Studi Deskriptif Mengenai Kepuasan Pernikahan pada Istri Pasangan Commuter Marriage di Gereja "X" Kota Bandung.

(1)

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kepuasan istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung terhadap pernikahannya. Pasangan commuter marriage adalah pasangan suami istri yang menjalani hubungan jarak jauh di mana salah satu pasangan berdomisili di kota berbeda dan pulang kembali ke Bandung pada waktu tertentu saja.

Pemilihan populasi menggunakan metode populasi dengan jumlah populasi responden sebanyak 39 orang. Alat ukur dikonstruksikan berdasarkan teori Kepuasan Pernikahan dari Fowers dan Olson (1989) yang terdiri dari 60 item. Data yang diperoleh diolah menggunakan deskriptif analisis. Pada penelitian ini uji validitas menggunakan metode Correlation Coefficient Spearman dengan rata-rata validitas adalah 0,71 dan menggunakan uji reliabilitas Alpha Cronbach dengan perolehan reliabitas 0,80.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, 23 responden (58,97%) menghayati puas pada pernikahannya. Sedangkan 16 responden (41,03%) menghayati tidak puas pada pernikahannya. Kesimpulannya, sebagian besar istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung menghayati puas pada pernikahannya.

Peneliti menyarankan kepada konselor Gereja “X” Kota Bandung untuk dapat memberikan bimbingan dan pengarahan secara langsung maupun melalui suatu seminar atau retreat kepada istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung, terutama kepada istri pasangan commuter marriage di Gereja”X” Kota Bandung yang menghayati tidak puas pada pernikahan.


(2)

ix ABSTRACT

This study was conducted to describe the wife’s satisfaction commuter couples marriage against their marriage at Gereja “X” Kota Bandung. Commuter marriage couple is a spouse that one of the spouse is located in different place, in which the spouse visits the family at certain time.

Sample choosed by Population method, consist of 30 person. This study using descriptive research studies. Measurement instrument are constructed based on Marital Satisfaction Theory by Fowers and Olson (1989) consist of 60 items. Collected data were processed by descriptive analysis. In this study, using the Correlation Coefficient Spearman method with an average validity was 0.71 and the formula of Alpha Cronbach reliability of 0,80.

Based on the statistical data processing, we can see that 23 respondent (58,97%) were satisfied with their marriage and 16 respondent (41,03%) were not satisfied with their marriage life. According to research conclusion that majority of wife commuter marriage at Gereja “X” Kota Bandung were satisfied with their marriage.

Researcher’s suggetion to Gereja “X” Kota Bandung counselor to give more counseling, directly or through a seminar or retreat to the wife of the couple commuter marriage. It’s especially given to the wife of the couple commuter marriage in the Gereja "X " Kota Bandung that live with dissatisfied in marriage .


(3)

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN... ii

PERNYATAAN URISINALITAS LAPURAN PENELITIAN... iii

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPURAN PENELITIAN ... iv

KATA PENGANTAR... v

ABSTRAK... viii

ABSTRACT... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xvi

DAFTAR BAGAN... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...1

1.2 Identifikasi Masalah...9

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian...10

1.3.1 Maksud Penelitian...10

1.3.2 Tujuan Penelitian...10

1.4 Kegunaan Penelitian...10

1.4.1 Kegunaan Teoritis...10

1.4.2 Kegunaan Praktis...10

1.5 Kerangka Pemikiran...11


(4)

xi BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepuasan Pernikahan...26

2.1.1 Pengertian Pernikahan...26

2.1.2 Pengertian Kepuasan Pernikahan...26

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan...28

2.1.4 Aspek-aspek Kepuasan Pernikahan...29

2.1.5 Kriteria Kepuasan Pernikahan...33

2.2 Commuter Marriage...34

2.2.1 PengertianCommuter Marriage...34

2.2.2 KarakteristikCommuter Marriage...35

2.2.3 Karakteristik Pernikahan dan KeluargaCommuter...36

2.2.4 Kelebihan dan Kelemahan pada PasanganCommuter Marriage...37

2.2.5 Kepuasan Pernikahan pada PasanganCommuter Marriage...39

2.3 Masa Dewasa Awal...41

2.3.1 Perkembangan Fisik Dewasa Awal...41

2.3.2 Perkembangan Kognitif...41

2.3.3 Karier dan Kerja...42

2.4 Wanita Jawa...43

BAB III METUDULUGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian...44

3.2 Variabel Penelitian, Definisi Konseptual, dan Definisi Uperasional...45


(5)

3.2.3 Definisi Uperasional...45

3.3 Alat Ukur...47

3.3.1 Alat Ukur Kepuasan Pernikahan...47

3.3.2 Prosedur Pengisian...48

3.3.3 Kisi-kisi Alat Ukur...48

3.3.4 Sistem Penilaian...51

3.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur...52

3.4.1 Validitas Alat Ukur...52

3.4.2 Reliabilitas Alat Ukur...53

3.4.3 Data Primer dan Data Penunjang...53

3.5 Populasi Sasaran dan Teknik Penarikan Sampel...54

3.5.1 Populasi Sasaran...54

3.5.2 Karakteristik Populasi...54

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel...54

3.5.4 Teknik Analisis Data...54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Populasi Penelitian...56

4.1.1 Berdasarkan Usia Pernikahan...56

4.1.2 Berdasarkan Jumlah Anak...57

4.1.3 Berdasarkan Tingkat Pendidikan Sebelum Menikah...57


(6)

xiii

4.2.1 Gambaran Kepuasan Pernikahan...58

4.2.2 Gambaran Tabulasi Silang antara Kepuasan Pernikahan dengan Aspek Kepuasan Pernikahan...59

4.3 Pembahasan...68

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan...87

5.2 Saran...88

5.2.1 Saran Teoritis...88

5.2.2 Saran Praktis...89

DAFTAR PUSTAKA...90

DAFTAR RUJUKAN...92 LAMPIRAN


(7)

Tabel 3.1 Skala Alat Ukur Kepuasan Pernikahan...47 Tabel 3.2 Kisi-kisi Alat Ukur Kepuasan Pernikahan………...48 Tabel 3.3 Nilai pada Pilihan Jawaban...52 Tabel 4.3 Tabel Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan

Usia Pernikahan...56 Tabel 4.4 Tabel Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan

Jumlah Anak...57 Tabel 4.5 Tabel Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan

Tingkat Pendidikan...57 Tabel 4.6 Tabel Gambaran Kepuasan Pernikahan...58 Tabel 4.7 Tabulasi Silang antara Kepuasan Pernikahan dengan

Aspek Komunikasi...59 Tabel 4.8 Tabulasi Silang anatara Kepuasan Pernikahan dengan

Aspek Urientasi Keagamaan...60 Tabel 4.9 Tabulasi Silang antara Kepuasan Pernikahan dengan Aspek

Kegiatan di Waktu Luang...61 Tabel 4.10 Tabulasi Silang antara Kepuasan Pernikahan dengan Aspek

Penyelesaian Konflik...62 Tabel 4.11 Tabulasi Silang antara Kepuasan Pernikahan dengan Aspek

Pengelolaan Keuangan...63 Tabel 4.12 Tabulasi Silang antara Kepuasan Pernikahan dengan Aspek


(8)

xv

Urientasi Seksual...64 Tabel 4.13 Tabulasi Silang antara Kepuasan Pernikahan dengan Aspek

Keluarga dan Teman...65 Tabel 4.14 Tabulasi Silang antara Kepuasan Pernikahan dengan Aspek

Anak dan Pengasuhan Anak...66 Tabel 4.15 Tabulasi Silang antara Kepuasan Pernikahan dengan Aspek

Kepribadian...67 Tabel 4.16 Tabulasi Silang antara Kepuasan Pernikahan dengan Aspek


(9)

Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir...24 Bagan 3.1 Prosedur Penelitian...44


(10)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kisi-kisi Alat Ukur

Lampiran 2 Kuesioner Kepuasan Pernikahan

Lampiran 3 Hasil Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

Lampiran 4 Distribusi Frekuensi Data Penunjang

Lampiran 5 Tabulasi Silang Data Penunjang dengan Kepuasan Pernikahan

Lampiran 6 Tabulasi Silang Gambaran Responden dengan Kepuasan Pernikahan

Lampiran 7 Tabulasi Silang Data Penunjang dengan Aspek-aspek

Kepuasan Pernikahan

Lampiran 8 Tabulasi Silang Gambaran Responden dengan Aspek-aspek

Kepuasan Pernikahan

Lampiran 9 Sejarah Gereja

Lampiran 10 Pengesahan Pengambilan Data

Lampiran 11 Surat Izin


(11)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pencapaian tujuan pada setiap perkembangan manusia dapat dicapai dengan pemenuhan tugas-tugas di setiap masa perkembangan manusia (Hurlock, 2006). Diantara masa-masa tersebut ada masa yang disebut sebagai masa dewasa awal. Individu pada masa dewasa awal beranjak dari masa-masa sekolah yang masih bergantung pada orang tua ke masa mencari pekerjaan dan mandiri secara finansial. gelain mencari pekerjaan, individu dewasa awal juga mempunyai tugas perkembangan lainnya yaitu membentuk kehidupan sosialnya. Individu dewasa awal dapat memilih untuk tetap single (tidak menikah) atau tinggal dengan pasangan dengan pernikahan yang sah. (Papalia, Olds & Feldman, 2007).

