (1539-1571) dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).44 Kota-kota Pantai Barat Sumatera seperti Daya, Labu, Singkel, Barus, Natal, Air Bangis, Pasaman, Tiku, Pariaman, Padang, dan Indrapura dalam pengaruh

41 Gusti Asnan, 2012, op.cit., hal. 51-52.

42 Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014, hal. 139.

43 M. D. Mansoer, dkk., Sedjarah Minangkabau, Djakarta: Bhatara, 1970, hal. 74-76; dan lihat juga Tomi Pires, op.cit., hal. 380-382.


(16)

Kesultanan Aceh, sedangkan wilayah Jambi, Bengkulu, Palembang sampai ke selatan Lampung masuk wilayah Kerajaan Banten. Dengan wilayah penguasaan yang begitu luas pada abad XVII, Sultan Aceh dijuluki raja Pulau Sumatera.45

Dalam mengikat wilayah vasalnya, Aceh melakukan perkawinan politik, ikatan sosial-religius, dan pendekatan budaya. Keluarga Kesultanan Aceh melakukan perkawinan dengan putri maupun putra penguasa kota pantai dengan tujuan menjalin hubungan baik antara ke dua belah pihak.46 Dalam pendekatan budaya, Aceh menggunakan unsur budaya Islam. Ulama dan pembesar Aceh dikirim ke kota Pantai Barat Sumatera sebagai guru untuk mengajarkan ilmu agama dan sastra Islam.47

Di setiap kota pelabuhan yang dikuasai oleh Kesultanan Aceh ditempatkan seorang wakil raja Aceh yang bergelar panglima Aceh (syahbandar)48 dan mereka ini biasanya dipanggil teuku oleh masyarakat setempat. Para syahbandar bertugas mengawasi pelayaran dan perdagangan dengan hak memungut bea cukai,49 menjadi

perantara perdagangan, kepala pemerintahan di pelabuhan, mengumpulkan komoditas

45Ibid., hal. 123-124, dan 143.

46 Perkawinan Politik ini misalnya dalam penguasaan Pelabuhan Barus, Kesultanan Aceh

mengawinkan saudara perempuan Alauddin Ri’ayat Syah al Qahhar dengan raja setempat. Lihat

tulisan J. Kathirithamby-Wells, “Achehnese Control over West Sumatra up to the Treaty of Painan

1663”, dalam JESEAH, X, 1969, hal. 457-458. Gusti Asnan, 2012, op.cit., hal. 52. 47 M. D. Mansoer, dkk., op.cit., hal. 80-83.

48 Para syahbandar ini tidak menerima gaji sedikit pun dari Raja Aceh, mereka bahkan berkewajiban setiap tahun memberi raja sebuah hadiah, yaitu sehelai baju (atau pakaian) yang sesuai dengan kemampuan masing-masing, dan mereka pilih sebagus mungkin agar tetap dipertahankan dalam jabatan mereka. Lihat Denys Lombard, op.cit., hal. 149.

49 Setiap kapal yang berlabuh wajib membayar bea cukai kepada syahbandar. Jumlah bea cukai ini ternyata selalu selalu berubah tergantung kebijakan syahbandar. Bea cukai yang dikenakan Raja Aceh sangatlah tinggi. Bangsa Belanda dan Inggris yang Kristen dikenakan biaya 7 persen dari barang dagang yang mereka turunkan ke pelabuhan, sedangkan orang Islam yang berdagang dengan Aceh membayar cukai dengan emas. Sebelum abad XVII ternyata tidak ada bea cukai, yang ada bea


(17)

dagang dari daerah hinterland dan membawanya ke Aceh untuk diperdagangkan dan diekspor. Kehadiran syahbandar Aceh di kawasan pesisir Pantai Barat Sumatera ditanggapi oleh penduduk dengan sikap pro dan kontra. Bagi yang pro, mereka mendukung keberadaan syahbandar di pelabuhan, sebab sebagian orang Aceh memang telah menjadi penduduk setempat dan berketurunan. Namun terkadang para syahbandar sering berbuat semena-mena terhadap penduduk dengan memonopoli perdagangan lada dan bahan komoditi lainnya.50

