Studi Deskriptif Mengenai Self-Disclosure pada Pasangan Suami Istri Usia Pernikahan 0-5 Tahun di Gereja "X" Kota Bandung.

(1)

Universitas Kristen Maranatha Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tingkat derajat Self-Disclosure pada pasangan suami istri yang telah menikah 0-5 tahun di Gereja “X” Bandung. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. Populasi pada penelitian ini adalah pasangan suami-istri anggota dari Gereja

“X” Bandung, dengan menggunakan teknik sampling aksidental dengan 62 responden yang terpilih.

Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner yang disusun berdasarkan teori Self-Disclosure dari Devito Joseph (2001). Skor validitas berkisar antara (0,189 s/d 0,907) dan skor reliabilitasnya antara (0,771 s/d 0,868). Berdasarkan hal tersebut, dari 72 item terpilih terdapat 54 item yang valid. Validitas alat ukur ini menggunakan construct validity. Berdasarkan hasil analisis, didapatkan hasil bahwa 54,84% responden mempunyai Self-Disclosure tinggi dan 45,16% mempunyai Self-Disclosure rendah.

Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut mengenai keterkaitan antara Self-Disclosure dengan faktor-faktor pendukung. Pasangan yang mempunyai Self-Disclosure rendah, dapat mempertimbangkan untuk mendatangi biro konsultasi keluarga. Disaranan pada pengurus Gereja untuk memberikan materi komunikasi dalam relasi pernikahan saat menyelenggarakan kursus persiapan perkawinan. Pengurus Gereja hendaknya memberikan seminar tentang Self-Disclosure kepada pasangan yang usia pernikahannya dibawah 5 tahun.


(2)

Abstract

The purpose of this research is to describe about the degree of Self-Disclosure on married couples who have been married 0-5 years in Church

“X”, Bandung. The research uses descriptive research design. The population of the research is married couples members of Church “X” Bandung, using accidental sampling technique with 62 respondents has been chosen.

The instrument used is questionnaire constructed based on the theory of Self-Disclosure from Devito Joseph (2001). The validity scores range between (0,189 until 0,907) and the range of reliability is between (0,771 until 0,868). Based on that, from 72 selected items, there are 54 valid items. The validity of the measuring instrument uses construct validity. Based on data analyis, the result is

54,84% of respondents has high Self-Disclosure and 45,16% has low Self-Disclosure.

It is suggested to do a further research on the correlation between Self-Disclosure with supporting factors. The couples with low Self-Self-Disclosure can consider to visit family consultant bureaus. The church committees are suggested to give materials on communication in marriage relation while holding marriage preparation courses. The committees are also expected to give seminars about Self-Disclosure to couples with the age of marriage under 5 years.


(3)

iv

Universitas Kristen Maranatha

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi... iv

Daftar Tabel ... viii

Daftar Bagan ... ix

Daftar Lampiran ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Kegunaan Penelitian ... 11

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 11

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 11

1.5 Kerangka Pikir ... 12

1.6 Asumsi ... 20

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori Perkembangan Dewasa Awal ... 22

2.2 Definisi dan Perkembangan Keluarga... 23

2.2.1 Pernikahan dan Perkembangan Keluarga ... 23

2.3 Relasi Pasangan Suami Istri ... 25

2.4 Pengertian Komunikasi dan Self-disclosure ... 26

2.4.1 Pengertian Komunikasi ... 26

2.4.2 Pengertian Self-disclosure ... 26

2.5 Cara Melakukan Self-disclosure ... 28

2.6 Aspek-Aspek Self-disclosure ... 31

2.7 Faktor-faktor yang mempengaruhi Self-disclosure ... 33

2.8 Manfaat Melakukan Self-disclosure... 36


(4)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian ... 39

3.2 Bagan Desain Penelitian ... 39

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 40

3.3.1 Variabel Penelitian ... 40

3.3.2 Definisi Operasional ... 40

3.4 Alat Ukur ... 42

3.4.1 Sistem Penilaian ... 44

3.4.2 Pengkategorian Derajat Self-disclosure ... 45

3.4.3 Pengkategorian Derajat Aspek-Aspek Self-disclosure ... 45

3.4.4 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 45

3.5 Uji Coba Alat Ukur ... 45

3.5.1 Validitas Alat Ukur ... 45

3.5.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 46

3.6 Sasaran Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 47

3.6.1 Sasaran Populasi ... 47

3.6.2 Teknik Sampling ... 48

3.6.3 Karakteristik Sampel ... 48

3.7 Teknik Analisis Data ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden ... 50

4.1.1 Usia Responden ... 50

4.1.2 Jenis Kelamin ... 51

4.1.3 Usia Pernikahan ... 51

4.2 Hasil Penelitian ... 52

4.2.1 Derajat Self-disclosure ... 52

4.2.2 Tabulasi Silang Self-disclosure dengan Aspek-Aspek ... 53


(5)

vi

Universitas Kristen Maranatha

5.1 Kesimpulan ... 66

5.2 Saran ... 67

5.2.1 Saran Teoritis ... 67

5.2.2 Saran Praktis ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

DAFTAR RUJUKAN... 70 LAMPIRAN


(6)

DAFTAR TABEL

3.1 Tabel Gambaran Alat Ukur ... 43

3.2 Tabel Sistem Penilaian Kuesioner ... 44

3.3 Tabel Kategori Derajat Self-disclosure ... 45

3.4 Tabel Kategori Derajat Aspek-Aspek Self-disclosure ... 45

3.5 Tabel Reliabilitas Alat Ukur ... 47

4.1 Tabel Usia Responden ... 50

4.2 Tabel Jenis Kelamin ... 51

4.3 Tabel Usia Pernikahan ... 51

4.4 Tabel Derajat Self-disclosure ... 52

4.5 Tabel Tabulasi Silang Self-disclosure Dengan Aspek Motivasi ... 53

4.6 Tabel Tabulasi Silang Self-disclosure Dengan Aspek Kepatutan ... 54

4.7 Tabulasi Silang Self-disclosure Dengan Aspek SD Orang Lain ... 55


(7)

ix

Universitas Kristen Maranatha

Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran Self-disclosure... 21 Bagan 3.1 Bagan Desain Penelitian ... 39


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner

Lampiran 2. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur


(9)

1

Universitas Kristen Maranatha PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang baru tidaklah mudah, karena dibutuhkan adanya cinta, komitmen, serta rasa tanggung jawab dari setiap pasangan yang memutuskan untuk menikah. Adapun hakekat dari pernikahan itu sendiri menurut Undang-Undang pokok pernikahan No 1 Tahun 1974 LN 2019 dalam pasal 31 adalah sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam membentuk sebuah keluarga, pertama-tama diawali terlebih dahulu dengan ikatan pernikahan diantara pria dan wanita. Pasangan yang menikah terdiri dari dua orang yang mempunyai perbedaan di dalam berbagai hal, antara lain perbedaan latar belakang keluarga, perbedaan kepribadian, perbedaan dalam pola berfikir dan perbedaan dalam hal mengekspresikan emosi. Kathleen M. Galvin, (2003 hal.23-24), mengungkapkan tentang adanya perbedaan pola berpikir pasangan yang mengakibatkan pasangan suami istri mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri satu sama lain.