Pernikahan merupakan sebuah langkah menuju masa dewasa. Masa peralihan ke kehidupan pernikahan membawa perubahan-perubahan dalam fungsi-fungsi seksual, pengaturan tempat tinggal, hak-hak, dan tanggung jawab, kelekatan dan loyalitas pada individu dewasa awal (Papalia, 2014). Pernikahan dan keluarga memberikan motivasi serta beban bagi individu masa dewasa awal untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan agar mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Pendidikan dan perkembangan dunia yang semakin maju membuat pria dan wanita sama-sama mempunyai kesempatan untuk mengembangkan karir dan pekerjaan. gejak semakin banyak wanita yang bekerja dan mempunyai pendidikan yang tinggi, secara alami juga menghasilkan pasangan dengan karir yang berbeda (dual-career couples)(garah Muterko, 2007).


(12)

2

Universitas Kristen Maranatha

Adapun jumlah wanita yang bekerja di Indonesia sesuai dengan gensus Penduduk pada tahun 2010 adalah sebanyak 39,5 juta jiwa (Badan Pusat gtatistik, 2010).

Ada beberapa hal yang menguntungkan dalam kehidupan pasangandual-career misalnya dukungan emosional dari pasangan ketika salah satu pasangan mempunyai masalah, karir istri dan suami sama-sama membantu menguatkan keuangan keluarga. gelain menguntungkan, kehidupan keluarga dual-career juga mempunyai kerugian misalnya kurangnya fleksibilitasnya waktu bekerja sehingga mengganggu acara keluarga ataupun kadang-kadang acara keluarga mengganggu waktu kerja.

gelain itu, pasangandual-career tidak jarang menemukan keadaan dimana mereka harus melakukan suatu perjalanan untuk kebutuhan pekerjaan. Hal ini disebabkan karena dunia pekerjaan saat ini semakin dipengaruhi oleh proses globalisasi dan berbagai aktifitas pekerjaan yang tidak dibatasi oleh letak geografis suatu wilayah (Gustafson, 2006).

Pasangan dual-career mungkin dapat berusaha menghindari keterpisahan dengan mengikuti pasangannya pindah, namun kenyataannya sangat sulit bagi salah satu pasangan untuk mendapatkan posisi karir yang sama atau lebih baik dalam suatu lokasi yang sama. Akhirnya terbentuklah suatu solusi yaitu dengan mengadopsi pola hidup pernikahan jarak jauh dan tinggal di dua daerah yang terpisah atau dikenal dengan istilah commuter marriage (Taylor & Lounsbury, dalam Rhodes, 2002), dimana salah satu dari pasangan meninggalkan rumah, pindah ke tempat yang cukup jauh dari rumah dan bekerja. Kehidupan pernikahan yang tinggal berjauhan merupakan salah satu alternatif pola hidup pernikahan pada pasangan profesional yang menjaga kelangsungan hidup dengan tinggal di tempat yang berbeda ketika melakukan perjalanan dinas yang disebabkan karir masing-masing (Gerstel & Gross, 1982).


(13)

Menurut Rhodes (2002), commuter marriage adalah pria dan wanita dalam pernikahan yang mempunyai dua karir, dimana masing-masing mempunyai keinginan untuk mempertahankan pernikahan namun secara sukarela juga memilih untuk menjaga karir sehingga pasangan tersebut merasakan adanya komitmen yang kuat. Rhodes (2002) juga menambahkan bahwa pasangan yang tinggal di rumah yang berbeda juga disebut commuter marriage. Pada tahun 2005 di Amerika terjadi peningkatan pada pasangan yang menjalani perkawinan jarak jauh. Peningkatan tersebut adalah sebanyak 30% dibandingkan tahun 2000, sehingga populasinya mencapai 893.000 orang. gayangnya, di Indonesia belum terdapat data pasti yang menunjukkan adanya peningkatan jumlah pasangan menikah yang menjalani hubungan jarak jauh. Namun, berdasarkan pengamatan sehari-hari ternyata tidak semua pasangan dalam ikatan perkawinan dapat selalu hidup bersama (Rini, 2008, hal 20).

Fenomena ini juga terjadi pada sebagian pasangan di Gereja “X” Kota Bandung. Pada hasil wawancara dengan petugas administrasi Gereja tersebut, terdapat 298 pasangan suami istri dan kurang lebih 39 pasangan yang menjalani pernikahancommuter marriage, berada pada usia perkembangan dewasa awal, dan telah memiliki anak yang berusia 0-10 tahun. Kebanyakan dari pasangan tersebut hidup berpisah karena suami harus bekerja di luar kota, yang kebanyakan di Kota Jakarta. Para istri lebih memilih untuk tinggal di Kota Bandung dengan anaknya karena tidak dapat meninggalkan pekerjaannya dan merasa lebih nyaman untuk menetap di Kota Bandung.

Gereja “X” Kota Bandung merupakan Gereja yang didominasi oleh masyarakat bersuku Jawa. Adat Jawa atau orang Jawa mengajarkan sebagai suku bangsa yang sopan dan halus, tetapi mereka juga terbiasa sebagai suku bangsa yang tertutup dan tidak mudah berterus terang (www.thesis.umy.ac.id, diakses pada tanggal 4 Desember 2014). Perempuan Jawa diidentikkan


(14)

4

Universitas Kristen Maranatha

dengan kelemah lembutan, penurut, sopan santun, dan beberapa sifat feminim lainnya. Bahkan ada falsafah bahwa seorang istri adalah konco wingking bagi suaminya dimana seorang istri harus mendukung suaminya dari belakang tanpa boleh mendahului langkah suaminya. Menempatkan posisi seorang istri lebih rendah dari suami. Keputusan mutlak di tangan laki-laki dann perempuan berkewajiban menurutinya tanpa boleh membantah.

Commuter Marriage dapat memberikan suatu kelebihan, hal ini dapat dirasakan oleh wanita pada pasangan commuter marriage, dimana wanita lebih dapat menikmati kualitas karir penuh yang tidak dapat selalu mereka dapatkan jika tinggal bersama dengan suami (Gross, dalam Hendrick & Hendrick, 1992). Pernikahan commuter marriage dirasakan dapat memberikan keuntungan bagi pasangan yang tidak tinggal serumah, seperti yang diungkapkan melalui wawancara dengan lima orang istri commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung. Kelima istri pasangan commuter marriage di Kota Bandung merasa memiliki waktu kerja yang lebih fleksibel. Mereka menyatakan bahwa sebagai seorang istri yang berasal dari guku Jawa, mereka dituntut untuk mampu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah di antara kesibukan dalam bekerja. Pernikahan commuter marriagemembuat mereka merasa lebih nyaman dalam mengatur keperluan rumah tangganya tanpa ada protes dari suami. Kelima istri tersebut pun mengakui bahwa merasa menjadi lebih mandiri dan lebih mampu untuk mengatur keuangan keluarga.

Pasangan commuter marriage tentu saja juga menghadapi masalah yang lebih terutama pada masalah komunikasi antar pasangan dibandingkan dengan pasangan yang tinggal serumah. Masalah pada komunikasi tampak ketika pesan nonverbal tidak dapat disampaikan melalui media komunikasi seperti telepon dan email yang akhirnya dapat mempengaruhi hubungan pasangan.


(15)

Terutama bagi istri dari suku Jawa karena para istri dari suku Jawa memiliki karakteristik menjadikan suami sebagai panutan dan merupakan sosok dominan dalam keluarganya. Istri dari suku Jawa juga dituntut untuk tidak menentang keinginan suami. Tentu saja karateristik yang tertutup ini dapat menimbulkan konflik pada pernikahan commuter marriage yang komunikasinya dilakukan dalam jarak jauh dan tidak bertatap muka. Istri pasangan commuter marriagemerasakan kehilangan akan sosok dominan dan pemimpin dalam keluarganya. Mereka terbiasa untuk melayani dan menuruti perintah dari suami. Istri pasangan commuter marriage yang bersuku Jawa tidak terbiasa dalam menentukan suatu keputusan secara mandiri.

Menurut hasil wawancara dengan konselor di Gereja “X” Kota Bandung, beradasarkan data konselor sejak tahun 2014, terdapat 16 pasangan suami istri commuter marriage di Gereja “X” yang melakukan konsultasi mengenai pernikahan mereka sampai saat ini. Mereka merupakan pasangancommuter marriagedan menjalani pernikahan di bawah 10 tahun. Konselor pernikahan di Gereja “X” Kota Bandung tersebut mengatakan bahwa setidaknya dalam kurung 2 minggu ada dua sampai tiga pasangancommuter marriageyang melakukan konsultasi mengenai kehidupan pernikahannya. Konselor tersebut mengatakan bahwa masalah-masalah yang biasanya dibahas adalah mengenai kesulitan istri ketika dihadapkan pada suatu konflik dan harus mengambil keputusan seorang diri. Istri sulit untuk mengambil suatu keputusan tanpa didampingi oleh suami. Istri juga mengeluhkan mengenai sulitnya mengurus anak tanpa kehadiran suami. Mereka merasa sulit untuk terbuka dan mengutarakan masalahnya kepada suami bila komunikasi dilakukan secara tidak tatap muka.

geluruh istri pasangan commuter marriage yang melakukan konsultasi tersebut juga mengatakan bahwa mereka merasa kehilangan sosok dominan di dalam keluarganya dan kesulitan untuk mengatur semua keperluan rumah tangganya. Kehilangan sosok dominan dalam


(16)

6

Universitas Kristen Maranatha

keluarga juga membuat mereka merasa kesulitan bila harus membuat keputusan dalam suatu keluarga, misalnya ketika harus mencarikan sekolah untuk anaknya. Mereka merasa kebingungan untuk dalam memilih sekolah yang baik dan sesuai dengan pendapatnya dan suami.

