Analisis Sosiologis Tokoh Utama Aomame Dalam Novel “ 1q84 “ Karya Haruki Murakami

BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL, SOSIOLOGIS SASTRA,
DAN RIWAYAT HIDUP HARUKI MURAKAMI

2.1 Defenisi Novel
Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:9), menyatakan bahwa novel berasal
dari bahasa Italia yaitu Novella yang secara harfiah yang berarti sebuah barang
baru yang kecil yang kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk
prosa.
Novel merupakan jenis dan genre prosa dalam karya satra. Prosa dalam
pengertian kesusastraan juga disebut fiksi. Karya fiksi menyarankan pada suatu
karya sastra yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu
yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari
kebenarannyapada dunia nyata (Nurgiyantoro, 1995:2). Dan menurut Takeo
dalam Pujiono (2002:3), novel merupakan sesuatu yang menggambarkan
kehidupan sehari-hari didalam masyarakat meskipun kejadiannya tidak nyata.
Diantara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa dan drama, genre
prosalah, khususnya novel yang dianggap paling dominan dalam menampilkan
unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat ditemukan diantaranya:
1.


Novel menampilkan unsur-unsur cerita paling lengkap, memiliki media
yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang
paling luas.

2.

Bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang
paling umum digunakan dalam masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

Karya-karya modern klasik dalam kesusastraan, kebanyakan berisi karyakarya novel. Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling populer di dunia.
Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas
pada masyarakat. Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan
para pembacanya. Banyak sastrawan yang memberikan batasan atau defenisi
novel. Batasan atau defenisi yang mereka berikan berbeda-beda karena sudut
pandang yang mereka pergunakan juga berbeda-beda.
Beberapa pandangan yang berupaya menjabarkan defenisi novel antara
lain sebagai berikut:
1.


Fielding dalam Atmaja (1986:44) mengatakan bahwa novel merupakan
modifikasi dunia modern paling logis, dan merupakan kelanjutan dari
dunia epik. Pernyataan ini tidak saja terbukti kebenarannya namun relevan
untuk situasi kini, suatu masa dimana novelis tidak lagi menampilkan segisegi sosial dan psikologis didalam permasalahan masyarakat biasa.

2.

Wellek dan Warren (1995:282) novel adalah gambaran dari kehidupan dan
perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis yang bersifat
realistis dan mengacu pada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang
lebih mendalam.

3.

Jacob Sumardjo (1999:11-12) novel adalah genre sastrayang berupa cerita,
mudah dibaca dan dicernakan, juga kebanyakan mengandung unsur
suspense dalam alur ceritanya yang mudah menimbulkan sikap penasaran
bagi pembacanya.
Namun ada juga yang berpendapat bahwa novel merupakan cermin


masyarakat. Pendapat ini ada benarnya namun adapula tidak benarnya. Yang

Universitas Sumatera Utara

membenarkan pendapat ini berasumsi bahwa novel atau cerita rekaan itu
memberikan bayangan tentang apa yang terjadi dalam masyarakat pada suatu
zaman walaupun tokoh-tokohnya bukan tokoh yang sesungguhnya. Misalnya Siti
Nurbaya karya Mara Rusli. Dalam kenyataan peristiwa itu memang ada, tetapi
peristiwa dalam cerita tidak sama persis dengan yang ada dalam kenyataan karena
pengarang telah memperkaya cerita ini dengan imajinasinya. Jika sama benar
yang diceritakan pengarang cerita dengan peristiwa yang disampaikannya, maka
tulisan itu bukan cerita lagi melainkan laporan peristiwa. Sebaliknya, orang yang
berpendapat bahwa novel atau cerita rekaan bukan cermin, masyarakat berasumsi
bahwa cerita itu semata-mata berisi imajinasi pengarang. Jadi, apa yang
diceritakan pengarang sama sekali tidak ada kaitannya dengan dunia nyata
(Rustapa, 1990:7).
Novel dapat memberi dampak positif bagi pembacanya karena novel itu
memberikan manfaat pendidikan atau hiburan. Akan tetapi, tidak sedikit novel
yang memberikan dampak negatif, misalnya novel yang didalamnya terdapat

adegan-adegan yang kasar atau adegan yang dapat menimbulkan dorongan
seksual kepada pembaca.
2.1.1 Unsur Intrinsik Novel
Dalam sebuah novel terkandung unsur-unsur struktur yang membentuk
novel tersebut. Unsur-unsur struktur novel tersebut adalah tema, penokohan, alur,
latar, gaya bahasa, dan sudut pandang.

Universitas Sumatera Utara

A. Tema
Tema

adalah

ide,

gagasan,

pandangan


hidup

pengarang

yang

melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan refleksi
kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra sangat
beragam. Tema bisa berupa persoalan, moral, etika, agama, sosial, budaya,
teknologi, tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan. Namun, tema bisa
berupa

pandangan

pengarang,

ide,

atau


keinginan

pengarang

yang

mensiasatipersoalan yang muncul.
Tema ibarat dasar pada sebuah bangunan. Tema merupaka dasar segala
penggambaran tokoh, penyusunan alur, dan penentuan latar. Tema tidak dituliskan
secara eksplisit. Kita dapat menentukan tema novel setelah kita membaca
keseluruhan cerita. Jadi tema tidak dapat dilihat secara konkret, tetapi harus
dipikirkan dan dirasakan, baru dapat disimpulkan (Rustapa, 1990:11). Tema
merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalan cerita novel.
Aminuddin (2000: 92) menjelaskan bahwa ada langkah-langkah yang harus
pembaca perhatikan untuk memahami tema dari sebuah karya fiksi, yakni :
1.

Memahami isi setting dalam prosa fiksi yang dibaca.

2.


Memahami penokohan dan perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang
dibaca.

3.

Memahami satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam
prosa fiksi yang dibaca.

4.

Memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca.

Universitas Sumatera Utara

5.

Menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan lainnya yang
disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita.


6.

Menentukan sikap penyair terhadap poko-pokok pikiran yang ditampilkan.

7.

Mengidentifikasi tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak
dari satuan pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok pikiran yang
ditampilkan.

8.

Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam
satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang
dipaparkan pengarangnya.

B. Penokohan
Yang dimaksud penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkan
tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana perilaku tokoh-tokoh tersebut. Ini
berarti ada dua hal penting, yang pertama berhubungan dengan teknik

penyampaian, sedangkan yang kedua berhubungan dengan watak atau kepribadian
tokoh yang ditampilkan. Kedua hal tersebut memiliki hubungan yang sangat erat.
Penampilan dan penggambaran sang tokoh harus mendukung watak tokoh
tersebut secara wajar. Apabila penggambaran tokoh kurang selaras dengan watak
yang dimilikinya atau bahkan sama sekali tidak mendukung watak tokoh yang
digambarkan, jelas akan mengurangi bobot ceritanya (Suroto, 1989:92-93).
Peran setiap tokoh dalam sebuah cerita tidak sama. Setiap tokoh memiliki
peranannya masing-masing. Tokoh yang memiliki peranan penting dalam sebuah
cerita biasa disebut tokoh utama. Sedangkan tokoh yang peranannya tidak terlalu
penting biasa disebut tokoh pembantu atau tokoh tambahan.

Universitas Sumatera Utara

Dalam upaya memahami watak pelaku, pembaca dapat menelusuri lewat
(1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, (2) gambaran yang
diberikan pengarang lewat gambaran kehidupannya maupun caranya berpakaian,
(3) menunjukkan bagaimana prilakunya, (4) melihat bagaimana tokoh itu
menceritakan dirinya sendiri, (5) memahami bagaimana jalan pikirannya, (6)
melihat bagaimana tokoh lain membicarakannya, (7) melihat bagaimana tokoh
lain berbincang dengannya, (8) melihat bagaimana tokoh-tokoh lain bereaksi

terhadapnya, dan (9) melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang
lainnya (Aminuddin, 2000: 81).
C. Alur/Plot
Salah satu elemen terpenting dalam membentuk karya fiksi adalah plot.
Dalam analisis cerita plot sering juga disebut dengan alur. Alur atau plot pada
karya sastra pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapantahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku
dalam suatu cerita. Tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita bisa terbentuk
dalam rangkaian peristiwa yang berbagai macam (Aminuddin, 2000:83).
Secara tradisional plot cerita prosa disusun berdasarkan berdasarkan urutan
sebagai berikut :
1.

Perkenalan

2.

Pertikaian

3.


Perumitan

4.

Klimaks

5.

Peleraian

Universitas Sumatera Utara

Pada dasarnya, alur dapat alur dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
1. Alur maju
Alur maju adalah alur yang peristiwanya disusun secara kronologis. Dimulai
dari perkenalan, kemudian peristiwa itu bergerak, keadaan mulai memuncak,
diikuti dengan klimaks dan diakhiri dengan penyelesaian.
2. Alur mundur
Alur mundur adalah alur yang urutan peristiwanya dimulai dari peristiwa
terakhir kemudian kembali pada peristiwa pertama, peristiwa kedua, dan
seterusnya sampai kembali lagi keperistiwa terakhir tadi. Dalam susunan alur
yang demikian biasanya pengarang mulai dengan menampilkan peristiwa
sekarang kemudian pengarang menceritakan masa lampau tokoh utama yang
mengakibatkan sang tokoh terlibat dalam peristiwa sekarang terjadi.
3. Alur campuran
Alur campuran adalah alur cerita yang memiliki campuran alur maju dan
mundur. Biasanya cerita ini dimulai ditengah-tengah. Sementara cerita
berkembang maju, beberapa kali ditampilkan beberapa potongan flashback
yang menjelaskan latar belakang cerita.
(http://informasi-doni-blogspot.com/2012/09/pengertian-alur-majumundurdan-campuran.html).
Berdasarkan pengertian alur yang telah diuraiakan diatas, alur yang
terdapat dalam novel “1Q84” adalah alur campuran. Hal ini tergambar jelas dari
urutan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel terbut, yaitu dimulai dari awal
kisah tokoh Aomame diceritakan saat usia dewasa ketika kerja di petihan bela diri

Universitas Sumatera Utara

kemudian kembali pada masa saat Aomame masih kecil dan berakhir saat
Aomame menemukan Tengo lelaki yang dicintainya sejak kecil hingga dewasa.
D. Latar
Latar atau setting adalah penggambaran situasi tempat dan waktu serta
suasana terjadinya peristiwa. Sudah tentu latar yang dikemukakan, yang
berhubungan dengan sang tokoh atau beberapa tokoh (Suroto, 1989:94). Menurut
Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:216), mengungkapkan bahwa setting dan latar
disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat,
hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan.
Latar berfungsi sebagai pendukung alur atau perwatakan. Gambaran
situasi yang tepat akan membantu memperjelas peristiwa yang sedang
dikemukakan. Untuk dapat melukiskan latar yang tepat pengarang harus
mempunyai pengetahuan yang memadai tentang keadaan atau waktu yang akan
digambarkannya. Hal itu dapat diperoleh melalui pengamatan langsung, buku,
atau informasi dari orang lain.
E. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah unsur lain yang terpenting dalam karya sastra. Di
dalam sebuah cerita, seorang pengarang tentu berharap agar buah pikirannya dapat
dipahami dan dinikmati pembacanya. Oleh karena itu, melalui imajinasinya
pengarang berupaya memilih kata-kata yang ditata dalam rangkaian kalimat yang
sederhana. Ia memadukan kata demi kata sehingga tercipta bahasa yang indah dan
dapat menarik minat pembaca. Dengan kata lain, seorang pengarang

Universitas Sumatera Utara

menggunakan gaya bahasa tersendiri didalam menyusun karyanya (Ruspata,
1990:49).
F. Sudut Pandang
Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:248), sudut pandang
merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana
untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk
cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sudut pandang adalah tempat
sastrawan membaca ceritanya. Dari sudut pandang itulah sastrawan bercerita
tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.
Sudut pandang pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang
merupakan cara atau pandangan yang digunakan sebagai sarana untuk menyajikan
tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam
sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi,
teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan
gagasan dalam ceritanya.
2.1.2 Unsur Ekstrinsik Novel
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada diluar tubuh karya sastra itu
sendiri. Seperti yang telah dikemukakan di depan bahwa unsur ekstrinsik adalah
unsur luar sastra yang ikut mempengaruhi penciptaan karya sastra. Unsur-unsur
tersebut latar belakang kehidupan pengarang, keyakinan dan pandangan hidup
pengarang, adat istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik, persoalan sejarah,
ekonomi, pengetahuan agama dan lain-lain (Suroto, 1989:138).

