LAPORAN RESMI PRAKTIKUM DASAR TEKNIK KIM
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM DASAR TEKNIK KIMIA I
Materi :
IODO – IODIMETRI DAN PERMANGANOMETRI
Oleh:
Nama
: Erna Listyaningrum
: 7Senin Pagi
LABORATORIUM DASAR TEKNIK KIMIA I TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2013
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM DASAR TEKNIK KIMIA I
Materi :
IODO – IODIMETRI DAN PERMANGANOMETRI
Oleh:
Nama
: Erna Listyaningrum
: 7Senin Pagi
LABORATORIUM DASAR TEKNIK KIMIA I TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2013
–
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Praktikum : Iodo – Iodimetri dan Permanganometri
2. Kelompok
: 7Senin Pagi
3. Anggota
1. Nama Lengkap
: Erna Listyaningrum
: Teknik Kimia
UniversitasInstitutPoliteknik
: Universitas Diponegoro
2. Nama Lengkap
: Farel Abdala Shiddiq
: Teknik Kimia
UniversitasInstitutPoliteknik
: Universitas Diponegoro
3. Nama Lengkap
: Mita Dewi Annisa
: Teknik Kimia
UniversitasInstitutPoliteknik
: Universitas Diponegoro
Semarang, 20 Desember 2013 Asisten Laboratorium PDTK I
Rizki Angga Anggita NIM 21030112140036
–
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan resmi Praktikum Dasar Teknik Kimia 1 dengan lancar dan sesuai dengan harapan kami.
Ucapan terima kasih juga kami ucapkan kepada asisten laboratorium PDTK
1, asisten Rizki Angga Anggita sebagai asisten laporan praktikum Iodo – Iodimetri dan Permanganometri kami, dan semua asisten yang telah membimbing sehingga tugas laporan resmi ini dapat terselesaikan. Kepada teman-teman yang telah membantu baik dalam segi waktu maupun motivasi apapun kami mengucapkan terima kasih.
Laporan resmi praktikum dasar tekinik kimia 1 ini berisi materi tentang iodo – iodimetri. Iodo – iodimetri merupakan analisa titrimetrik yang secara langsung dan tidak langsung. Tujuan dari percobaan untuk menentukan kadar Cu 2+ dalam larutan
sampel.
Laporan resmi ini merupakan laporan resmi terbaik yang saat ini bisa kami ajukan, namun kami menyadari pasti ada kekurangan yang perlu kami perbaiki. Maka dari itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan.
Semarang, 20 Desember 2013
Penyusun
–
INTISARI
Reaksi – reaksi yang melibatkan reaksi oksidasi reduksi digunakan secara luas oleh analisa titrimetrik. Ion – ion dari berbagai unsur dapat hadir dalam kondisi oksidasi yang berbeda – beda menghasilkan banyak reaksi redoks. Banyak dari reaksi – reaksi ini memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam analisa titrimetrik dan penerapan – penerapan cukup banyak.
Proses reduksi oksidasi adalah proses yang menyangkut perpindahan elektron dari suatu pereaksi ke pereaksi lain. Iodometri adalah analisa titrimetrik secara tidak langsung untuk zat yang bersifat oksidator seperti besi (III), tembaga (II), dimana zat ini akan mengoksidasi ioda yang ditambahkan menjadi iodin. Sedangkan iodimetri adalah analisa titrimetrik secara langsung yang digunakan untuk zat yang bersifat reduktor atau natrium tiosulfat dengan menggunakan iodin atau penambahan larutan baku berlebih. Amylum merupakan indikator yang kuat terhadap iodin. Alasan digunakannya amylum sebagai indikator karena harganya murah, mudah didapat, perubahan saat TAT jelas, reaksi spontan, dapat dipakai sekaligus dalam iodo – iodimetri. Kelemahan amylum yaitu tidak stabil, mudah rusak, dan sukar larut dalam air.
Pada percobaan ini kami membutuhkan alat seperti buret, statif, klem, erlenmeyer, gelas ukur, beaker glass, pipet, dan indikator PH. Langkah pertama
yang kami lakukan adalah standarisasi Na 2 S 2 O 3 dengan K 2 Cr 2 O 7 0,01N, ambil 10 ml
K 2 Cr 2 O 7 , encerkan sampai 40 ml, tambahkan 2,4 ml HCl pekat dan 12 ml KI 0,1N,
titrasi dengan Na 2 S 2 O 3 sampai warna kuning hampir hilang, tambahkan 3 tetes
amylum sampai warna biru, lanjutkan titrasi sampai warna biru hilang, catat volume Na 2+
2 S 2 O 3 . Kemudian menentukan kadar Cu dalam sampel, ambil 10 ml sampel, atur
PH sampai 2 dengan NH 4 OH atau H 2 SO 4 , masukkan 12 ml KI 0,1N, titrasi dengan
Na 2 S 2 O 3 sampai warna kuning hampir hilang, tambahkan 3 tetes amylum sampai
warna biru, lanjutkan titrasi sampai warna biru hilang, catat volume Na 2 S 2 O 3 .
Hasil percobaan yang kami dapat pada sampel 1 adalah 140,41 ppm dengan persen error 76,56, sampel 2 140,16 ppm dengan persen error 83,28, dan sampel 3 139,1 ppm dengan persen error 85,48. Pada percobaan yang kami
lakukan, kadar Cu 2+ lebih kecil dari kadar asli karena I
2 menguap saat sampel ditambah KI, pada sampel 1 0.0361 mmol I 2 yang menguap, sampel 2 0,055 mmol,
sampel 3 0,06405 mmol. Selain itu, penambahan amylum yang terlalu cepat dan
kecepatan reaksi I 2+
2 + 2S 2 O 3 –> 2I +S 4 O 6 rendah menyebabkan kadar Cu yang
kami temukan lebih kecil dari kadar asli.
Kesimpulan dari percobaan yang kami lakukan adalah pada sampel 1 kadar Cu 2+ yang kami temukan 140,41 ppm lebih kecil dari kadar asli 599,04 ppm, persen
error 76,56. Pada sampel 2 kadar Cu 2+ yang kami temukan 140,16 ppm lebih kecil dari kadar asli 838,65 ppm, persen error 83,28. Pada sampel 3 kadar Cu 2+ yang
kami temukan 139,1 ppm lebih kecil dari kadar asli sebesar 958,45 ppm, persen error 85,48. Saran yang dapat kami berikan adalah mencuci setiap peralatan yang akan digunakan, menguasai prosedur kerja sebelum praktikum dan hindari kesalahan praktikum, jangan terlalu cepat dalam penambahan amylum dan hindarkan amylum dari sinar matahari, perhatikan dengan seksama perubahan warna selama proses titrasi, serta jangan menggunakan reagen berlebih.
–
SUMMARY
Reactions that involve oxidation-reduction reactions are used extensively by titrimetric analysis. Ions of various elements can be present in different oxidation states - generating a lot of different redox reactions. Many of the reactions are eligible for use in titrimetric analysis and the applications quite a lot.
Oxidation-reduction process is a process that involves the transfer of electrons from one reagent to another reagent. Iodometry is indirect titrimetric analysis for substances that are oxidizing agents such as iron (III), copper (II), in which these substances will oxidize Ioda added to iodine. While Iodimetri is titrimetric analysis directly used for substances that are reducing agents or sodium thiosulfate using a standard solution of iodine or addition of excess. Amylum is a strong indicator of the iodine. Reason Amylum used as an indicator because it's cheap, easy to obtain, while changes in the titration endpoint is clear, spontaneous reactions, can be used at once in the iodo - Iodimetri. Amylum weakness that is unstable, easily damaged, and poorly soluble in water.
