Studi Pergeseran Nilai Budaya dan Etika Komunikasi Dalam Acara Infotainment Televisi (Suatu Perubahan Hak Proteksi Atas Privasi Ke arah Ajang Promosi Pribadi)s.

505

LAMPIRAN 1
WAWANCARA PENULIS DENGAN BAPAK DR. H. HENDRI SUBIAKTO, SH.,
MA.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------STAF AHLI MENKOMINFO BIDANG MEDIA MASSA
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------HARI

: JUMAT

TANGGAL

: 11 JUNI 2010

JAM

: 13:30 – 14:00 WIB

TEMPAT

: KANTOR STAF AHLI MENTERI KOMINFO BIDANG MEDIA

MASSA, KEMENKOMINFO, LT.7 JL. MERDEKA BARAT 4 & 5
JAKARTA.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

P

: Saya ingin mengetahui pendapat/pemikiran Pak Henri mengenai topik penelitian
saya, mengingat kompetensi Pak Henri sebagai pengajar, penulis, pengamat media,
sekaligus banyak juga terlibat dalam penyusunan regulasi (sbg Staf Ahli Menteri
Kominfo Bidang Media Massa).

Menurut Pak Henri, apakah benar telah terjadi pergeseran budaya para pelaku
bisnis infotainment khususnya subyek dan obyek cerita yang diberitakan?
HS

: Pergeseran dari mana kemana?

P


: Pergeseran nilai dari paradigma lama ke paradigma baru, artinya, karena banyak
pengaruh dari teknologi. Paradigma lama, kan semua dulu boleh dikatakan serba
tabu, artinya, ada orang untuk menunjukkan siapa dirinya dsb termasuk hak-hak
privasi dirinya dulu boleh dikatakan sangat klasik tradisional, sekarang ketika
seseorang yang semula dia tidak sadar bahwa dia menjadi obyek cerita, tetapi
kemudian ketika dia sadar dia malah berubah menjadikan media sebagai ajang utk
promosi dirinya?

506

HS

: Sebenarnya…, dulu kan infotainment tidak ada, kemudian ada dan sekarang
infotainment itu menjadi semacam program yang paling banyak dimiliki hampir
semua media TV sampai sehari bisa sampai 13 jam siaran..

P

: Bahkan lebih mas, sehari bisa sampai 15 jam, tapi sekarang sudah mulai menurun
lagi..


HS

:

Ya, ya sampai 15 jam; Kenapa seperti itu, pertama karena media sendiri itu memang
selalu memiliki air time yang banyak dan membutuhkan konten untuk disiarkan. Dia
kan pasti, konten yg paling murah dan kemudian menarik itu memang infotainment,
infotainment itu murah sekali, pertama tentang artis itu kan menarik, kedua artisnya
gak perlu dibayar, untuk diwawancara dan diberitakan itu tidak perlu membayar
uang buat artis, kalau mengundang artis buat nyanyi, sekali nyanyi itu buat (Luna)
Maya itu 24 juta hanya utk dua lagu. Tapi kalau di infotainment orang atau artisartis itu malah senang, tidak perlu dibayar, bahkan malah senang, dan bahkan itu
sudah merupakan promo, dan itu murah.
Dan ini adalah kejelian dari Production House yang membuat sebuah infotainment
sebagai produk yang murah, yang bisa dipasarkan dan dapat dijual ke beberapa
media; sebenarnya Production House-nya juga itu-itu saja, tapi dikemas dengan
nama yg berbeda-beda, isinya juga hampir sama-sama, Cuma
cara yg berbeda-beda, tapi isinya sama.

disampaikan dengan


Makanya kalau satu sudah

ngomong

tentang Ariel ya semuanya berbicara tentang Ariel, Ariel. Karena ya memang hanya
itu (modalnya). Disini yang namanya Check & Recheck, disana namanya Kroschek,
disana Silet, hanya penyajiannya yang di rubah-rubah.

P

: Berarti itu termasuk apa, trend ya?

Kenapa dan ada motif apa sih di balik

maraknya acara infotainment ..?
HS

: Ya karena memang industri itu butuh produk untuk diproduksi dan murah, dan
mudah dan salah satu program yang murah dan paling mudah itu infotainment, dan

menyenangkan. Rating-nya sebenarnya nggak terlalu tinggi, kenapa gak tinggi

507

karena memang dia biasanya disiarkan pada jam-jam yang tidak prime time. Tapi
TV share-nya lumayan-lah, seperti itu.
Nah mengenai privasi dan kemudian dijual, karena memang yang namanya apa, para
selebritis itu ya yang menarik itu ya privasi mereka;

Persoalannya apakah itu

kemudian melanggar etika atau tidak, itu .. bagi kalangan pemrodusen infotainment
menganggap bahwa public figure itu layak untuk diberitakan, dan

itu hak

masyarakat untuk tahu, walaupun sebenarnya kalau tidak tahupun ya tidak apa-apa;
dan kalau masyarakat tahupun juga tidak menambah apa itu, kecerdasan, dan tidak
ada kaitannya dengan peningkatan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat.
Itu istilahnya sebenarnya itu infotainment bagian dari lowtaste content, atau isi

selera rendah; yang disebarkan kepada orang banyak, diterima oleh orang banyak,
dan disukai orang banyak, tetapi ikut menyumbangkan penurunan selera massa dan
standar-standar moral. Karena berkaitan dengan perselingkuhan, berkaitan dengan
kawin cerai, dan menurunkan standar-standar moral, dengan gambar-gambar porno
yang menurunkan standar-standar moral dan menurunkan standar-standar budaya.
Jadi berkontribusi terhadap penurunan-penurunan standar itu. Tetapi disukai, dan
yah.. itulah infotainment.

