Gambaran Perilaku Guru terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual pada Siswa di Sekolah Dasar Harapan 1 dan 2 Medan Tahun 2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Periode usia antara 6-12 tahun merupakan masa peralihan dari pra-sekolah ke
masa Sekolah Dasar (SD). Masa ini juga dikenal dengan masa peralihan dari
kanak-kanak awal ke masa kanak-kanak akhir sampai menjelang masa
prapubertas. Akhir masa anak-anak 6 sampai 13 tahun pada anak perempuan dan
14 tahun pada anak laki-laki adalah periode dimana terjadi kematangan seksual
dan masa remaja dimulai. Perkembangan sosial anak pun akan berkembang
dengan menginjaknya usia anak yang semakin bertambah, masa ini anak
cenderung keinginan tahuannya meningkat akan berbagai pengetahuan dan
informasi (Dewi, 2015).
Selanjutnya menurut Dewi (2015) pengetahuan dan informasi tersebut
haruslah berasal dari sumber yang benar dan aman. Apabila pengetahuan yang
didapatkan negatif, yaitu anak dibawah umur dengan mudahnya mengakses situs
maupun web terlarang misalnya tentang video porno. Melalui informasi yang
yang bersifat negatif tersebut, banyak kasus pelecehan seksual yang terjadi pada
anak dibawah umur seperti yang telah banyak diberitakan diberbagai media.
Tanpa pengetahuan, banyak orang akan salah mengambil keputusan dan
pilihan, dan apabila pengetahuan yang didapat melalui informasi yang tidak benar
atau negatif, banyak orang akan salah dalam menjalani hidupnya bahkan

cenderung berperilaku menyimpang dari tugas perkembangannya. Hal ini menurut
Helmi dan Paramasti (dalam Dewi, 2013) tentunya berkaitan dengan kurang

Universitas Sumatera Utara

terbukanya informasi mengenai seks yang benar dan sehat dalam masyarakat,
bahkan muncul kecenderungan membiarkan seks dianggap tidak bermoral dan
tabu jika dibicarakan secara terbuka. Selanjutnya pendidikan reproduksi atau
pendidikan seks penting untuk mencegah agar anak tidak masuk ke tindakantindakan penyimpangan dan mendapatkan tindakan kekerasan seksual (child
abuse), anak perlu mendapatkan informasi tentang pengetahuan pendidikan

reproduksi.
Selanjutnya Menurut Bruess dan Greenberg (dalam Dewi, 2015) dalam
pandangannya ada empat komponen seksualitas manusia, yaitu social,
psychological, moral dan biological. Kompoen sosial menyangkut segi-segi

historis yang berhubungan dengan kebiasaan-kebiasaan atau kelaziman yang
dipelajari dari lingkungan sekitar. Sementara komponen psikologis berbicara
mengenai pikiran, perasaan, dan cara bertindak terhadap seksualitas diri serta
orang lain, termasuk hal-hal yang ditolak atau diterima oleh diri sendiri maupun

orang lain, Selanjutnya komponen moral berbicara unsur baik atau buruk, ya atau
tidak, apa yang diperbolehkan atau dilarang oleh norma, sedangkan komponen
biologis menyangkut respon-respon fisiologis terhadap stimulasi seksual,
reproduksi biologis, pubertas, serta pertumbuhan dan pekembangan fisik.
Informasi tentang kesehatan reproduksi sebaiknya didapatkan dari orangtua, guru
atau sumber informasi yang benar.
Tidak mengertinya anak tentang kesehatan reproduksinya, maka itu akan
menyudutkan anak sebagai korban kekerasan atau pelecehan seksual. Anak
memiliki rasa ingin tahu yang amat tinggi, hal ini sering dimanfaatkan oleh