(10)

2

Adanya perbedaan dalam pola berpikir dapat membuat pasangan sulit menerima keadaan pasangannya secara personal, seperti yang diuraikan pada contoh di artikel hidup katolik berikut ini. Seorang istri yang telah menikah selama lima bulan, hidup bersama suaminya di rumah keluarga suami. Pada bulan ketiga diawal pernikahan pasangan tersebut mengalami perselisihan yang mengakibatkan istri kembali kepada orang tuanya. Hal tersebut terjadi akibat tindakan suami yang menggunakan tabungan milik bersama dalam jumlah yang besar tanpa berdiskusi terlebih dahulu pada istri. Istri sudah berusaha menemui suami untuk menyelesaikan masalah mereka. Namun suami tetap tidak ingin bertemu dengan istrinya. Istri yang merasa putus asa datang menemui seorang pastur untuk mencari jalan keluar atas permasalahannya tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara dengan peneliti, ketua seksi keluarga di Gereja “X” Bandung mengungkapkan bahwa permasalahan dalam menyesuaikan diri dengan pasangan biasanya terjadi pada usia pernikahan dibawah lima tahun atau di awal-awal usia pernikahan. Hal tersebut dialami juga oleh umat di gereja “X” di kota Bandung. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari ketua sie keluarga di gereja tersebut, pasangan suami istri pada dasarnya tetaplah terdiri dari dua orang yang berbeda walaupun sudah menjadi satu dalam ikatan pernikahan. Kepribadian yang berbeda dari setiap individu selama masa kehidupannya bersama keluarga asal, akan dibawa kepada keluarga baru yang dibinanya terutama dalam hal relasinya dengan pasangan hidup. Terdapat sebuah contoh permasalahan klien mengenai faktor ekonomi, ketika proses wawancara berlangsung.


(11)

Universitas Kristen Maranatha

Ada seorang pria yang memiliki dua orang adik perempuan dan seorang ibu yang harus diperhatikan oleh dirinya. Kemudian pria tersebut menikah dengan perempuan yang sudah lama dipacarinya dan sudah mengenal keluarganya, setelah menikah perempuan tersebut merasa ada yang tidak benar dengan suaminya karena suaminya tidak memeberitahukan pendapatan setiap bulannya. Istri menuduh bahwa suaminya mempunyai perempuan simpanan.

Pada saat suaminya bercerita pada biro tersebut, dia mengatakan bahwa dirinya selalu menyisihkan gaji perbulan untuk ibunya dan membantu adik perempuannya yang masih berkuliah, dia sendiri tidak berani mengungkapkan hal tersebut pada istrinya karena takut memicu pertengkaran. Hal ini menandakan bahwa suami tidak dapat bersikap terbuka dan jujur kepada istrinya, sedangkan tanpa adanya kejujuran dan keterbukaan diri terhadap pasangan maka hubungan yang dijalani tidak akan berjalan dengan baik dan bahkan akan memunculkan permasalahan baru.

Di dalam artikel Katolisitas, terdapat pula perbedaan yang dialami oleh pasangan suami istri yang sudah menikah selama lima tahun dan sudah memiliki dua anak, yaitu perbedaan pandangan mengenai cara mendidik anak-anak mereka. Perbedaan latar belakang diantara suami dan istri menjadi kunci dari permasalahan yang dihadapi. Keluarga besar dari suami menganut ajaran agama Budha, sedangkan keluarga besar istri menganut ajaran agama Katolik, namun mereka sepakat untuk menikah berdasarkan aturan gereja Katolik dan membangun keluarga berdasarkan ajaran Katolik. Perbedaan muncul saat memilih sekolah untuk anak-anak mereka. Istri memilih sekolah Katolik yang berkualitas baik


(12)

4

namun berjarak cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Sedangkan suami menginginkan anak-anaknya bersekolah dekat rumah yaitu sekolah khusus agama Budha. Alasan suami tidak setuju dengan istri adalah karena di sekolah Katolik tersebut tidak ada AC, sehingga merasa tidak seimbang antara biaya sekolah dengan fasilitas yang didapatkannya.

Perbedaan yang ada tersebut mengharuskan pasangan suami istri melakukan penyesuaian diri untuk mengenal lebih dalam pasangan hidupnya dan untuk memahami karakter dari pasangan. Proses dalam menjalani penyesuaian ini terbilang sulit karena dibutuhkan kemampuan berkomunikasi dua arah yang terjalin diantara kedua pasangan. Melalui komunikasi yang terbuka dan mendalam, maka setiap pasangan akan mengetahui kebutuhan dari pasangannya. Komunikasi seperti itulah yang dinamakan Self-Disclosure.

Self-Disclosure hanya dapat terjadi pada relasi yang bersifat intim, pasangan dapat menceritakan informasi yang bersifat rahasia dan personal apabila

sudah merasa percaya, aman dan nyaman. Menurut (Berger & Bradac, 1982),

Self-Disclosure dapat membantu dalam proses relasi di tahap awal dengan menceritakan hal-hal personal dari pasangan. Namun seiring berjalannya hubungan, Self-Disclosure lambat laun akan memudar keberadaanya.

Menurut (Derlega & Grzelak, 1979), Self-Disclosure merupakan proses pengungkapan diri sendiri terhadap orang lain dan segala hal yang bertujuan mengungkapkan rahasia kepada orang lain. Adanya Self-Disclosure yang tercipta dalam hubungan, membuat pasangan dapat memahami pola berfikir dan dapat memahami perasaan dari pasangannya.


(13)

Universitas Kristen Maranatha

Pada kenyataannya Self-Disclosure tidak mudah untuk dilakukan pada kehidupan pernikahan, dikarenakan adanya ketidakmampuan dari suami dan istri untuk menceritakan mengenai dirinya yang bersifat sangat personal dan rahasia pribadi yang dimilikinya. Hambatan yang ada pada Self-Disclosure akan menimbulkan kesulitan penyesuaian diri bagi para pasangan muda dalam hal pemikiran dan perasaan yang diungkapkannya, terlebih pada pasangan dengan usia pernikahan dibawah lima tahun yang harus melakukan penyesuaian dengan usaha lebih diawal usia pernikahannya. Data ini diperoleh berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan pengelola biro konsultasi keluarga di gereja “X” Kota Bandung.