In this experiment we need a tool like burette, stative, clamps, erlenmeyer, measuring cups, beaker glass, pipettes, and pH indicator. The first step we do is
standardize Na 2 S 2 O 3 with 0.01 N K 2 Cr 2 O 7 , take 10 ml of K 2 Cr 2 O 7 , dilute to 40 ml, add 2.4 ml of concentrated HCl and 12 ml of 0.1 N KI, titration with Na 2 S 2 O 3 until
the yellow color is almost gone, add 3 drops of Amylum until the blue color is appear, continue titration until the blue color disappeared, record volume of
Na 2+
2 S 2 O 3 . Then determine the conten of Cu in the sample, take 10 ml of the sample,
adjust pH to 2 with NH 4 OH or H 2 SO 4 , enter 12 ml of 0.1 N KI, titration with Na 2 S 2 O 3
until the yellow color is almost dissapeared, add 3 drops of Amylum until the blue color is appear, continue titration until the color blue disappeared, write the volume
of Na 2 S 2 O 3 . The results of our experiments in 1 st sample was 140.41 ppm with 76.56
percent error, 2 rd sample 140.16 ppm with 83.28 percent error, and 3 sample 139.1 ppm with 85.48 percent error. In the experiments that we did, content of
nd
Cu 2+ is smaller than the original content because I
2 evaporates when KI added, the
st
1 rd sample 0.0361 mmol I
2 evaporated, 2 sample 0.055 mmol, 3 sample 0.06405
nd
mmol. Moreover, the addition Amylum too fast and the speed of the reaction I 2 +
2 O 3 -> 2I +S 4 O 6 low lead, so the content of Cu that we found smaller than the
original content.
The conclusion of the experiment that we did were in 1 2+ sample Cu content that we found 140.41 ppm smaller than the original content 599.04 ppm, 76.56
st
percent error. In 2 2+ sample Cu content that we found 140.16 ppm smaller than the
nd
original content 838.65 ppm, 83.28 percent error. In 3 2+ sample Cu content that we found 139.1 ppm smaller than the original content 958.45 ppm, 85.48 percent
rd
error. The advice that we can give are to wash any equipment to be used, control of working procedure before practicum and avoid mistakes, do not be too quick in addition Amylum Amylum and keep it away from sunlight, carefully to observe the change of color during the titration process, and do not use excess reagent .
–
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Reaksi – reaksi yang melibatkan reaksi oksidasi reduksi digunakan secara luas oleh analisa titrimetrik. Ion – ion dari berbagai unsur dapat hadir dalam kondisi oksidasi yang berbeda – beda menghasilkan banyak reaksi redoks. Banyak dari reaksi – reaksi ini memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam analisa titrimetrik dan penerapan – penerapan cukup banyak.
I.2. Tujuan Percobaan
Menentukan kadar Cu 2+ dalam larutan sampel.
1.1. Manfaat Percobaan
Sebagai alat bantu dalam penentuan kadar Cu 2+ secara aplikatif dalam berbagai sampel yang didalamnya mengandung ion Cu 2+ .
–
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Pengertian Reduksi – Oksidasi
Proses reduksi oksidasi atau redoks adalah proses yang menyangkut perpindahan elektron dari suatu pereaksi ke pereaksi lain. Reduksi adalah penangkapan satu atau lebih elektron oleh suatu atom, ion atau, molekul. Sedangkan oksidasi adalah pelepasan satu atau lebih electron dari suatu atom, ion, atau molekul.
Tidak ada elektron bebas dalam sitem kimia, dan pelepasan elektron oleh suatu zat kimia selalu disertai penangkapan elektron dari bagian lainnya, dengan kata lain oksidasi selalu diikuti oleh reduksi. Dalm reaksi oksidasi reduksi (redoks) terjadi perubahan valensi dari zat – zat yang mengadakan reaksi. Disini terjadi transfer elektron dari pasangan pereduksi ke pasangan pengoksidasi.
Kedua waktu paro dari suatu reaksi redoks umumnya dapat ditulis sebagai berikut:
red
oks + n é Dimana red menunjukkan bentuk tereduksi (disebut juga reduktan atau zat
pereduksi), oks adalah bentuk teroksidasi (oksidan atau zat pengoksidasi), n adalah jumlah elektron yang di transfer dan é adalah elektron.
II.2. Reaksi Redoks
Reaksi redoks secara luas diigunakan dalam analisa titrimetrik dari zat – zat anorganik maupun organik. Untuk menetapkan titik akhir pada titrasi redoks dapat dilakukan secara potensiometrik atau dengan bantuan indikator.
Contoh dari reaksi redoks :
5Fe 3+ 5Fe + 5e merupakan reaksi oksidasi
–
II.3.Iodometri
Adalah analisa titrimetrik yang secara tidak langsung untuk zat yang bersifat oksidator seperti besi III, tembaga II, dimana zat ini akan mengoksidasi iodida menjadi iodin. Iodin yang terbentuk akan ditentukan dengan menggunakan larutan baku tio sulfat.
Oksidator + KI
I 2 + 2e
I 2 + Na 2 S 2 O 3 Nal + Na 2 S 4 O 6
II.4. Iodimetri
Adalah analisa titrimetrik yang secara langsung untuk zat yang bersifat reduktor atau natrium tiosulfat dangan menggunakan larutan iodine atu dengan menggunakan larutan baku berlebihan. Kelebihan iodine dititrasi kembali dengan larutan tiosulfat.
Reduktor + I -
2 2I
Na 2 S 2 O 3 +I 2 Nal + Na 2 S 4 O 6
II.5. Teori Indikator Amylum
Amylum merupakan indicator kuat terhadap iodine, yang akan berwarna biru bila suatu zat positif mengandung iodine. Alas an dipakainya amylum sebagai indicator, diantaranya:
Harganya murah Mudah didapat Perubahan warna saat TAT jelas Reaksi spontan (tanpa pemanasan) Dapat dipakai sekaligus iodo – iodimetri
Sedangkan kelemahan indicator ini adalah :
Tidak stabil(mudah terhidrolisa)
–
Mudah rusak (terserang bakteri) Sukar larut dalam air
Cara pembuatan indicator amylum:
3 gram kanji dimasukkan ke dalam beaker glass 250 ml, lalu ditetesi aqudest
sampai terbentuk pasta. o Masukkan air yang telah dipanaskan pada suhu 60-65
C sebanyak 100 cc
kedalam beaker glass yang berisi pasta amylum tersebut kemudian diaduk sampai amylum benar – benar larut.
Bila perlu tambahkan 3 tetes KI sebagai pelindung dari peruraian bakteri. Diamkan sampai mengendap, setelah dingin ambil bagian tengah larutan
sebagai indikator.
II.6. Mekanisme Reaksi
Mekanisme reaksi adalah tahapan – tahapan reaksi yang menggambarkan seluruh rangkaian suatu reaksi kimia. Mekanisme reaksi iodo – iodimetri:
2Cu - + 4I 2CuI + I
Amylum + I -
3 amylumI (biru)
II.7. Hal – Hal yang Perlu Diperhatikan
1. Titrasi sebaiknya dilakukan dalam keadaan dingin, didalam Erlenmeyer tanpa katalis agar mengurangi oksidasi I - oleh O
2 dari udara menjadi I 2 .
2. Na 2 S 2 O 3 adalah larutan standar sekunder yang harus distandarisari terlebih
dulu.
