Analisis Sosiologis Tokoh Utama Aomame Dalam Novel “ 1q84 “ Karya Haruki Murakami

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Aglesindo

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra Edisi Revisi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama

Jabrohim. 2001. Metodelogi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT. Praseti Widya Pratama

Luxemburg, Jan Van dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Gramedia Murakami, Haruki. 2013. 1Q84. Jakarta: PT. Gramedia

Nurgiyantotoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press Pujiono, Muhammad. 2002. Analisis Nilai-Nilai Religius dalam Cerpen Karya

Miyazawa Kenji. Skripsi. Medan. STIBA Swadaya.

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologis Sastra. Yogyakarta: Pustaka Belajar

___________________. 2004. Teori Metode dan Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Rustapa, Anita K dan Luslantini Septiningsih. 1990. Pedoman Pengajaran

Apresiasi Novel. Jakarta: Depdikbud

Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo.

Soerjono, Soekanto. 1990. Sosiologi Keluarga Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja

dan Anak. Jakarta: Rineka Cipta

Soetomo. 1995. Masalah Sosial dan Pembangunan. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya

Suroto. 1989. Apresiasi Sastra Indonesia dan Pembangunan. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya

Teew, Andries. 1984. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya http://id.wikipedia.org/wiki/Yasunari.Kawabata


(2)

http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/sosiologi-komunikasi-proses-sosial-dan-interaksi-sosial/

http://informasi-doni-blogspot.com/2012/09/pengertian-alur-majumundur-dan-campuran.html


(3)

BAB III

ANALISIS SOSIOLOGIS TOKOH AOMAME DALAM NOVEL 1Q84 KARYA HARUKI MURAKAMI

3.1 Analisis Sosiologis Tokoh Aomame 3.1.1 Hubungan dengan Keluarga

Berikut adalah kehidupan tokoh Aomame dan hubungannya dengan keluarga yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut.

Cuplikan 1

Pakaian yang dikenakan Aomame selalu pakaian bekas yang diberikan oleh seseorang. Jemaat sekte keagamaan itu kadang-kadang mengadakan acara pengumpulan dan pembagian pakaian bekas. Karena itu, kecuali pakaian olah raga yang ditentukan sekolah, Aomame tidak pernah dibelikan pakaian baru, juga tidak pernah mengenakan pakaian atau sepatu yang pas ukurannya. Kombinasi warna atau pola pakaiannya juga amat mengibakan. Seandaianya keluarganya miskin dan terpaksa hidup seperti itu, dia masih bisa memaklumi. Namun keluarga Aomame tidak pantas dikatakan miskin. Ayahnya bekerja sebagai insinyur dan berpenghasilan cukup memadai. Kedua orangtua Aomame sengaja memilih kehidupan yang terlampau sederhana itu (1Q84: 306).


(4)

Analisis

Dari cuplikan diatas dapat dilihat bahwa kehidupan keluarga Aomame jauh dari kemewahan. Hal ini dikarenakan kedua orang tua Aomame sangat mematuhi ajaran agamanya.Walaupun ayah Aomame memiliki penghasilan yang bisa dikatakan berlebih, namun orang tua Aomame tetap memilih untuk hidup seperti itu, karena menurut mereka, memakai uang untuk membeli baju baru adalah sebagai pemborosan. Bagi kedua orang tua Aomame aturan yang ada dalam ajaran jemaat sekte keagamaan adalah kewajiban mutlak yang harus dipatuhi tanpa harus dipertimbangkan terlebih dahulu.Dan Aomame sangat tidak menyukai kondisi seperti ini, karena Aomame merasa bahwa dia bukan berasal dari keluarga miskin yang tidak mampu membeli baju baru. Hal ini juga yang membuat Aomame membenci kedua orang tuanya.

Hal ini memiliki dampak yang tidak bagus untuk Aomame. Karena Aomame selalu menggunakan pakaian bekas dan berpenampilan aneh, Aomame dikucilkan oleh teman-temannya di sekolah. Bahkan guru-gurunya pun menganggap Aomame merepotkan. Karena itu, Aomame menarik diri dari teman-teman sekolahnya dan lebih memilih menyendiri.

Cuplikan 2

Aomame membenci kedua orangtuanya, dan sangat membenci dunia mereka dan gagasan di dunia itu. Yang dia inginkan adalah kehidupan biasa seperti anak-anak lain. Tidak perlu mewah. Kalau ada kehidupan yang biasa-biasa saja, aku tidak mau apapun selain itu, pikir


(5)

Aomame. Dia ingin tumbuh dewasa secepat mungkin dan meninggalkan kedua orangtuanya agar bisa hidup sendirian sesuka hatinya (1Q84: 306).

Analisis

Dari cuplikan diatas dapat dilihat bahwa Aomame memiliki kebencian yang sangat mendalam terhadap kedua orang tuanya.Orang tua Aomame selalu memerintahkan Aomame untuk melakukan segala sesuatu yang diajarkan sekte agama yang dianut oleh mereka tanpa memperdulikan perasaan Aomame. Meskipun semua perintah dari orang tuanya bertentangan dengan hatinya, Aomame selalu menuruti dan melakukannya.Hal ini membuat Aomame sangat membenci kedua orang tuanya, dan memutuskan untuk tinggal bersama pamannya dari pada bersama orangtuanya.

Cuplikan 3

Aomame belum pernah merasa cantik. Sejak masa kanak-kanak, dia tidak pernah dipuji cantik oleh orang. Ibunya malah memperlakukan dia sebagai anak buruk rupa. “Andai kamu lebih cantik,”begitulah kata -kata yang sering diucapkan oleh ibunya (1Q84: 371).

Analisis

Dari cuplikan diatas dapat dilihat bahwa sedari kecil Aomame mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Dia tidak pernah mendapatkan kebahagiaan ataupun sikap yang baik dari keluarganya seperti anak-anak lainnya.


(6)

Bahkan ibunya sendiri tidak pernah sekalipun memberikan pujian kepadanya. Hal ini juga membuat Aomame membenci keluarganya. Karena perlakuan dan aturan yang diberikan kedua orang tua Aomame, membuat Aomame selalu ingin berontak dan melarikan diri dari rumah. Aomame tidak pernah menikmati masa kanak-kanaknya seperti bermain di taman, menikmati liburan sekolah, maupun piknik dengan teman sekelas.

Cuplikan 4

“Nggak minat,” ujar Tamaru tanpa ragu. “ Aku tidak hidup dengan cara seperti itu. Bagaimana denganmu? Kamu ingin bertemu anakmu?” Aomame berpikir sebentar. “Aku dibuang orangtuaku sewaktu aku masih kecil, jadi tak bisa membayangkan bagaimana rasanya punya anak sendiri. Tidak ada yang bisa kuteladani” (1Q84: 205).

Analisis

Dari cuplikan diatas dapat dilihat bahwa Aomame mengalami ketakutan dalam dirinya ketika suatu saat nanti akan memiliki anak. Aomame tidak dapat membayangkan, ketika perlakuan yang dialaminya semasa kecil akan berdampak kelak kalau Aomame memliki anak. Dari kecil hingga dewasa Aomame sudah hidup sendiri tanpa adanya sentuhan kasih sayang dari orang tua maupun keluarganya sendiri. Aomame harus berjuang sendiri untuk bisa melanjutkan hidupnya. Aomame merasa takut jika ia memiliki anak tidak bisa memberikan kasih sayang yang seharusnya diperoleh ketika masih anak-anak.


(7)

3.1.2 Hubungan dengan Orang Lain di Masyarakat

Berikut adalah kehidupan tokoh Aomame dan hubungannya dengan orang lain di dalam masyarakat yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut.

Cuplikan 1

Mungkin ini kematian yang terlalu mudah bagimu, pikir Aomame sambil mengerutkan dahi. Terlampau mudah. Mungkin aku seharusnya mematahkan tiga tulang rusukmu dengan menggunakan stik golf Iron No. 5, membuatmu kesakitan, lalu baru mencabut nyawamu dengan penuh belas kasih. Karena kamu tikus bajingan yang pantas mati mengenaskan seperti itu. Dan memang siksaan itulah yang kamu lakukan terhadap istrimu (1Q84: 94).

Analisis

Dari cuplikan diatas dapat dilihat bahwa kebencian tokoh Aomame terhadap seseorang yang berlaku kasar kepada orang lain. Terutama pada laki-laki yang suka menganiaya istrinya ataupun kekasihnya. Jika dia melihat ada seorang laki-laki melakukan hal tersebut, maka dia tidak segan-segan akan menghabisi nyawa laki-laki tersebut. Aomame sangat membenci lelaki yang tidak pernah menghargai atau menghormati wanita. Hal ini dirasakannya setelah mengetahui sahabatnya sedari SMA, Tamaki, mendapat perlakuan kasar dari suaminya, dan akhirnya memutuskan untuk bunuh diri.


(8)

Cuplikan 2

Setelah menyelesaikan satu pekerjaan dengan menghilangkan nyawa orang, aku jadi ingin minum (1Q84: 95)

Analisis

Dari cuplikan diatas dapat dilihat bahwa tokoh Aomame yang tidak merasa bersalah ataupun takut, meskipun dia telah menghilangkan nyawa seseorang. Sebaliknya, dia merasa sangat lega setelah berhasil membunuh orang yang dia anggap memang pantas untuk mati. Hal ini terlihat dari sikap Aomame yang berkeinginan untuk minum setelah membunuh.

Cuplikan 3

Otsuka Tamaki pernah bilang menyukai raut wajah Aomame. Nggak jelek, kok. Keren banget. PD saja, katanya. Mendengar hal itu, Aomame senang sekali. Kata-kata hangat dari sahabatnya itu sangat menenangkan dan melegakan bagi Aomame yang baru memasuki masa puber (1Q84: 371).

Analisis

Dari cuplikan diatas dapat dilihat bahwa tokoh Aomame yang memiliki sikap dingin bersyukur bahwa dia memiliki seorang sahabat yang dapat memahami dirinya. Bagi Aomame, kata-kata yang keluar dari mulut sahabatnya yang mengatakan bahwa dia tidak jelek tersebut merupakan sebuah pujian, yang selama ini tidak pernah dia dengar. Dan pujian tersebut mampu membuat Aomame lebih percaya diri.


(9)

Cuplikan 4

Bagaikan air yang gelapdan lembut, kesedihan menggenangi hati Aomame, tanpa suara dan tanpa ada tanda-tanda. Pada saat seperti itu, dia mengubah sirkuit ingatannya untuk hanya memikirkan Tengo sepenuh hati. Ia pusatkan pikiran, mengingat sentuhan tangan Tengo umur 10 tahun yang digenggamnya sejenak si ruang kelas seusai jam pelajaran (1Q84: 78).