Kehidupan para istri ini juga menjadi lebih kompleks dengan kehadiran anak. Anak tinggal bersama dengan istri di daerah asal sedangkan suami bekerja di daerah lain. Kehidupan istri menjadi lebih kompleks di mana di satu sisi istri harus bekerja namun di sisi lain istri harus memperhatikan dan menjaga anak. Konselor di Gereja “X” Kota Bandung tersebut mengatakan bahwa para istri sering merasa mempunyai peran orang tua tunggal dan konflik peran antara mengurus keluarga, menjalankan karirnya, dan mendidik anak yang berperan sebagai ibu juga ayah ketika suaminya tidak di rumah dalam waktu yang cukup lama.

Kebingungan ini akan muncul terutama bila anak jatuh sakit. Mereka merasa kebingungan karena harus bekerja sedangkan anaknya jatuh sakit di sekolah dan pihak sekolah meminta untuk menjemput anaknya. Mereka harus menjemput dan mengantarkan sendiri anaknya ke dokter dan terpaksa meninggalkan pekerjaannya dulu karena harus merawat anaknya. Terkadang mereka juga mengalami kelelahan karena setiap hari harus mengantarkan dan menjemput anaknya ke sekolah juga harus bekerja.

Konselor Gereja “X” Kota Bandung tersebut juga menyatakan bahwa pasangan-pasangan tersebut masih berada pada tahap adaptasi dengan peran dan tugas di dalam pernikahannya. Kesulitan yang kebanyakan dihadapi oleh pasangan istri pasangan commuter marriage adalah mengenai adaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan dari suami. Istri merasa sulit untuk menerima kebiasan tersebut karena tidak bertatap muka secara langsung sehingga sulit mengutarakannya kepada suami. Misalnya, ketika suami sulit dihubungi karena sibuk bekerja atau jarang menanyakan kabar istri. Istri merasa diabaikan oleh suami. Tujuh orang istri yang melakukan


(17)

konseling juga mengakui bahwa memiliki ketakutan suaminya akan berselingkuh. Hal ini menyebabkan istri mengalami stress dan meminta konsultasi dengan psikolog di Gereja “X” Kota Bandung.

Gove, dkk. (dalam Goldsmith, 1988) mengungkapkan bahwa salah satu faktor penentu kesehatan mental seseorang adalah kualitas afeksi terhadap pernikahannya, atau dengan kata lain adanya kepuasan pernikahan. Bila seseorang merasa puas dan bahagia akan pernikahan yang dijalani, maka dapat berpengaruh pada cara pandangnya terhadap diri, lingkungan, maupun masa depannya, juga terhadap kesehatan mental dan fisik. Wright (1993) menemukan bahwa ketidakpuasan pada pernikahan dan banyak mengalami konflik pada pernikahan merupakan penyebab serius terjadinya depresi. Roy (dalam Johnson dan Jacob, 2000) menyebutkan bahwa lebih dari 50% penderita depresi melaporkan masalah-masalah pernikahan.

Kepuasan pernikahan adalah kepuasan pernikahan sebagai evaluasi terhadap area-area dalam pernikahan. Area ini mencakup komunikasi yang menyenangkan, kehidupan beragama yang baik, cara mengisi waktu senggang, menyelesaikan masalah, mengatur keuangan, kualitas dan kuantitas hubungan seksual, hubungan baik dengan keluarga dan teman, pengasuhan terhadap anak, menerima sifat pasangan, dan berbagi peran antara suami dan istri di dalam pernikahannya (Olson dan Fowers,1989).

Hal ini berkaitan dengan persepsi pasangan terhadap dari hubungan pernikahan yang dijalani. Kepuasan pernikahan pasangan suami istri dapat digali dengan mengunakan sepuluh aspek kepuasan pernikahan oleh Fowers & Olson (1993). Adapun kesepuluh aspek yang mempengaruhi kepuasan pernikahan adalah komunikasi, orientasi keagamaan, kegiatan di waktu luang, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan , orientasi seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran.


(18)

8

Universitas Kristen Maranatha

Berdasarkan hasil survey peneliti pada 10 istri pada pasangancommuter marriage, 40% istri menyatakan bahwa mereka tidak merasa keberatan dalam menjalani rumah tangga dengan adanya jarak dengan suami. Mereka merasa memiliki kepercayaan kepada suami dan tidak memiliki kesulitan untuk membicarakan segala hal dengan suami karena alat komunikasi saat ini telah berkembang, sehingga hal ini bukanlah kendala. Jika hubungan mereka mengalami konflik, para istri ini berusaha untuk lebih tenang, tidak terpancing emosi, dan berusaha untuk segera menyelesaikannya dengan suami. Para istri ini mengganggap bahwa dengan menjalani hubungan jarak jauh seperti ini, masalah-masalah yang datang harus segera dapat diselesaikan, karena nantinya akan mengganggu hubungan mereka. Memahami sifat dan kebiasaan suami merupakan hal yang sulit bagi mereka karena mereka tidak dapat bertatapan langsung dengan suaminya ketika sedang membicarakan permasalahan-permasalahan yang hadir pada pernikahan nya.

Pada 60% orang istri lainnya menyatakan merasa kecewa karena suami tidak selalu memperhatikan dirinya yang diakibatkan kesibukan pekerjaan dan kegiatan di luar rumah. Mereka merasa kecewa bila berkomunikasi dengan tidak bertatapan langsung dengan suaminya. Istri juga takut bila ada hal-hal yang disembunyikan oleh suaminya, baik permasalahan pekerjaan maupun keluarga. Mereka mengharapkan dapat bertatapan langsung bila sedang membicarakan mengenai permasalahannya masing-masing. Istri juga merasa terkadang suaminya kurang memberikan perhatian kepada dirinya. Istri merasa diabaikan dan timbul rasa kecewa kepada suami.

Para istri ini juga merasa kehilangan sosok pemimpin dan panutan di dalam keluarganya sehingga mereka merasa kesulitan jika harus mengambil suatu keputusan, terutama masalah mengenai anak. Istri merasa kecewa karena pengasuhan anak dan mengurus semua keperluan rumah tangga dilimpahkan kepadanya. Istri merasa kecewa karena suaminya kurang memberikan


(19)

dukungan dalam pekerjaannya, sedangkan 20% istri diantaranya juga merasa kecewa dengan pembagian keuangan karena merasa biaya kehidupan sehari-hari lebih banyak ditutupi oleh istri.

geluruh istri commuter marriage ini juga merasa kecewa dengan intensitas aktifitas keluarga yang dilakukan. Mereka merasa kurangnya quality time antara suami, istri, dan anak karena suami hanya pulang ke rumah ketika hari libur. Hal ini juga yang menyebabkan 20% diantara para istri ini merasa kecewa bila suami mengajak untuk pergi bersama keluarga besar atau kerabatnya. Istri merasa membutuhkan waktu bersama untuk keluarga intinya saja. Bahkan, 60% diantaranya merasa kecewa dengan kehidupan seksualnya semenjak suami bekerja di luar kota sehingga hubungan intim jarang dilakukan. Tentu saja menjalani kehidupan pernikahan jarak jauh seperti di atas menyebabkan kebahagiaan dan kepuasan pernikahan tidak dapat dirasakan.

Kehidupan pernikahan commuter marriage yang muncul di masyarakat modern saat ini dan kepuasan pernikahan yang bersifat subjektif dan dinamis membuat peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran mengenai kepuasan pernikahan istri pada pasangancommuter marriage.

1.2 Bdentifikasi Masalah

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana gambaran mengenai Kepuasan Pernikahan pada istri pasangancommuter marriagedi Gereja X Bandung.


(20)

10

Universitas Kristen Maranatha 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Memperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai Kepuasan Pernikahan dari istri pasangancommuter marriagedi Gereja “X” Kota Bandung

1.3.2 Tujuan Penelitian

Memperoleh gambaran menyeluruh mengenai kepuasan pernikahan dari istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang dijaring melalui sepuluh aspek kepuasan pernikahan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

Dengan pencapaian maksud tersebut, diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna untuk : 1. Memberikan sumbangsih pada perkembangan teori-teori Psikologi, khususnya bidang

Psikologi Keluarga dan Psikologi Perkembangan.

2. Memberikan suatu gambaran kepada peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai Kepuasan Pernikahan.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberikan informasi kepada konselor di Gereja “X” Bandung untuk mengetahui tingkat Kepuasan Pernikahan pada istri pasangan commuter marriagesehingga dapat menjadi suatu bahan masukkan agar dapat meningkatkannya.