3. Penambahan indicator di akhir titrasi (sesaat sebelum TAT).
4. Titrasi tidak dapat dilakukan dalam medium asam kuat karena akan terjadi hidrolisa amylum.
5. Titrasi tidak dapat dilakukan dalam medium alkali kuat karena I 2 akan
mengoksidasi tiosulfat menjadi sulfat.
–
6. Larutan Na 2 S 2 O 3 harus dilindungi dari cahaya karena cahaya membantu
aktivitas bakteri thioparus yang mengganggu.
II.8. Sifat Fisik dan Kimia Reagen
1. Na 2 S 2 O 3 . 5H 2 O (Natrium Tiosulfat)
Fisis : BM : 158.09774 grmol TL : 48.3 O C
BJ : 1.667 grcm 3 , solid TD : terkomposisi Chemist
+ Anion tiosulfat bereaksi secara khas dengan asam (H ) menghasilkan sulfur,
sulfur dioksida, dan air
S 2 O 3(aq) + 2H (aq) S (s) + SO 2(g) H 2 O (l)
Anion tiosulfat bereaksi secara stokiometri dengan iodine dan terjadi reaksi
2 O 3 (aq) + 2I (aq) S 4 O 6 (aq) + 2I (aq)
2. HCl Fisis :
BM : 36,45 grmol BJ : 1,268 grcc TD : 85 o C TL : - 110 o C Kelarutan dalam 100 bagian air 0 o C = 82,3 Kelarutan dalam 100 bagian air 100 o C = 56,3
Chemist : 2+ Bereaksi dengan Hg membentuk endapan putih Hg
2 Cl 2 yang tidak larut
dalam air panas dan asam encer tapi larut dalam amoniak encer, larutan KCl beserta tiosulfat :
Hg 2 Cl 2 + 2NH 3 Hg(NH 4 )Cl + Hg + NH 4 Cl
2+ Bereaksi membentuk Pb membentuk endapan putih PbCl
2 HCl + Pb + PbCl
2 + 2H
Mudah menguap apalagi bila dipanaskan Konsentrasi tidak mudah berubah karena udaracahaya Merupakan asam kuat karena derajat disiosiasinya tinggi
–
3. KI (Potassium Iodida) Fisis :
BM : 166,0 grmol TL : 681 o C
3 BJ : 3,13 grcm o , solid TD : 1330 C Kelarutan dalam air pada suhu 6 o C : 128 gr100mol
Chemist :
Ion iodide merupakan reducing agent, sehingga mudah teroksidasi menjadi I 2
oleh oxidizing agent kuat seperti Cl 2
2 KI(aq) + Cl 2(aq)
2KCl + I 2(aq)
3- KI membentuk I ketika direaksikan dengan iodine
KI (aq) +I 2(s) KI 3(aq)
–
BAB III METODOLOGI PERCOBAAN
III. 1. Bahan dan Alat yang Digunakan
III.1.1. Bahan
1. Sampel
2. Na 2 S 2 O 3
3. K 2 Cr O7 0,01 N
4. HCl pekat
III.1.2. Alat
1. Buret, statif, klem
2. Erlenmeyer
3. Glass ukur
4. Beaker glass
5. Pipet tetes
6. Indikator pH
–
III. 2. Gambar Alat
Gambar 3.1.
Gambar 3.2. Erlenmeyer
Gambar 3.3. Gelas ukurr
Buret,statif,klem
Gambar 3.4. Beaker
Gambar 3.5. Pipet
Gambar 3.6. Indikator pH
glass
III. 3. Keterangan dan Fungsi
1. Buret ,statif, klem
: digunakan untuk titrasi
2. Erlenmeyer
: mereaksikan suatu larutan
3. Gelas ukur
: mengukur volume larutan
4. Beaker glass
: menampung larutan dalam jumlah banyak
5. Pipet tetes
: digunakan untuk menambahkan larutan dalam jumlah
sedikit
6. Indikator pH
: digunakan untuk mengetahui harga pH suatu larutan
III. 4. Cara Kerja
III.4.1. Standarisasi Na 2 S 2 O 3 dengan K 2 CrO 7 0,01 N
1. Ambil 10 ml larutan K 2 CrO 7 0,01 N, encerkan dengan aquadest sampai 40
ml
2. Tambahkan 2,4 ml HCl pekat
3. Tambahkan 12 ml KI 0,1N
4. Titrasi larutan tersebut dengan Na 2 S 2 O 3 sampai warna kuning hamper
hilang
5. Tambahkan amylum 3-5 tetes sampai warna bitu
2. Lanjutkan titrasi sampai warna biru hampir hilang
3. Catat kebutuhan Na 2 S 2 O 3 seluruhnya N Na 2 S 2 O 3 =
III.4.2. Menentukan Kadar Cu 2+ dalam Sampel
1. Ambil 10 ml sampel
2. Test sampel jika terlalu asam tambahkan NH 4 OH sampai pH 3-5 dan jika
terlalu basa tambahkan H 2 SO 4 sampai pH 3-5
3. Masukkan 12 ml KI 0,1 N
4. Titrasi dengan Na 2 S 2 O 3 sampai warna kuning hamper hilang
5. Tambahkan amylum 3-5 tetes sampai warna biru
6. Lanjutkan titrasi sampai warna biru hamper hilang
7. Catat kebutuhan titran
Cu (ppm) = ( V.N ) Na 2 S 2 O 3 . BM Cu .
Cu (ppm) = ( V.N ) Na 2 S 2 O 3 . BM Cu .
mol L
BAB IV HASIL PERCOBAAAN DAN PEMBAHASAN
IV.1. Hasil Percobaan
Tabel 4.1. Kadar Cu 2+ yang ditemukan, kadar Cu yang asli berserta persen errornya.
Sampel Kadar asli Kadar yang ditemukan Persen error
I 599,04 ppm
140,41 ppm
II 838,65 ppm
IV.2. Pembahasan
IV.2.1. Kadar Cu 2+ yang kami temukan pada sampel 1 140,41 ppm, sedangkan
kadar aslinya 599,04 ppm. Pada sampel 2 kami menemukan 140,16 ppm, sedangkan kadar aslinya 838,65 ppm. Dan pada sampel 3 kami menemukan 139,1 ppm, sedangkan kadar aslinya 958, 45 ppm. Faktor yang menyebabkan kadar yang ditemukan lebih kecil dari kadar aslinya adalah:
a. I 2 yang menguap
Pada saat sampel ditambahkan KI, ada sebagian I 2 yang menguap karena
sifatnya yang sensitif terhadap udara.
