GERAKAN BANGKIT ASEAN SEBAGAI WUJUD PENI (1)

GERAKAN BANGKIT ASEAN!
SEBAGAI WUJUD PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT INDONESIA
UNTUK KOMUNITAS ASEAN 2015 DALAM BIDANG POLITIK – KEAMANAN
oleh Nur Aida Mardhatila1

Pendahuluan
Sekitar akhir abad ke-dua puluh terjadi transformasi politik di banyak negara. Dunia
politik yang selama ini dimonopoli kelompok elite telah bergeser menjadi konsumsi publik.
Huntington dan Nelson (1994) menjelaskan hal ini dengan menunjukkan fenomena semakin
tingginya partisipasi politik masyarakat, media, dan LSM. Partisipasi politik tidak hanya
terefleksikan dalam bentuk memberikan suara saat pemilihan umum, melainkan dalam usaha
mempengaruhi kebijakan publik. Sehingga bentuk partisipasi politik dapat berupa pengerahan
massa, pemogokan, demonstrasi jalanan, dan bentuk protes lainnya.
Di Indonesia, semenjak runtuhnya Orde Baru pada Reformasi 1998, terjadi pergeseran
sistem politik. Selama Orde Baru rakyat hidup dalam suasana tertutup dan represif, kini
menjadi politik yang penuh keterbukaan dan menuntut transparansi. Publik dan media mulai
mengambil posisi. Perlahan, dan pasti memiliki peran penting dalam partisipasi politik.
Dominasi elite mulai berkurang dengan adanya pengawasan dari akademisi, aktivis LSM,
media, dan kelompok penekan lain. Hal ini mempengaruhi sistem perpolitikan di Indonesia.
Para ilmuwan politik menyebut situasi ini sebagai masa transisi, dimana rakyat Indonesia
merasakan pergeseran sistem politik otoriter menjadi lebih demokratis.

Tuntutan demokrasi tidak lepas dari kemajuan teknologi dan informasi pada masa
globalisasi saat ini. Pertumbuhan telekomunikasi dan transportasi yang juga pesat
menyebabkan masyarakat lebih mudah berinteraksi dengan dunia luar. Dalam The Borderless
World: Power and Strategy in The Global Marketplace (1992), Kenichi Ohmae menulis
1 Penulis merupakan mahasiswi Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia angkatan 2010 (NPM. 1006692436)

1

definisi globalisasi sebagai “the onset of the borderless world”. 2 Batasan negara semakin
kabur dengan fenomena apa yang menjadi tren di negara Barat dapat juga menjadi tren di
negara lain, termasuk demokrasi liberal dan turunannya. Borderless world juga
mengakibatkan dinding pembatas antara masyarakat dengan dunia luar, seperti ideologi,
agama, sistem nilai dan kepercayaan mulai menghilang.
Kondisi di atas memunculkan masyarakat yang terdorong untuk melakukan
perbandingan antara hal-hal yang terjadi di negeri sendiri dengan negara lain. Ketika melihat
bahwa kondisi yang menimpa mereka di bawah standar masyarakat luar, masyarakat mulai
berpikir tentang adanya sistem yang salah dalam kehidupan mereka. Kondisi ini kemudian
melatarbelakangi timbulnya berbagai tuntutan dan protes massa atas pemerintahan Soeharto
yang telah berlangsung selama tiga dekade. Rakyat Indonesia ingin berubah dan perubahan
tersebut ditandai dengan Reformasi 1998 yang kemudian membuka kesempatan bagi rakyat

untuk lebih aktif berpartisipasi dalam berbagai bidang.
Di sisi lain situasi politik Indonesia juga tidak lepas dari perkembangan politik dan
keamanan regional. Sejak ikut mendirikan dan bergabung dengan ASEAN pada 8 Agustus
1967, terjadi peningkatan kerja sama antara Indonesia dengan negara-negara lain di Asia
Tenggara, khususnya di bidang politik-keamanan. Masing-masing negara berusaha menjaga
stabilitas politik dan keamanan dalam negara, salah satunya dengan komitmen
mengutamakan penyelesaian konflik dengan cara diplomasi. Hal ini tentu menghasilkan kerja
sama yang lebih kondusif di Asia Tenggara, mengingat sebelum terbentuknya ASEAN terjadi
beberapa konflik antar negara seperti konfrontasi Malaysia-Indonesia, dan lepasnya
Singapura dari wilayah Malaysia.
Berbagai penyelenggaraan konferensi dan pertemuan kepala pemerintahan negaranegara ASEAN telah menghasilkkan babak baru cita-cita ASEAN ke depan. Pada KTT
2 Definisi globalisasi oleh Kenichi Ohmae ini tercantum dalam daftar definisi-definisi globalisasi yang ditulis
oleh Dr. Nayef R.F. Al-Rodhan, Definitions of Globalization: A Comprehensive Overview and a Proposed
Definitions, Geneva Centre for Security Policy (2006), Jenewa, hlm. 9.

