Impression Management Pengemis Di Kota Medan

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang
dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekan sejawatnya. Teori
konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak
menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Menurut teori
ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang kasar, tetapi harus
disaring terlebih dahulu melalui bagaimana cara seseorang melihat sesuatu
(Morissan, 2010:107)
Menurut

Von

Glasersfeld

(Ardianto

dan

Q-Aness,


2007:154),

konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pendirian ini
merupakan kritik langsung pada perspektif positivisme yang meyakini bahwa
pengetahuan itu adalah potret atau tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan
objektif, kita tahu adalah pengetahuan yang apa adanya, terlepas dari peran subjek
sebagai pengamat. Konstruktivisme menolak keyakinan itu, pengetahuan
bukanlah gambaran dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan justru selalu
merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif.
Paradigma konstruktivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu
realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas
sosial bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme ini berada dalam perspektif
interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu interaksi
simbolik, fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma konstruktivisme dalam
ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigma
konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat
digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum
positivis. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog

interpretative, Peter L.Berger bersama Thomas Luckman. Dalam konsep kajian
komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada diantara teori fakta sosial
dan defenisi sosial (Eriyanto 2004:13).

Universitas Sumatera Utara

Paradigma konstruktivis dipengaruhi oleh perspektif interaksi simbolis dan
perspektif strukturan fungsional. Perspektif interaksi simbolis ini mengatakan
bahwa manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan respons terhadap
stimulus dalam dunia kognitifnya. Dalam proses sosial, individu manusia
dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia
sosialnya. Realitas sosial itu memiliki makna manakala realitas sosial tersebut
dikonstruksikan dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain, sehingga
memantapkan realitas itu secara objektif.

Subjek pengamat tidaklah kosong dan tidak mungkin tidak terlibat dalam
tindakan pengamatan. Kemudian keberadaan realitas tidak hadir begitu saja pada
benak subjek pengamat, realitas ada karena pada diri manusia terdapat skema,
kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang berkaitan dengan objek yang di
amati. Para kontruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang

yang sedang mengetahui. Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan
begitu saja dari otak seseorang ke kepala orang lain. Penerima pesan sendirilah
yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap
pengalaman mereka (Ardianto dan Q-aness, 2007: 154)
Kontruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek
dan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi
hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan
dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek
sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan
sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksudmaksud tertentu dalam setiap wacana. Komunikasi dipahami, diatur, dan
dihidupkan oleh pernyataa- pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada
dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri
serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Oleh karena itu analisis dapat
dilakukan demi membongkar maksud dan makna - makna tertentu dari
komunikasi (Ardianto dan Q-aness, 2007: 151)

Universitas Sumatera Utara

Konstruktivisme


berpendapat

bahwa

semesta

secara

epistimologi

merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang
dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material.
Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan
bukan reproduksi kenyataan. Dengan demikian dunia muncul dalam pengalaman
manusia secara terorganisasi dan bermakna.
Keberagaman pola konseptual/kognitif merupakan hasil dari lingkungan
historis, kultural, dan personal yang di gali secara terus- menerus. Jadi tidak ada
pengetahuan yang koheren, sepenuhnya transparan dan independen dari subjek
yang mengamati. Manusia ikut berperan, ia menentukan pilihan perencanaan yang
lengkap, dan menuntaskan tujuannya di dunia. Pilihan-pilihan yang mereka buat

dalam kehidupan sehari-hari lebih sering didasarkan pada pengalaman
sebelumnya, bukan pada prediksi secara ilmiah-teoretis.
Kontruktivisme memang merujukkan pengetahuan pada konstruksi yang
sudah ada di benak subjek. Namun konstruktivisme juga meyakini bahwa
pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi, melainkan proses panjang sejumlah
pengalaman (Ardianto dan Q-aness, 2007: 154). Teori konstruktivisme adalah
pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an
oleh Jesse Delia dan rekan- rekan sejawatnya (Miller, 2001:120). Konstruktivisme
ini lebih berkaitan dengan program penelitian dalam komunikasi antarpribadi.
Sejak 1970-an para akademisi mengembangkan komunikasi antarpribadi secara
sistematik dengan membuat peta terminologi secara teoritis dan hubungannya;
dengan mengolaborasi sejumlah asumsi, serta uji coba teori dalam ruang lingkup
situasi produksi pesan.
Penelitian ini menggunakan paradigma konstrukstivisme karena di dalam kajian
paradigma konstruktivisme memandang tindakan komunikatif sebagai interaksi
yang sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek yang memiliki pilihan
bebas, walalupun lingkungan sosial membatasi apa yang dapat dilakukan.
Tindakan komunikatif dianggap sebagai tindakan sukarela, berdasarkan pilihan
subjek. Dengan kajian konstruktivisme ini, peneliti berusaha memahami dan
mendeskripsikan suatu kegiatan komunikasi yang dilakukan subjek yang akan

diteliti. Selain itu, penelitian ini menggunakan paradigma konstrukstivis karena

Universitas Sumatera Utara

penelitian yang menggunakan metode riset deskriptif kualitatif (wawancara dan
observasi) merupakan bagian dari pendekatan konstruktivis.
2.2 Kerangka Teotitis
Kerangka teoritis adalah suatu kumpulan teori dan model dari literatur
yang menjelaskan hubungan dalam masalah tertentu. Kerangka teoritis secara
logis dikembangkan, digambarkan dan dielaborasi jaringan-jaringan dari asosiasi
antara variabel-variabel yang di identifikasikan melalui survey atau telaah
literature (Silalahi, 2009:92). Berbagai macam literartur yang tersedia dan
berhubungan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian tentu tidak
semuanya akan dijadikan pondasi atau dasar pemikiran peneliti dalam penelitian,
tetapi peneliti akan memilih teori yang benar-benar membahas secara mendalam
terkait permasalahan yang diteliti.
Karl Pooper adalah seorang ahli filosofi di abada ke-20an pertama yang
memberikan sumbangan pengertian teori menyebutkan bahwa “ theories are nets
cats to catchs what we call “the world” “(Miller. 2001:18). Berdasarkan
pengertian tersebut, segala sesuatu semua yang ada di muka bumi berasal dari