Monopoli yang dilakukan Kesultanan Aceh di Pelabuhan Air Bangis dengan mengendalikan seluruh perdagangan lada dan mewajibkan para petani lada di Pasaman (daerah hinterland Air Bangis) dan Tiku untuk menjual hasil panen mereka kepada syahbandar di Pelabuhan Air Bangis atau langsung membawanya ke pasar Aceh. Untuk harga komoditi lada di pasar-pasar Aceh dibeli sangat beragam oleh sultan mulai dari 4 real, 20 real, 30 real, bahkan mencapai 40 real sebahar. Harga 40 real sebahar merupakan harga tertinggi yang diberikan oleh Sultan Aceh. Namun, harga lada di daerah vasal Aceh seperti di Pelabuhan Air Bangis jauh lebih rendah daripada di pasar-pasar Aceh. Hal ini disebabkan, harga pembelian lada di daerah vasal ditentukan oleh syahbandar yang berada di pelabuhan tersebut.51

Dalam melakukan transaksi perdagangan dengan bangsa Eropa, harga lada dibandrol 54 real sebahar. Pedagang Belanda maupun Inggris biasanya melakukan penawaran sampai 40 real sebahar, dan bagi bangsa Eropa harga tersebut masih

50 M. D. Mansoer, dkk., op.cit., hal. 87. 51 Denys Lombard, op.cit., hal. 144-145.


(18)

cukup mahal sebenarnya. Akan tetapi Sultan Aceh tidak mau menurunkan harga, dan orang Eropa pun mengalah, karena dalam pertimbangan harga sedemikian, mereka masih bisa mendapatkan keuntungan yang tinggi sesudah kembali ke Eropa. Bagi orang Belanda dan Inggris pada masa itu tidak ada gunanya melawan Aceh, karena mereka sangat membutuhkan lada dari wilayah-wilayah yang dikuasai Kesultanan Aceh, dan tanpa lada roda perdagangan bangsa Belanda dan Inggris tidak jalan.52

Transaksi pembayaran dalam perdagangan yang digunakan di Pelabuhan Air Bangis dan pelabuhan di kawasan utara Sumatera pada abad ke XVII telah menggunakan mata uang. Mata uang ini diperkenalkan oleh Sultan Aceh, melalui para syahbandar, dalam aktivitas pembelian lada kepada pedagang dan petani. Mata uang tersebut terbuat dari emas dan timah yang dicetak dalam bentuk koin. Mata uang yang terbuat dari timah bernama cash dan mata uang dari emas bernama mas.53 Dalam aktivitas perdagangan emas, Sultan Iskandar Muda membuat kebijakan melarang semua orang asing memasuki kawasan pelabuhan tanpa persetujuan dari syahbandar, dan sultan menuntut 15 persen cukai untuk semua emas yang diekspor, dan menetapkan harga untuk sisanya.54

Sampai pada abad XVII ternyata Kesultanan Aceh tidak mempunyai undang-undang kelautan, sehingga hukum dan pengawasan di laut sangat lemah. Hal ini

52Ibid., hal. 152.

53Ibid., hal. 153-154; dan lihat juga Tome Pires, Suma Oriental: Perjalanan Dari Laut Merah

Ke China & Buku Francisco Rodrigus, Yogyakarta: Ombak, 2014, hal. 198-199.

54 Christine Dobbin, Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah,


(19)

dimanfaatkan oleh pihak pedagang swasta55 untuk melakukan penyimpangan dengan

menjual hasil bumi atau lada bukan kepada Aceh, tetapi kepada bangsa Eropa seperti Belanda dan Inggris. Pedagang swasta tentu tergiur dengan harga yang ditawarkan Belanda dan Inggris daripada harga yang ditetapkan Kesultanan Aceh yang dirasa kurang menguntungkan pedagang. Pedagang swasta bertransaksi dengan Belanda dan Inggris di laut, untuk menghindari pengawasan dari syahbandar yang ada di pelabuhan. Aktivitas pedagang swasta ini dikenal dengan nama “Sampan Aceh”.56

Dengan banyaknya “Sampan Aceh” yang tidak setia kepada Kesultanan Aceh,

membuat perekonomian Aceh menurun. Penduduk kota di Pantai Barat Sumatera pun mulai memberontak dan tidak mau menjalin hubungan kerjasama lagi dengan Aceh, karena mereka merasa dirugikan. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh Belanda dan Inggris untuk menanamkan pengaruhnya di kawasan Pantai Barat Sumatera.