Berdasarkan survey awal yang dilakukan kepada empat pasangan suami istri usia pernikahan dibawah lima tahun, yang dilakukan berdasarkan aspek-aspek dari Self-Disclosure yaitu motivasi, kepatutan melakukan Self-Disclosure,

Self-Disclosure orang lain dan beban yang mungkin ditimbulkan dari proses

disclosure. Didapatkan hasil sebagai berikut:

Dalam menyampaikan perasaan kepada suami, 4 dari 4 istri mengungkapkan bahwa sebelum menyampaikan perasaan dan pemikirannya hal pertama yang dilakukan adalah menetapkan tujuan yang ingin dicapai dari pengungkapan diri yang dilakukan kepada suami. Tujuan istri mengungkapkan diri kepada suami sangat beragam antara lain adalah untuk mengubah cara berpikir suami agar sejalan dengan cara berpikir istri, menyelesaikan permasalahan yang ada dalam rumah tangga, menyampaikan keinginan istri


(14)

6

kepada suami secara langsung, ingin dimengerti oleh suami serta ingin membuat hubungan suami istri semakin harmonis.

Selanjutnya terdapat 1 dari 4 suami yang melakukan Self-Disclosure

dengan tujuan agar istri dapat memahami keadaan suami serta berharap dengan menyampaikan yang dirasakan, relasi pernikahan diantara mereka akan lebih harmonis.

Selebihnya terdapat 3 dari 4 suami yang melakukan Self-Disclosure hanya sekedar mengungkapkan saja rasa tidak nyamannya kepada istri, ingin merasa lega dan tidak terbebani karena sudah menyampaikan perasaannya. Hal tersebut dilakukan suami tanpa ada maksud tertentu terhadap istri maupun terhadap relasi pernikahan mereka.

Saat melakukan Self-Disclosure, konteks tempat dapat mempengaruhi derajat kedalaman dari proses disclosure tersebut. Terdapat 2 dari 4 istri yang melakukan disclosure kepada suami di tempat-tempat umum seperti restoran dan

mall. Mengungkapkan perasaan yang bersifat negatif dan pribadi di tempat umum dinilai cara yang baik bagi mereka. Hal tersebut dilakukan karena mereka dapat merasa bebas mengungkapkan perasaannya dan ketika sampai di rumah perasaan sudah menjadi lega. Hanya saja mereka tidak terlalu mempedulikan kualitas dari

Self-Disclosure yang dilakukannya, karena yang menjadi fokus adalah merasa lega karena sudah menyampaikan yang dirasakan kepada pasangan.

Berbeda dengan pandangan 2 dari 4 istri yang memilih menyampaikan perasaannya kepada suami ditempat yang sepi seperti di rumah, di dalam mobil dan di kamar tidur. Pertemuan yang intens pada hari libur kerja menjadi salah satu


(15)

Universitas Kristen Maranatha

alasan istri untuk mengungkapkan perasaannya kepada suami di saat-saat berdua seperti di dalam rumah, di kamar tidur dan di suasana yang santai dengan memperhatikan situasi dan kondisi dari pasangan agar Self-Disclosure yang dilakukan dapat berkualitas dan mempunyai dampak yang baik bagi relasi diantara mereka.

Terdapat 1 dari 4 suami yang dapat melakukan Self-Disclosure dimana saja dan kapan saja yang diinginkan, sehingga yang disampaikan kepada pasangan bersifat jujur. Sedangkan 2 dari 4 suami biasanya bersikap terbuka kepada istri ditempat sepi dengan alasan membutuhkan privasi, terlebih apabila akan mengutarakan hal yang bersifat negatif dari dirinya. Tempat privasi menurut kedua suami tersebut adalah di rumah ketika sedang berdua saja, di dalam kamar tidur dan di dalam mobil.

Proses terjadinya Self-Disclosure akan berjalan dengan baik apabila terjadi reaksi timbal balik diantara pasangan. Dengan kata lain pada saat istri melakukan

Self-Disclosure maka suami melakukan hal yang sama setelah istri selesai berbicara. Menurut data yang diperoleh seluruh istri yang sudah melakukan Self-Disclosure reaksi dari suaminya adalah diam, menyimak perkataan istri, tersenyum bahkan tertawa dan menanyakan keinginan dari istri serta meminta petunjuk agar suami dapat melakukan yang di inginkan istri. Dengan kata lain, suami hanya memberikan respon-respon secara singkat dan tanpa diikuti dengan

Self-Disclosure yang dilakukan suami kepada istri sebagai tanda adanya reaksi timbal balik dalam proses Self-Disclosure.


(16)

8

Sedangkan 3 dari 4 suami yang melakukan Self-Disclosure reaksi dari istri adalah menyimak perkataan suami dan saat suami selesai berbicara istri akan mengatakan apa yang dirasakannya dan bagaimana pandangan dirinya mengenai topik yang dibicarakan oleh suami. Suami dapat mengetahui yang dirasakan dan di inginkan oleh istri dan proses Self-Disclosure berjalan dengan baik dengan adanya pengungkapan diri dari kedua pihak. Selanjutnya 1 dari 4 suami yang melakukan Self-Disclosure kepada pasangan mendapatkan reaksi yang pasif dari istrinya, dimana istri hanya menanggapi dan mendengarkan perkataan suami tanpa mengungkapkan apa yang dirasakan oleh dirinya sendiri.

Ketika Self-Disclosure dilakukan terdapat kemungkinan bahwa lawan bicara akan merasakan adanya beban perasaan tersendiri, oleh karena itu diperlukan adanya pertimbangan khusus mengenai beban yang mungkin ditimbulkan dari proses Self-Disclosure terhadap pasangan. Sebelum melakukan

Self-Disclosure kepada suami, 2 dari 4 istri mengutarakan bahwa dirinya tidak mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin terjadi akibat perkataannya terhadap suami karena istri hanya menyampaikan apa yang dirasakannya saja. Seorang istri mengatakan bahwa sebagai wanita sudah sewajarnya saja ingin dimengerti oleh suami, hal ini mungkin dipengaruhi oleh ego dari wanita sehingga terkadang tidak banyak berpikir mengenai perasaan suami.

Sedangkan 2 dari 4 istri mengungkapkan bahwa dirinya setiap akan mengutarakan yang dirasakan kepada suami selalu memperhatikan akibat yang mungkin terjadi dikemudian hari. Oleh karena itu sebelum mengutarakan isi hati


(17)

Universitas Kristen Maranatha

kepada pasangan, istri berusaha mencari kata-kata yang tepat agar suami dapat menerimanya dengan baik.