Universitas Sumatera Utara

Unsur ekstrinsik untuk tiap bentuk karya sastra sama. Unsur ini mencakup
berbagai aspek kehidupan sosial yang tampaknya menjadi latar belakang
penyampaian tema dan amanat cerita. Seorang pengarang yang baik akan selalu
mempelajari segala macam persoalan hidup manusia. Hal ini berkaitan dengan
misi seorang pengarang yang selalu berhubungan dengan manusia dengan selukbeluknya. Seorang pengarang yang kurang mengetahui dan kurang bisa
menyelami kehidupan manusia dengan keunikan-keunikannya hanya akan
menghasilkan sebuah karya yang hambar atau janggal.
Pengetahuan yang tidak kalah penting bagi seorang pengarang adalah ilmu
jiwa. Dengan ilmu jiwa yang cukup memadai maka ia akan mampu menampilkan
perwatakan yang pas. Dengan pengetahuan ilmu jiwa, pengarang akan
menggambarkan gerak dan tingkah laku yang cocok dengan jiwa dan batinnya.
Tidak hanya itu saja yang perlu diketahui. Pengetahuan sosial budaya suatu
masyarakat, seluk-beluk kehidupan masyarakat modernpun perlu dipelajari.
Pokoknya semua aspek kehidupan manusia dimana saja dan kapan sajaperlu
diketahui guna menunjang keberhasilan sebuah cerita.
Selain unsur-unsur yang datangnya dari luar diri pengarang, hal-hal yang
sudah ada dan melekat pada kehidupan pengarangpun cukup besar pengaruhnya
terhadap terciptanya suatu karya sastra (Suroto, 1989:139).
2.2 Defenisi Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal
dari kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan
logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya
mengalami perubahan makna, sosio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti

Universitas Sumatera Utara

ilmu. Jadi, sosiologis berarti ilmu mengenai asal–usul dan pertumbuhan (evolusi)
masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan
antar manusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra
dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk
dan intruksi. Akhiran kata tra berarti alat, sarana. Jadi sastra berarti kumpulan alat
untuk mengajar , buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata
sastra lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan,
artinya kumpulan hasil karya yang baik (Ratna, 2003:1-2).
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.
Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai
cermin kehidupan masyarakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra
adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan
menjadi pemicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu
yang mampu merefleksikan zamannya (Endraswara, 2008:77).
Secara institusional obyek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam
masyarakat, sedangkan obyek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala-gejala alam.
Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan mengasilkan kebudayaan.
Perbedaannya, apabila sosiolog melukiskan kehidupan manusia dan masyarakat
melalaui analisis ilmiah dan obyektif, sastrawan mengungkapkannya melalui
emosi, secara subyektif dan evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran,
intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas. Karena itu, Damono
(1978:6-8), apabila ada dua orang sosiolog yang melakukan penelitian terhadap
masalah suatu masyarakat yang sama, maka kedua penelitiannya cenderung sama.
Sebaliknya, apabila dua orang seniman menulis mengenai masalah masyarakat

Universitas Sumatera Utara

yang sama, maka hasil karyanya akan berbeda. Hakikat sosiologi adalah
obyektivitas dan kreatifitas, sesuai dengan panjang masing-masing karangan.
Karya sastra yang sama dianggap plagiat.
Karya sastra bukan semata-mata kualitas otonom atau dokumen sosial,
melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan obyektif, tetapi
kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai konstruksi sosial. Alat utama
dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa sebab bahasa merupakan milik
bersama, didalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial. Lebih-lebih
dalam sastra, kenyataan bersifat interpretatif subyektif, sebagai kenyataan yang
diciptakan. Pada gilirannya kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model,
lewat mana masyarakat pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri.
Karakterisasi tokoh-tokoh dalam novel misalnya, tidak diukur atas dasar
persamaannya dengan tokoh masyarakat yang dilukiskan. Sebaliknya, citra tokoh
masyarakatlah yang mesti meneladani tokoh novel, karya seni sebagai model yang
diteladani. Proses penafsirannya bersifat bolak-balik, dwi arah, yaitu antara
kenyataan dengan rekaan (Teew, 1984:224-249).
Sastra merupakan releksi lingkungan sosial budaya yang merupakan satu
tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau
merupakan penjelasan suatu sejarah dialetik yang dikembangkan dalam karya
satra. Itulah sebabnya memang beralasan jika penelitian sosiologi sastra lebih
banyak memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan
sosialnya. Baik aspek bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasa
lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu. Dalam hal ini, teks sastra

Universitas Sumatera Utara

dilihat sebagai suatu pantulan zaman. Sekalipun aspek imajinasi dan manipulsi
tetap ada dalam sastra, aspek sosial pun juga tidak bisa diabaikan. Aspek-aspek
kehidupan sosial akan memantul penuh kedalam karya sastra.
Hal terpenting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror).
Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati
demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan.
Dari sini, tentu sastra tidak semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra
bukan sekedar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan.
Kenyataan tersebut bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus
dan estetis.
Secara esensial sosiologi sastra adalah penelitian tentang:
a. Studi ilmiah manusia dan masyarakat secara obyektif.
b. Studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya.
c. Studi proses sosial. Yaitu bagaimana masyarakat mungkin, dan bagaimana
mereka melangsungkan hidupnya.
Studi semacam itu secara ringkas merupakan penghayatan teks sastra
terhadap struktur sosial. Aspe-aspek sosiologis yang terpantul dalam karya sastra
tersebut, selanjutnya dihubungkan dengan beberapa hal, yakni:
a. Konsep stabilitas sosial.
b. Konsep kesinambungan dengan masyarakat yang berbeda.
c. Bagaimana seorang individu menerima individu lain dalam kolektifnya.
d. Bagaimana proses masyarakat lebih berubah secara bertingkat.
e. Bagaimana perubahan besar masyarakat, misalnya dari feodalisme ke
kapitalisme.