2

ASEAN ke-9 di Bali, Indonesia tahun 2003, disepakati pembentukan komunitas ASEAN
dalam bidang Politik-Keamanan, Ekonomi, serta Sosial-Budaya. Berkaitan dengan
Komunitas ASEAN di bidang politik-kemanan, Indonesia menghadapi tantangan partisipasi

politik masyarakat yang belum cukup aktif dan aware atas wacana pembentukan komunitas
yang bersifat integratif tersebut. Hal ini tidak lepas dari kondisi partisipasi masyarakat atas
politik dalam negeri yang juga belum cukup kuat sebagai pilar utama demokrasi.
Namun, adanya perkembangan teknologi dan sistem komunikasi yang cukup pesat
dewasa ini, masyarakat memiliki saluran alternatif tersendiri untuk mulai aktif berpartisipasi
dalam bidang politik, terutama mendukung pembentukan Komunitas Politik-Keamanan
ASEAN Tahun 2015. Selanjutnya, di dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan lebih jauh
tentang bagaimana meningkatkan kepedulian dan pemahaman masyarakat Indonesia atas
wacana pembentukan Komunitas ASEAN di bidang politik-keamanan. Penulis juga akan
menjelaskan lebih lengkap tentang rekomendasi pembentukan Gerakan Bangkit ASEAN!
sebagai wujud konkret peningkatan partisipasi masyarakat Indonesia untuk pembentukan
komunitas ASEAN tersebut.

Konsep Partisipasi Politik
Secara umum Prof. Miriam Budiardjo (1982) mendefinisikan partisipasi politik
sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau
tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup
tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi
anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, menjalin relasi (contacting) dengan pejabat

pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya.

3

Samuel Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice: Political
Partisipation in Developing Countries (1977) mengemukakan bahwa:
“Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadipribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.
Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap
atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau
tidak efektif.”
Di negara demokratis konsep tentang partisipasi politik merupakan dasar dari prinsip
kedaulatan ada di tangan rakyat yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk
menetapkan tujuan serta masa depan masyarakat. Selain itu partisipasi politik dapat
menentukan orang-orang yang memegang tampuk pimpinan. Oleh karena itu partisipasi
politik dapat disebut sebagai pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasan politik yang
absah oleh rakyat.
Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik terdorong oleh
keyakinan bahwa melalui kegiatan tersebut kepentingan mereka akan tersalurkan atau
sekurang-kurangnya diperhatikan. Masyarakat tersebut percaya bahwa kegiatan mereka
memiliki efek. Dalam negara-negara demokratis semakin tinggi partisipasi masyarakat,

menunjukkan bahwa warga negara mengikuti dan memahami masalah politk serta ingin
melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu. Sebaliknya tingkat partisipasi yang rendah pada
umumnya sebagai tanda yang kurang baik, karena diartikan bahwa banyak warga negara
tidak menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan. Selain itu akan muncul kekhawatiran
jika berbagai pendapat kurang mendapat kesempatan untuk dikemukakan, pimpinan negara
akan kurang tanggap melayani kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Pemerintah akan
cenderung melayani kepentingan beberapa kelompok saja.
Di samping mereka yang ikut serta dalam satu atau lebih bentuk partisipasi, terdapat
pula warga negara yang sama sekali tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik. Fenomena
tersebut dikenal dengan sebutan apati (apathy). McClosky (1972) berpendapat bahwa adanya
4

pihak yang tidak ikut serta dalam pemilihan karena sikap acuh tak acuh dan tidak tertarik
oleh/atau kurang paham mengenai masalah politik. Ada juga yang tidak yakin bahwa usaha
untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah akan berhasil dan ada juga yang sengaja tidak
memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan dimana
ketidaksertaan merupakan hal terpuji.3
David F. Roth dan Frank L. Wilson (1980) sebagaimana dikutip oleh Miriam
Budiardjo (1982) menggambarkan partisipasi politik sebagai suatu piramida. Berbagai jenis
partisipasi tergambar dalam piramida yang basisnya lebar, tetapi menyempit ke atas sejalan