Analisis

Dari cuplikan diatas dapat dilihat bahwa kesedihan yang sedang dialami Aomame sangatlah berat. Pada saat-saat seperti iti, Aomame akan segera mengingat bagaimana tangan Tengo yang pernah ia genggam saat berumur 10 tahun, setelah Tengo menyelamatkannya dari kejahatan teman-temannya yang lain. Karena hanya dengan mengingat hal tersebut, Aomame dapat menghilangkan rasa kesedihan yang sedang dia rasakan. Aomame menganggap bahwa Tengo adalah satu-satunya pria yang sangat dia cintai dan yang mau membantunya saat ada dalam masalah.

3.1.3 Hubungan dengan Teman Sekolah

Berikut adalah kehidupan tokoh Aomame dan hubungannya dengan teman sekolah yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut.


(10)

Cuplikan 1

Aomame memang bukan orang yang suka bergaul. Tak masalah baginya jika lama tidak bertemu atau berbicara dengan siapapun. Semasih duduk di bangku SD, ia hampir tidak pernah berbicara dengan teman sekelasnya. Tepatnya, tak ada seorang pun yang mau berbicara dengannya, kecuali ada urusan penting. Aomame diperlakukan seperti benda asing yang “kelihatan aneh sekali” dan seharusnya dibuang atau diabaikan. Bagi Aomame perlakuan itu tidak adil (1Q84: 76).

Analisis

Dari cuplikan di atas dapat dilihat bahwa Aomame sejak kecil sudah tidak memiliki teman dekat. Sikapnya yang aneh membuat teman-teman di sekolahnya menjauhi Aomame. Sejak kejadian itu, Aomame menutup diri untuk tidak berteman dekat dengan siapa pun. Bahkan seiring berjalannya waktu, Aomame lebih merasa nyaman bila harus hidup sendiri dan tidak bergantung pada siapa pun.

Cuplikan 2

Bangun pagi dan ganti pakaian untuk pergi ke sekolah adalah siksaan baginya. Karena jiwanya tertekan, dia sering kena diare, kadang muntah-muntah. Ada kalanya ia menderita demam, sakit kepala, atau mati rasa pada kaki dan tangan. Walaupun begitu, ia tak pernah bolos sekolah. Ia pikir, kalau dirinya bolos satu hari, pasti ingin bolos berhari-hari, dan akhirnya takkan masuk sekolah lagi. Kalau itu terjadi, berarti dirinya kalah dari teman sekelasnya. Pasti mereka semua merasa lega jika ia hilang dari kelas. Ia tak mau mereka merasa lega. Karena itulah, betapun tersiksanya, ia berangkat ke sekolah, bahkan kalau pun harus merangkak (1Q84:76-77).


(11)

Analisis

Dari cuplikan di atas dapat dilihat bahwa meskipun Aomame merasa pergi ke sekolah adalah sebuah sikasaan, namun dia tetap ke sekolah tanpa mencoba untuk bolos sekali pun, karena dia tidak ingin kalah dari teman sekelasnya yang tidak mengaharapkan kehadirannya di sekolah. Ia tak mau mereka merasa lega. Karena itulah, betapun tersiksanya, ia berangkat ke sekolah, bahkan kalau pun harus merangkak.


(12)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Melihat dari uraian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Hubungan Aomame dengan orang tua maupun keluarga sangat tidak baik. Aomame memiliki kebencian yang sangat mendalam terhadap kedua orang tuanya. Orang tua Aomame selalu memerintahkan Aomame untuk melakukan segala sesuatu yang diajarkan sekte agama yang dianut oleh mereka tanpa memperdulikan perasaan Aomame. Sedari kecil Aomame mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Dia tidak pernah mendapatkan kebahagiaan ataupun sikap yang baik dari keluarganya seperti anak-anak lainnya. Dari kecil hingga dewasa Aomame sudah hidup sendiri tanpa adanya sentuhan kasih sayang dari orang tua maupun keluarganya sendiri. Aomame harus berjuang sendiri untuk bisa melanjutkan hidupnya. Aomame merasa takut jika ia memiliki anak tidak bisa memberikan kasih sayang yang seharusnya diperoleh ketika masih anak-anak. Kebencian Aomame pun berlanjut terhadap seorang yang berlaku kasar kepada orang lain. Terutama kepada laki-laki yang suka menganiaya istrinya ataupun kekasihnya. Jika dia melihat ada seorang laki-laki melakukan hal tersebut, maka dia tidak segan-segan akan menghabisi nyawa laki-laki tersebut. Aomame sangat membenci laki-laki yang tidak pernah menghargai atau menghormati wanita. Aomame sendiri sejak kecil sudah tidak memiliki teman dekat. Sikapnya yang aneh membuat teman-teman di sekolahnya menjauhi


(13)

Aomame. Sejak kejadian itu Aomame menutup diri untuk tidak berteman dekat dengan siapa pun.

2. Dengan membaca novel 1Q84, dapat dilihat bagaimana keadaan seorang anak yang hidup dalam kelompok minoritas di lingkungan masyarakat. Dampak seseorang yang hidup dalam kelompok minoritas dalam lingkungan masyarakat adalah dikucilkan. Kaum minoritas mudah ditindas dan lebih sering mengalami penderitaan karena tekanan dari lingkungan sekitarnya. Salah satunya tokoh Aomame, yang mengalami diskriminasi sosial dan sering dicela teman-temannya dan masyarakat yang berada di lingkungan rumahnya. Perlakuan yang diterima Aomame sebagai penganut agama minoritas diantara mayoritas dari lingkungan sekolah maupun masyarakat tidaklah adil. Aomame hanya berusaha mematuhi aturan yang diajarkan agamanya maupun yang diperintahkan orang tuanya. Namun Aomame tetap semangat menjalani kehidupannya dan berjuang untuk dapat hidup normal dan bisa diterima di lingkungan sosialnya.

4.2 Saran

Melalui skripsi ini, penulis berharap agar novel yang merupakan salah satu alternatif yang dijadikan manusia untuk mendapatkan kesenangan, namun sekitarnya tidak hanya dijadikan hiburan saja. Tetapi, saat membaca novel berusahalah untuk memahami makna yang terkandung serta nilai-nilai positif yang ada sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Seperti didalam novel 1Q84, kita dapat mengambil sifat-sifat yang baik yang dapat kita tirukan di


(14)

Penulis juga berharap skripsi ini dapat dijadikan referensi tersendiri bagi para pembaca dan pencinta karya fiksi menjadi bahan yang berguna bagi peneliti selanjutnya. Penulis menyarankan kepada para pembaca atau peminat sastra bisa memberi interpretasi sendiri terhadap novel 1Q84, karena dalam memberi tanggapan sebuah novel sering terjadi perbedaan-perbedaaan pandangan untuk menambah wawasan dan memperkaya khasanah dalam dunia karya sastra.


(15)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL, SOSIOLOGIS SASTRA, DAN RIWAYAT HIDUP HARUKI MURAKAMI

2.1 Defenisi Novel

Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:9), menyatakan bahwa novel berasal dari bahasa Italia yaitu Novella yang secara harfiah yang berarti sebuah barang baru yang kecil yang kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.

Novel merupakan jenis dan genre prosa dalam karya satra. Prosa dalam pengertian kesusastraan juga disebut fiksi. Karya fiksi menyarankan pada suatu karya sastra yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannyapada dunia nyata (Nurgiyantoro, 1995:2). Dan menurut Takeo dalam Pujiono (2002:3), novel merupakan sesuatu yang menggambarkan kehidupan sehari-hari didalam masyarakat meskipun kejadiannya tidak nyata.

Diantara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa dan drama, genre prosalah, khususnya novel yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat ditemukan diantaranya:

1. Novel menampilkan unsur-unsur cerita paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling luas.


(16)

Karya-karya modern klasik dalam kesusastraan, kebanyakan berisi karya-karya novel. Novel merupakan bentuk karya-karya sastra yang paling populer di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Banyak sastrawan yang memberikan batasan atau defenisi novel. Batasan atau defenisi yang mereka berikan berbeda-beda karena sudut pandang yang mereka pergunakan juga berbeda-beda.

Beberapa pandangan yang berupaya menjabarkan defenisi novel antara lain sebagai berikut:

1. Fielding dalam Atmaja (1986:44) mengatakan bahwa novel merupakan modifikasi dunia modern paling logis, dan merupakan kelanjutan dari dunia epik. Pernyataan ini tidak saja terbukti kebenarannya namun relevan untuk situasi kini, suatu masa dimana novelis tidak lagi menampilkan segi-segi sosial dan psikologis didalam permasalahan masyarakat biasa.

2. Wellek dan Warren (1995:282) novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis yang bersifat realistis dan mengacu pada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang lebih mendalam.

3. Jacob Sumardjo (1999:11-12) novel adalah genre sastrayang berupa cerita, mudah dibaca dan dicernakan, juga kebanyakan mengandung unsur suspense dalam alur ceritanya yang mudah menimbulkan sikap penasaran bagi pembacanya.

Namun ada juga yang berpendapat bahwa novel merupakan cermin masyarakat. Pendapat ini ada benarnya namun adapula tidak benarnya. Yang


(17)

membenarkan pendapat ini berasumsi bahwa novel atau cerita rekaan itu memberikan bayangan tentang apa yang terjadi dalam masyarakat pada suatu zaman walaupun tokoh-tokohnya bukan tokoh yang sesungguhnya. Misalnya Siti Nurbaya karya Mara Rusli. Dalam kenyataan peristiwa itu memang ada, tetapi peristiwa dalam cerita tidak sama persis dengan yang ada dalam kenyataan karena pengarang telah memperkaya cerita ini dengan imajinasinya. Jika sama benar yang diceritakan pengarang cerita dengan peristiwa yang disampaikannya, maka tulisan itu bukan cerita lagi melainkan laporan peristiwa. Sebaliknya, orang yang berpendapat bahwa novel atau cerita rekaan bukan cermin, masyarakat berasumsi bahwa cerita itu semata-mata berisi imajinasi pengarang. Jadi, apa yang diceritakan pengarang sama sekali tidak ada kaitannya dengan dunia nyata (Rustapa, 1990:7).

Novel dapat memberi dampak positif bagi pembacanya karena novel itu memberikan manfaat pendidikan atau hiburan. Akan tetapi, tidak sedikit novel yang memberikan dampak negatif, misalnya novel yang didalamnya terdapat adegan-adegan yang kasar atau adegan yang dapat menimbulkan dorongan seksual kepada pembaca.