Universitas Sumatera Utara

beberapa orang dewasa untuk melakukan pelecahan seksual. Ini memang bukan
merupakan porsi anak, tapi pada kenyataannya anak mutlak memerlukan
pendidikan kesehatan reproduksi sejak dini agar dapat belajar bertanggungjawab
dan melindungi dirinya dari tindakan meyimpang.
Pendidikan Kesehatan Reproduksi ini merupakan salah satu upaya dalam
mencegah tejadinya kekerasan seksual pada anak. Ini juga dapat dijadikan sebagai
upaya strategis dalam mewujudkan upaya kesehatan pada anak yang tertuang
dalam Peratuan Menteri Kesehatan No. 25 tahun 2014 Pasal 2 yaitu; menjamin

agar anak usia sekolah dan remaja mendapatkan pendidikan kesehatan melalui
sekolah maupun luar sekolah, serta menjamin terpenuhinya hak kesehatan anak
dengan memperhatikan siklus hidup sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang
secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya (Peraturan Menteri
Kesehatan, 2014). Meski pada November 2015 Mahkamah Konstitusi masih
menolak pendidikan kesehatan reproduksi masuk dalam kukrikulum khusus.
Berbicara masalah seksualitas di kalangan sekolah masih dianggap tabu bagi
sebagian orang. Rendahnya pemahaman akan kesehatan reproduksi merupakan
indikator lemahnya pemerintah dalam melindungi, menghormati, dan memenuhi
hak warga Negara atas kesehatan reproduksi. Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan, meskipun dibahas masalah kesehatan reproduksi tetapi
masih cenderung diskriminatif. Hal ini terbukti pada pasal 72 ayat a yang
berbunyi,”Setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan
seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan /atau kekerasan dengan
pasangan yang sah”.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Imron (2011) “Dewasa ini kesehatan reproduksi menjadi perhatian
khusus sejak adanya Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan

Pembangunan (Internasional Conference on Population and Development,
ICPD), di Kairo, Mesir, pada tahun 1994”. Konferensi tersebut menghasilkan

kesepakatan perubahan paradigma dalam pengolahan masalah kependudukan dan
pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas
menjadi pendekatan yang terfokus pada kesehatan reproduksi serta upaya
pemenuhan hak-hak reproduksi. Maka sejak itulah masyarakat internasional
secara konsisten mengukuhkan hak-hak remaja akan informasi tentang kesehatan
reproduksi dan pelayanan kesehatan reproduksi termasuk konseling (Rosmulyana,
2014).
Itu sebabnya pendidikan kesehatan reproduksi seharusnya diberikan sejak
dini atau sejak anak-anak. Menurut Singgih (1991) dikemukakan ‘bahwa
penyampaian pendidikan kesehatan reproduksi (seks) seharusnya diberikan sejak
dini ketika anak sudah mulai bertanya tentang pebedaan kelamin antara dirinya
dan orang lain, berkesinambungan dan bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan
dan umur serta daya tangkap anak’. Menurut Brown (dalam Jisticia, 2015)
Pendidikan kesehatan reproduksi yang diberikan pada anak tidak hanya
penerangan tentang seks semata, akan tetapi juga harus mengandung penjagaan
dirinya dari orang yang berniat buruk. Dengan demikian, pendidikan seks tidak
diberikan secara “telanjang” atau vulgar melainkan secara kontekstual.

Kemudian menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),
butuh pendidikan seks yang tepat untuk menekan perilaku seks bebas di kalangan

Universitas Sumatera Utara

remaja. Menurut Ahmad Putra Batubara, pendidikan seks perlu diberikan sejak
dini, kalau perlu sejak sekolah dasar. Tentunya tidak diberikan secara vulgar,
tetapi lebih berkaitan dengan materi kesehatan reproduksi. Sehingga bila nanti
sudah memasuki masa remaja, keingintahuan anak-anak akan seks bisa lebih
terarah dan tidak mengarah kepada tindakan negatif.
Akan tetapi pada kenyataannya, fenomena yang terjadi menurut Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, dari bulan Januari sampai
Agustus tahun 2014, telah terjadi sebanyak 621 (enam ratus dua puluh satu) kasus
kejahatan seksual, sedangkan pada tahun 2013 tercatat sebanyak 590 (lima ratus
Sembilan puluh) kasus. Selain kasus Jakarta Internasional School (JIS) juga
kekerasan seksual terhadap anak atau sodomi yang dilakukan Andi Sobari alias
Emon di Sukabumi, korbannya mencapai 110 anak; Kasus sodomi oleh penjaga
Mesjid di Makasar, korbannya puluhan anak berusia antara 9 dan 11 tahun, yang
dilakukan sejak 2013. Pelaku melakukan aksinya saat para santri selesai mengaji
di TPA dan pelaku biasa melakukannya di ruang sekretariat panitia masjid. Selain