Universitas Sumatera Utara

Pandangan yang amat populer dalam studi sosiologi sastra adalah
pendekatan cermin. Melalui pendekatan ini, karya sastra dimungkinkan menjadi
cermin bagi

zamannya. Dalam

pandangan

Lowenthal

Swingewood, 1972:16-17) sastra sebagai cermin nilai dan

(Laurenson dan
perasaan, akan

merujuk pada tingkatan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang berbeda
dan juga cara individu menyosialisasikan diri melalui struktur sosial. Perubahan
dan cara individu bersosialisasi biasanya akan menjadi sorotan pengarang yang
tercermin lewat teks. Cermin tersebut, menurut Stendal dapat berupa pantulan
langsung segala aktifitas kehidupan sosial. Maksudnya, pengarang secara real
memantulkan kedaaan masyarakat lewat karyanya, tanpa terlalu banyak
diimajinasikan. Karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat,
mau tidak mau akan menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya
pengarang ingin berupaya untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus
sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembacanya.
2.2.1 Masalah Sosial
Pada umumnya masalah sosial ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang tidak
inginkan oleh sebagian besar warga masyarakat. Hal itu disebabkan karena gejala
tersebut merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan atau norma dan
nilai serta standar moral yang berlaku. Lebih dari itu, suatu kondisi juga dianggap
sebagai masalah sosial karena menimbulkan berbagai penderitaan dan kerugian
baik fisik maupun non fisik (Soetomo, 1995:1).
Parillo dalam Soetomo (1995:4) menyatakan bahwa untuk dapat
memahami pengertian masalah sosial perlu memahami 4 komponen yaitu:

Universitas Sumatera Utara

1.

Masalah itu bertahan untuk suatu periode waktu.

2.

Dirasakan dapat menyebabkan berbagai kerugian fisik atau mental baik pada
individu maupun masyarakat.

3.

Merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar sosial dari suatu atau
beberapa sendi kehidupan masyarakat.

4.

Menimbulkan kebutuhan akan pemecahan.
Sementara itu tidak semua masalah dalam kehidupan manusia merupakan

masalah sosial. Masalah sosial pada dasarnya adalah masalah yang terjadi dalam
antar hubungan warga masyarakat. Dengan demikian menyangkut aturan dalam
hubungan bersama baik formal maupun informal. Masalah sosial terjadi apabila:
1.

Banyak terjadi hubungan antar warga masyarakat yang menghambat
pencapaian tujuan penting dari sebagian besar warga masyarakat.

2.

Organisasi sosial mengahadapi ancaman serius oleh ketidakmampuan
mengatur hubungan antar warga.

2.2.2 Klasifikasi Masalah Sosial
Masalah sosial yang akan dibicarakan pada bagian ini adalah kondisi yang
terjadi setelah berlangsungnya suatu aktifitas pembangunan masyarakat.
Mengingat bahwa gejala sosial merupakan fenomena yang saling kait mengait,
maka tidak mengherankan bahwa perubahan yang terjadi pada salah satu atau
beberapa aspek, dikehendaki atau tidak dikehendaki, dapat menghasilkan
terjadinya perubahan pada aspek yang lain. Terjadinya, dampak yang tidak
dikehendaki

itulah yang kemudian dikategorikan kedalam masalah sosial

(Soetomo, 1995:165).

Universitas Sumatera Utara

Masalah sosial yang timbul itu bukan merupakan hal yang ikut
direncanakan. Oleh sebab itulah maka lebih tepat disebut sebagai efek samping
dari pembangunan masyarakat. Efek samping yang terjadi dapat bersumber dari
dimensi sosial maupun fisik. Yang berasal dari dimensi sosial misalnya
memudarnya nilai-nilai sosial masyarakat, merosotnya kekuatan berbagai
pengikut

norma-norma

sosial

sehingga

menimbulkan

bentuk

perilaku

menyimpang serta ketergantungan masyarakat terhadap pihak lain sebagai akibat
sistem intervensi pembangunan yang kurang proporsional.
Dalam dimensinya yang bersifat fisik, efek samping dari proses
pembangunan antara lain berupa masalah yang berkaitan dengan pencemaran dan
kelestarian lingkungan. Hal ini menjadi masalah karena dalam jangka pendek
akan membawa pengaruh pada keindahan, kerapian, keberhasilan, dana terutama
pada kesehatan masyarakat. Sedangkan dalam jangka panjang akan berpengaruh
terhadap kelangsungan proses pembangunan itu sendiri. Perubahan yang terjadi
melalui proses pembangunan seringkali merupakan perubahan yang dipercepat
dalam rangka mengatasi keterbelakangan dan kemiskinan segera mungkin.
Dengan demikian, dapat dipahami apabila pembangunan juga akan menyebabkan
perubahan lingkungan.
2.3 Kehidupan Keyakinan Minoritas di Dalam Masyarakat
Dalam kehidupan bermasyarakat, hampir dimana ada mayoritas, baik di
bidang agama, ekonomi, moral, politik, dan sebagainya, yang minoritas lebih
mudah ditindas dan lebih sering mengalami penderitaan karena tekanan oleh
pihak mayoritas. Hubungan antar kaum mayoritas-minoritas sering menimbulkan