2.1.1 Unsur Intrinsik Novel

Dalam sebuah novel terkandung unsur-unsur struktur yang membentuk novel tersebut. Unsur-unsur struktur novel tersebut adalah tema, penokohan, alur, latar, gaya bahasa, dan sudut pandang.


(18)

A. Tema

Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra sangat beragam. Tema bisa berupa persoalan, moral, etika, agama, sosial, budaya, teknologi, tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan. Namun, tema bisa berupa pandangan pengarang, ide, atau keinginan pengarang yang mensiasatipersoalan yang muncul.

Tema ibarat dasar pada sebuah bangunan. Tema merupaka dasar segala penggambaran tokoh, penyusunan alur, dan penentuan latar. Tema tidak dituliskan secara eksplisit. Kita dapat menentukan tema novel setelah kita membaca keseluruhan cerita. Jadi tema tidak dapat dilihat secara konkret, tetapi harus dipikirkan dan dirasakan, baru dapat disimpulkan (Rustapa, 1990:11). Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalan cerita novel. Aminuddin (2000: 92) menjelaskan bahwa ada langkah-langkah yang harus pembaca perhatikan untuk memahami tema dari sebuah karya fiksi, yakni : 1. Memahami isi setting dalam prosa fiksi yang dibaca.

2. Memahami penokohan dan perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca.

3. Memahami satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi yang dibaca.


(19)

5. Menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan lainnya yang disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita. 6. Menentukan sikap penyair terhadap poko-pokok pikiran yang ditampilkan. 7. Mengidentifikasi tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak

dari satuan pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkan.

8. Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang dipaparkan pengarangnya.

B. Penokohan

Yang dimaksud penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana perilaku tokoh-tokoh tersebut. Ini berarti ada dua hal penting, yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian, sedangkan yang kedua berhubungan dengan watak atau kepribadian tokoh yang ditampilkan. Kedua hal tersebut memiliki hubungan yang sangat erat. Penampilan dan penggambaran sang tokoh harus mendukung watak tokoh tersebut secara wajar. Apabila penggambaran tokoh kurang selaras dengan watak yang dimilikinya atau bahkan sama sekali tidak mendukung watak tokoh yang digambarkan, jelas akan mengurangi bobot ceritanya (Suroto, 1989:92-93).

Peran setiap tokoh dalam sebuah cerita tidak sama. Setiap tokoh memiliki peranannya masing-masing. Tokoh yang memiliki peranan penting dalam sebuah cerita biasa disebut tokoh utama. Sedangkan tokoh yang peranannya tidak terlalu penting biasa disebut tokoh pembantu atau tokoh tambahan.


(20)

Dalam upaya memahami watak pelaku, pembaca dapat menelusuri lewat (1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, (2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran kehidupannya maupun caranya berpakaian, (3) menunjukkan bagaimana prilakunya, (4) melihat bagaimana tokoh itu menceritakan dirinya sendiri, (5) memahami bagaimana jalan pikirannya, (6) melihat bagaimana tokoh lain membicarakannya, (7) melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya, (8) melihat bagaimana tokoh-tokoh lain bereaksi terhadapnya, dan (9) melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya (Aminuddin, 2000: 81).

C. Alur/Plot

Salah satu elemen terpenting dalam membentuk karya fiksi adalah plot. Dalam analisis cerita plot sering juga disebut dengan alur. Alur atau plot pada karya sastra pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita bisa terbentuk dalam rangkaian peristiwa yang berbagai macam (Aminuddin, 2000:83).

Secara tradisional plot cerita prosa disusun berdasarkan berdasarkan urutan sebagai berikut :

1. Perkenalan 2. Pertikaian 3. Perumitan 4. Klimaks 5. Peleraian


(21)

Pada dasarnya, alur dapat alur dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu: 1. Alur maju

Alur maju adalah alur yang peristiwanya disusun secara kronologis. Dimulai dari perkenalan, kemudian peristiwa itu bergerak, keadaan mulai memuncak, diikuti dengan klimaks dan diakhiri dengan penyelesaian.

2. Alur mundur

Alur mundur adalah alur yang urutan peristiwanya dimulai dari peristiwa terakhir kemudian kembali pada peristiwa pertama, peristiwa kedua, dan seterusnya sampai kembali lagi keperistiwa terakhir tadi. Dalam susunan alur yang demikian biasanya pengarang mulai dengan menampilkan peristiwa sekarang kemudian pengarang menceritakan masa lampau tokoh utama yang mengakibatkan sang tokoh terlibat dalam peristiwa sekarang terjadi.

3. Alur campuran

Alur campuran adalah alur cerita yang memiliki campuran alur maju dan mundur. Biasanya cerita ini dimulai ditengah-tengah. Sementara cerita berkembang maju, beberapa kali ditampilkan beberapa potongan flashback yang menjelaskan latar belakang cerita.

(http://informasi-doni-blogspot.com/2012/09/pengertian-alur-majumundur-dan-campuran.html).

Berdasarkan pengertian alur yang telah diuraiakan diatas, alur yang terdapat dalam novel “1Q84” adalah alur campuran. Hal ini tergambar jelas dari urutan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel terbut, yaitu dimulai dari awal kisah tokoh Aomame diceritakan saat usia dewasa ketika kerja di petihan bela diri


(22)

kemudian kembali pada masa saat Aomame masih kecil dan berakhir saat Aomame menemukan Tengo lelaki yang dicintainya sejak kecil hingga dewasa.

D. Latar

Latar atau setting adalah penggambaran situasi tempat dan waktu serta suasana terjadinya peristiwa. Sudah tentu latar yang dikemukakan, yang berhubungan dengan sang tokoh atau beberapa tokoh (Suroto, 1989:94). Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:216), mengungkapkan bahwa setting dan latar disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Latar berfungsi sebagai pendukung alur atau perwatakan. Gambaran situasi yang tepat akan membantu memperjelas peristiwa yang sedang dikemukakan. Untuk dapat melukiskan latar yang tepat pengarang harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang keadaan atau waktu yang akan digambarkannya. Hal itu dapat diperoleh melalui pengamatan langsung, buku, atau informasi dari orang lain.

E. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah unsur lain yang terpenting dalam karya sastra. Di dalam sebuah cerita, seorang pengarang tentu berharap agar buah pikirannya dapat dipahami dan dinikmati pembacanya. Oleh karena itu, melalui imajinasinya pengarang berupaya memilih kata-kata yang ditata dalam rangkaian kalimat yang sederhana. Ia memadukan kata demi kata sehingga tercipta bahasa yang indah dan dapat menarik minat pembaca. Dengan kata lain, seorang pengarang


(23)

menggunakan gaya bahasa tersendiri didalam menyusun karyanya (Ruspata, 1990:49).

F. Sudut Pandang

Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:248), sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sudut pandang adalah tempat sastrawan membaca ceritanya. Dari sudut pandang itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.

Sudut pandang pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang digunakan sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.

Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dalam ceritanya.

2.1.2 Unsur Ekstrinsik Novel

Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada diluar tubuh karya sastra itu sendiri. Seperti yang telah dikemukakan di depan bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur luar sastra yang ikut mempengaruhi penciptaan karya sastra. Unsur-unsur tersebut latar belakang kehidupan pengarang, keyakinan dan pandangan hidup pengarang, adat istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik, persoalan sejarah, ekonomi, pengetahuan agama dan lain-lain (Suroto, 1989:138).


(24)

Unsur ekstrinsik untuk tiap bentuk karya sastra sama. Unsur ini mencakup berbagai aspek kehidupan sosial yang tampaknya menjadi latar belakang penyampaian tema dan amanat cerita. Seorang pengarang yang baik akan selalu mempelajari segala macam persoalan hidup manusia. Hal ini berkaitan dengan misi seorang pengarang yang selalu berhubungan dengan manusia dengan seluk-beluknya. Seorang pengarang yang kurang mengetahui dan kurang bisa menyelami kehidupan manusia dengan keunikan-keunikannya hanya akan menghasilkan sebuah karya yang hambar atau janggal.

Pengetahuan yang tidak kalah penting bagi seorang pengarang adalah ilmu jiwa. Dengan ilmu jiwa yang cukup memadai maka ia akan mampu menampilkan perwatakan yang pas. Dengan pengetahuan ilmu jiwa, pengarang akan menggambarkan gerak dan tingkah laku yang cocok dengan jiwa dan batinnya. Tidak hanya itu saja yang perlu diketahui. Pengetahuan sosial budaya suatu masyarakat, seluk-beluk kehidupan masyarakat modernpun perlu dipelajari. Pokoknya semua aspek kehidupan manusia dimana saja dan kapan sajaperlu diketahui guna menunjang keberhasilan sebuah cerita.

Selain unsur-unsur yang datangnya dari luar diri pengarang, hal-hal yang sudah ada dan melekat pada kehidupan pengarangpun cukup besar pengaruhnya terhadap terciptanya suatu karya sastra (Suroto, 1989:139).

2.2 Defenisi Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, sosio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti


(25)

ilmu. Jadi, sosiologis berarti ilmu mengenai asal–usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan intruksi. Akhiran kata tra berarti alat, sarana. Jadi sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar , buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik (Ratna, 2003:1-2).

Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya (Endraswara, 2008:77).

Secara institusional obyek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan obyek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala-gejala alam. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan mengasilkan kebudayaan. Perbedaannya, apabila sosiolog melukiskan kehidupan manusia dan masyarakat melalaui analisis ilmiah dan obyektif, sastrawan mengungkapkannya melalui emosi, secara subyektif dan evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas. Karena itu, Damono (1978:6-8), apabila ada dua orang sosiolog yang melakukan penelitian terhadap masalah suatu masyarakat yang sama, maka kedua penelitiannya cenderung sama. Sebaliknya, apabila dua orang seniman menulis mengenai masalah masyarakat


(26)

yang sama, maka hasil karyanya akan berbeda. Hakikat sosiologi adalah obyektivitas dan kreatifitas, sesuai dengan panjang masing-masing karangan. Karya sastra yang sama dianggap plagiat.

Karya sastra bukan semata-mata kualitas otonom atau dokumen sosial, melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan obyektif, tetapi kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai konstruksi sosial. Alat utama dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa sebab bahasa merupakan milik bersama, didalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial. Lebih-lebih dalam sastra, kenyataan bersifat interpretatif subyektif, sebagai kenyataan yang diciptakan. Pada gilirannya kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model, lewat mana masyarakat pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri. Karakterisasi tokoh-tokoh dalam novel misalnya, tidak diukur atas dasar persamaannya dengan tokoh masyarakat yang dilukiskan. Sebaliknya, citra tokoh masyarakatlah yang mesti meneladani tokoh novel, karya seni sebagai model yang diteladani. Proses penafsirannya bersifat bolak-balik, dwi arah, yaitu antara kenyataan dengan rekaan (Teew, 1984:224-249).

