T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 21PUUXXI2014 tentang Penetapan Tersangka sebagai Obyek Praperadilan T1 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum di Indonesia saat ini banyak mengalami kemajuan yang salah satu
perkembangannya adalah berkaitan dengan praperadilan yang diajukan kepada pengadilan
atas penetapan seseorang menjadi tersangka. Seperti putusan hakim Sarpin yang
mengabulkan permohonan praperadilan Budi Gunawan mengenai penetapannya sebagai
tersangka. Dengan adanya putusan tersebut akan berdampak pada banyaknya pengajuan
praperadilanatas penetapan tersangka kasus-kasus korupsi lainnya yang ditangani KPK,
ataupun penetapan tersangka dalam kasus-kasus pidana yang lain, baik yang ditetapkan
oleh Penyidik ataupun oleh Penuntut Umum, dengan alasan bahwa penetapan tersangka
tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan.
Indonesia merupakan Negara hukum dimana telah diamanatkan dalam UUD
1945 pra amandemen, yaitu dalam undang-undang dasar tahun 1945 Pasal 1 ayat 3
menyatakan bahwa Negara Indonesia ialah Negara yang berdasarkan atas hukum
(rechtsstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan (machtsstaat).1Dalam Negara hukum semua
orang baik warga negara, segala badan dan alat-alat hukum perlengakapan Negara maupun
pejabat negara harus tunduk kepada hokum.

1


Teguh Prasetyodan Arie Purnomosidi,membangun hukum berdasarkan Pancasila , Nusa Dua, Bandung

2014, hlm.1.

1

Terkait dengan Negara Hukum, Ariestoteles menjelaskan bahwa Negara hukum
adalah Negara yang berdiri diatas hukum dan menjamin keadilan kepada warga
negaranya.2Dari penjelasan Aristoteles tersebut, maka maka dapat diketahui bahwa
tindakan apapun yang dilakukan oleh negara harus berdasarkan hukum(asas legalitas) dan
negara mempunyai kewajiban untuk mewujudkan keadilan bagi warga negaranya.
Indonesia sebagai Negara hukum yang menunjung tinggi hak asasi manusia,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 huruf (D) menentukan bahwa setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
didepan hukum.Ketentuan tersebut berlaku bagi seluruh warga Indonesia meskipun warga
negara tersebut berstatus sebagai tersangka ataupun sebagai terdakwa, hak asasinyatetap
diakui, mereka berhak untuk mendapatkan jaminan dan kepastian di depan hukum dalam
proses hukum yang dijalaninya.
Para penegak hukum pidana dalam mejalankan tugasnya harus berpedoman pada
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dimana didalamnya mengandung asas

praduga tak bersalah. Asas ini harus diperhatikan dalam penegakkan hukum pidana, karena
dengan asas ini salah satunya dimaksudkan un tuk menghindarkan terjadinya tindakan
sewenang-wenang dalam penegakkan hukum pidana. Terkait dengan hal ini Zulkarnain,
SH, mengatakan sebegai berikut :
Dimana untuk mencegah perlakuan kesewenang-wenangan tersebut,
KUHAP menyediakan ruang bagi tersangka dan terdakwa untuk melakukan
pembelaan atas kesewenang-wenangan aparatur Negara dan ruang itu
disebut Pra-peradilan. Dalam Pasal 1 butir 10 menegaskan bahwa
Praperadilan adalah wewenang dari pengadilannegri untuk memeriksa dan
memutuskan sah tidaknya suatu penangkapan dan penahanan, sah tidaknya
2

http://tesishukum.com/pengertian-negara-hukum-menurut-para-ahli/

2

penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, dan ganti rugi atau
rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya
yang perkaranya tidak diajuakan ke pengadilan. Kewenangan pelaksanaan
praperadilan menjadi wewenang mutlak pengadilan negri.3