(21)

2. Memberikan informasi kepada para konselor gereja mengenai Kepuasan Pernikahan sebagai masukan bagi proses pembinaan pernikahan melalui seminar atau retreat pasangan suami istri.

3. Memberikan informasi dan masukkan kepada istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung mengenai kepuasaan terhadap pernikahannya dan menjadi bahan refleksi bagi istri agar dapat meningkatkan kepuasan pernikahannya.

1.5 Kerangka Pikir

Kehidupan pernikahan memberikan tugas-tugas baru bagi seseorang untuk dapat memenuhi kebutuhannya dalam hidup berkeluarga. Tugas-tugas tersebut adalah pengasuhan anak, mengurus rumah tangga, dan memenuhi kebutuhan keuangan keluarga. Tugas-tugas tersebut tentu saja menjadi tanggung jawab antara kedua pasangan suami istri. Kedua pasangan suami istri harus memiliki kerja sama, komitmen, dan komunikasi dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pernikahannya (gantrock, 2002).

Kebutuhan di dalam suatu pernikahan menuntut pasangan suami istri untuk lebih cerdas dalam memenuhinya. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab seorang wanita memutuskan bekerja di luar rumah sehingga terbentuklah dual-career couple. gelain itu, perubahan peran pada wanita juga memungkinkan seorang wanita untuk memiliki pendidikan dan jenjang karier yang setara dengan pria.

Pernikahan dengan kedua pasangan yang bekerja dapat memiliki keuntungan dan kerugian bagi individu. galah satu keuntungan pokok adalah dari segi keuangan. Pernikahan dengan karir ganda juga dapat berkontribusi pada hubungan yang lebih setara antara suami dan


(22)

12

Universitas Kristen Maranatha

istri dan meningkatkan harga diri pada perempuan. Tentu saja terdapat kesulitan yang juga dirasakan oleh pasangan dengan karir ganda, yaitu tuntutan adanya waktu dan tenaga tambahan, konflik antara pekerjaan dan peran keluarga, persaingan kompetitif antara suami dan istri, dan juga pemenuhan perhatian terhadap kebutuhan anak.

Perkembangan dunia pekerjaan yang semakin maju pada saat ini dipengaruhi oleh proses globalisasi dan berbagai aktifitas pekerjaan yang tidak dibatasi oleh letak geografis suatu wilayah (Gustafson, 2006). Hal ini menyebabkan pasangan dual-career dihadapkan pada suatu situasi dimana salah satu pasangan harus menetap di daerah yang berbeda dengan keluarganya. gehingga terbentuklah suatu solusi yaitu dengan mengadopsi pola pernikahan jarak jauh dan tinggal di dua daerah yang terpisah atau dikenal dengan istilah commuter marriage (Taylor & Lounsbury, dalam Rhodes 2002).

Menurut Rhodes (2002), commuter marriage adalah pria dan wanita dalam pernikahan yang mempunyai dua karir, dimana masing-masing mempunyai keinginan untuk mempertahankan pernikahan namun secara sukarela juga memilih untuk menjaga karir sehingga pasangan tersebut merasakan adanya komitmen yang kuat. Karakteristik dari pasangancommuter marriage adalah pasangan suami istri yang tinggal di dua lokasi geografis yang berbeda dengan pekerjaan masing-masing, jarak yang memisahkan pasangan tersebut antara 40-2.700 mil. Pasangan suami istri ini setidaknya dipisahkan tiga malam dalam satu minggu selama sedikitnya tiga bulan. Beberapa diantaranya melakukan reuni pada akhir pekan tanpa mempertanyakan kapan akan melakukan reuni selanjutnya (Gerstel & Gross, 1982).

Pola pernikahan dengan pasangan commuter marriage banyak dijumpai pada pasangan suami istri di Gereja “X” Kota Bandung. Gereja “X” merupakan Gereja yang didominasi oleh masyarakat bersuku Jawa. Kebanyakan dari pasangan tersebut sama-sama bekerja, namun suami


(23)

mereka memiliki pekerjaan di luar Kota Bandung dan suami harus menetap di kota tempatnya bekerja.

Keadaan terpisah seperti ini tentu saja memberikan suatu kelebihan dan kekurangan pada kualitas hubungan pasangan suami istri di Gereja “X”. Kelebihan yang dirasakan oleh istri pasangancommuter marriagedi Gereja “X” Kota Bandung adalah istri dapat menikmati kualitas karir secara penuh yang tidak dapat selalu mereka dapatkan jika tinggal bersama suami (Gross, dalam Hendrick & Hendrick, 1992). Istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung juga dapat meningkatkan keinginan untuk aktualisasi diri, meningkatkan kemampuan komunikasi, dan fleksibilitas tanpa harus bertemu dan hanya menggunakan media komunikasi seperti telepon atau email. (Winfield, 1985 dalam Hendrick & Hendrick, 1992).

Di balik kebahagiaan dan kenyamanan yang diperoleh dari hubungan dengan pasangan, commuter marriagejuga dapat menjadi sumber stres yang luar biasa. Kegagalan pasangan untuk saling menyesuaikan diri dan memecahkan masalah-masalah secara efektif dapat memicu konflik yang berkepanjangan (garafino, 2006). Pasangan yang tidak tinggal bersama anak-anak dapat fokus pada karir, namun pasangan lain, biasanya istri yang tinggal dengan anak merasakan peran sebagai orang tua tunggal. Roehling dan Bultman (2002) menambahkan bahwa istri biasanya mengurangi perjalanan yang berhubungan dengan karir jika adanya kehadiran anak dalam keluarga. Kehadiran anak meningkatkan tanggung jawab dan pembagian kerja menurut gender di rumah sehingga membutuhkan peran dengan waktu yang intensif dari orang tua. Hal ini dapat menyebabkan peran yang berlebihan dan konflik peran (Barnett & Hyde, 2001 dalam Roehling & Bultman, 2002) Istri yang tidak dapat secara mandiri mengelola pekerjaan dan keluarga juga kesulitan dalam mengambil keputusan akan menghadapi keadaan-keadaan yang sulit dan menimbulkan stress pada istri.


(24)

14

Universitas Kristen Maranatha

Peran yang kompleks ini akan memberikan tekanan bagi istri pasangancommuter marriage di Gereja “X” sehingga istri mengalami stress. Istri yang dapat mengatasi stressnya tentu saja akan lebih merasa bahagia dan merasa puas terhadap kehidupan pernikahannya. Istri yang tidak dapat mengatasi stresnya akan merasa kecewa terhadap pernikahannya, tidak bahagia, dan merasa tidak puas terhadap kehidupan pernikahannya (Gove, dkk dalam Goldsmith, 1988)

Kurangnya dukungan suami dalam mengerjakan tugas rumah tangga dapat menyebabkan istri mengalami kesulitan dalam membagi perannya untuk mengerjakan tugas rumah tangga menjalankan pekerjaannya di luar rumah. Istri akan mengevaluasi pernikahannya berdasarkan hal-hal yang istri alami. Evaluasi pada pernikahan tersebut akan memunculkan apakah istri mengalami kepuasan ataupun ketidakpuasan terhadap pernikahannya.

Kepuasan pernikahan adalah evaluasi terhadap area-area penikahan. Mencapai suatu pernikahan yang bahagia dan memuaskan merupakan tujuan dari semua pernikahan. Kepuasan pernikahan dapat diwujudkan dengan adanya kesadaran mengenai apa arti dari pernikahan yang sebenarnya. Banyak istri yang membawa banyak harapan ke dalam pernikahannya, namun pernikahan tidak dapat mewujudkan semua harapan yang dibawa ke dalam pernikahan apalagi harapan-harapan yang tidak realistis. (Olson and Fowers, 1989).

getiap istri pada pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung memiliki persepsi yang berbeda-beda dalam memandang suatu kesulitan dan tantangan di dalam pernikahannya. Olson dan Fowers (1989) menyatakan bahwa terdapat 10 aspek dalam pernikahan yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan. Adapun sepuluh aspek tersebut adalah komunikasi, orientasi keagamaan, kegiatan di waktu luang, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian juga kesetaraan peran.


(25)

Komunikasi merupakan suatu area yang melihat bagaimana persepsi individu ketika sedang berkomunikasi dengan pasangannya. Aspek ini fokus pada rasa senang yang dialami istri commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung dalam membagi dan menerima informasi mengenai perasaan dan pikirannya. Istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa puas terhadap komunikasi dengan suami akan merasa senang ketika sedang berkomunikasi dengan suami karena merasa diperhatikan dan didengarkan oleh suami, walaupun komunikasi dilakukan tanpa tatap muka. Istri juga merasa tidak keberatan menjadi pendengar bagi suaminya.

Ketidakpuasan dalam komunikasi diperlihatkan istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa kecewa ketika berkomunikasi dengan suami. Istri merasa kecewa ketika harus berkomunikasi tanpa tatap muka dengan suami sehingga menimbulkan kurangnya rasa percaya kepada suami yang berlainan tempat.

