Status Penguasaan Tanah Timbul (Aanslibbing) Di Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tanah merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia,
terlebih lagi dilingkungan masyarakat Indonesia yang sebagian besar penduduknya
menggantungkan kehidupan dari tanah. Selain tempat pemukimam tanah merupakan
sumber penghidupan bagi mereka yang mencari nafkah melalui usahatani, tambak
dan perkebunan.
Bagi kehidupan manusiatanah mengandung makna yang multidimensional.
Pertama, dari sisi ekonomi, tanah merupakan sarana produksi yang dapat
mendatangkan kesejahteraan. Kedua, secara politis, tanah dapat menentukan posisi
seseorang dalam pengambilan keputusanmasyarakat. Ketiga, sebagai kapital budaya,
tanah dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, tanah
bermakna sakral, dimana setiap akhir hayat manusia akan kembali kepada tanah.1
Pembukaan tanah di suatu tempat tertentu merupakan awal dari lahirnya
kepemilikan tanah bagi individu atau kelompok, yang menurut hukum adat
pembukaan tanah tersebut diawali dengan pemberitahuan kepada persekutuan hukum
dan diberi tanda dan batas tertentu.2Selanjutnya tanah yang dibuka tersebut dijadikan
sebagai tempat berusaha dan atau di atasnya dibangun tempat tinggal yang dikuasai
1


Heru Nugroho, 2001, Menggugat Kekuasaan Negara, Muhammadiyah University Press,
Surakarta, hlm.237.
2
Mukhtar Wahid, 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Republika,
Jakarta, hlm.59.

1

Universitas Sumatera Utara

2

oleh masing-masing orang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, hingga
penguasaan tanah tersebut berlangsung secara terus menerus dan bahkan turun
temurun.
Penguasaan

tanah


yang

dilakukan

secara

terus

menerus

akan

menimbulkanhubungan nyata antara manusia dengan tanah, sehingga dapat dikatakan
bahwa hubungan dan tindakan pengolahan nyata atas tanah adalah unsur utama
lahirnya hak atas tanah. Berdasarkan penguasaan dan tindakan pengolahan nyata atas
tanah secara berkesinambungan tersebut, maka akan menimbulkan hubungan hukum
dengan tanah yang ditempati dan diusahakannya, kemudian hubungan hukum
tersebut diakui oleh penguasa atau pemerintah setempat yang ditandai dengan
pengakuan secara tertulis maupun secara lisan.
Dalam rangka pembangunan nasional yang berkesinambungan, peranan tanah

akan menjadi bertambah penting, sehubungan dengan terus bertambahnya jumlah
penduduk yang semuanya memerlukan tanah. Karena pentingnya tanah dalam
kehidupan manusia, tanah menjadi objek yang rawan terhadap perselisihan antara
manusia, hal ini disebabkan karena meningkatnya kebutuhan manusia akan tanah,
sementara itu persediaan tanah relatif tetap.
Namun adakalanya di beberapa tempat tertentu, seperti di tepi pantai, sungai,
dan danau, karena peristiwa alam, membuat bidang tanah pada lokasi tersebut
menjadi bertambah luasnya. Pertambahan luas tanah tersebut disebabkan karena
adanya erosi tanah di hulu sungai yang kemudian hanyut terbawa arus sungai.
Selanjutnya tanah-tanah hanyutan tersebut sebagian akan mengendap disepanjang

Universitas Sumatera Utara

3

aliran sungai, dan sebagian lagi terus ke muara sungai yang bersangkutan. Maka
secara tidak langsung, akibat proses yang demikian berulang terjadi akan membuat
endapan lumpur tersebut meluas dan meninggi, sehingga pada akhirnya membentuk
sebuah daratan baru yang dikenal dengan sebutan tanah timbul (aanslibbing).
Tanah timbul merupakan suatu karunia yang sangat berharga bagi mereka

masyarakat yang bertempat tinggal (bermukim) di sekitar pantai ataupun sungai
tersebut, khususnya bagi mereka warga masyarakat yang berekonomi lemah yang
mencari nafkah sebagai petani, karena sebagai sumber daya alam baru, tanah timbul
merupakan daratan yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk usaha pertanian,
tambak, dan bahkan dapat dijadikan tempat untuk mendirikan bangunan sebagai
tempat tinggal.
Pada prinsipnya unifikasi hukum pertanahan di Indonesia telah terwujud,
yaitu dengan di undangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960,
(Lembaran Negara 1960-104), yang merupakan peraturan dasar pertanahan Indonesia
yang dibentuk berdasarkan Hukum Adat, yaitu untuk melaksanakan amanah Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), agar bumi, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat.