dengan meningkatnya intensitas kegiatan politik. Di antara basis dan puncak terdapat
berbagai kegiatan yang berbeda intensitas maupun bobot komitmen orang yang bersangkutan.
Pada daerah basis (apolitis) merupakan gambaran orang yang tidak ikut berpartisipasi
dalam politik. Naik satu tingkat di daerah pengamat, merupakan kelompok orang yang
seringkali menghadiri rapat umum, termasuk anggota kelompok kepentingan, ikut melakukan
usaha meyakinkan orang, memberikan suara dalam pemilu, mendiskusikan masalah politik,
serta ada perhatian atas perkembangan politik. Pada tingkat partisipan, termasuk mereka yang
merupakan petugas kampanye, aktif dalam partai atau kelompok kepentingan, serta aktif
dalam proyek-proyek sosial. Sedangkan pada bagian puncak piramida, terdapat

3 Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik, Yayasan Obor Indonesia (1998), Jakarta, hlm.5

5

Aktivis

Partisipan

Pengamat
Orang yang apolitis


Gambar Piramida Partisipasi Politik4

para aktivis yaitu pejabat umum, pejabat partai sepenuh waktu, serta pimpinan kelompok
kepentingan. Bahkan yang menarik, Roth dan Wilson juga memasukkan the deviant, yaitu
perilaku menyimpang yang sangat berpengaruh dalam kegiatan politik, seperti pembunuhan
politik, pembajakan, dan teroris.

Gerakan Bangkit ASEAN! sebagai Pendidikan Politik Masyarakat Indonesia
Wacana pendidikan politik sesungguhnya telah menjadi agenda berbagai pihak yang
peduli akan rendahnya kualitas partisipasi politik di Indonesia. Seperti KPU yang melakukan
rangkaian Democracy Goes to Campus untuk menarik partisipasi pemilih pemula, maupun
lembaga kajian atau LSM yang melakukan rangkaian diskusi untuk menambah pemahaman
tentang politik. Namun, berdasarkan pengamatan penulis gerakan-gerakan tersebut bersifat
menyebar, sementara, dan kurang menjangkau masyarakat di daerah. Apalagi untuk
sosialisasi Komunitas ASEAN di bidang politik-keamanan yang bersifat lebih luas (regional)
dan asing karena masih dianggap tidak secara langsung berdampak pada kondisi politik
4 Diolah dari Miriam Budiardjo, Ibid., hlm.7

6


dalam negeri. Oleh karena itu penulis mengajukan “Gerakan Bangkit ASEAN!” sebagai
solusi alternatif mengatasi rendahnya kualitas partisipasi politik masyarakat Indonesia di
tingkat regional Asia Tenggara.
Gerakan ini disebut “Gerakan Bangkit ASEAN!” karena mengandung dua makna.
Pertama, kata “bangkit” identik dengan makna bangun, tersadar dari posisi “tidur”, tidak
peduli, apatis, dan pasif yang menunjukkan harus ada perubahan kondisi di masyarakat untuk
lebih aktif dan kritis terhadap kondisi politik-keamanan di wilayahnya. Kedua, kata
“ASEAN” sendiri menunjukkan wilayah yang dimaksud pada kalimat sebelumnya.
Masyarakat diajak untuk mulai aware tidak hanya atas kontestasi politik dalam negeri, tetapi
juga di tingkat regional. Masyarakat Indonesia perlu menyadari bagaimana perbandingan
kondisi atau situasi politik antara negaranya dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Hal
ini juga dapat menjadi pelecut semangat memperbaiki kondisi perpolitikan dalam negeri.
Bahwa negara yang mampu menjaga stabilitas politiknya, dapat memberikan jaminan
investasi tersendiri untuk pembangunan ekonomi, sosial, serta budayanya.
“Gerakan Bangkit ASEAN!” hadir pada tahun 2013 yang juga merupakan H minus 2
(dua) tahun pembentukan Komunitas ASEAN 2015. Oleh karena itu “Gerakan Bangkit
ASEAN!” sebagai implementasi pendidikan politik bersifat urgent dan patut segera
direalisasikan. Dalam jangka waktu sekitar dua tahun, arah kebijakan Negara Indonesia tidak
hanya berkaitan dengan kontestasi politik dalam negeri, melainkan juga kebijakan komunitas