Aspek orientasi agama merupakan suatu area yang menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan pernikahan. Agama secara langsung mempengaruhi kualitas pernikahan dengan memelihara nilai-nilai suatu hubungan, norma, dan dukungan sosial yang turut memberikan pengaruh yang besar dalam pernikahan, mengurangi perilaku yang berbahaya dalam pernikahan.

Kepuasan pada orientasi agama dapat ditunjukkan oleh istri pasangancommuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang tetap merasa senang walaupun harus beribadah tanpa kehadiran suami, misalnya istri tetap merasa senang ketika beribadah ke Gereja setiap hari Minggu dan mengajak anak-anaknya untuk ikut beribadah, walaupun tanpa kehadiran suami. Istri juga tetap merasa senang ketika secara aktif mengikuti kegiatan organisasi di Gereja tanpa ditemani oleh suami. Istri dan suami pasangan commuter marriage dapat saling mengingatkan


(26)

16

Universitas Kristen Maranatha

pasangannya untuk beribadah dan mematuhi norma agama Kristen walaupun dalam jarak yang memisahkan, sehingga pernikahan terhindar dari perilaku-perilaku yang melanggar norma agama Kristen, misalnya perselingkuhan.

Ketidakpuasan pada orientasi agama dapat ditunjukkan oleh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa kecewa ketika beribadah tanpa kehadiran suami. Istri jarang beribadah ke Gereja setiap hari Minggu dan tidak mendorong anak-anaknya untuk beribadah karena istri merasa kecewa bila beribadah tanpa suami. Istri pasangan commuter marriage dan suami tidak saling mengingatkan untuk beribadah dan mematuhi norma agama sehingga dapat menimbulkan perilaku yang melanggar noma agama Kristen, seperti perselingkuhan atau kekerasan dalam rumah tangga.

Aspek kegiatan di waktu luang merupakan suatu area yang menilai penghayatan istri terhadap pilihan kegiatan untuk mengisi waktu senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Kepuasan kegiatan di waktu luang ditunjukkan dengan adanya rasa senang yang dirasakan istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung dalam menikmati kegiatan di waktu luang yang dilakukan sendiri maupun bersama dengan suami dan anak. Istri merasa tidak keberatan dan tetap dapat menikmati kegiatan di waktu luangnya meskipun tidak dilakukan dengan suami. Rasa senang tersebut juga tetap muncul ketika suami pulang ke rumah dan menghabiskan waktu dengan istri dan anak. Istri dan suami dapat secara kompak menentukan kegiatan untuk mengisi waktu luangnya bersama dan dapat menikmati kegiatan bersama tersebut.

Ketidakpuasan aspek kegiatan di waktu luang diperlihatkan pada istri commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung dengan timbulnya rasa kecewa ketika harus mengisi kegiatan di waktu luangnya seorang diri tanpa kehadiran suami. Istri merasa ingin selalu ditemani oleh


(27)

suaminya ketika sedang mengisi waktu luangnya. Istri juga merasa kecewa terhadap pilihan-pilihan kegiatan yang dilakukan bersama dengan anak dan suaminya.

Aspek penyelesaian konflik merupakan suatu area yang menilai persepsi suami istri terhadap konflik serta penyelesaiannya. Fokus pada area ini adalah keterbukaan pasangan untuk mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi yang digunakan untuk mendapatkan solusi terbaik. Kepuasan aspek penyelesaian konflik pada istri commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung ditunjukkan dengan adanya rasa senang ketika mengutarakan masalah kepada suami walaupun dengan komunikasi jarak jauh sehingga istri memiliki keterbukaan dalam mengutarakan permasalahan yang dihadapinya kepada suami walaupun tanpa bertatap muka. Istri merasa senang ketika berdiskusi dengan suami sehingga solusi bagi permasalahan yang dihadapi walaupun dilakukan dengan komunikasi jarak jauh.

Ketidakpuasan pada aspek penyelesaian konflik ditunjukkan oleh istri pasangancommuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa kecewa bila harus mengutarakan masalah tanpa bertatap muka dengan suami. Hal ini membuat istri tidak merasa nyaman ketika harus terbuka mengenai masalah yang dihadapinya kepada suami. Istri merasa kecewa dengan solusi -solusi yang diambil.

Aspek pengelolaan keuangan merupakan suatu area yang menilai persepsi terhadap pengaturan keuangan. Kepuasan pada aspek pengelolaan keuangan dapat ditunjukkan oleh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa senang untuk mendiskusikan dan merencanakan mengenai pengeluaran rumah tangganya dengan suami. Istri juga merasa puas pada kondisi ekonomi di dalam pernikahannya.

Ketidakpuasan pada aspek pengelolaan keuangan ditunjukkan oleh istri pasangan commuter marriagedi Gereja “X” Kota Bandung yang merasa tidak senang terhadap pembagian


(28)

18

Universitas Kristen Maranatha

pemenuhan keuangan di dalam rumah tangganya. Istri juga merasa kecewa karena memiliki harapan-harapan yang tidak sesuai dengan keadaan keuangan di dalam pernikahannya.

Aspek hubungan seksual merupakan suatu aspek yang menilai bagaimana persepsi pasangan dalam hal kasih sayang dan kualitas serta kuantitas hubungan seksual. Kualitas dan kuantitas hubungan seksual adalah hal yang penting bagi kesejahteraan pernikahan. Kepuasan pada aspek hubungan seksual dapat ditunjukkan oleh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa senang terhadap intensitas serta kualitas hubungan seksualnya dengan suami. Istri juga merasa senang karena merasa mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup dari suaminya.

Ketidakpuasan pada aspek hubungan seksual ditunjukkan oleh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa kecewa akan intensitas serta kualitas hubungan seksual yang dilakukan dengan suaminya karena minimnya waktu bertemu. Istri juga merasa kecewa karena menilai suami kurang memberikan perhatian serta kasih sayang.

Aspek selanjutnya dalam kepuasan pernikahan adalah aspek keluarga dan teman. Area ini menilai persepsi istri pasangan commuter marriage du Gereja “X” Kota Bandung ketika menghabiskan waktu dengan keluarga atau kerabat tanpa kehadiran dari suami. Kepuasan pada aspek keluarga dan teman dapat ditunjukkan oleh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa senang ketika berkumpul dengan keluarga dari pihak suami walaupun tanpa ditemani oleh suaminya. Hal ini menyebabkan istri dapat menerima keluarga suami seperti keluarganya sendiri sehingga menciptakan hubungan yang baik antara menantu, mertua, dan ipar. Istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung dapat merasakan kebahagiaan ketika menghabiskan waktu dengan keluarga dan kerabat.


(29)

Ketidakpuasan aspek keluarga dan teman dapat ditunjukkan oleh istri pasangancommuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa kecewa ketika berkumpul dengan keluarga atau kerabat dari suami. Istri juga merasa kecewa ketika suami memilih untuk berkumpul bersama keluarga dan kerabatnya.

Aspek anak dan pengasuhan anak merupakan aspek yang menilai persepsi istri ketika menjadi orangtua, memiliki dan membesarkan anak. Fokusnya adalah bagaimana orangtua menerapkan keputusan mengenai disiplin anak, cita-cita terhadap anak serta bagaimana pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan. Kesepakatan dengan pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam pernikahan. Kepuasan pada aspek anak dan pengasuhan anak ditunjukkan oleh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasakan kebahagiaan akan hadirnya seorang anak dalam kehidupan pernikahannya. Istri juga tidak merasa keberatan dengan tugas mengurus anak yang dilimpahkan kepadanya karena suami tinggal di tempat yang berbeda. Istri merasa senang dengan perencanaan masa depan untuk anaknya.

Ketidakpuasan pada aspek anak dan pengasuhan anak ditunjukkan oleh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang tidak merasakan kebahagian dengan kehadiran anak pada kehidupan pernikahannya. Istri merasa ketidakadilan pada pembagian tugas pengasuhan anak karena peran pengasuhan lebih banyak dipegang oleh istri.

Aspek kepuasan pernikahan selanjutnya adalah kepribadian. Area ini menilai persepsi individu mengenai persoalan yang berhubungan dengan tingkah laku pasangannya dan tingkat kepuasan dalam setiap persoalan tersebut. Area ini melihat penyesuaian diri istri pasangan commuter marriage dan penerimaan dengan tingkah laku, kebiasaan- kebiasaan serta kepribadian pasangan. Kepuasan pada aspek kepribadian ditunjukkan oleh istri pasangan


(30)

20

Universitas Kristen Maranatha commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang dapat menerima kepribadian dan kebiasaan-kebiasaan suaminya. Contohnya istri dapat menerima perilaku suami yang jarang menghubunginya karena sibuk oleh pekerjaan. Istri juga tidak merasa kecewa pada kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh suami.

Ketidakpuasan pada aspek kepribadian ditunjukkan oleh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang kecewa pada kepribadian dan kebiasaan-kebiasaan suaminya. Timbul rasa kecewa karena tingkah laku suami tidak sesuai dengan harapannya. Istri banyak menuntut suami agar bertingkah laku sesuai dengan harapan istri. Contohnya, istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa kecewa dan marah apabila suami jarang menghubunginya karena sibuk bekerja.