2Cu - + 4I 2CuI + I
Adanya cahaya matahari membuat I 2 menguap dan mengakibatkan jumlah I 2
yang tersisa menjadi sedikit.
amylumI 3 (biru)
2Cu - + 4I 2CuI + I
Cu 2+ yang ditemukan = 140,41 ppm
= 2,21 . 10 -3 mmolml
Mol Cu 2+ = [Cu ] . V Cu
= 2,21 . 10 -3 . 10 -2 = 2,21 . 10 mmol
I 2 = . 2,21 . 10 = 0,01105 mmol
Kadar asli
= 9,43 . 10 -3 mmolml
= 9,43 . 10 -3 . 10 -2 = 9,43 . 10 mmol
I 2 = . 9,43. 10 = 0,04715 mmol
I 2 yang menguap= 0,04715 – 0,01105
2Cu - + 4I 2CuI + I
Cu 2+ yang ditemukan = 140,41 ppm
= 2,20 . 10 -3 mmolml
Mol Cu 2+ = [Cu ] . V Cu = 2,20 . 10 -3 . 10 -2 = 2,20 . 10
I 2 = . 2,20 . 10 = 0,011 mmol
Kadar asli
= 1,32 . 10 -2 mmolml
Mol Cu 2+ = [Cu ] . V Cu = 1,32 . 10 -2 . 10
= 0,0132 mmol
I 2 = . 0,0132 = 0,066 mmol
I 2 yang menguap= 0,066 – 0,011
2Cu - + 4I 2CuI + I
Cu 2+ yang ditemukan = 139,1 ppm
= 2,19 . 10 -3 mmolml
Mol Cu 2+ = [Cu ] . V Cu = 2,21 . 10 -3 . 10 -2 = 2,19 . 10 mmol
I 2 = . 2,19 . 10 = 0,01095 mmol
Kadar asli
= 1,5 . 10 -2 mmolml
I 2 = . 0,015 = 0,075 mmol
I 2 yang menguap= 0,075 – 0,01095
= 0,06405 mmol
b. Penambahan indikator amylum terlalu cepat
2Cu - + 4I 2CuI + I
2 +2S 2 O 3 2I +S 4 O 6 (underwood 298)
I 3-
2 +I I (underwood 296)
Amylum + I -
3 amylumI (biru)
(underwood 297)
Amylum menyerap iod sehingga menyebabkan iod sukar lepas kembali. I 2
yang bereaksi dengan tiosulfat dan membentuk kompleks triodida jadi berkurang.
2 +2S 2 O 3 2I +S 4 O 6 (underwood 298)
I 3-
2 +I I (underwood 296) Berkurangnya I 2 menyebabkan kebutuhan Na 2 S 2 O 3 pada saat titrasi
menjadi semakin kecil, sehingga kadar Cu 2+ yang kami temukan lebih kecil dari kadar asli.
c. Kecepatan reaksi I 2-
2 +2S 2 O 3 2I +S 4 O 6 rendah
Adaya penguapan I 2 dan penyerapan oleh amylum menyebabkan
konsentrasi I 2 dalam larutan menjadi kecil. Selain itu, karena adanya sebagian
tiosulfat yang teroksidasi menjadi sulfat, mengakibatkan konsentrasi S 2-
4 O 6
menjadi lebih kecil.
8I + 2SO 4 + 10H (underwood 298)
Kecilnya konsentrasi I 2-
2 dan 2 S 2 O 3 menyebabkan laju pembentukan
kompleks triodida melambat. Hal tersebut mengakibatkan reaksi kompleks I -
dengan amylum menjadi lebih cepat dan titik akhir titrasi tercapai sebelum titik
kesetaraan yang seharusnya. Akibatnya, kebutuhan volume Na 2 S 2 O 3 pada saat
titrasi menjadi lebih kecil sehingga kadar Cu 2+ yang kami temukan lebih kecil dari kadar asli.
IV.2.2. Teori Amylum Pati atau amylum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air,
berwujud bubuk putih dan tidak berbau. Amylum terdiri dari 3-10 gula yang saling berikatan. Amylum tersebar luas pada kandungan tanaman. Amylum
mempunyai rumus molekul (C 3
6 H 10 O 5 ) n dengan densitas 1,5 gcm . Dalam air
dingin amylum tidak akan larut, namun apabila dalam air yang dipanaskan akan terjadi suatu larutan koloid yang kental, memberikan warna biru keunguan yang pekat pada tes iodin dan dapat dihidrolisis dengan menggunakan asam sehingga menghasilkan glukosa.
Alasan digunakan amylum karena harganya murah, mudah didapat, perubahan warna pada titik akhir titrasi jelas, reaksi spontan, dan dipakai sekaligus dalam iodo – iodimetri.
Pada amylum terbentuk 3 lapisan, yaitu α amilosa, β amilosa, dan amilopektin.
(http:eltracytaocklora.blogspot.com201209amilum-atau-amilosa-html)
Gambar 4.1. Lapisan Amylum
Pada iodo – iodimetri yang dipakai adalah lapisan β amilosa. Karena jika dipakai amilopektin, maka akan membentuk kompleks kemerah – merahan dengan iodium, yang sulit dihilangkan warnanya karena rangkaiannya yang panjang dan bercabang.
(http:www.chem-is-try.orgmateri_kimiainstrumen_analisisiodometriindikator)
BAB V PENUTUP
V.1. Kesimpulan
1. Pada sampel 1 kadar Cu 2+ yang kami temukan 140,41 ppm lebih kecil dari kadar asli 599,04 ppm, persen error 76,56.
2. Pada sampel 2 kadar Cu 2+ yang kami temukan 140,16 ppm lebih kecil dari kadar asli 838,65 ppm, persen error 83,28.
3. Pada sampel 3 kadar Cu 2+ yang kami temukan 139,1 ppm lebih kecil dari kadar asli sebesar 958,45 ppm, persen error 85,48.
V.2. Saran
1. Mencuci setiap peralatan yang akan digunakan agar tidak terkontaminasi dengan zat – zat atau larutan yang telah digunakan sebelumnya.
2. Sebelum memulai praktikum, praktikan harus menguasai prosedur kerja yang akan dilakukan, sehingga proses praktikum berjalan lancar.
3. Penambahan indikator amylum jangan terlalu cepat karena akan memperlambat laju reaksi.
4. Hindarkan indikator amylum dari sinar matahari untuk mencegah adanya kerusakan.
5. Perhatikan dengan seksama perubahan warna selama proses titrasi.
6. Bekerja dengan hati – hati untuk menghindari kesalahan praktikum.
7. Jangan menggunakan reagen berlebih.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim . 2012 . Amilum atau Amilosa . http:eltracytaocklora.blogspot.com
201209amilum-atau-amilosa-html . diakses tanggal 5 November 2013 Anomim . 2010 . Indikator . http:www.chem-is-try.orgmateri_kimia
instrumen_analisisiodometriindikator . diakses tanggal 5 November 2013 Underwood, AI and Day RA . 1986 . Analisa Kimia Kuantitatif 5th edition
diterjemahkan oleh R Soendoro . Jakarta : Erlangga Vogel, AI . Buku Teks Anorganik Kualitatif Makro dan Semi Makro
diterjemahkan oleh Ir. Sutiono dan Dr. A Hadyono Pudjaatmadja . Jakarta : PT. Kalman Media Pustaka
INTISARI
Reaksi redoks secara luas digunakan dalam analisa titrimetrik dari zat – zat anorganik maupun organik. Analisis volumetri yang berdasarkan reaksi redoks salah satunya adalah permanganometri.
Permanganometri adalah salah satu analisa kuantitatif volumetrik yang
didasarkan reaksi oksidasi ion permanganat dengan larutan standar KMnO 4 untuk
menentukan kadar Fe dalam sampel. Permanganometri mempunyai kelebihan mudah didapat dengan harga murah, tidak memerlukan indikator, reaksinya cepat. Namun juga memiliki kekurangan harus distandarisasi terlebih dahulu, berlangsung baik dalam suasana asam, dan waktu yang dibutuhkan cukup lama.
Pada percobaan ini kami membutuhkan alat seperti erlenmeyer, beaker glass, gelas ukur, kompor listrik, buret, corong, dan pipet. Langkah pertama yang
kami lakukan adalah standarisasi KMnO 4 dengan Na 2 C 2 O 4 0,1N 10 ml yang dimasukkan kedalam erlenmeyer, tambahkan 6 ml H 2 SO 4 6N, panaskan sampai
85 o C, titrasi dalam keadaan panas sampai warna merah jambu yang tidak hilang
pada pengocokan, catat kebutuhan KMnO 4 . Setelah itu menentukan kadar Fe dalam sampel dengan menambahkan 20 ml H 2 SO 4 encer, titrasi hingga timbul warna
merah jambu yang tidak hilang pada pengocokan.