P

: Jadi kalau menurut Pak Henri apakah ada perubahan etika terutama

dalam

berkomunikasi khususnya untuk para pekerja infotainment?
HS

: Kalau pekerjaan infotainment itu dulunya memang itu .. anu.. yang berubah itu
adalah ee .. pengertian dari wartawan. Jadi, dulu wartawan, yang namanya wartawan
itu adalah orang-orang yang profesional memang tugasnya mencari berita dan

beritanya itu mempunyai ukuran-ukuran tertentu, dan dilakukan oleh organisasi
berita. Organisasi berita itu bisa kantor berita, koran, dsb. Ini nggak, ini kan
production house; production house itu organisasi berita bukan,?

P

: Sebetulnya bukan organisasi berita;

508

HS

:

Iya bukan; Jadi pemrodusen infotainment itu bukan organisasi berita.

Pelaku-

pelakunya itu juga bukan orang-orang yang dididik sebagai wartawan news,
pemberitaan. Tapi adalah hanya memproduksi sebuah tayangan program… namanya

juga production

house.

Nah

itulah

kemudian

terjadi

pergeseran,

dalam

perkembangannya bahwa merekapun dianggap sebagai wartawan oleh PWI, Tapi
oleh sementara yang lain belum mau mengakui, itulah pergeserannya disitu. Karena
apa, karena ada etika-etika jurnalistik yang tidak dijalankan. Misalnya mengenai
apa… standar-standar nilai obyektivitas, factuality, atau juga mungkin imparsiality.

Factuality berkaitan dengan ..bukan hanya sekedar fakta, tapi tujuan fakta itu
disampaikan itu relevan nggak dengan tujuan itu.
Apa sih tujuan infotainment? Sekedar hanya .. untuk menyampaikan
masyarakat senang? Terus kemudian banyak penonton, atau

info biar

sebuah media itu

tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas masyarakat. Kalau media sebagai
institusi sosial itu harus punya tujuan sosial, tujuannya sosialnya adalah .. tujuannya
yang signifikan adalah untuk meningkatkan kualitas masyarakat, tidak hanya
kualitas hidup, tetapi semuanya termasuk kualitas standar moral, dan macammacam.
Misalnya contoh ini, kasus Luna Maya dan Ariel. Ada fakta, tujuan memberitakan
video porno itu apa, kalau tujuannya adalah hanya sekedar memenuhi keinginan
masyarakat yang ingin tahu,

terus kemudian karena banyak yang suka, terus

kemudian ratingnya naik, itu artinya media mengabaikan yang namanya institusi

sosial.
Tapi kalau tujuannya adalah supaya memberikan warning kepada masyarakat
supaya terhindar dari mengkonsumsi pornografi, terhindar dari tindakan-tindakan
yang tidak produktif, dia boleh memberitakan tetapi penekanannya mengenai “awas
lho pornografi itu ada undang-undangnya”, yaitu Undang-Undang tentang
Pornografi. Pornografi itu bisa merusak anak-anak. Pornografi itu ..…,

509

Jadi penekanannya pada hal-hal sisi negatif daripada pornografi. Bukan hanya pada
fakta yang diungkap lalu memunculkan rasa penasaran lalu akhirnya ribuan orang
ingin mengakses, lalu jutaan orang ingin tahu, seperti apa yang sekarang terjadi. Nah
disitulah problema dari infotainment. Mereka tidak paham tentang standar-standar
etika jurnalistik sehingga akhirnya sekedar factuality dalam artian bahwa faktanya
ada, tetapi tidak relevan dengan tujuan pemberitaan. Tidak relevan dengan institusi
media itu tujuannya apa?

P

: Bagaimana mereka ketika merekonstruksi realitas sosial itu kedalam media,

mungkin tidak sama dengan jurnalis yang betul-betul dari organisasi pemberitaan.
Ketika infotainment merekonstruksi realitas dalam masyarakat menurut sudut
pandang mereka sendiri.

Apakah benar ada kaitannya dengan .. ..ada

yang

mengatakan bahwa infotainment itu mempertahankan sistem kapitalisme baru?
HS

: Ehm, ya yang namanya media itu tidak hanya infotainment, semua, semua, semua
media sebagai institusi adalah energi kapitalis. Oleh karena itu pelaku-pelaku media
atau wartawan sekalipun itu juga mau tidak mau ia adalah pemain dari kapitalisme.
Ehm, termasuk media yang terbaik sekalipun. Jadi begini, jangan dianggap bahwa
yang namanya kapitalisme itu selalu isinya jelek, tidak!
Misalnya,

National Geography-pun itu sebuah bentuk kapitalisme, Kompas

kadangkala isinya mengkritik kapitalisme,

isinya tentang sosialisme, atau pro

rakyat, pro sosial, itu juga suatu kapitalis. Jadi, kadangkala institusi kapitalis itu
tidak bisa kita pahami kalau hanya melihat … menginterogasi kop-teksnya,
menginterogasi kontennya, tidak bisa. Ini kalau dilihat kontennya, teksnya (Informan
memegang dan menunjuk SK Harian Kompas terbitan tanggal 11 Juni 2010) sangat
pro rakyat, sangat .. eee..anti yang namanya kapitalisme. Mungkin

dia akan

mengkritik kapitalisme. Tetapi kalau kita pahami tentang bagaimana cara kerja
mereka, hubungan antara owner, pemilik dengan para pekerjanya, bagaimana cara
penggajian, bagaimana mereka memilih, semuanya pasti ada nilai-nilai kapitalisme
yang diterapkan, terutama dalam hubungan itu. Bahkan pilihan-pilihan yang menarik
itu, ya karena kebetulan pasar membutuhkan itu. Jadi kenapa National Geographic

510

itu sangat mencerdaskan masyarakat? Karena menurut dia ada ceruk pasar yang
seperti itu yang dibutuhkan. Kenapa Kompas itu

sangat kritis, sangat bagus,

intelektualitas- nya tinggi, kemudian dia juga menentang pasar bebas, karena dia
dibutuhkan oleh publik. Jadi kembali … jadi itu akan mendapatkan pasar yang
bagus, kapitalisme.