adanya sebuah teori sehingga setiap manusia dapat mengungkapkan apa saja yang
dilihat, diraskan, dan sebagainya yang merupakan pengantar bagaimana manusia
dapat mengetahui individu lainnya dan dapat melakukan komunikasi.
Sedangkan Emery dan Cooper mengatakan bahwa teori merupakan suatu
kumpulan konsep, defenisi, proposisi dan dan variabel yang berkaitan satu sama
lain secara sistematis dan telah digenalisir sehingga dapat menjelaskan suatu
fenomena tertentu (Umar.2005:55). Teori pada dasrnya dibentukagar setiap
individu dapat menggunakannya untuk mengungkapkan suatu kebenaran yang
ada, untuk itu teoribersifat universal artinya setiap orang mempelajari dan
memahami pesan yang ingin disampaiakan melalui teori tersebut.
Miles (2007:20) menyebutkan terdapat hal terpenting dalam teori, yaitu
teori harus mencakup :
1. Menjelaskan Fenomena yang ada dalam kehidupan social
2. Adanya hubungan yang terjalin diantara fenomena-fenomena tersebut.
Terkadang ini merupakan bentukan dari kaedah yang semula merupakan
dalil.

Universitas Sumatera Utara

3. Merupakan mata rantai diantara riwayat kehidupan dan fenomena yang

diamati serta hubungannya. Terkadang disebut dengan sesuai dengan
kaidah atau jembatan dan prinsip-prinsip yang kuat.

2.2.1 Tinjauan Tentang Teori Dramaturgi

Interaksi simbolik merupakan pembahasan penting karena tidakbisa
dilepaskan

dari

dramaturgi.Esensi

interaksi

simbolik

adalah

suatu


aktivitasyangmerupakan ciri khas manusia. Maka, jika menyinggung mengenai
masalah dramaturgi tidak lepas dari konteks interaksi simbolik. Interaksi simbolik
dapat dikatakan berupa pertukaran simbol yang diberimakna (Mulyana, 2003: 68).
Hal ini berhubungan dengan permainan peran oleh individu tertentu.Interaksi
simbolik pada awalnya merupakan suatu gerakan pemikiran dalam ilmu sosiologi
yang dibangun oleh George Herbert Mead. Mead yang dikenal sebagai bapak
Teori Interaksionisme Simbolik ini menekankan sebuah pemahaman dunia sosial
berdasarkan pentingnya makna yang diproduksi dan diinterpretasikan melalui
simbol-simbol dalam interaksi sosial (Ardianto dan Anees, 2007:135). Para
pemikir dalam tradisi teori interaksionisme simbolik dibagi menjadi dua aliran,
yaitu aliran Iowa dan Chicago.
Beberapa ilmuwan mempunyai andil sebagai perintis dariinteraksionisme
simbolik, yaitu James Mark Baldwin, William James,Charles Horton Cooley,
John Dewey, William I. Thomas, dan GeorgeHerbert Mead. Mead adalah sebagai
peletak dasar teori tersebut. Padamasa Herbert Blumer, istilah interaksi simbolik
dipopulerkan pada tahun1937. Dalam interaksi simbolik, Blumer melihat individu
sebagai agenyang aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku
yangrumit serta sulit diramalkan dan memberi tekanan pada sebuah mekanisme
yang disebut interaksi diri yang dianggap membentuk dan mengarahkantindakan
individu. Interaksi diri memberikan pemahaman bahwapemberian makna

merupakan hasil pengelolaan dan perencanaan dariaspek kognitif dalam diri
individu.
Dalam deskripsi Mead, proses “pengambilan peran” menduduki tempat
yang penting. Interaksi berarti bahwa para peserta masing-masingmemindahkan

Universitas Sumatera Utara

diri mereka secara mental ke dalam posisi orang lain. Denganberbuat demikian,
mereka mencoba mencari maksud dari aksi yang diberikan oleh pihak lain,
sehingga komunikasi dan interaksi dimungkinkan. Jadi interaksi tidak hanya
berlangsung melalui gerak-gerak saja, melainkan terutama melalui simbol-simbol
yang

perlu

dipahami

dan

dimengerti


maknanya.

Artinya,

geraklah

yangmenentukan. Dalam interaksi simbolik, orang mengartikan dan menafsirkan
gerak-gerak orang lain dan bertindak sesuai dengan arti itu.
Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari
sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus
dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur
perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi
mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi,
objek dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka.
Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls,
tuntutan budaya atau tuntutan peran. Manusia bertindak hanya berdasarkandefinisi
atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka (Mulyana, 2001 :
70)
Menurut Deddy Mulyana dalam Bukunya Metodologi Penelitian Kualitatif 3
dasar dalam pemaknaan interaksi simbolik adalah :
1. Individu merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespons lingkungan,
termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia)
berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan
tersebut bagi mereka.
2. Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat
pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.
Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala
sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan atau peristiwa (bahkan tanpa
kehadiran objek fisik, tindakan atau peristiwa itu), namun juga gagasan
yang abstrak.
3. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu,
sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.
Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan

Universitas Sumatera Utara

proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Manusia
membayangkan atau merencanakan apayang akan mereka lakukan
(Mulyana, 2001 : 71-72).

Interaksi simbolik menurut Blumer, merujuk pada karakterinteraksi khusus
yang berlangsung antarmanusia. Aktor tidak semata –mata beraksi terhadap
tindakan yang lain, tetapi juga menafsirkan dan mendefenisikan setiap tindakan
orang lain. Respon aktor baik secara langsung maupun tidak langsung, selalu
didasarkan atas makna penilaiantersebut. Maka dari itu, interaksi manusia
dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan
makna tindakan oran lain.
Interaksi simbolik mendasarkan gagasannya atas enam hal berikut ini :
1. Manusia membuat keputusan dan bertindak pada situasi yang dihadapinya
sesuai dengan pengertian subjektifnya.
2. Kehidupan sosial merupakan proses interaksi, kehidupan sosial bukanlah
struktur atau bersifat struktural dan karena itu akan terus berubah.
3. Manusia memahami pengalamannya melalui makna dari simbol yang
digunakan di lingkungan terdekatnya (primary group), dan bahasa
merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan sosial.
4. Dunia terdiri atas berbagai objek sosial yang memiliki nama dan makna
yang ditentukan secara sosial.
5. Manusia mendasarkan tindakannya atas interpretasi mereka, dengan
mempertimbangkan dan mendefenisikan objek-objek dan tindakan yang
relevan pada situasi saat itu.
6. Diri seseorang adalah objek signifikan dan sebagaimana objek sosial
lainnya, diri didefenisikan melalui interaksi sosial dengan orang lain.