Dari percobaan yang kami lakukan, pada sampel 1 kami menemukan kadar Fe 0,0807, sedangkan kadar aslinya 0,0374, persen error 115,78. Pada sampel 2 kami menemukan kadar Fe 0,0795, sedangkan kadar aslinya 0,0381, persen error 108,66. Pada sampel 3 kami menemukan kadar Fe 0,0611, sedangkan kadar aslinya 0,0395, persen error 54,68. Kadar Fe yang ditemukan
lebih besar dari kadar aslinya karena penambahan KMnO 4 yang terlalu cepat pada
larutan H 2+
2 SO 4 . Hal ini cenderung menyebabkan reaksi antara MnO 4 dengan Mn .
Akibatnya jumlah volume KMnO 4 yang tertitrasi menjadi lebih besar, sehingga TAT
terlewati dan kadar Fe yang ditemukan menjadi lebih besar. Larutan pentiter
KMnO 4 yang terlalu lama pada buret, sehingga KMnO 4 terkena sinar matahari akan
terurai menjadi MnO 2 , sehingga pada TAT akan diperoleh persipitat coklat yang
seharusnya adalah larutan yang berwarna merah rosa, akibatnya KMnO 4 terus dititrasi hingga larutan berwarna merah rosa, sehingga volume KMnO 4 menjadi
lebih besar dan TAT menjadi terlewati, maka kadar Fe yang ditemukan menjadi lebih besar.
Kesimpulan dari percobaan yang kami lakukan adalah pada sampel 1 kami menemukan kadar Fe 0,0807, sedangkan kadar aslinya 0,0374, persen error 115,78. Pada sampel 2 kami menemukan kadar Fe 0,0795, sedangkan kadar aslinya 0,0381, persen error 108,66. Pada sampel 3 kami menemukan kadar Fe 0,0611, sedangkan kadar aslinya 0,0395, persen error 54,68 karena
penambahan KMnO 4 yang terlalu cepat dan larutan KMnO 4 yang terlalu lama pada
buret. Saran yang dapat kami berikan adalah titrasi dilakukan dengan cermat agar
TAT tidak terlewati, KMnO 4 jangan ditambahkan secara berlebih, mengamati
perubahan warna dengan seksama, mencuci setiap peralatan yang akan digunakan, dan teliti dalam menambahkan reagen.
SUMMARY
Redox reactions are widely used in titrimetric analysis of organic substances and inorganic substances. One of volumetric analysis based on redox reactions is permanganometri.
Permanganometri is one of quantitative analysis volumetric based on oxidation reaction permanganate ion with KMnO4 standard solution to determine the Fe content in the samples. Permanganometri has the advantage of easily available at low prices, it does not require an indicator, a quick reaction. But also have to be standardized first deficiencies, lasted well in acidic conditions, and it takes quite a long time.
In this experiment we need tools like erlenmeyer, beaker glass, measuring glass, electric stove, burette, funnel and pipette. The first step we do is standardize
KMnO 4 with 10 ml of 0.1N Na 2 C 2 O 4 entered into erlenmeyer, add 6 ml of 6N H 2 SO 4 ,
heat to 85 o
C, titration in hot conditions until a pink color is not lost in the shuffle,
noted the need KMnO 4 . Once it determines the Fe content in the samples by adding
20 ml of dilute H 2 SO 4 , the titration until the resulting pink color that is not lost in the
shuffle.
From the experiments that we did , in the 1 st sample we found 0.0807 Fe content , whereas the original content 0.0374 , 115.78 percent error . In 2 nd
sample we found 0.0795 Fe content , whereas the original content 0.0381 , 108.66 percent error . In 3 rd sample we found 0.0611 Fe content, whereas the
original content 0.0395 , 54.68 percent error . Fe content were found to be
greater than the original levels due to the addition of KMnO 4 is too fast in H 2 SO 4
solution . This tends to cause a reaction between MnO 2+
4 with Mn . As a result the
amount of KMnO 4 is titrated, so volume becomes larger , so the end elapsed and Fe
content were found to be larger. KMnO 4 solution in the burette is too long , so KMnO 4 exposed to sunlight will break down into MnO 2 , so that the end point will be
obtained persipitat brown solution that is supposed to be red , consequently titrated
KMnO 4 continue until red solution , so that the volume of KMnO 4 become more large
and the end point be exceeded , then the Fe content found to be greater .
The conclusion of the experiment that we did were in 1 st sample we found 0.0807 Fe content, whereas the original content of 0.0374, 115.78 percent
error. In 2 nd sample we found 0.0795 Fe content, whereas the original content of 0.0381, 108.66 percent error In 3 rd sample we found 0.0611 Fe content,
whereas the original content of 0.0395, 54.68 percent error because to addition
of KMnO 4 too fast and KMnO 4 solution too long on the burette. The advice we can
give are titration done carefully so that the the end point is not exceeded, the excess
KMnO 4 is not added, the color changes observed carefully, wash any equipment to
be used, and carefull in adding reagents.
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Reaksi redoks dipergunakan secara luas dalam analisa titrimetrik zat – zat organic maupun anorganik. Untuk menetapkannya, titik akhir pada titrasi redoks dapat dilakukan secara potensiometrik atau dengan bantuan indikator. Analisa yang berdasarkan reaksi redoks diantaranya yaitu permanganometri.
I.2. Tujuan Percobaan
Menentukan kadar Fe yang terdapat dalam sampel
I.3. Manfaat Percobaan
Mengetahui besarnya kadar Fe didalam sampel dan dapat memanfaatkan analisa ini di dalam kehidupan sehari - hari
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II..1. Pengertian Permanganometri
Permanganometri adalah suatu analisa volumetric yang didasarkan pada
reaksi oksidasi ion permanganat. Larutan standar yang digunakan ialah KMnO 4 . Sebelum digunakan untuk titrasi, larutan KMnO 4 harus distandarisasi terlebih dahulu karena bukan merupakan larutan standar primer. Selain itu KMnO 4
mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Tidak dapat diperoleh secara murni
2. Mengandung oksida MnO dan Mn 2 O 3
3. Larutan tidak stabil ( jika ada zat organic ) Reaksi :
4. Tidak boleh disaring dengan kertas saring ( zat organik ) dengan
glass
wool
5. Sebaiknya disimpan dalam botol coklat
6. Distandarisasi dengan larutan standar primer.
Zat standar primer yang biasa digunakan antara lain : As 2 O 3 , Na 2 C 2 O 4 ,
H 2 C 2 O 4 , Fe(NH 4 ) 2 (SO 4 ) 2, K 4 Fe(CN) 6 , logam Fe, KHC 2 O 4 H 2 C 2 O 4 2H 2 O
Oksidasi ion permanganate dapat berlangsung dalam suasana asam, netral dan alkalis.
1. Dalam suasana pH ± 1
Reaksi : MnO 2+
Kalium permanganate dapat bertindak sebagai indicator, dan umumnya titrasi dilakukan dalam suasana asam karena akan lebih mudah mengamati titik akhir titrasinya.
Namun ada beberapa senyawa yang lebih mudah dioksidasi dalam
suasana netral atau sedikit alkalis contohnya hidrasin, sulfit, sulfide, dan tiosulfat. Reaksi dalam suasana netral yaitu :
Reaksi dalam suasana alkalis atau basa yaitu :
II.2. Kelebihan dan Kekurangan Analisa dengan Permanganometri
Kelebihan :
1. Larutan standarnya, yaitu KMnO 4 mudah diperoleh dan harganya murah.
2. Tidak memerlukan indicator untuk TAT. Hal itu disebabkan karena KMnO 4
dapat bertindak sebagai indicator.