Sastra merupakan releksi lingkungan sosial budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialetik yang dikembangkan dalam karya satra. Itulah sebabnya memang beralasan jika penelitian sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya. Baik aspek bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasa lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu. Dalam hal ini, teks sastra


(27)

dilihat sebagai suatu pantulan zaman. Sekalipun aspek imajinasi dan manipulsi tetap ada dalam sastra, aspek sosial pun juga tidak bisa diabaikan. Aspek-aspek kehidupan sosial akan memantul penuh kedalam karya sastra.

Hal terpenting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari sini, tentu sastra tidak semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan sekedar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan. Kenyataan tersebut bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis.

Secara esensial sosiologi sastra adalah penelitian tentang: a. Studi ilmiah manusia dan masyarakat secara obyektif. b. Studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya.

c. Studi proses sosial. Yaitu bagaimana masyarakat mungkin, dan bagaimana mereka melangsungkan hidupnya.

Studi semacam itu secara ringkas merupakan penghayatan teks sastra terhadap struktur sosial. Aspe-aspek sosiologis yang terpantul dalam karya sastra tersebut, selanjutnya dihubungkan dengan beberapa hal, yakni:

a. Konsep stabilitas sosial.

b. Konsep kesinambungan dengan masyarakat yang berbeda.

c. Bagaimana seorang individu menerima individu lain dalam kolektifnya. d. Bagaimana proses masyarakat lebih berubah secara bertingkat.

e. Bagaimana perubahan besar masyarakat, misalnya dari feodalisme ke kapitalisme.


(28)

Pandangan yang amat populer dalam studi sosiologi sastra adalah pendekatan cermin. Melalui pendekatan ini, karya sastra dimungkinkan menjadi cermin bagi zamannya. Dalam pandangan Lowenthal (Laurenson dan Swingewood, 1972:16-17) sastra sebagai cermin nilai dan perasaan, akan merujuk pada tingkatan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang berbeda dan juga cara individu menyosialisasikan diri melalui struktur sosial. Perubahan dan cara individu bersosialisasi biasanya akan menjadi sorotan pengarang yang tercermin lewat teks. Cermin tersebut, menurut Stendal dapat berupa pantulan langsung segala aktifitas kehidupan sosial. Maksudnya, pengarang secara real memantulkan kedaaan masyarakat lewat karyanya, tanpa terlalu banyak diimajinasikan. Karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak mau akan menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya pengarang ingin berupaya untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembacanya.

2.2.1 Masalah Sosial

Pada umumnya masalah sosial ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang tidak inginkan oleh sebagian besar warga masyarakat. Hal itu disebabkan karena gejala tersebut merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan atau norma dan nilai serta standar moral yang berlaku. Lebih dari itu, suatu kondisi juga dianggap sebagai masalah sosial karena menimbulkan berbagai penderitaan dan kerugian baik fisik maupun non fisik (Soetomo, 1995:1).

Parillo dalam Soetomo (1995:4) menyatakan bahwa untuk dapat memahami pengertian masalah sosial perlu memahami 4 komponen yaitu:


(29)

1. Masalah itu bertahan untuk suatu periode waktu.

2. Dirasakan dapat menyebabkan berbagai kerugian fisik atau mental baik pada individu maupun masyarakat.

3. Merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar sosial dari suatu atau beberapa sendi kehidupan masyarakat.

4. Menimbulkan kebutuhan akan pemecahan.

Sementara itu tidak semua masalah dalam kehidupan manusia merupakan masalah sosial. Masalah sosial pada dasarnya adalah masalah yang terjadi dalam antar hubungan warga masyarakat. Dengan demikian menyangkut aturan dalam hubungan bersama baik formal maupun informal. Masalah sosial terjadi apabila: 1. Banyak terjadi hubungan antar warga masyarakat yang menghambat

pencapaian tujuan penting dari sebagian besar warga masyarakat.

2. Organisasi sosial mengahadapi ancaman serius oleh ketidakmampuan mengatur hubungan antar warga.

2.2.2 Klasifikasi Masalah Sosial

Masalah sosial yang akan dibicarakan pada bagian ini adalah kondisi yang terjadi setelah berlangsungnya suatu aktifitas pembangunan masyarakat. Mengingat bahwa gejala sosial merupakan fenomena yang saling kait mengait, maka tidak mengherankan bahwa perubahan yang terjadi pada salah satu atau beberapa aspek, dikehendaki atau tidak dikehendaki, dapat menghasilkan terjadinya perubahan pada aspek yang lain. Terjadinya, dampak yang tidak dikehendaki itulah yang kemudian dikategorikan kedalam masalah sosial (Soetomo, 1995:165).


(30)

Masalah sosial yang timbul itu bukan merupakan hal yang ikut direncanakan. Oleh sebab itulah maka lebih tepat disebut sebagai efek samping dari pembangunan masyarakat. Efek samping yang terjadi dapat bersumber dari dimensi sosial maupun fisik. Yang berasal dari dimensi sosial misalnya memudarnya nilai-nilai sosial masyarakat, merosotnya kekuatan berbagai pengikut norma-norma sosial sehingga menimbulkan bentuk perilaku menyimpang serta ketergantungan masyarakat terhadap pihak lain sebagai akibat sistem intervensi pembangunan yang kurang proporsional.

Dalam dimensinya yang bersifat fisik, efek samping dari proses pembangunan antara lain berupa masalah yang berkaitan dengan pencemaran dan kelestarian lingkungan. Hal ini menjadi masalah karena dalam jangka pendek akan membawa pengaruh pada keindahan, kerapian, keberhasilan, dana terutama pada kesehatan masyarakat. Sedangkan dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap kelangsungan proses pembangunan itu sendiri. Perubahan yang terjadi melalui proses pembangunan seringkali merupakan perubahan yang dipercepat dalam rangka mengatasi keterbelakangan dan kemiskinan segera mungkin. Dengan demikian, dapat dipahami apabila pembangunan juga akan menyebabkan perubahan lingkungan.

2.3 Kehidupan Keyakinan Minoritas di Dalam Masyarakat

Dalam kehidupan bermasyarakat, hampir dimana ada mayoritas, baik di bidang agama, ekonomi, moral, politik, dan sebagainya, yang minoritas lebih mudah ditindas dan lebih sering mengalami penderitaan karena tekanan oleh pihak mayoritas. Hubungan antar kaum mayoritas-minoritas sering menimbulkan


(31)

konflik social yang ditandai oleh sikap subyektif berupa prasangka dan tingkah laku yang tidak bersahabat (Schwingenschlögl, 2007).

Dalam kajian sosiologis, kelompok keagamaan adalah buah dari gerakan sosial, sehingga perilaku yang timbul dari individu di dalamnya sarat dengan simbol-simbol agama. Fenoma konflik sosial dalam hal menganut keyakinan beragama mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat agama pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan agama. Misalnya di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah yang beragama Islam sebagai kelompok mayoritas, sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang minoritas di dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga nampak kelompok Islam yang mayoritas merasa berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen sebagai kelompok minoritas sering mengalami kerugian fisik, seperti pengerusakan dan pembakaran gedung-gedung ibadat.

Seperti halnya dengan kisah Aomame. Aomame yang merupakan penganut agama Jemaat Saksi yang merupakan kelompok minoritas di lingkungannya, banyak mengalami perlakuan yang tidak baik dari lingkungan di sekitarnya. Baik itu di lingkungan dekat rumahnya maupun di lingkungan tempat Aomame bersekolah. Aomame sering mendapaat cemooh dari orang-orang maupun teman sekelasnya karena menganggap tingkah Aomame sangat aneh dan tidak wajar ketika sedang menjalankan perintah agamanya. Ketika Aomame dan ibunya berkeliling ke rumah-rumah penduduk untuk mengajak orang-orang agar mengikuti ajaran agama Jemaat saksi, Aomame dan ibunya malah dicaci maki dan


(32)

di hina-hina oleh orang-orang tersebut. Walaupun kelompok Aomame yang minoris sering mendapatkan perlakuan kasar dari masyarakat di sekitar tempat tinggal Aomame dan bahkan dikucilkan, mereka tidak pernah menyerah untuk mengajak orang-orang agar mengikuti ajaran Jemaat saksi.

2.4 Latar/Setting Novel 1Q84

Latar atau setting adalah tempat terjadinya peristiwa-peristiwa atau waktu berlangsungnya tindakan. Jadi peristiwa-peristiwa itu terjadi dalam latar tempat dan waktu (Pradopo dalam Sangidu, 2007:139). Latar dalam karya sastra tidak harus berbentuk realitas yang bersifat objektif, tetapi dapat juga berbentuk realitas yang bersifat imajinatif.

Latar di dalam novel “1Q84” karya Haruki Murakami meliputi setting tempat dan setting waktu. Latar tempat yang dimaksud adalah Tokyo yang merupakan ibu kota Jepang, sedangkan latar waktunya adalah sekitar tahun 1984. Selain itu, terdapat latar tempat yang lainnya, yaitu sebuah SD XX Kotapraja, disanalah tokoh utama menimba ilmu, dan mendapatkan perlakuan yang berbeda sebagai penganut “jemaat saksi” yang menjadi awal timbulnya permasalahan.

2.5 Riwayat Hidup Haruki Murakami dan Karya-Karyanya

A. Riwayat Hidup Haruki Murakami

Haruki Murakami adalah salah satu penulis novel kontemporer Jepang yang menggabungkan nilai-nilai tradisi Jepang dengan pengaruh budaya Amerika dan Eropa dalam setiap karya-karyanya. Murakami lahir di Kyoto pada tanggal 12 Januari 1949, tetapi dibesarkan di Ashiya, Hyogo. Kedua orang tuanya mengajarkan kebudayaan Jepang. Namun, Murakami lebih tertarik pada cerita


(33)

detektif Amerika dan cerita fiksi ilmiah. Murakami lebih lebih suka berada di kamar sambil mendengarkan musik jazz dan rock and roll Amerika, menonton acara televisi Amerika dan membaca novel Amerika. Pada tahun 1968 Murakami pindah ke Tokyo untuk melanjutkan studi Jurusan Drama Yunani di Universitas Waseda dan lulus tahun 1975.