Esensi interaksi simbolik adalahsuatu aktivitas yang merupakanciri khas,
yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana, 2003:
68).Perspektif
pandangsubjek.

ini

berusaha

Perilaku

memungkinkanmanusia

memahami

manusia
membentuk

harus
dan

perilaku
dilihat

manusia
sebagai

mengatur

dari

sudut

proses

yang

perilaku

mereka

Universitas Sumatera Utara

denganmempertimbangkan

ekspektasi

orang

lain

yang

menjadi

mitra

interaksimereka. Herbert Blumer kemudian menyambung gagasan-gagasan Mead
yang tertulis dalam karangannya yang berjudul “Sociological Implications of the
Thought of George Herbert Mead”dan bukunya Symbolic Interactionism :
Perspectove and Method(1969)

1. Konsep Diri
Menurut Blumer, manusia bukan semata-mata organisme yang
bergerak dibawah pengaruh perangsang-perangsang dari luar maupun
dalam, melainkan “organisme yang sadar akan dirinya” (an organism
having a self). Dikarenakan ia seorang diri, ia mampu memandang diri
sebagai objek pikirannya dan bergaul atau berinteraksi dengan diri
sendiri.
2. Konsep Perbuatan
Dalam pandangan Blumer, karenaperbuatan manusia dibentuk dalam
dan melalui proses interaksi dengan diri sendiri, maka perbuatan itu
berlainan sama sekali dari gerak makhluk-makhluk yang bukan
manusia. Manusia menghadapkan diri pada macam-macam hal seperti
kebutuhan, perasaan, tujuan, perbuatan orang lain, pengharapan dan
tuntutan orang lain, peraturan-peraturan masyarakatnya, situasinya, self
image-nya, ingatannya, dan cita-citanya untuk masa depan.

3. Konsep Objek
Blumer memandang, manusia hidup di tengah objek-objek. Kata
“objek” dimengerti dalam arti luas dan meliputi semua yang menjadi
sasaran perhatian aktif manusia. Kata Blumer, objek dapat bersifat
fisik seperti kursi, atau khayalan, kebendaan, ataupun hal yang bersifat
abstrak seperti konsep kebebasan.
4. Konsep Interaksi Sosial
Interaksi dalam pandangan Blumeradalah bahwa para peserta masingmasing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi orang
lain.

Oleh

penyesuaian

timbal-balik,

proses

interaksi

dalam

keseluruhannya menjadi suatu proses yang melebihi jumlah total

Universitas Sumatera Utara

unsur-unsurnya berupa maksud, tujuan dan sikap masing-masing
peserta.
5. Konsep Joint Action
Pada konsep ini Blumer mengganti istilahsocial actdari Mead dengan
istilah joint action. Artinya aksi kolektif yang lahir dimana perbuatanperbuatan masing-masing peserta dicocokkan dan diserasikan satu
sama lain. Sebagai contoh, Blumer menyebutkan: transaksi dagang,
makan bersama keluarga, upacara perkawinan, dan sebagainya. realitas
sosial dibentuk dari joint actionsdan merupakan objek sosiologi yang
sebenarnya. (Mulyana, 2003:70)

Menurut teori interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnyaadalah
“interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol”. Mereka tertarik pada
cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang
mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh
yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak
yang

terlibat

dalam

interaksisosial.Penganutinteraksionisme

simbolik

berpandangan, perilaku manusia pada dasarnya adalah produk dari interpretasi
mereka atas dunia di sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu
dipelajari atau ditentukan(Mulyana, 2003:72).
Tindakan individu mengenai bagaimana tampilan dirinya yangingin orang
lain ketahui memang akan ditampilkan se-ideal mungkin.Perilakunya dalam
interaksi sosial akan selalu melakukan permainan informasi agar orang lain
mempunyai kesan yang lebih baik. Ketika individu tersebut menginginkan
identitas lain yang ingin ditonjolkan dari identitas yang sebenarnya, di sinilah
terdapat pemeranan karakter seorangindividu dalam memunculkan simbol-simbol
relevan yang diyakini dapat memperkuat identitas pantulan yang ingin ia ciptakan
dari identitas yang sesungguhnya (lebih jauh perkembangan ini melahirkan studi
dramaturgi).

2.2.2 Teori Dramaturgi (Impression Management)

Universitas Sumatera Utara

Dramaturgi adalah suatu pendekatan yang lahir dari pengembanganTeori
Interaksionisme Simbolik. Dramaturgi diartikan sebagai suatu model untuk
mempelajari tingkah laku manusia. Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas
manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan
bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah
tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgi masuk,
bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgi, interaksi sosial
dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha
untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui
“pertunjukan dramanya sendiri”
Orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial dapat dibagi dalam
dua golongan sebagai berikut :
a. Aktor (actor, pelaku) : yaitu orang yang sedang berperilaku
menuruti suatu peran tertentu.
b. Target (sasaran) atau orang lain : yaitu orang yang mempunyai

atau tidak hubungan dengan aktor dan perilakunya.
Hubungan aktor dan target adalah untuk membentuk identitas aktor yang dalam
hal ini dipengaruhi oleh penilaian atau sikap orang-orang (target) yang telah
digeneralisasikan oleh aktor.
Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgi, manusia
akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut.
Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus
mempersiapkan

kelengkapan

pertunjukan.