P

: Sama seperti infotainment juga begitu?

HS

: Infotainment juga begitu, dia melihat dari aspek yang berbeda. Jadi kapitalisme tidak
hanya sekedar kita lihat dari kontennya, tapi juga bagaimana melihat infotainment
itu kapitalisme atau tidak, dapat dilihat bagaimana wartawan-wartawannya apakah
menjadi sejahtera setelah mereka bekerja sedemikian rupa. Jangan-jangan mereka
sudah dieksploitasi, nanti wartawannya juga berganti-ganti terus, itu kapitalisme.

P

: Jadi infotainment itu sekarang ini sudah merupakan budaya pop begitu? Dan
masyarakat sendiri sudah terpengaruh sedemikian rupa, sehingga ada pergeseranpergeseran nilai, kemudian ini menjadi bagian dari budaya populer. Bagaimana
menurut anda?

HS

: Memang bisa saja disebut budaya pop, tapi yang jelas infotainment itu, eee..
kemunculannya itu keinginan masyarakat atau apa masyarakat itu seleranya
dibentuk, itu juga satu hal yang seperti ayam dan telor, yang mana yang duluan?
Karena apa, banyak masyarakat yang sebenarnya tidak suka, tapi karena memang
dimana-mana ada. Kadang-kadang pada pagi hari anda menghindari infotainment
dari Channel 1, kemudian pindah ke Channel 2, eh muncul infotainment, pindah ke
Channel 3 juga muncul infotainment. Mau tidak mau akhirnya terpaksa tahu dan
terpaksa nonton ada kasus tentang selebriti, sehingga dia menjadi terlibat dengan
kasus itu.
Nah, yang namanya selera atau termasuk, bahkan budaya itu memang bisa dibentuk
oleh media. Memang itu bentukan media, jadi media menciptakan tokoh-tokohnya,
yang namanya para selebritis itu diciptakan oleh media, dengan agenda setting yang

511

dibuat oleh media, lalu ada anggapan bahwa kalau seorang selebriti itu akan terkenal
ya harus sering muncul di acara infotainment, muncul di media.
Ini sekarang tinggal yang mana yang disebut sebagai budaya pop-nya? Budaya
popnya itu apakah cara mereka hidup, atau cara mereka berpakaian, atau yang
mana? Itu memang masih samar-samar. Yang mana yang disebut sebagai budaya
pop?. Apa kawin cerai itu budaya pop? Itu problemanya. Jadi Infotainment itu
banyak dimensinya. Karena di dalamnya juga mengenai cita-cita banyak selebritis,
kemudian apa, .. termasuk gaya hidupnya, cara mereka berpakaian, macam-macam.
Apakah cara mereka menikah, menikah dengan cara glamour, yang mana yang
disebut budaya pop?

P

: Kalau kita lihat, ketika mereka muncul di infotainment, kan banyak tulisan atau
komentar yang mengatakan bahwa kalau artis sudah mulai merosot pamornya
kemudian itu adalah ajang untuk promo dan pada akhirnya adalah masalah
ekonomi dan popularitas. Menurut Pak Henri bagaimana?

HS

: Ya bisa saja memang ajang untuk promo, makanya seperti tadi saya katakan itu
menjadi murah, karena masing-masing medianya butuh dan selebritinya juga butuh,
jadi ada simbiose mutualistik terhadap infotainment. Jadi infotainment itu memang
dibutuhkan oleh media tapi juga dibutuhkan oleh para selebritis. Selebritisnya ingin
muncul, nongol di TV, jadi sekarang ini ukuran keberhasilan publiknya adalah
ukuran keberhasilan nongol di televisi. Dan disebut selebritis juga karena nongol di
televisi. Itu makanya lalu orang berlomba-lomba untuk bisa muncul di televisi.

P

: Kalau menurut pak Henri, apakah acara infotainment itu melanggar privasi, etika,
logika, dan apakah kalau begini termasuk kategori kejahatan atau bukan?

HS

: Ee, sebenarnya gini, privasi itu persoalan etika, tidak ada hubungannya dengan
kejahatan. Sepanjang memang itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Artinya, privasi apakah kalau hanya persoalan nikah-cerai saja kan boleh-boleh saja
diberitakan, tetapi itu tidak ada untungnya sama sekali.