Tahun 1974 Murakami bersama istrinya Yoko Takahashi membuka club jazz bersama Kokubunji di Tokyo yang mereka kelola hingga tahun 1981. Antara tahun 1986 hingga tahun 1989 Murakami tinggal di Yunani. Penulis produktif ini sempat mengajar di Universitas Princeton dan Universitas William Howard Taft. Setelah menghabiskan waktu di luar negeri, Murakami kembali ke Jepang tahun 1995. Murakami mulai menulis pada tahun 1970-an. Novel pertamanya Kaze no Uta o Kike (Dengarlah Nyanyian Angin). Hingga ini ia telah banyak mendapat penghargaan, diantaranya fraz Kafka dan Kiriyama Prize. Haruki Murakami merupakan salah satu kandidat penerima nobel kesusasteraan 2008. Karya-karyanya telah diterjemahkan dalam 36 bahasa di dunia dan membuahkan berbagai penghargaan prestius. Kini penulis yang hobi berlari marathon ini tinggal di Tokyo.

B. Karya-Karya Haruki Murakami

Haruki Murakami telah banyak menghasilkan karya-karya terkenal baik di Jepang maupun di dunia internasional. Namanya sudah tidak asing lagi dalam dunia kesusastraan dunia. Murakami mulai menulis novel pada tahun 1970. Berikut adalah karya-karya Haruki Murakami yaitu:

1. Kaze no Uta Kike – Hear the wind Sing (1979) –


(34)

3. Hitsuji o Meguru Boken – A Wild Sheep Chase (1982) 4. Zozo Kojo Ni Happiendo (1983)

5. Kangaru Biyori (1983)

6. Chugoku Iki no Surou Boto (1983) 7. Murakami Asahido (1984)

8. Nami no E, Nami no Hanashi (1984)

9. Hotaru Naya o Yaku Sonota no Tanpen (1984) 10.Kaiten Mokuba No Deddo Hito (1985)

11.Sekai no Owari to Hadoboirudo Wandarando (1985) 12.Hitsuji Otoko no Kurishimasu (1985)

13.Rangeruhansuto no Gogo (1986) 14.Panya Saishugeki (1986)

15.Murakami Asahido no Gyakushu (1986) 16.Noruwei no Mori (1987)

17.The Scrap Natsukashi no 1980 Nendai (1987) 18.Hi Izuru Kuni no Kojo (1987)

19.Za Sukotto Fitsugerarudo Bukku (1988) 20.Dansu, Dansu, Dansu (1988)

21.Murakami Asahido Haiho (1989) 22.Toi Taiko (1990)

23.Uten Enten (1990)

24.Murakami Haruki Zenshakuhin (1979-1989) 25.Kekyoh no Minami, Taiyo no Nishi (1992) 26.The Elephant Vanishes Stories (1993)


(35)

27.Nejimaki-Dori Kuronikuru (1994-1995)

28.Andaguraundo/Yakusoku Sureta Basho De (1997-1998) 29.Sapuuto Niko no Koibito (1999)

30.Kami no Kodomotachi wa Nuba Idoru (2000) 31.Umibe no Kafuka (2002)

32.Afutadaku (2004) 33.Tokyo Kitanshu (2005)

34.Blind Willow, Sleeping Woman (2006)

35.What I Talk About When I Talk About Running (2008) 36.Murakami Diary (2009)

2.6 Sinopsis Cerita Novel 1Q84

“1Q84” adalah sebuah novel karangan Haruki Murakami yang menceritakan tentang kisah kehidupan seorang wanita muda bernama Aomame dimana Aomame Masami mulai melihat kejanggalan dunia di sekitarnya. Aomame sadar tengah memasuki dunia yang penuh teka-teki, yang disebutnya 1Q84-Q kependekan question mark (tanda tanya). Dunia yang mengandung penuh dengan tanda tanya.

Aomame berasal dari keluarga yang menganut sekte keagamaan bernama “Jemaat Saksi“. Sekte agama kristen, mendukung eskatologi, melakukan kegiatan pengabaran Injil dengan giat, dan menganut apa yang tertulis di dalam Kitab Suci secara harfiah. Ayah Aomame, Aomame Takayuki (58 tahun), bekerja di perusahaan teknik, sedangkan ibu Aomame, Aomame Keiko (56 tahun), tidak bekerja. Kakak Aomame, Aomame Keiichi (34 tahun ), lulus SMA prefektur di


(36)

Ichikawa, lalu bekerja di percetakan Tokyo, namun mengundurkan diri tiga tahun kemudian, lantas bekerja di kantor pusat Jemaat Saksi di Odawara. Dalam ajaran agamanya, karena dengan alasan “diharamkan“ Aomame tidak pernah menghadiri acara natal, tidak pernah ikut tamasya atau darmawisata sekolah yang bertujuan mengunjungi altar pemujaan Shinto atau kuil Buddha. Tidak pernah ikut pesta olah raga, tidak pernah menyanyikan lagu sekolah maupun lagu kebangsaan, dan tidak protes kalau disuruh memakai pakaian bekas. Mau tidak mau, Aomame harus menuruti itu semua karena orang tuanya. Dan tingkah laku yang dianggap ekstrim seperti itu membuat Aomame semakin terkucil dari teman–teman sekelasnya.

Aomame sendiri memang bukan orang yang suka bergaul. Semasih duduk dibangku SD, Aomame hampir tidak pernah berbicara dengan teman sekelasnya. Lebih tepatnya, tak ada seorangpun yang mau berbicara dengan Aomame, kecuali ada urusan penting. Aomame diperlakukan seperti benda asing “kelihatan aneh sekali” dan seharusnya dibuang dan diabaikan. Aomame sendiri merasa perlakuan yang diterimya tidak adil. Hanya karena keadaan Aomame yang harus selalu mematuhi peraturan orang tuanya membuat Aomame benar-benar dikucilkan di sekolah. Teman-teman Aomame sebenarnya tidak mengetahui penyebab tingkah aneh Aomame, dan memang tidak ingin tahu dan memahami kondisi diri yang sedang dialami Aomame. Teman-teman sekelasnya jijik kepada Aomame, dan bahkan guru-gurunya jelas menganggap kehadiran Aomame merepotkan. Namun Aomame tidak pernah merasa menyerah dengan keadaannya. Walaupun Aomame dikucilkan oleh teman-temannya, Aomame tetap masuk sekolah setiap hari dan melakukan ritual-ritual yang diajarkan agamanya dengan penuh percaya diri yaitu


(37)

melakukan ritual doa sebelum makan dengan suara yang lantang. Karena kalau Aomame tidak melakukan ritual yang diajarkan agamanya dan bolos masuk sekolah, Aomame justru akan merasa kalah dari teman-teman sekelas dan gurunya.

Sebelum akhirnya Aomame memutuskan untuk pindah sekolah dan meninggalkan rumahnya, ada kejadian yang membuatnya lebih merasa nyaman berada di sekolah. Ketika sosok laki-laki teman sekelasnya yang bernama Tengo membantunya dari kejahatan yang dilakukan teman sekelasnya. Kejadian itu bermula ketika dalam pelajaran IPA, Aomame dibentak keras oleh teman sekelompoknya hanya karena Aomame membuat kesalahan dalam eksperimennya. Tengo yang melihat kejadian itu tanpa ragu-ragu dan secara spontan mengajak Aomame pindah ke kelompoknya tanpa mempedulikan reaksi teman sekelompok Aomame. Kemudian Tengo menjelaskan prosedur eksperimen secara seksama kepada Aomame, dan Aomame pun mendengarkan penjelasan Tengo dengan seksama sehingga Aomame tidak pernah membuat kesalahan sama lagi. Itulah pertama kalinya Aomame mendapat perlakuan baik dari teman sekelasnya. Pada sore yang cerah diawal Desember, Tengo dan Aomame sama-sama berada di dalam kelas. Tak ada orang lain. Pada saat itu, tanpa ada keraguan Aomame menyeberang ruang kelas dengan langkah cepat, menghampiri Tengo, lalu berdiri disampingnya. Kemudian Aomame menggenggam tangan Tengo, dan mendongak untuk menatap wajah Tengo, pandangan Tengo dan Aomame pun beradu. Genggaman tangan yang dilakukan Aomame terhadap Tengo berlangsung cukup lama namun tidak ada percakapan yang terjadi antara Aomame dan Tengo. Setelah itu Aomame melepaskan genggaman tangannya dan berlari kecil keluar


(38)

dari ruangan kelas. Kejadian itu terus membekas dalam hati dan pikiran Aomame dan berlalu begitu saja.

Ketika duduk di kelas 5 SD, Aomame memutuskan untuk memisahkan diri dari kedua orang tuanya dan ikut pamannya. Aomame merasa tidak sanggup mengikuti aturan-aturan yang diajarkan agamanya. Walau keluarga pamannya memahami keadaan Aomame, tetap saja Aomame merasa sebatangkara dan haus akan kasih sayang. Tanpa mengetahui kemana harus mencari tujuan dan makna hidup, Aomame melewati hari demi hari dengan hati yang hampa. Semasa SMP dan SMA, Aomame mengabdikan diri kepada olah raga sofbol dengan penuh semangat. Di SMP maupun SMA Aomame menjadi pemain inti di dalam timnya. Berkat kemampuannya yang bagus dalam bermain sofbol maupun kemampuannya yang lihai dalam mengatur strategi permainan, Aomame selalu dibanggakan dan dibutuhkan oleh timnya. Pada saat itulah Aomame merasa percaya diri dan bahagia karena kehadirannya dibutuhkan oleh orang lain.

Berkat kemampuan Aomame, semakin hari timnya menjadi kuat dan berhasil memenangkan pertandingan tingkat ibu kota Tokyo dalam kejuaraan Nasional tingkat SMA. Ketika SMA, Aomame memiliki sahabat bernama Tamaki. Mereka sama-sama pemain inti dalam olah raga sofbol. Tamaki sendiri berasal dari keluarga yang kaya, namun kedua orang tua Tamaki memiliki hubungan yang kurang baik sehingga membuat Tamaki sering mencari kebahagiaan di luar rumah. Salah satunya ikut bergabung dalam tim sofbol. Aomame dan Tamaki menjalin hubungan persahabatan yang sangat erat. Ketika memiliki waktu senggang, mereka berdua sering pergi bertamasya bersama. Setamat SMA, Aomame melanjutkan sekolah di Universitas Pendidikan Jasmani. Aomame mempelajari


(39)

ilmu kesehatan olah raga dan juga tertarik untuk mempelajari seni bela diri. Waktu Aomame dihabiskan untuk belajar. Tak ada waktu untuk iseng-iseng. Tamaki sendiri masuk Fakultas Hukum di Universitas Swasta. Sepekan sekali Aomame dan Tamaki bertemu dan berbincang-bincang tentang banyak hal. Namun pada musim gugur Tamaki kehilangan keperawanannya lebih tepatnya diperkosa. Kejadian itu membuat Tamaki sangat terpukul. Mengetahui kejadian yang menimpa sahabatnya, Aomame pun berusaha menghibur Tamaki. Aomame mengusulkan kepada Tamakai agar menghukum lelaki itu, namun Tamaki tidak setuju. Dalam hal membina hubungan kekasih Tamaki selalu gagal hingga suatu ketika Tamaki pernah melakukan aborsi dua kali. Sedangkan Aomame tidak pernah berpikir untuk memiliki kekasih karna alasan sibuk dengan kegiatan sehari-hari. Setelah mengantongi ijazah S1, Tamaki melanjutkan masuk program pasca-sarjana dan Aomame mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang memproduksi minuman energi dan makanan kesehatan. Seperti saat kuliah, Aomame dan Tamaki makan bersama di akhir pekan.