ASEAN yang bersifat liberal dan integratif. Gerakan ini merupakan wujud membangun
kesiapan masyarakat menuju kompetisi kehidupan yang semakin bebas, terutama untuk
segera menyadari bahwa masalah politik-keamanan di wilayah ASEAN telah menjadi
kepentingan bersama masyarakat Asia Tenggara.
Berdasarkan survei yang dilakukan Asia Foundation (2003), pendidikan politik
masyarakat Indonesia secara mayoritas terbatas pada informasi televisi. Hal ini sesungguhnya

7

dapat dimanfaatkan untuk merealisasikan “Gerakan Bangkit ASEAN!” agar lebih populis dan
menjangkau

berbagai

kalangan.

“Gerakan

Bangkit


ASEAN!

(GBA)”

berusaha

mengintegrasikan dan melakukan kombinasi bentuk gerakan bersama berbagai pihak yang
relevan. Dari sisi akademis, GBA membutuhkan pakar teoritis untuk dapat memberi masukan
yang sesuai norma dan bentuk ideal dari partisipasi politik. Dari segi praktisi, GBA akan
melibatkan aktivis LSM, mahasiswa, maupun pelajar untuk terjun langsung memberikan
pengarahan dan sosialisasi kepada masyarakat. Sedangkan dari segi pemerintah, GBA
menjadi pusat sosialisasi atau pembumian wacana Komunitas ASEAN yang harus segera
mendapat kepedulian dan pemahaman dari masyarakat Indonesia.
Secara materi hal-hal yang patut disampaikan dalam GBA antara lain:
1. Gambaran situasi politik di Indonesia serta negara-negara ASEAN lain secara
umum saat ini. Penjelasan yang diberikan termasuk arti pentingnya stabilitas
politik-keamanan

dan


peran

penting

partisipasi

masyarakat

dalam

mewujudkannya,
2. Gambaran dan mekanisme Komunitas ASEAN 2015. Penjelasan yang diberikan
terkait latar belakang pembentukan, masalah, dan tujuan mengapa komunitas
tersebut harus segera diwujudkan,
3. Sosialisasi peran dan fungsi integrasi negara-negara Asia Tenggara menghadapi
dinamika globalisasi saat ini. Masyarakat harus mengetahui bahwa dunia saat ini
berjalan secara borderless yang didominasi sistem liberalisasi dan integrasi. Di
sisi lain, proses ini juga dapat menjadi masukan bagi pemerintah Indonesia untuk
melakukan upgrading, evaluasi, dan menyusun strategi berpolitik dalam
Komunitas ASEAN juga perpolitikan dunia.
Ketiga materi dasar yang disampaikan dalam GBA tersebut akan dikemas dalam bahasa
yang sesuai dengan sasaran peserta. Pengemasan GBA tidak menggunakan istilah formal

8

yang umumnya membuat suasana menjadi kaku karena dikhawatirkan sosialisasi seperti ini
akan sulit dipahami oleh masyarakat. GBA juga akan mempersiapkan fasilitator yang dapat
menyampaikan materi menggunakan bahasa daerah. Selain itu tampilan presentasi tidak akan
selalu diwarnai dengan slide-slide presentasi yang terlalu banyak tulisan, melainkan juga
akan memanfaatkan video, kartun, gambar, dan foto yang memudahkan pemahaman
masyarakat.
Dalam lingkup yang lebih kecil dan sebagai gerakan awal, penulis membuat rancangan
Gerakan Bangkit ASEAN! dimulai dengan bekerjasama dengan organisasi atau himpunan
mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Bermula dari tim yang dibentuk oleh para
mahasiswa, akan terjalin keanggotaan yang terdiri dari mahasiswa, dosen, dan peneliti
sebagai narasumber yang dapat memberi penjelasan dan pemahaman tentang ASEAN dan
kondisi politik-keamanan saat ini. Selanjutnya dari tim tersebut akan menyelenggarakan
suatu simposium atau seminar akbar tentang Gerakan Bangkit ASEAN! yang mengundang
seluruh warga di perguruan tinggi tersebut juga kalangan masyarakat umum. Seminar juga
disarankan memperoleh kemudahan mengundang tokoh-tokoh, pemerintah (perwakilan
Kementerian Luar Negeri), ilmuwan, maupun akademisi politik.
Simposium atau seminar akbar tersebut turut mengundang media massa untuk lebih
menciptakan gebrakan dan menarik perhatian massa. Perhatian tersebut selanjutnya dapat
diteruskan dalam sebuah kerja sama yang penulis sebut sebagai tim waralaba. Konsep GBA
dapat diteruskan dan dibawa ke daerah dengan tetap membawa nama gerakan untuk
menjangkau masyarakat di daerah.
Para partisipan atau fasilitator GBA kemudian bergerak ke berbagai tempat, antara lain
kampus, kampung, maupun kantor. Sistem waralaba yang diciptakan tidak hanya berupa fisik
terjun ke lapangan tetapi juga sosialisasi di media sosial, website, media massa, aksi jalanan,
pementasan seni, dan sebagainya. Oleh karena itu GBA berusaha merangkul berbagai