3. Reaksi cepat dengan banyak pereaksi. Kekurangan :
1. Harus ada standarisasi di awal terlebih dahulu.
2. Dapat berlangsung lebih baik jika dilakukan dalam suasana asam.
3. Waktu yang diperlukan untuk analisa cukup lama.
II.3. Sifat Fisik dan Kimia Reagen
1. KMnO 4 Berat Molekul : 158,03 Warna, bentuk kristalinnya and refractive index : purple, rhb Berat Jenis : 2,703 o Titik Lebur (
C) : < 240
o Kelarutan dalam 100 bagian air dingin : 2,83 o Air panas : 32,3575
2. H 2 SO 4 Berat Molekul : 98,08 Warna, bentuk kristalinnya and refractive index : col., viscous lq Berat Jenis : 1,8344180 o Titik Lebur (
C) : 10,49
o Titik Didih (
C) : 340
Kelarutan dalam 100 bagian air dingin : ∞ Air panas : ∞
BAB III METODOLOGI PERCOBAAN
III.1. Alat dan Bahan
III.1.1. Bahan
1. Sampel
2. KMnO 4 0,1 N
3. H 2 SO 4 encer
III.1.2. Alat
1. Erlenmeyer
2. Beaker glass
3. Kompor listrik
4. Corong
5. Gelas ukur
6. Buret
7. Kertas saring
8. Pipet
III.2. Gambar Alat
Gambar 3.1. Erlenmeyer
Gambar 3.2. Beaker glass Gambar 3.3. Gelas ukur
Gambar 3.4. Kompor listrik
Gambar 3.5.
Gambar 3.6. Kertas saring
Buret, statif, klem
Gambar 3.7. Corong
Gambar 3.8. Pipet
III.3. Keterangan dan Fungsi
1. Erlenmeyer
: mereaksikan suatu larutan
2. Beaker glass
: menampung larutan dalam jumlah banyak
3. Kompor listrik
: memanaskan larutan
4. Corong
: menyaring cairan kimia
5. Gelas ukur
: mengukur volume larutan
6. Buret ,statif, klem : digunakan untuk titrasi
7. Kertas saring
: menyaring larutan
8. Pipet tetes
: digunakan untuk menambahkan larutan dalam jumlah sedikit
III.4. Cara Kerja
III.4.1. Standarisasi KMnO 4 dengan Na 2 C 2 O 4 0,1 N
1. Ambil 10 ml larutan, Na 2 C 2 O 4 0,1 N kemudian masukkan dalam
Erlenmeyer
2. Tambahkan 6 ml H 2 SO 4 6N
3. Panaskan 70-80 o C
4. Titrasi dalam keadaan panas dengan menggunakan KMnO 4
5. Hentikan titrasi jika muncul warna merah jambu yang tidak hilang dengan
pengocokkan
6. Catat kebutuhan KMnO 4 N KMnO 4 =
III.4.2. Menentukan kadar Fe dalam sampel
1. Persiapkan sampel beserta alat dan bahan
2. Ambil sampel dan tambahkan 20 ml asam sulfat encer
3. Titrasi dengan Kalium Permanganat sampai warna merah jambu yang
tidak hilang akibat pengocokkan Reaksi yang terjadi :
Perhitungan : Mgzat = ml titran x N titran x BE zat
BEzat =
Kadar =
BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN
IV.1. Hasil Percobaan
Tabel 4.1. Kadar Fe yang ditemukan, kadar Fe yang asli beserta persen errornya Sampel Kadar Fe yang ditemukan Kadara Fe yang asli Persen error
IV.2. Pembahasan
IV.2.1. Pada percobaan yang kami lakukan, kadar Fe yang ditemukan lebih besar
dari kadar aslinya, hal ini disebabkan karena:
a. Penambahan KMnO 4 yang terlalu cepat pada larutan seperti H 2 C 2 O 4 . Pemberian KMnO 4 yang terlalu cepat pada larutan H 2 C 2 O 4 yang telah
ditambahkan H 2 SO 4 dan telah dipanaskan cenderung menyebabkan reaksi antara
MnO 2+
4 dengan Mn .
5MnO 2 + 4H
Hal ini mengakibatkan jumlah volume KMnO 4 yang tertitrasi menjadi lebih besar
sehingga TAT menjadi terlewati dan kadar Fe yang ditemukan menjadi lebih besar.
(http:rismakan.wordpress.com20120617permanganometri)
b. Kadar pentiter KMnO 4 pada buret.
Apabila percobaan dilakukan dalam waktu yang lama, larutan KMnO 4 pada buret yang terkena sinar akan terurai menjadi MnO 2 sehingga pada TAT
akan diperoleh pembentukan presipitat coklat yang seharusnya adalah larutan
berwarna merah rosa. Akibatnya, KMnO 4 terus dititrasi hingga larutan berwarna merah rosa, sehingga volume KMnO 4 menjadi lebih besar dan TAT menjadi
terlewati. Maka, kadar Fe yang ditemukan menjadi lebih besar.
(http:rismakan.wordpress.com20120617permanganometri)
BAB V PENUTUP
V.1. Kesimpulan
1. Pada sampel 1 kami menemukan kadar Fe 0,0807, sedangkan kadar
aslinya 0,0374, persen error 115,78.
2. Pada sampel 2 kami menemukan kadar Fe 0,0795, sedangkan kadar
aslinya 0,0381, persen error 108,66.
3. Pada sampel 3 kami menemukan kadar Fe 0,0611, sedangkan kadar
aslinya 0,0395, persen error 54,68.