Ketika berusia 24 tahun, Tamaki menikah dengan laki-laki yang dua tahun lebih tua darinya. Hidup Tamaki pun semakin berantakan setelah menikah. Tamaki semakin jarang bertemu dengan Aomame. Mereka lebih sering berkomunikasi lewat surat. Suatu ketika Aomame menerima kabar bahwa sahabat terbaiknya bunuh diri. Ternyata sebelum bunuh diri Tamaki sempat menulis surat untuk Aomame yang mengatakan bahwa sebenarnya kehidupan pernikahannya bagaikan hidup dalam neraka. Tamaki sering mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Aomame pun merasa sangat sedih mengetahui sahabat karibnya sudah meninggal karena bunuh diri. Aomame merasa menyesal karena tidak bisa


(40)

melakukan apa-apa untuk menolong Tamaki. Saat itu Aomame tidak pernah menyukai lelaki manapun kecuali Tengo, lelaki yang digenggam tangannya oleh Aomame ketika berusia 10 tahun. Tidak berapa lama setelah kehilangan sahabatnya, Aomame berhenti bekerja dari perusahaan minuman energi. Kemudian Aomame kembali bekerja sebagai pelatih andal di pusat kebugaran kelas atas.

Saat mengajarkan kelas seni bela diri, Aomame bertemu seorang wanita tua dari Puri Dedalu. Wanita tua itu ikut kelas seni bela diri yang diajarkan oleh Aomame. Keesokan harinya Aomame menerima amplop yang berisikan bahwa wanita tua itu ingin Aomame mengajarkan private di rumahnya dan Aomame pun menerimanya. Dan saat itulah Aomame mulai merasa menaglami perubahan-perubahan yang aneh yang terjadi dalam hidupnya. Ternyata selain menjadi pelatih pribadi wanita tua itu, Aomame juga diminta menjadi pembunuh bayaran. Aomame diminta membunuh setiap lelaki yang memiliki catatan buruk yaitu suka menganiaya perempuan. Ketika Aomame sedang dalam perjalanan untuk melakukan tugasnya membunuh seorang laki-laki yang menganiaya isitrinya, Aomame banyak mengalami kejadian aneh di sekitarnya. Saat terjebak dalam kemacetan, di dalam taksi Aomame mendengarkan musik yang sebelumnya ia tidak pernah dengar namun tanpa sadar Aomame mengucapkan judul lagunya. Melihat Aomame yang sedang gelisah, sopir taksi menyarankan Aomame untuk menuruni tangga darurat yang berada di ujung jalan. Aomame pun menuruti saran sopir taksi. Aomame juga melihat polisi membawa revolver model lama. Aomame merasa sangat bingung dengan apa yang dialaminya. Keesokan harinya, Aomame mencermati makna dari lagu yang didengarnya dalam taksi, kemudian


(41)

berusaha mencari petunjuk tentang hubungan macam apa yang terjalin antara Aomame dengan musik sinfonietta yang didengarnya dalam taksi. Aomame berusaha membuat hipotesis untuk meyakinkan dirinya dengan apa yang sudah dialaminya. Aomame merasa berada di dunia baru. Dunia yang diberi nama 1Q84. Q adalah singkatan dari “question mark” tanda tanya. Dunia yang penuh dengan tanda tanya. Aomame juga melihat ada dua bulan di langit.

Aomame semakin banyak mengalami kesulitan dalam hidupnya ketika wanita tua itu memberikan tugas yang sangat berat dan beresiko tinggi. Aomame diminta untuk membunuh laki-laki yang menjadi seorang pemimpin dalam sekte keagaman. Semua keamanan dan resiko yang akan dialami Aomame sudah diperhitungkan ketika ia akan membunuh lelaki yang menjadi pemimpin dalam sekte keagamaan tersebut. Ketika Aomame ingin membunuh sang pemimpin, ternyata niatnya diketahui sang pemimpin. Namun lelaki itu tidak menghalangi niat Aomame, bahkan lelaki itu menyuruhnya agar Aomame segera menghabisi nyawanya. Aomame pun melanjutkan rencananya. Setelah Aomame berhasil membunuh sang pemimpin, ia langsung bersembunyi di tempat apartemen yang sudah disiapkan oleh wanita tua itu. Hari demi hari dilalui Aomame dengan bersembunyi di apartemen. Beberapa minggu setelah kejadian ketika Aomame membunuh sang pemimpin, Ia merasa ada sesuatu yang aneh di dalam perutnya. Aomame merasakan ada makhluk yang bernafas dalam perutnya. Ternyata Aomame hamil. Dan entah kenapa, Aomame merasa bahwa kehamilannya ada hubungannya dengan Tengo. Yaitu lelaki yang digenngam tangannya saat berusia 10 tahun. Aomame melakukan aktivitas seperti biasa setiap harinya. Pada malam


(42)

hari, Aomame memandang ke arah langit melihat dua bulan, dan tidak jauh dari apartemen Aomame ternyata Tengo juga sedang melihat ke arah langit.

Di dunia 1Q84 Aomame merasa akan dipertemukan dengan Tengo. Saat Aomame memandang ke arah langit, tiba-tiba ia melihat sosok laki-laki berada di taman dekat apartemennya. Entah kenapa Aomame merasa yakin bahwa lelaki yang dilihatnya itu adalah sosok Tengo yang sangat dicintainya ketika masih SD, bahkan sampai sekarang. Tiba-tiba sosok yang dilihatnya menghilang begitu saja. Berharap akan melihat lelaki itu lagi, setiap malam Aomame memandang kearah taman. Namun sosok itu tidak muncul lagi. Karena penasaran, Aomame berusaha mencari laki-laki yang dilihatnya di sekitar apartemen Aomame. Dan ia menemukan sebuah apartemen kuno berlantai 2. Aomame berusaha masuk ke dalam apartemen dan menaiki lantai 2. Ketika itu Aomame sangat terkejut dengan apa yang ditemukannya, yaitu papan nama yang bertuliskan Kawana Tengo yang menggantung di pintu. Aomame mencoba memencet bel namun tidak ada yang membuka pintu, dan akhirnya Aomame memutuskan untuk kembali lagi ke apartemennya. Aomame meminta bantuan kepada wanita tua itu agar menyelidiki lelaki yang berada di apartemen kuno itu. Dan setelah melakukan penyelidikan ternyata Kawana Tengo yang ada di apartemen kuno adalah Tengo yang dimaksud oleh Aomame. Aomame pun merasa sangat bahagia mendengar hal itu, ia merasa kehadiran Tengo semakin dekat dengannya. Lelaki yang disuruh oleh wanita tua untuk menyelidiki Tengo bernama Tamaru. Tamaru akhirnya bertemu dengan Tengo, dan ia memberitahukan keberadaan Aomame dan apa yang sedang dialami Aomame sekarang. Mendengar hal itu dari Tamaru, Tengo merasa sangat senang karena bisa bertemu lagi dengan wanita yang sangat dicintainya. Sejak kejadian


(43)

saat Aomame menggandeng tangan Tengo, ternyata mereka berdua saling jatuh cinta. Namun mereka harus terpisah selama 20 tahun dan dipertemukan kembali di tahun 1Q84. Tahun dimana banyak kejadian aneh yang susah untuk dipahami penyebabnya. Tamaru pun memberitahukan kepada Tengo tempat dimana Aomame ingin bertemu dengannya dan membawa barang yang diperlukan saja. Akhirnya tibalah saat yang ditunggu, Aomame pun bertemu dengan Tengo. Kemudian Aomame mengajak Tengo ke tempat dimana awal mula Aomame merasa mulai mengalami kejadian yang aneh setelah menuruni anak tangga saat terjebak dalam kemacetan. Aomame dan Tengo pun menuruni anak tangga dan menaiki anak tangga itu kembali. Aomame sangat yakin, dengan melakukan hal itu, mereka akan berada di dunia yang normal dunia 1984 bukan dunia 1Q84, dunia yang hanya ada satu bulan di langit bukan dunia yang ada dua bulan di langit. Dan saat Aomame dan Tengo berada di pinggir jalan, Aomame merasakan perubahan dengan tempat di sekitarnya. Aomame merasa sudah berada di dunia yang normal yaitu dunia yang hanya ada satu bulan. Kemudian Aomame dan Tengo menaiki taksi menuju ke tempat dimana orang lain tidak ada yang mengenalinya. Dan akhirnya Aomame dan Tengo hidup bersama dan bahagia selamanya.


(44)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Jepang adalah sebuah negara kepulauan di Asia Timur. Letaknya di ujung barat Samudera Fasifik, di sebelah timur Laut Jepang, dan bertetangga dengan Republik Rakyat Cina, Korea, dan Rusia. Jepang merupakan salah satu negara yang terkenal karena kemajuannya diberbagai bidang. Dalam bidang ekonomi dan teknologi, Jepang dikenal sebagai negara super power menyaingi bangsa barat. Dalam menjalani kehidupannya masyarakat Jepang didukung dengan fasilitas-fasilitas yang praktis dan canggih. Saat ini kehidupan masyarakat Jepang juga sudah banyak dipengaruhi oleh budaya barat. Namun, budaya tradisonal mereka juga tetap mereka jaga dan memberi pengaruh dalam setiap kehidupan masyarakat Jepang.

Selain teknologi, dalam bidang kesusastraan Jepang juga terus mengalami perkembangan. Jepang menghasilkan banyak karya sastra yang terkenal di dunia, hal ini terbukti dengan banyaknya sastrawan – sastrawan yang terkenal di dunia Internasional. Seperti Yasunari Kawabata, dimana prosa liriknya berhasil membuat ia memenangkan penghargaan nobel dalam sastra pada tahun 1968. Ia mejadi orang Jepang pertama yang memperoleh penghargaan tersebut(http://id.wikipedia.org/wiki/Yasunari.Kawabata).Kemudian sastrawan Kobayashi Takiji, Yokomitsu Tosikazu, Nakagawa Yoichi, dan Katoka Teppei. Mereka semua adalah sastrawan seangkatan pada periode akhir. Karya–karya


(45)

mereka diterjemahkan kedalam berbagai bahasa dan tersebar dibanyak negara. Selain itu, di Jepang juga banyak terdapat penghargaan–penghargaan yang dilaksanakan setiap tahunnya untuk menghargai para sastrawan.