Universitas Sumatera Utara

konflik social yang ditandai oleh sikap subyektif berupa prasangka dan tingkah
laku yang tidak bersahabat (Schwingenschlögl, 2007).
Dalam kajian sosiologis, kelompok keagamaan adalah buah dari gerakan
sosial, sehingga perilaku yang timbul dari individu di dalamnya sarat dengan
simbol-simbol agama. Fenoma konflik sosial dalam hal menganut keyakinan
beragama mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat agama pluralitas
penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan agama.
Misalnya di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah
yang beragama Islam sebagai kelompok mayoritas, sedangkan kelompok yang
ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang
minoritas di dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga nampak kelompok Islam
yang mayoritas merasa berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok
minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen
sebagai

kelompok

minoritas

sering

mengalami

kerugian

fisik,

seperti

pengerusakan dan pembakaran gedung-gedung ibadat.
Seperti halnya dengan kisah Aomame. Aomame yang merupakan
penganut agama Jemaat Saksi yang merupakan kelompok minoritas di
lingkungannya, banyak mengalami perlakuan yang tidak baik dari lingkungan di
sekitarnya. Baik itu di lingkungan dekat rumahnya maupun di lingkungan tempat
Aomame bersekolah. Aomame sering mendapaat cemooh dari orang-orang
maupun teman sekelasnya karena menganggap tingkah Aomame sangat aneh dan
tidak wajar ketika sedang menjalankan perintah agamanya. Ketika Aomame dan
ibunya berkeliling ke rumah-rumah penduduk untuk mengajak orang-orang agar
mengikuti ajaran agama Jemaat saksi, Aomame dan ibunya malah dicaci maki dan

Universitas Sumatera Utara

di hina-hina oleh orang-orang tersebut. Walaupun kelompok Aomame yang
minoris sering mendapatkan perlakuan kasar dari masyarakat di sekitar tempat
tinggal Aomame dan bahkan dikucilkan, mereka tidak pernah menyerah untuk
mengajak orang-orang agar mengikuti ajaran Jemaat saksi.
2.4 Latar/Setting Novel 1Q84
Latar atau setting adalah tempat terjadinya peristiwa-peristiwa atau waktu
berlangsungnya tindakan. Jadi peristiwa-peristiwa itu terjadi dalam latar tempat
dan waktu (Pradopo dalam Sangidu, 2007:139). Latar dalam karya sastra tidak
harus berbentuk realitas yang bersifat objektif, tetapi dapat juga berbentuk realitas
yang bersifat imajinatif.
Latar di dalam novel “1Q84” karya Haruki Murakami meliputi setting
tempat dan setting waktu. Latar tempat yang dimaksud adalah Tokyo yang
merupakan ibu kota Jepang, sedangkan latar waktunya adalah sekitar tahun 1984.
Selain itu, terdapat latar tempat yang lainnya, yaitu sebuah SD XX Kotapraja,
disanalah tokoh utama menimba ilmu, dan mendapatkan perlakuan yang berbeda
sebagai penganut “jemaat saksi” yang menjadi awal timbulnya permasalahan.
2.5 Riwayat Hidup Haruki Murakami dan Karya-Karyanya
A. Riwayat Hidup Haruki Murakami
Haruki Murakami adalah salah satu penulis novel kontemporer Jepang
yang menggabungkan nilai-nilai tradisi Jepang dengan pengaruh budaya Amerika
dan Eropa dalam setiap karya-karyanya. Murakami lahir di Kyoto pada tanggal 12
Januari 1949, tetapi dibesarkan di Ashiya, Hyogo. Kedua orang tuanya
mengajarkan kebudayaan Jepang. Namun, Murakami lebih tertarik pada cerita

Universitas Sumatera Utara

detektif Amerika dan cerita fiksi ilmiah. Murakami lebih lebih suka berada di
kamar sambil mendengarkan musik jazz dan rock and roll Amerika, menonton
acara televisi Amerika dan membaca novel Amerika. Pada tahun 1968 Murakami
pindah ke Tokyo untuk melanjutkan studi Jurusan Drama Yunani di Universitas
Waseda dan lulus tahun 1975.
Tahun 1974 Murakami bersama istrinya Yoko Takahashi membuka club jazz
bersama Kokubunji di Tokyo yang mereka kelola hingga tahun 1981. Antara
tahun 1986 hingga tahun 1989 Murakami tinggal di Yunani. Penulis produktif ini
sempat mengajar di Universitas Princeton dan Universitas William Howard Taft.
Setelah menghabiskan waktu di luar negeri, Murakami kembali ke Jepang tahun
1995. Murakami mulai menulis pada tahun 1970-an. Novel pertamanya Kaze no
Uta o Kike (Dengarlah Nyanyian Angin). Hingga ini ia telah banyak mendapat
penghargaan, diantaranya fraz Kafka dan Kiriyama Prize. Haruki Murakami
merupakan salah satu kandidat penerima nobel kesusasteraan 2008. Karyakaryanya telah diterjemahkan dalam 36 bahasa di dunia dan membuahkan
berbagai penghargaan prestius. Kini penulis yang hobi berlari marathon ini tinggal
di Tokyo.
B. Karya-Karya Haruki Murakami
Haruki Murakami telah banyak menghasilkan karya-karya terkenal baik di
Jepang maupun di dunia internasional. Namanya sudah tidak asing lagi dalam
dunia kesusastraan dunia. Murakami mulai menulis novel pada tahun 1970.
Berikut adalah karya-karya Haruki Murakami yaitu:
1. Kaze no Uta Kike – Hear the wind Sing (1979)
2. Sen Kyuhyaku Nanaju San Nen no Pinboru – Pinball (1980)

Universitas Sumatera Utara

3. Hitsuji o Meguru Boken – A Wild Sheep Chase (1982)
4. Zozo Kojo Ni Happiendo (1983)
5. Kangaru Biyori (1983)
6. Chugoku Iki no Surou Boto (1983)
7. Murakami Asahido (1984)
8. Nami no E, Nami no Hanashi (1984)
9. Hotaru Naya o Yaku Sonota no Tanpen (1984)
10. Kaiten Mokuba No Deddo Hito (1985)
11. Sekai no Owari to Hadoboirudo Wandarando (1985)
12. Hitsuji Otoko no Kurishimasu (1985)
13. Rangeruhansuto no Gogo (1986)
14. Panya Saishugeki (1986)
15. Murakami Asahido no Gyakushu (1986)
16. Noruwei no Mori (1987)
17. The Scrap Natsukashi no 1980 Nendai (1987)
18. Hi Izuru Kuni no Kojo (1987)
19. Za Sukotto Fitsugerarudo Bukku (1988)
20. Dansu, Dansu, Dansu (1988)
21. Murakami Asahido Haiho (1989)
22. Toi Taiko (1990)
23. Uten Enten (1990)
24. Murakami Haruki Zenshakuhin (1979-1989)
25. Kekyoh no Minami, Taiyo no Nishi (1992)
26. The Elephant Vanishes Stories (1993)

