Pengaruh Jenis Musik Terhadap Emosi Negatif Pada Pasien Gigi

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Tubuh yang sehat secara menyeluruh akan cenderung memberikan kenyamanan
bagi individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari (dalam Sarafino & Smith,
2011). Sebaliknya, jika kesehatan tubuh terganggu atau mengalami suatu
penyakit, maka sangat potensial membuat aktivitas dan produktivitas seseorang
tidak nyaman atau terganggu. Oleh sebab itu, sudah seharusnya manusia untuk
menjaga kesehatan seluruh anggota tubuhnya. Salah satu bagian tubuh yang
penting untuk diperhatikan kesehatannya adalah gigi (Kumar, Abbas & Fausto,
2009).
Menurut ilmu kedokteran gigi, gigi memiliki beberapa fungsi sangat penting
bagi manusia diantaranya dalam proses pencernaan yakni mengunyah (untuk
menghaluskan makanan); membantu dalam berbicara (membunyikan huruf
T,V,F,D,dan S); estetika wajah; selain itu gigi memiliki banyak saraf yang
berhubungan dengan saraf anggota tubuh yang lain seperti jantung, lambung, dan
otak dan lain sebagainya (dalam Wheeler's Dental, Anatomy, Physiology and
Occlusion, 2014). Oleh karena itu, gangguan pada gigi tentunya akan

mempengaruhi salah satu maupun semua fungsi-fungsi tersebut. Selain

menggangu aktivitas sehari-hari, berdasarkan penelitian Soesilo, Suarjaya dan

1

Universitas Sumatera Utara

Tyas (2010) tentang Kecemasan Anak Selama Perawatan Gigi, keadaan sakit gigi
juga dapat menggangu lingkungan sekitar.
Berdasarkan uraian fungsi-fungsi gigi diatas dan juga masalah-masalah
yang mungkin timbul seperti kerusakan gigi, terganggunya proses pencernaan,
ataupun terganggunya kesehatan anggota tubuh lainnya yang berhubungan dengan
saraf gigi, dapat disimpulkan bahwa sudah seharusnya setiap individu menjaga
kesehatan giginya sejak dini dan secara rutin. Untuk memperoleh kesehatan yang
optimal, individu dapat melakukan perawatan gigi secara rutin seperti menyikat
gigi siang dan malam dan juga melakukan perawatan gigi ke dokter gigi atau
kunjungan dental (Nelson, 2014).
Pada umumnya, kunjungan dental disarankan untuk dilakukan secara rutin
minimial 6 bulan sekali jika gigi tidak mengalami gangguan tertentu (dalam
Malik, 2008). Namun, jika individu mengalami suatu gangguan pada gigi, maka
saran kunjungan dental yang dilakukan tergantung dari tingkat keparahan dan

saran kunjungan oleh dokter gigi yang menangani masalah gigi tersebut.
Kunjungan dental pada pasien gigi tentunya akan melibatkan aktivitas-aktivitas
dental juga seperti mengecek kondisi gigi pasien dan adanya treatment pada gigi
pasien.
Beberapa jenis treatment gigi yang dilakukan aktivitas dental adalah cabut
gigi, orthodonti dan bedah mulut (Utoyo, 2008). Secara fisiologis, aktivitasaktivitas dental tersebut menimbulkan rasa sakit pada pasien. Selain karena
prosedur perawatannya, alat-alat yang digunakan juga menimbulkan rasa sakit
ketika terkena pada bagian mulut seperti gigi dan gusi. Selain itu, berdasarkan

2

Universitas Sumatera Utara

hasil penelitian dan wawancara peneliti dengan beberapa dokter gigi dan pasien
juga, treatment lainnya seperti cabut, bedah mulut, scaling juga menyebabkan rasa
sakit oleh pasien gigi.
Rasa sakit didefinisikan oleh IASP (The International Association for The
Study of Pain) sebagai pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang

dikarenakan kerusakan jaringan atau ancaman kerusakan tersebut (Potter & Perry,

2006). Menurut Black dan Hawks (2009), perasaan yang tidak menyenangkan
karena suatu stimulus mekanis, kimia dan elektrik pada ujung-ujung syaraf. Selain
karena kerusakan jaringan, sensasi rasa sakit juga dapat timbul karena stimulus
yang berkaitan dengan rasa sakit seperti suara bor gigi ataupun jarum operasi.
Dalam aktivitas dental, rasa sakit yang dirasakan oleh pasien disebabkan
karena proses maupun alat yang digunakan yang menyebabkan sensasi sakit pada
jaringan yang terdapat dalam mulut dan gigi. Oleh sebab itu, rasa sakit yang
dialami pasien menimbulkan memori yang tidak menyenangkan sehingga
membentuk rasa cemas ataupun emosi negatif pada pasien gigi setiap kali hendak
melakukan perawatan gigi (Bergenholtz, 2003). Hal ini sejalan dengan survei
yang dilakukan oleh peneliti terhadap 61 orang yang pernah menjalani perawatan
gigi ke klinik gigi, didapatkan bahwa lebih dari 50% mengaku bahwa takut setiap
kali menjalani perawatan gigi. Selain itu, Marks (1978) juga menyatakan bahwa
pasien gigi mengalami rasa cemas ataupun takut karena rasa sakit yang timbul
selama proses perawataan.
Berdasarkan penelitian Corah, Gale dan Illing (1978), di Amerika Serikat
ditemukan bahwa 75% populasi pasien dokter gigi menyatakan tidak mau

3


Universitas Sumatera Utara

melakukan perawatan gigi karena mengalami kecemasan dental. Kecemasan
dental tersebut disebabkan pengalaman rasa sakit yang diperoleh ketika perawatan
gigi berlangsung. Selain menimbulkan kecemasan pada pasien itu sendiri,
menurut Varley (1997) dan Cohen dan Burns (2004), masyarakat awam juga
membentuk persepsi asing terhadap aktivitas dental di klinik gigi dan
mengasosiasikan praktik dokter gigi dengan rasa nyeri. Rasa sakit ataupun nyeri
yang dirasakan oleh pasien gigi dapat menimbulkan efek trauma dan emosi
negatif sehingga enggan untuk kembali melakukan perawatan gigi (Kumar, Abbas
& Fausto, 2009). Hal ini tentunya akan mengurangi perilaku perawatan gigi dan
restorasi gigi pasien ke dokter gigi (Bergenholtz dalam Erik, 2005). Melihat
fenomena ini tidak mengherankan pasien yang mengalami kecemasan dental
menghindari kunjungan ke dokter gigi (Hmud, 2009). Prevalensi terjadinya
kecemasan dental pada perawatan gigi dilaporkan berkisar 5 – 20 % di berbagai
negara (Alaki, Alanoud, Eman, & Ebtehal, 2012)
Fenomena

mengenai


rasa

sakit

yang

mengakibatkan

terjadinya

penghindaran terhadap aktivitas dental diatas, dapat dijelaskan berdasarkan teori
emosi yang dikemukakan oleh Izard. Menurut Izard (dalam Lafreniere, 2000),
rasa sakit membentuk pengalaman emosional. Rasa sakit secara fisiologis
membuat pasien merespon dengan emosi negatif dan membentuk memori yang
tidak menyenangkan dalam otak mengenai praktik gigi yang dijalaninya
(Lafreniere, 2000). Memori yang terbentuk itu, membuat individu jadi cenderung
menghindari stimulus yang membuatnya mengalami emosi negatif.

4


Universitas Sumatera Utara

Menurut Scherer (2001), emosi dapat diklasifikasikan dengan emosi negatif
dan positif. Selain itu Scherer juga membuat beberapa label emosi seperti marah,
jijik, takut, senang, dan lain-lain. James dan kawan-kawan (dalam Lafreniere,
2000), mengatakan bahwa emosi merupakan respon dari perasaan terhadap suatu
keadaan yang spesifik. Dalam hal ini, emosi yang muncul pada pasien gigi
merupakan emosi negatif seperti takut, marah ataupun cemas. Emosi tersebut
merupakan respon psikologis yang ditimbulkan dari rasa sakit yang diterimanya
secara fisiologis. Hal ini sejalan dengan pernyataan Palakanis, DeNobile,
Sweeney, dan Blankenship (1994), yang mengatakan bahwa rasa cemas pasien
gigi merupakan efek negatif dari prosedur perawatan gigi yang diterima oleh
pasien. Bahkan menurut Bergenholtz (2003), efek negatif ini bukan saja
membentuk emosi takut pada pasien, melainkan juga dapat membentuk perasaan
nyeri hal-hal yang sebenarnya tidak menimbulkan rasa nyeri sama sekali.
Berdasarkan uraian mengenai rasa cemas ataupun takut yang dirasakan oleh
pasien gigi diatas, dapat disimpulkan bahwa tidak jarang pasien menghindari
melakukan perawatan gigi ke praktik dokter gigi. Namun, berdasarkan hasil survei
yang dilakukan peneliti terhadap 61 pasien gigi, didapatkan bahwa meskipun lebih
dari setengah menyatakan takut untuk melakukan aktivitas dental, namun