512

Ee, apa, privasi itu sebenarnya memang hak hidup dari semua orang, semua orang
itu punya hak untuk memperoleh privasi. Hidup ini kalau tidak ada privasi tidak
akan nyaman. Kalau anda tiap hari diikuti kamera, mau mandi diikuti kamera, mau
tidur diikuti kamera, itu hidup menjadi tidak nyaman dan tidak normal. Nah tapi lalu
ada asumsi bahwa orang-orang selebritis atau yang namanya tokoh-tokoh publik itu
privasinya sudah memang sudah dimiliki oleh publik, disampaikan oleh media atas
nama publik. Media sepertinya memiliki hak semacam itu. Nah cuma sebenarnya
kalau menurut saya yang dilanggar itu etika tentang kegunaan bagi publik. Yang
namanya hak publik itu hak seperti apa? Kepentingan publik itu yang mana? Apakah
memang tanpa ada infotainment publik akan kehilangan? Apakah kalau tidak ada
berita-berita kawin-cerai itu publik akan kehilangan? Tidak, tidak ada. Ini tidak
menambah suatu peningkatan kualitas apapun untuk publik. Jadi itu saja yang jadi
masalah. Tapi ini persoalan etika, bukan persoalan hukum.

P

: Jadi sebenarrnya di negara kita Indonesia, kan belum ada yang namanya UndangUndang ttg Privasi atau Privacy Act. Yang ada kan kalau misalnya orang pada buat
situs internet, maka masing-masing membuat aturan-aturan mengenai privasi. Saya
sudah menyelusuri Undang-Undang yang dibuat sejak tahun 1945, belum ada
Undang-Undang mengenai itu. Bagaimana dengan kondisi seperti ini? Memang
masuk hanya sedikit-sedikit di KUHP, KIP, dsb

HS

: Memang belum ada, ya.. di UU KIP, KUHP, ada. Yang dikecualikan itu salah satu
kalau menyangkut privasi. Yang khusus memang tidak ada, di Amerika ada, karena
memang sebenarnya privasi itu termasuk hak asasi, karena hidup manusia itu tidak
pernah akan bisa nyaman kalau tanpa ada privasi.

P

: Di negara kita kira-kira akan ada rencana nggak untuk itu, kearah pembuatan UU
tentang privasi?

HS

: Belum, belum pernah ada wacana mengenai itu.

513

P

: Ya, mungkin Pak Henri bisa mewacanakan mengenai itu, karena di KUHP ada
sedikit, tapi lebih banyak tentang pekerja jurnalistik. Juga di Undang-Undang
Penyiaran juga tidak secara eksplisit dinyatakan tentang privasi.

HS

: Karena bandulnya adalah kebebasan. Privasi Act itu akan mengurangi kebebasan.
Dan akan mendapatkan tentangan pertentangan keras dari teman-teman yang lagi
senang-senangnya dengan kebebasan.

P

: Satu lagi pak Henri, setelah saya mendapatkan data dari KPI tentang pengaduanpengaduan dari masyarakat terhadap acara-acara yang disiarkan televisi, kan
banyak. Selama satu tahun kemarin tahun 2009 dari Januari sampai Desember,
ternyata pengaduan tentang infotainment itu sangat sedikit, cuma sebanyak 163
pengaduan dari 8093 kasus aduan yang diterima KPI. Sebanyak 7513 aduan
mengenai isi siaran dan 71 saja terkait isi siaran infotainment. Menurut pak Henri
bagaimana? Apakah memang masyarakat sudah bisa menerima infotainment?
Karena jenuh atau bagaimana? Karena seolah-olah infotainment sudah menjadi
hal yang biasa.

HS

: Karena konten ini adalah urusannya KPI;

P

: Maksud saya adalah masalah sedikitnya pengaduan mengenai infotainment
dibandingkan dengan aduan terhadap acara-acara yang lainnya. Juga trendnya
sekarang ini turun, dari 15 jam per-hari, sekarang hanya sekitar 10 – 12 jam saja.

HS

: Ya memang perlu ada riset gitu ya, mengapa masyarakat demikian? Bisa jadi karena
memang orang sudah tidak terlalu peduli jadi sensitivitas masyarakat terhadap
infotainment sudah semakin rendah, lama-lama orang itu jadi kebal juga. Terlalu
banyak (infotainment) lama-lama orang juga merasa tidak perlu merespon; Karena
sama dengan dulu ketika ada perkosaan Sum Kuning semua orang se-Indonesia
merespon semua, tapi ketika berita tentang perkosaan semakin sering, orang
menganggap peristiwa perkosaan itu hal biasa. Wah ada gadis diperkosa, lalu
dibunuh gak? Dimutilasi nggak? Mutilasipun lama-lama juga .. hilang.

514

Itulah media, pemberitaan yang terlalu sering itu memunculkan .. apa..
desensitivitas, sensitivitasnya berkurang. Ada mekanisme permisifness, masyarakat
menjadi semakin permisif, atau permisifness mechanism. Jadi, masyarakat menjadi
permisif terhadap berita-berita selebritis yang kawin cerai, udahlah itu memang
kayak gitu, mau ngapain lagi, udah capai..

P

: Kira-kira kalau harapan Pak Henri terhadap acara infotainment apa? Seyogyanya
bagaimana?