Universitas Sumatera Utara

27. Nejimaki-Dori Kuronikuru (1994-1995)
28. Andaguraundo/Yakusoku Sureta Basho De (1997-1998)
29. Sapuuto Niko no Koibito (1999)
30. Kami no Kodomotachi wa Nuba Idoru (2000)
31. Umibe no Kafuka (2002)
32. Afutadaku (2004)
33. Tokyo Kitanshu (2005)
34. Blind Willow, Sleeping Woman (2006)
35. What I Talk About When I Talk About Running (2008)
36. Murakami Diary (2009)
2.6 Sinopsis Cerita Novel 1Q84
“1Q84” adalah sebuah novel karangan Haruki Murakami yang
menceritakan tentang kisah kehidupan seorang wanita muda bernama Aomame
dimana Aomame Masami mulai melihat kejanggalan dunia di sekitarnya.
Aomame sadar tengah memasuki dunia yang penuh teka-teki, yang disebutnya
1Q84-Q kependekan question mark (tanda tanya). Dunia yang mengandung penuh
dengan tanda tanya.
Aomame berasal dari keluarga yang menganut sekte keagamaan bernama
“Jemaat Saksi“. Sekte agama kristen, mendukung eskatologi, melakukan kegiatan
pengabaran Injil dengan giat, dan menganut apa yang tertulis di dalam Kitab Suci
secara harfiah. Ayah Aomame, Aomame Takayuki (58 tahun), bekerja di
perusahaan teknik, sedangkan ibu Aomame, Aomame Keiko (56 tahun), tidak
bekerja. Kakak Aomame, Aomame Keiichi (34 tahun ), lulus SMA prefektur di

Universitas Sumatera Utara

Ichikawa, lalu bekerja di percetakan Tokyo, namun mengundurkan diri tiga tahun
kemudian, lantas bekerja di kantor pusat Jemaat Saksi di Odawara. Dalam ajaran
agamanya, karena dengan alasan “diharamkan“ Aomame tidak pernah menghadiri
acara natal, tidak pernah ikut tamasya atau darmawisata sekolah yang bertujuan
mengunjungi altar pemujaan Shinto atau kuil Buddha. Tidak pernah ikut pesta
olah raga, tidak pernah menyanyikan lagu sekolah maupun lagu kebangsaan, dan
tidak protes kalau disuruh memakai pakaian bekas. Mau tidak mau, Aomame
harus menuruti itu semua karena orang tuanya. Dan tingkah laku yang dianggap
ekstrim seperti itu membuat Aomame semakin terkucil dari teman–teman
sekelasnya.
Aomame sendiri memang bukan orang yang suka bergaul. Semasih duduk
dibangku SD, Aomame hampir tidak pernah berbicara dengan teman sekelasnya.
Lebih tepatnya, tak ada seorangpun yang mau berbicara dengan Aomame, kecuali
ada urusan penting. Aomame diperlakukan seperti benda asing “kelihatan aneh
sekali” dan seharusnya dibuang dan diabaikan. Aomame sendiri merasa perlakuan
yang diterimya tidak adil. Hanya karena keadaan Aomame yang harus selalu
mematuhi peraturan orang tuanya membuat Aomame benar-benar dikucilkan di
sekolah. Teman-teman Aomame sebenarnya tidak mengetahui penyebab tingkah
aneh Aomame, dan memang tidak ingin tahu dan memahami kondisi diri yang
sedang dialami Aomame. Teman-teman sekelasnya jijik kepada Aomame, dan
bahkan guru-gurunya jelas menganggap kehadiran Aomame merepotkan. Namun
Aomame tidak pernah merasa menyerah dengan keadaannya. Walaupun Aomame
dikucilkan oleh teman-temannya, Aomame tetap masuk sekolah setiap hari dan
melakukan ritual-ritual yang diajarkan agamanya dengan penuh percaya diri yaitu

Universitas Sumatera Utara

melakukan ritual doa sebelum makan dengan suara yang lantang. Karena kalau
Aomame tidak melakukan ritual yang diajarkan agamanya dan bolos masuk
sekolah, Aomame justru akan merasa kalah dari teman-teman sekelas dan gurunya.
Sebelum akhirnya Aomame memutuskan untuk pindah sekolah dan
meninggalkan rumahnya, ada kejadian yang membuatnya lebih merasa nyaman
berada di sekolah. Ketika sosok laki-laki teman sekelasnya yang bernama Tengo
membantunya dari kejahatan yang dilakukan teman sekelasnya. Kejadian itu
bermula ketika dalam pelajaran IPA, Aomame dibentak keras oleh teman
sekelompoknya hanya karena Aomame membuat kesalahan dalam eksperimennya.
Tengo yang melihat kejadian itu tanpa ragu-ragu dan secara spontan mengajak
Aomame pindah ke kelompoknya tanpa mempedulikan reaksi teman sekelompok
Aomame. Kemudian Tengo menjelaskan prosedur eksperimen secara seksama
kepada Aomame, dan Aomame pun mendengarkan penjelasan Tengo dengan
seksama sehingga Aomame tidak pernah membuat kesalahan sama lagi. Itulah
pertama kalinya Aomame mendapat perlakuan baik dari teman sekelasnya. Pada
sore yang cerah diawal Desember, Tengo dan Aomame sama-sama berada di
dalam kelas. Tak ada orang lain. Pada saat itu, tanpa ada keraguan Aomame
menyeberang ruang kelas dengan langkah cepat, menghampiri Tengo, lalu berdiri
disampingnya. Kemudian Aomame menggenggam tangan Tengo, dan mendongak
untuk menatap wajah Tengo, pandangan Tengo dan Aomame pun beradu.
Genggaman tangan yang dilakukan Aomame terhadap Tengo berlangsung cukup
lama namun tidak ada percakapan yang terjadi antara Aomame dan Tengo.
Setelah itu Aomame melepaskan genggaman tangannya dan berlari kecil keluar