sebanyak 99% pasien menyatakan bahwa mereka tidak menghindari kegiatan
kunjungan dental. Hal ini bertolak belakang teori yang dikemukakan oleh Izard
(dalam Lafreniere, 2000) bahwa individu akan menghindari stimulus yang
membentuk pengalaman yang tidak menyenangkan. Berdasarkan hasil survei
tersebut, alasan utama pasien tetap mau melakukan aktivitas dental walaupun

5

Universitas Sumatera Utara

merasa takut adalah mencegah penyakit pada gigi semakin parah dan semakin
kompleks.
Alasan yang dikemukakan oleh pasien gigi tersebut sejalan dengan teori
appraisal yang dikemukakan oleh Scherer (2001), bahwa manusia tidak serta

merta menghindari merespon rasa sakit dengan emosi negatif dan menghindari
stimulus yang membentuk rasa sakit tersebut. Hal ini dikarenakan menurut
Scherer (2001), respon emosi yang dibentuk manusia adalah tergantung dengan
penilaiannya secara kognitif terhadap stimulus yang ada secara subjektif. Stimulus
yang dinilai positif akan menimbulkan emosi yang positif juga dan sebaliknya

stimulus yang dinilai negatif akan membentuk emosi negatif juga. Selama proses
perawatan gigi (cabut, pengeboran, dan lain-lain), pada umumnya pasien maupun
orang awam menilai hal itu sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan karena rasa
sakit yang muncul.
Penilaian terhadap rasa sakit sebagai hal yang tidak menyenangkan seperti
uraian diatas, kemudian membentuk berbagai respon emosi contoh takut, sedih,
marah, gelisah dan lain sebagainya. Respon emosi yang dibentuk pasien akibat
rasa sakit tersebut menjadi pembentukan pengalaman emosi yang buruk sehingga
beberapa pasien menghindari perawatan gigi ataupun tetap menjalani perawatan
dengan rasa cemas setiap kali hendak menjalani perawatan gigi. Kondisi yang
terus menerus seperti ini, tentunya akan berdampak buruk terhadap motivasi orang
terhadap perilaku perawatan gigi ataupun restorasi gigi (Malik, 2008). Selain itu,
kondisi tersebut akan mempengaruhi kemajuan praktik-praktik gigi yang ada.

6

Universitas Sumatera Utara

Oleh karena itu, perlu adanya perlakuan diberikan yang dapat berguna dalam
manajemen rasa sakit.

Scherer (2001) mengatakan bahwa emosi manusia dapat dimodifikasi
melalui pemberian stimulus yang dinilai sebagai sesuatu yang baik maupun buruk.
Hal ini sejalan dengan teori appraisal yang dikemukakannya bahwa emosi
muncul karena adanya penilaian terhadap suatu stimulus. Scherer (2001) juga
mengatakan bahwa emosi yang muncul dapat dilakukan dengan cara melakukan
pengukuran terhadap respon emosi pada individu. Oleh sebab itu, perlu adanya
perlakuan yang dinilai positif oleh pasien dan menimbulkan emosi positif pada
pasien gigi sehingga kecemasannya dalam menjalani perawatan gigi dapat
berkurang dan proses perawatan dapat berjalan dengan lancar.
Oleh karena emosi negatif seperti takut ataupun cemas yang timbul pada
pasien gigi, perlu adanya perlakuan untuk memodifikasi emosi negatif tersebut
sehingga pasien tidak menghindari perawatan ataupun tetap menjalaninya tanpa
rasa takut ataupun cemas. Menurut Fridja (dalam Nyklicek, Vingerhoets &
Zeelenberg, 2011), emosi merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Emosi memiliki kontribusi besar dalam keefektifan manusia dalam
mencapai tujuan dalam hidupnya. Selain itu, menurut Martin (2009) dalam buku
Psikologi Belajar, juga menyatakan bahwa emosi berfungsi sebagai pembangkit

energi yang memberi kegairahan dalam hidup manusia. Oleh karena itu dapat
disimpulkan emosi sangat berperan penting dalam membentuk sikap. Pada

konteks perawatan dental, emosi negatif yang dirasakan oleh pasien karena rasa
sakit yang dirasakannya, sangat berpotensi membentuk sikap pada pasien untuk

