Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Prinsip Prinsip University Governance Berlandaskan Tri Hita Karana di Universitas Mahasaraswati Denpasar - Bali T2 922009103 BAB II

BAB II
TELAAH PUSTAKA
Pendidikan tinggi yang berkembang pesat akhir-akhir ini, menempatkan pendidikan tinggi sebagai sektor penting dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Namun demikian dengan peningkatan
jumlah mahasiswa yang sangat besar dan diikuti dengan munculnya
lembaga-lembaga di lingkungan perguruan tinggi yang mempunyai kegiatan
beragam menyebabkan struktur dalam sebuah perguruan tinggi menjadi semakin kompleks. Hal ini membutuhkan sebuah manajemen yang profesional
yang mampu memberikan solusi manakala muncul suatu masalah baru.

University governance adalah paradigma yang relatif baru, yang
akan membantu memecahkan masalah manajemen dan kontrol kelembagaan pada pengelolaan perguruan tinggi. University governance
mempunyai prinsip dasar sama dengan corporate governance, yaitu
pembagian kekuasaan dan tanggung jawab. Namun demikian model tata
kelola pada corporate governance tidak dapat disalin secara langsung ke
dalam university governance. Diperlukan pemahaman dan adaptasi lebih
mendalam. Mengingat korporasi maupun universitas merupakan organisasi
pemangku kepentingan, maka sebagai dasar pijakan untuk dapat memahami

corporate governance dan university governance

akan digunakan teori


stakeholder ciptaan R. Edward Freeman.

2.1. Governance
Sutojo dan Adridge (2008) menjelaskan, bahwa istilah governance
berasal dari bahasa Perancis “gubernance” yang berarti pengendalian. Dewasa
ini governance menjadi salah satu konsep paling menarik dalam ilmu sosial,
terutama di bidang administrasi publik. Governance, menurut Newman (2001)
dalam Lee (2003) dapat didefinisikan secara luas sebagai berbagai cara untuk
memecahkan masalah umum termasuk masalah organisasi, sosial, nasional dan
13

internasional. Didefinisikan dengan cara ini, governance umumnya mengacu
pada pertanyaan tentang bentuk kekuasaan dan wewenang, pola hubungan hak
dan kewajiban antara orang-orang dalam menghadapi masalah umum.
Definisi di atas menekankan adanya berbagai model governance.
Sebagai contoh, Rhodes (2000) menjelaskan tujuh model governance: (1)

corporate governance dan (2) good governance yang menekankan proses
formal dari kedua perusahaan swasta dan pemerintah untuk audit, memastikan

transparansi, dan keterbukaan informasi; (3) New Public Management yang
mengacu

pada

peningkatan

efisiensi

birokrasi

pemerintah

dengan

memperkenalkan metode manajemen sektor swasta; (4) ekonomi politik baru
yang menekankan perubahan hubungan antara pemerintah, masyarakat sipil
dan pasar; (5) saling ketergantungan internasional, (6) sistem socialcybernetic,
dan (7) jaringan yang menyangkal adanya kekuatan monosentris. Sedangkan
Newman (2001) dalam Lee (2003:6) mengklasifikasikan governance menjadi

empat model berbeda, yaitu: (1) model hirarkis, yang ditandai dengan
sentralisasi dan kontinuitas/ketertiban, dan menekankan otoritas resmi, kontrol,
standarisasi dan akuntabilitas; (2) model tujuan rasional, yang ditandai dengan
sentralisasi dan inovasi/perubahan, dan menekankan kekuatan manajerial,
memaksimalkan output dan rasionalisasi ekonomi; (3) model sistem terbuka,
yang ditandai dengan desentralisasi dan inovasi/perubahan, dan menekankan
fleksibilitas dan ekspansi; dan (4) model governance itu sendiri, yang ditandai
dengan desentralisasi dan kontinuitas/order, dan menekankan kekuatan
masyarakat, devolusi dan partisipasi.
Pendapat lain dikemukakan oleh Campbell et al. (1991:3) yang
mendefinisikan governance sebagai proses politik dan ekonomi yang
mengkoordinasikan kegiatan pelaku ekonomi, dan menyediakan enam tipe
mekanisme governance yang ideal, seperti pasar, jaringan obligational, hirarki,
pemantauan, jaringan promosi, dan asosiasi. Selanjutnya, governance yang lebih
umum didefinisikan sebagai mekanisme untuk menyelesaikan masalah-masalah
publik. Sebagai contoh, Institut On Governance (IOG) menjelaskan bahwa
14

governance terdiri dari tradisi, institusi dan proses yang menentukan bagaimana
kekuasaan dilaksanakan, bagaimana warga negara diberikan suara, dan

bagaimana keputusan dibuat terkait isu-isu yang menjadi perhatian publik.
Singkatnya, definisi yang lebih luas dari governance, menurut Lee
(2003) mengacu pada cara mendefinisikan hak dan tanggung jawab anggota
yang sedang menghadapi masalah umum tertentu dan ingin mengatasinya
bersama-sama. Misalnya, New Public Management mengacu pada cara untuk
menyelesaikan masalah manajemen internal pemerintah dengan mendefinisikan kewenangan dan tanggung jawab dari birokrat publik serta warga.
Kemudian, corporate governance dalam daftar Rhodes, dapat dipahami sebagai
cara memaksimalkan efisiensi manajemen dengan mendefinisikan kewenangan
dan tanggung jawab pemegang saham, manajer, dan pekerja.
2.2. Corporate Governance
2.2.1. Pengertian Corporate Governance
Terkait dengan pengertian corporate governance, Sir Adrian
Cadbury melalui Global Corporate Governance Forum-World Bank (2000)
mengungkapkan:
"Corporate Governance is concerned with holding the balance
between economic and social goals and between individual and
communal goals. The corporate governance framework is there to encourage
the efficient use of resources and equal to require accountability for the
stewardship of those resources. The aim is to align as nearly as possible the
interests of individuals, corporations and society”


Pendapat Cadbury di atas menekankan bahwa corporate

governance merupakan keseimbangan antara tujuan ekonomi dan tujuan
sosial serta tujuan individu dan tujuan komunitas. Selain itu, corporate

governance juga menekankan akuntabilitas dalam pengelolaan segala
sumber daya yang memperhatikan seluruh kepentingan, baik individu,
perusahaan, dan masyarakat. Sementara itu Turnbull (2000) lebih menekankan pada bagaimana melakukan tata kelola dalam sebuah organisasi dengan
memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi proses kelembagaan
dalam rangka menghasilkan (produksi) dan menjual barang atau jasa.
15

Turnbull juga berpendapat bahwa penunjukan “controllers” dan “regulators”
merupakan

substansi

penting


dalam

membangun good corporate

governance, sebagaimana diungkapkan oleh Turnbull (2000):
“Corporate governance describes all the influences affecting the institutional
processes including those for appointing the controllers and/or regulators,
involved in organizing the production and sale of goods and services”

Berbeda dengan Cadbury dan Turnbull, Organization for Economic

Cooperation and Development (OECD, 2004) mendefinisikan Corporate
Governance sebagai berikut:
“Corporate Governance is the system by which business corporations are
directed and controlled. The Corporate Governance structure specifies the
distribution of the right and responsibilities among different participants
in the corporation, such as the board, managers, shareholders, and other
stakeholders, and spells out the rules and procedures for making
decisions on corporate affairs. By doing this, it also provides this structure
through which the company objectives are set, and the means of

attaining those objectives and monitoring performance are attained”

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa OECD melihat corporate

governance sebagai suatu sistem dimana sebuah perusahaan atau entitas
bisnis diarahkan dan diawasi. Sejalan dengan itu, maka struktur dari

corporate governance menjelaskan distribusi hak-hak dan tanggungjawab
dari masing-masing pihak yang terlibat dalam sebuah bisnis, antara lain dewan
komisaris dan direksi, manajer, pemegang saham, serta pihak-pihak lain yang
terkait sebagai stakeholders. Selanjutnya, struktur dari corporate governance
juga menjelaskan aturan dan prosedur dalam pengambilan dan pemutusan
kebijakan sehingga dengan melakukan itu semua maka tujuan perusahaan dan
pemantauan kinerja perusahaan dapat dipertangungjawabkan dan dilakukan
dengan baik.
Tidak berbeda dengan pandangan OECD, Komite Nasional Kebijakan Governance/KNKG (2006) juga melihat corporate governance sebagai
suatu sistem yang mengendalikan perusahaan. Sistem tersebut berupa
seperangkat peraturan yang mengatur hubungan yang berkaitan dengan
hak-hak dan kewajiban antara pemegang saham, pengelola perusahaan,
pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan

16

internal dan eksternal lainnya, dengan tujuan

untuk menciptakan nilai

tambah bagi semua pihak.

Corporate governance, oleh Menteri BUMN Republik Indonesia
(2011) diberi pengertian sebagai suatu proses dan struktur yang dijalankan
berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan dengan tujuan mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap
memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan
bahwa corporate governance adalah suatu sistem yang dibangun untuk
mengarahkan dan mengendalikan perusahaan sehingga tercipta tata
hubungan yang baik, adil dan transparan di antara berbagai pihak yang
terkait dan memiliki kepentingan (stakeholder) dalam perusahaan. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa corporate governance sebenarnya menjelaskan kerangka aturan, hubungan, sistem dan proses di dalam dan dimana
otoritas dilaksanakan dan dikendalikan dalam perusahaan. Ini meliputi
mekanisme perusahaan, siapa yang memegang kendali dan siapa yang akan

dimintai pertanggungjawaban.
Tata hubungan dalam corporate governance mencakup hubungan
stakeholder dengan perusahaan, baik internal (karyawan) dan eksternal
(pelanggan, pemasok, dll). Corporate governance

menentukan pembagian

hak dan tanggung jawab antara stakeholder dan manajer, serta menentukan
aturan dan prosedur dalam membuat keputusan tentang urusan perusahaan.
Pendekatan stakeholder untuk corporate governance, menyiratkan pergeseran peran tradisional dewan direksi sebagai pembela kepentingan
pemegang saham. Sebagai lembaga tertinggi, direksi bertanggung jawab
untuk menetapkan nilai-nilai dan standar dalam organisasi melalui keputusan direksi mengenai strategi, insentif dan sistem pengendalian internal.
Oleh karena itu, perusahaan harus merancang strategi dengan mempertimbangkan kepentingan stakeholder, yaitu kelompok dan individu yang
17

dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tujuan organisasi (Freeman,
2013:364). Dengan demikian,

dalam pengambilan keputusan manajerial,


perusahaan harus mempertimbangkan berbagai kepentingan stakeholder.
Menurut Donaldson dan Preston (1995), setidaknya ada dua alasan
mengapa perusahaan memperhatikan kepentingan stakeholder. Pertama,
tuntutan stakeholder dianggap memiliki nilai intrinsik (pendekatan
normatif), sehingga perusahaan memiliki tanggung jawab untuk memenuhi
klaim yang sah dari stakeholder. Kedua, menyikapi kepentingan stakeholder
yang dianggap memiliki pengaruh dapat meningkatkan profitabilitas
perusahaan (pendekatan instrumental). Ditinjau dari pendekatan normatif,
mempertimbangkan kelompok pemangku kepentingan perusahaan yang
berbeda dapat dilihat sebagai tuntutan etis. Oleh karena itu perlu adanya
representasi dari beragam pemangku kepentingan yang duduk di dewan
perusahaan dengan tujuan untuk melegitimasi dan melindungi kepentingan
stakeholder perusahaan, serta untuk memastikan bahwa keprihatinan stakeholder diperhatikan dalam pengambilan keputusan perusahaan. Luoma dan
Goodstein (1999) mengemukakan tiga dimensi struktur dan komposisi
dewan yang mencerminkan sejauh mana kepentingan stakeholder telah
diintegrasikan ke dalam pengambilan keputusan perusahaan, terkait dengan
kehadiran stakeholder sebagai direktur, janji dewan dalam hal pemantauan
atau pengawasan komite (audit, kompensasi, eksekutif atau pencalonan), dan
keberadaan komite yang terdiri dari stakeholder yang didedikasikan untuk


Corporate Social Responsibility.
Dalam pendekatan stakeholder model instrumental, salah satu
argumen utama adalah pengakuan terhadap investasi spesifik perusahaan
yang dibuat oleh para pemangku kepentingan. Perusahaan harus menjaga
kepentingan semua orang yang berkontribusi pada penciptaan nilai umum,
yaitu, melakukan investasi khusus untuk sebuah perusahaan tertentu.
Investasi spesifik perusahaan ini bisa beragam dan mencakup fisik, manusia,
dan modal sosial. Investasi spesifik ini tidak mempunyai nilai di luar
18

perusahaan dan tidak dapat dilindungi oleh kontrak penuh, atau dievaluasi
secara independen dari fungsi perusahaan. Untuk melindungi berbagai
kepentingan stakeholder sebagaimana telah disebutkan di atas, corporate

governance memiliki prinsip-prinsip yang harus ditaati oleh pelaku usaha.

2.2.2. Prinsip-Prinsip Corporate Governance
Pada dasarnya corporate governance menurut OECD (2004:12)
merupakan salah satu bagian dari konteks ekonomi yang lebih besar dimana
perusahaan beroperasi, yang meliputi misalnya, kebijakan makro ekonomi
dan tingkat persaingan dalam produk dan faktor pasar. OECD (2004) juga
menjelaskan, bahwa kerangka corporate governance tergantung pada
lingkungan hukum, peraturan, dan kelembagaan yang ada, serta dipengaruhi
oleh hubungan antara peserta dalam sistem pengelolaan perusahaan.
Pemegang saham pengendali, yang mungkin individu, kepemilikan keluarga,
atau perusahaan lain yang bertindak melalui perusahaan holding atau lintas
kepemilikan saham, dapat mempengaruhi perilaku perusahaan. Sebagai
pemilik modal, investor akan menuntut suara dalam tata kelola perusahaan
di beberapa pasar. Pemegang saham individu biasanya tidak berusaha untuk
menggunakan hak kelola tetapi mungkin sangat prihatin apabila mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari pemegang saham pengendali dan
manajemen. Oleh karena itu kerangka corporate governance harus mempromosikan kebijakan yang transparan dan efisien, konsisten dengan aturan
hukum, dan jelas mengartikulasikan pembagian tanggung jawab antara
otoritas pengawas peraturan dan penegakan yang berbeda. Dengan demikian
corporate governance merupakan interaksi antara berbagai peserta
(pemegang saham, direksi, dan manajemen perusahaan) dalam membentuk
kinerja korporasi. Hubungan antara pemilik dan manajer dalam suatu
organisasi harus sehat dan tidak boleh ada konflik. Pemilik harus melihat
kinerja aktual yang sesuai dengan standar kinerja. Oleh karena itu prinsipprinsip corporate governance

tidak boleh diabaikan, karena menurut

19

Rezaee (2007), prinsip-prinsip corporate governance merupakan salah satu
pilar utama dalam perkembangan corporate governance (CG).
OECD mengemukakan empat prinsip corporate governance yaitu:
1) perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham, 2) persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham termasuk pemegang saham asing
dan minoritas, 3) dorongan kerjasama antara perusahaan dengan pemangku
kepentingan agar tercipta kesejahteraan, lapangan kerja, dan kesinambungan
usaha, dan 4) keterbukaan dan transparansi terkait keuangan, kinerja
perusahaan, kepemilikan, dan pengelolaan perusahaan.
Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham terkait dengan
penjaminan keamanan metoda pendaftaran kepemilikan, mengalihkan atau
memindahkan saham yang dimiliki, memperoleh informasi yang relevan
tentang perusahaan secara teratur dan berkala, berperan dalam memberikan
suara dalam RUPS, memilih anggota dewan komisaris dan direksi, serta
memperoleh pendistribusian keuntungan perusahaan. Sedangkan keterbukaan dan transparansi terkait dengan keuangan, kinerja perusahaan, kepemilikan, dan pengelolaan perusahaan. Informasi yang disusun harus diungkapkan, diaudit, dan disajikan sesuai dengan standar. Akuntabilitas
dewan komisaris yaitu CG menjamin adanya pedoman strategi perusahaan,
pemantauan yang efektif terhadap manajemen yang dilakukan oleh dewan
komisaris dan akuntabilitas dewan komisaris terhadap perusahaan dan
pemegang saham.
Tahun 2004, OECD melakukan revisi terhadap prinsip-prinsip
tersebut di atas menjadi enam prinsip, yaitu: 1) Memastikan kerangka dasar

corporate covernance yang efektif. Oleh karena itu kerangka corporate
governance harus mempromosikan pasar yang transparan dan efisien,
konsisten dengan aturan hukum dan jelas mengartikulasikan pembagian
tanggung jawab antara otoritas pengawas, peraturan, dan penegakan yang
berbeda. 2) Hak pemegang saham dan fungsi kepemilikan. Terkait dengan
hal ini, kerangka corporate governance harus melindungi dan memfasilitasi
20

pelaksanaan hak pemegang saham. 3) Pemerataan perlakuan pemegang
saham. Untuk itu kerangka corporate governance harus menjamin perlakuan
yang sama dari semua pemegang saham, termasuk pemegang saham
minoritas dan asing. Semua pemegang saham harus memiliki kesempatan
untuk memperoleh ganti rugi yang efektif untuk pelanggaran hak-hak
mereka. 4) Peran stakeholder dalam corporate governance. Untuk mengatur
peran stakeholder, kerangka corporate governance harus mengakui hak-hak
stakeholder yang ditetapkan oleh hukum atau melalui kesepakatan bersama,
dan mendorong kerjasama yang aktif antara perusahaan dan pemangku
kepentingan dalam menciptakan kekayaan, pekerjaan, dan keberlanjutan
finansial perusahaan. 5) Pengungkapan dan transparansi. Kerangka

corporate governance harus memastikan bahwa pengungkapan dibuat tepat
waktu dan akurat terhadap semua hal mengenai perusahaan, termasuk
situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan tata kelola perusahaan. 6)
Tanggung jawab dewan. Kerangka corporate governance harus memastikan
bahwa dewan melakukan pemantauan yang efektif terhadap manajemen.
Selain itu, kerangka corporate governance juga harus memastikan
akuntabilitas dewan terhadap perusahaan dan pemegang saham.
Prinsip corporate governance

yang lain dikemukakan oleh

International Corporate Governance Network (ICGN), yang mengadopsi
prinsip-prinsip CG yang

dikembangkan oleh OECD sebagai standar

minimal yang dapat diterima bagi perusahaan dan investor diseluruh dunia.
Selanjutnya ICGN merekomendasikan prinsip-prinsip sebagai Best Practices
dalam penerapan CG yaitu: 1) Kejujuran (honesty), artinya perusahaan harus
menyampaikan kebenaran disetiap waktu tanpa harus memperhatikan
konsekuensinya. 2) Kekuatan segera pulih (resilience), dimana perusahaan
dituntut untuk mengembangkan struktur CG yang mampu bertahan hidup
dan segera pulih jika perusahaan mengalami kemunduran ataupun
kegagalan. 3) Ketanggapan (responsivenes), dimana perusahaan dituntut
bereaksi cepat terhadap permintaan dan tuntutan para pemangku
kepentingan, dan 4) Transparansi (Transparency), dalam hal ini perusahaan
21

dituntut untuk menyajikan secara terus terang informasi yang relevan bagi
para pemangku kepentingan secara andal dan dalam bahasa yang mudah
dipahami. Dari keempat prinsip dasar tersebut, ICGN berharap dapat
mencapai empat tujuan utama, yaitu kemampuan menyediakan jaringan
untuk bertukar pandangan dan informasi tentang topik-topik international
tentang CG, mengevaluasi prinspip-prinsip dan praktek-praktek CG,
mengembangkan dan mendorong kepatuhan perusahaan terhadap standard
dan petunjuk CG, dan mempromosikan terciptanya Good Corporate

Governance.
Di Indonesia sendiri, terdapat beberapa organisasi yang telah
menawarkan prinsip-prinsip corporate governance yang dapat dipakai
sebagai pedoman dalam mengelola perusahaan. Komite Nasional Kebijakan
Governance (2006) di Indonesia menetapkan lima asas yang tercantum di
pedoman umum GCG yaitu: 1) Transparansi, dimana perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah
diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. 2) Akuntabilitas.
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar,
terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain.
3) Responsibilitas. Perusahaan harus mematuhi peraturan perundangudangan serta melaksanakan tangungjawab terhadap masyarakat dan
lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka
panjang dan mendapatkan pengakuan sebagai good corporate citizen. 4)
Independensi. Perusahaan harus dikelola secara independen sehingga
masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak
diintervensi oleh pihak lain, dan 5) Kewajaran dan kesetaraan. Perusahaan
harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan
pemangku kepentingan lainnya berdasarkan atas kewajaran dan kesetaraan.

22

Sedangkan Menteri Negara BUMN melalui Pasal 3 Peraturan
Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-01/MBU/2011
Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate

Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara menetapkan lima prinsip yang
harus diterapkan didalam mengelola BUMN yaitu: 1) Transparansi. Keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai
perusahaan. 2) Kemandirian. Perusahaan dikelola secara profesional tanpa
benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
prinsip prinsip korporasi yang sehat. 3) Akuntabilitas. Kejelasan fungsi,
pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. 4) Pertanggungjawaban. Kesesuaian
di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat, dan 5) Keadilan

(fairness). Keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak–hak stakeholder
yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Sementara itu prinsip-prinsip CG menurut Center for Good

Corporate Universitas Gadjah Mada (CGC UGM) adalah: 1) Transparency
(transparansi). Dalam menjalankan fungsinya semua partisipan harus menyampaikan informasi yang material sesuai dengan substansi yang sesungguhnya, dan menjadikan informasi tersebut dapat diakses dan dipahami
secara mudah oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan. 2) Accountability

& Responsibility (pertanggungjelasan dan pertanggungjawaban). Setiap
partisipan CG harus mempertanggungjelaskan amanah yang diterima sesuai
dengan hukum, peraturan, standar moral/etika maupun best practices yang
diterima umum dan menyiapkan/mengantisipasi pertanggungjawaban jika
pertanggungjelasan yang diajukan ditolak. 3) Responsiveness (ketanggapan).
Setiap partisipan CG harus menanggapi, meliputi kegiatan antisipatif terhadap permintaan umpan balik dari pihak-pihak yang berkepentingan dan
23

terhadap perubahan-perubahan dunia usaha yang berpengaruh signifikan
terhadap perusahaan. 4) Independency

(independensi). Partisipan harus

membebaskan diri dari kepentingan pihak-pihak lain yang berpotensi memunculkan konflik kepentingan dan menjalankan fungsinya sesuai kompensasi yang memadai, dan 5) Fairness (keadilan). Memperlakukan pihak lain
secara adil berdasar ketentuan umum yang berlaku.
Apapun bentuk definisi yang digunakan, governance adalah tentang
menciptakan ruang untuk berbagi: (1) ide dan informasi, (2) kekuasaan, (3)
otoritas, (4) tanggung jawab, (5) kepemilikan (6) akuntabilitas, (7)
transparansi, (8) penegakan hukum dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia, (9) keterbukaan, (10) etika dan integritas, (11) kejujuran, dan (12)
keadilan. Dari berbagai prinsip corporate governance yang telah diuraikan di
atas, terdapat lima prinsip yang secara umum diterapkan yaitu transparansi
(transparency), akuntabilitas (accountability), responsibilitas (responsibility),
keadilan (fairness), dan independensi (independency). Dengan diterapkannya kelima prinsip tersebut dalam mengelola perusahaan diharapkan akan
tercipta tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance.

2.2.3. Manfaat Corporate Governance
Penerapan prinsip-prinsip corporate governance yang sehat tidak
selalu mudah. Hal ini mungkin akan melibatkan perubahan dalam cara
perusahaan beroperasi dan pergeseran distribusi kekuasaan dalam kaitannya
dengan pengambilan keputusan perusahaan. Namun demikian, ketika
prinsip-prinsip corporate governance

yang sehat sepenuhnya dapat di-

laksanakan, maka dapat dipastikan bahwa perusahaan dikelola dengan baik
dan benar. Proses ini memastikan perlindungan terhadap korupsi dan salah
urus. Sebagaimana dikemukakan oleh Todorovic (2013:47) bahwa corporate

governance yang baik dapat membantu mencegah skandal perusahaan,
penipuan, dan potensi tanggung jawab perdata dan pidana perusahaan.

Corporate governance yang baik dapat meningkatkan citra dan reputasi
perusahaan dan membuatnya lebih menarik bagi investor, pemasok,
24

pelanggan dan stakeholder lainnya, serta dapat menghasilkan manfaat
ekonomi secara langsung kepada perusahaan, sehingga lebih menguntungkan dan lebih kompetitif. Ditambahkan oleh Todorovic (2013:47), melalui
aplikasi yang sesuai, prinsip-prinsip corporate governance akan meningkatkan profitabilitas, meningkatkan daya saing perusahaan, meningkatkan
kredibilitas dan reputasi, dan meningkatkan hubungan dengan para
pemangku kepentingan kunci seperti investor, mitra bisnis, karyawan,
pelanggan, dll. Perusahaan yang menerapkan tata kelola dengan standar
tertinggi dapat mengurangi risiko yang timbul dari operasi sehari-hari.
Perusahaan tersebut mampu, dengan kinerja yang lebih baik, menarik
investor dan investasi yang dapat membantu pembiayaan pertumbuhan dan
pengembangan perusahaan lebih lanjut.

Capital Market Authority di Saudi Arabia menekankan pentingnya
corporate governance karena berbagai alasan. Dari sisi ekonomi, corporate
governance dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan efisiensi
ekonomi, karena corporate governance akan membantu stabilitas pasar
modal, meningkatkan transparansi, dan menarik investasi internal dan
eksternal. Dari sisi perusahaan, dengan menerapkan prinsip corporate

governance dapat membantu perusahaan mencapai kinerja yang lebih baik
dengan manajemen yang efektif dan lingkungan kerja yang ideal, yang pada
gilirannya akan meningkatkan nilai ekonomi perusahaan. Selain itu,

corporate governance membantu perusahaan mencapai pasar keuangan dan
memiliki akses ke sumber dana yang dibutuhkan dengan biaya yang lebih
rendah. Hal ini akan membantu perusahaan memperluas aktivitasnya,
mengurangi risiko, dan meningkatkan kepercayaan dari para pemangku
kepentingan.
Manfaat corporate governance bagi investor dan pemegang saham,
adalah melindungi kerugian investasi akibat penyalahgunaan kekuasaan
dengan cara yang tidak dalam kepentingan investor. Hal ini juga membatasi
kasus konflik kepentingan, karena komitmen perusahaan untuk menerapkan
25

standar corporate governance dengan mengaktifkan partisipasi pemegang
saham dalam membuat keputusan penting, dan mengetahui semua masalah
yang relevan dengan investasi mereka di perusahaan. Bagi stakeholder
lainnya, corporate governance dapat membangun hubungan yang erat dan
kuat antara manajemen perusahaan, karyawan, pemasok, kreditur dan pihak
lainnya, sehingga dapat meningkatkan tingkat kepercayaan antara semua
pihak yang terlibat dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan dan
mencapai tujuan strategis.
Jadi manfaat immateriil dari corporate governance adalah: 1)
mencegah skandal perusahaan, penipuan, dan potensi tanggung jawab
perdata dan pidana bagi perusahaan; dan 2)melindungi kerugian investasi
akibat penyalahgunaan kekuasaan dengan cara yang tidak dalam
kepentingan investor. Sedangkan secara materiil corporate governance
bermanfaat: 1) membantu perusahaan mencapai kinerja yang lebih baik
dengan manajemen yang efektif dan lingkungan kerja yang ideal, yang pada
gilirannya akan meningkatkan nilai ekonomi perusahaan; 2) membantu
perusahaan mencapai pasar keuangan dan memiliki akses ke sumber dana
yang dibutuhkan dengan biaya yang lebih rendah; dan 3) meningkatkan
profitabilitas, kredibilitas, dan reputasi perusahaan, meningkatkan daya
saing perusahaan, meningkatkan kepercayaan dan hubungan dengan para
pemangku kepentingan kunci, sehingga perusahaan menjadi lebih menarik
bagi investor, pemasok, pelanggan dan stakeholder lainnya. Dengan
demikian pelaksanaan corporate governance yang baik (good corporate

governance) sangat penting bagi pemegang saham karena merupakan
jaminan bahwa bisnis perusahaan sedang dilakukan dengan tujuan
menambah nilai pemegang saham dan menjaga aset perusahaan.
Tata hubungan yang tercipta dalam konsep corporate governance
yang mencakup hubungan stakeholder dengan perusahaan, baik internal dan
eksternal, yang diwujudkan dalam bentuk pembagian hak dan tanggung
jawab antara stakeholder dan manajer, serta menentukan aturan dan
26

prosedur dalam membuat keputusan tentang urusan perusahaan, dapat juga
diterapkan dalam penatakelolaan universitas dengan beberapa penyesuaian,
mengingat struktur tata kelola perguruan tinggi swasta mirip dengan tata
kelola perusahaan dengan pengecualian dari rapat pemegang saham.

2.3. University Governance
2.3.1. Pengertian University Governance
Dewasa ini, pendidikan tinggi jauh lebih beragam dan mencakup
jenis lembaga-lembaga baru seperti universitas, sekolah tinggi, akademi,
politeknik, atau lembaga teknologi. Semuanya diciptakan untuk sejumlah
alasan, antara lain untuk mengembangkan hubungan yang lebih dekat
antara pendidikan tinggi dengan dunia luar, termasuk respon yang lebih
besar terhadap kebutuhan pasar tenaga kerja dan untuk mengakomodasi
pertumbuhan keragaman kualifikasi dan harapan lulusan sekolah menengah.
Keadaan ini, menurut Varghese dan Martin (2014:7), menunjukkan bahwa
pendidikan tinggi telah melakukan berbagai reformasi untuk menyelaraskan
dirinya lebih dekat dengan pasar. Oleh karena itu sebagian besar pengelolaan pendidikan tinggi dipengaruhi oleh konsep manajemen publik yang baru,
dimana ketergantungan pada pemerintah semakin berkurang dan lebih
mengandalkan pasar. Proses pasar dalam pendidikan tinggi telah menyebabkan pengenalan berbagai reformasi yang telah mengubah cara mengatur
kegiatan universitas, bagaimana layanan disediakan dan bagaimana lembagalembaga dikelola.
Transisi pendidikan tinggi dari pemerintah ke pasar yang diwujudkan dalam bentuk pengalihan sebagian wewenang dan tanggung jawab
pemerintah kepada institusi pendidikan tinggi dalam bentuk otonomi
kelembagaan, menyebabkan pergeseran dari model kontrol negara ke model
pengawasan manajemen pendidikan tinggi. Dalam menanggapi perubahan
ini, struktur tata kelola (governance) perguruan tinggi/universitas

dan

praktek manajemen pada tingkat sistem dan institusi telah dimodifikasi dan

27

memiliki efek yang relatif

luas pada distribusi tanggung jawab untuk

pengelolaan sistem pendidikan tinggi.
Tata kelola universitas (university governance) mengatur proses
interaksi universitas dengan para pemangku kepentingan internal dan
eksternal yang berusaha untuk menjaga keseimbangan yang dinamis. Dalam
perspektif yang lebih besar, menurut Santiago et al. (2008:68), university

governance meliputi struktur, hubungan dan proses melalui mana, baik di
tingkat lokal, nasional dan kelembagaan, kebijakan untuk perguruan tinggi/
universitas dikembangkan, dilaksanakan dan dipantau. Governance pada
perguruan tinggi/universitas terdiri dari jaringan yang kompleks termasuk
kerangka legislatif, karakteristik lembaga dan bagaimana mereka berhubungan dengan seluruh sistem, bagaimana dana dialokasikan untuk
institusi dan bagaimana mereka bertanggung jawab terhadap cara yang
digunakan untuk menghabiskan dana tersebut, serta struktur formal dan
hubungan yang mengarahkan dan mempengaruhi perilaku. Dengan kata
lain, university governance meliputi kerangka di mana perguruan tinggi/
universitas mengejar tujuan yang telah ditetapkan dengan cara yang terkoordinasi. Di sisi lain, manajemen mengacu pada pelaksanaan serangkaian
tujuan yang ingin dicapai oleh lembaga pendidikan tinggi atas dasar aturan
yang ditetapkan. Ini menjawab pertanyaan bagaimana aturan diterapkan dan
berkaitan dengan efisiensi, efektivitas dan kualitas layanan yang diberikan
kepada para pemangku kepentingan internal dan eksternal.
Dalam kaitannya dengan pengelolaan perguruan tinggi, Boer dan
File (2009:10) berpendapat, bahwa governance merupakan sebuah konsep
terkait dengan artikulasi kepentingan dan realisasi tujuan menyangkut tata
kelola lembaga perguruan tinggi baik secara internal (kelembagaan) maupun
eksternal (sistem). Tata kelola internal mengacu pada pengaturan kelembagaan dalam universitas (misalnya, jalur kewenangan, proses pengambilan keputusan, pembiayaan dan staf) sedangkan tata kelola eksternal
mengacu pada pengaturan kelembagaan pada tingkat sistem atau makro
28

(misalnya, hukum dan keputusan, pengaturan pendanaan, evaluasi, dan lainlain). Dengan demikian university governance dipahami sebagai koordinasi
eksternal dan internal perguruan tinggi. Apabila pendapat Boer dan File
tentang governance dikaitkan dengan struktur perguruan tinggi swasta di
Indonesia, maka secara eksternal governance akan mengatur wewenang dan
tanggung jawab antara pihak yayasan dengan pihak rektorat, dan koordinasi
internal mengatur wewenang dan tanggung jawab pihak rektorat dengan
unit-unit di bawahnya.
Lembaga pendidikan tinggi, secara hukum mempunyai persamaan
dengan lembaga perusahaan independen, dimana lembaga pendidikan tinggi
juga memiliki peran penting dalam memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi melalui penelitian dan mengembangkan hubungan
bisnis dengan masyarakat. Meskipun ada perbedaan definisi antara

governance dan manajemen, governance di pendidikan tinggi mengacu
pada sarana lembaga pendidikan tinggi yang secara resmi diatur dan dikelola. Sederhananya, pengaturan governance mengidentifikasi siapa yang
bertanggung jawab untuk menetapkan arah universitas dan mengawasi
operasinya.
Dengan demikian, university governance adalah sistem yang mengatur pembagian hak, wewenang dan tanggung jawab dalam mengarahkan
dan mengendalikan jalannya universitas, termasuk aturan dalam berinteraksi di antara stakeholder universitas, serta merinci aturan dan prosedur
dalam membuat keputusan tentang kebijakan universitas untuk menentukan
tujuan dan cara mencapai tujuan universitas yang telah ditetapkan dengan
cara yang terkoordinasi. Ini meliputi mekanisme universitas, siapa yang
memegang kendali dan siapa yang akan dimintai pertanggungjawaban.
Saat ini universitas menghadapi pilihan yang semakin rumit untuk
memprioritaskan berbagai kepentingan stakeholder dan bagaimana mendamaikan kepentingan yang bertentangan, yang apabila tidak ditangani
dengan benar akan mendorong timbulnya konflik kepentingan. Untuk itu,
29

kiranya perlu bagi universitas untuk mengevaluasi hubungan universitas
dengan berbagai konstituen, stakeholder, dan masyarakat. Langkah yang
dapat ditempuh adalah melakukan identifikasi terhadap stakeholder yang
terlibat dalam perguruan tinggi. Identifikasi terhadap stakeholder sebelum
menerapkan kebijakan atau program, memungkinkan pembuat kebijakan
universitas

untuk berinteraksi secara lebih efektif dengan stakeholder

kunci, sehingga dapat mendeteksi dan bertindak untuk mencegah kesalahpahaman potensial dan/atau oposisi dan meningkatkan dukungan terhadap
pelaksanaan kebijakan atau pelaksanaan suatu program. Sebuah kebijakan
atau program yang lebih besar akan berhasil jika identifikasi stakeholder
digunakan untuk memandu pelaksanaan kebijakan atau program yang telah
direncanakan.
Terdapat dua langkah penting dalam melakukan identifikasi terhadap stakeholder universitas. Pertama, identifikasi dilakukan untuk mengetahui individu-invidu atau kelompok mana yang harus terlibat dalam
penentuan kebijakan dan program universitas. Langkah berikutnya adalah
mengidentifikasi stakeholder yang berpotensi dapat terlibat dalam penentuan kebijakan dan program, dan apa hubungan potensial yang ada di antara
para stakeholder sehingga memungkinkan dibentuk kerjasama. Dengan
demikian konflik dan kompetisi dapat diidentifikasi, dan dapat diperoleh
pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana menemukan bentuk yang
tepat sehubungan dengan keterlibatan stakeholder.
Melakukan identifikasi terhadap stakeholder universitas, menurut
Mainardes et al. (2013:432) merupakan bagian dari proses manajemen
strategis stakeholder yang membutuhkan: pertama, identifikasi kelompok
yang relevan dengan manajemen organisasi; kedua, menentukan pentingnya
partisipasi masing-masing stakeholder; ketiga, seberapa efektif kebutuhan
dan harapan dari masing-masing kelompok saat ini sedang dipenuhi; dan
keempat, memodifikasi kebijakan lembaga dan peringkat prioritas sesuai
dengan kepentingan stakeholder. Kemudian untuk menghubungkan para
30

stakeholder dengan manajemen strategis, selain melakukan identifikasi
terhadap stakeholder, universitas juga harus mengklasifikasikan stakeholder.
Hal ini diperlukan untuk berkolaborasi dengan mitra dan pelanggan penting
terkait dengan misi dan keberhasilan lembaga dimasa depan. Oleh karena
itu, para stakeholder harus diuraikan dengan menggunakan kerangka
lembaga yang digunakan dalam perencanaan strategis.
Kategorisasi kelompok stakeholder dapat dibuat dalam berbagai cara.
Setiap kelompok stakeholder dapat dianggap sebagai satu kategori dan dibagi
menjadi sub-kategori. Misalnya kategori untuk kelompok stakeholder
universitas yang termasuk kelompok karyawan adalah staf akademik dan
staf non-akademik. Kemudian staf non-akademik dibagi lagi menjadi staf
administrasi dan non administrasi, dll. Terkait dengan hal ini, stakeholder
universitas dapat dibagi menjadi empat lapis, yaitu: 1) Lapisan Pertama
adalah stakeholder inti, termasuk dosen, mahasiswa dan pegawai
administrasi. 2) Lapisan Kedua adalah stakeholder penting, termasuk alumni
dan penyedia dana. 3) Lapisan Ketiga adalah pemangku kepentingan
langsung, termasuk orang yang berafiliasi memiliki kontrak dengan
universitas, seperti penyedia dana penelitian ilmiah, kerjasama industriuniversitas, penyedia pinjaman. 4) Lapisan Keempat adalah stakeholder
marginal, termasuk masyarakat lokal dan masyarakat umum. Stakeholder
inti, yaitu dosen, mahasiswa dan pegawai administrasi adalah stakeholder
internal dan lainnya adalah stakeholder eksternal.
Untuk menghindarkan konflik kepentingan diantara stakeholder
sebagaimana diuraikan di atas, kiranya menjadi penting untuk menerapkan
prinsip-prinsip university governance di dalam penatakelolaan universitas,
seperti diungkapkan oleh Sebastian (2012), bahwa penerapan prinsip-prinsip

university governance

akan sangat bermanfaat bagi upaya pengelolaan

perguruan tinggi secara profesional sebab dapat menghindari adanya kecurangan (fraud) serta konflik kepentingan di dalam prosesnya. Pelaksanaan
prinsip-prinsip university governance mengacu pada pelaksanaan corporate
31

governance, termasuk prinsip-prinsip yang melandasi pelaksanaannya.
Konsep tersebut kemudian diadopsi pada pengelolaan perguruan tinggi
sebagai suatu lembaga pendidikan publik.

2.3.2. Prinsip-Prinsip University Governance
Model tata kelola yang diterapkan di kalangan lembaga-lembaga
publik dan swasta dapat berbeda antara satu lembaga dengan lembaga yang
lain. Dalam suatu lembaga individu juga memiliki model tata kelola sendiri
seperti model hierarkis atau koperasi. Model tata kelola juga berbeda sesuai
dengan sifat dari lembaga. Meskipun terdapat banyak variasi, untuk model

university

governance

kiranya

prinsip

transparansi,

akuntabilitas,

responsibilitas, keadilan, dan independensi dapat dijadikan sebagai prinsipprinsip dalam penatakelolaan universitas, dengan pertimbangan bahwa
lembaga pendidikan tinggi sebagai suatu lembaga pendidikan publik harus
dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan. Informasiinformasi terkait dengan aktivitas pendidikan tinggi harus dapat dengan
mudah diakses oleh para pemangku kepentingan. Transparansi dan
akuntabilitas bukan berarti campur tangan yang tidak terkendali dan tanpa
batas, tetapi merupakan suatu persyaratan untuk secara berkala menjelaskan
tindakan yang memperoleh keberhasilan dan mengalami kegagalan. Hal
demikian harus dapat diketahui oleh para pemangku kepentingan secara
transparan. Semua interaksi harus terjadi dalam konteks hak dan tanggung
jawab yang disepakati dan sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku sehingga tercipta keadilan bagi semua pemangku kepentingan.
Mekanisme penyangga mungkin diperlukan untuk membantu menentukan
keseimbangan yang tepat antara independensi (otonomi) dan akuntabilitas.
Lebih lanjut penerapan dari prinsip-prinsip corporate governance di
Perguruan Tinggi dapat dilihat pada tabel berikut:

32

Tabel 2.1.

Penerapan Prinsip-Prinsip Corporate Governance di Perguruan Tinggi
No Prinsip-Prinsip CG
1

Transparansi

2

Akuntabilitas

3

Responsibilitas

4

Keadilan

5

Independensi

Penerapan di Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi harus dan dapat menerapkan prinsip keterbukaan di bidang keuangan, sistem dan prosedur penerimaan
mahasiswa baru, sistem dan prosedur akuntansi, pelaporan keuangan, rekrutmen dosen dan karyawan, pemilihan pejabat
struktural, pemilihan anggota senat fakultas/akademis, pemilihan organ yayasan/BPH, dan informasi informasi penting lainya
kepada pemangku kepentingan secara memadai, akurat dan tepat
waktu.
Perguruan tinggi harus mempunyai uraian tugas dan tangungjawab yang jelas (secara tertulis) dari setiap pejabat struktural,
anggota senat fakultas/akademis, organ yayasan, dosen dan karyawan. Termasuk juga kriteria dan proses pengukuran kinerja, pengawasan, dan pelaporan. Harus ada audit internal yang tugasnya
antara lain melakukan penilaian, analisis, dan interprestasi dari
aktivitas suatu organisasi secara indpenden. Ada baiknya juga
dilakukan manajemen audit atau finansial audit plus oleh KAP
independen.
Setiap individu yang terlibat dalam pengelolaan perguruan tinggi
harus bertanggungjawab atas segala tindakannya sesuai dengan
job description yang telah ditetapkan. Termasuk para dosen harus
mentaati etika dan moral kedosenan. Harus dihindari pemerasan
atau penjualan nilai pada mahasiswa baik oleh dosen maupun
oleh karyawan non-akademis
Perlakuan yang adil dan berimbang kepada para pemangku kepentingan yang terkait. Dalam hal ini pemangku kepentingan
terdiri atas mahasiswa, orang tua mahasiswa, masyarakat, para
dosen, dan karyawan non-akademis, serta organ yayasan.
Pihak yayasan dan pengelola perguruan tinggi dalam melaksanakan peran dan tanggung-jawabnya harus bebas dari segala bentuk
benturan kepentingan yang berpotensi untuk muncul. Hal ini
diperlukan untuk memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara independen bebas dari segala bentuk tekanan dari
pihak lain, sehingga dapat dipastikan bahwa keputusan itu dibuat semata-mata demi kepentingan perguruan tinggi. Pengurus
yayasan/BPH harus memberi wewenang penuh kepada rektorat
untuk menyelenggarakan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Sumber: Wijatno, 2009.

Tabel di atas menunjukkan penerapan prinsip-prinsip corporate

governance

pada perguruan tinggi. Penerapan dari prinsip tersebut

33

kemudian dihubungkan dengan perspektif partisipan atau organ university

governance (Warsono, dkk, 2009).

2.3.2.1. Prinsip Transparansi
Membangun budaya transparansi adalah langkah pertama yang
penting untuk mencapai kepercayaan. Komunikasi yang terbuka dan jujur
mendukung keputusan untuk dipercaya. Kurangnya komunikasi dan
transparansi akan menciptakan kecurigaan. Fung (2014:75) menjelaskan,
bahwa transparansi dapat terjadi ketika institusi menciptakan budaya
keterbukaan dan rasa hormat. Pemangku kepentingan merasa bebas untuk
berbicara tentang kebenaran kepada dewan dan manajemen. Jika eksekutif
bersedia untuk mendengarkan sudut pandang yang berlawanan dan berjanji
untuk mempertimbangkan manfaat dari argumen lain, maka eksekutif telah
membuka jalan bagi budaya transparansi. Didefinisikan secara luas,
transparansi mengacu pada sejauh mana informasi mengalir secara bebas
dalam suatu organisasi, antara manajer dan karyawan, dan ke luar kepada
para pemangku kepentingan. Pendapat lain dikemukakan oleh Adrianto
(2007) yang mengartikan transparansi sebagai keterbukaan secara sungguhsungguh, menyeluruh, dan memberi tempat bagi partisipasi aktif seluruh
lapisan masyarakat dalam proses pengelolaan sumber daya publik.
Menurut Fung (2014:72), transparansi merupakan elemen penting
dalam kerangka kerja tata kelola perusahaan yang kuat. Karena transparansi
memberikan dasar bagi pengambilan keputusan oleh pemegang saham,
pemangku kepentingan dan investor potensial dalam kaitannya dengan
alokasi modal, transaksi perusahaan dan pemantauan kinerja keuangan.
Transparansi perusahaan menggambarkan sejauh mana tindakan korporasi
dapat diamati oleh pihak luar. Transparansi merupakan salah satu langkah
kunci untuk tata kelola perusahaan dan memastikan bahwa manajemen
tidak akan terlibat dalam perilaku yang tidak benar atau melanggar. Untuk
mencapai transparansi, perusahaan harus mengadopsi metode akuntansi
yang akurat, membuat pengungkapan penuh dan cepat tentang informasi
34

perusahaan dan membuat pengungkapan konflik kepentingan direksi atau
pemegang saham pengendali, dll. Unsur kunci dari tata kelola yang baik
adalah 'transparansi', yang menggabungkan sistem checks and balances
antara dewan direksi, manajemen, auditor, dan pemangku kepentingan
lainnya.
Elisa dan Ladislao (2012:22) mendefinisikan transparansi sebagai
strategi untuk mengungkapkan informasi yang lengkap, akurat dan tepat,
melalui saluran terbaik yang tersedia sehingga memungkinkan pengambil
keputusan mengaktifkan umpan balik yang memungkinkan proses
konsolidasi. Jadi, transparansi melibatkan pengungkapan yang jelas terkait
informasi tentang aturan, rencana, proses dan tindakan oleh pemerintah,
perusahaan, organisasi, atau individu. Ini adalah prinsip bahwa urusan
publik harus dilakukan secara terbuka. Personalisasi ini, menurut Elisa dan
Ladislao (2012) meningkatkan pentingnya saluran komunikasi ketika
menilai transparansi. Perpaduan antara berbagai elemen komunikasi, seperti
pemberi pesan, penerima pesan, saluran, kode dan pesan, merupakan inti
dari transparansi, karena pentingnya transparansi tidak hanya terletak pada
konten untuk mengungkapkan tetapi juga cara untuk menyampaikan
informasi, struktur, volume dan kualitas informasi. Dengan demikian,
integritas, akurasi dan ketepatan pesan adalah fitur penting untuk
memastikan transparansi. Dalam lingkup universitas, fitur ini didukung oleh
sistem sertifikasi, standardisasi, akreditasi, atau, antara lain, oleh kepatuhan
terhadap program-program berkualitas nasional.
Transparansi dalam konteks pendidikan tinggi berkaitan dengan
kebutuhan untuk memberikan informasi tentang upaya dan kinerja lembaga
pendidikan tinggi di berbagai bidang aktivitas yang dilakukan. Hal ini juga
terkait dengan konsep jaminan kualitas, jika jaminan kualitas dianggap
sebagai serangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk memberikan bukti
kualitas kepada stakeholder eksternal lembaga pendidikan tinggi. Kemudian
menciptakan transparansi yang bertujuan memberikan informasi kepada
35

stakeholder untuk membentuk penilaian dan mengambil keputusan. Dengan
demikian, instrumen transparansi merupakan alat informasi yang dirancang
untuk mengkomunikasikan tentang upaya dan kinerja lembaga pendidikan
tinggi kepada stakeholder eksternal.
Unsur transparansi, menurut Wijatno (2009) berkaitan dengan
kemampuan perguruan tinggi dalam menerapkan prinsip keterbukaan pada
berbagai bidang. Beberapa bidang penting yang dimaksud yaitu bidang
keuangan, sistem dan prosedur penerimaan mahasiswa baru, sistem dan
prosedur akuntansi, pelaporan keuangan, rekrutmen dosen dan karyawan,
pemilihan pejabat struktural, pemilihan anggota senat fakultas/akademis,
pemilihan organ yayasan/BPH, dan informasi-informasi penting lainnya
kepada pemangku kepentingan secara memadai, akurat dan tepat waktu.
Sebagaimana dikemukakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
RI (2013), bahwa prinsip transparansi terkait dengan pengelolaan perguruan
tinggi harus terbuka dan mampu menyajikan informasi yang relevan, secara
tepat dan akurat kepada pemangku kepentingan untuk mencegah terjadinya
praktik-praktik kecurangan dalam pengelolaan perguruan tinggi yang dapat
merugikan masyarakat.
Dengan demikian, transparansi dalam konteks pendidikan tinggi
adalah strategi untuk memberikan informasi yang lengkap, akurat, dan
tepat, kepada setiap orang tentang upaya dan kinerja lembaga pendidikan
tinggi di berbagai bidang aktivitas yang dilakukan, melalui saluran terbaik
yang tersedia. Prinsip transparansi diwujudkan dengan penyediaan
informasi kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan perguruan
tinggi. Setiap perguruan tinggi diharapkan dapat mempublikasikan informasi
terkait dengan upaya dan kinerja perguruan tinggi di berbagai bidang
aktivitas yang dilakukan serta informasi lainnya yang material dan
berdampak signifikan pada kinerja perguruan tinggi secara akurat dan tepat
waktu. Selain itu, pihak-pihak yang berkepentingan dengan perguruan
tinggi harus dapat mengakses informasi penting tersebut secara mudah pada
36

saat diperlukan. Penjelasan Pasal 63 huruf “b” Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa yang dimaksud
dengan “prinsip transparansi” adalah keterbukaan dan kemampuan
menyajikan informasi yang relevan secara tepat dan akurat kepada
pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Hal ini sejalan dengan teori stakeholder, dimana manajemen
diharapkan untuk melakukan aktivitas sesuai dengan harapan stakeholder
dan melaporkannya kepada stakeholder. Teori stakeholder menekankan
bahwa seluruh stakeholder memiliki hak untuk mendapatkan informasi
tentang bagaimana aktivitas organisasi. Namun demikian, transparansi ini
tidak bersifat absolut, tetap ada pembatasan-pembatasan mengenai informasi
apa saja yang dapat diberikan. Pembatasan terkait dengan jenis informasi
yang dapat diberikan dan jenis informasi yang tidak boleh diberikan, seperti
misalnya rahasia dagang piranti lunak dan strategi organisasi.
Diungkapkan oleh Eurydice (2008:30), meskipun lembaga pendidikan tinggi adalah otonom, tetapi lembaga pendidikan tinggi adalah penyedia
layanan bagi publik dan para penerima manfaat dari dana publik. Dengan
demikian, masyarakat, dan terutama penyedia dana, memiliki kepentingan

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Prinsip Prinsip University Governance Berlandaskan Tri Hita Karana di Universitas Mahasaraswati Denpasar - Bali T2 922009103 BAB I

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Prinsip Prinsip University Governance Berlandaskan Tri Hita Karana di Universitas Mahasaraswati Denpasar - Bali T2 922009103 BAB IV

1 0 56

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Prinsip Prinsip University Governance Berlandaskan Tri Hita Karana di Universitas Mahasaraswati Denpasar - Bali T2 922009103 BAB V

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Prinsip Prinsip University Governance Berlandaskan Tri Hita Karana di Universitas Mahasaraswati Denpasar - Bali T2 922009103 BAB VI

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Prinsip Prinsip University Governance Berlandaskan Tri Hita Karana di Universitas Mahasaraswati Denpasar - Bali

0 1 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Prinsip Good University Governance pada STAKPN (Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri) Ambon T2 322012003 BAB I

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Prinsip Good University Governance pada STAKPN (Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri) Ambon T2 322012003 BAB II

0 0 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Prinsip-Prinsip Good University Governance Berbadan Hukum Yayasan di Indonesia

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Prinsip Prinsip University Governance Berlandaskan Tri Hita Karana di Universitas Mahasaraswati Denpasar - Bali

0 0 32

IMPLEMENTASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY BERLANDASKAN BUDAYA TRI HITA KARANA

1 1 26