Aspek yang terakhir dari kepuasan pernikahan adalah kesetaraan peran. Area ini menilai persepsi individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin, dan peran sebagai orangtua. Kepuasan pada aspek kesetaraan peran ditunjukkan oleh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa puas dengan pembagian peran yang adil dalam pernikahannya. Istri merasakan adanya dukungan dari suami sehingga istri dapat mengaktualisasikan dirinya, mengembangkan potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan kepuasan pribadi.

Ketidakpuasan aspek kesetaraan peran ditunjukkan oleh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa kecewa karena adanya ketidakadilan dalam pembagian peran-peran dengan suaminya. Istri merasa tidak ada kesetaraan peran dengan suaminya, contohnya istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang merasa tidak mendapat dukungan dalam pekerjaannya. Istri merasa tidak diberi kesempatan oleh


(31)

suaminya untuk mengaktualisasikan dirinya, mengembangkan potensinya, serta memanfaatkan kemampuan pendidikannya. Namun, budaya Jawa yang memposisikan istri untuk selalu melayani suaminya dan menuruti suaminya membuat aspek ini tidak terlalu berpengaruh pada penghayatan kepuasan istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung dalam pernikahannya.

Hendrick dan Hendrick (1992) menyatakan ada dua faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan, yaitu Premarital Factors dan Postmarital Factors. Premarital Factors adalah faktor-faktor sebelum pernikahan, yang mencangkup latar belakang ekonomi, pendidikan, dan hubungan dengan orang tua. Faktor latar belakang ekonomi adalah dimana status ekonomi istri sebelum pernikahan yang dirasakan tidak sesuai dengan harapannya. Hal ini akan memunculkan harapan-harapan yang tinggi pada istri terhadap kehidupan ekonomi di dalam pernikahannya dan akan menimbulkan kekecewaan ketika kehidupan ekonomi di dalam pernikahannya tidak sesuai dengan harapannya.

Faktor pendidikan adalah dimana pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dapat merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih banyak menghadapi stressor seperti pengganguran atau menimbulkan rasa rendah diri karena penghasilan yang lebih rendah dari pasangannya.

Faktor hubungan dengan orangtua sebelum pernikahan akan mempengaruhi sikap anak terhadap romantisme, pernikahan, dan perceraian. Contohnya, istri pasangancommuter marriage yang memiliki keluarga broken home akan lebih sensitif dan mudah mengalami stres jika menghadapi permasalahan di dalam rumah tangganya.

Postmarital Factors merupakan faktor-faktor sesudah terjadinya pernikahan, seperti kehadiran anak, lama pernikahan, dan jarak perpisahan. Kehadiran anak sangat berpengaruh


(32)

22

Universitas Kristen Maranatha

terhadap menurunnya kepuasan pernikahan, khususnya pada wanita atau istri (Bee & Mitchell, 1984). Kehadiran anak dapat membuat istri pasangancommuter marriagemerasa kesulitan untuk membagi perannya dalam pekerjaan dan mengasuh anak. Penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya anak bisa menambah stres pasangan, dan mengurangi waktu bersama pasangan (Hendrick & Hendrick, 1992), khususnya pada pasangan commuter marriage yang memiliki waktu bersama terbatas.

Faktor lainnya adalah usia pernikahan dimana diungkapkan oleh Duvall bahwa tingkat kepuasan pernikahan tinggi di awal pernikahan, kemudian menurun setelah kehadiran anak dan kemudian meningkat kembali setelah anak mandiri. gemakin lama usia suatu pernikahan, semakin besar kemampuan pasangan untuk menghadapi masalah yang muncul ketika pasangan tidak tinggal bersama (gcott, 2002).

Faktor selanjutnya adalah jarak perpisahan. Jarak perpisahan yang semakin jauh juga membuat kehidupan pasangan semakin berat dan membuat stres. Jarak yang semakin jauh membuat biaya (telepon dan perjalanan) yang lebih tinggi dan membutuhkan energi dan waktu yang lebih banyak. gelain itu, jarak yang jauh juga membuat kesempatan untuk bertemu dengan keluarga semakin sedikit (Krichner & Walum dalam Gerstel dan Gross, 1982). Gerstel dan Gross (1982) juga menambahkan ketika waktu berpisah semakin tinggi menyebabkan ketidakpuasan dalam pasangancommuter marriagejuga semakin tinggi.

Berdasarkan uraian dan ciri-ciri yang telah disampaikan, tingkat kepuasan pernikahan pada istri pasangan commuter marriage dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu puas terhadap pernikahan dan tidak puas terhadap pernikahan. Kepuasan pernikahan istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung dinilai dari keseluruhan kepuasan sepuluh aspek tersebut. Apabila terdapat satu sampai lima aspek yang dihayati istri pasangan commuter


(33)

marriage di Gereja “X” Kota Bandung dengan rasa tidap puas namun lima aspek lainnya istri merasa puas maka masih dapat disimpulkan bahwa istri memiliki kepuasan pada pernikahannya.

Istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung yang menghayati puas pada pernikahannya akan tergambar dari relasi personal yang penuh kasih sayang dan menyenangkan dengan suami, walaupun suami berada di tempat yang berjauhan dan komunikasi dilakukan secara jarak jauh. Para istricommuter marriage tersebut beranggapan bahwa harapan, keinginan, dan tujuan yang ingin dicapai ketika menikah terlah terpenuhi, baik sebagian maupun seluruhnya. Istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung merasa hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap dibandingkan sebelum menikah.

Ketidakpuasan pada pernikahan akan membawa istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung menghayati hambatan-hambatan ketika berkomunikasi, istri juga menarik diri, ketergatungan kepada suami secara berlebihan, perselisihan, serta berbagai perasaan negatif yang kuat.

Berikut bagan kerangka pemikiran penelitian dari kepuasan pernikahan pada istri pasangancommuter marriagedi Gereja “X” Kota Bandung :


(34)

24

Universitas Kristen Maranatha 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran

Istri pasangan commuter marriagedi

Gereja “X” Bandung

Kepuasan Pernikahan

Premarital Factors :

1) Latar belakang ekonomi 2) Pendidikan

3) Hubungan dengan orang tua Postmarital Factors :

1) Kehadiran Anak 2) Lama pernikahan 3) Jarak perpisahan

Puas

Tidak Puas Aspek Kepuasan Pernikahan :

1) Komunikasi 2) Orientasi Agama

3) Kegiatan di Waktu Luang 4) Penyelesaian Konflik 5) Pengelolaan Keuangan 6) Hubungan geksual 7) Keluarga dan Teman

8) Anak dan Pengasuhan Anak 9) Kepribadian

10) Kesetaraan Peran Karakteristikcommuter

marriage:

1) Pasangan suami istri yang keduanya bekerja 2) Pasangan tinggal di dua

lokasi geografis yang berbeda

3) Jarak yang memisahkan pasangan antara 40-2.700 mil

4) Berpisah setidaknya tiga malam dalam satu minggu selama sedikitnya tiga bulan


(35)

1.5 Asumsi penelitian

Berdasarkan uraian kerangka pikir di atas dapat ditarik asumsi, bahwa:

1. Istri pada pasangan Commuter Marriage di Gereja “X” Kota Bandung memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang berbeda-beda sesuai dengan penghayatannya dalam menjalankan peran sebagai pengasuh anak, mengatur rumah tangga, dan bekerja serta mengatasi kesulitan-kesulitannya di dalam hubungan pernikahan jarak jauh.

2. Terdapat sepuluh aspek dalam Kepuasan Pernikahan yaitu komunikasi, orientasi keagamaan, kegiatan di waktu luang, hubungan seksual, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, keluarga dan teman, anak serta pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran, yang akan menentukan penghayatan istri pasangancommuter marriage di Gereja “X” Kota Bandung.

3. Istri pada pasangan Commuter Marriage yang puas terhadap pernikahannya adalah istri yang merasa bahagia dengan pernikahannya dan dapat mengatasi kesulitan serta tantangan di dalam pernikahannya.

4. Istri pada pasangan Commuter Marriage yang tidak puas terhadap pernikahannya adalah istri yang tidak dapat mengatasi kesulitan dan tantangan terhadap pernikahannya.


(36)

87 BAB B

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

8erdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Sebagian besar istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota 8andung (58,87%) memiliki penghayatan pernikahan yang puas.

2. Sebagian besar istri pasangan commuter marrige di Gereja “X” Kota 8andung yang menghayati puas pada pernikahan, menghayati puas pula pada aspek komunikai, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik,pengelolaan keuangan, orientasi seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan keseteraan peran.

3. Seluruh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota 8andung yang menghayati puas pada pernikahan, menghayati puas pula pada aspek kegiatan di waktu luang.

4. Sebagian besar istri pasangan commuter marrige di Gereja “X” Kota 8andung yang menghayati tidak puas pada pernikahan, menghayati tidak puas pula pada aspek komunikai, kegiatan di waktu luang, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, orientasi seksual, keluarga dan teman, kepribadian, dan keseteraan peran.


(37)

5. Seluruh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota 8andung yang menghayati tidak puas pada pernikahan, menghayati tidak puas pula pada aspek orientasi keagamaan juga pada aspek anak dan pengasuhan anak.