Seluruh suami berusaha untuk bersikap hati-hati ketika melakukan Self-Disclosure kepada istrinya agar tidak menimbulkan beban pikiran bagi istri. Alasan utama suami melakukan hal tersebut adalah adanya rasa takut dari diri suami bahwa istri keberatan dan tidak dapat menerima pengungkapan diri dari suami. Kemudian 1 dari 4 suami berusaha menjaga perasaan istrinya karena sedang menjalani program pemberian ASI dan agar istri dapat dengan fokus mengurus anak mereka.

Berdasarkan hasil survey awal yang telah dilakukan pada pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja “X” kota Bandung didapatkan gambaran bahwa, pada saat melakukan Self-Disclosure istri cenderung sudah mempunyai tujuan yang jelas terhadap relasi pernikahan dan terhadap pasangan, walaupun istri terlihat lebih ingin dimengerti sehingga suami yang harus menyesuaikan diri. Suami pada saat melakukan Self-Disclosure tidak mempunyai tujuan yang jelas terhadap hubungan dan terhadap pasangan, karena alasan suami melakukan Self-Disclosure hanya ingin merasa lega dan tidak terbebani dengan perasaannya. Berdasarkan konteks tempat dilakukannya Self-Disclosure, hanya sebagian suami dan istri yang dapat melakukan ditempat umum dan tidak memperhatikan kualitas dari Self-Disclosure yang dilakukannya tersebut. Namun sebagian lagi sudah melakukan Self-Disclosure ditempat yang bersifat privasi dan sudah memperhatikan kualitas dari Self-Disclosure yang dilakukannya.


(18)

10

Dilihat dari pengungkapan-diri orang lain atau konteks orang, istri belum memberikan kesempatan kepada suami untuk menyampaikan perasaannya setelah istri melakukan Self-Disclosure. Sedangkan suami setelah menyampaikan perasaannya kepada istri, cenderung memberikan istri kesempatan untuk melakukan Self-Disclosure. Terakhir berdasarkan beban yang ditimbulkan dari proses Self-Disclosure, istri cenderung tidak memikirkan dampak yang akan dialami suami dari proses Self-Disclosure yang dilakukannya namun istri akan berusaha mencari kata-kata yang tidak membuat suaminya tersinggung saat dirinya berbicara. Hal ini berbeda dengan suami yang selalu memikirkan akibat dari Self-Disclosure terhadap istri, suami merasa takut bahwa istrinya akan merasa tidak nyaman dan tersinggung atas pengungkapan-diri yang dilakukannya.

Self-Disclosure didalam pernikahan menjadi hal penting bagi pasangan suami istri untuk lebih mengenal dan membantu menyesuaikan diri dengan pasangannya. Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai derajat dari Self-Disclosure pada pasangan suami istri dengan usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja “X” kota Bandung

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka identifikasi masalah dari penelitian ini adalah ingin mengetahui bagaimana gambaran derajat

Self-Disclosure yang tercipta pada pasangan suami istri dengan usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja “X” kota Bandung.


(19)

Universitas Kristen Maranatha

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai

Self-Disclosure pada pasangan suami istri dengan usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja “X” kota Bandung.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah ingin memperoleh gambaran mengenai derajat Self-Disclosure pada pasangan suami istri dengan usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja “X” kota Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

1. Memberikan sumbangan bagi ilmu Psikologi Keluarga mengenai peran

Self-Disclosure terhadap penyesuaian diri pada pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun.

2. Memberikan informasi data kepada peneliti lain yang berminat untuk meneliti mengenai Self-Disclosure pada pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberikan informasi dan gambaran nyata kepada biro konsultasi keluarga di Gereja “X” mengenai kesulitan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun untuk melakukan Self-Disclosure kepada pasangannya, sehingga berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pihak biro konsultasi keluarga dapat mengadakan seminar mengenai pentingnya Self-Disclosure


(20)

12

2. Memberikan informasi kepada konselor pernikahan mengenai peran penting Self-Disclosure pada pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun, sehingga konselor dapat memberikan solusi berdasarkan permasalahan Self-Disclosure yang biasa terjadi pada pasangan suami istri yang baru menikah.

1.5 Kerangka Pikir

Pasangan suami istri dengan usia pernikahan 0-5 tahun dalam penelitian ini berusia antara 20-40 tahun dan berada pada tahap perkembangan dewasa awal. Pada tahap dewasa awal pasangan suami istri yang baru menikah mengalami ciri-ciri yang biasa dialami oleh individu lain pada tahap tersebut yakni ciri-ciri dalam hal fisik (Physically), ciri-ciri intelektual (Cognitive), serta ciri-ciri peran sosial (Social role), (Santrock, 1999).

Berdasarkan ciri-ciri dalam hal fisik, individu dengan rentang usia 20-40 tahun sudah ditandai dengan adanya perubahan suara, adanya rambut halus pada bagian tubuh tertentu, sudah terjadi menstruasi pada wanita dan sudah mempunyai kemampuan reproduksi.

Ciri-ciri intelektual mempunyai arti bahwa individu pada tahap dewasa awal sudah mampu berfikir abstrak, mampu menalar informasi dan mampu menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Adanya kemampuan tersebut dapat membuat individu memahami hal-hal yang disukai dan tidak disukai oleh pasangannya serta dapat membantu pasangan untuk saling menyesuaikan diri melalui informasi yang didapatkan dari proses komunikasi bersama pasangan.


(21)

Universitas Kristen Maranatha

Kemudian yang dimaksudkan dengan ciri-ciri peran sosial adalah individu yang sudah mempunyai pasangan di tahap dewasa awal akan membawa hubungannya ke jenjang pernikahan dengan tujuan membentuk dan memelihara kehidupan rumah tangga. Ciri-ciri yang harus diselesaikan individu tersebut secara psikologis dapat menimbulkan permasalahan bagi penyesuaian diri individu dengan kondisi sebelum dan sesudah menikah. Pasangan yang baru menikah selain mengalami kesulitan penyesuaian diri, mereka juga akan mendapat kesulitan dalam hal mengurus kehadiran anak pertama dan untuk memelihara keharmonisan di dalam keluarga yang baru dibentuknya.

Pada awal membentuk relasi dengan siapa pun diperlukan kemampuan komunikasi agar lawan bicara dapat memahami maksud dan tujuan pembicara sehingga satu sama lain dapat saling memahami. Hal serupa berlaku bagi relasi suami istri karena relasi yang tercipta diantara mereka dapat dikatakan relasi yang bersifat intim, oleh sebab itu dengan adanya komunikasi yang baik didalam pernikahan pasangan dapat saling memahami dan dapat saling beradaptasi satu sama lain. Pasangan dapat membina komunikasi yang baik dengan cara mengutarakan maksud dari pembicaraan dan menyampaikan perasaannya kepada pasangan dengan jujur. Peran komunikasi pada pasangan secara tidak langsung dapat mempengaruhi keharmonisan didalam keluarga.