kasus-kasus tersebut, ibarat fenomena gunung es dipastikan ribuan kasus lain
yang tidak terlaporkan menghampiri anak-anak Indonesia (Anshor, 2014).
Di Sumatera Utara berdasarkan data yang didapat dari KPAID Sumatera
Utara pada tahun 2011 kasus kekerasan seksual merupakan kasus pelanggaran hak
anak yang paling tinggi sebanyak 46 kasus dari total kasus yang tercatat 163
kasus. Tahun 2012 naik menjadi 52 kasus dai 192 kasus. Tahun 2013 tercatat 54
kasus dari 199 kasus. Pada tahun 2014 menjadi 55 kasus. Sedangkan di tahun

Universitas Sumatera Utara

2015 terdapat 53 kasus dan menjadi kedua tertinggi setelah kasus HAK Kuasa
Anak (HKA) (KPAID Sumatera Utara, 2016).
Kota Medan pada Oktober 2014 juga menjadi sorotan karena mencuaknya
kasus kekarasan seksual yang terjadi di Sekolah Dasar Percobaan Sei Petani
dimana koban dan pelaku merupakan siswi kelas IV. Namun tetap saja, besar
kemungkinan banyak kasus kekerasan seksual pada anak mulai dari pelecehan
seksual, pencabulan, sodomi, maupun perkosaan yang tidak dilaporkan karena
merasa aib atau bahkan tidak disadari oleh orang tua si anak.
Berdasarkan analisis data dari Informasi dan Dokumentasi Pusat Kajian dan
Perlindungan Anak (PKPA) Medan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang

didampingi di Sumatera Utara dari Januari-Desember 2015 tercatat 38 kasus, 30
kasus diantaranya terjadi di Kota Medan dengan usia korban 0-12 tahun mulai
tindak pencabulan maupun kekerasan seksual lain sebanyak 6 kasus. Didapati
pelaku mulai dari orang yang tak dikenal, tukang becak, guru hingga
persetubuhan yang dilakukan oleh ayak kandung (incest) (PKPA, 2016).
Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis pada anak,
namun kasus ini seringkali tidak terungkap karena adanya penyangkalan peristiwa
kekerasan seksual. Dapat dilihat dalam beberapa kasus, korban anak-anak
cenderung menutupi peristiwa yang mereka alami dengan berbagai alasan antara
lain malu atapun takut kepada pelaku. Adanya kecenderungan muncul emosi
negatif akibat kekerasan seksual misalnya kondisi tidak berdaya dan tersiksa
ketika mengungkapkan peristiwa pelecehan seksual bahkan pada beberapa kasus
dampak fisik seperti gemetar, kejang otot, dan sakit kepala ditemui pada korban

Universitas Sumatera Utara

kekerasan seksual. Dalam jangka panjang trauma ini tentu dapat mengganggu
kualitas hidup si anak atau bahkan mengakibatkan anak menjadi pelaku
dikemudian hari (Probosiwi, 2015).
Indonesia mungkin belum dapat dibandingkan dengan negara-negara Eropa