2.3.2 Aktivitas Dagang Bangsa Barat

Bangsa Barat (Eropa) yang pertama kali mengunjungi Pantai Barat Sumatera adalah armada dagang Portugis yang dipimpin oleh Diego Pacheco yang bertolak dari Malaka. Kunjungan ke Pantai Barat Sumatera ini menggunakan dua kapal, namun hanya satu kapal yang bisa menyelesaikan pelayaran mengelilingi Pulau Sumatera, sebab kapal yang satu lagi kandas di perairan laut Aceh. Tujuan orang Portugis

55 Pedagang swasta disini maksudnya, para pedagang lokal Pantai Barat Sumatera yang melakukan kegiatan perdagangan di wilayah kekuasaa Kesultanan Aceh, namun tidak melakukan kontak dagang dengan pihak Kesultanan Aceh dan lebih memilih berhubungan dagang secara gelap dengan pedagang asing seperti pedagang-pedagang Eropa. Lihat Denys Lombard, op.cit., hal. 161.


(20)

berlayar ke Pantai Barat yakni berdagang (mencari emas), dan melakukan eksplorasi kelautan serta membuat peta daerah yang bersangkutan. Kedatangan bangsa Portugis ternyata tidak mendapat sambutan baik dari kota-kota pantai yang disinggahinya. Adapun penyebab mengapa orang Portugis kurang disukai di daerah tersebut karena orang Portugis memperlihatkan sikap memusuhi saudagar dan pelaut Gujarat, dan bahkan orang Portugis merampas kapal dan membakar kapal saudagar Gujarat. Kejadian ini dijadikan oleh pelaut Gujarat untuk menghasut penduduk kota-kota Pantai Barat Sumatera agar tidak melayani pelaut Portugis. Akibatnya, Portugis merasa tidak mendapatkan keuntungan berdagang di kawasan tersebut dan enggan mengunjungi kawasan ini sampai kedatangan bangsa Eropa lainnya.57

Pelaut Perancis merupakan pelopor kedua bangsa Barat yang mengunjungi Pantai Barat Sumatera. Pelaut Perancis menemukan jalur laut langsung yang menghubungkan Tanjung Harapan (Afrika) dengan kawasan Pantai Barat Sumatera (Pulau Enggano dan kawasan sekitar Padang). Penggunaan jalur laut ini yakni untuk menghindari orang Portugis yang telah menguasai India dan Malaka, juga ditujukan untuk memudahkan pelayaran. Pada masa berikutnya jalur yang ditemukan pelaut Perancis ini digunakan oleh para pelaut Belanda.58

VOC pertama kali datang ke Pantai Barat Sumatera pada tahun 1600 di bawah pimpinan Paulus van Kaerden, namun armada dagang ini gagal melakukan transaksi

57 Gusti Asnan, 2012, op.cit., hal. 47-49. 58Ibid., hal. 45 dan 50.


(21)

karena Aceh masih kuat di pelabuhan.59 Pertengahan abad XVII, VOC mulai

melakukan propaganda di pelabuhan untuk mengusir orang Aceh dari pelabuhan Padang, Pariaman, Tiku dan Air Bangis. VOC terkadang menggunakan kekuatan militer dan angkatan laut untuk menjalankan misinya. Alasan VOC melakukan hal tersebut karena VOC ingin menjadi penguasa tunggal dalam monopoli hasil bumi hinterland Minangkabau.60

Pada tahun 1665, saudagar VOC di bawah pimpinan Jacob Groenewegen mendatangi Pelabuhan Air Bangis dan mencoba mengusir Aceh dari kawasan ini. Namun usahanya masih gagal.61 VOC mulai mendirikan loji62 dan pemerintahan di Pelabuhan Air Bangis baru pada tahun 1687 dengan nama comptoir63 utara dengan ibukota Air Bangis.

Kehadiran VOC di Pelabuhan Air Bangis tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dilakukan Kesultanan Aceh pada wilayah ini, yakni mengincar lada dan emas dari daerah hinterland kawasan tersebut, dan VOC juga menerapkan sistem perdagangan yang sifatnya monopolistis. Lada dan emas merupakan dua komoditas perdagangan utama daerah ini yang betul-betul diawasi dengan ketat oleh VOC.