HS

: Sebenarnya ini kan problem, problem dari media yang membutuhkan tayangan
program yang banyak, air time yang tersedia banyak, lalu mencari yang murah, ini
yang perlu dipikirkan. Apa medianya yang terlalu banyak? Medianya terlalu banyak
dan tidak ada format, kalau menurut saya sih problem utamanya itu. Jadi ketika
media itu jumlahnya cukup banyak dan formatnya sama, maka lalu semua media
menyajikan infotainment. Seharusnya kalau

misalnya seperti katakanlah seperti

media yang khusus untuk berita, dia mestinya tidak akan menyajikan infotainment.
Berita-beritanya seperti berita politik, atau berita-berita current issues yang hot
issues, itu nggak akan menyiarkan infotainment. Tapi ketika media itu generalis
seperti katakanlah RCTI, SCTV, Indosiar, TPI, AnTV, TransTV, itu kan generalis
semua. Mereka punya banyak program yang sama-sama. Itu yang membuat kita
jenuh. Ada program apa.. infotainment yang semuanya sama, ada reality show yang
formatnya sama, ada program musik yang bentuknya sama, itu membuat jenuh dan
masyarakat menjadi.. apa ini, menjadi itu tadi (tidak sensitive), dan memilihpun juga
pilihan-pilihannya sama. Tidak ada bedanya antara TV satu dengan TV lainnya,
yang membedakan hanya logonya saja. Hal ini berbeda kalau misalnya TV itu
memiliki format yang jelas, ada narrowcasting programming, jadi kalau berita ya
berita dan kita tahu kalau logonya ini pasti TV anu. Kalau siaran isinya musik pasti
AnTV, misalnya. Oo, TV isinya cuma kebudayaan dan flora-fauna, misalnya, oh ini
National Geographics.
Kita belum sampai seperti itu karena memang belum ..sistem yang dibangun itu
belum diarahkan kesana, baik oleh KPI atau mungkin juga oleh pemerintah. Bahwa

515

yang dapat ijin itu formatnya harus jelas, dan merobah format, itu ijin bisa ditarik
kembali. Merobah format, misalnya kayak TPI, televisi pendidikan berubah menjadi
TV Dangdut. Itu jelas berubah format, itu ijin harus diperbaharui. Harus ada usulan
baru, dan harus sesuai. Karena ijin itu diberikan pertimbangan utamanya adalah
formatnya. Kenapa pada formatnya? Karena masyarakat itu membutuhkan macammacam format, perlu dilayani oleh macam-macam format, ada TV khusus budaya,
TV khusus Berita, TV khusus nyanyi-nyanyi, TV khusus kehidupan binatang, TV
Kartun, TV Anak-anak. Itu format, nah kalau tiba-tiba berobah, itu menyebabkan
pelayanan pada publik itu juga berobah. Sebetulnya ijinnya perlu ditinjau ulang.
Nah kalau formatnya sudah tertentu, maka mosok sih pada TV untuk Anak-anak
akan muncul infotainment? Infotainment ya akan hanya ada di TV-TV yang tertentu,
sesuai dengan formatnya.

P

: Baik pak Henri, barangkali sementara itu dulu pertanyaan-pertanyaan saya, nanti
kalau ada kekurangan yang ingin saya tanyakan lagi, mungkin melalui e-mail, atau
SMS? Terima kasih atas waktu dan kesediaan Pak Henri memaparkan pemikiranpemikiran ini.

-------------------bw----------------

Catatan Peneliti:
~ Wawancara berlangsung sedikit formal, namun relaks dan penuh keakraban;
~ Informan baru selesai mengikuti rapat pimpinan di kantornya.
~ Sebelum wawancara selesai, sudah ada 5 (lima) orang mahasiswa Fikom Moestopo
yang datang dan juga akan melakukan wawancara dengan informan.
~ Meskipun waktunya sangat terbatas karena kesibukan beliau, Informan sangat
antusias membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar topik penelitian.
~ Informan juga sangat responsif membalas permintaan peneliti untuk wawancara
penelitian, meskipun hanya melalui SMS.

516

LAMPIRAN 2
WAWANCARA PENULIS DENGAN BAPAK K.R.M.T. ROY SURYO NOTODIPRODJO
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------ANGGOTA KOMISI I DPR-RI, PAKAR TELEMATIKA, DOSEN ISI & UGM,
PENGAMAT MEDIA, PRAKTISI MEDIA.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------HARI

: KAMIS

TANGGAL

: 17 JUNI 2010

JAM

: 17:00 – 19:00 WIB

TEMPAT

: GEDUNG NUSANTARA I DPR-RI, SENAYAN LT. 21, RUANG 2103.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

P

: Penelitian ini adalah mengenai acara infotainment di televisi, dimana menurut
saya terdapat fenomena bahwa telah terjadi pergeseran nilai budaya dan etika
komunikasi dalam acara tersebut. Dalam pengamatan saya, para pesohor telah
memanfaatkan layar kaca untuk ajang promosi pribadinya meskipun itu bersifat
privasi. Saya ingin mengetahui pendapat/pemikiran Mas Roy mengenai hal tsb.

RSN : Ya kalau menurut saya, itu adalah efek dari medium dan komunikasi. Artinya,
merupakan konsekwensi dari kehadiran teknologi. Teknologi itu bisa memboosting dengan cepat, tetapi juga dapat mereduksi dengan sangat cepat. Jadi
seperti televisi yang bisa mengangkat seseorang kalau dia memang talentanya
cocok ya dia bisa terus melejit ya, tetapi juga bisa terbalik, kalau misalnya,
ibaratnya gini, kadang-kadang ada teknologi yang bisa membungkus itu. Ada
seseorang yang kalau dalam rekaman bagus suaranya, dalam minus one itu masih
bagus. Tapi kalau televisi mengangkat itu dalam live, ternyata suaranya tidak
sesuai dengan rekamannya, baik aksektuasinya maupun cara dia melakukannya
gak sama, itu teknologi juga bisa menjatuhkan.

P

: Tapi mengenai pergeseran nilai budaya itu menurut mas Roy bagaimana?