Universitas Sumatera Utara

4

Kemudian hak menguasai oleh negara sebagaimana tersebut diatas lebih lanjut
dituangkan dalam UUPA, yang menyatakan bahwa hak menguasai tersebut memberi

wewenanag kepada negara untuk:3
a. Mengatur

dan

menyelenggarakan

peruntukan,

penggunaan,

persedian

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Wewenang pada hak menguasai dari negara sebagaimana tersebut diatas
digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,

kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Maka berdasarkan wewenang tersebut, negara
dapat menentukan bermacam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama serta badan hukum.
Hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud merupakan hak untuk mempergunakan
tanah yang bersangkutan.4
Namun persoalan hukum muncul ketika penguasaan dan kepemilikan bersifat
faktual tersebut dihadapkan dengan ketentuan hukum secara yuridis formal, dimana

3

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria.
4
Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.

Universitas Sumatera Utara

5


kepemilikan yang terjadi menurut hukum adat/kebiasaan, belum tentu mendapat
kepastian hak atas tanah berdasarkan ketentuan hukum formal, bahkan penguasaan
tersebut bisa jadi suatu perbuatan yang menyalahi atau bertentangan menurut hukum
formal.
Sebagai daratan baru, apa yang dimaksud tanah timbul (aanslibbing)
sebenarnya secara eksplisit pengaturannya dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal
584 juncto 589 KUHPerdata (BW) yang pada intinya menyatakan bahwa tanah
timbul adalah “milik” yang menguntungkan sekalian pihak yang memiliki tanah
dipertepian aliran sungai tersebut,yaitu atas dasar perlekatan (natrekking).
Namun

demikian,

apa

yang

tertuang

dalam


pasal

KUHPerdata

tersebutberbedadengan persepsi hukum adat/kebiasaan rakyat Indonesia. Dimana
dalam persepsi Hukum Adat tidak mengenal dan menggunakan asas perlekatan
sebagai dasar pemilikan atas tanah. Dan sejalan dengan itu, atas dasar angka 4
Konsideran Memutuskan UUPA dengan tegas telah mencabut seluruh ketentuan yang
termuat dalam Buku II KUHPerdata,yaitu sepanjang yang mengenai bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Tetapi sejak dicabutnya Buku II KUHPerdata dan diberlakukannya UUPA serta
berbagai peraturan perundang-undangan sektoral lainnya, baik bersifat pelaksana maupun
berupa kebijakan dari pemerintah, sampai sekaranag tidak ada ditemukan aturan yang
tegastentang keberadaan tanah timbul, melainkan hanya suatu pernyataan bahwa “tanah
yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah peraian pantai, pasang

Universitas Sumatera Utara

6


surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh negara”,5 tanpa ada suatu
pemaparan yang tegas tentang hak-hak masyarakat didalamnya.

Sejalan dengan apa yang telah uraikan diatas, lokasi yang dipilih untuk
melakukan penelitian ini adalah di Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu,
Provinsi Riau,tepatnya disebuah desa bernama Teluk Erong yang posisinya terletak di
daerah aliran sungai Indragiri, dimana sebagian luas tanah desa ini adalah merupakan
tanah timbul dengan cakupan luas mencapai + 15 ha (lima belas hektar), dan seiring
waktu luas tanah timbul di desa inipun terus bertambah, dimana dalam kurun waktu 5
tahun terakhir kemunculan tanah timbul diperkirakan mencapai 4 ha (empat hektar).
Sebagai fenomena hukum, sangat menarik untuk dikaji sistem penguasaan dan
pemilikan tanahtimbul menurut budaya atau hukum adat/kebiasaan masyarakat
tersebut, demikian juga pengaturan terkait tanah timbul dalam perundang-undangan
besertalangkah-langkah yang harus ditempuh untuk memperoleh hak atas tanah
terkait penguasaannya. Oleh karena itu, maka diajukan penelitian dengan judul tesis:
“Status Penguasaan Tanah timbul (aanslibbing) di Kecamatan Rengat
Kabupaten Indragiri Hulu.” Sehingga nanti diharapkan diperoleh jawaban yang
bermanfaat dan berguna untuk pengembangan ilmu hukum khususnya dibidang
hukum pertanahan.

B. Perumusan Masalah

5

Pasal 12 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah. (lihat juga angka 3 Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 410-1293 tentang Penertiban Penertipan Status Tanah Timbul dan Tanah
Reklamasi).

Universitas Sumatera Utara

7

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam penulisan tesis ini adalah :
1.

Bagaimanapenguasaan dan kepemilikan atas tanah timbul menurut kebiasaan
masyarakat di Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu?


2.

Bagaimanastatus penguasaan atas tanah timbul di Kecamatan Rengat, Kabupaten
Indragiri Hulu?

3.

Bagaimana langkah-langkah untuk memperoleh hak atas tanah terkait
penguasaan tanah timbuldi Kecamatan Rengat,Kabupaten Indragiri Hulu?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan wawasan
dibidang hukum agraria khususnya dibidang pertanahan, sehingga dapat memberi
penjelasan sebagai berikut :
1.

Untuk mengetahui terjadinya penguasaan dan kepemilikan tanah timbul
menurutkebiasaan masyarakat di Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu.

2.