V.2. Saran
1. Titrasi dilakukan dengan cermat agar TAT tidak terlewati.
2. KMnO 4 jangan ditambahkan secara berlebih.
3. Mengamati perubahan warna yang terjadi dengan seksama.
4. Mencuci setiap peralatan yang akan digunakan.
5. Teliti dalam menambahkan reagen.
DAFTAR PUSTAKA
Perry, Robert H . 1973 . Chemical Engineer’s Handbook 5th edition . New York :
Mc Graw Hill Rismakan . 2012 . Analisa Permanganometri . http:rismakan.wordpress.com
20120617permanganometri . diakses tanggal 5 November 2013 Underwood, AI and Day RA . 1986 . Analisa Kimia Kuantitatif 5th edition
diterjemahkan oleh R Soendoro . Jakarta : Erlangga Vogel, AI . Buku Teks Anorganik Kualitatif Makro dan Semi Makro
diterjemahkan oleh Ir. Sutiono dan Dr. A Hadyono Pudjaatmadja . Jakarta : PT. Kalman Media Pustaka
LAMPIRAN
A
LEMBAR PERHITUNGAN IODO - IODIMETRI
Standarisasi Na 2 S 2 O 3 dengan K 2 Cr 2 O 7 0,01N
V Na 2 S 2 O 3 = 16,1 ml
Keterangan: larutan K 2 Cr 2 O 7 telah terkontaminasi
a. Kadar Cu 2+ dalam sampel 1 Erna
V Na 2 S 2 O 3 = 3 ml
Cu (ppm) =
= 118,11 ppm
Kadar asli
= 599,04 ppm
Persen error =
Farel
V Na 2 S 2 O 3 = 3 ml
Cu (ppm) =
= 118,11 ppm
Kadar asli
= 599,04 ppm
Persen error =
Mita
V Na 2 S 2 O 3 = 4,7 ml
Cu (ppm) =
= 185,039 ppm
Kadar asli
= 599,04 ppm
Persen error =
V Na 2 S 2 O 3 yang seharusnya
Cu (ppm) =
V = 15,21 ml
b. Kadar Cu 2+ dalam sampel 2 Erna
V Na 2 S 2 O 3 = 3,7 ml
Cu (ppm) =
= 145, 669 ppm
Kadar asli
= 838,65 ppm
Persen error =
Farel
V Na 2 S 2 O 3 = 3,3 ml
Cu (ppm) =
= 129,92 ppm
Kadar asli
= 838,65 ppm
Persen error =
Mita
V Na 2 S 2 O 3 = 3,8 ml
Cu (ppm) =
= 149,6 ppm
Kadar asli
= 838,65 ppm
Persen error =
V Na 2 S 2 O 3 yang seharusnya
Cu (ppm) =
V = 21,3 ml
c. Kadar Cu 2+ dalam sampel 3 Erna
V Na 2 S 2 O 3 = 3,5 ml
Cu (ppm) =
= 137,795 ppm
Kadar asli
= 958,45 ppm
Persen error =
Farel
V Na 2 S 2 O 3 = 3,4 ml
Cu (ppm) =
= 133,858 ppm
Kadar asli
= 958,45 ppm
Persen error =
Mita
V Na 2 S 2 O 3 = 3,7 ml
Cu (ppm) =
= 145,67 ppm
Kadar asli
Persen error =
V Na 2 S 2 O 3 yang seharusnya
Cu (ppm) =
=
V = 24,34 ml
LEMBAR PERHITUNGAN PERMANGANOMETRI
Standarisasi KMnO 4 dengan Na 2 C 2 O 4
V KmnO 4 = 10,2 ml
a N KmnO 4 = Kn
= = 0,098N
Kadar Fe dalam sampel 1
V = 0,5 ml 3,4 gram Mg zat = ml titran . N titran . BE zat
= 0,5 . 0,098 . 56 = 2,744 mg
Kadar =
= 0,0807 Kadar asli
Persen error =
Mg zat yang seharusnya
Volume yang seharusnya
Mg zat
= ml titran . N titran . BE zat
= V . 0,098 . 56
V = 0,23 ml
Kadar Fe dalam sampel 2
V = 0,5 ml 3,46 gram Mg zat = ml titran . N titran . BE zat
= 0,5 . 0,098 . 56 = 2,744 mg
Kadar =
= 0,0793 Kadar asli
Persen error =
Mg zat yang seharusnya
Volume yang seharusnya Mg zat
= ml titran . N titran . BE zat
= V . 0,098 . 56
V = 0,24 ml
Kadar Fe dalam sampel 3
V = 0,4 ml 3,59 gram Mg zat = ml titran . N titran . BE zat
= 0,4 . 0,098 . 56 = 2,1952 mg
Kadar =
= 0,0611 Kadar asli
= 0,0395
Persen error =
= 54,68
Mg zat yang seharusnya
Volume yang seharusnya Mg zat
= ml titran . N titran . BE zat
1,41805
= V . 0,098 . 56
V = 0,25 ml
LAMPIRAN
B
LAPORAN SEMENTARA PRAKTIKUM DASAR TEKNIK KIMIA I
Materi :
IODO – IODIMETRI DAN PERMANGANOMETRI
NAMA
: ERNA LISTYANINGRUM
NIM : 21030113140188
GROUP
: 7 SENIN PAGI
REKAN KERJA : FAREL ABDALA SHIDDIQ MITA DEWI ANNISA LABORATORIUM DASAR TEKNIK KIMIA I TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
I. TUJUAN PERCOBAAN
a. Menentukan kadar Cu 2+ dalam larutan sampel.
b. menentukan kadar Fe yang terdapat dalam sampel
II. PERCOBAAN
2.1. Bahan Yang Digunakan
1. Sampel
2. Na 2 S 2 O 3
3. K2 Cr O7 0,01 N
4. HCl pekat
10. KMnO 4 0,1 N
11. H 2 SO 4 encer
2.1. Alat Yang Dipakai
1. Buret, statif, klem
2. Erlenmeyer
1. Glass ukur
2. Beaker glass
3. Pipet tetes
4. Indikator pH
5. Kompor listrik
6. Bunsen
7. Corong
8. Kertas saring
2.3. Cara Kerja
a. Standarisasi Na 2 S 2 O 3 dengan K 2 CrO 7 0,01 N
1. Ambil 10 ml larutan K 2 CrO 7 0,01 N, encerkan dengan aquadest sampai 40 ml
2. Tambahkan 2,4 ml HCl pekat
3. Tambahkan 12 ml KI 0,1N
4. Titrasi larutan tersebut dengan Na 2 S 2 O 3 sampai warna kuning hamper hilang
5. Tambahkan amylum 3-5 tetes sampai warna bitu
9. Lanjutkan titrasi sampai warna biru hampir hilang
10. Catat kebutuhan Na 2 S 2 O 3 seluruhnya N Na 2 S 2 O 3 =
b. Menentukan kadar Cu 2+ dalam sampel
1. Ambil 10 ml sampel
2. Test sampel jika terlalu asam tambahkan NH 4 OH sampai pH 3-5 dan jika
terlalu basa tambahkan H 2 SO 4 sampai pH 3-5
3. Masukkan 12 ml KI 0,1 N
4. Titrasi dengan Na 2 S 2 O 3 sampai warna kuning hamper hilang
5. Tambahkan amylum 3-5 tetes sampai warna biru
6. Lanjutkan titrasi sampai warna biru hamper hilang
7. Catat kebutuhan titran
Cu (ppm) = ( V.N ) Na 2 S 2 O 3 . BM Cu .
Cu (ppm) = ( V.N ) Na 2 S 2 O 3 . BM Cu .
mol L
c. Standarisasi KMnO 4 dengan Na 2 C 2 O 4 0,1 N
1. Ambil 10 ml larutan, Na 2 C 2 O 4 0,1 N kemudian masukkan dalam Erlenmeyer
2. Tambahkan 6 ml H 2 SO 4 6N
3. Panaskan 70-80 o C
4. Titrasi dalam keadaan panas dengan menggunakan KMnO 4
5. Hentikan titrasi jika muncul warna merah jambu yang tidak hilang dengan
pengocokkan
6. Catat kebutuhan KMnO 4 N KMnO 4 =
d. Kadar Fe dalam sampel
1. Persiapkan sampel beserta alat dan bahan
2. Ambil sampel dan tambahkan 20 ml asam sulfat encer
3. Titrasi dengan Kalium Permanganat sampai warna merah jambu yang tidak
hilang akibat pengocokkan
Reaksi yang terjadi :
Perhitungan : Mgzat = ml titran x N titran x BE zat
BEzat =
Kadar =
2.4 Hasil Percobaan
Tabel 4.1. Kadar Cu 2+ yang ditemukan, kadar Cu yang asli berserta persen errornya.
2+
Sampel Kadar asli Kadar yang ditemukan Persen error
I 599,04 ppm
140,41 ppm
76,56
II 838,65 ppm
Tabel 4.2. Kadar Fe yang ditemukan, kadar Fe yang asli beserta persen errornya
Sampel Kadar Fe yang ditemukan Kadara Fe yang asli Persen error
ERNA LISTYANINGRUM
PUJI LESTARI
LAMPIRAN
C
REFFERENSI INDIKATOR
Indikator yang digunakan pada titrasi iodimetri dan iodometri adalah larutan kanji .Kanji atau pati disebut juga amilum yang terbagi menjadi dua yaitu: Amilosa (1,4) atau disebut b-Amilosa dan Amilopektin (1,4) ; (1,6) disebut a-Amilosa.