Untuk mengoreksi tindakan aparat penegak hukum pidana, khususnya atas
tindakan yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum, KUHAP mengintrodusir
lembaga praperadilan terkait dengan tiga hal yaitu : sah atau tidaknya penangkapan dan
atau penahanan; sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan atau penghentian
penuntutan dan tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi, sebagaimana dapat dibaca pada
Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP. Dalam Pasal tersebut tidak mengatur tentang sah
atau tidaknya penetapan tersangka.
Keberadaan praperadilan bertujuan untuk memberikan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan
horizontal,4 atau dengan kata lain diadakannya praperadilan mempunyai maksud sebagai
sarana pengawasan horizontal dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia terutama hak asasi tersangka. Dengan alasan untuk perlindungan hak asasi
manusia, walaupun dalam Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP tidak mengatur alasan
praperadilan terkait dengan sah atau tidaknya penetapan tersangka, ternyata ada yang
mecoba untuk mengajukan praperadilan dengan menggunakan alasan tersebut, dan oleh
pengadilan ternyata dikabulkan.
Salah satu contoh kasus praperadilan yang berkaitan dengan penetapan tersangka
adalah kasus degan tersangka Budi Gunawan (BG) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).Dalam kasusnya tersebut BG mengajukan praperadilan atas penetapannya sebagai
3


Zulkarnain. S.H., M.H., praktik peradilan pidana . Malang: setara press, 2013, hlm.60
HMA Kuffal, Penerapan KUHAP dalam praktik Hukum,, malang: UMM Press 2010, hlm.253

4

3

tersangka di Pengadilan Negri Jakarta Selatan.Atas permohonan praperadilan tersebut
hakim Sarpin mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan oleh BG yaitu bahwa
penetapan tersangka yang menjadi dasar penangkapan BG tidak sah dan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat, oleh karenanya penyidikan atas kasus yang disangkakan
terhadap BG juga dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar hukum sehingga tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pada dasarnya penetapan tersangka bukanlah obyek praperadilan sebagaimana
diatur dalam KUHAP Pasal 1 butir 10 yang dipertegas dalam Pasal 77 yang menjelaskan
bahwa:
“pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a.

Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
b.
penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan;
c.
Ganti kerugian atau rehabilitasi yang berhubungan dengan
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.”5
Permohonan praperadilan ini adalah satu upaya memperluas cakupan
praperadilan. Upaya tersebut pernah di ajukan oleh Bahtiar Abdul Fatah terdakwa korupsi
kasus biomediasi PT. Chevron yang mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan terkait penetapannya sebagai tersangka,yang di dalam gugatan
tersebut mengacu pada putusan praperadilan hakim sarpin yang mengabulkan gugatan
praperadilan BG.

5

M. Yahya Harahap,pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm

2.

4


Dalam kasus bachtiar abdul fatah mengajukan gugatan praperadilan mengenai
penetapannya sebagai tersangka tersebut tersebut ditolak oleh hakim yang menanganinya
karena penetapannya sebagai tersangka bukanlah obyek praperadilan sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 77 KUHAP.

Terkait dengan tidak dikabulkannya permohonan praperadilan tersebut, Bahtiar
Abdul Fatah mengajukan permohonan kepada Mahkamah konstitusi berkaitan dengan
perluasan obyek dalam praperadilan dan mengenai kejelasan tetang frasa bukti
permulaandan bukti permulaan yang cukup dalam peraturan perundang-undangan. Atas
permohonan tersebut kemudian dalam putusannya MK memberikan penjelasan tentang
bukti permulaan adalah keadaan,perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau
benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah
terjadi suatu tindak pidana.6 Sedangkan dalam Pasal 17 bukti permulaan yang cukup ialah
bukti permulaan sesui dengan bunyi pasal 1 angka14 dan 77 huruf a mengenai sah tidaknya
penangkapan dan penahanan yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I
ayat (5), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Rumusan Pasal 1 angka 14 juncto Pasal 17 dalam frasa bukti permulaan dan
bukti permulaan yang cukup tidak di sertai parameter yang jelas maka menimbulkan

ketidakpastian hukum sehubungan dengan syarat yang harus dipenuhi oleh penyidik
sebelum menyatakan seseorang sebagai tersangka. Begitupun dalam Pasal 77 huruf a yang
terbatas memberikan penilaian terhadap sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan jelas tidak sepenuhnya dapat

6

PMK Nomor 202/PMK.03/2007 Pasal 1 angka 5

5

memberikan perlindungan yang cukup kepada seorang tersangka dari pelanggaran
terhadap hak asasi manusia yang dilakukan oleh penyidik.

Mahkamah Konstitusi dalam putusan nomor 21/PUU-XII/2014, mengabulkan
permohonan uji materi terkait dengan bunyi Pasal 77 KUHAP, yaitu dalamPasal 77
KUHAP tentang objek Praperadilan. permohonan praperadilan tersebut menyangkut
penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan, selain itu mahkamah konstitusi
mengubah Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dengan menambahkan frasa
'minimal dua alat bukti' dalam proses penetapan tersangka dalam penyidikan.


Menurut Prof. Moeljatno, tiap-tiap proses pidana bagian yang paling terpenting
adalah persoalan mengenai pembuktian, karena dari jawaban soal inilah tergantung apakah
tertuduh akan dinyatakan bersalah atau dibebaskan.7Menurut Ratna Nurul Afiah, KUHAP
mengatur mengenai alat bukti, bahwa untuk menentukan tindak pidana kepada terdakwa,
harus :

1. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;
2. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah, hakim
“memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.8
Dengan

keluarnya

putusan

Mahkamah

Konstitusi


nomor

21/PUU-

XII/2014mengenai penetapan tersangka merupakan obyek praperadilan dan dalam
penetapan tersangka telah diperjelas dalam putusannya bahwa dalam penetapan tersangka

7

Moeljatno, Hukum Acara Pidana, Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum U.G.M, hlm.132
Ratna Nurul Afiah, barang bukti dalam proses persidangan, Jakarta: Sinar Grafika 1988, hlm 19.

8

6

dibutuhkan minimal dua alat bukti, dapat memberikan keadilan dalam tingkat penyidikan
serta kejelasan atas sah atau tidaknya penetapan seseorang tersangka dalam
penyidikan.Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dijadikan sebagai acuan para

hakim dalam memutuskan perkara praperadilan terkait dengan permohonan sah atau
tidaknya penetapan sebagai tersangaka, penggeledahan ataupun penyitaan.
Dalam putusan nomor 21/PUU-XII/2014 tentag perluasan obyek praperadilan
terkait penetapan tersangka hakim memberi pertimbangan yaitupermasalah utama
permohonan adalah pengujian pasal 1 angka 2, pasal 1 angka 14, dan pasal 77 huruf a,
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembara Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209 selanjutnya di sebut KUHAP).
Dalam hal ini frasa “dan guna menemukan tersangkanya” dalam Pasal 1 angka
2 KUHAP melanggar Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena
menimbulkan kesewenang-wenangan sehingga bertentangan dengan prinsip due process
of law serta melanggar hakatas kepastian hukum yang adil. Bahwa berdasarkan asas

keadilan, Profesor Satjipto Raharjo telah mencoba mendefinisikan keadilan. Dikatakan
bahwa menurut ulpianus; keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus
untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya, untuknya.9
Perlu diketahui bahwa dalam frasa “bukti permulaan” sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 1 angka 14 dan frasa “bukti permulaan yang cukup” sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 17 yang tanpa disertai parameter yang jelas menimbulkan ketidak pastian


9

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Cet. Keenam, Cintra Adyta Bakti, Bandung 2006, hal 163-164

7

hukum. Dalam asas kepastian hukum, dimana disenutkan tujuan hukum ada tiga yaitu
keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Tujuan hukum pidana adalah melindungi
kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan melindungi kepentingan
masyarakat dan Negara dengan perimbangan yang serasi dari kejahatan/ tindakan tercela
di satu pihak dan dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang di pihak lain10. Sehingga
dengan adanya kepastian hukum seorang terdakwa mendapatkan keadilannya dan juga
kemanfaatannya dalam sebuah peradilan pidana.
Bahwa konsep praperadilan berdasarkan Pasal 77 huruf a KUHAP yang terbatas
memberikan penilaian terhadap sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan, jelas tidak sepenuhnya

memberikan

perlindungan yang cukup bagi tersangka sehingga menimbulkan pelanggaran hak asasi
manusia, oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), pasal 28D ayat (1), dan
Pasal 28I ayat (5) UUD 1945.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
Apa yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan nomor
21/PU-XXI/2014 berkaitan dengan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan?

10

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, semarang,

1995

8

C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan Mahkamah Kosntitusi
dalam putusan nomor 21/PU-XXI/2014 berkaitan dengan penetapan tersangka sebagai
obyek praperadilan

D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian dan tujuan yang
ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis :
Menambah wawasan dalam bidang hukum acara pidana, khususnya terkait
dengan sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan
2. Manfaat Praktis :
Dengan adanya putusan tersebut diharapkan dapat menjadi pertimbangan
bagi hakim dalam memutuskan perkara praperadilan terkait dengan penetapan
tersangka

E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian:
Dalam rangka untuk mencapai tujuan hukum penelitian diatas, maka jenis
penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif, yakni penelitian yang di fokuskan
untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.11

11

Ibrahim jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing, malang,
2006 hlm 295

9

Dalam hal ini penulis ingin menganalisi pertimbangan hakim putusan Mahkamah
Konstitusi No. 21/PUU/XXI/14 Tentang Perluasan Objek Praperadilan.

2. Pendekatan Masalah
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan,
pendekatan ini di lakukan dengan menelaah seluruh peraturan perundang-undangan
dan regulasi yang memiliki sangkut paut dengan isu hukum yang sedang di bahas dalam
penelitian ini.12 Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian.13 Dan juga menggunakan
pendekatan kasus dimana pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah pada
kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi(Case Approach). Kasus yang
ditelaah merupakan kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan berkekuatan
hukum tetap. Hal pokok yang dikaji pada setiap putusan tersebut adalah pertimbangan
hakim untuk sampai pada suatu keputusan sehingga dapat digunakan sebagai
argumentasi dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi.

3. Sumber Data
Yaitu fakta yang relevan atau actual yang diperoleh untuk membuktikan atau
meguji suatu kebenaran atau ketidak benaran suatu masalah yang menjadi obyek
penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sekunder yaitu
dengan studi kepustakaan, peratuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan lain
sebagainya terutama yang berkaitan dengan permasalahan mengenai praperadilan
maupun tujuan penelitian sehingga dengan sumber data hukum tersebut dapat

12

Marzuki, piter Mahmud, Penelitian Hukum,kencana, Jakarta, 2005, hal 97-98
Ibrahim jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing, malang,
2006, hlm 295
13

10

menjawab tujuan penelitian. Sumber data hukum tersebut dapat di bedakan menjadi
sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan sekunder.14

a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
berupa peraturan perundang-undangan.