6. Sebagian istri pasangan commuter marrige di Gereja “X” Kota 8andung yang menghayati tidak puas pada pernikahan, menghayati tidak puas pula pada aspek pengelolaan keuangan dan sebagian istri pasangan commuter marrige di Gereja “X” Kota 8andung yang menghayati tidak puas pada pernikahan, menghayati puas ada aspek pengelolaan keuangan. 7. Di samping data demografi (Usia Pernikahan dan Jumlah Anak ), faktor-faktor yang

memiliki kecenderungan keterkaitan dengan derajat kepuasan pernikahan yang dihayati oleh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota 8andung adalah puas pada keadaan ekonomi sebelum menikah, memiliki hubungan orangtua yang harmonis, memiliki tingkat pendidikan menunjang karir yang diinginkan, kehadiran anak, pertemuan dengan suami, frekuensi pertemuan dengan suami, dan dapat beradaptasi di dalam pernikahan.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

1. 8agi peneliti selanjutnya yang akan meneliti mengenai variabel Kepuasan Pernikahan, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dan rujukan untuk memperkaya pemahaman mengenai Kepuasan Pernikahan.

2. 8agi peneliti selanjutnya yang akan meneliti mengenai variabel Kepuasan Pernikahan diharapkan untuk menyusun kembali alat ukur Kepuasan Pernikahan dan menghitung kembali validitas serta reabilitas dari alat ukur tersebut.


(38)

89 3. Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam hal jumlah responden yang terbatas. Oleh karena itu, peneliti lain yang ingin meneliti mengenai Kepuasan Pernikahan disarankan untuk dapat menjaring responden yang lebih banyak sehingga memperoleh penelitian yang lebih komprehensif.

5.2.1 Saran Praktis

1. 8agi konselor pernikahan di Gereja “X” Kota 8andung, hasil ini penelitian ini dapat memberikan informasi yang digunakan untuk bimbingan dan pengarahan secara langsung maupun melalui suatu seminar atau retreat kepada istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota 8andung mengenai pentingnya pemahaman mengenai kepuasan pernikahan supaya meningkatkannya dan memunculkan kebahagiaan di pernikahan pasangancommuter marriagedi Gereja “X” Kota 8andung.

2. Istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota 8andung yang menghayati tidak puas pada pernikahan agar melakukan konseling dengan konselor di Gereja “X” Kota 8andung agar dapat mengetahui kondisi yang individu alami, penyebab, dan alternative penyelesaiannya sehingga individu dapat memiliki kepuasan pernikahan dan merasakan kebahagian di dalam pernikahannya.


(39)

90

Bee, Helen L. & Sandra K. Mitchell. (1984). The Developing Person (A Life Span Approach). USA : Publisher New york.

Badan Pusat Statistik Jakarta Pusat. (2010). Statistik Indonesia Tahun 2010. Jakarta Pusat : Badan Pusat Statistik

Duvall, E.M. dan Miller, B.C. (1985).Marriage and family development. New York: Harper and Row.

Friedenberg, Lisa. (1995). Psychological Testing : Design, Analysis and Use. Boston: Allyn & Bacon.

Gerstel, N.Gross, H.E. (1982). Commuter Marriage : A Review. Dalam Gross, H & Sussman, Marvin B. (Eds) I (5thed, hal 71-93)New York: Haworth Press

Goldsmith, E.B. (1998). Theory, Work, and Family: Research and Applications. California: Select Press

Hendrick, S & Hendrick, C. (1992).Liking, loving & relating (2nd ed). California: Brooks/ Cole Publishing Company Pacific Grove

Hughes, F.P & Noppe, L.D. (1985). Human Development Across The Life Span. New York: West Publishing Company.

Hurlock, Elizabeth, B. (2006). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Erlangga: Jakarta.

Indonesia. Undang-undang Tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974. LN No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019.

Kaplan, R. M. & Saccuzzo. (2005). Psychological testing: Principles, Application, and Issues (6thed.).Belmont: Thomson Wadsworth.

Koentjaraningrat, (1976).Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta : Djambatan Lemme, B. H. (1995).Development in adulthood. USA: Allyn & Bacon.

Matlin, Margareth W. (2008). The Psychology of Women. United State of America: Thomson Wardsworth.

Nazir, Mohammad. (1988).Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Newman, B. M. & Newman P. R. (2006). Development through life: A psychosocial approach.(9th ed). United State of America: Thomson Wadsworth.


(40)

91

Universitas Kristen Maranatha Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2007). Human Development. (10th Edition). New

York: McGraw-Hill.

Santrock, John W. (2002).Life Span Development. Second Edition, Jakarta: Erlangga

Sarafino, E. P. (2006). Health Psychology : Biopsychosocial Interactions. Fifth Edition. USA: John Wiley & Sons.

Stafford, Laura. (2005). Maintaining long-distance and cross-residential relationships. New Jersey: Lawrence Earlbaum Associates

Sugiyono.(2007).Statistika untuk Penelitian.Bandung: Alfabeta Suseno, F. M. (1992).Etika Jawa.Jakarta: PT. Gramedia

Wright, H.N. (1993). Pertanyaan-pertanyaan Pribadi yang Sering Diajukan Para Wanita (Terjemahan Freddy Tjahjono). Solo: BADARA Publication.


(41)

92

Fowers, B.J & Olson, D.H. (1989). Enrich marital inventory : a discriminant validity & cross validity assessment. Journal of Marital and Family Therapy, 15

Fowers, B. J. & Olson, D. H. (1993). Enrich marital scale: a brief research and clinical tool. Journey of Family Psychology, 7 (2), 176-185. Diakses tgl. 3 September 2014 dari: http://www.buildingrelationships.com/pdf/study10.pdf.

Greenstein, T.N. (1996). Gender ideology and perceptions of the fairness of the division of household labor: Effect on marital quality.Social Forces, 74.

Gustafson, Per. (2006). Work-related travel, gender, and family obligations. Work, employment and society, 20 (3), 513-530. Diakses tgl 3 September 2014 dari: http://wes.sagepub.com/cgi/content/abstract/20/3/513.

Johnson, S.L. and Jacob, T. (2000). Sequential Interaction in the Marital Communication of Depressed Men and Women.Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 68, No. 1, 4-12.

Marini, Liza dan Julinda (2009). Gambaran Kepuasan Pernikahan Istri pada Pasangan Commuter Marriage.Medan: Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Marriage and Family Encyclopedia (2009). http://family.jrank.org. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2014

Mehrabian dan Blum. (1999). Comprehesive Marital Satisfaction Scale (CMSS). Conceptualizing and Measuring “Healthy Marriage part II”.

Ningrum, Diah Woro Nensi Kusuma. (2014). Fear of Success pada Wanita Jawa yang Bekerja. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

Pujiastuti, E. Retnowati, S. (2004). Kepuasan Pernikahan dengan Depresi pada Kelompok Wanita Menikah yang Bekerja dan Tidak Bekerja. Humanitas Indonesian Psycological Journal, Agustus, Vol. 1 (2) : 1 - 9.

Rhodes, A. (2002). Long-distance relationship in dual-career commuter couple: A review of conseling issues, The Therapy for couples and Families398-404

Roehling, P. V. & Bultman, M. (2002).Does absence make the heart grow fonder? Work-related travel and marital satisfaction. Sex Roles: Journal of Research, 46, 279-293.

Riasari, Anandita Ratna. (2014). Outline Metodologi Penelitian Lanjutan: Studi Deskriptif Mengenai Kepuasan Perkawinan Istri yang Berada di Tahap Dewasa Awal Pada Pasangan Commuter Marriage. Universitas Kristen Maranatha Bandung.


(42)

93

Universitas Kristen Maranatha Rini, K. Q dan Retnaningsih. (2008). Kontribusi Self Disclosure Pada Kepuasan Perkawinan

Pria Dewasa Awal Jurnal..

Roehling, P. V. & Bultman, M. (2002).Does absence make the heart grow fonder? Work-related travel and marital satisfaction. Sex Roles: Journal of Research, 46, 279-293. Salim, Cicilia. (2010). Gambaran faktor-faktor kepuasan perkawinan istri bekerja yang

suaminya tidak bekerja [On-line]. Abstrak dari Undergraduate ThesesUniversitas

Atmajaya. Diakses pada 13 Oktober 2014 dari

http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=171236.

Scoot, Andrea T. (2002). Communication characterizing successful long distance marriages. Disertasi. Faculty of the Louisiana State University and Agricultural and Mechanical College. Diakses tgl. 3 September 2014 dari: http://etd.lsu.edu/docs/available/etd-0416102-172102/unrestricted/Scott_dis.pdf

Sudarto, Angela. (2014).Studi Deskriptif Kepuasan Perkawinan pada Perempuan yang Menikah Dini. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol. 3 No.1

Wolfinger, Nicholas H. & Wilcox, W. Bradford. (2008). Happily ever after? Religion, marital status, gender and relationship quality. Social Forces, 86, 3; Platinum Periodicals, 1311. http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t16800.pdf diakses pada tanggal 4 Desember 2014


(1)

88

Universitas Kristen Maranatha 5. Seluruh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota 8andung yang menghayati tidak puas pada pernikahan, menghayati tidak puas pula pada aspek orientasi keagamaan juga pada aspek anak dan pengasuhan anak.