7

Universitas Sumatera Utara

enggan melakukan perawatan ataupun perawatan yang dijalankan menjadi tidak
optimal (Nelson, 2014). Selain itu, menurut Coleman dan Mammen (dalam
Rakhmat, 1994) emosi memiliki fungsi sebagai pembawa informasi. Dalam hal
ini, emosi negatif yang dirasakan pasien dapat membentuk perilaku pasien untuk
menyampaikan informasi mengenai emosi negatif yang dirasakannya dengan
orang lain. Perilaku ini tentunya akan mengakibatkan persepsi negatif yang
dibentuk oleh masyarakat awam yang hendak melakukan perawatan gigi ke
praktik klinik gigi.
Oleh karena emosi sangat berperan besar dalam membentuk persepsi
subjektif dan perilaku pasien gigi terhadap praktik gigi, perlu dilakukan
modifikasi emosi negatif sehingga emosi tersebut berkurang. Beberapa penelitian
yang mengemukakan bahwa musik dapat memberikan relaksasi, mengubah
perasaan sedih menjadi senang, takut menjadi tenang dan lain-lain (Brown, 1991

dalam Levitin & Chanda, 2013). Menurut Andrzej (2009), musik dapat
menimbulkan efek getar pada elemen tubuh manusia. Efek getar tersebut nantinya
akan berdampak pada perubahan emosi, sel-sel ataupun atom tubuh (Kozier, Erb,
Berman & Synder, 2010). Selain itu, musik juga dapat menimbulkan perasaan
relaks dan meningkatkan aktivitas parasimpatis (Black & Hawk, 2014). Dalam
keadaan tersebut, tubuh terpicu untuk memproduksi endorfin yang bereaksi
menurunkan rasa sakit dan memberi efek tenang (Smeltzer et al, 2008).
Berdasarkan dari beberapa penelitian tersebut, peneliti melihat pemberian musik
dapat digunakan sebagai teknik untuk mengatasi emosi negatif pada pasien gigi.

8

Universitas Sumatera Utara

Menurut Juslin dan Sloboda (2010), musik dapat meningkatkan arousal dan
membentuk pengalaman emosi. Perubahan emosi yang tergugah yang terjadi
akibat musik tersebut, diasumsikan dapat mempengaruhi respon emosi pasien gigi
yang nantinya akan berpengaruh terhadap persepsi rasa sakit selama proses
perawatan. Dalam Levitin & Chanda (2013) dikatakan bahwa musik dapat
digunakan untuk manajemen rasa sakit, psikoterapi dan perkembangan personal.
Mekanisme utama musik yang membuktikan bahwa musik dapat mempengaruhi
emosi adalah kemampuan musik dapat meregulasi stress, arousal dan emosi yang
merupakan respon batang otak. Efek musik ini secara fisiologis dapat diukur dari
detak jantung, tekanan darah, suhu tubuh dan ketegangan pada otot.
Beberapa penelitian juga mengungkap bahwa musik yang mempengaruhi
respon emosi

memiliki fungsi untuk memodifikasi perilaku non-musikal

(Panksepp, 1998). Hal itu dikarenakan selama mendengarkan musik, otak
berusaha melakukan dua aktivitas yang bersamaan yakni mengontrol proses
hedonis dan fluktuasi arousal pada sistem limbik (Olds, 1962). Dalam juga
mengungkapkan bahwa musik dapat memproduksi

perasaan euforia pada

pendengarnya (dalam Levitin & Chanda, 2013). Bahkan emosi yang bertolak
belakang juga dapat ditimbulkan seperti dari sedih menjadi senang, dapat
dirasakan oleh pendengarnya. Oleh sebab itu, stimulus musik dipercaya dapat
mempengaruhi aspek-aspek perilaku manusia yang berhubungan dengan aktivitas
otak seperti emosi.
Perasaan tenang dan dikstrasi yang terjadi karena adanya musik selama
proses perawatan gigi diasumsikan dapat berfungsi dalam hal mengurangi rasa