Untuk mengetahui status penguasaan tanah timbul di Kecamatan Rengat,
Kabupaten Indragiri Hulu.

3.

Untuk mengetahui langkah-langkah untuk memperoleh hak atas tanah terkait
penguasaan tanah timbul di Kecamatan Rengat,Kabupaten Indragiri Hulu.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan manfaat
praktis, sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

8

1.

Manfaat secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan hukum, khususnya hukum pertanahan.

2.

Manfaat secara praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan dan masukan bagi praktisi,
pemerintah, maupun masyarakat terkait dengan penguasan tanah timbul,
khususnya di Kecamatan Rengat,Kabupaten Indragiri Hulu.

E. Keaslian Penelitian
Setelah dilakukan pengamatan terhadap Tesis dan Disertasi yang ada
diperpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, sepanjang yang
diketahuibelum ada suatu penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Pasca Sarjana
ataupunorang lain yang membahas tentang “Status Penguasaan Tanah Timbul
(Aanslibbing) Di Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu”.Akan tetapi ada
beberapa penelitian yang antara lain:
1.

Afnansyah, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, yang
berjudul:

“Pelaksanaan

Sosialisasi

Program

Redistribusi

Tanah

Obyek

Pengaturan Penguasaan Tanah/ Landreform Di Kecamatan Sei Bingei,
Kabupaten Langkat”, dengan pokok permasahan sebagai berikut:
1) Mengapa masyarakat Kecamatan Sei Bingei, Kabupaten Langkat banyak yang
belum

mengetahui

Program

Redistribusi

Tanah

Obyek

Pengaturan

Penguasaan Tanah/ Landreform yang sudah ditegaskan sejak tahun 1965?

Universitas Sumatera Utara

9

2) Hal-hal apa saja yang perlu disosialisasikan tentang Program Redistribusi
Tanah Obyek Pengaturan Penguasaan Tanah/ Landreform di Kecamatan Sei
Bingei?
3) Apa faktor penghambat dan upaya apa yang harus ditempuh agar sosialisasi
Program Redistribusi Tanah Obyek Landreform dapat berjalan dengan lancar
di Kecamatan Sei Bingei?
2.

Nur Afni Damanik, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera
Utara, yang berjudul: “Tinjauan Yuridis Penguasaan Tanah Tanpa Hak Oleh
Masyarakat: Studi Pada Penguasaan Tanah Aset PT. Kereta Api di Pancur Batu”,
dengan pokok permasahan sebagai berikut:
1) Bagaimana timbulnya penguasaan tanah tanpa hak oleh masyarakat pada
tanah Aset PT. Kereta Api di Pancur Batu?
2) Bagaimanaakibat hukum jika terjadi penguasaan tanah tanpa hak yang
dilakukan oleh masyarakat di Pancur Batu?
3) Bagaimana Perlindungan Hukum bagi masyarakat yang menduduki tanah
Aset PT. Kereta Api di Pancur Batu yang tidak dapat membuktikan alas
haknya?

3.

Juliani Libertina Nasution, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Universitas
Sumatera Utara, yang berjudul: “Hak Kepemilikan dan Penguasaan Atas Tanah
di Wilayah Pulau Batam (Studi: Di Pulau Sekikir dan Pulau Bulat)”, dengan
pokok permasahan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

10

1) Bagaimana pola kepemilikan dan penguasaan tanah pada pulau-pulau di
wilayah Kepulauan Batam?
2) Bagaimana Pelaksanaan penggunaan tanah pada pulau-pulau di wilayah
Kepulauan Batam?
3) Apakah ada perlindungan hukum terhadap kepemilikan dan penguasaan tanah
di pulau-pulau di wilayah Kepulauan Batam tersebut?
Dengan demikian penelitian ini benar-benar asli,baik dari segi substansi
maupun dari segi permasalahan.Sehingga dengan demikian penelitian inibukan hasil
ciplakan dari penelitian atau penulisan orang lain dan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis,

teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman
mengenai suatu fenomena atau teori merupakan simpulan dari rangkaian berbagai
fenomena menjadi sebuah penjelasan.6Kerangka teori merupakan landasan dari teori
atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari
permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran

6

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.134.

Universitas Sumatera Utara

11

atau butir-butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak
disetujui.7
Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Friedrich von
Savigny dari mazhab sejarah.Menurut von Savigny bahwa hukum merupakan
pencerminan dari jiwa bangsa (volksgeist). Jiwa (semangat) bangsa menjelma dalam
bahasa, adat kebiasaan, susunan ketatanegaraan, dan hukum bangsa itu. Mazhab ini
menolak pengagungan terhadap akal (rasio) manusia. Hukum tidak dibuat, melainkan
diteruskan dalam masyarakat. Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena
itu, hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam rahim volkgeist, harus
dipandang sebagai hukum kehidupan sejati.8
Selanjutnya menurut Savigny, hukum timbul bukan karena perintah penguasa,
tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa (Volkgeist) itu
menjadi sumber hukum. Ia juga mengingatkan bahwa untuk membangun hukum,
studi terhadap sejarah suatu bangsa mutlak perlu dilakukan.9
Kemudian di lain pihak, Puchta salah seorang murid von Savigny menguatkan
pendapat tersebut dengan menyatakan:
Hukum berasaskan pada keyakinan bangsa, baik menurut isinya maupun
menurut ikatan materiilnya. Artinya, hukum timbul dan berlaku karena terikat
pada jiwa bangsa. Timbulnya hal itu dalam tiga bentuk. Hukum timbul dari
jiwa bangsa secara langsung dalam pelaksanaannya (dalam adat istiadatorangorang), secara tidak langsung hukum timbul dari jiwa bangsa dari undang-