59 H. Blink, Opkomst en Ontwikkeling van Sumatra Als Economisch-Geographisch Gebied

Met Schetskaartjes, ’S-Gravenhage: Mouton, 1926, hal. 5-6. Lihat juga Gusti Asnan, Pemerintahan Daerah Sumatera Barat dari VOC hingga Reformasi, Yogyakarta: Citra Pustaka, 2006, hal 3-4.

60 Gusti Asnan, 2007, op.cit., hal. 60-61.

61E. B. Kielstra, “Onze Kennis van Sumatra’s Westkust, Omstreeks De Helft Der Achttiende

Eeuw”,BKI, Deel 36 d, 1887, hal. 516.

62 Loji atau loge (dikenal juga dengan factory atau factorij) berasal dari kata Portugis fetoria. Kata tersebut berarti tempat tinggal, kantor atau gudang tempat bangsa tersebut melakukan perdagangannya di kota-kota seberang laut. Fetoria bisa berupa benteng (kubu pertahanan), tetapi juga bisa berupa gedung biasa. Lihat Gusti Asnan, 2006, op.cit., hal 1.

63 Comptoir merupakan unit administratif dan juga ekonomi VOC. Lihat Adolph Eschels-Kroon, op.cit., hal. 44.


(22)

Komoditas lada yang dikumpulkan di gudang-gudang Pelabuhan Air Bangis dikirim ke Padang. Kroeskamp memperkirakan sekitar 500 sampai 800 bahar lada dikirim dari Pelabuhan Air Bangis ke Padang. Namun berbeda dengan Michelsen yang memperkirakan antara 1.200 sampai 2.000 bahar lada yang dikirim dari Pelabuhan Air Bangis ke Padang.64

Selain lada, komoditas perdagangan utama yang dimonopoli VOC adalah emas. Emas di Pelabuhan Air Bangis didatangkan dari daerah hinterland seperti Rao dan Pasaman. Emas-emas ini didapat dengan menambangnya di dalam tanah atau dengan mendulangnya di sungai-sungai.

Untuk melakukan transaksi perdagangan dengan penduduk Pelabuhan Air Bangis, VOC melakukan transaksi yang cukup rumit. VOC mengangkut emas yang didapatkan dari daerah hinterland Pantai Barat Sumatera ke pantai Coromandel, karena kekurangan uang untuk membeli lada dan rempah-rempah. Di Coromandel VOC mencetak uang emas sendiri dan membeli kain katun dari India Barat maupun India Selatan. Sejak tahun 1668 kain dijadikan sebagai alat tukar bagi setiap pembelian emas, lada, dan rempah-rempah di Pantai Barat Sumatera. Dari perdagangan ini VOC diperkirakan mendapat keuntungan sekitar 75%.65 Monopoli dagang VOC tidak hanya terbatas pada emas dan lada saja. Ada beberapa komoditas lain yang juga dimonopoli VOC, seperti terlihat pada tabel berikut ini:

64 Hendrik Kroeskamp, De Westkust en Minangkabau, Utrecht: Fa. Schotanus & Jens, 1931, hal. 49.


(23)

Tabel 3.

Komoditas Perdagangan Yang Dimonopoli VOC Nama Komoditi

Baja Gula Mata uang

Besi Kain Sutra Minyak kelapa

Buah pala Kapas Perhiasan

Candu Kapur barus Teh

Cengkeh Kemenyan Tembaga

Gandum Kopi

Garam Kopra

Sumber: Adolph Eschels-Kroon, Beschryving van Het Eiland Sumatra, Inzonderheid Ten Aanzienvan Deszelfs Koophandel, Harlem: C. H. Bohn en Zoon, 1783, hal. 41-43.

Di setiap pelabuhan, cukai dan tarif tetap diberlakukan. Cukai dikumpulkan oleh syahbandar atas barang-barang yang diimpor maupun diekspor.66 Dalam kegiatan perdagangan pihak swasta diizinkan terlibat dalam kegiatan perdagangan dengan syarat dan ketentuan membayar pajak 6% dari barang-barang yang diperdagangkan.67

Kekuasaan VOC di Pantai Barat Sumatera berakhir lebih cepat bila dibandingkan dengan tamatnya riwayat perusahaan dagang itu secara resmi pada tahun 1799. Salah satu faktor utama yang mempercepat lenyapnya kekuatan kompeni tersebut adalah datangnya dua kekuatan asing ke kawasan ini. Dua kekuatan asing itu

adalah “bajak laut” Perancis di bawah pimpinan Le Meme (seorang bajak laut yang

diangkat Napoleon sebagai komandan pangkalan Angkatan Laut Perancis di

66Ibid., hal. 99.