9

Universitas Sumatera Utara

sakit (dalam Sarafino & Smith, 2011). Intervensi pemberian musik dalam ini
bekerja melalui pemberian stimulus musik yang dipercaya dapat mempengaruhi
emosi pasien sehingga pasien merasa lebih tenang dan tidak terlalu memikirkan
rasa

sakit,

melainkan

lebih

fokus

terhadap

musik

yang

membantu

mendiskriminasi emosi negatif pasien akibat rasa sakit yang timbul. Menurut
Utoyo (2008), ada banyak yang bisa dilakukan dalam praktik gigi yang dapat
membantu pasien agar lebih relaks dan nyaman dalam melakukan perawatan
seperti sambil menonton televisi, membuat warna dinding klinik dengan warna
lembut seperti hijau dan putih, dan pemasangan musik. Juslin dan Sloboda (2010)
menyatakan bahwa musik dapat digunakan untuk memberi relaksasi sehingga
pasien dapat menjadi lebih tenang sehingga pasien lebih relaks serta
meminimalisir emosi-emosi negatif terhadap perawatan yang sedang dilakukan.
Pada umumnya, musik yang dianggap cocok untuk manajemen rasa sakit
adalah musik yang memiliki tempo lambat, nada rendah dan intrumental (Juslin &
Sloboda, 2010). Contoh musik yang dianggap dapat menimbulkan perasaan relaks
sehingga dapat menurunkan kecemasan adalah musik klasik. Musik klasik yang
dikarang oleh W.A. Mozart sudah diteliti dapat memberi efek tenang dan emosi
positif (dalam Merritt, 2003). Contoh lagu W.A. Mozart yang diakui dapat
memberikan efek menenangkan (sedatif) adalah Adiago, Sonata in E-flat, dan
Andante K.525 (Tague, 2007). Namun penelitian lainnya mengatakan bahwa efek
suatu musik bersifat subjektif dan dapat dipengaruhi oleh faktor budaya dan
preferensi musik individu.

10

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan beberapa penelitian emosi musikal satu orang terhadap suatu
musik dapat dipengaruhi oleh faktor budaya yang dianutnya sehingga dia lebih
merepson positif suatu lagu dari budayanya daripada musik lainnya. Salah satu
musik tradisional yang sudah diteliti dapat membentuk emosi positif adalah musik
gondang sabangunan. gondang dalam suku Batak Toba dibagi atas dua jenis,

yaitu gondang sabangunan dan gondang hasapi (Simangungsong, 2013). Purba
(2002) menyatakan bahwa gondang sabangunan merupakan praktik kultural dari
leluhur suku Batak Toba untuk mengiringi permohonan berkat kepada dewa
melalui pemberian sesajian, doa, dan pelaksanaan upacara. Bunyi-bunyian pada
gondang sabangunan berasal dari sarunei bolon, ogung, drum taganing, hesek

dan bass drum gordang. Sebagian besar instrumen musik pada gondang
sabangunan adalah dipukul/ditabuh, yaitu instrumen taganing, gordang, dan
ogung.

Menurut Smith dan Noon (dalam Murrock, 2005) bahwa musik yang terdiri
dari sebagian besar instrumen perkusi (dimainkan dengan cara dipukul, digesek,
atau diadu) berhubungan dengan pembangkitan energi dan meningkatkan
kekuatan. Hal ini berhubungan dengan afek mood positifyang dihasilkan dari
gondang sabangunan. Musik yang memiliki dinamika bunyi yang keras atau

nyaring dan pitch yang tinggi seperti gondang sabangunan akan diinterpretasikan
sebagai sesuatu hal yang menarik perhatian (thought pattern) dan tubuh akan
menimbulkan sensasi-sensasi internal tubuh (organ experience). Hal ini didukung
oleh Dogiel (dalam Merriam, 1964) bahwa pitch, intensitas, dan timbre suara
musik sebagai sitimulus auditori mempengaruhi aliran darah yang kemudian