7

M.Solly Lubis,1994,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju,Bandung, hlm.80.
Ishaq, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.202.
9
Lili Rasjidi, 1996, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.69.

8

Universitas Sumatera Utara

12

undang (yang dibentuk oleh negara) dan melalui ilmu pengetahuan hukum
(yang merupakan karya ahli hukum).10
Sebagaimana dikutip oleh Ishaq, W. Freidmann menjelaskan bahwa pokokpokok ajaran mazhab sejarah yang diuraikan Savigny dan beberapa pengikutnya
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Hukum ditemukan, tidak dibuat. Ada pandangan yang pesimistis tentang
pandangan manusia. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses yang
tidak disadari dan organis, oleh karena itu perundang-undangan adalah kurang
penting dengan adat kebiasaan.
2. Karena hukum berkembang dari hubungan hukum yang mudah dipahami
dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban
modern. Kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya
secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum, yang merumuskan
prinsip-prinsip hukum secara teknis. Ahli hukum tetap merupakan suatu organ
kesadaran umum, terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia
temukan sebagai bahan mentah perundang-undangan menyusul pada tingkat
akhir. Oleh karena itu, ahli hukum sebagai badang pembuat undang-undang
relatif lebih penting dari pada pembuat undang-undang itu sendiri.
3. Undang-undang tidak berlaku atau dapat diterapkan secara universal. Setiap
masyarakat mengembangkan hukum kebiasaannya sendiri, karena mempunyai
bahasa, adat istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa
bahasa dan hukum adalah sejajar. Juga tidak dapat diterapkan pada
masyarakat dan daerah lain. Volksgeist dapat dilihat dalam hukumnya, oleh
karena itu sangat penting untuk mengikuti evolusi Volksgeist melalui
penelitian hukum sepanjang sejarah.11
Sejalan dengan apa yang disampaikan diatas, pada tanggal 24 September
1960, Indonesia telah berhasil mewujudkan cita-citanya, yaitudengan mengahapuskan
hukum agraria kolonial dan menggantikannya dengan hukum agraria nasional yang
berlandaskan kepada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945),

10
11

Ishaq,log.cit.
Ibid, hlm.203.

Universitas Sumatera Utara

13

yaituUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA).
Dengan demikian kesatuan hukum agraria telah tercapai secara nasional yang
mana ketentuan yang berlaku atasnya didasarkan pada hukum adat, yang berarti
hukum adat menduduki posisi yang sentral didalam hukum agraria nasional. Hal
tersebut dapat kita lihat pada rumusan Pasal 5 UUPA yang berbunyi:
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara,
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan
peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsurunsur yang bersandar pada hukum agama.”
Selain sebagai sumber utama dalam pembentukan hukum agraria nasional,
hukum adat berfungsi sebagai pelengkap. Hal tersebut untuk mengatasi agar tidak
terjadi kekosongan hukum. Berfungsinya hukum adat sebagai pelengkap hukum
tanah nasional yang tertulis, artinya jika sesuatu soal belum atau belum lengkap
mendapat pengaturan dalam hukum tanah yang tertulis maka yang berlaku
terhadapnya adalah ketentuan hukum adat.
Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 58 UUPA, bahwa “selama
peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang ini belumterbentuk, maka peraturanperaturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan air serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hak-hak atas tanah, yang ada pada
mulai berlakunya undang-undang ini tetap berlaku...,”

Universitas Sumatera Utara

14

Dengan lahirnya UUPA maka telah melahirkan beberapa ketentuan yang
mengatur hubungan antara negara dengan masyarakat bangsa Indonesia atas bumi,
air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
sebagaimana yang tercantum dalam penjelasan umum UUPA sebagai berikut:
1.

Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria Nasional yang akan
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi
Negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan
makmur.

2.

Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesadaran dalam
hukum pertanahan.

3.

Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Selanjutnyakembali kepada pokok pembahasan dalam tesis ini. Sebagai

hukum agraria nasional, di dalam UUPA tidak ada ditemukan pengaturan yang
mengatur secara eksplisit (tegas) terkaitmengenai tanah timbul. Namun demikian,
secara implisit (tidak tegas) sebagaimana termuat dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA yang
menyatakan “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasardan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara....”.
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 410-1293 tentang Penertipan Status Tanah Timbul dan Tanah

Universitas Sumatera Utara

15

Reklamasi, tanah timbul adalah merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh
negara. Sebagaimana termuat dalam angka 3 Surat Edaran Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 410-1293 tersebut, yang
menyatakan bahwa:
“Tanah-tanah timbul secara alami seperti delta, tanah pantai, tepi danau/situ,
endapan tepi sungai, pulau timbul dan tanah timbul secara alami lainnya
dinyatakan sebagai tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Selanjutnya
penguasaan/pe-milikan serta penggunaannya diatur oleh Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku”.
Selanjutnya pernyataan tanah timbul sebagai tanah yang dikuasai langsung
oleh negara juga dapat lihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004
tentang Penatagunaan Tanah. Dimana dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah ini
dinyatakan bahwa: “Tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di
wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai
langsung oleh negara”
Berkaitan dengan hal di atas, UUPA memberi pengertian bahwa dikuasai
bukanlah berarti dimiliki, akan tetapi adalah pengertian memberi kewenangan kepada
negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia itu, untuk tingkatan
tertinggi:12
a.

Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaannya;

12

Penjelasan Umum angka II, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.

Universitas Sumatera Utara

16

b.

Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi,
air, dan ruang angkasa itu;

c.

Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,air dan ruang angkasa.
Dengan demikian, berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 juncto Pasal 4

ayat (1) dan (2) UUPA, dapat disimpulkan bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat,atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana dimaksud
maka ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut
tanah (dalam hal ini termasuk tanah timbul), hak-hak tanah yang dimaksud adalah
memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan.
Adapun macam-macam hak-hak atas tanah tersebut dapat dilihat dalam Pasal
16 ayat (1) UUPA, yaitu sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Hak milik
Hak guna usaha
Hak guna bangunan
Hak pakai
Hak sewa,
Hak membuka tanah,
Hak memungut hasil hutan,
Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan
ditetapkan dengan undang-undang, serta hak-hak yang sifatnya sementara
sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

Sejalan dengan urain pasal di atas, dapatlah diketahui bahwa tanah-tanah yang
tidak dilekati dengan suatu hak, yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan,
hak pakai atas tanah negara, hak pengelolaan, serta tanah ulayat dan wakaf adalah

Universitas Sumatera Utara

17

tanah merupakan tanah negara.Menurut Herman Hermitsebagaimana dikutip Sunahan
Yosua,bahwa tanah negara dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu tanah negara
bebas dan tanah negara tidak bebas. Tanah negara bebas adalah tanah negara yang
langsung di bawah penguasaan negara, yang mana diatas tanah tersebut tidak ada
satupun hak yang dipunyai oleh pihak lain selain negara. Sedangkan tanah negara
tidak bebas adalah tanah negara yang diatasnya sudah ditumpangi oleh suatu hak
punya pihak lain.13
Kemudian dapat dilihat adanya batasan terhadap kebebasan masyarakat dalam
menguasai dan memanfaatkan tanah. Dimana penguasaannya dibatasi oleh hak
menguasai oleh negara, sedangkan pemanfaatannya dibatasi oleh kewenangan negara
yang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan dan penggunaan tanah
tersebut.Sehingga dengan dasar pemikiran ini dapat dipahami bahwa setiap warga
negara Republik Indonesia dalam menggunakan dan memamfaatkan tanah haruslah
berdasarkan ketentuan atau peraturan hukum yang berlaku sebagai landasan yuridis,
sehingga tidak menyimpang dan melanggar hukum.
Lalusejauh mana Negara mengakui dan menghormati hak-hak penguasaan
dan kepemikan atas tanah (termasuk tanah timbul) yang lahir berdasarkan kebiasaan
masyarakat hukum adat yang mana secara tegasdalam Pasal 5 UUPA menyatakan
bahwa “...Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat...”,

yang

mana

selanjutnyadalamPasal

56

UUPA

tersebut,menyatakan

13

Sunahan Yosua, 2010, Hak Atas Tanah Timbul (aanslibbing) Dalam Sistem Hukum
Pertanahan Indonesia, hlm.54.

Universitas Sumatera Utara

18

bahwaapabila “...undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam Pasal 50
ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat
setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi
wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal 20...”Karena
sebagaimana telah disebutkan pada uraian sebelumnya, bahwa secara eksplisit (tegas)
di dalam UUPAtidak ada ditemukan aturan yang mengatur tentang tanah timbul
(aanslibbing).
Hal ini merupakan permasalahanyang dapat memicu konflik antara
masyarakat dengan pemerintah. Karena pada kenyataannya pangkal permasalahan
yang selalu muncul adalah pelaksanaan hak menguasai negara tersebut. Dimana
disatu pihak yaitu pemerintah sebagai pengemban tugas yang diberikan negara,
menyatakan bahwa semua tanah yang berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang tidak dilekati dengan suatu hak diatasnya dengan salah satu macam hak (hak
milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara) sebagaimana
yang telah ditentukan dalam Pasal 16 UUPA, adalah merupakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negarayang berlandaskan kepada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Sementara itu di lain pihak masyarakat yang berada dalam suatu wilayah,
yang merupakan bagian dari keluruhan rakyat Indonesia yang turut serta memberikan
kuasa kepada negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaan
semua tanah di seluruh wilayah Indonesia, merasakan bahwa hak atas tanahnya telah
diingkari oleh negara yang secara langsung pelaksanaannya dijalankan oleh
pemerintah selaku pengemban tugas yang diberikan negara.