6. Sebagian istri pasangan commuter marrige di Gereja “X” Kota 8andung yang menghayati tidak puas pada pernikahan, menghayati tidak puas pula pada aspek pengelolaan keuangan dan sebagian istri pasangan commuter marrige di Gereja “X” Kota 8andung yang menghayati tidak puas pada pernikahan, menghayati puas ada aspek pengelolaan keuangan. 7. Di samping data demografi (Usia Pernikahan dan Jumlah Anak ), faktor-faktor yang

memiliki kecenderungan keterkaitan dengan derajat kepuasan pernikahan yang dihayati oleh istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota 8andung adalah puas pada keadaan ekonomi sebelum menikah, memiliki hubungan orangtua yang harmonis, memiliki tingkat pendidikan menunjang karir yang diinginkan, kehadiran anak, pertemuan dengan suami, frekuensi pertemuan dengan suami, dan dapat beradaptasi di dalam pernikahan.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

1. 8agi peneliti selanjutnya yang akan meneliti mengenai variabel Kepuasan Pernikahan, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dan rujukan untuk memperkaya pemahaman mengenai Kepuasan Pernikahan.

2. 8agi peneliti selanjutnya yang akan meneliti mengenai variabel Kepuasan Pernikahan diharapkan untuk menyusun kembali alat ukur Kepuasan Pernikahan dan menghitung kembali validitas serta reabilitas dari alat ukur tersebut.


(2)

89 3. Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam hal jumlah responden yang terbatas. Oleh karena itu, peneliti lain yang ingin meneliti mengenai Kepuasan Pernikahan disarankan untuk dapat menjaring responden yang lebih banyak sehingga memperoleh penelitian yang lebih komprehensif.

5.2.1 Saran Praktis

1. 8agi konselor pernikahan di Gereja “X” Kota 8andung, hasil ini penelitian ini dapat memberikan informasi yang digunakan untuk bimbingan dan pengarahan secara langsung maupun melalui suatu seminar atau retreat kepada istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota 8andung mengenai pentingnya pemahaman mengenai kepuasan pernikahan supaya meningkatkannya dan memunculkan kebahagiaan di pernikahan pasangancommuter marriagedi Gereja “X” Kota 8andung.

2. Istri pasangan commuter marriage di Gereja “X” Kota 8andung yang menghayati tidak puas pada pernikahan agar melakukan konseling dengan konselor di Gereja “X” Kota 8andung agar dapat mengetahui kondisi yang individu alami, penyebab, dan alternative penyelesaiannya sehingga individu dapat memiliki kepuasan pernikahan dan merasakan kebahagian di dalam pernikahannya.


(3)

90

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTATA

Bee, Helen L. & Sandra K. Mitchell. (1984). The Developing Person (A Life Span Approach). USA : Publisher New york.

Badan Pusat Statistik Jakarta Pusat. (2010). Statistik Indonesia Tahun 2010. Jakarta Pusat : Badan Pusat Statistik

Duvall, E.M. dan Miller, B.C. (1985).Marriage and family development. New York: Harper and Row.

Friedenberg, Lisa. (1995). Psychological Testing : Design, Analysis and Use. Boston: Allyn & Bacon.

Gerstel, N.Gross, H.E. (1982). Commuter Marriage : A Review. Dalam Gross, H & Sussman, Marvin B. (Eds) I (5thed, hal 71-93)New York: Haworth Press

Goldsmith, E.B. (1998). Theory, Work, and Family: Research and Applications. California: Select Press

Hendrick, S & Hendrick, C. (1992).Liking, loving & relating (2nd ed). California: Brooks/ Cole Publishing Company Pacific Grove

Hughes, F.P & Noppe, L.D. (1985). Human Development Across The Life Span. New York: West Publishing Company.

Hurlock, Elizabeth, B. (2006). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Erlangga: Jakarta.

Indonesia. Undang-undang Tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974. LN No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019.

Kaplan, R. M. & Saccuzzo. (2005). Psychological testing: Principles, Application, and Issues (6thed.).Belmont: Thomson Wadsworth.

Koentjaraningrat, (1976).Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta : Djambatan Lemme, B. H. (1995).Development in adulthood. USA: Allyn & Bacon.

Matlin, Margareth W. (2008). The Psychology of Women. United State of America: Thomson Wardsworth.

Nazir, Mohammad. (1988).Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Newman, B. M. & Newman P. R. (2006). Development through life: A psychosocial approach.(9th ed). United State of America: Thomson Wadsworth.


(4)

Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2007). Human Development. (10th Edition). New York: McGraw-Hill.

Santrock, John W. (2002).Life Span Development. Second Edition, Jakarta: Erlangga

Sarafino, E. P. (2006). Health Psychology : Biopsychosocial Interactions. Fifth Edition. USA: John Wiley & Sons.

Stafford, Laura. (2005). Maintaining long-distance and cross-residential relationships. New Jersey: Lawrence Earlbaum Associates

Sugiyono.(2007).Statistika untuk Penelitian.Bandung: Alfabeta Suseno, F. M. (1992).Etika Jawa.Jakarta: PT. Gramedia

Wright, H.N. (1993). Pertanyaan-pertanyaan Pribadi yang Sering Diajukan Para Wanita (Terjemahan Freddy Tjahjono). Solo: BADARA Publication.


(5)

92

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUTAN

Fowers, B.J & Olson, D.H. (1989). Enrich marital inventory : a discriminant validity & cross validity assessment. Journal of Marital and Family Therapy, 15

Fowers, B. J. & Olson, D. H. (1993). Enrich marital scale: a brief research and clinical tool. Journey of Family Psychology, 7 (2), 176-185. Diakses tgl. 3 September 2014 dari: http://www.buildingrelationships.com/pdf/study10.pdf.

Greenstein, T.N. (1996). Gender ideology and perceptions of the fairness of the division of household labor: Effect on marital quality.Social Forces, 74.

Gustafson, Per. (2006). Work-related travel, gender, and family obligations. Work, employment and society, 20 (3), 513-530. Diakses tgl 3 September 2014 dari: http://wes.sagepub.com/cgi/content/abstract/20/3/513.

Johnson, S.L. and Jacob, T. (2000). Sequential Interaction in the Marital Communication of Depressed Men and Women.Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 68, No. 1, 4-12.

Marini, Liza dan Julinda (2009). Gambaran Kepuasan Pernikahan Istri pada Pasangan Commuter Marriage.Medan: Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Marriage and Family Encyclopedia (2009). http://family.jrank.org. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2014

Mehrabian dan Blum. (1999). Comprehesive Marital Satisfaction Scale (CMSS). Conceptualizing and Measuring “Healthy Marriage part II”.

Ningrum, Diah Woro Nensi Kusuma. (2014). Fear of Success pada Wanita Jawa yang Bekerja. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

Pujiastuti, E. Retnowati, S. (2004). Kepuasan Pernikahan dengan Depresi pada Kelompok Wanita Menikah yang Bekerja dan Tidak Bekerja. Humanitas Indonesian Psycological Journal, Agustus, Vol. 1 (2) : 1 - 9.

Rhodes, A. (2002). Long-distance relationship in dual-career commuter couple: A review of conseling issues, The Therapy for couples and Families398-404

Roehling, P. V. & Bultman, M. (2002).Does absence make the heart grow fonder? Work-related travel and marital satisfaction. Sex Roles: Journal of Research, 46, 279-293.

Riasari, Anandita Ratna. (2014). Outline Metodologi Penelitian Lanjutan: Studi Deskriptif Mengenai Kepuasan Perkawinan Istri yang Berada di Tahap Dewasa Awal Pada Pasangan Commuter Marriage. Universitas Kristen Maranatha Bandung.


(6)

Rini, K. Q dan Retnaningsih. (2008). Kontribusi Self Disclosure Pada Kepuasan Perkawinan Pria Dewasa Awal Jurnal..

Roehling, P. V. & Bultman, M. (2002).Does absence make the heart grow fonder? Work-related travel and marital satisfaction. Sex Roles: Journal of Research, 46, 279-293. Salim, Cicilia. (2010). Gambaran faktor-faktor kepuasan perkawinan istri bekerja yang

suaminya tidak bekerja [On-line]. Abstrak dari Undergraduate ThesesUniversitas

Atmajaya. Diakses pada 13 Oktober 2014 dari

http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=171236.

Scoot, Andrea T. (2002). Communication characterizing successful long distance marriages. Disertasi. Faculty of the Louisiana State University and Agricultural and Mechanical College. Diakses tgl. 3 September 2014 dari: http://etd.lsu.edu/docs/available/etd-0416102-172102/unrestricted/Scott_dis.pdf

Sudarto, Angela. (2014).Studi Deskriptif Kepuasan Perkawinan pada Perempuan yang Menikah Dini. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol. 3 No.1

Wolfinger, Nicholas H. & Wilcox, W. Bradford. (2008). Happily ever after? Religion, marital status, gender and relationship quality. Social Forces, 86, 3; Platinum Periodicals, 1311. http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t16800.pdf diakses pada tanggal 4 Desember 2014