Novel sebagai salah satu karya sastra di Jepang, sama seperti novel lainnya, merupakan karya fiksi tulis yang diceritakan secara panjang lebar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 1996 dalam Siswanto (2008 :141), novel diartikan sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat pelaku. Masalah yang dibahas tidak sekompleks roman. Biasanya novel menceritakan peristiwa pada masa tertentu. Bahasa yang digunakan lebih mirip bahasa sehari-hari. Meskipun demikian, penggarapan unsur-unsur intrinsiknya masih lengkap, seperti tema, plot, latar, gaya bahasa, nilai tokoh dan penokohan. Dengan catatan, yang ditekankan aspek tertentu dari unsur intrinsik tersebut.

Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya (Endraswara, 2008:77)

Dalam novel 1Q84 karya Haruku Murakami terdapat latar belakang kehidupan sosial pada tokoh utama yang berdampak dalam pembentukan karakter tokoh utama dan alur kehidupan yang dijalani sehari-hari akibat dari aturan orang tua tokoh utama yaitu Aomame.


(46)

Aomame berasal dari keluarga yang menganut sekte keagamaan bernama

“Jemaat Saksi“. Sekte agama kristen, mendukung eskatologi, melakukan kegiatan

pengabaran Injil dengan giat, dan menganut apa yang tertulis di dalam Kitab Suci secara harfiah. Dalam ajaran agama nya, karena dengan alasan “diharamkan” Aomame tidak pernah menghadiri acara natal, tidak pernah ikut tamasya atau darmawisata sekolah yang bertujuan mengunjungi altar pemujaan Shinto atau kuil Buddha. Tidak pernah ikut pesta olah raga, tidak pernah menyanyikan lagu sekolah maupun lagu kebangsaan. Mau tidak mau, Aomame harus menuruti itu semua karena orang tuanya. Dan tingkah laku yang dianggap ekstrim seperti itu membuat Aomame semakin terkucil dari teman–teman sekelasnya.

Aomame juga sering mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya karena disebabkan dengan arti namanya yang hampir

mirip dengan makna “kacang polong”. Aomame sering ditertawakan oleh teman -temannya ketika ia sedang memperkenalkan diri. Hal itulah yang membuat Aomame semakin malas untuk berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. Aomame lebih sering menyendiri dan berusaha untuk mengisi kegiatan sehari-harinya dengan beraktivitas seperti main softball dan latihan bela diri.

Hal inilah yang menjadi permasalahan tokoh utama dalam novel 1Q84. dapat pula dilihat bagaimana tokoh Aomame berusaha sekuat tenaga untuk bertahan hidup di lingkungan keluarga penganut sekte keagamaan yang membuat dia harus dikucilkan di lingkungan sekolah. Dari hal di atas maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana sikap dan tindakan yang diambil oleh Aomame dalam menghadapi lingkungan sosial di sekitarnya. Oleh karena itu penulis memilih judul Analisis Sosiologis Tokoh Utama Aomame dalam Novel 1Q84 Karya


(47)

Haruki Murakami” dengan harapan dapat memberikan pandangan dan informasi kepada pembaca mengenai kondisi sosial tokoh Aomame yang digambarkan Haruki Murakami dalam karya sastra yang telah melejitkan kepopulerannya itu.

1.2 Perumusan Masalah

Sesuai dengan judul proposal, yaitu “Analisis Sosiologis Tokoh Utama Aomame dalam Novel 1Q84 karya Haruki Murakami”, maka proposal ini akan membahas mengenai kondisi sosial tokoh dalam melalui hari-harinya.

Setiap orang memiliki kondisi sosial yang berbeda-beda dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Walaupun setiap orang mengalami dampak yang berbeda-beda dalam mengatasi permasalahan dalam kehidupannya. Ada yang dapat mengambil pelajaran dari pengalaman hidupnya. Misalnya dari kehidupan sosialnya yaitu di lingkungan masyarakat, keluarga, teman, dan lainya.

Dalam novel 1Q84 ini pengarang yaitu Haruki Murakami menyebutkan tokoh utama yaitu Aomame. Tokoh utama mengalami kondisi sosial yang berbeda dalam menjalani kehidupan kesehariannya maupun di lingkungan masyarakat. Tokoh Aomame adalah seorang penganut sekte keagamaan “Jemaat Saksi”. Aomame sering melakukan kebiasaan-kebiasaan aneh di sekolah yang membuat teman-teman sekelasnya merasa ketakutan. Misalnya, melantunkan doa khusus sebelum makan siang di sekolah.

Doa itu harus dilantunkan dengan suara lantang supaya dapat didengar semua orang yang ada di dalam ruangan. Tentu saja anak-anak lain merasa ngeri


(48)

terhadap doa itu. Dia juga tidak pernah ikut pesta olah raga, hal itu semua diharamkan untuk dilakukan menurut aturan agamanya.

Aomame juga sering mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya disebabkan dengan arti namanya yang hampir mirip

dengan makna “kacang polong”. Aomame sering ditertawakan oleh teman -temannya ketika ia sedang memperkenalkan diri. Hal itulah yang membuat Aomame semakin malas untuk berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. Aomame lebih sering menyendiri dan berusaha untuk mengisi kegiatan sehari-harinya dengan beraktivias seperti main softball dan latihan bela diri.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengangkat permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian skripsi ini, yaitu :

1. Bagaimana interaksi sosial tokoh Aomame dalam lingkungan masyarakat, keluarga dan sekolah ?

2. Bagaimana dampak kehidupan minoritas dalam lingkungan masyarakat ?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan-permasalahan yang ada, perlu adanya ruang lingkup dalam pembatasan masalah tersebut. Hal ini bertujuan agar penelitian ini tidak menjadi luas dan tetap terfokus pada masalah yang akan diteliti.

Penulis menggunakan novel 1Q84 karya Haruki Murakami dalam versi terjemahan bahasa Indonesia yang terdiri dari 556 halaman yang diterbitkan pada tahun 2013 oleh Gramedia.


(49)

Dalam analisis ini, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan yang difokuskan pada masalah sosiologi tokoh dalam novel 1Q84 jilid 3, yaitu hubungan interaksi sosial dengan keluarga, teman sekolah dan masyarakat. Serta dampak kehidupan sosialnya di masyarakat. Karena pada jilid 1 dan jilid 2 hanya ada sebagian pembahasan tentang interaksi sosial. Dalam novel 1Q84 diambil 10 cuplikan. 4 cuplikan membahas tentang hubungan Aomame dengan keluarga, 4 cuplikan membahas hubungan Aomame dengan orang lain, dan 2 cuplikan membahas hubungan Aomame dengan teman sekelas.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1. Tinjauan Pustaka

Novel diartikan sebagai Karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat pelaku. Masalah yang dibahas tidak sekompleks roman. Biasanya novel menceritakan peristiwa pada masa tertentu. Bahasa yang digunakan lebih mirip bahasa sehari-hari. Meskipun demikian, penggarapan unsur-unsur intrinsiknya masih lengkap, seperti tema, plot, latar, gaya bahasa, nilai tokoh dan penokohan. Dengan catatan, yang ditekankan aspek tertentu dari unsur intrinsik tersebut. (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1996 dalam Siswanto 2008:141).

Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan konvensi-konvensi yang


(50)

memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna. (Preminger dkk dalam Jabrohim, 2001:71).

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, sosio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologis berarti ilmu mengenai asal–usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan intruksi. Akhiran kata tra berarti alat, sarana. Jadi sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar , buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik (Ratna, 2003:1-2).

Maka dalam hal ini, penulis menggunakan pendekatan sosiologis sastra. Dimana sosiologis sastra merupakan cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat.

Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya


(51)

karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya (Endraswara, 2008:77).

2. Kerangka Teori

Dalam menganalisis suatu karya sastra diperlukan suatu pendekatan yang berfungsi sebagai acuan penulis dalam menganalisis karya sastra tersebut. Dalam menganalisis novel ini, penulis menggunakan pendekatan sosiologissastra dan pendekatan semiotik.

Sosiologis sastra merupakan cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya ( Endraswara, 2008:77 ).

Untuk melihat gambaran kehidupan sosioal suatu individu secara khusus dan masyarakat pada umumnya dalam sebuah karya sastra adalah dengan menggunakan disiplin ilmu yaitu sosiologi sastra.

Sosiologi dan sastra merupakan disiplin ilmu yang berbeda, kendati demikian sosiologi dan sastra walaupun mempunyai perbedaan tertentu namun sebenarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna-makna sosial melalui teks sastra.

Selain tinjauan sosiologi khususnya dilihat dari seni sastra berarti yang didasarkan pada hubungan antar manusia, hubungan antar kelompok, serta hubungan antar manusia dengan kelompok di dalam proses kehidupan


(52)

berupa cerpen ataupun novel. Dalam proses interaksi yang melibatkan anak dan remaja, terjadi proses sosialisasi. Sosialisasi inilah yang merupakan suatu kegiatan yang bertujuan agar pihak yang didik dan diajak kemudian mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dan dianut oleh masyarakat (Soerjono, 1990:63).

Dengan menggunakan teori sosiologis tersebut penulis dapat menganalisis kondisi sosial tokoh utama Aomame pada novel 1Q84 yang menyebabkan timbulnya masalah sosial. Salah satu contohnya adalah tokoh Aomame yang ingin menjalani kehidupannya sendiri namun tidak bisa terlepas dari kehidupan sosial masyarakat di sekitarnya.

Hoed dalam Nurgiyantoro (1995:40) berpendapat bahwa semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Tanda-tanda itu dapat berupa gerakan anggota badan, gerakan mata, mulut, bentuk tulisan, warna, bendera, bentuk dan potongan rambut, pakaian, karya seni sastra, patung, dan lain-lain yang berada di sekitar kita. Bahasa juga merupakan tanda. Dalam karya sastra bahasa digunakan sebagai tanda untuk menunjukkan suatu pemikiran, keadaan atau gejala sosial. Sehingga dalam meneliti sebuah novel pendekatan semiotik digunakan untuk melihat tanda-tanda yang ada dalam novel tersebut. Setelah mendapatkan tanda-tanda-tanda-tanda yang ada dalam sebuah novel, tanda-tanda itu akan dideskripsikan berdasarkan konteksnya, dan ditafsirkan maknanya.