Kelengkapan

ini

antara

lain

memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non
verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada
lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan.
Erving Goffman (1959), salah seorang sosiolog yang paling berpengaruh
pada abad 20 telah memperkenalkan dramaturgi dalam bukunya yang berjudul
The Presentation of Self in Everyday Life. Goffman membahas :

Cara individu menampilkan dirinya sendiri dan aktivitasnya kepada orang lain,
cara Ia memandu dan mengendalikan kesan yang dibentuk orang lain terhadapnya

Universitas Sumatera Utara

dan segala halyang mungkin atau tidak mungkin Ia lakukan untuk menopang
pertunjukkannya di hadapan orang lain(Mulyana, 2003 : 107).
Konsep dramaturgi Goffman ini lebih bersifat penampilan teateris. Yakni
memusatkan perhatian atas kehidupan sosial sebagai serangkaian pertunjukan
drama yang mirip dengan pertunjukan drama di panggung. Ada aktor dan
penonton. Tugas aktor hanya mempersiapkan dirinya dengan berbagai atribut
pendukung dari peran yang ia mainkan, sedangkan bagaimana makna itu tercipta,
masyarakatlah (penonton) yang memberi interpretasi. Individu tidak lagi bebas
dalam menentukan makna tetapi konteks yang lebih luas menentukan makna
(dalam hal ini adalah penonton dari sang aktor). Karyanya melukiskan bahwa
manusia sebagai manipulator simbol yang hidup di dunia simbol.
Inti dari drmaturgi adalah menghubungkan tindakan dengan maknanya,
dan dalam pandangan dramaturgi tentang kehidupan sosial, makna bukanlah
warisan budaya, sosialisasi, atau tatanan kelembagaan, atau perwujudan dari
potensi psikologis dan biologis, melainkan pencapaian problematik interaksi
manusia dan penuh dengan perubahan, kebaruan, dan kebingungan. Namun yang
lebih penting lagi, makna bersifat behavioral, secara sosial terus berubah, abitrer,
dan merupakan ramuan interaksi manusia (Mulyana, 2003 :107).
Penjelasan

mengenai

makna

tersebut terkait

dengan

pandangan

dramaturgimengenai konsep diri(self) yang memberi makna, yaitu diri yang
tersituasikan secara sosial, berkembang,serta mengatur berbagai interaksi
spesifik. Oleh karena itu, diri

lebih

bersifatsosial

daripada

psikologis

(Mulyana, 2003:109). Sebagaimana dijelaskanoleh Goffman:
“ Diribukanlah

keturunan

dari

pemiliknya,

tapi

dari

keseluruhan

diritersebut bukanlah penyebab, namun produk dari satu kejadian yang
muncul. Oleh karenanya,diriselaku karakteryang melakukan pertunjukan
bukanlah

satu

benda organik

tubuhnya

hanyalah

perangkat

kolaboratif(collaborative

dengan

lokasi Seorang

bagi tempat

terjadinya

individu
suatu

dan
proses

manufacture) sehingga,penyebab pembentukan

dan

pemupukandiritidaklah berada dalam perangkat tersebut”
Suatu simbol penampilan atau perilaku sepenuhnya bersifat serba
mungkin, sementara atau situasional. Dapat dikatakan juga pendekatan dramaturgi

Universitas Sumatera Utara

Goffman khususnya berintikan pandangan bahwa ketika manusia berinteraksi
dengan sesamanya, ia ingin mengelola kesan yang ia harapkan tumbuh pada orang
lain terhadapnya. Maka, fokus pendekatan dramaturgi adalah bukan apa yang
orang lakukan, apa yang ingin mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan,
melainkan bagaimana mereka melakukannya.

 Panggung Pertunjukan
Melalui perspektif dramaturgi, kehidupan ini ibarat teater, perilaku
manusia dalam sebuah interaksi sosial mirip dengan sebuah pertunjukan di atas
panggung dengan menampilkan berbagai peran yang dimainkan oleh sang aktor.
Untuk memulai sebuah pertunjukan, Medlin (2008)melihat bahwa
perlu adanya sebuah
panduan

yang

ide

yang

bersumber

kemudian dapat dielaborasikan

serangkaian tindakan atau satu skrip utuh
menunjukkan
(arahan

dari satu gambaran

bahwa

mengenai

panduan

gerakan

lain

yang

lebih

lanjut

terperinci.Goffman

dapat dipergunakan,

seperti

atau
menjadi
juga
tema

maupun perangkat yang harus ada) serta plot

(peran dan indikasi mengenai langkah-langkah yang harus dituju untuk
mencapai tujuannya) (Medlin, 2008: 35).
Komponen
penciptaan

lokasi

lain

yang

juga

penting

di

tahap

awal

adalah

aksi atau panggung, satu area yang terbatasi oleh

bentukan persepsi tertentu. Pemilihan panggung juga merupakan tahap yang
krusial bagi kesuksesan sebuah pertunjukan dramaturgi, karena lokasi yang
terciptamemberikan indikasi mengenai waktu serta suasana pertunjukan
(Medlin,2008:36).
Menurut Goffman, kehidupan sosial itu dapat dibagi menjadi “wilayah
depan” (front region) dan “wilayah belakang” (back region). Wilayah depan
ibarat panggung sandiwara bagian depan (front stage) yang ditonton khalayak
penonton, sedangkan wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian
belakang

(back

stage)

atau

kamar

rias

tempat

pemain

sandiwarabersantai,mempersiapkan diri atau berlatih untuk memainkan perannya
di panggung depan (Mulyana, 2003: 114)

Universitas Sumatera Utara

Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di
atas panggung (front stage) dan di belakang panggung (back stage) drama
kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat
kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha
untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari
perilaku kita.Sedangkanback stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang
panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat
berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita
bawakan.
Lebih jelas ada dua panggungpertunjukandalam studidramaturgi sebagai
berikut :
1. Panggung Depan (Front Stage)
Dalam front stageGoffman

lebih spesifikmembaginya

panggung (setting)dan perangkatpribadi (personal

menjadiset

front). Setting

adalah atribut fisik atau suasana panggung yang harus ada bagi
aktor

untuk

melakukan pertunjukan.Sedangkan personal

front

merujuk kepada bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor. Misalnya,
berbicara sopan, pengucapan istilah-istilah asing, intonasi, postur tubuh,
ekspresi wajah, peralatan dan pakaian. (Mulyana,2003:114- 115).
2. Panggung Belakang (Back stage)
Panggung belakang merupakan wilayah yang berbatasan dengan panggung
depan, tetapi tersembunyi dari pandangan khalayak. Ini dimaksudkan
untuk melindungi rahasia pertunjukan, dan oleh karena itu khalayak
biasanya tidak diizinkan memasuki panggung belakang, kecuali dalam
keaadaan darurat. Di panggung inilah individu akan tampil “seutuhnya”
dalam arti identitas aslinya(Mulyana, 2003: 115)
Impression management Theory atau teori pengelolaan kesan berasal dari

pendekatan humanistis terhadap cara-cara orang mengelola pengalaman simbolik
mereka. Teori ini turunan dari perspektif sosiologi interaksionisme simbolik dan
tradisi psikologi kognitif sosial. Terminologinya adalah dramaturgi secara alami,