Universitas Sumatera Utara

19

Pengingkaran hak ini dirasakan oleh masyarakat (khususnya masyarakat tani
yang berekonomi lemah) karena minimnyapelaksanaan ataupun pengakuan terhadap
hak-hak persekutuan (ulayat) masyarakat maupun hak perseorangan (individu) atas
tanah yang lahir berdasarkan ketentuan hukum yang hidup dalam masyarakat itu
sendiri.
Selain itu masyarakat juga merasa bahwa berbagai kebijakan dan peraturan
perundang-undanganyang dikeluarkan oleh pemerintah pada kenyataannya tidak
melindungi hak-hak mereka atas tanah, bahkan berbagai kebijakan itu dinilai sebagai
rekayasa hukum yang lebih berpihak kepada investor. Hal ini dapat dilihat dari
banyaknya kasus sengketa pertanahan ditanah air, dimana masyarakat tani menggugat
kekuasaan negara yang tidak diketahui batasannya.
Hal ini merupakan persoalan hukum yang harus benar-benar diperhatikan,
karena yang namanya hak ulayat maupun hak perseorangan harusdiakui dan
dihormati sebagaimana ketentuan yang berlaku dalamperaturan perundang-undangan
di Negara Republik Indonesia. Berbagai peraturan sebagai dimaksud antara lain
adalah sebagai berikut:
a.

Terhadap hak ulayat masyarakat
1. Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia...”

Universitas Sumatera Utara

20

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok
Agraria, yang merupakan payung hukum bagi hukum adat dan hak ulayat,
sebagaimana terlihat dalam konsiderannya “Berpendapat” huruf (a) bahwa
“...perlu adanya hukum agraria nasional yang berdasarkan atas hukum adat
tentang tanah,...dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama.” Selanjutnya di dalam Pasal 5 UUPA tersebut ditegaskan
bahwa “hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah
hukum adat,...”
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
5 Tahun 1999, tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat, yang mana dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun
1999 tersebut dinyatakan bahwa “pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada
kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang
bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat.”
b.

Terhadap hak perorangan (individu)
1. Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada Pasal 28H ayat (4) UUD 1945
tersebut yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak mempunyai hak milik
pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang oleh
siapapun.”
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu
pada Pasal 36 yang menyatakan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

21

a. Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik sendiri maupun bersamasama dengan orang lain demi perkembangan dirinya, bangsa dan
masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
b. Tidak boleh seorangpun dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan
secara melawan hukum.
c. Hak milik mempunyai fungsi sosial. Hak asasi manusia merupakan hak
dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan
langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan
tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Ini berarti
bahwa, setiap orang mengemban kewajiban untuk mengakui dan
menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi negara
dan pemerintah untuk menghormati, mengakui, melindungi, membela dan
menjamin hak asai manusia rakyatnya tanpa adanya diskriminasi.
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok
Agraria, yaitu pada Pasal 9 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa “...warga
negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi,
air, dan ruang angkasa” selanjut pada ayat (2) dinyatakan bahwa “ ... baik
laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh sesuatu hak atas tanah untuk mendapat hasilnya baik bagi diri
sendiri maupun keluarganya.” Hak atas tanah yang dimaksud adalah hak
sebagaimana disebut pada Pasal 16 UUPA ini. Maka dengan adanya hak
seseorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 16, berarti telah dilindungi dan
diakui oleh hukum Indonesia.
Dengan demikian, mengacu pada teori Carl von Savigny maka penerapan
prinsip mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan
keanekaragamannya sebagai suatu hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat
Indonesia, haruslah diterapkan dalam pelaksanaannya. Karena pengingkaran sesutu