Universitas Sumatera Utara

dari ruangan kelas. Kejadian itu terus membekas dalam hati dan pikiran Aomame
dan berlalu begitu saja.
Ketika duduk di kelas 5 SD, Aomame memutuskan untuk memisahkan diri
dari kedua orang tuanya dan ikut pamannya. Aomame merasa tidak sanggup
mengikuti aturan-aturan yang diajarkan agamanya. Walau keluarga pamannya
memahami keadaan Aomame, tetap saja Aomame merasa sebatangkara dan haus
akan kasih sayang. Tanpa mengetahui kemana harus mencari tujuan dan makna
hidup, Aomame melewati hari demi hari dengan hati yang hampa. Semasa SMP
dan SMA, Aomame mengabdikan diri kepada olah raga sofbol dengan penuh
semangat. Di SMP maupun SMA Aomame menjadi pemain inti di dalam timnya.
Berkat kemampuannya yang bagus dalam bermain sofbol maupun kemampuannya
yang lihai dalam mengatur strategi permainan, Aomame selalu dibanggakan dan
dibutuhkan oleh timnya. Pada saat itulah Aomame merasa percaya diri dan
bahagia karena kehadirannya dibutuhkan oleh orang lain.
Berkat kemampuan Aomame, semakin hari timnya menjadi kuat dan
berhasil memenangkan pertandingan tingkat ibu kota Tokyo dalam kejuaraan
Nasional tingkat SMA. Ketika SMA, Aomame memiliki sahabat bernama Tamaki.
Mereka sama-sama pemain inti dalam olah raga sofbol. Tamaki sendiri berasal
dari keluarga yang kaya, namun kedua orang tua Tamaki memiliki hubungan yang
kurang baik sehingga membuat Tamaki sering mencari kebahagiaan di luar rumah.
Salah satunya ikut bergabung dalam tim sofbol. Aomame dan Tamaki menjalin
hubungan persahabatan yang sangat erat. Ketika memiliki waktu senggang,
mereka berdua sering pergi bertamasya bersama. Setamat SMA, Aomame
melanjutkan sekolah di Universitas Pendidikan Jasmani. Aomame mempelajari

Universitas Sumatera Utara

ilmu kesehatan olah raga dan juga tertarik untuk mempelajari seni bela diri.
Waktu Aomame dihabiskan untuk belajar. Tak ada waktu untuk iseng-iseng.
Tamaki sendiri masuk Fakultas Hukum di Universitas Swasta. Sepekan sekali
Aomame dan Tamaki bertemu dan berbincang-bincang tentang banyak hal.
Namun pada musim gugur Tamaki kehilangan keperawanannya lebih tepatnya
diperkosa. Kejadian itu membuat Tamaki sangat terpukul. Mengetahui kejadian
yang menimpa sahabatnya, Aomame pun berusaha menghibur Tamaki. Aomame
mengusulkan kepada Tamakai agar menghukum lelaki itu, namun Tamaki tidak
setuju. Dalam hal membina hubungan kekasih Tamaki selalu gagal hingga suatu
ketika Tamaki pernah melakukan aborsi dua kali. Sedangkan Aomame tidak
pernah berpikir untuk memiliki kekasih karna alasan sibuk dengan kegiatan
sehari-hari. Setelah mengantongi ijazah S1, Tamaki melanjutkan masuk program
pasca-sarjana dan Aomame mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang
memproduksi minuman energi dan makanan kesehatan. Seperti saat kuliah,
Aomame dan Tamaki makan bersama di akhir pekan.
Ketika berusia 24 tahun, Tamaki menikah dengan laki-laki yang dua tahun
lebih tua darinya. Hidup Tamaki pun semakin berantakan setelah menikah.
Tamaki semakin jarang bertemu dengan Aomame. Mereka lebih sering
berkomunikasi lewat surat. Suatu ketika Aomame menerima kabar bahwa sahabat
terbaiknya bunuh diri. Ternyata sebelum bunuh diri Tamaki sempat menulis surat
untuk Aomame yang mengatakan bahwa sebenarnya kehidupan pernikahannya
bagaikan hidup dalam neraka. Tamaki sering mendapat perlakuan kasar dari
suaminya. Aomame pun merasa sangat sedih mengetahui sahabat karibnya sudah
meninggal karena bunuh diri. Aomame merasa menyesal karena tidak bisa

Universitas Sumatera Utara

melakukan apa-apa untuk menolong Tamaki. Saat itu Aomame tidak pernah
menyukai lelaki manapun kecuali Tengo, lelaki yang digenggam tangannya oleh
Aomame ketika berusia 10 tahun. Tidak berapa lama setelah kehilangan
sahabatnya, Aomame berhenti bekerja dari perusahaan minuman energi.
Kemudian Aomame kembali bekerja sebagai pelatih andal di pusat kebugaran
kelas atas.
Saat mengajarkan kelas seni bela diri, Aomame bertemu seorang wanita
tua dari Puri Dedalu. Wanita tua itu ikut kelas seni bela diri yang diajarkan oleh
Aomame. Keesokan harinya Aomame menerima amplop yang berisikan bahwa
wanita tua itu ingin Aomame mengajarkan private di rumahnya dan Aomame pun
menerimanya. Dan saat itulah Aomame mulai merasa menaglami perubahanperubahan yang aneh yang terjadi dalam hidupnya. Ternyata selain menjadi
pelatih pribadi wanita tua itu, Aomame juga diminta menjadi pembunuh bayaran.
Aomame diminta membunuh setiap lelaki yang memiliki catatan buruk yaitu suka
menganiaya perempuan. Ketika Aomame sedang dalam perjalanan untuk
melakukan tugasnya membunuh seorang laki-laki yang menganiaya isitrinya,
Aomame banyak mengalami kejadian aneh di sekitarnya. Saat terjebak dalam
kemacetan, di dalam taksi Aomame mendengarkan musik yang sebelumnya ia
tidak pernah dengar namun tanpa sadar Aomame mengucapkan judul lagunya.
Melihat Aomame yang sedang gelisah, sopir taksi menyarankan Aomame untuk
menuruni tangga darurat yang berada di ujung jalan. Aomame pun menuruti saran
sopir taksi. Aomame juga melihat polisi membawa revolver model lama.
Aomame merasa sangat bingung dengan apa yang dialaminya. Keesokan harinya,
Aomame mencermati makna dari lagu yang didengarnya dalam taksi, kemudian