15

Peraturan perundang-undangan yang

digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan
penelitian yang dilakukan.
Bahan hukum primer terdiri dari, perundang-undangan, catatan-catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim.16 Dalam hal ini yang menjadi bahan hukum primer adalah :
1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
2) Undang–Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
3) Undang-undang No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
4) Undang-undang No 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-undang
No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
5) Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
6) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XXI/2014

14

Marzuki, piter Mahmud, Penelitian Hukum,kencana, Jakarta, 2005, hal 141

15

Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 141
https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2014/08/09/data-sekunder-dalam-penelitian-hukum-normatif/
16

Ibid 141

11

b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder biasanya berupa pendapat hukum / doktrin/ teoriteori yang diperoleh dari literatur hukum, hasil penelitian, artikel ilmiah, maupun
website yang terkait dengan penelitian. Bahan hukum sekunder pada dasarnya
digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Dengan
adanya

bahan

hukum

sekunder

maka

peneliti

akan

terbantu

untuk

memahami/menganalisis bahan hukum primer.
Bahan hukum sekunder ini diperoleh dari literatur, jurnal, dokumentasi
tertulis lainnya berkaitan dengan penangkapan dan penahanan yaitu Putusan MK
No. 21/PUU/XXI/14 Tentang Perluasan Objek Praperadilan

4. Cara Memperoleh Data
Pengolahan bahan hukum dengan studi kepustakaan yaitu dengan
melakukan studi dalam rangka pemahaman perundang-undangan, arsip, buku /
literature, artikel, dan lain sebagainya terutama yang berkaitan dengan
permasalahan mengenai pertimbangan putusan mahkamah kosntitusi nomor
21/PUU-XXI/2014 Tentang Perluasan Obyek Praperadilan, dengan bahan hukum
tersebut di klasifikasikan sesuai permasalahan maupun tujuan penelitian sehingga
dengan bahan hukum tersebut dapat menjawab tujuan penelitian

5. Unit Amatan dan Unit Analisis
a. unit amatan dalam penelitian dalam penelitian ini adalah putusan 21/PUUXXI/2014 Tentang Perluasan Obyek Praperadilan

12

b. Unit analisis dalam penelitian ini adalah pertimbanagn Mahkamah Konstitusi
Nomor 21/PUU-XXI/2014 terkait Perluasan Obyek Praperadilan

6. Sistematika Penulisan
Penulisan ini akan disajikan dalam bentuk pembagian atas 4 (empat) bab,
yang masing-masing bab terbagi menjadi sub-sub bab dengan susunan sebagai berikut:
BAB I

PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis akan mengemukakan latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, baik secara
teoritis maupun praktis, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Mekanisme penetapan tersangaka
B. Praperadilan
C. Pemeriksaan Persidangan di Mahkamah Konstitusi
D. Hal-Hal Yang Harus Dipertimbangkan Dalam Memutus Perkara
Pengujian Undang-Undang
E. Gambaran Kasus Permohonan Praperadilan oleh Pemohon Bachtiar
Abdul Fatah
F. Permohonan Judicial

Review dalam perkara Nomor 21/PUU-

XXI/2014
G. Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor
21/PUU-XXI/2014

13

H. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 21/PUUXXI/2014
I.

Analisis

BAB III PENUTUP
Bab ini akan menguraikan tesis penulis mengenai pertimbangan
putusan Mahkamah Konstitusi nomor 21/PUU-XXI/2014 tentang
perluasan obyek praperadilan telah sesuai dengan hukum pidana di
Indonesia.

14

Dokumen yang terkait

ANALISIS DANA PIHAK KETIGA PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA PERIODE TRIWULAN I 2002 – TRIWULAN IV 2007

40 502 17

OPTIMASI FORMULASI dan UJI EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN SEDIAAN KRIM EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L) dalam BASIS VANISHING CREAM (Emulgator Asam Stearat, TEA, Tween 80, dan Span 20)

97 464 23

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA KESUSILAAN DENGAN KORBAN ANAK (Putusan Nomor 24/Pid.Sus/A/2012/PN.Pso)

7 78 16

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

IMPROVING CLASS VIII C STUDENTS’ LISTENING COMPREHENSION ACHIEVEMENT BY USING STORYTELLING AT SMPN I MLANDINGAN SITUBONDO IN THE 2010/2011 ACADEMIC YEAR

8 135 12

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74