Dalam bukunya (Duvall, 1977), mengungkapkan bahwa dalam pembentukan sebuah keluarga, setidaknya terdapat 8 tahap yang akan dilalui pada setiap tahap perkembangannya. Tahap-tahap perkembangan keluarga ini tidak berhubungan secara langsung dengan proses Self-Disclosure, namun turut


(22)

14

mempengaruhi. Pasangan yang baru menikah dan berada pada tahap pertama maka akan membutuhkan proses Self-Disclosure lebih dalam kepada pasangan agar dapat menyesuaikan diri dengan pasangannya. Tahapan yang dialami pada pasangan yang baru menikah adalah tahap married couple, dimana pada tahap ini keluarga baru saja terbentuk tanpa adanya kehadiran anak. Pada tahap awal pembentukan keluarga, terdapat tugas-tugas yang harus dilakukan oleh pasangan suami istri. Tugas tersebut antara lain adalah saling mendukung pasangan, menentukan tanggung jawab diri sendiri dan pasangan serta mampu menerima pasangan secara personal. Pasangan yang dapat melalui tugas pada tahap married couple diharapkan sudah mampu untuk menentukan dan melaksanakan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan terhadap perannya di dalam keluarga, bersikap saling mendukung dalam pengambilan keputusan dan mampu memahami serta menerima pasangan secara personal emosional dan sexual.

Tahap selanjutnya adalah childbearing families dimana pasangan suami istri telah dikaruniai anak pertama dan mempunyai tugas yang harus dilaksanakan seperti mengkaji ulang nilai dalam keluarga, menata ulang peran didalam keluarga dan mempersiapkan finansial. Pasangan yang dapat melalui tahap ini diharapkan sudah mampu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai baru yang tercipta dalam keluarga dan menempatkan diri sesuai peranan baru yang dijalankan setelah kehadiran anak dalam keluarga serta pasangan mampu mempersiapkan finansial mereka untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang sudah dikaruniai anak pertama. Suami akan menjalani peran sebagai ayah dan istri akan menjalani perannya


(23)

Universitas Kristen Maranatha

sebagai ibu, kemudian suami dan istri akan menjalankan perannya sebagai pasangan sekaligus orang tua bagi anak pertama mereka.

Tahap akhir yang dijalani oleh responden pada penelitian ini, adalah tahap

family with preschool children dimana pasangan suami istri sudah mempunyai anak usia balita dan sudah mulai bersekolah. Tugas-tugas yang hendaknya dapat dilakukan pada tahap ini adalah menanamkan nilai dan norma kehidupan (mendidik anak), membantu anak bersosialisasi dengan lingkungan dan mengenalkan kultur keluarga.

Sebagai pasangan yang baru menikah, dapat saja mengalami kesulitan dalam menerima pasangan secara personal. Pada tahap adaptasi diawal pernikahan dibutuhkan adanya komunikasi, komunikasi dapat membuat pasangan saling mengenal dan memahami lebih dalam satu sama lain. Adapun pemahaman dari komunikasi adalah sebuah proses pertukaran informasi dan pemahaman dari informasi yang disampaikan (Kathleen M. Galvin, 2004). Apabila proses pertukaran informasi dan pemahaman dari informasi tidak berjalan dengan baik, pasangan akan mengalami hambatan komunikasi di dalam relasi mereka. Proses menyampaikan isi pemikiran dan perasaan kepada pasangan didalam teori komunikasi disebut dengan Self-Disclosure. Di dalam komunikasi suami istri diperlukan adanya kesediaan untuk menyampaikan perasaan dan pemikiran yang sebenarnya kepada pasangan tanpa ada hal-hal yang ditutupi, dengan adanya kesediaan tersebut maka suami dan istri akan lebih memahami karakter dari pasangan hidupnya.


(24)

16

Self-Disclosure merupakan proses pengungkapan diri sendiri terhadap orang lain dan mengenai segala hal yang bertujuan untuk mengungkapkan rahasia kepada orang lain (Derlega & Grzelak, 1979). Proses penerapan Self-Disclosure

pada relasi awal pernikahan tidak mudah untuk dilakukan. Seperti seorang suami yang mendatangi biro konsultasi keluarga, mengalami kesulitan untuk melakukan

Self-Disclosure karena merasa takut akan menyakiti perasaan pasangannya dan karena tidak mampu melakukan Self-Disclosure maka relasi mereka menjadi tidak harmonis lagi. Istri menjadi hilang kepercayaan kepada suami dan berpikir bahwa suaminya mempunyai perempuan simpanan.

Secara garis besar terdapat 4 aspek yang tercakup dalam Self-Disclosure

(Derlega & Grzelak, 1979), yaitu aspek motivasi, aspek kepatutan melakukan

Self-Disclosure, aspek Self-Disclosure orang lain dan aspek beban yang ditimbulkan dari proses Self-Disclosure. Aspek motivasi adalah adanya rasa berkepentingan yang dimiliki terhadap relasi pernikahan, terhadap pasangan dan terhadap diri sendiri pada saat melakukan Self-Disclosure. Pasangan yang mempunyai motivasi tinggi akan menetapkan tujuan-tujuan positif yang jelas pada saat melakukan Self-Disclosure, seperti melakukan Self-Disclosure untuk mengenal pasangan dan bukan untuk menjatuhkan mental pasangan, dengan demikian Self-Disclosure dilakukan karena adanya rasa peduli terhadap rumah tangga yang dan adanya rasa peduli terhadap pasangan untuk menciptakan relasi pernikahan yang lebih harmonis. Ketika hal tersebut dapat dipenuhi oleh pasangan maka akan menghasilkan derajat motivasi yang tinggi didalam melakukan Self-Disclosure. Sementara apabila derajat motivasi rendah, pasangan suami istri tidak


(25)

Universitas Kristen Maranatha

mempunyai tujuan yang jelas atau bahkan mempunyai tujuan yang negatif terhadap pasangan saat melakukan Self-Disclosure, serta tidak adanya rasa berkepentingan terhadap relasi pernikahan.

Aspek kepatutan melakukan Self-Disclosure. Self-Disclosure sebenarnya dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja sesuai kenyamanan dari pasangan, hanya saja pasangan diharapkan melakukan Self-Disclosure di tempat yang privasi dan dengan memperhatikan kualitas dari Self-Disclosure yang dilakukan, hal ini menjadi penting agar pasangan mampu memahami dan menerima Self-Disclosure

yang dilakukan. Kepatutan melakukan Self-Disclosure dapat mempunyai derajat yang tinggi apabila pasangan mengungkapkan dirinya ditempat yang bersifat privasi, demi mendapatkan kualitas komunikasi yang dapat membuat pasangan memahami seutuhnya maksud dari Self-Disclosure yang dilakukan. Sementara itu, ketika proses Self-Disclosure dilakukan pada tempat yang ramai dan tidak memperhatikan kualitas pembicaraan yang dilakukan, maka derajatnya akan rendah.