517

RSN : Memang ini tidak bisa dihindari juga, bahwa kadang-kadang tergantung
personality dari yang bersangkutan. Artinya, seseorang itu bisa terllihat sangat
sopan, sangat berbudaya, ketika tampil di layar kaca atau di media, tetapi bisa
terlihat kemudian kebalikannya. Gara-gara, mungkin sesuatu yang sebenarnya dia
tidak harus begitu, tapi terpancing atau dipancing.
Jadi sebenarnya unsurnya itu ada beberapa macam. Satu, sifat dari media itu
sendiri yang karena sekarang teknologi itu tidak seperti dulu yang bisa diharapkan
orang dengan mudah dapat meralat. Seseorang sebelum tampil bisa diwawancara
sekarang, kemudian dia berpikir bahwa dia bicara sesuatu yang tidak sesuai, maka
dia akan telpon produsernya, termasuk yang di media cetak juga begitu, sehingga
yang terbit besok sudah sesuai dengan keinginannya.
Tapi sekarang dengan teknologi, itu cepat sekali. Yang kita katakan sekarang,
dengan cepat naik jadi berita. Atau artis misalnya dia tampil, saat itu juga muncul
di layar. Infotainmentpun juga kalau diperhatikan, dulu namanya information on
entertainment, itu lebih bersifat menghibur. Informasinya adalah ditengah-tengah.
Tapi kalau sekarang, infotainment rata-rata sudah live juga. Jadi meskipun materi
programnya yang ditayangkan itu rekaman, tapi tidak jarang infotainment itu
berani siaran live. Paling tidak pembawa acaranya. Jadi sudah seperti hardnews.
Padahal infotainment awalnya kan munculnya feature, lebih ada bumbunya dari
feature, itulah infotainment. Kalau dulu kita lihat seperti acara Cek & Ricek,
Kabar-Kabari, itu yang paling awal, dulu siaran seminggu sekali. Kemudian
tambah jadi dua kali seminggu. Dan sekarang tiap hari, stripping dan seperti siaran
berita (news) harian. Nah, jadi itu bisa merubah perilaku, juga bahwa bisa merubah
cara dia memahami atau cara dia menghormati budaya tadi.
Yang kedua, sifat dari artis. Artis itu dia perlu panggung, dia perlu tampil. Nah ini
yang membuat dia berubah perilakunya. Ada yang pandai memanfaatkan kondisi
dan situasi infotainment. Kalau misalnya dia sedang perlu sesuatu, mungkin dia
akan keluarkan ini sekarang, atau besok dia akan cerita lain, besoknya lagi yang
lain lagi, supaya orang tertarik. Tapi ada juga yang tidak pandai. Nah kalau yang

518

tidak pandai dalam memenej informasi yang dia sampaikan, akibatnya informasi
itu malah jadi canda atau malah jadi berbalik sama infotainmentnya.
Misal atau contohnya dari tiga artis yang sedang top terkait kasus visum (video
mesum), mengatakan bahwa: ibu saya tidak kenal, anak sayapun tidak mengenal,
bahkan suami sayapun tidak mengenal dengan yang ada divideo itu. Nah itu kan
malah sekarang diulang-ulang, jadi bumerang seolah-olah dia sudah membalik atau
tidak jujur, karena apa, karena publik toh sudah melihat itu.
Nah, unsur yang ketiga masih ditambah dari unsur perilaku si pekerja medianya.
Pekerja medianya juga nakal, kalau dia natural saja mungkin nggak apa-apa, tapi
ini ditambah-tambahin.
Saya sering melihat, bahwa memang etika jurnalistik yang diampu oleh temanteman pekerja infotainment itu memang perlu ada pelunakan atau standarisasi,
dibandingkan dengan teman-teman yang mainstream. Saya tahu pasti, misalnya
mereka lagi ingin membenturkan suatu comment, karena sifatnya yang bisa cepat
tadi, semua jadi ngaruh, si public figure-nya juga sudah terbiasa dibenturkan
begitu, seperti misalnya kasus Tamara Bleszinky dengan suaminya. Itu benarbenar, maaf, benar-benar jahatnya infotainment. Yang satu wawancara suaminya,
yang satu wawancara si Tamara-nya, padahal dua-duanya belum pernah atau belum
sempat konfirmasi, nah dua-duanya dikeluarkan (disiarkan) dan diadu. Tiap hari
diadu terus.
Sehingga dari tiga unsur ini, karena teknologinya memungkinkan untuk membuat
itu, kemudian artisnya kok nggak siap, sehingga akibatnya ada yang tadi dikatakan
ada perubahan, lama-lama ya terjadi perubahan nilai budaya tadi. Tidak hanya
infotainment, sekarang yang news, yang harian straight news, saya sekarang bisa
menebak, kalau misalnya berita awalnya sudah berbunyi: “pertandingan olah raga
yang diadakan di stadion bla bla bla, akhirnya….”, saya sudah bisa meneruskan
“..berakhir ricuh”. Itu sudah pasti. Atau misalnya: “dalam penampilannya, Calon