(24)

Mauritinus dan Borbon) menyerbu Kota Padang tahun 1793 dan kekuatan tentara perang Inggris yang memasuki wilayah Pantai Barat Sumatera pada tahun 1795.68

Inggris menguasai Padang pada 30 November 1795 dan Inggris langsung membuka perwakilannya di Air Bangis dan Pulau Cingkuak.69 Masa kekuasaan Inggris ini dinamakan masa interregnum (pemerintahan sementara) Inggris.70

Penguasaan Inggris di Pelabuhan Air Bangis hampir sama dengan pos-pos lain di kawasan Pantai Barat Sumatera, yakni sebagai tempat pemasaran barang dagangan Inggris dan membeli lada, emas dan rempah-rempah dari daerah hinterland kawasan tersebut. Pemerintahan Inggris lebih terpusat di Bengkulu dan Padang. Kawasan utara seperti Singkel, Barus, Natal, Batahan, Air Bangis, dan Tiku kurang diperhatikan, setidaknya sampai Raffles menjadi gubernur Sumatra’s Westkust.

Pada pertengahan abad XVIII sebenarnya Inggris telah unggul dalam hal perdagangan di kawasan Pantai Barat Sumatera. Kelemahan VOC dalam perdagangan komoditi kain dimanfaatkan Inggris dengan memasok kain dengan harga lebih murah daripada VOC. Pelabuhan Air Bangis setiap tahunnya dipenuhi kapal-kapal dagang Inggris. Dalam satu tahun paling tidak ada sekitar 200 kapal Inggris dari Madras, Benggali, dan Bombay di Pelabuhan Air Bangis.71 Aktivitas yang mereka lakukan adalah berdagang dengan penduduk hinterland yang datang ke

68 Gusti Asnan, 2006, op.cit., hal. 27-28.

69 E. B. Kielstra, “Sumatra’s Westkust van 1819-1825”, BKI, Deel 36 a, 1887, hal. 8 dan 16-17.

70 Daerah-daerah yang diduduki VOC diserahkan pada Inggris karena perintah dari Raja Belanda William V yang melarikan diri ke Inggris setelah negerinya diduduki oleh Perancis. Lihat Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Jakarta: Sinar Harapan, 1981, hal. 350-351.

71 J. Kathirithamby-Wells, The British West Sumatran Presidency (1760-1785): Problems of


(25)

Pelabuhan Air Bangis dengan membawa hasil bumi seperti rempah-rempah, kapur barus, kemenyan, lada dan emas.72 Inggris tidak hanya menjual kain dengan murah tetapi juga memberikan kredit73 bagi pengusaha-pengusaha swasta di Pelabuhan Air

Bangis. Hal ini merupakan cara berdagang Inggris yang ingin menarik simpati penduduk sebagai relasi dan memperluas jaringan dagangannya di kawasan Pantai Barat Sumatera.

Kekuasaan Inggris di Pantai Barat Sumatera tidak begitu lama. Pada tahun 1814 Inggris menyerahkan kawasan Pantai Barat Sumatera kembali kepada Pemerintah Belanda melalui Konvensi London seiring situasi politik yang mulai membaik di Eropa. Namun, Thomas Stamford Raffles selaku gubernur Inggris di

Sumatra’s Westkust saat itu enggan menyerahkan kawasan Sumatra’s Westkust kepada Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda baru mendapat penyerahan resmi Sumatra’s Westkust pada tahun 1819 (tidak termasuk Air Bangis, Natal, dan Tapanuli). Ketiga daerah itu baru diserahkan oleh Inggris pada tahun 1825 setelah adanya Traktat London tahun 1824.74

72 M. D. Teenstra, op.cit., hal. 346.

73 Sistem kredit yang dimaksud disini berupa pemberian modal dagang kepada para penghulu suku setempat, dengan tujuan terjalin kerjasama yang baik antara kedua belah pihak. Adanya kerjasama ini mempermudah Inggris menjual kainnya dengan menjadikan para penghulu suku tersebut sebagai distributor ke daerah hinterland. Adapun keuntungan bagi para penghulu suku setempat, yakni mendapat modal dagang dan keuntungan perdagangan dari kerjasama ini lebih besar jika dibandingkan berdagang dengan Kesultanan Aceh maupun VOC. Lihat Christine Dobbin, op.cit., hal. 109.