dan negara-negara Amerika Serikat dalam hal perkembangan teknologi dan
informasi kesehatan, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi. Tetapi, jika yang
menjadi kompetitornya adalah Malaysia yang sejak 1979 telah mendirikan Youth
Advisory Center dan Filipina dengan Developing Programme and Life Education,
Indonesia masih amat tertinggal. Bahkan di Malaysia, mulai tahun 2011
pendidikan reproduksi seks diberikan sejak anak-anak masuk SD (Rifani, 2014).
Menurut Notoatmodjo (2012) sekolah menempati kedudukan stretegis dalan
promosi pendidikan kesehatan. Khusus pada sekolah dasar telah diatur dalam
Peraturan Mendiknas Nomor 22 tahun 2006. Pelaksanaannya diberikan melalui
peningkatan pengetahuan penanaman dan nilai positif tehadap prinsip hidup sehat
dan peningkatan keterampilan dalam melaksanakan hal yang berkaitan dengan
pemeliharaan, pertolongan dan perawatan kesehatan. Materi yang terdapat dalam
pendidikan kesehatan tersebut anatara lain yaitu mengenal cara menolak
perlakuan pelecehan seksual meski tidak ada keterikatan dalam penyampaiannya
karena hanya dimasukkan dalam beberapa pelajaran sepeti pendidikan jasmani
dan agama.
Dilihat dari kebutuhan tersebut terkhusus untuk anak sekolah dasar
berdasarkan penelitian Kartika Ratna Pertiwi di Kabupaten Sleman, Yogyakarta
(2007) tentang Urgensi


Pendidikan Kesehatan Reproduksi

di

Sekolah

Universitas Sumatera Utara

mendapatkan bahwa anak menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah dan
bahwa anak mempercayai sosok guru sebagai pemberi informasi yang benar dan
akurat dalam berbagai masalah kesehatan. Di Indonesia sendiri orang tua yang
harusnya menyampaikan pendidikan kesehatan reproduksi ini masih merasa kaku
dan tabu membicarakan seks pada anaknya, atau keterbatasan ruang dan waktu
bahkan kemampuan untuk menyampaikannya maka peran guru sangat besar untuk
melengkapinya (Pertiwi, 2012).
Peran guru dalam hal ini sebagai agen yang mengajarkan prevensi kekerasan
seksual pada anak menggantikan peran orangtua di rumah. Guru diharapakan
memiliki efikasi mengajar yang baik agar materi yang diajarkan dapat dipahami
dengan baik oleh siswa. Bandura (dalam Islawati & Paramastri, 2015)
mengemukakan bahwa guru yang memiliki efikasi mengajar yang tinggi akan

berusaha lebih keras agar siswa dapat memahami pendidikan kesehatan
reproduksi yang di sampaikan dengan baik materi yang diajarkan.
Karena urgensi pendidikan kesehatan reproduksi ini maka dilakukan
penelitian tentang “ Gambaran Perilaku Guru dalam hal Pendidikan Kesehatan
Reproduksi dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual Pada Siswa Sekolah
Dasar Harapan 1 & 2 Medan”. Penelitian ini dibatasi hanya guru dikarenakan
pihak yang bertanggungjawab terhadap anak dalam masalah pendidikan (termasuk
pendidikan seksualitas) dan yang berperan memberikan pendidikan reproduksi
pada anak didiknya setelah orang tua. Penelitian ini penting untuk dilakukan, agar
dapat memberi masukan kepada pemerintah maupun sekolah mengenai

Universitas Sumatera Utara

bagaimana gambaran pengetahuan, sikap dan tindakan guru saat ini tentang
pendidikan kesehatan repoduksi.
Dengan demikian, dapat dilakukan langkah-langkah strategis dalam upaya
peningkatan pendidikan kesehatan reproduksi pada anak sebagai upaya
pencegahan kekerasan seksual khususnya pada anak dan mendukung kesehatan
secara lebih optimal sehingga hidup anak dapat berkualitas di masa yang akan
datang.


1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah
adalah bagaimana “Gambaran Perilaku Guru Dalam Hal Pendidikan Kesehatan
Reproduksi dalam Upaya Pencegahan Kekeasan Seksual pada Siswa di Sekolah
Dasar Harapan 1 & 2 Medan Tahun 2016”.