519

Gubernur ini menampilkan .. dan para pendukung ….” Nah itu pasti belakangnya
“bentrok”. Dan jeleknya lagi, saya juga sempat di lapangan, sempat menyaksikan
sendiri, ketika misalnya ada pelajar, tadinya mungkin pelajar itu kalau lagi
berkelahi hanya tantang-tantangan, tapi kemudian pelajar tadi jadi bisa seperti artis,
dia juga pengin tampil, sementara media , .. maaf ya.., ingin dapat berita. Jadi
bahasa Jawanya “tumbu oleh tutup”. Yang satu kelompok mungkin lebih keras,
sementara yang satunya lagi di “ojok-ojoki” atau di panas-panasi suruh melempar
batu atau apa, dan akan di rekam gambarnya, akan dimasukkan ke TV. Itu terjadi,
meskipun tidak sampai membakar (bakar-bakaran).
(Catatan: Tumbu adalah suatu wadah atau tempat terbuat dari anyaman bambu berbentuk
segi empat seperti box nasi, digunakan untuk tempat nasi/berkat, untuk menaruh
bumbu-bumbu dapur, tempat ikan asin, dsb. Oleh artinya mendapat, dan tutup
maksudnya tutupnya tumbu yang sama terbuat dari anyaman bambu. Maknanya
adalah sesuatu yang “klop”).
Dan yang menarik juga, itu terjadi di Gedung ini (Gedung DPR-RI), kapan-kapan
bisa dilihat, seperti misalnya di Komisi III yang sekarang sedang naik daun, garagara kasus Century dan banyak kasus lagi di bidang hukum, itu karena disorot oleh
kamera, maka anggota DPR Komisi III sekarang punya panggung dan berubah
perilakunya. Nuwunsewu (mohon maaf), dalam istilahnya, ini istilah saya agak
kasar, boleh dimasukkan boleh tidak, “mereka menjadi banci kamera”. Artinya
pengin tampil di kamera terus. Sekarang, beberapa tokoh yang kemarin sudah
muncul (dalam sidang Komisi III DPR RI tentang kasus Century), sekarang
kehilangan itu dan berusaha mencari kamera, bahkan direlakan untuk pindah
Komisi juga, hanya untuk bisa tampil lagi.
P

: Padahal kalau seorang yang profesional atau kompeten, maka kamera akan
mencarinya kan?

RSN : Iya betul, dan kita juga tahu kapan harus tampil dan kapan tidak. Dan akhirnya,
kasihan Komisi yang lain, seperti Komisi kebudayaan, dan yang lain-lain. Ketika

520

dianggap tidak layak jual, maka seolah-olah rapatnya jadi hilang. Misalnya RDP
kok pesertanya sedikit sekali? Nah itu sebenarnya mediapun bisa berperan baik,
artinya sebagai “the fourth estate” atau pilar kekuatan keempat, media itu
memberitakan ini lho, yang ada di DPR, sehingga kalau niat ya niatnya akan
tampak dengan baik, tapi kalau tidak niat ya akan tampak tidak baik niatnya.
Tapi kembali ke tiga unsur tadi, yang pertama dari medianya yang memungkinkan
itu tadi, kemudian dari orangnya yang bisa ngaruh, dan ketiga kalau dari pekerja
medianya mau melakukan itu. Dan ini belum tentu juga atau bukan tidak mungkin
ada unsur bisa direkayasa juga. Lho saya ngalami sendiri, pada waktu sidang
paripurna Century, waktu itu situasi gaduh dan disoraki, saya itu hanya teriak
sekali, eh dua kali, maaf. Sampai Pak Idrus Marham SMS saya, katanya ”mas,
seingat saya anda itu hanya teriak sekali” tapi kok di media jadi berkali-kali?. Dan
sepanjang berita selalu ditempel lagi ditempel lagi gambar saya itu.
Saya menyatakan bahwa itu memang ya gambar saya dan saya memang teriak,
karena suasananya waktu itu semuanya atau sebagian besarlah, teriak-teriak. Dan
dari kita sudah janjian (sudah diatur) siapa-siapa yang bertugas apa.
P

: Nah dari situ kan nampak bahwa kamera mencari bintang. Karena kenapa yang
disorot hanya anda? Sementara banyak lagi anggota yang lain?

RSN : Ya, dan nggak fair-nya lagi, terbalik, saya bukan maksud defense ya, karena ada
hubungannya dengan bagaimana perubahan nilai budaya tadi. Ketika hari kedua,
ketika dimulai sidang, saya interupsi dulu, karena pada waktu itu di luar kan terjadi
pada bentrok (dalam pengertian saling berargumen dan adu mulut). “ Pimpinan,
kalau ada perbuatan saya kemarin yang kurang pas, saya mohon maaf”. Tapi itu
kan hanya disiarkan oleh TV yang siaran live saja kan, Cuma sekali itu. Tetapi
yang lain kan gak ada yang menyiarkan berulang-ulang? Tapi seperti Metro TV,
waktu saya “hu” itu disiarkan 9 (sembilan) kali. Dari mulai pagi, terus menerus
sampai malamnya, di Metro Pagi, Metro Siang, Breaking News, sampai ke Todays
Dialog-pun ditampilkan juga. Jadi agak aneh gitu.

521

P

: Apakah itu pengaruh owner yang mempengaruhi filosofi kebijakan siaran?

RSN : Memang saya memonitor dua stasiun TV berita dengan men-split layar

dan

membandingkan isi siaran keduanya yang sampai jam 4 pagi, dimana masingmasing menyiarkan kejelekan/kelemahan masing-masing kandidat, misalnya yang
satu mengangkat isu Lapindo terus menerus, yang satunya

lagi mengangkat

masalah lain lagi. Nah ternyata setelah salah satu kandidat memenangkan
pertarungan, maka di stasiun yang satunya tidak muncul berita kemenangan itu
sama sekali, atau hasil akhir persaingan hilang dari layar kaca. Dan yang muncul
program lain yaitu pidato yang tampaknya ingin mengimbangi siaran kemenangan
pesaingnya yaitu pemilik stasiun yang satunya.
P

: Nah kalau menurut Mas Roy, apa sebenarnya motif di balik maraknya produk dan
tayangan infotainment di Stasiun-stasiun TV kita?