Selanjutnya aspek Self-Disclosure orang lain, pada konteks ini

Self-Disclosure individu dapat dikatakan tinggi terhadap pasangannya apabila melakukannya berdasarkan kepentingan terhadap hubungan pernikahan dan bersedia untuk memberikan kesempatan bagi pasangan untuk melakukan Self-Disclosure mengenai perasaannya segera setelah individu tersebut melakukan

Self-Disclosure. Namun derajat dari Self-Disclosure orang lain bisa saja rendah apabila individu hanya melakukan Self-Disclosure demi kepentingan dirinya saja tanpa memberikan kesempatan pasangan untuk melakukan Self-Disclosure pada


(26)

18

waktu yang bersamaan. Apabila saat melakukan Self-Disclosure tidak memberikan kesempatan bagi pasangan maka komunikasi dan tujuan dari dilakukannya Self-Disclosure tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.

Aspek terakhir dari Self-Disclosure adalah beban yang mungkin saja ditimbulkan dari proses Self-Disclosure yang dilakukan terhadap pasangan. Dalam melakukan Self-Disclosure terdapat kemungkinan bahwa pasangan sulit menerima ungkapan-ungkapan yang kita sampaikan, oleh karena itu diperlukan adanya pertimbangan-pertimbangan tertentu dari pasangan sebelum melakukan Self-Disclosure. Derajat dari beban yang mungkin ditimbulkandapat dikatakan tinggi apabila individu telah memikirkan terlebih dahulu kemungkinan akibat yang akan terjadi terhadap hubungan dan terhadap relasinya dengan pasangan sebelum dirinya melakukan Self-Disclosure. Sedangkan derajat dari Self-Disclosure dapat dikatakan rendah apabila individu melakukan Self-Disclosure tanpa memikirkan dampak yang mungkin saja terjadi terhadap hubungan dan terhadap relasi dengan pasangannya.

Self-Disclosure dapat terjadi karena adanya faktor-faktor yang mendukung terjadinya Self-Disclosure di dalam ikatan pernikahan. Faktor tersebut adalah adanya perasaan saling menyukai dan mencintai diantara suami istri. Perasaan menyukai dan mencintai diantara pasangan dapat memberikan dorongan positif untuk melakukan Self-Disclosure dalam ikatan pernikahan. Pasangan yang memang saling mencintai dan saling menyukai akan lebih mudah untuk membuka hati saat berkomunikasi yang dapat membuat pasangan lebih memahami satu sama lain sehingga Self-Disclosure akan lebih mudah tercipta apabila


(27)

Universitas Kristen Maranatha

dibandingkan dengan pasangan yang tidak saling menyukai dan tidak saling mencintai.

Kemudian faktor berikutnya adalah adanya efek diadik. Efek diadik adalah efek timbal balik dimana pada saat suami melakukan Self-Disclosure, istri menyimak dengan baik dan dilanjutkan dengan Self-Disclosure yang dilakukan oleh istri terhadap suami sehingga pasangan tersebut sama-sama melakukan proses Self-Disclosure. Ketika mereka bersama-sama melakukan Self-Disclosure

tentang apa yang mereka rasakan, mereka akan mengerti keinginan dan perasaan dari pasangan masing-masing dan dengan begitu hubungan mereka akan semakin dekat dan harmonis. Faktor selanjutnya adalah adanya faktor kepribadian. Suami atau istri yang mempunyai kepribadian ekstrovert akan lebih mudah untuk melakukan Self-Disclosure daripada yang mempunyai kepribadian introvert. Dalam pernikahan, tidak semua pasangan suami istri mempunyai kepribadian yang serupa ekstrovert atau serupa introvert. Suami dengan kepribadian ekstrovert akan lebih mudah untuk melakukan Self-Disclosure dan cenderung akan mendominasi pembicaraan. Namun apabila suami memberikan kesempatan bagi istrinya yang mempunyai kepribadian introvert untuk melakukan Self-Disclosure,

hal tersebut dapat membuat istri berani dan mau untuk mengungkapkan dirinya kepada suami sehingga mereka dapat saling memahami satu sama lain.

Kemudian terdapat faktor tema dari topik pembicaraan. Individu akan cenderung terbuka kepada pasangan apabila melakukan Self-Disclosure mengenai hal-hal yang bersifat positif tentang dirinya, sedangkan individu akan menutup


(28)

20

diri untuk melakukan Self-Disclosure terhadap hal-hal yang bersifat negatif mengenai dirinya.

Faktor terakhir yang dapat mempengaruhi Self-Disclosure adalah faktor jenis kelamin. Wanita secara gender lebih sering melakukan Self-Disclosure

daripada pria, terlebih apabila wanita tersebut mempunyai skala maskulinitas yang rendah. Sedangkan pria pada umumnya akan lebih sulit melakukan Self-Disclosure terhadap pasangannya karena skala maskulinitasnya yang tergolong tinggi. Wanita dengan pria dapat melakukan Self-Disclosure terhadap pasangannya, hanya saja hal tersebut bergantung pada skala maskulinitas yang ada pada diri mereka. Misalkan seorang istri dengan karakter yang cuek atau kurang feminine, dia akan lebih sulit mengungkapkan perasaannya kepada pasangan dan hal ini berbanding terbalik pada wanita yang mempunyai karakter feminine yang akan lebih mudah menyatakan perasaannya kepada pasangan.

1.6 Asumsi

1. Dalam komunikasi suami istri, Self-Disclosure dapat mempengaruhi keharmonisan relasi pernikahan.

2. Relasi suami istri akan berjalan baik ketika mereka dapat menghayati pikiran dan perasaan pasangannya agar dapat saling memahami.

3. Semakin tinggi Self-Disclosure yang dilakukan pasangan semakin baik penyesuaian diri diantara pasangan.


(29)

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran

Universitas Kristen Maranatha

Pasutri usia perkawinan 0-5 tahun di Gereja “X” Bandung

Rendah

Self-Disclosure

Faktor-faktor Self-Disclosure : Perasaan menyukai, Efek diadik, Kepribadian, Topik dan Jenis Kelamin

Tinggi Aspek-aspek Self-Disclosure menurut Devito

(2001):

1. Motivasi Self-Disclosure

2. Kepatutan melakukan Self-Disclosure

3. Self-Disclosure Orang Lain

4. Beban yang Mungkin Ditimbulkan dari

Self-Disclosure

Tugas tahap childbearing families & married couple, (Duvall, 1977) :

married couple childbearing families Family with preschool children

Mendukung pasangan Mengkaji ulang nilai dalam keluarga

Menanamkan nilai & norma kehidupan (mendidik anak) Menentukan tanggung

jawab diri sendiri dan pasangan

Menata ulang peran didalam keluarga Membantu anak bersosialisasi dengan lingkungan Menerima pasangan secara personal Mempersiapkan finansial Mengenalkan kultur keluarga

Ciri-ciri pada tahap early adulthood,

(Santrock,1999) : 1. Physically

2. Cognitive


(30)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang Self-Disclosure

terhadap 31 pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja “X” Bandung, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Derajat Self-Disclosure pada pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja “X” Bandung memiliki hasil yang hampir berimbang.

2. Pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja “X” Bandung yang mempunyai Self-Disclosure tinggi, pada umumnya mempunyai derajat yang tinggi pula pada aspek motivasi, aspek kepatutan melakukan Self-Disclosure,

aspek Self-Disclosure orang lain dan aspek beban dari Self-Disclosure.

3. Faktor jenis kelamin memiliki kecenderungan keterkaitan dengan

Self-Disclosure pada pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja “X” Bandung. Hal ini terlihat dari Self-Disclosure istri lebih tinggi dibandingkan dengan Self-Disclosure pada suami.

4. Tidak didapatkan keterkaitan antara faktor perasaan menyukai, faktor efek diadik, faktor kepribadian dan faktor topik pembicaraan dengan derajat dari


(31)

Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka terdapat beberapa saran bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan diharapkan dapat memberikan manfaat.

5.2.1 Saran Teoritis

1. Peneliti lain dapat meneliti lebih lanjut mengenai keterkaitan antara

Self-Disclosure dengan faktor-faktor pendukung Self-Disclosure pada pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja “X” Bandung. 2. Peneliti lain dapat mencari fenomena lebih mendalam tentang pengaruh

Self-Disclosure pada pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja “X” Bandung.

3. Peneliti lain yang akan meneliti menggunakan teknik sampling aksidental, disarankan untuk membuat batasan terlebih dahulu mengenai jumlah responden penelitian dan juga memastikan jumlah dari populasi.

5.2.2 Saran Praktis

1. Disarankan untuk pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja “X” Bandung yang memiliki Self-Disclosure rendah, dapat menjadi pertimbangan untuk mendatangi biro konsultasi keluarga di Gereja “X” Bandung untuk meminta bantuan dari tenaga profesional Psikolog keluarga tentang hambatan yang dialami dalam rumah tangga. Pasangan suami istri yang memiliki Self-Disclosure rendah, dapat pula melakukan


(32)

68

sharing kepada pasangan suami istri yang memiliki Self-Disclosure tinggi agar mendapat pengetahuan baru tentang bagaimana caranya membuat komunikasi dengan pasangan agar berjalan lancar sehingga tercipta Self-Disclosure yang tinggi didalam relasi pernikahan.

2. Disarankan kepada pengurus seksi keluarga di Gereja “X” Bandung agar dapat memberikan materi yang mendalam mengenai Self-Disclosure saat KPP (kursus persiapan perkawinan) berlangsung. Pemilihan materi dapat difokuskan pada materi komunikasi dalam pernikahan. Hal ini dikarenakan, komunikasi merupakan modal awal bagi para pasangan suami istri yang baru menikah agar didalam relasi pernikahannya tercipta

Self-Disclosure yang tinggi.

3. Disarankan kepada pengurus seksi keluarga di Gereja “X” Bandung untuk memberikan seminar tentang Self-Disclosure pada pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun. Hal ini dapat dilakukan sebagai pembinaan atau pendampingan pada pasangan suami istri yang baru menikah agar dapat mempraktekan ilmu yang didapatkannya dari kegiatan seminar kedalam relasinya dengan pasangan.


(33)

69

Universitas Kristen Maranatha

Alma, Prof. Dr. Buchari, Metode dan Teknik Menyusun Tesis (Bandung: Alfabeta, 2013)

Baxter, L. (1985). Accomplishing relationship disengangement. In S. Duck & D. Perlman (Eds.), Personal relationships (pp.243-265). Beverly: Sage., R, K., & Swain, M. A. (1974).

Berg, J. H., Archer, R. L. (1983). The disclosure-liking relationship: Effects of self perception, order of disclosure, and topical similarity. Human Communication Research,10, 269-282.

Berger, C. R.,&Bradac, J.J (1982).Language and social knowledge: Uncertainty in interpersonal relations. London: Edward Arnold.

Chelune (Ed.), Self-disclosure(pp.151-176). San Francisco: Jossey-Bass

Derlega, V. J., &Grzelak, J. (1979).Appropriateness of self-disclosure.In G. J. Chelune (Ed.), Self-disclosure(pp.151-176). San Francisco: Jossey-Bass.

Derlega, V. J., Winstead, B. A., Wong, P. T. P., & Greenspan, M. (1987). Self disclosureand relationship development: An attributional analysis. In M. E. Roloff & G. R. Miller (Eds.), Interpersonal process: New directionsin communication research (pp.172-187). Newbury Park, CA: Sage.

Devito, A Joseph., Komunikasi Antar Manusia (Tangerang: Kharisma Publishing Group, 2001)

Galvin, Kathleen M. dkk (2004). Family Communication-sixth edition. USA : Pearson Education, Inc

Murdock, George Peter. 1965. Social Structure. The Free-Press, New York.

Raush, H. L., Barry, W. A., Hertel, R. K., Communication conflict and marriage.


(34)

Santrock, John W., Life Span Development (New York: McGraw-Hill Book Company, 2004)

Sudjana, D. (1993). Metode Statistika. Bandung: Tarsito

Wheeless, L. R., & Grotz, J. (1977). The measurement of trust and its relationship to self-disclosure. Human Communication Research 3, 250-257.


(35)

70

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Gara-gara uang, suami ngambek

http://m.hidupkatolik.com//2013/10/25/gara-gara-uang-suami-ngambek (diakses pada tanggal 5 November 2013)

Karakteristik Perkembangan Masa Dewasa

http://rinayunanta.blogspot.com/2012/01/karakteristik-perkembangan-masa-dewasa.html (diakses pada tanggal 10 Oktober 2013)

Makalah Psikologi Perkembangan Dewasa

http://my-lieza.blogspot.com/2014/02/makalah-psikologi-perkembangan-dewasa.html (diakses pada tanggal 20 Januari 2014)

Teori Perkembangan Kognitif

http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_perkembangan_kognitif (diakses pada tanggal 21 Januari 2014)

Tahap Dan Tugas Perkembangan Keluarga

ilmugreen.blogspot.com/2012/06/tahapan-dan-tugas-perkembangan-keluarga.html?m=1 (diakses pada tanggal 10 Agustus 2014)

Perbedaan Cara Mendidik Anak

Katolisitas.org/5518/hubungan-suami-istri-yang-tawar (diakses pada tanggal 10 Agustus 2014)


(1)

66

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang Self-Disclosure terhadap 31 pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja “X” Bandung, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Derajat Self-Disclosure pada pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja “X” Bandung memiliki hasil yang hampir berimbang.

2. Pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja “X” Bandung yang mempunyai Self-Disclosure tinggi, pada umumnya mempunyai derajat yang tinggi pula pada aspek motivasi, aspek kepatutan melakukan Self-Disclosure, aspek Self-Disclosure orang lain dan aspek beban dari Self-Disclosure.

3. Faktor jenis kelamin memiliki kecenderungan keterkaitan dengan Self-Disclosure pada pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja

“X” Bandung. Hal ini terlihat dari Self-Disclosure istri lebih tinggi dibandingkan dengan Self-Disclosure pada suami.

4. Tidak didapatkan keterkaitan antara faktor perasaan menyukai, faktor efek diadik, faktor kepribadian dan faktor topik pembicaraan dengan derajat dari Self-Disclosure pada responden penelitian .


(2)

67

Universitas Kristen Maranatha

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka terdapat beberapa saran bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan diharapkan dapat memberikan manfaat.

5.2.1 Saran Teoritis

1. Peneliti lain dapat meneliti lebih lanjut mengenai keterkaitan antara Self-Disclosure dengan faktor-faktor pendukung Self-Disclosure pada pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja “X” Bandung. 2. Peneliti lain dapat mencari fenomena lebih mendalam tentang pengaruh

Self-Disclosure pada pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja “X” Bandung.

3. Peneliti lain yang akan meneliti menggunakan teknik sampling aksidental, disarankan untuk membuat batasan terlebih dahulu mengenai jumlah responden penelitian dan juga memastikan jumlah dari populasi.

5.2.2 Saran Praktis

1. Disarankan untuk pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja “X” Bandung yang memiliki Self-Disclosure rendah, dapat menjadi pertimbangan untuk mendatangi biro konsultasi keluarga di Gereja “X” Bandung untuk meminta bantuan dari tenaga profesional Psikolog keluarga tentang hambatan yang dialami dalam rumah tangga. Pasangan suami istri yang memiliki Self-Disclosure rendah, dapat pula melakukan


(3)

68

Universitas Kristen Maranatha sharing kepada pasangan suami istri yang memiliki Self-Disclosure tinggi agar mendapat pengetahuan baru tentang bagaimana caranya membuat komunikasi dengan pasangan agar berjalan lancar sehingga tercipta Self-Disclosure yang tinggi didalam relasi pernikahan.

2. Disarankan kepada pengurus seksi keluarga di Gereja “X” Bandung agar dapat memberikan materi yang mendalam mengenai Self-Disclosure saat KPP (kursus persiapan perkawinan) berlangsung. Pemilihan materi dapat difokuskan pada materi komunikasi dalam pernikahan. Hal ini dikarenakan, komunikasi merupakan modal awal bagi para pasangan suami istri yang baru menikah agar didalam relasi pernikahannya tercipta Self-Disclosure yang tinggi.

3. Disarankan kepada pengurus seksi keluarga di Gereja “X” Bandung untuk memberikan seminar tentang Self-Disclosure pada pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun. Hal ini dapat dilakukan sebagai pembinaan atau pendampingan pada pasangan suami istri yang baru menikah agar dapat mempraktekan ilmu yang didapatkannya dari kegiatan seminar kedalam relasinya dengan pasangan.


(4)

69

DAFTAR PUSTAKA

Alma, Prof. Dr. Buchari, Metode dan Teknik Menyusun Tesis (Bandung: Alfabeta, 2013)

Baxter, L. (1985). Accomplishing relationship disengangement. In S. Duck & D. Perlman (Eds.), Personal relationships (pp.243-265). Beverly: Sage., R, K., & Swain, M. A. (1974).

Berg, J. H., Archer, R. L. (1983). The disclosure-liking relationship: Effects of self perception, order of disclosure, and topical similarity. Human Communication Research,10, 269-282.

Berger, C. R.,&Bradac, J.J (1982).Language and social knowledge: Uncertainty in interpersonal relations. London: Edward Arnold.

Chelune (Ed.), Self-disclosure(pp.151-176). San Francisco: Jossey-Bass

Derlega, V. J., &Grzelak, J. (1979).Appropriateness of self-disclosure.In G. J. Chelune (Ed.), Self-disclosure(pp.151-176). San Francisco: Jossey-Bass.

Derlega, V. J., Winstead, B. A., Wong, P. T. P., & Greenspan, M. (1987). Self disclosureand relationship development: An attributional analysis. In M. E. Roloff & G. R. Miller (Eds.), Interpersonal process: New directionsin communication research (pp.172-187). Newbury Park, CA: Sage.

Devito, A Joseph., Komunikasi Antar Manusia (Tangerang: Kharisma Publishing Group, 2001)

Galvin, Kathleen M. dkk (2004). Family Communication-sixth edition. USA : Pearson Education, Inc

Murdock, George Peter. 1965. Social Structure. The Free-Press, New York.

Raush, H. L., Barry, W. A., Hertel, R. K., Communication conflict and marriage. San Francisco: Jossey-Bass.


(5)

69

Santrock, John W., Life Span Development (New York: McGraw-Hill Book Company, 2004)

Sudjana, D. (1993). Metode Statistika. Bandung: Tarsito

Wheeless, L. R., & Grotz, J. (1977). The measurement of trust and its relationship to self-disclosure. Human Communication Research 3, 250-257.


(6)

70

DAFTAR RUJUKAN

Gara-gara uang, suami ngambek

http://m.hidupkatolik.com//2013/10/25/gara-gara-uang-suami-ngambek (diakses pada tanggal 5 November 2013)

Karakteristik Perkembangan Masa Dewasa

http://rinayunanta.blogspot.com/2012/01/karakteristik-perkembangan-masa-dewasa.html (diakses pada tanggal 10 Oktober 2013)

Makalah Psikologi Perkembangan Dewasa

http://my-lieza.blogspot.com/2014/02/makalah-psikologi-perkembangan-dewasa.html (diakses pada tanggal 20 Januari 2014)

Teori Perkembangan Kognitif

http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_perkembangan_kognitif (diakses pada tanggal 21 Januari 2014)

Tahap Dan Tugas Perkembangan Keluarga

ilmugreen.blogspot.com/2012/06/tahapan-dan-tugas-perkembangan-keluarga.html?m=1 (diakses pada tanggal 10 Agustus 2014)

Perbedaan Cara Mendidik Anak

Katolisitas.org/5518/hubungan-suami-istri-yang-tawar (diakses pada tanggal 10 Agustus 2014)