Universitas Sumatera Utara

22

yang tumbuh atau yang hidup dalam masyarakat akan dapat berakibat hilangnya
unsur kebangsaan dalamnegara itu sendiri.
Sebagaimana Ida Nurlinda berpendapat bahwa keanekaragaman hukum
sebagai wujud dari pluralisme hukum harus dijadikan sebagai unsur yang akan
memperkuat bentuk sistem hukum nasional itu, dan bukan untuk dipertentangkan,
karna penyangkalan keberadaan hukum adat sebagai sistem hukum tanah selain
sistem hukum tanah nasional, hanya akan menambah jumlah konflik pertanahan yang
melibatkan masyarakat hukum adat.14
Dari permasalahan yang telah disebutkan, tesis ini berusaha mengkaji secara
mendalam berbagai hal yang berkaitan dengan masalah penguasaan atas tanah
khususnya penguasaan tanah timbul pada obyek penelitian di Kecamatan Rengat,
Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau.
Memahami hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat tidaklah mungkin
dapat dilakukan tanpa pemahaman terhadap struktur dari masyarakat itu sendiri,
sebagaimana menurut Muhammad dalam Ida Nurlinda bahwa struktur masyarakat
menentukan sistem hukum yang berlaku pada masyarakat.15 Sehingga dapat
disimpulkan bahwa dalam memahami segala hubungan hukum dan peristiwa hukum
yang terjadi dilingkungan masyarakat, hendaknya terlebih dahulu dilakukan
pemahaman terhadap struktur hukum masyarakat itu sendiri.

14

Ida Nurlinda, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria, Perspektif Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, hlm.122
15
Ibid. hlm.42.

Universitas Sumatera Utara

23

2.

Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi

dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan
kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.16
Menurut Burhan Ashshofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu
fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian,
keadaan, kelompok atau individu tertentu.17
Adapun uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian inidapat
dijelaskansebagai berikut:
1.

Status merupakan keadaan atau kedudukan orang ataupun badan hukum.

2.

Penguasaan adalah kewenangan subjek hukum (orang/badan hukum) atas suatu
objek benda berupa tanah, dan/atau Penguasaan adalah hubungan yang nyata
antara seseorang dengan barang yang ada dalam kekuasaannya.18

3.

Tanah Timbul (aanslibbing) adalah tanah yang timbul atau muncul di tepi arus
sungai yang berbelok. Tanah ini berasal dari endapan lumpur yang makin
meninggi dan mengeras. Timbulnya tanah ini bukan karena kesengajaan dari

16

Samadi Suryabrata,1998, Metodelogi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.31.
Burhan Ashshofa, 1996, Metodelogi Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.19.
18
Supriadi, 2010, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah, Menemukan Keadilan, kemanfaatan,
Dan kepastian Atas Eksistensi Tanah Aset Derah, Prestasi Pustaka,Jakarta, hlm.50.
17

Universitas Sumatera Utara

24

seseorang atau pemilik tanah yang berbatasan, melainkan terjadi secara
alamiah.19
4.

Kecamatan Rengat adalah salah satu Kecamatan yang berada di Kabupaten
Indragiri Hulu, sekaligus sebagaiIbu Kota Kabupaten Indragiri Hulu.

5.

Kabupaten Indragiri Hulu adalah salah satu kabupaten yang berada di provinsi
Riau.

G. Metode Penelitian
1.

Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini adalah yuridis empiris (sosiologis), yaitu suatu penelitian

hukum yang dilakukan dengan cara melihat kepada aspek penerapan hukum itu
sendiri ditengah masyarakat,20ataupun suatu kajian mengenai perilaku masyarakat
yang timbul akibat berinteraksi dengan sistem norma yang ada.21
Penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifatdeskriptif maksudnya
dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang
permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta
yang

diperoleh

akan

dilakukan

analisis

secara

cermat

untuk

menjawab

permasalahan.22
Dari uraian diatas, maka penilitian ini berusaha mengkaji norma-norma
hukum yang hidup dalam kehidupan masyarakat, dan selanjutnya dihubungkan
19

Urip Santoso, 2008, Hukum Agraria Dan Hak-Hak Atas Tanah. Kencana, Jakarta, hlm.94.
Bambang Sungono, 2002,Metode Penelian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.89.
21
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad,Op.cit, hlm.51.
22
Sunaryati Hartono, 1994,Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni,
Bandung, hlm.101.
20

Universitas Sumatera Utara

25

dengan ketentuan hukum formal (hukum tertulis) yang ada kaitannya dengan tanah
timbul.
2.

Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu,

Provinsi Riau, tepatnyaberada di Desa Teluk Erong.Adapun alasan dipilihnya lokasi
ini, antara lain adalah sebagai berikut:
a.

Bahwa sebagian luas dari desa ini merupakan tanah timbul(aanslibbing).

b.

Bahwa disamping tanah timbul yang telah lama keberadaannya, kemunculan
tanah timbul di desa iniseiring waktu terus bertambah luasnya.

c.

Bahwa penguasaan yang dilakukanmasyarakat terhadap tanah timbuldi desa ini
masih berdasarkankebiasaan setempat.

3.

Sumber data
Untuk memperoleh data yang akurat dan objektif, maka dalam penelitian ini

dilakukan dua cara pengumpulan data, yaitu data primer dan data sekunder. Data
tersebut dapat diperoleh melalui:
a.