11

Universitas Sumatera Utara

berpengaruh pada kontraksi jantung dan pernafasan. Hal ini sejalan dengan
penelitian Siagian (2009) tentang pengaruh musik gondang sabangunan dengan
musik hasapi terhadap mood. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa musik
gondang sabangunan dapat menaikkan afek positif. Hal ini bertolak belakang
dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa musik-musik yang
memiliki tempo lambat dan nada rendah-lah yang dapat meningkatkan emosi
positif. Hal ini dikarenakan elemen dari musik gondang sabangunan memiliki
tempo yang cepat dan nada berubah-ubah. Oleh sebab itu, peneliti hendak melihat
perbedaan manakah dari kedua jenis musik ini yang dapat mempengaruhi emosi
negatif pasien gigi.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka timbul pertanyaan peneliti apakah ada
pengaruh jenis musik klasik dan tradisional terhadap respon emosi negatif pada
pasien gigi. Mengacu pada pertanyaan tersebut, peneliti tertarik untuk
mengadakan penelitian yang berjudul Pengaruh Jenis Musik Terhadap Emosi
Negatif pada Pasien Gigi.
B.

Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka rumusan

masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah ada pengaruh jenis musik terhadap emosi negatif pada pasien gigi?
2. Apakah emosi negatif pada pasien gigi yang diperdengarkan musik klasik
lebih rendah daripada yang tidak diperdengarkan jenis musik klasik.

12

Universitas Sumatera Utara

3. Apakah emosi negatif pada pasien gigi yang diperdengarkan musik gondang
sabangunan lebih rendah daripada yang tidak diperdengarkan musik jenis
gondang.
4. Apakah emosi negatif pada pasien gigi yang diberikan musik klasik lebih
rendah daripada yang diberikan musik gondang sabangunan.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang diuraikan diatas, tujuan dari penelitian ini
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh jenis musik terhadap emosi
negatif pada pasien gigi.
2. Untuk mengetahui apakah emosi negatif pada pasien gigi yang
diperdengarkan musik klasik lebih rendah daripada yang tidak
diperdengarkan jenis musik klasik.
3. Untuk mengetahui apakah emosi negatif pada pasien gigi yang
diperdengarkan musik gondang sabangunan lebih rendah daripada yang
tidak diperdengarkan musik jenis gondang.
4. Untuk mengetahui apakah emosi negatif pasien gigi yang diberikan musik
klasik lebih rendah daripada yang diberikan musik gondang sabangunan.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat
bagi ilmu psikologi, khususnya di bidang Psikologi Umum dan Eksperimen

13

Universitas Sumatera Utara

mengenai manfaat musik terhadap emosi negatif. Selain itu juga penelitian ini
diharapkan dapat menambah sumber kepustakaan dan penelitian Psikologi
Umum dan Eksperimen sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
penunjang untuk bahan penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi praktisi
kesehatan gigi untuk mempertimbangkan intervensi musik untuk kenyaaman
pasien selama proses perawatan gigi. Selan itu juga dapat memberi kontribusi
kepada para ahli psikologi kesehatan sebagai acuan untuk mengelola sistem
perawatan pada klinik gigi di suatu instansi kesehatan.

E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang yang mendasari penelitian ini, rumusan
masalahnya, tujuan diadakannya penelitian, manfaat penelitian dari segi teoritis
dan praktis, serta sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan tinjauan teoritis mengenai emosi, fungsi musik dan kondisi
dental. Bab ini juga mengemukakan hipotesis penelitian sebagai jawaban
sementara terhadap masalah penelitian.
BAB III : METODE PENELITIAN

14

Universitas Sumatera Utara

Bab ini berisi identifikasi variabel yang diuji dalam penelitian, definisi
operasional, populasi dan sampel yang akan diteliti, metode yang digunakan
dalam pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, serta metode dalam
menganalisis hasil data penelitian.
BAB IV : HASIL DAN ANALISIS
Berisikan penjelasan hasil penelitian yang terdiri dari gambaran umum emosi
negatif setiap kelompok eksperimen dan kontrol, serta hasil analisis dan
interpretasi dari hasil utama penelitian.
BAB V : KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
Berisikan uraian kesimpulan dari hasil analisis penelitian secara keseluruhan
dan jawaban dari permasalahan penelitian, diskusi mengenai proses
pelaksanaan penelitian, serta saran untuk penelitian selanjutnya.

15

Universitas Sumatera Utara