(1)

berlayar ke Pantai Barat yakni berdagang (mencari emas), dan melakukan eksplorasi kelautan serta membuat peta daerah yang bersangkutan. Kedatangan bangsa Portugis ternyata tidak mendapat sambutan baik dari kota-kota pantai yang disinggahinya. Adapun penyebab mengapa orang Portugis kurang disukai di daerah tersebut karena orang Portugis memperlihatkan sikap memusuhi saudagar dan pelaut Gujarat, dan bahkan orang Portugis merampas kapal dan membakar kapal saudagar Gujarat. Kejadian ini dijadikan oleh pelaut Gujarat untuk menghasut penduduk kota-kota Pantai Barat Sumatera agar tidak melayani pelaut Portugis. Akibatnya, Portugis merasa tidak mendapatkan keuntungan berdagang di kawasan tersebut dan enggan mengunjungi kawasan ini sampai kedatangan bangsa Eropa lainnya.57

Pelaut Perancis merupakan pelopor kedua bangsa Barat yang mengunjungi Pantai Barat Sumatera. Pelaut Perancis menemukan jalur laut langsung yang menghubungkan Tanjung Harapan (Afrika) dengan kawasan Pantai Barat Sumatera (Pulau Enggano dan kawasan sekitar Padang). Penggunaan jalur laut ini yakni untuk menghindari orang Portugis yang telah menguasai India dan Malaka, juga ditujukan untuk memudahkan pelayaran. Pada masa berikutnya jalur yang ditemukan pelaut Perancis ini digunakan oleh para pelaut Belanda.58

VOC pertama kali datang ke Pantai Barat Sumatera pada tahun 1600 di bawah pimpinan Paulus van Kaerden, namun armada dagang ini gagal melakukan transaksi

57 Gusti Asnan, 2012, op.cit., hal. 47-49. 58Ibid., hal. 45 dan 50.


(2)

karena Aceh masih kuat di pelabuhan.59 Pertengahan abad XVII, VOC mulai melakukan propaganda di pelabuhan untuk mengusir orang Aceh dari pelabuhan Padang, Pariaman, Tiku dan Air Bangis. VOC terkadang menggunakan kekuatan militer dan angkatan laut untuk menjalankan misinya. Alasan VOC melakukan hal tersebut karena VOC ingin menjadi penguasa tunggal dalam monopoli hasil bumi

hinterland Minangkabau.60

Pada tahun 1665, saudagar VOC di bawah pimpinan Jacob Groenewegen mendatangi Pelabuhan Air Bangis dan mencoba mengusir Aceh dari kawasan ini. Namun usahanya masih gagal.61 VOC mulai mendirikan loji62 dan pemerintahan di Pelabuhan Air Bangis baru pada tahun 1687 dengan nama comptoir63 utara dengan ibukota Air Bangis.

Kehadiran VOC di Pelabuhan Air Bangis tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dilakukan Kesultanan Aceh pada wilayah ini, yakni mengincar lada dan emas dari daerah hinterland kawasan tersebut, dan VOC juga menerapkan sistem perdagangan yang sifatnya monopolistis. Lada dan emas merupakan dua komoditas perdagangan utama daerah ini yang betul-betul diawasi dengan ketat oleh VOC.

59 H. Blink, Opkomst en Ontwikkeling van Sumatra Als Economisch-Geographisch Gebied Met Schetskaartjes, ’S-Gravenhage: Mouton, 1926, hal. 5-6. Lihat juga Gusti Asnan, Pemerintahan Daerah Sumatera Barat dari VOC hingga Reformasi, Yogyakarta: Citra Pustaka, 2006, hal 3-4.