Universitas Sumatera Utara

berusaha mencari petunjuk tentang hubungan macam apa yang terjalin antara
Aomame dengan musik sinfonietta yang didengarnya dalam taksi. Aomame
berusaha membuat hipotesis untuk meyakinkan dirinya dengan apa yang sudah
dialaminya. Aomame merasa berada di dunia baru. Dunia yang diberi nama 1Q84.
Q adalah singkatan dari “question mark” tanda tanya. Dunia yang penuh dengan
tanda tanya. Aomame juga melihat ada dua bulan di langit.
Aomame semakin banyak mengalami kesulitan dalam hidupnya ketika
wanita tua itu memberikan tugas yang sangat berat dan beresiko tinggi. Aomame
diminta untuk membunuh laki-laki yang menjadi seorang pemimpin dalam sekte
keagaman. Semua keamanan dan resiko yang akan dialami Aomame sudah
diperhitungkan ketika ia akan membunuh lelaki yang menjadi pemimpin dalam
sekte keagamaan tersebut. Ketika Aomame ingin membunuh sang pemimpin,
ternyata niatnya diketahui sang pemimpin. Namun lelaki itu tidak menghalangi
niat Aomame, bahkan lelaki itu menyuruhnya agar Aomame segera menghabisi
nyawanya. Aomame pun melanjutkan rencananya. Setelah Aomame berhasil
membunuh sang pemimpin, ia langsung bersembunyi di tempat apartemen yang
sudah disiapkan oleh wanita tua itu. Hari demi hari dilalui Aomame dengan
bersembunyi di apartemen. Beberapa minggu setelah kejadian ketika Aomame
membunuh sang pemimpin, Ia merasa ada sesuatu yang aneh di dalam perutnya.
Aomame merasakan ada makhluk yang bernafas dalam perutnya. Ternyata
Aomame hamil. Dan entah kenapa, Aomame merasa bahwa kehamilannya ada
hubungannya dengan Tengo. Yaitu lelaki yang digenngam tangannya saat berusia
10 tahun. Aomame melakukan aktivitas seperti biasa setiap harinya. Pada malam

Universitas Sumatera Utara

hari, Aomame memandang ke arah langit melihat dua bulan, dan tidak jauh dari
apartemen Aomame ternyata Tengo juga sedang melihat ke arah langit.
Di dunia 1Q84 Aomame merasa akan dipertemukan dengan Tengo. Saat
Aomame memandang ke arah langit, tiba-tiba ia melihat sosok laki-laki berada di
taman dekat apartemennya. Entah kenapa Aomame merasa yakin bahwa lelaki
yang dilihatnya itu adalah sosok Tengo yang sangat dicintainya ketika masih SD,
bahkan sampai sekarang. Tiba-tiba sosok yang dilihatnya menghilang begitu saja.
Berharap akan melihat lelaki itu lagi, setiap malam Aomame memandang kearah
taman. Namun sosok itu tidak muncul lagi. Karena penasaran, Aomame berusaha
mencari laki-laki yang dilihatnya di sekitar apartemen Aomame. Dan ia
menemukan sebuah apartemen kuno berlantai 2. Aomame berusaha masuk ke
dalam apartemen dan menaiki lantai 2. Ketika itu Aomame sangat terkejut dengan
apa yang ditemukannya, yaitu papan nama yang bertuliskan Kawana Tengo yang
menggantung di pintu. Aomame mencoba memencet bel namun tidak ada yang
membuka pintu, dan akhirnya Aomame memutuskan untuk kembali lagi ke
apartemennya. Aomame meminta bantuan kepada wanita tua itu agar menyelidiki
lelaki yang berada di apartemen kuno itu. Dan setelah melakukan penyelidikan
ternyata Kawana Tengo yang ada di apartemen kuno adalah Tengo yang dimaksud
oleh Aomame. Aomame pun merasa sangat bahagia mendengar hal itu, ia merasa
kehadiran Tengo semakin dekat dengannya. Lelaki yang disuruh oleh wanita tua
untuk menyelidiki Tengo bernama Tamaru. Tamaru akhirnya bertemu dengan
Tengo, dan ia memberitahukan keberadaan Aomame dan apa yang sedang dialami
Aomame sekarang. Mendengar hal itu dari Tamaru, Tengo merasa sangat senang
karena bisa bertemu lagi dengan wanita yang sangat dicintainya. Sejak kejadian

Universitas Sumatera Utara

saat Aomame menggandeng tangan Tengo, ternyata mereka berdua saling jatuh
cinta. Namun mereka harus terpisah selama 20 tahun dan dipertemukan kembali
di tahun 1Q84. Tahun dimana banyak kejadian aneh yang susah untuk dipahami
penyebabnya.

Tamaru pun memberitahukan kepada Tengo tempat dimana

Aomame ingin bertemu dengannya dan membawa barang yang diperlukan saja.
Akhirnya tibalah saat yang ditunggu, Aomame pun bertemu dengan Tengo.
Kemudian Aomame mengajak Tengo ke tempat dimana awal mula Aomame
merasa mulai mengalami kejadian yang aneh setelah menuruni anak tangga saat
terjebak dalam kemacetan. Aomame dan Tengo pun menuruni anak tangga dan
menaiki anak tangga itu kembali. Aomame sangat yakin, dengan melakukan hal
itu, mereka akan berada di dunia yang normal dunia 1984 bukan dunia 1Q84,
dunia yang hanya ada satu bulan di langit bukan dunia yang ada dua bulan di
langit. Dan saat Aomame dan Tengo berada di pinggir jalan, Aomame merasakan
perubahan dengan tempat di sekitarnya. Aomame merasa sudah berada di dunia
yang normal yaitu dunia yang hanya ada satu bulan. Kemudian Aomame dan
Tengo menaiki taksi menuju ke tempat dimana orang lain tidak ada yang
mengenalinya. Dan akhirnya Aomame dan Tengo hidup bersama dan bahagia
selamanya.

Universitas Sumatera Utara