Universitas Sumatera Utara

yang mengungkapkan keterkaitan dramatisme dan teori dramaturgi pada
pertengahan abad ke-21 dalam penelitian Humas.
Presentasi diri dapat diartikan sebagai cara individu dalam menampilkan
dirinya sendiri dan aktifitasnya kepada orang lain, cara ia memandu dan
mengendalikan kesan yang dibentuk orang lain terhadapnya, dan segala hal yang
memungkinkan atau tidak mungkin ia lakukan untuk menopang pertunjukannya di
hadapan orang lain (Mulyana, 2003: 127).
Menurut Goffman, presentasi diri merupakan suatu kegiatan yang
dilakukanoleh individu tertentu untuk memproduksi definisi situasi dan identitas
sosial bagi para aktor dan definisi situasi tersebut mempengaruhi ragam interaksi
yang layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada (Mulyana,
2003: 110)
Dalam presentasi diri iniGoffman mengasumsikan bahwa ketika orangorang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan
diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai “pengelolaan kesan”
(impressionmanagement), yaitu teknik-teknik yang digunakan aktor untuk
memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi-situasi tertentu untuk mencapai
tujuan tertentu (Mulyana, 2003:112).
Impression management sendiri merupakan bagian dari kajian dramaturgi

yang sama-sama dikembangkan oleh Goffman.Impression management atau
pengelolaan kesan merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh seorang individu
dalam menciptakan kesan atau persepsi tertentu atas dirinya dihadapan
khalayaknya. Pengelolaan kesan tersebut baik terhadap symbol verbal maupun
simbol nonverbal yang melekat di dirinya. (Rakhmat 2006:96).
Lebih jauh pengelolaan kesan inimerupakan upaya individu untuk
menumbuhkan kesan tertentu di depan orang lain dengan cara menata perilaku
agar orang lain memaknai identitas dirinya sesuai dengan apa yang ia inginkan.
Dalam proses produksi identitas tersebut, ada suatu pertimbangan-pertimbangan
yang dilakukan mengenai atribut simbol yang hendak digunakan sesuai dan
mampu mendukung identitas yangditampilkan secara menyeluruh.
Seseorang akan berusaha memahami makna untuk mendapatkan kesan
dari berbagai tindakan orang lain, baik yang dipancarkan dari mimikwajah, isyarat

Universitas Sumatera Utara

dan kualitas tindakan. Menurut Goffman, perilaku orang dalam interaksi sosial
selalu melakukan permainan informasi agar orang lain mempunyai kesan yang
lebih baik. Kesan non-verbal inilah yang menurut Goffman harus dicek
keasliannya(Goffman menyatakan bahwa hidup adalah teater, individunya sebagai
aktor dan masyarakat adalah penontonnya. Dalam pelaksanaannya, selain
panggung di mana ia melakukan pementasan peran, ia juga memerlukan ruang
ganti yang berfungsi untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Ketika individu
dihadapkan pada panggung, ia akan menggunakan simbol-simbol yang relevan
untuk memperkuat identitas karakternya, namun ketika individu tersebut telah
habis masa pementasannya, maka di belakang panggung akan terlihattampilan
seutuhnya dari individu tersebut.
Dalam proses presentasi diri biasanya individu akan melakukan
pengelolaan kesan (impression management). Pada saat ini, individu melakukan
suatu proses dimana dia akan menseleksi dan mengontrol perilaku mereka sesuai
dengan situasi dimana perilaku itu dihadirkan serta memproyeksikan pada orang
lain suatu image yang diinginkannya. Manusia melakukan hal tersebut, karena
ingin orang lain menyukainya, ingin mempengaruhi mereka, ingin memperbaiki
posisi, memelihara stasus dan sebagainya.
Menurut Goffman bahwa salah satu aturan dasar interaksi sosial
adalahkomitmen yang saling timbal-balik diantara individu-individu yang terlibat
mengenaiperan (role) yang harus dimainkannya. Satu pertanyaan yang cukup
mendasarsehubungan dengan hal tersebut, adalah bagaimana individu dapat
menciptakansuatu kesan yang baik Goffman mengajukan syarat-syarat yang perlu
dipenuhi bila individumengelola kesan secara baik, yaitu :

 Penampilan muka (proper front)

Yakni perilaku tertentu yang diekspresikan secara khusus agar orang
lainmengetahui dengan jelas peran si pelaku (aktor). Front ini terdiri dan
peralatanlengkap yang kita gunakan untuk menampilkan diri.

 Keterlibatan dalam perannya.

Universitas Sumatera Utara

Hal yang mutlak adalah aktor sepenuhnya terlibat dalam perannya.
Denganketerlibatannya secara penuh akan menolong dirinya untuk
sungguh-sungguhmeyakini perannya dan bisa menghayati peran yang


dilakukannya secara total.
Mewujudkan idealiasasi harapan orang lain tentang perannya.
Misalnya seorang dokter harus mengetahui tipe perilaku apa yang
diharapkan dan orang-orang pada umumnya mengenai perannya, dan
memanfaatkanpengetahuan

ini

untuk

diperhitungkan

dalam

penampilannya. Kadang-kadang untuk memenuhi harapan orang pada


umumnya, dia harus melakukan sesuatuyang sebenarnya tidak perlu.
Mystification

Goffman mencatat bahwa bagi kebanyakan peran performance yangbaik
menuntut pemeliharaan jarak sosial tertentu diantara aktor dan orang
lain.Misalnya seorang pengemis harus memelihara jarak yang sesuai
dengan orang dermawan yang memberikan uang,dia tak boleh terlalu
kenal /akrab, supaya dia tetap menyadari perannya dantidak hilang dalam
proses tersebut.