9

kalangan dengan satu tujuan yaitu mengangkat isu Bangkit ASEAN! Isu ini didukung pula
dengan situasi politik-keamanan regional dan global yang bersifat dinamis, liberal, dan
mewacanakan integrasi di berbagai sektor. Masyarakat harus mengetahui perbandingan
kondisi politik-keamanan Indonesia dengan negara-negara ASEAN lain sebagai pelecut untuk
meningkatkan partisipasi di bidang politik.
Dari setiap kegiatan yang mengatasnamakan GBA akan selalu ada evaluasi untuk
menentukan arah gerak GBA dan model sosialisasi kreatif GBA lainnya. Oleh karena gerakan
ini sifatnya lebih cair, tidak kaku dengan aturan khusus, dan mengandalkan bentuk-bentuk
kreatif, maka GBA lebih mengutamakan partisipasi dari kalangan pemuda, terutama
mahasiswa. Berdasarkan sejarah, pemuda yang selalu membawa perubahan. Dan ini saatnya
para pemuda membuktikan hal tersebut. Tidak cukup bergerak dalam ranah elitis, tetapi juga
terjun langsung ke lapangan secara populis.

Kesimpulan dan Rekomendasi
Kemajuan sistem teknologi, informasi, dan komunikasi dunia menciptakan masyarakat
yang lebih terbuka dan menuntut perubahan. Perubahan tersebut terjadi pada Reformasi 1998
dimana masa pemerintahan otoriter bergerak menuju fase transisi yang lebih demokratis.
Makna demokrasi yang mengutamakan kedaulatan rakyat menuntut perubahan konstitusi dan
jaminan ruang bagi rakyat untuk dapat berpartisipasi dalam bidang politik. Namun
perkembangan pemerintahan paska reformasi menunjukkan hal sebaliknya. Partisipasi politik
masyarakat semakin menurun sejalan dengan kualitas partai yang dinilai buruk dengan
berbagai isu dan konflik kepentingan. Hal ini menjadikan masyarakat Indonesia tidak cukup
aktif dalam berpartisipasi di bidang politik, termasuk kontestasi di wilayah regional Asia
Tenggara. Situasi ini tentu menjadi modal yang tidak cukup baik untuk mewujudkan cita-cita
membangun Komunitas ASEAN 2015, khususnya di bidang politik-keamanan.

10

Keprihatinan atas semakin rendahnya kualitas partisipasi politik tersebut menjadi latar
belakang penulis mengajukan solusi alternatif berupa “Gerakan Bangkit ASEAN!” Gerakan
ini menitikberatkan pada pentingnya pemahaman akan partisipasi politik, kondisi politikkeamanan Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya, serta alasan perlunya pembentukan
Komunitas ASEAN. Pada dasarnya kekuatan politik terletak pada partisipasi masyarakat.
Namun, berbagai data dan fakta menunjukkan terjadi alienasi di antara politik dan
masyarakatnya. Oleh karena itu melalui “Gerakan Bangkit ASEAN!”, penulis berusaha
membangun suatu kesadaran berpolitik, pentingnya untuk peduli dan paham atas kondisi
perkembangan politik dalam negeri serta negara-negara Asia Tenggara lainnya, melalui suatu
solusi alternatif berbasis kreativitas untuk menjadikan ranah politik tampak lebih mudah
dipahami sebagai wujud pendidikan politik yang lebih populis.

Daftar Pustaka
Al-Rodhan, Nayef R.F. (2006). Definitions of Globalization: A Comprehensive Overview and
a Proposed Definitions. Jenewa: Geneva Centre for Security Policy.
Budiardjo, Miriam. (1998). Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

11