60 Gusti Asnan, 2007, op.cit., hal. 60-61.

61 E. B. Kielstra, “Onze Kennis van Sumatra’s Westkust, Omstreeks De Helft Der Achttiende Eeuw”,BKI, Deel 36 d, 1887, hal. 516.

62 Loji atau loge (dikenal juga dengan factory atau factorij) berasal dari kata Portugis fetoria. Kata tersebut berarti tempat tinggal, kantor atau gudang tempat bangsa tersebut melakukan perdagangannya di kota-kota seberang laut. Fetoria bisa berupa benteng (kubu pertahanan), tetapi juga bisa berupa gedung biasa. Lihat Gusti Asnan, 2006, op.cit., hal 1.

63 Comptoir merupakan unit administratif dan juga ekonomi VOC. Lihat Adolph Eschels-Kroon, op.cit., hal. 44.


(3)

Komoditas lada yang dikumpulkan di gudang-gudang Pelabuhan Air Bangis dikirim ke Padang. Kroeskamp memperkirakan sekitar 500 sampai 800 bahar lada dikirim dari Pelabuhan Air Bangis ke Padang. Namun berbeda dengan Michelsen yang memperkirakan antara 1.200 sampai 2.000 bahar lada yang dikirim dari Pelabuhan Air Bangis ke Padang.64

Selain lada, komoditas perdagangan utama yang dimonopoli VOC adalah emas. Emas di Pelabuhan Air Bangis didatangkan dari daerah hinterland seperti Rao dan Pasaman. Emas-emas ini didapat dengan menambangnya di dalam tanah atau dengan mendulangnya di sungai-sungai.

Untuk melakukan transaksi perdagangan dengan penduduk Pelabuhan Air Bangis, VOC melakukan transaksi yang cukup rumit. VOC mengangkut emas yang didapatkan dari daerah hinterland Pantai Barat Sumatera ke pantai Coromandel, karena kekurangan uang untuk membeli lada dan rempah-rempah. Di Coromandel VOC mencetak uang emas sendiri dan membeli kain katun dari India Barat maupun India Selatan. Sejak tahun 1668 kain dijadikan sebagai alat tukar bagi setiap pembelian emas, lada, dan rempah-rempah di Pantai Barat Sumatera. Dari perdagangan ini VOC diperkirakan mendapat keuntungan sekitar 75%.65 Monopoli dagang VOC tidak hanya terbatas pada emas dan lada saja. Ada beberapa komoditas lain yang juga dimonopoli VOC, seperti terlihat pada tabel berikut ini:

64 Hendrik Kroeskamp, De Westkust en Minangkabau, Utrecht: Fa. Schotanus & Jens, 1931, hal. 49.


(4)

Tabel 3.

Komoditas Perdagangan Yang Dimonopoli VOC Nama Komoditi

Baja Gula Mata uang

Besi Kain Sutra Minyak kelapa

Buah pala Kapas Perhiasan

Candu Kapur barus Teh

Cengkeh Kemenyan Tembaga

Gandum Kopi

Garam Kopra

Sumber: Adolph Eschels-Kroon, Beschryving van Het Eiland Sumatra, Inzonderheid Ten Aanzienvan Deszelfs Koophandel, Harlem: C. H. Bohn en Zoon, 1783, hal. 41-43.

Di setiap pelabuhan, cukai dan tarif tetap diberlakukan. Cukai dikumpulkan oleh syahbandar atas barang-barang yang diimpor maupun diekspor.66 Dalam kegiatan perdagangan pihak swasta diizinkan terlibat dalam kegiatan perdagangan dengan syarat dan ketentuan membayar pajak 6% dari barang-barang yang diperdagangkan.67

Kekuasaan VOC di Pantai Barat Sumatera berakhir lebih cepat bila dibandingkan dengan tamatnya riwayat perusahaan dagang itu secara resmi pada tahun 1799. Salah satu faktor utama yang mempercepat lenyapnya kekuatan kompeni tersebut adalah datangnya dua kekuatan asing ke kawasan ini. Dua kekuatan asing itu adalah “bajak laut” Perancis di bawah pimpinan Le Meme (seorang bajak laut yang diangkat Napoleon sebagai komandan pangkalan Angkatan Laut Perancis di

66Ibid., hal. 99.