Dengan demikian presentasi diri atau pengelolaan kesan dibatasi dalam
pengertian menghadirkan diri sendiri dalam cara-cara yang sudah diperhitungkan
untuk memperoleh penerimaan atau persetujuan orang lain.
Ada dua komponen dalam pengelolaan kesan (impression management),
yakni :
1. Motivasi

pengelolaan

kesan

(impression-motivation)

:

Motivasi

pengelolaan kesan menggambarkan bagaimana motivasi yang dimiliki
untuk mengendalikan orang lain dalam melihat diri atau untuk
menciptakan kesan tertentu dalam benak pikiran orang lain.
2. Konstruksi pengelolaan kesan (impression-con¬ struction) : adalah
menyangkut pemilihan image tertentu yang ingin diciptakan dan
mengubah perilaku dalam cara-cara tertentu unruk mencapai suatu tujuan.
Tiga motivasi primer pengelolaan kesan, yaitu keinginan untuk
mendapatkan imbalan materi atau sosial, untuk mempertahankan atau

Universitas Sumatera Utara

meningkatkan harga diri, dan untuk mempermudah pengembangan
identitas diri (menciptakan dan mengukuhkan identitas diri.
Motivasi untuk mengelola kesan biasanya sering terjadi dalam situasi yang
melibatkan tujuan-tujuan penting (seperti persahabatan, persetujuan, imbalan
materi) dimana individu yang melakukannya merasa kurang puas dengan image
yang diproyeksikan saat ini (self-discrepancy). Motivasi mengelola kesan juga
lebih kuat ketika seseorang merasa tergantung pada seseorang yang berkuasa yang
mengendalikan sumber-sumber penting bagi dirinya (Misal, atasannya) atau
setelah dia mengalami kegagalan atau hampir mengalami kejadian yang dapat
meruntuhkan harga dirinya. (Rakhmat, 2006:95)

Strategi Pengelolaan Kesan
Setiap individu memiliki beberapa tujuan dalam melakuakn penegelolaan
kesan. Seseorang mungkin ingin disukai, terlihat kompeten, berkuasa, budiman,
atau menimbulkan rasa iba dan simpati. Masing-masing tujuan melibatkan strategi
pengelolaan kesan yang bervariasi. Tujuan itu biasanya tidak hanya satu,
seseorang mungkin berusaha mencapai beberapa tujuan dalam waktu yang sama.
Ada beberapa startegi pengelolaan kesan, yaitu :
a. Mengambil Muka (Ingratiation)
Tujuan dari strategi ini adalah supaya dipersepsi sebagai orang yang
menyenangkan atau menarik. Taktik yang umum meliputi memuji orang
lain, menjadi pendengar yang baik, ramah, melakukan hal-hal yang
memberi keuntungan pada orang lain dan menyesuaikan diri dala sikap
dan perilakunya.
b. Mengancam (Intimidation)
Strategi ini digunkan untuk menimbulkan rasa takut dan cara memperoleh
keuasaan dengan meyakinkan pada seseorang bahwa ia adalah orang yang
berbahaya.
c. Promosi Diri (Self-promotion)
Strategi ini aka menggambarkan kekuatan-kekuatan dan berusaha untuk
memberi kesan dengan prestasi mereka.
d. Permohonan (Supplification)

Universitas Sumatera Utara

Strategi ini dengan cara memperlihatkan kelemahan atau ketergantungan
untuk mendapatkan pertolongan atau empati.
Proses Pembentukan Kesan


Stereotyping
Seorang guru ketika menghadapi murid-muridnya yang bermacam-macam,
ia akan mengelompokkan mereka pada konsep-konsep tertentu; cerdas,
bodoh, cantik, jelek, rajin, atau malas. Penggunaan konsep ini
menyederhanakan bergitu banyak stimuli yang diterimanya. Tetapi, begitu
anak-anak ini diberi kategori cerdas, persepsi guru terhadapnya akan
konsisten. Semua sifat anak cerdas akan dikenakan kepada mereka. Inilah
yang disebut stereotyping.
Stereotyping ini juga menjalaskan terjadinya primacy effect dan halo effect

yang sudah kita jelaskan dimuka. Primacy effect secara sederhana
menunjukkan bahwa kesan pertama amat menentukan; karena kesan itulah
yang menentukan kategori. Begitu pula, halo effect. Persona stimuli yang
sudah kita senangi telah mempunyai kategori tertentu yang positif, dan


pada kategori itu sudah disimpan semua sifat yang baik.
Implicit Personality Theory

Memberikan kategori berarti membuat konsep. Konsep “makanan”
mengelompokkan donat, pisang, nasi, dan biscuit dalam kategori yang
sama. Konsep “bersahabat” meliputi konsep-konsep raman, suka
menolong, toleran, tidak mencemooh dan sebagainya. Disini mempunyai
asumsi bahwa orang ramah pasti suka menolong, toleran, dan tidak akan
mencemooh. Setiap orang mempunyai konsepsi tersendiri tentang sifatsifat apa yang berkaitan dengan sifat-sifat apa.
Konsepsi ini merupakan teori yang dipergunakan orang ketika membuat
kesan tentang orang lain. Teori ini tidak pernah dinyatakan, kerena itu
disebut implicit personality theory. Dalam kehidupan sehari-hari, semua
psikolog, amatir, lengkap dengan berbagi teori kepribadian. Suatu hari
anda menemukan pembantu anda sedang bersembahyang, anda menduga
ia pasti jujur, saleh, bermoral tinggi. Teori anda belum tentu benar, sebab
ada pengunjung masjid atau gereja yang tidak saleh dan tidak bermoral.

Universitas Sumatera Utara



Atribusi
Atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud, dan karakteristik
orang lain dengan melihat pada perilakunya yang tampak (Baron dan
Byrne, 2008:56). Atribusi boleh juga ditujukan pada diri sendiri (self
attribution), tetapi di sini kita hanya membicarakan atribusi pada orang

lain. Atribusi merupakan masalah yang cukup poupuler pada dasawarsa
terakhir di kalangan psikologi sosial, dan agak menggeser fokus
pembentukan dan perubahan sikap. Secara garis besar ada dua macam
atribusi: atribusi kausalitas dan atribusi kejujuran. (Rakhmat 2006:100)

2.2.2

Konsep Diri
Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya,

yang dibentuk melalui pengalaman – pengalaman yangdiperoleh dari interaksi
dengan lingkungan. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan, melainkan
berkembang dari pengalaman yang terus-menerus dan terdiferensiasi. Dasar dari
konsep diri individu ditanamkan pada saat-saat dini kehidupan anak dan menjadi
dasar yang mempengaruhi tingkah lakunya di kemudian hari.
Dengan mengamati diri kita, sampailah kita pada gambaran dan penilaian
diri kita. Ini disebut konsep diri (Rakhmat,2001:99). Konsep diri merupakan
proses yang terus berlanjut di sepanjang kehidupan manusia. Menurut Symonds
dan Fitts,menyatakan bahwa persepsi tentang diri tidak langsung muncul pada saat
kelahiran tetapi mulai berkembang secara bertahap dengan munculnya
kemampuan perseptif.
Menurut Charles Horton Cooley (Rakhmat,2001:100), kita melakukannya
dengan membayangkan diri kita sebagai orang lain. Cooley menyebut gejala ini
looking-glass self (diri cermin); seakan-akan kita menaruh cermin di depan kita.

Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain. Kedua, kita
membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita. Ketiga, kita
mengalami perasaan bangga atau kecewa.
Terdapat beberapa defenisi konsep diri menurut beberapa para ahli,
diantaranya adalah :

Universitas Sumatera Utara

1) Menurut Arndt dalam Theories of Personality, konsep diri adalah
cerminan dari tuntunan significant person terhadap diri individu.
2) Menurut William H. Fitts mengemukakan bahwa konsep diri merupakan
aspek penting dalam diri seseorang karena konsep diri seseorang
merupakan kerangka acuan dalam berinteraksi dengan lingkungan. Fitts
mengatakan bahwa ketika individu mempersepsikan dirinya, bereaksi
terhadap dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk
abstraksi tentang dirinya, berarti ia menunjukkan suatu kesadaran diri dan
kemampuan terhadap dunia di luar dirinya. Fitts juga mengatakan bahwa
konsep diri berpengaruh kuat terhadap tingkah laku seseorang.
3) Menurut William D. Brooks (Rakhmat,2001:101) mendefenisikan konsep
diri sebagai “those physical, social, and psychological perceptions of
ourselves that we have derived from experiences and our interactions with
others”. Jadi, konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri

kita.
4) Menurut Anita Taylor (Rakhmat 2001:102) mendefenisikan konsep diri

sebagai “all you think and feel about you, the entire complex of beliefs and
attitudes you hold about yourself”
5) Menurut Goss dan O’Hair (Sobur,2009:507) mendefenisikan konsep diri

sebagai acuan bagaimana cara Anda menilai diri Anda sendiri, seberapa
besar Anda berpikir bahwa diri Anda berharga sebagai seseorang.
6) Menurut Rogers (Sobur,2009:507), mendefenisikan konsep diri sebagai
bagaian sadar dari ruang fenomenal yang disadari dan disimbolisasikan,
yaitu “aku” merupakan pusat refrensi setiap pengalaman.Konsep diri
meliputi apa yang Anda pikirkan dan apa yang Anda rasakan tentang diri
Anda. Dengan demikian ada dua komponen konsep diri : Komponen
kognitif dan komponen afektif. Komponen kognitif disebut citra diri (self
image)dan

komponen

afektif

disebut

harga

diri

(self

esteem)(Rakhmat,2001:102).

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Konsep Diri

Universitas Sumatera Utara

Faktor–

faktor

yang

mempengaruhi

pembentukkan

konsep

diri

(Devito,1997 :55-57), yaitu :
1) Others Images

Menurut Charles Horton Cooley, others images merupakan orang yang
mengatakan siapa Anda,melihat citra diri Anda dengan mengungkapkannya
melalui perilaku dan aksi. Konsep diri seseorang dibentuk karena adanya orangorang yang paling penting dalam hidup seseorang seperti orang tua. Menurut D.H.
Demo menekankan pada maksud bahwa konsep diri dibentuk, dipelihara,
diperkuat, dan/atau diubah oleh komunikasi para anggota keluarga. Mereka itulah
yang disebut sebagai significant others.Significant others yang dimaksud
merupakan orangtua. Orangtua adalah faktor utama yang membentuk dan
mengembangkan konsep diri seseorang. Dalam perkembangan, significant
othersmeliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan
kita. Mereka mengarahkan tindakan kita, membentuk pikiran kita dan menyentuh
kita secara emosional.
2) Orang Lain
Menurut Gabriel Marcel menulis tentang peranan orang lain dalam memahami
diri kita,”The fact is that we can understand ourselves by starting from the other,
or from others, and only by starting from them.”Kita mengenaldiri kita de ngan

mengenal orang lain terlebih dahulu. Harry Stack Sullivan menjelaskan bahwa
jika kita diterimaorang lain, dihormati , dan disenangi karena keadaan diri kita,
kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita. Sebaliknya,
bila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita, kita
akan cenderung tidak akan menyenangi diri kita.Ketika kita tumbuh menjadi
dewasa, kita mencoba menghimpun penilaian semua orang yang pernah
berhubungan dengan kita.
Richard Dewey dan W.J. Humber menamai orang lain sebagai affective
others, dimana orang lain yang mengenal kita mempunyai ikatan emosional. Dari

merekalah, secara perlahan-lahan membentuk konsep diri kita melalui senyuman,
pujian, penghargaan, pelukan yang menyebabkan kita menilai diri kita secara
positif. Ejekan, cemoohan,dan hardikan, membuat kita memandang diri kita

Universitas Sumatera Utara

secara negatif. Pandangan diri kita tentang keseluruhan pandangan orang lain
terhadap kita disebut generalized others. Konsep ini berasal dari George Herbert
Mead. Memandang diri kita seperti orang lain memandangnya, berarti mencoba
menempatkan diri kita sebagai orang lain.
3) Budaya
Melalui orang tua, pendidikan, latar belakang budaya, maka akan ditanamkan
keyakinan, nilai, agama, ras, sifat nasionaluntuk membentuk konsep diri
seseorang. Contohnya, ketika seseorang mempunyai latar belakang budaya yang
baik dan memiliki etika maka orang tersebut memiliki konsep diri positif.
4) Mengevaluasi pikiran dan perilaku diri sendiri.
Konsep diri terbentuk karena adanya interpretasi dan evaluasi dari perilaku
diri sendiri berdasarkan apa yang dilakukan, bagaimana perilaku orang tersebut.