Penulis menggunakan pendekatan semiotik karena mengetahui adanya persoalan-persoalan yang dialami tokoh utama Aomame selama menjalani


(53)

kehidupan dan berbaur dengan masyarakat sosial yang tidak semua bisa menerima kekurangannya hingga Aomame bisa mencapai tujuannya.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan interaksi sosial tokoh Aomame dalam lingkungan masyarakat, keluarga dan teman sekolah.

2. Untuk mengetahui dampak kehidupan minoritas dalam lingkungan masyarakat.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

2. Bagi peneliti dan masyarakat umum diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan mengenai sosiologis sastra dalam karya fiksi khususnya dalam novel 1Q84.

3. Bagi pembaca, dapat menambah bahan bacaan dan sumber penelitian serta bermanfaat bagi mahasiswa Jurusan Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya sebagai refrensi tentang analisis novel.


(54)

1.6 Metode Penelitian

Sebuah penelitian pasti menggunakan metode sebagai penunjang dalam mencapai tujuan. Metode ialah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Dalam menganalisis novel ini penulis menggunakan metode deskriftif. Menurut Ratna (2004:53) metode deskriftif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan, dengan maksud untuk menemukan unsurnya-unsurnya, kemudian dianalisis, bahkan juga diperbandingkan. Di dalam metode ini, penulis tidak hanya menguraikan, namun juga memberikan pemahaman dan penjelasan.

Dalam mengumpulkan data-data penelitian ini, penulis menggunakan teknik ilmu kepustakaan (Library Research), yaitu menyusuri sumber-sumber kepustakaan dengan cara membaca buku refrensi yang berkaitan dengan masalah yang akan dijelaskan. Selain memanfaatkan literatur yang berupa buku, penulis juga memanfaatkan teknologi internet, mengumpulkan data dari berbagai website yang berhubungan dengan materi penelitian.

Data yang diperoleh dari berbagai referensi tersebut kemudian dianalisa untuk mendapatkan kesimpulan dan saran. Teknik penelitian adalah dengan penelahaan terhadap buku-buku kepustakaan. Penulis mempelajari buku–buku tersebut kemudian menganalisis unsur-unsur ekstrinsik yang terkandung di alamnya, dan menginterpretasikannya ke dalam teks-teks cerita dari novel 1Q84.


(55)

ABSTRAK

Aomame berasal dari keluarga yang menganut sekte keagamaan bernama “Jemaat Saksi“. Sekte agama kristen, yang melakukan kegiatan pengabaran Injil dengan giat, dan menganut apa yang tertulis di dalam Kitab Suci secara harfiah. Dalam ajaran ini, Aomame tidak boleh menghadiri acara natal, tidak boleh ikut darmawisata sekolah yang bertujuan mengunjungi altar pemujaan Shinto atau kuil Buddha. Ia juga tidak pernah ikut pesta olah raga, tidak pernah menyanyikan lagu sekolah maupun lagu kebangsaan. Mau tidak mau, Aomame harus menuruti itu semua karena orang tuanya. Dan tingkah laku yang dianggap ekstrim seperti itu membuat Aomame semakin terkucilkan dari teman–teman sekelasnya.

Hubungan Aomame dengan orang tua maupun keluarga sangat tidak baik. Aomame memiliki kebencian yang sangat mendalam terhadap kedua orang tuanya. Orang tua Aomame selalu memerintahkan Aomame untuk melakukan segala sesuatu yang diajarkan sekte agama yang dianut oleh mereka tanpa memperdulikan perasaan Aomame. Sedari kecil Aomame mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Dia tidak pernah mendapatkan kebahagiaan ataupun sikap yang baik dari keluarganya seperti anak-anak lainnya. Dari kecil hingga dewasa Aomame sudah hidup sendiri tanpa adanya sentuhan kasih sayang dari orang tua maupun keluarganya sendiri. Aomame harus berjuang sendiri untuk bisa melanjutkan hidupnya. Aomame merasa takut jika ia memiliki anak tidak bisa memberikan kasih sayang yang seharusnya diperoleh ketika masih anak-anak. Kebencian Aomame pun berlanjut terhadap seorang yang berlaku kasar kepada orang lain. Terutama kepada laki-laki yang suka menganiaya istrinya ataupun kekasihnya. Jika dia melihat ada seorang laki-laki melakukan hal tersebut, maka dia tidak segan-segan akan menghabisi nyawa laki-laki tersebut. Aomame sangat membenci laki-laki yang tidak pernah menghargai atau menghormati wanita. Aomame sendiri sejak kecil sudah tidak memiliki teman dekat. Sikapnya yang aneh membuat teman-teman di sekolahnya menjauhi Aomame. Sejak kejadian itu Aomame menutup diri untuk tidak berteman dekat dengan siapa pun.

Dengan membaca novel 1Q84, dapat dilihat bagaimana keadaan seorang anak yang hidup dalam kelompok minoritas di lingkungan masyarakat. Dampak seseorang yang hidup dalam kelompok minoritas dalam lingkungan masyarakat adalah dikucilkan. Kaum minoritas mudah ditindas dan lebih sering mengalami penderitaan karena tekanan dari lingkungan sekitarnya. Salah satunya tokoh Aomame, yang mengalami diskriminasi sosial dan sering dicela teman-temannya dan masyarakat yang berada di lingkungan rumahnya. Perlakuan yang diterima Aomame sebagai penganut agama minoritas diantara mayoritas dari lingkungan sekolah maupun masyarakat tidaklah adil. Aomame hanya berusaha mematuhi aturan yang diajarkan agamanya maupun yang diperintahkan orang tuanya. Namun Aomame tetap semangat menjalani kehidupannya dan berjuang untuk dapat hidup normal dan bisa diterima di lingkungan sosialnya.


(1)

PENGESAHAN Diterima oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Ilmu BudayaUniversitas Sumatera Utara

Pada :

Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Dekan

Dr. Syahron Lubis, M.A, NIP : 195110131 1976 03 1 001

Panitia Ujian

No Nama Tanda Tangan

1. 2.


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkankan kehadirat Allah SWT atas nikmat dan karuniaNya sehinga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ANALISIS SOSIOLOGIS TOKOH UTAMA AOMAME DALAM NOVEL

“1Q84” KARYA HARUKI MURAKAMI. Meskipun proses pengerjaan skripsi

ini banyak diwarnai kesalahan, tetapi selalu ada harapan untuk bisa berubah dan berkarya lebih baik lagi untuk Tuhan, bangsa, keluarga, dan almamater Sastra Jepang USU.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak, baik bantuan moril maupun bantuan spiritual. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya, penghargaan serta penghormatan kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, antara lain kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dr. Siti Muharami M, S.S, M.Hum, selaku Dosen pembimbing I dan Bapak Mhd. Pujiono, S.S, M.Hum selaku Dosen pembimbing II yang telah meluangkan banyak waktu dan pemikirannya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini hingga selesai.


(3)

4. Dosen penguji skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk membaca dan menguji skripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua dosen-dosen dan staf-staf Fakultas Ilmu Budaya, khususnya dosen-dosen-dosen-dosen Sastra Jepang yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik.

5. Teristimewa penulis ucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda Pangadilan Nasution dan Ibunda Nur Hidayat Siregar S.pd yang telah banyak mencurahkan kasih sayangnya, doa dan perhatiannya kepada penulis. Dukungan dan pengorbanan yang begitu luar biasa yang Ayahanda dan Ibunda berikan kepada penulis tidak dapat digantikan oleh siapapun.

6. Kepada adik-adikku tersayang yang selalu memberikan semangat dan perhatian kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini(Masito, Intan, Mintana, Riska, Nanda, Fadly, Salwa).

7. Terima kasih juga buat keluarga besar Nasution dan keluarga besar Siregar yang telah memberikan banyak motivasi dan semangat buat penulis, dan terima kasih juga buat saudara-saudaraku yang telah memberi dukungannya dan doanya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 8. Teman-teman yang telah membantu dan memberi support kepada penulis

untuk menyelesaikan skripsi ini. Buat Mita yang selalu setia mendengarkan curahan hati penulis, buat Liza yang selalu mengingatkan penulis agar tetap menjalankan ibadah, buat Lela yang selalu jadi inspirasi untuk penulis karena sifatnya yang begitu tegas dalam mengerjakan apapun, dan buat Zita yang paling ceroboh namun selalu dapat menghibur penulis dalam keadaan suka


(4)

maupun duka. Teman-teman seperjuangan Sastra Jepang stambuk 2010 yang namaya tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Semoga kita dapat mengenang kebersamaan semasa kuliah antara satu sama lain. Serta buat teman-teman korasu(Liza, Zita, Puti, Cusyam, Helga, Vindo, Lim, Kak Icha, Kak Lara, Bang Ody, Bang Erick, dan Eden).

9. Terima kasih juga kepada para senpai-senpai dan kohai-kohai yang telah memberi semangat dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

10. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah membalas kebaikan kalian.

Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini, termasuk juga dalam penulisan skripsi ini. Namun penulis tetap mencari kesempurnaan tersebut dalam suatu nilai pekerjaan yang dilakukan secara maksimal. Oleh karena itu, penulis mengharapkan krikitik dan saran yang sifatnya membangun. Akhir kata semoga skripsi dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, 17 Januari 2015

Penulis

Silvina Riski Putri Nasution


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ··· i

DAFTAR ISI ··· iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ··· 1

1.2Perumusan Masalah ··· 4

1.3Ruang Lingkup Masalah ··· 5

1.4Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ··· 6

1.5Tujuan dan Manfaat Penelitian ··· 10

1.6Metode Penelitian 11 BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL, SOSIOLOGIS SASTRA, DAN RIWAYAT HIDUP HARUKI MURAKAMI 1.1Defenisi Novel ··· 12

1.1.1Unsur Intrinsik Novel ··· 14

1.1.2Unsur Ekstrinsik Novel ··· 20

1.2Defenisi Sosiologi Sastra··· 22

1.2.1 Masalah Sosial ··· 25

1.2.2 Klasifikasi Masalah Sosial ··· 26

2.3Kehidupan Keyakinan Minoritas di Dalam Masyarakat ··· 27

2.4Latar/Setting Novel 1Q84 ··· 29

2.5Riwayat Hidup Haruki Murakami dan Karya–Karyanya ··· 29


(6)

BAB III ANALISIS SOSIOLOGIS TOKOH AOMAME DALAM NOVEL 1Q84 KARYA HARUKI MURAKAMI

3.1 Analisis Sosiologis Tokoh Aomame ··· 41

3.1.1 Hubungan dengan Keluarga ··· 41

3.1.2 Hubungan dengan Orang Lain di Masyarakat ··· 45

3.1.3 Hubungan dengan Teman Sekolah ··· 47

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ··· 50

4.2 Saran ··· 51

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK