Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Prinsip Good University Governance pada STAKPN (Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri) Ambon T2 322012003 BAB II

(1)

BAB II

Landasan Teori

A.Ideologi Pendidikan Indonesia Ditinjau Menurut Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

Undang-Undang sebagai sebuah instrumen peraturan perundangan idealnya tunduk, tertata dangan tertib, tersistematis sesuai dengan hierarki peraturan perundang-perundangan. Perihal permasalahan ini sesungguhnya telah dibahas tuntas oleh Hans Nawiasky dalam “die Theorie vom

Stufenordnung der Recthsnorten”. Dalam teorinya tersebut Nawiasky berpendapat bahwa sebuah instrumen hukum berasal dan lahir dari instrumen hukum yang lebih tinggi, karenannya Undang-Undang (Formell Gesetz) haruslah tunduk dan bersumber kepada instrumen-instrumen hukum yang secara hierarkis membawahinya. Instrumen-Instrumen yang dimaksud oleh Nawiasky adalah Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 sebagai

“staatsgrundgesetz” serta Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai

“staatsfundamentalnorm” yang didalamnya terdapat Pacasila yang

merupakan “philosofische grondslag”, sebagai ”weltanschauung”

pandangan hidup dan filosofis bagi Indonesia. Karenannya sebuah undang-undang haruslah selalu sejalan dengan Konstitusi dan Pancasila, serta tidak boleh menyalahi atau saling berbenturan.


(2)

Undang-undang Pendidikan Tinggi (UU PT) seyogyanya sejalan dengan prinsip-prinsip yang telah dijelaskan di atas, ia tidak boleh menyimpang, berbenturan atau menyalahi semangat konstitusi. Terlebih UU Pendidikan Tinggi merupakan suatu Undang-Undang yang memiliki substansi muatan penting dan krusial yaitu mengenai pendidikan tinggi, khususnya Perguruan Tinggi yang merupakan jentera bagi peradaban bangsa. Pemahaman soal pendidikan dalam undang-undang ini haruslah sejalan, linear dan sewarna dengan bagaimana kosepsi pendidikan dimaknai oleh konstitusi. Secara lebih rinci dalam Batang Tubuh UUD 1945 Pasal 31 ayat

(1) disebutkan : “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.

Pendidikan oleh UUD 1945 dipandang sebagai sebuah hak asasi yang melekat serta harus diperoleh setiap warga negara.

Hak atas Pendidikan merupakan hak positif yang tidak dapat terpenuhi dengan sendirinya. Pemenuhan hak positif memerlukan usaha dari pihak ketiga untuk memenuhi hak tersebut. Oleh UUD 1945 Pasal 31 ayat (3), tanggung jawab memenuhi hak atas pendidikan untuk seluruh warga

negara “dibebankan” kepada pemerintah. Dalam Pasal 31 ayat (3) UUD

1945 dinyatakan bahwa pemerintahlah yang diberikan tugas untuk

“mengusahakan dan menyelenggarakan” sistem pendidikan nasional. Selain


(3)

memprioritaskan 20% APBN guna membiayai dan menyelengarakan tugas memenuhi hak atas pendidikan tadi.

Satu sistem dalam hal ini dapat diartikan sebagai suatu kesatuan sistem yang terintegrasi, sejalan dan tidak saling bertentangan satu sama lain. Amanah UUD 1945 untuk mengusahakan dan menyelenggarakan sebuah sistem Pendidikan Nasional tersebut diejawantahkan oleh otoritas pembuat Undang-Undang dengan membuat UU Sisdiknas. UU Sisdiknas ini dibuat dengan maksud sebagai sebuah “master plan” Pendidikan Nasional yang terencana, terarah dan berkesinambungan, yang ruang lingkup pengaturannya ialah pendidikan formal secara luas sebagai sebuah sistem sebagai sebuah sistem, dari tingkat pra-sekolah hingga perguruan tinggi.

Indonesia Sebagai Pengusung Konsep Welfare State Dan Kaitannya Dengan Pendidikan

Pencetus teori welfare state adalah Mr. R. Kranenburg yang menyatakan bahwa negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang, bukan mensejahterakan golongan tertentu tapi seluruh rakyat.

pengertian kesejahteraan sedikitnya mengandung empat makna:1

1


(4)

1. sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya

menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material.Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi, serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya. 2. sebagai pelayanan sosial. Di Inggris, Australia dan Selandia

Baru, pelayanan sosial umumnya mencakup lima bentuk, yakni jaminan sosial (social security), pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal (personal social services).

3. sebagai tunjangan sosial. Khususnya di Amerika Serikat (AS), diberikan kepada orang miskin. Karena sebagian besar penerima welfare adalah orang-orang miskin, cacat, penganggur, keadaan ini kemudian menimbulkan konotasi negatif pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan, kemalasan, ketergantungan.

4. sebagai proses atau usaha terencana yang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (pengertian pertama) melalui pemberian pelayanan sosial (pengertian ke dua) dan tunjangan sosial (pengertian ketiga).

Jadi dari tiga definisi diatas dapat disimpulkan bahwa konsep welfare state berarti Negara punya andil dan tanggung jawab dalam usaha


(5)

mensejahterakan seluruh rakyat secara merata dan seimbang. Namun berbeda dengan definisi di atas, di Inggris, konsep welfare state difahami sebagai alternatif terhadap the Poor Law yang kerap menimbulkan stigma, karena hanya ditujukan untuk memberi bantuan bagi orang-orang miskin.

Negara Indonesia sendiri mengusung konsep welfare state. Hal ini

dapat dilihat Pembukaan UUD 1945 Alinea IV yang menyatakan “...dan untuk memajukan kesejahteraan umum..” yang kemudian dituangkan dalam

pasal-pasal di UUD 1945. Tujuan negara ini berkaitan dengan tujuan besar pendidikan Indonesia yang juga tercantum pada Pembukaan UUD 1945

alinea ke IV yaitu “..mencerdaskan kehidupan bangsa..”. Pendidikan

merupakan sarana untuk mengangkat harkat dan martabat manusia, memanusiakan manusia, dan menggali potensi tiap orangnya agar menjadi sebaik-baik manusia yang bermanfaat untuk orang lain, bangsa, dan dunia. Salah satu sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa adalah dengan adanya Wajib Belajar 9 Tahun yang diusung oleh Pemerintah dimana tujuannya adalah agar semua orang dapat menikmati bangku pendidikan. Peran negara untuk memenuhi kebutuhan pendidikan tidak hanya terbatas sampai pada pendidikan sembilan tahun saja, melainkan juga pendidikan tinggi. Pentingnya pendidikan tinggi untuk meningkat kualitas SDM bangsa Indonesia dapat dilihat dari kebutuhan negara untuk memproteksi diri, meningkat kualitas diri, serta menjawab tantangan global terhadap Indonesia.


(6)

Seperti telah disebut sebelumnya, bahwa pendidikan tinggi dalam peningkatan kualitas intelektualitas dan moral dari SDM bangsa Indonesia merupakan pondasi untuk mewujudkan welfare state.

Teori Welfare State Menurut Mr.R.Kranenburg

Negara modern adalah personafikasi dari tata hukum, artinya negara dalam segala aktifitasnya senantiasa di dasarkan pada hukum. Negara dalam konteks ini lazim disebut sebagai negara hukum, dalam perkembangan pemikiran mengenai negara hukum dikenal dua kelompok negara hukum, yakni negara hukum formal dan negara hukum materiil. Negara hukum matreiil ini juga dikenal dalam istilah welfare state atau negara kesejahteraan.

Kegagalan implementasi nachtwachtersstaat memunculkan gagasan yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya yaitu welfare state. Ciri utama negara ini adalah munculnya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya. Dengan kata lain ajaran welfare state merupakan bentuk konkret dari peralihan prinsip staatsonthouding yang membatasai peran negara dan pemerintah untuk mencampuri kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, menjadi staatsbemoeienis yang menghendaki negara dan pemerintah terlibat aktif dalam kehidupan sosial masyarakat, sebagai


(7)

langkah untuk mewujudkan kesejahteraan disamping menjaga ketertiban dan keamanan. Menurut Kranenburg, sejak negara turut serta aktif dalam pergaulan kemasyarakatan, maka lapangan pekerjaan pemerintah semakin luas. Administrasi negara diserahi kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurszorg).2 Diberinya tugas “bestuurszorg” itu membawa bagi administrasi negaraa suatu konsekuensi yang khusus. Agar dapat menjalankan tugas menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, menyelenggarakan pengajaran bagi semua warga negara dan sebagainya secara baik, maka administrasi negara memerlukan kemerdekaan untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri.

Hukum administrasi negara merupakan ilmu hukum yang tidak statis, akan tetapi berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan dalam masyarakat. Hukum administrasi negara merupakan instrumen dari alat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya selaku pelayan publik untuk mensejahterakan warga negara di dalam negara yang menganut paham welfare state. Hukum administrasi negara diperlukan mengingat bahwa perkembangan masyarakat di negara-negara yang menganut paham welfare state, menuntut campur tangan pemerintah dalam semua aspek kehidupan masyarakat sudah demikian luasnya, sehingga dikhawatirkan apabila

2


(8)

pelaksanaan tugas pemerintah dalam melayani warga masyarakat tidak dilakukan dengan hati-hati dan mengindahkan aturan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis akan berpotensi merugikan masyarakat yang dilayani.

Dalam negara hukum modern yang menganut paham welfare state atau negara kesejahteraan, tugas alat administrasi negara sangat luas sekali mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, untuk hal ini Frans Magnis Suseno3 menjelaskan bahwa negara memang tidak dapat menciptakan kesejahteraan. Kesejahteraan adalah sesuatu yang hanya dapat terwujud dalam perasaan masing-masing orang. Setiap orang dalam dan bersama lingkungan sosial yang akrab harus mewujudkan kesejahteraannya. Tetapi agar hal itu mungkin, perlu tersedia prasarana dan sarana dan negara yang bertugas untuk melaksanakannya. Dalam hal ini negara sebetulnya secara tidak langsung mensejahterakan atau membahagiakan masyarakat.

Konsep Akuntabilitas Dan Transparansi

1. Konsep Akuntabilitas

Konsep akuntabilitas berawal dari konsep pertanggungjawaban, konsep pertanggungjawaban sendiri dapat dijelaskan dari adanya wewenang. Wewenang yaitu kekuasaan yang sah, dalam perkembangannya muncul konsep baru tentang wewenang yang bermuara pada prinsip bahwa

3


(9)

penggunaan wewenang harus dapat dipertanggungjawabkan. Konsep pertanggungjawabkan dibagi menjadi tiga yaitu akuntabilitas (accountability), responsibilitas (responsibility) dan responsivitas (responsivenees). Akuntabilitas menunjuk pada instansi tentang “chek and

balance” dalam sistem administrasi.4 Akuntabilitas juga dapat diliha dalam arti sempit dan arti luas, akuntabilitas dalam arti sempit dapat dipahami sebagai bentuk pertanggungjawaban yang mengacu pada siapa instansi (atau pekerja individu) bertanggungjawab dan untuk apa instansi bertanggungjawab. Sedangkan pengertian akuntabilitas dalam arti luas dapat dipahami sebagai kewajiban pihak pemegang tanggung jawab untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi tanggungjawab yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Akuntabilitas diperlukan atau diharapkan untuk memberikan penjelasan atas apa yang telah dilakukan. Dengan demikian akuntabilitas merupakan kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja atas tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan suatu instansi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.

4


(10)

Miram Budiarjo mendefinisikan akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban pihak yang diberi kuasa mandat untuk memerintah, kepada yang memberi mereka mandat akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi.5 Hal yang sama dikemukakan Sedarmayanti, bahwa

akuntabilitas sebagai suatu perwujudan kewajiban untuk

mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.6

Akuntabilitas dibedakan dalam tiga bentuk yaitu :7 1) akuntabilitas administratif

Adalah pertanggungjawaban antara pejabat yang berwenang dengan unit bawahannya.

2) Akuntabitas profesional

Hal ini berkaitan dengan pelaksanaan kinerja dan tindakan berdasarkan tolak ukur yang ditetapkan oleh orang profesi yang

5

Miriam Budiarjo, Menggapai Kedaulatan Rakyat, Mizan,Jakarta 1998, hlm.78

6

Sedarmayanti, Good Governance(Kepemerintahan Yang Baik, Bandung 2003, hlm.23

7


(11)

sejenis. Akuntabilitas ini lebih menekankan pada aspek kualitas kerja dan tindakan.

3) Akuntabilitas moral

Akuntabilitas ini berkaitan dengan tata nilai yang berlaku di kalangan masyarakat. Hal ini lebih banyak berbicara tentang baik atau buruknya suatu kinerja atau tindakan yang dilakukan oleh seorang/badan hukum berdasarkan ukuran tata nilai yang berlaku.

2. Konsep Transparansi

Transparansi berarti keterbukaan (opennsess), pimpinan dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumberdaya publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi. Pimpinan berkewajiban memberikan informasi keuangan dan informasi lainnya yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Transparansi pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pimpinan dan stakeholder lainnya sehingga tercipta pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, akuntabel dan responsif.

Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan. Transparansi adalah adanya kebijakan terbuka bagi


(12)

pengawasan, sedangkan yang dimaksud dengan informasi adalah mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau publik. Keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan persaiangan yang sehat, toleran dan kebijakan dibuat berdasarkan preferensi publik.8

B.Konsep Good Governance

Good dalam good governance mengandung dua pengertian yaitu: Pertama, nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat dan nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional), kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan. Tata pemerintahan yang baik merupakan sebuah konsep yang akhir-akhir ini dipergunakan secara teratur dalam ilmu politik, terutama ilmu pemerintahan dan administrasi publik. Konsep itu lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi, masyarakat madani (civil society), partisipasi rakyat, hak asasi manusia dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan.

Prinsip-prinsip good governance. Kunci utama memahami good governance yaitu pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari

8


(13)

prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance menurut UNDP9 sebagaimana tertera berikut ini :Partisipasi Masyarakat, Tegaknya Supremasi Hukum, Transparansi, peduli pada stakeholder, berorientasi pada konsensus, kesetaraan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas, visi strategis.

Sejak adanya gerakan reformasi tahun 1998, paradigma yang berkembang dalam administrasi publik adalah tuntutan pelayanan yang lebih baik dari sebelumnya. Tuntutan akan pelayanan yang lebih baik dan memuaskan kepada publik menjadi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh instansi pemerintah penyelenggara pelayanan publik. Tuntutan tersebut muncul seiring dengan berkembanagnya era reformasi dan otonomi daerah dan sejak tumbangnya kekuasaan rezim orde baru10. Setelah delapan tahun berlalu, gaung tuntutan tersebut masih terus menggema, bahkan berbagai pelaung yang ada diperhitungkan agar terwujudnya kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik lagi. Pendek kata, seluruh elemen bangsa telah sepakat agar kondisi masa lalu yang kurang dan tidak baik tidak terulang lagi. Karenanya muncul istilah-istilah, seperti e-government dan good

9

Dwiyanto Agus, Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, Jakarta 2004, hlm.97

10


(14)

governance. Istilah ini muncul dalam rangka mewujudkan kehidupan yang lebih baik.

Dari sekian banyak tuntutan yang ada, satu di antaranya adalah meningkatkan pelayanan publik melalui penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Agenda tersebut memrupakan upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, antara lain melalui keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian, dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah kebijakan yang terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan; kualitas sumberdaya manusia aparatur; dan sistem pengawasan yang efektif.

Tujuan pokok good governance adalah tercapainya kondisi pemerintahan yang dapat menjamin kepentingan pelayanan publik secara seimbang dengan melibatkan kerjasama antar semua komponen pelaku (negara, masyarakat madani, lembaga-lembaga masyarakat, dan pihak swasta). Salah satu wujud tata kepemerintahan yang baik (good governance) adalah terdapatnya citra pemerintahan yang demokratis. Paradigma tata kepemerintahan yang baik menekankan arti penting kesejajaran hubungan antara institusi negara, pasar dan masyarakat. Semua pelaku harus saling


(15)

mengetahui apa yang dilakukan oleh pelaku lainnya serta membuka ruang dialog agar para pelaku saling memahami perbedaan-perbedaan di antara mereka. Melalui proses tersebut diharapkan akan tumbuh konsensus dan sinergi dalam penerapan program-program tata kepemerintahan yang baik di masyarakat. Pelaku-pelaku tersebut merupakan elemen governance yang terkait dan tidak terpisahkan dalam satu sistem negara, pelaku bisnis, dan masyarakat. Masing-masing memiliki karakter tersendiri tetapi ketiganya tidak akan mampu berdiri dan berkembang sendiri-sendiri. Mereka mengarah kepada satu tujuan yaitu kehidupan yang lebih baik bagi setiap lapisan masyarakat luas.

Pada dasarnya, setiap pembaruan dan perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dimaksudkan dalam rangka menuju terwujudnya pemerintahan yang demokratis guna terwujudnya sistem pemerintahan yang lebih baik (good governance). Salah satu ciri good governance adalah transparansi yang dibangun atas dasar arus informasi yang bebas, dimana seluruh proses pemerintahan dan informasinya dapat diakses oleh semua pihak yang berkepentingan. Untuk kepentingan transparansi informasi sebagaimana dimaksud, diperlukan sarana komunikasi yang menjamin kelancaran informasi antara pemerintah dengan masyarakat dan dunia usaha, dan tentunya komunikasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Menyadari betapa pentingnya arti mewujudkan kepemerintahan yang baik,


(16)

maka aparatur negara dituntut harus mampu meningkatkan kinerja. Sasaran yang menjadi prioritas adalah mewujudkan pelayanan masyarakat yang efisien dan berkualitas, sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing. Oleh karena itu, dalam hal ini diperlukan perhatian pemerintah untuk melakukan perubahan-perubahan secara signifikan melalui manajemen perubahan menuju ke arah penyelenggaraan kepemerintahan yang baik.

Salah satu upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik adalah mempercepat proses kerja serta modernisasi administrasi melalui otomatisasi di bidang administrasi perkantoran, modernisasi penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat melalui e-government sebagai salah satu aplikasi dari teknologi informasi. Masalah utama yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah adalah terbatasnya sarana dan prasarana komunikasi informasi untuk mensosialisasikan berbagai kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah kepada masyarakat, agar proses

penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan

pemberdayaan masyarakat dapat menjadi lebih efektif, efisien, transparan, dana kuntabel.

Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pemerintahan menuju good governance serta dalam rangka mengakselerasi penyelenggaraan otonomi


(17)

daerah, maka pengembangan dan implementasi e-government merupakan alternatif yang strategis dalam rangka mengkomunikasikan informasi secara dua arah antara Pemerintah dengan Masyarakat dan Dunia Usaha dan antar Pemerintah itu sendiri.

Istilah “government” dan “governance” seringkali dianggap memiliki

arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah juga adalah nama yang diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara. Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik sejak Woodrow Wilson memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam konteks pengelolaan organisasi korporat dan lembaga pendidikan tinggi.11

Wacana tentang “governance yang diterjemahkan kedalam bahasa

Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan -- baru muncul sekitar 15 tahun belakangan ini, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional

mempersyaratkan “good governance” dalam berbagai program bantuannya.

Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, terminologi

11

Widodo J, Good Governance:Telaah Dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi,Surabaya 2001, hlm.109


(18)

“good governance” telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo),12 tatapemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih. Perbedaan paling pokok antara konsep

“government” dan “governance” terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam

pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi

peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Sejatinya, konsep governance harus dipahami sebagai suatu proses, bukan struktur atau institusi. Governance juga menunjukkan inklusivitas. Kalau government dilihat

sebagai “mereka” maka governance adalah “kita”.

Menurut Leach & Percy-Smith13 government mengandung pengertian seolah hanya politisi dan pemerintahlah yang mengatur, melakukan sesuatu,

memberikan pelayanan, sementara sisa dari “kita” adalah penerima yang

12

Hadjon Philipus M, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta 2008, hlm30

13


(19)

pasif. Sementara governance meleburkan perbedaan antara “pemerintah” dan

“yang diperintah” karena kita semua adalah bagian dari proses governance.

Pada hakekatnya penyelenggaraan pelayanan publik merupakan amanat yang diberikan rakyat kepada penyelenggara negara (ekskutif dan legislatif) untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Peningkatan kesejahteraan ini dilakukan dengan memprioritaskan pelayanan-pelayanan dasar bagi masyarakat. Dalam kenyataannya, masih sedikit dari masyarakat yang bisa memahami pekayanan publik sebagai hak dan bukan pemberian pemerintah, apalagi seluk beluk permasalahan yang ada dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Sebagian masyarakat masih menyederhanakan pemahaman tentang pelayanan publik yang diartikan sebagai pemberian pemerintah. Dengan pemahaman yang sederhana itu, ketika sebagian rakyat memahami pelayanan public sebagai pemberian dari pemerintah, masyarakat memahami pelayanan publik sebagai aktivitas belanja yang menggunakan uang pemerintah. Pemahaman yang demikian akan membawa akibat masyarakat akan menyerahkan sepenuhnya pengelolaan pelayanan publik itu kepada pemerintahan, karena dalam pandangan masyarakat tersebut uang yang dibelanjakan untuk pelayanan publik itu milik pemerintah. Masyarakat merasa tidak memiliki hak mencampuri pengelolaan pelayanan publik.


(20)

Good University Governance

Pendidikan merupakan salah satu alat ukur untuk mengukur bagaimana suatu negara dapat dikatakan berkembang, maju atau bahkan negara yang tertinggal dengan negara-negara lainnya. Pendidikan juga merupakan sarana untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia yang ada di dalamnya yang dapat memberikan dampak positif untuk negara tersebut.

Pada awalnya, konsep good governance memang muncul dalam tataran korporasi dan institusi perguruan tinggi. Akan tetapi, perkembangan konsep good governance dalam dekade terakhir telah ditumbuhkan menjadi sebuah konsep untuk dapat dipahami dalam konteks yang luas dan dijadikan dasar dalam menyusun konsep-konsep baru untuk institusi-institusi tertentu dengan mengadopsi prinsip-prinsip dasarnya. Konsep-konsep turunan tersebut kemudian salah satunya bahkan menyangkut penyelenggaraan korporasi, yaitu good coorporate governance, yang sebenarnya merupakan perbaikan dari prinsip-prinsip governance korporasi tradisional yang pada hakikatnya justru merupakan inspirator dari konsep good governance.

Adapun yang perlu kita pahami adalah munculnya dua konsep tadi, good governance dan good coorporate governance, dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa pengelolaan sebuah negara tidak dapat disamakan dengan


(21)

penyelenggaraan sebuah korporasi. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan sifat dan tujuan dasar pembentukan kedua institusi tadi, dimana pengelolaan sebuah negara ditujukan untuk memenuhi kebutuhan publik sementara sebuah korporasi dibentuk untuk meraup keuntungan. Perbedaan sifat ini tidak mungkin dipungkiri. Akan tetapi, ada prinsip-prinsip yang dapat diterapkan dalam penyelenggaraan keduanya, dengan modifikasi-modifikasi tertentu untuk mengakomodasi sifat-sifat dan tujuan dasarnya masing-masing. Prinsip-prinsip itu diantaranya akuntabilitas, transparansi, rule of law, dan sebagainya. Apakah penyelenggaraan sebuah perguruan tinggi dapat disamakan dengan penyelenggaraan sebuah negara atau korporasi?. Apabila kita lihat sifat dan tujuan dasar penyelenggaraan pendidikan tinggi di suatu negara, kita bisa dengan cukup tegas mengatakan tidak.

Pada dasarnya, pendidikan tinggi yang pada praktiknya dijalankan oleh institusi perguruan tinggi dimaksudkan untuk dapat menjadi komunitas kaum intelektual suatu bangsa. Komunitas intelektual ini kemudian diharapkan untuk menjadi komunitas yang mampu menelurkan inovasi-inovasi dan pemikiran-pemikiran dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi oleh bangsa itu. Komunitas pendidikan tinggi juga dijadikan sebuah garda moral dan penjaga nilai-nilai luhur yang dianut oleh suatu bangsa, termasuk budaya, adat istiadat dan sebagainya. Dengan peranan dan harapan yang besar inilah kemudian anggota komunitas pendidikan tinggi kemudian


(22)

mendapat posisi yang terhormat di tengah masyarakat. Gelar sebagai seorang sarjana merupakan gelar yang dipandang terhormat di tengah masyarakat. Inilah arti pendidikan tinggi di tengah masyarakat tradisional. Contohnya dapat kita lihat pada tatanan kehidupan bangsa Cina dan Mesir pada zaman dahulu, dimana gelar keserjanaan merupakan gelar yang mendapat posisi tinggi di tengah masyarakat. Di kedua bangsa itu, kita juga melihat perguruan tinggi menjadi basis pengembangan kebudayaan dan teknologi.

Secara tradisional, peranan institusi perguruan tinggi berfokus pada transfer atau konservasi ilmu pengetahuan (knowledge) dan diharapkan untuk menjadi komunitas yang memegang teguh nilai-nilai (values) yang dianggap ideal atau dijunjung tinggi suatu bangsa. Ia diharapkan menjadi sebuah komunitas yang mampu melindungi dirinya dari kooptasi nilai-nilai lingkungan diluarnya yang mungkin korup atau mengandung keburukan. Inilah yang mendasari perlunya status independensi atau otonomi perguruan tinggi. Selain itu, sebuah kebebasan atau independensi juga diperlukan untuk mendukung terwujudnya inovasi atau perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan. Kebebasan itu juga kemudian menyentuh individu-individu yang tercakup dalam komunitas tersebut, karena pada hakikatnya, inovasi dan pemikiran itu bukan dihasilkan oleh institusi, melainkan individu-individu didalamnya.


(23)

Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, peranan tradisional ini dianggap justru terlalu menempatkan institusi perguruan tinggi seperti sebuah menara gading yang terpisah, eksklusif dari masyarakat. Dalam paham yang lebih modern, peranan perguruan tinggi mengalami penambahan dalam hal peranan dan posisi sosialnya di tengah masyarakat. Menghadapi transformasi ekonomi, teknologi dan kondisi sosial yang sangat cepat, pendidikan tinggi dituntut untuk lebih menyeimbangkan peranannya sebagai pusat intelektual sekaligus menjaga agar tetap relevan dengan kondisi sosial di sekitarnya atau kondisi sosial bangsa yang menaunginya. Output dari perguruan tinggi diharapkan bukan hanya sumber daya manusia yang berkualitas dan siap kerja, tapi lebih dari itu, menjadi agen-agen bangsa yang sanggup mengelola dan mengarahkan perubahan di bangsa itu.

Dengan dasar tujuan demikian, maka pengelolaan sebuah institusi perguruan tinggi tidak mungkin disamakan dengan pengelolaan sebuah negara maupun korporasi. Ada koridor-koridor tertentu yang berkaitan dengan nilai-nilai luhur (values), baik dalam hal akademik maupun social values yang harus dijaga didalamnya. Sementara hal-hal lain dalam penyelenggaraannya harus ditempatkan sebagai means atau alat untuk mendukung pencapaian tujuan dasar tersebut.


(24)

Inilah yang menjadi dasar munculnya wacana good university governance dalam penyelenggaraan sebuah institusi perguruan tinggi. Secara sederhana, good university governance dapat kita pandang sebagai penerapan prinsip-prinsip dasar konsep “good governance” dalam sistem dan proses governance pada institusi perguruan tinggi, melalui berbagai penyesuaian yang dilakukan berdasarkan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi dalam penyelenggaraan perguruan tinggi secara khusus dan pendidikan secara umum. Basis pada tujuan pengembangan pendidikan dan keilmuan akademik, pengembangan manusia seutuhnya. Yang lain ditempatkan sebagai alat atau means, bukan tujuan dasar.

Welfare State Dalam Kaitannya Dengan Good University Governace

pada STAKPN.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Welfare State merupakan konsep dari negara kesejahteraan, dimana negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan sehingga dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat secara merata. Kesejahteraan bukan hanya meliputi negara pada umumnya, melainkan kesejahteraan juga mencakup dalam bidang pendidikan. STAKPN yang merupakan perguruan tinggi pemerintah dituntut untuk melakukan peran dan fungsi yang sebaik mungkin. Penerapan Good University Governance pada STAKPN menjadikan Perguruan Tinggi berupaya


(25)

semaksimal mewujudkan kesejahteraan dan kualitas pendidikan, sehingga dalam pembuatan dan pelaksanaan seluruh peraturan yang terdapat pada STAKPN merupakan implementasi AUPB, yang di dalamnya: Kepastian Hukum, Transparansi, Berkeadilan, Efektif dan Efisien, Tanggung jawab, Akuntabilitas dan tidak menyalahgunakan wewenang. Prinsip-prinsip yang melatarbelakangi pembuatan peraturan menegaskan bahwa semua peraturan yang di buat berdasarkan tugas dan tanggung jawab dari masing-masing stakeholder, dan tidak mengedepankan kepentingan individu atau golongan tertentu. Terkait dengan perturan yang ada, peran serta atau hubungan stakeholder pun tidak dapat dipisahkan. Stakeholder yang diartikan sebagai orang atau kelompok yang menjadi pemegang dan sekaligus pemberi support terhadap pendidikan maupun lembaga pendidikan, dan yang mempunyai kepentingan terhadap lembaga pendidikan. Oleh karena itu hubungan stakeholder dengan lembaga pendidikan tinggi STAKPN juga mempengaruhi penerapan Good University Governance, dimana dalam setiap peraturan yang disusun melibatkan pihak-pihak (stakeholder), artinya peran serta tugas dan tanggung jawab dari stakeholder sangat berpengaruh pada kemajuan lembaga. Untuk itulah welfare state hadir bukan saja di artikan sebagai konsep negara kesejahteraan, namun bagaimana sejahtera yang sebenarnya juga dapat meliputi dalam bidang pendidikan. Pelaksanaan pendidikan tinggi STAKPN bertujuan untuk meningkatkan kualitas SDM,


(26)

pendidikan tinggi dalam peningkatan kualitas intelektualitas dan moral dari SDM merupakan pondasi untuk mewujudkan welfare state.

Implementasi Good University Governance

Dalam implementasinya, prinsip-prinsip atau karakteristik dasar dari good governance masih relevan untuk diterapkan dalam konsep good university governance. Dalam penyelenggaraannya, sebuah institusi perguruan tinggi harus memenuhi prinsip-prinsip partisipasi, orientasi pada konsensus, akuntabilitas, transparansi, responsif, efektif dan efisien, equity (persamaan derajat) dan inklusifitas, dan penegakan/supremasi hukum. Yang berbeda adalah nilai dan tujuan yang menjiwainya. Prinsip-prinsip manajerial tersebut hendaknya diterapkan untuk mendukung fungsi-fungsi dan tujun dasar pendidikan tinggi. Selain itu, perbedaan lain adalah dalam hal stakeholder yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan dan perguruan tinggi.

Keistimewaan institusi perguruan tinggi dibanding institusi lain terletak pada fungsi dasarnya, yaitu dalam hal pendidikan, pengajaran dan usaha penemuan atau inovasi (riset). Fungsi-fungsi inilah yang kemudian mendefinisikan peranan perguruan tinggi dalam masyarakat. Wacana yang kemudian sering mengemuka dalam penyelenggaraan perguruan tinggi kemudian adalah mengenai academic excellence dan manajemen perguruan


(27)

tinggi, termasuk dalam hal pembiayaan. Jawaban dari kedua wacana ini kemudian bergantung pada bagaimana pemahaman suatu negara dalam penerapan good university governance.

Good university governance sendiri sebenarnya bukan merupakan sebuah konsep yang baku dalam penerapannya, kecuali dalam hal prinsip-prinsip dasar manajerialnya. Penerapan ini dapat berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi dan paham yang dianut oleh suatu bangsa atau masyarakat. Contohnya, good university governance di Amerika Serikat biasanya diterapkan dengan memberikan otonomi penuh, baik dalam hal akademik maupun manajerial dan pembiayaan, terhadap institusi perguruan tinggi selama masih dapat dipertanggungjawabkan. Konsekuensinya, pengaruh pemerintah relatif lemah dan sebaliknya, kewenangan manajer eksekutif dan dewan suatu perguruan tinggi menjadi kuat. Hal ini berbeda dengan sebagian besar negara-negara eropa, dimana good university governance diterapkan dengan pemberian otonomi dalam hal akademik tetapi tidak sepenuhnya dalam hal manajerial dan pembiayaan, sehingga pengaruh negara dalam hal manajerial menjadi cukup besar. Beberapa negara seperti Austria bahkan menanggung penuh biaya pendidikan tinggi sehingga mahasiswa suatu perguruan tinggi tidak perlu membayar biaya pendidikan. Sementara negara-negara Asia Tenggara umumnya masih mencari bentuk terbaik dan berkutat diantara kedua ekstrim tadi.


(28)

Nampaknya ada sebuah kesepahaman atau kesetujuan umum mengenai pentingnya otonomi dalam usaha pencapaian academic excellence (yaitu dalam hal pengajaran dan riset) untuk perguruan tinggi, akan tetapi hal yang sama belum berlaku dalam hal manajerial dan pembiayaan. Perbedaan pandangan ini biasanya terkait dengan pentingnya fungsi perguruan tinggi bagi masyarakat dan mahalnya biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi. Kecenderungan saat ini, tingginya biaya pendidikan tinggi biasanya dianggap dapat membebani negara dan masyarakat, sehingga perguruan tinggi dianggap lebih baik berusaha mencari sumber-sumber pembiayaan mandiri.


(29)

C. MODEL GOOD UNIVERSITY GOVERNANCE STAKPN

STAKPN

PERATURAN 1. STATUTA

2. PERATURAN AKADEMIK 3. SK Ketua STAKPN Tentang

Pembentukan Tim Pemeriksa Terhadap Pelanggaran Disiplin PNS STAKPN

Prinsip Good University Governance STAKPN:

1. Kepastian Hukum

2. Transparansi

3. Berkeadilan

4. Efektif&efisien

5. Tanggung Jawab

6. Akuntabilitas

7. Tidak Menyalahgunakan

Wewenang

Analisis merupakan pengklasifikasian

aturan-aturan pada STAKPN berdasarkan prinsip Good


(1)

Inilah yang menjadi dasar munculnya wacana good university governance dalam penyelenggaraan sebuah institusi perguruan tinggi. Secara sederhana, good university governance dapat kita pandang sebagai penerapan prinsip-prinsip dasar konsep “good governance” dalam sistem dan proses governance pada institusi perguruan tinggi, melalui berbagai penyesuaian yang dilakukan berdasarkan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi dalam penyelenggaraan perguruan tinggi secara khusus dan pendidikan secara umum. Basis pada tujuan pengembangan pendidikan dan keilmuan akademik, pengembangan manusia seutuhnya. Yang lain ditempatkan sebagai alat atau means, bukan tujuan dasar.

Welfare State Dalam Kaitannya Dengan Good University Governace

pada STAKPN.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Welfare State merupakan konsep dari negara kesejahteraan, dimana negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan sehingga dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat secara merata. Kesejahteraan bukan hanya meliputi negara pada umumnya, melainkan kesejahteraan juga mencakup dalam bidang pendidikan. STAKPN yang merupakan perguruan tinggi pemerintah dituntut untuk melakukan peran dan fungsi yang sebaik mungkin. Penerapan Good University Governance pada STAKPN menjadikan Perguruan Tinggi berupaya


(2)

semaksimal mewujudkan kesejahteraan dan kualitas pendidikan, sehingga dalam pembuatan dan pelaksanaan seluruh peraturan yang terdapat pada STAKPN merupakan implementasi AUPB, yang di dalamnya: Kepastian Hukum, Transparansi, Berkeadilan, Efektif dan Efisien, Tanggung jawab, Akuntabilitas dan tidak menyalahgunakan wewenang. Prinsip-prinsip yang melatarbelakangi pembuatan peraturan menegaskan bahwa semua peraturan yang di buat berdasarkan tugas dan tanggung jawab dari masing-masing stakeholder, dan tidak mengedepankan kepentingan individu atau golongan tertentu. Terkait dengan perturan yang ada, peran serta atau hubungan stakeholder pun tidak dapat dipisahkan. Stakeholder yang diartikan sebagai orang atau kelompok yang menjadi pemegang dan sekaligus pemberi support terhadap pendidikan maupun lembaga pendidikan, dan yang mempunyai kepentingan terhadap lembaga pendidikan. Oleh karena itu hubungan stakeholder dengan lembaga pendidikan tinggi STAKPN juga mempengaruhi penerapan Good University Governance, dimana dalam setiap peraturan yang disusun melibatkan pihak-pihak (stakeholder), artinya peran serta tugas dan tanggung jawab dari stakeholder sangat berpengaruh pada kemajuan lembaga. Untuk itulah welfare state hadir bukan saja di artikan sebagai konsep negara kesejahteraan, namun bagaimana sejahtera yang sebenarnya juga dapat meliputi dalam bidang pendidikan. Pelaksanaan pendidikan tinggi STAKPN bertujuan untuk meningkatkan kualitas SDM,


(3)

pendidikan tinggi dalam peningkatan kualitas intelektualitas dan moral dari SDM merupakan pondasi untuk mewujudkan welfare state.

Implementasi Good University Governance

Dalam implementasinya, prinsip-prinsip atau karakteristik dasar dari good governance masih relevan untuk diterapkan dalam konsep good university governance. Dalam penyelenggaraannya, sebuah institusi perguruan tinggi harus memenuhi prinsip-prinsip partisipasi, orientasi pada konsensus, akuntabilitas, transparansi, responsif, efektif dan efisien, equity (persamaan derajat) dan inklusifitas, dan penegakan/supremasi hukum. Yang berbeda adalah nilai dan tujuan yang menjiwainya. Prinsip-prinsip manajerial tersebut hendaknya diterapkan untuk mendukung fungsi-fungsi dan tujun dasar pendidikan tinggi. Selain itu, perbedaan lain adalah dalam hal stakeholder yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan dan perguruan tinggi.

Keistimewaan institusi perguruan tinggi dibanding institusi lain terletak pada fungsi dasarnya, yaitu dalam hal pendidikan, pengajaran dan usaha penemuan atau inovasi (riset). Fungsi-fungsi inilah yang kemudian mendefinisikan peranan perguruan tinggi dalam masyarakat. Wacana yang kemudian sering mengemuka dalam penyelenggaraan perguruan tinggi kemudian adalah mengenai academic excellence dan manajemen perguruan


(4)

tinggi, termasuk dalam hal pembiayaan. Jawaban dari kedua wacana ini kemudian bergantung pada bagaimana pemahaman suatu negara dalam penerapan good university governance.

Good university governance sendiri sebenarnya bukan merupakan sebuah konsep yang baku dalam penerapannya, kecuali dalam hal prinsip-prinsip dasar manajerialnya. Penerapan ini dapat berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi dan paham yang dianut oleh suatu bangsa atau masyarakat. Contohnya, good university governance di Amerika Serikat biasanya diterapkan dengan memberikan otonomi penuh, baik dalam hal akademik maupun manajerial dan pembiayaan, terhadap institusi perguruan tinggi selama masih dapat dipertanggungjawabkan. Konsekuensinya, pengaruh pemerintah relatif lemah dan sebaliknya, kewenangan manajer eksekutif dan dewan suatu perguruan tinggi menjadi kuat. Hal ini berbeda dengan sebagian besar negara-negara eropa, dimana good university governance diterapkan dengan pemberian otonomi dalam hal akademik tetapi tidak sepenuhnya dalam hal manajerial dan pembiayaan, sehingga pengaruh negara dalam hal manajerial menjadi cukup besar. Beberapa negara seperti Austria bahkan menanggung penuh biaya pendidikan tinggi sehingga mahasiswa suatu perguruan tinggi tidak perlu membayar biaya pendidikan. Sementara negara-negara Asia Tenggara umumnya masih mencari bentuk terbaik dan berkutat diantara kedua ekstrim tadi.


(5)

Nampaknya ada sebuah kesepahaman atau kesetujuan umum mengenai pentingnya otonomi dalam usaha pencapaian academic excellence (yaitu dalam hal pengajaran dan riset) untuk perguruan tinggi, akan tetapi hal yang sama belum berlaku dalam hal manajerial dan pembiayaan. Perbedaan pandangan ini biasanya terkait dengan pentingnya fungsi perguruan tinggi bagi masyarakat dan mahalnya biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi. Kecenderungan saat ini, tingginya biaya pendidikan tinggi biasanya dianggap dapat membebani negara dan masyarakat, sehingga perguruan tinggi dianggap lebih baik berusaha mencari sumber-sumber pembiayaan mandiri.


(6)

C. MODEL GOOD UNIVERSITY GOVERNANCE STAKPN

STAKPN

PERATURAN

1. STATUTA

2. PERATURAN AKADEMIK 3. SK Ketua STAKPN Tentang

Pembentukan Tim Pemeriksa Terhadap Pelanggaran Disiplin PNS STAKPN

Prinsip Good University Governance STAKPN:

1. Kepastian Hukum

2. Transparansi

3. Berkeadilan

4. Efektif&efisien

5. Tanggung Jawab

6. Akuntabilitas

7. Tidak Menyalahgunakan

Wewenang

Analisis merupakan pengklasifikasian

aturan-aturan pada STAKPN berdasarkan prinsip Good


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Prinsip Good University Governance pada STAKPN (Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri) Ambon T2 322012003 BAB I

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Prinsip Good University Governance pada STAKPN (Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri) Ambon T2 322012003 BAB IV

0 1 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Prinsip Good University Governance pada STAKPN (Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri) Ambon

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Bersaing Sekolah Kristen Lentera Ambarawa T2 942011033 BAB II

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendeta Perempuan dalam Kepemimpinan di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) T2 752010013 BAB II

0 2 49

Sejarah Perkembangan Psikologi Agama docx

0 0 20

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan pada Sekolah Dasar T2 BAB II

0 0 28

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Manajemen Kurikulum Pendidikan Katekisasi (Studi di Gereja Protestan Maluku) T2 BAB II

0 1 35

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Guru SMP Negeri 9 Ambon T2 BAB II

0 0 21

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Pembelajaran Berbasis Kontekstual Bidang Studi Pendidikan Agama Kristen di SMA Kristen Satya Wacana Salatiga T2 BAB II

0 1 26