Namun untuk indikator, lebih lazim digunakan larutan kanji, karena warna biru tua kompleks pati – iod berperan sebagai uji kepekaan terhadap iod. Kepekaan itu lebih besar dalam larutan sedikit asam daripada dalam larutan netral dan lebih besar dengan adanya ion iodida. Molekul iod diukat pada permukaan beta amilosa, suatu konstituen kanji.
Indikator kanji yang dipakai adalah amilosa, karena jika dipakai amilopektin, maka akan membentuk kompleks kemerah-merahan (violet) dengan iodium, yang sulit dihilangkan warnanya karena rangkaiannya yang panjang dan bercabang dengan Mr= 50.000 – 1.000.000.
http:www.chem-is-try.orgmateri_kimiainstrumen_analisisiodimetriindikator
AMILUM atau AMILOSA
I. LATAR BELAKANG
Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang (Kimball, 1983)
Pati adalah suatu polisakarida yang mengandung amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan polisakarida berantai lurus bagian dari butir-butir pati yang terdiri atas molekul-molekul glukosa -1,4-glikosidik . Amilosa merupakan bagian dari pati yang larut dalam air, yang mempunyai berat molekul antara 50.000- 200.000, dan bila ditambah dengan iodium akan memberikan warna biru.
Amilopektin merupakan polisakarida bercabang bagian dari pati, terdiri atas molekul-molekul glukosa yang terikat satu sama lain melalui ikatan 1,4-glikosidik dengan percabangan melalui ikatan 1,6-glikosidik pada setiap 20-25 unit molekul glukosa. Amilopektin merupakan bagian dari pati yang tidak larut dalam air dan mempunyai berat molekul antara 70.000 sampai satu juta. Amilopektin dengan iodium memberikan warna ungu hingga merah (Lehninger, 1988). atau asam dilakukan oleh asam atau enzim. Jika pati dipanaskan dengan asam akan terurai menjadi molekul-molekul yang lebih kecil secara berurutan dan hasilnya adalah glukosa.
Perbedaannya adalah jika pada hidrolisa amilum dengan menggunakan enzim menghasilkan maltosa, sedangkan pada hidrolisa amilum dengan menggunakan asam dapat langsung menghasilkan glukosa. Maltosa merupakan hasil antara dalam proses hidrolisis amilum dengan asam maupun dengan enzim. Maltosa mudah larut dalam air dan mempunyai rasa lebih manis daripada laktosa, tetapi kurang manis daripada sukrosa.
Pati Dextri Maltosa Glukosa Ada beberapa tingkatan dalam reaksi di atas. Molekul-molekul pati mula-mula pecah menjadi unit-unit rantaian glukosa yang lebih pendek yang disebut dextrin. Dekstrin adalah karbohidat yang dibentuk selama hidrolisis pati menjadi gula oleh panas, asam atau enzim. Dekstrin ini dipecah lebih Pati Dextri Maltosa Glukosa Ada beberapa tingkatan dalam reaksi di atas. Molekul-molekul pati mula-mula pecah menjadi unit-unit rantaian glukosa yang lebih pendek yang disebut dextrin. Dekstrin adalah karbohidat yang dibentuk selama hidrolisis pati menjadi gula oleh panas, asam atau enzim. Dekstrin ini dipecah lebih
Salah satu cara yang dapat membantu penyediaan gula di Indonesia adalah membuat sirup glukosa (gula cair) dari pati. Sirup glukosa adalah nama dagang dari produk hasil hidrolisa pati. Produksi sirup glukosa ini diharapkan dapat menunjang kebutuhan gula di Indonesia pada saat ini dan masa mendatang atau setidaknya dapt berguna pada keadaan tertentu. Sirup glukosa juga dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam proses pengolahan bahan makanan, misalnya dalam pembuatan kue, es krim, permen dan lain-lain. Disamping mencari alternatif bahan substitusi gula. Gula alternatif yang sekarang sudah digunakan antara lain adalah gula siklamat dan stearin yang merupakan gula sintesis, serta gula dari pati seperti sirup glukosa, fruktosa, maltosa, manitol, sorbitol dan xilitol. tersebut melimpah di Indonesia. Diantara gula dari pati tersebut, sirup glukosa dan fruktosa mempunyai prospek yang baik untuk mensubtitusi gula pasir.
Amilum dapat dijadikan sirup glukosa dengan cara hidrolisa asam,ataupun enzim. Pada hidrolisa tersebut keduanya menghasilkan gula reduksi. Hidrolisa pati
II. PENDAHULUAN
Amilum merupakan suatu senyawa organik yang tersebar luas pada kandungan tanaman. Amilum dihasilkan dari dalam daun-daun hijau sebagai wujud penyimpanan sementara dari produk fotosintesis. Amilum juga tersimpan dalam bahan makanan cadangan yang permanen untuk tanaman, dalam biji, jari-jari teras, kulit batang, akar tanaman menahun, dan umbi.
Umumnya amilum terdapat pada makanan pokok kita, seperti beras, roti, sagu, kentang, ubi, dll.
Secara umum, gula terdiri dari gula sederhana (glukosa, fuktosa, galakstosa). Amilum ini terdiri dari 3-10 gula sederhana yang saling berikatan.Amilum merupakan 50-65 berat kering biji gandum dan 80 bahan kering umbi kentang.
Pati tersusun dari dua macam karbohidrat, amilosa dan amilopektin, dalam komposisi yang berbeda-beda. Amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket. Amilosa memberikan warna ungu pekat Pati tersusun dari dua macam karbohidrat, amilosa dan amilopektin, dalam komposisi yang berbeda-beda. Amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket. Amilosa memberikan warna ungu pekat
Dalam buku ini, penulis akan menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan amilum, baik itu rumus molekulnya, sifat-sifatnya, fungsi, manfaat dan juga hal yang berhubungan dengan Amilum lainnya.
III. PEMBAHASAN
Amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Amilum sering disebut juga dengan sebutan “pati”. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang. Hewan dan manusia juga menjadikan pati sebagai sumber energi yang penting.
Amilum mempunyai Rumus Molekul (C6H10O5)n, Densitas 1.5 gcm3.Dalam air dingin amilum tidak akan larut tetapi apabila suspensi dalam air dipanaskan akan terjadi suatu larutan koloid yang kental, memberikan warna ungu pekat pada tes iodin dan dapat dihidrolisis dengan menggunakan asam sehingga menghasilkan glukosa.
Pati tersusun dari dua macam karbohidrat, amilosa dan amilopektin, dalam komposisi yang berbeda-beda. Amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket. Amilosa memberikan warna ungu pekat pada tes iodin sedangkan amilopektin tidak bereaksi. Penjelasan untuk gejala ini belum pernah bisa tuntas dijelaskan.
1. Karakteristik Amilum
Amilum Identifikasi
Nomor CAS [9005-25-8]
Nomor EC 232-679-6
Nomor RTECS GM5090000
Sifat
Rumus molekul (C 6 H 10 O 5 ) n Penampilan bubuk putih
Densitas 3 1.5 gcm Titik leleh decomp.
Kelarutan dalam air tidak
Bahaya
MSDS ICSC 1553
Indeks EU not listed Suhu swanyala 410 °C
Kecuali dinyatakan sebaliknya, data di atas berlaku
pada temperatur dan tekanan standar (25°C, 100 kPa) Sangkalan dan referensi
2. Terminologi