(5)

Mauritinus dan Borbon) menyerbu Kota Padang tahun 1793 dan kekuatan tentara perang Inggris yang memasuki wilayah Pantai Barat Sumatera pada tahun 1795.68

Inggris menguasai Padang pada 30 November 1795 dan Inggris langsung membuka perwakilannya di Air Bangis dan Pulau Cingkuak.69 Masa kekuasaan Inggris ini dinamakan masa interregnum (pemerintahan sementara) Inggris.70

Penguasaan Inggris di Pelabuhan Air Bangis hampir sama dengan pos-pos lain di kawasan Pantai Barat Sumatera, yakni sebagai tempat pemasaran barang dagangan Inggris dan membeli lada, emas dan rempah-rempah dari daerah hinterland

kawasan tersebut. Pemerintahan Inggris lebih terpusat di Bengkulu dan Padang. Kawasan utara seperti Singkel, Barus, Natal, Batahan, Air Bangis, dan Tiku kurang diperhatikan, setidaknya sampai Raffles menjadi gubernur Sumatra’s Westkust.

Pada pertengahan abad XVIII sebenarnya Inggris telah unggul dalam hal perdagangan di kawasan Pantai Barat Sumatera. Kelemahan VOC dalam perdagangan komoditi kain dimanfaatkan Inggris dengan memasok kain dengan harga lebih murah daripada VOC. Pelabuhan Air Bangis setiap tahunnya dipenuhi kapal-kapal dagang Inggris. Dalam satu tahun paling tidak ada sekitar 200 kapal Inggris dari Madras, Benggali, dan Bombay di Pelabuhan Air Bangis.71 Aktivitas yang mereka lakukan adalah berdagang dengan penduduk hinterland yang datang ke

68 Gusti Asnan, 2006, op.cit., hal. 27-28.

69 E. B. Kielstra, “Sumatra’s Westkust van 1819-1825”, BKI, Deel 36 a, 1887, hal. 8 dan 16-17.

70 Daerah-daerah yang diduduki VOC diserahkan pada Inggris karena perintah dari Raja Belanda William V yang melarikan diri ke Inggris setelah negerinya diduduki oleh Perancis. Lihat Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Jakarta: Sinar Harapan, 1981, hal. 350-351.

71 J. Kathirithamby-Wells, The British West Sumatran Presidency (1760-1785): Problems of Early Colonial Enterprise, Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 1977, hal. 147-161.


(6)

Pelabuhan Air Bangis dengan membawa hasil bumi seperti rempah-rempah, kapur barus, kemenyan, lada dan emas.72 Inggris tidak hanya menjual kain dengan murah tetapi juga memberikan kredit73 bagi pengusaha-pengusaha swasta di Pelabuhan Air Bangis. Hal ini merupakan cara berdagang Inggris yang ingin menarik simpati penduduk sebagai relasi dan memperluas jaringan dagangannya di kawasan Pantai Barat Sumatera.

Kekuasaan Inggris di Pantai Barat Sumatera tidak begitu lama. Pada tahun 1814 Inggris menyerahkan kawasan Pantai Barat Sumatera kembali kepada Pemerintah Belanda melalui Konvensi London seiring situasi politik yang mulai membaik di Eropa. Namun, Thomas Stamford Raffles selaku gubernur Inggris di Sumatra’s Westkust saat itu enggan menyerahkan kawasan Sumatra’s Westkust kepada Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda baru mendapat penyerahan resmi Sumatra’s Westkust pada tahun 1819 (tidak termasuk Air Bangis, Natal, dan Tapanuli). Ketiga daerah itu baru diserahkan oleh Inggris pada tahun 1825 setelah adanya Traktat London tahun 1824.74

72 M. D. Teenstra, op.cit., hal. 346.

73 Sistem kredit yang dimaksud disini berupa pemberian modal dagang kepada para penghulu suku setempat, dengan tujuan terjalin kerjasama yang baik antara kedua belah pihak. Adanya kerjasama ini mempermudah Inggris menjual kainnya dengan menjadikan para penghulu suku tersebut sebagai distributor ke daerah hinterland. Adapun keuntungan bagi para penghulu suku setempat, yakni mendapat modal dagang dan keuntungan perdagangan dari kerjasama ini lebih besar jika dibandingkan berdagang dengan Kesultanan Aceh maupun VOC. Lihat Christine Dobbin, op.cit., hal. 109.