1.3

Tujuan Penelitian

1.3.1

Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perilaku
guru dalam hal pendidikan kesehatan reproduksi dalam upaya pencegahan
kekeasan seksual pada siswa di Sekolah Dasar Harapan 1 & 2 Medan
Tahun 2016.

1.3.2

Tujuan Khusus
Berdasarkan tujuan umum di atas, maka tujuan khusus yang ingin dicapai
pada penelitian ini adalah:

Universitas Sumatera Utara

1.

Untuk mengetahui gambaran pengetahuan guru dalam hal pendidikan
kesehatan reproduksi dalam upaya pencegahan kekeasan seksual pada
siswa di Sekolah Dasar Harapan 1 & 2 Medan Tahun 2016.

2.

Untuk mengetahui gambaran sikap guru dalam hal pendidikan
kesehatan reproduksi dalam upaya pencegahan kekeasan seksual pada
siswa di Sekolah Dasar Harapan 1 & 2 Medan Tahun 2016.

3.

Untuk mengetahui gambaran tindakan guru dalam hal pendidikan
kesehatan reproduksi dalam upaya pencegahan kekeasan seksual pada
siswa di Sekolah Dasar Harapan 1 & 2 Medan Tahun 2016.

1.4

Manfaat Penelitian

1.4.1

Sekolah
Sebagai masukan dalam meningkatkan pemahaman pada guru tentang
pendidikan kesehatan reproduksi bagi siswa-siswi dan sebagai referensi
bagi sekolah dalam merancang pendidikan kesehatan reproduksi dalam
upaya pencegahan kekeasan seksual pada siswa di Sekolah Dasar Harapan
1 dan 2 Medan.

1.4.2

Dinas Pendidikan
Sebagai masukan, informasi dan bahan rujukan bagi pengembangan
program pendidikan bagi anak sekolah dasar terkhusus pendidikan
kesehatan reproduksi anak.

Universitas Sumatera Utara

1.4.3

Dinas Kesehatan
Masukan, informasi dan rujukan bagi pengembangan program pendidikan
kesehatan dalam upaya promotif dan preventif bagi anak sekolah dasar
terhadap pendidikan kesehatan reproduksi anak.

1.4.4

Peneliti
Memperoleh pengalaman belajar dan pengetahuan dalam melakukan
penelitian, meningkatkan kemampuan komunikasi dengan masyarakat
dalam hal ini masyarakat sekolah, dan mengembangkan daya nalar, minat
dan kemampuan dalam bidang penelitian serta menjadi landasan untuk
melakukan penelitian selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Gambaran Perilaku Guru terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual pada Siswa di Sekolah Dasar Harapan 1 dan 2 Medan Tahun 2016

2 16 141

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI TERHADAP KECENDERUNGAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA Pengaruh Pendidikan Kesehatan Reproduksi Terhadap Kecenderungan Perilaku Seksual Remaja.

0 1 18

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI TERHADAP KECENDERUNGAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA Pengaruh Pendidikan Kesehatan Reproduksi Terhadap Kecenderungan Perilaku Seksual Remaja.

0 1 11

Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Kesehatan Seksual dan Reproduksi pada Siswa SMA "X" di Kota Bandung Tahun 2015.

2 6 24

Gambaran Perilaku Guru terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual pada Siswa di Sekolah Dasar Harapan 1 dan 2 Medan Tahun 2016

0 0 16

Gambaran Perilaku Guru terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual pada Siswa di Sekolah Dasar Harapan 1 dan 2 Medan Tahun 2016

0 0 2

Gambaran Perilaku Guru terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual pada Siswa di Sekolah Dasar Harapan 1 dan 2 Medan Tahun 2016

0 0 49

Gambaran Perilaku Guru terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual pada Siswa di Sekolah Dasar Harapan 1 dan 2 Medan Tahun 2016

0 9 3

Gambaran Perilaku Guru terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual pada Siswa di Sekolah Dasar Harapan 1 dan 2 Medan Tahun 2016

0 0 13

PENDIDIKAN SEKSUAL BERBASIS BUDAYA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DI INDONESIA

0 0 15