Proses Terbentuknya Konsep Diri
Konsep diri terbentuk dalam waktu yang relatif lama, dan pembentukan ini
tidak bisa diartikan bahwa reaksi yang tidak biasa dari seseorang konsep diri.
Namun reaksi ini muncul kerena orang lain yang memiliki arti (sifnificant other)
yang mungkin berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri.
Konsep

diri

pada

dasarnya

tersusun

atas

berbagai

tahapan

(Sobur,2009:510-511), yaitu :
1. Konsep Diri Primer
Konsep ini terbentuk atas dasar pengalamannya terhadap lingkungan, yaitu
lingku ngan rumahnya sendiri. Pengalaman yang berbeda diterima melalui
anggota rumah, dari orangtua, nenek, paman atau saudara kandung.
Konsep tentang bagaimana dirinya banyak bermula dari perbandingan
antara dirinya dan saudara-saudara lainnya. Adapun konsep bagaimana perannya,
aspirasi-aspirasinya ataupun tanggung jawabnya dalam kehidupan, ditentukan atas
dasar didikan yang datang dari orang tuanya.
2. Konsep Diri Sekunder
Konsep ini banyak ditentukan oleh konsep diri primernya. Misalnya
apabila konsep diri primer seseorang adalah pendiam, tidak nakal, tidak suka

Universitas Sumatera Utara

keributan, maka ia akan memilih teman bermain yang sesuai dengankonsep diri
yang sudah dimiliknya dan teman-teman baru yang nantinya menunjang
terbentuknya konsep diri sekunder.
Menurut Clara R. Pudjijogyanti (Sobur,2009:511-512), konsep diri
terbentuk atas dua komponen yaitu komponen kognitif merupakan pengetahuan
individu tentang keadaan dirinya. Misalnya, saya bodoh. Komponen kognitif
merupakan penjelasan dari “siapa saya” yang akan memberi gambaran tentang
diri saya. Komponen kognitif merupakan data yang data yang bersifat objektif.
Komponen afektif merupakan penilaian individu terhadap diri. Penilaian
tersebut akan membentuk penerimaan terhadap diri serta penghargaan diri
individu. Komponen afektif merupakan data yang bersifat subjektif.Konsep diri
terbentuk karena adanya interaksi individu dengan orang-orang di sekitarnya. Apa
yang diperssepsi individu lain mengani diri individu, tidak terlepas dari struktur,
peran, dan status sosial yang disandang seorang individu (Sobur,2009:512).

Jenis-Jenis Konsep Diri
Jenis-jenis kosep diri sebagai berikut ( Rakhmat, 2003: 105-106) :
1. Konsep Diri Negatif
Menurut William D. Brooks dan Philip Emmert ada beberapa tanda
yang
memiliki ko nsep diri negatif, yaitu :
a. Peka terhadap kritikan
Orang ini tidak tahan dikritik yang diterimanya, dan mudah marah.
b. Responsif terhadap pujian
Walaupun ia mungkin berpura-pura menghindari pujian, ia tidak dapat
menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian.
c. Sikap Hiperkritis
Mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau
pengakuan pada kelebihan orang lain.
d. Pesimis
Menganggap tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan
dirinya.

Universitas Sumatera Utara

Orang yang memiliki konsep diri negatif cenderung menghindari dialog
yang terbuka , dan bersikeras mempertahankan pendapatnya dengan berbagai
justifikasi atau logika yang keliru.
2. Konsep Diri Positif


Konsep diri po sitif ditandai dengan :



Ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah;



Ia menerima pujian tanpa rasa malu;



keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat;



Ia merasa setara dengan orang lain;

Ia menyadari, bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan,

Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sangguo mengungkapkan aspekaspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya

Salah satu faktor penentu atau gagalnya seseorang dalam menjalani kehidupan
adalah konsep diri. Konsep diri yang ada pada seorang individu adalah sebagai
bentuk keyakinan dirinya bahwa dia mampu dan bisa untuk menyelesaikan
berbagai persoalan yang dihadapinya. Konsep diri seseorang dinyatakan melalui
sikap dirinya dalam suatu lingkungan. Manusia sebagai organism yang memiliki
dorongan untuk berkembang yang pada akhirnya menyebabkan ia sadar akan
keberadaan dirinya. Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian
membantu pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan. Konsep diri
pada dasarnya merupakan pandangan kita mengenai siapa kita dan itu hanya bisa
kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita
(Rakhmat,2003: 99). Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi, sosial dan
fisis. Sedangkan Menurut George Herbet Mead dalam buku Introducing
Communication Theory Analysis an Aplication Third Edition konsep diri pada

seseorang muncul bukan dari pikiran seseorang tersebut lebih dahulu, melainkan
dari pemikiran atau pandangan dari orang lain terhadap diri kita dan baru diikuti
pemikiran yang muncul pada diri kita dari pemikiran orang lain. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa konsep diri adalah cara pandang secara menyeluruh tentang

Universitas Sumatera Utara

diri, yang meliputi kemampuan yang dimiliki, perasaan yang dialami, kondisi
fisik dirinya maupun lingkungan terdekatnya.

Konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan tingkah laku
seseorang. Bagaimana seseorang memandang dirinya akantercermin dari
keseluruhan perilakunya. Artinya, perilaku individu akan selaras dengan cara
individu memandang dirinya sendiri. Apabila individu memandang dirinya
sebagai orang yang tidak mempunyai cukup kemampuan untuk melakukan suatu
tugas, maka seluruh perilakunya akan menujukkan ketidakmampuannya tersebut.
Menurut Felker dalam, terdapat tiga peranan penting konsep diri dalam
menentukan perilaku seseorang, yaitu :
1) Konsep diri memainkan peranan dalam mempertahankan keselarasan batin
seseorang.

Individu

senantiasa

berusaha

untuk

mempertahankan

keselarasan batinnya. Bila individu memiliki ide, perasaan, persepsi atau
pikiran yang tidak seimbang atau saling bertentangan, maka akan terjadi
situasi psikologis yang tidak menyenangkan. Untuk menghilangkan
ketidakselarasan tersebut, individu akan mengubah perilaku atau memililih
suatu system untuk mempertahankan kesesuaian antara individu dengan
lingkungannya. Cara menjaga kesesuaian tersebut dapat dilakukan dengan
menolak gambaran yang diberikan oleh lingkungannya mengenai dirinya
atau individu berusaha mengubah dirinya seperti apa yang diungkapkan
lingkungan sebagai cara untuk menjelaskan kesesuaian dirinya dengan
lingkungannya.
2) Konsep diri menentukan bagaimana individu memberikan penafsiran atas
pengalamannya. Seluruh sikap dan pandangan individu terhadap dirinya
sangat