Data Primer
Data primer ini diperoleh dengan cara mengadakan penelitian lapangan

yaitudengan mengadakan wawancara dengan bertanya secara langsung kepada
Informan, responden, dan para narasumber yang telah ditetapkan sebelumnya.
Metode wawancara yang dilakukan adalah wawancara tidak berstruktur, yaitu
wawancara yang dilakukan dengan tidak dibatasi oleh waktu dan daftar urutan

Universitas Sumatera Utara

26

pertanyaan, tetapi tetap berpegang pada pokok penting permasalahan yang sesuai
dengan tujuan penelitian.
Wawancara tidak terstruktur ini dimaksudkan agar memperoleh jawaban
spontan ataupun gambaran yang lugas tentang masalah yang diteliti. Sifat wawancara
yang dilakukan adalah wawancara terbuka, artinya wawancara ini dilakukan secara
tatap muka yang mana subjeknya mengetahui bahwa mereka sedang diwawancarai
serta mengetahui maksud dan tujuan wawancara tersebutdilakukan.
Informan yang dimaksudkan dalam penelitian ini, antara lain adalah sebagai
berikut:
1.

Aparat Pemerintah Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu.

2.

Aparat Pemerintah Desa Teluk Erong, Keluharan Kampung Dagang.
Selanjutnya responden yang dimaksud dalam penelitian adalah seluruh

populasi atau masyarakat Desa Teluk Erong baik yang menguasai maupun tidak
mengusai tanah timbul, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi diskriminasi atau
pembedaan yang bersifat memihak, sehingga jawaban yang diperoleh dapat diketahui
dan diakui kebenarannya. Adapun jumlah populasi dalam penelitian ini kurang lebih
sebanyak 130 orang, dengan dikepalai oleh 32 Kepala Keluarga.
Tetapi berhubung keterbatasan biaya dan waktu peneliti, sehingga tidak dapat
menemui seluruh populasi (seluruh masyarakat di desa ini). Maka diambil sampel

Universitas Sumatera Utara

27

dengan menggunakan teknik Non random sampling, yaitu suatu cara menentukan
sampel dimana peneliti telah menentukan sendiri sampel dalam penelitiannya. 23
Dengan

menggunakan

teknik

Non

random

samplingini,

maka

penelitidenganbantuan aparat pemerintahan desa setempat, menunjuk warga
masyarakat untuk dijadikan responden penelitian ini, yaitu:
a.

5 orang warga yang memiliki tanah timbul

b.

5 orang warga yang tidak memiliki tanah timbul
Sehingga dengan demikian, jawaban seluruh sampel yang dijadikan

responden, telah dapat mewakili jawaban seluruh populasi yang ada pada objek
penelitian.
Untuk melengkapi data penelitian yang diambil dari wawancara dari informan
dan responden, selanjutnya dilakukan wawancara dengan para narasumber yaitu
pejabat pemerintah yang ada kaitannya dengan masalah yang dimaksud dalam
penelitian ini, antara lain:
1. Aparat PemerintahKantor PertanahanKabupaten Indragiri Hulu.
2. Aparat PemerintahDinas Pekerjaan UmumKabupaten Indragiri Hulu.
b.

Datasekunder
1. Bahan hukum sekunder, yaituliteratur-literatur para ahli hukum, peraturan
perundang-undangan dan peraturan-peraturan lainnya yang berhubungan
dengan materi penelitian.

23

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op. cit. hlm.173.

Universitas Sumatera Utara

28

2. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Seperti jurnal
hukum, jurnal ilmiah, kamus umum dan kamus hukum, surat kabar, internet,
serta makalah-makalah yang berkaitan dengan penelitian.
4.

Alat Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya

serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini
diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara
sebagai berikut:
a.

Wawancara,dilakukan dengan pedoman wawancara kepada informan dan
narasumberyang telah ditetapkan, dengan model wawancara langsung (tatap
muka), yang terlebih dahulu dibuat pedoman wawancara yang sistematis,
tujuannya agar mendapat data yang mendalam dan lebih lengkap dan punya
kebenaran yang konkrit baik secara hukum maupun kenyataan yang ada di
lapangan.

b.

Studi Dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan membaca,
mempelajari, meneliti, mengidenfikasi dan mengalisis data sekunder yang
berkaitan dengan materi penelitian.24Sehinggadata sekunder yang berkaitan
dengan penelitian dapat diperoleh dengan menghimpun data yang berasal dari
kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku atau

24

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, hlm.52.

Universitas Sumatera Utara

29

literatur, karya ilmiah seperti makalah, jurnal maupun artikel-artikel yang
terdapat pada majalah-majalah maupun koran yang berhubungan dengan tanah
timbul.
5.

Analisis Data.
Analisis data adalah merupakan kegiatan dalam penelitian untuk melakukan

kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori yang
telah ditetapkan sebelumnya.25 Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini, akan
dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif yaitu pemaparan kembali dengan
kalimat yang sistematis untuk memberikan gambaran jelas jawaban atas
permasalahan

yang

ada.

Selanjutnya

dilakukan

pengolahan

data

dengan

menggunakan metode deduktif sehingga dapat diperoleh kesimpulan.

25

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op. cit. hlm.183.

Universitas Sumatera Utara