RSN : Itu tidak lepas juga dari kekuatan modal juga, faktor ekonomi. Artinya, dari
pemilik juga. Kalau di infotainment, itu kan ada beberapa Grup dibalik itu, yaitu
grup Bintang Media Group, itu tampak dari acara infotainmentnya. Sementara ada
Grup infotainment dari In House production, dari Stasiun TVnya sendiri atau dari
grup lain. Dan mereka memang bersaing dengan sangat ketat, dan bahkan yang
kadang-kadang tidak atau kurang bermutu. Itu mereka itu ada pengin tampil tetapi
kadang salah menggunakan atau melakukan akreditasi. Misalnya, kalau disebut
ekslusif, seperti TVOne kemarin ketika mewawancara Luna Maya dan Ariel, itu
betul ekslusif, karena yang lain nggak ada yang dapat wawancara itu. Nah itu
kemenangan Pak Karni Ilyas, karena dapat menego mereka dan mewawancarai.
Tapi lucunya kadang-kadang capai juga kita narasumber, diantara mereka itu ada
yang bersaing, seperti tadi, wawancara siang tentang itu, saya tanya mbak kok
nggak ngrekam wawancara sekalian. Jawabnya: nanti deh pengin tersendiri aja.
Padahal yang diomongkan kan sama. Tapi nanti keluarnya jadi wawancara
ekslusif. Memang merekamnya beda, tapi kan intinya sama, dan enaknya kan kalau
kita ngomong sekali untuk semuanya.

522

Tapi kebalikannya, karena ada masalah teknologi tadi, dia juga bisa kadang-kadang
agak nakal. Main copy-pasting juga. Dari ini, karena grup-nya sama, dicopy,
tinggal nanti dibuat sedikit beda dengan narasi lain. Jadi karena ada 3 (tiga)
parameter tadi, parameter bentuk acaranya, parameter tokohnya sendiri maupun
parameter pekerjanya, itu yang membuat begitu.
P

: Jadi ketika merekonstruksi realitas sosial yang ada di masyarakat, berarti mereka
menggunakan perspektif mereka sendiri?

RSN : Ya, meskipun yang namanya media atau apapun yang namanya memberitakan itu
tidak pernah bisa seobyektif seratus persen. Tapi kalau mereka sudah tersubyektif,
itu memang menjadi tidak nyaman dan itu nampak nyata. Kalau dikatakan tidak
akan obyektif seratus persen kenapa? Dari sisi pengambilan gambar saja, seorang
kameraman akan ambil angle tertentu dan tidak mengambil yang lain, itupun
sebenarnya sudah subyektif. Itu tidak bisa dihindari, tetapi ketika unsur
subyektivitas itu ditambah dengan opini, maka jadilah yang ada seperti kemarin
kasus inilah. (Catatan penulis: Kasus yang sedang hangat yaitu kasus video
porno).
Jadi artinya, ketika sebelum dibuktikan, dia sudah di “judg” begini. Atau bahkan
cerita itu dibuat untuk ditempelkan pada sosok yang bersangkutan. Contohnya saya
pernah lihat, ya dengan segala hormat saya, suatu saat grup media tertentu itu tibatiba mem-blow-up ketika KD cerai dengan Anang, sehingga katanya KD bangkrut.
Padahal kondisinya sih nggak bangkrut-bangkrut amat. Tapi kesannya dibuat
sedemikian rupa, seolah-olah. Gambar yang dipilihpun, tadinya mobilnya ini,
sekarang hanya naik ini, make-upnya tadinya ini sekarang ini, tasnya tadinya ini
kok sekarang jadi ini. Kok sepertinya sudah ada agenda setting yang sangat
kelihatan.
Jadi kalau arahnya apa yang tampil itu adalah mencerminkan perubahan budaya, ya
memang, tetapi kita juga harus tahu background dari penayangan ini.

523

P

: Jadi disitu kelihatan adanya perubahan etika komunikasi mereka?Para pesohor
yang diliput selain alasan ekonomi juga karena popularitas? Seperti tadi anda
katakan, akhirnya orang jadi “banci” kamera. Bagaimana menurut Mas Roy,
karena itu kan sudah banyak masuk ke ruang publik. Masalah privasinya
bagaimana?

RSN : Betul. Ada itu perubahan etika itu. Memang, itu lebih ke alasan popularitas, karna
popularitas dapat menghasilkan uang. Dan tentang privasi itu memang ada, yaitu
privasi yang dimiliki mereka sebelum ditayang atau belum dimediakan, atau
privasi yang katakanlah dari ketika mereka tampil ke publik. Maksudnya gini,
yang namanya privasi ketika tampil ke publik, itu seiring dengan berjalannya
waktu, saya harus katakan kalau untuk tayangan infotainment atau media biasa
itupun sudah sangat tipis atau sudah sangat bergeser.
Contohnya adalah, yah saya harus mengatakan kalau, ini unsur yang kedua, unsur
aktornya sendiri, kalau dia memang public figure, atau kalau dia memang tokoh,
maka ketika dia keluar dari ruangannya atau dari rumah, itu sudah tidak ada lagi
privasi. Dan itu harus dimaklumi. Artinya adalah orang itu memang harus “jaim”
harus jaga imej betul. Kemana pergi tidak boleh sembarangan, ke Mal juga tidak
bisa sembarangan pakai apa, atau pergi sama siapa. Tapi itupun baik untuk
mengkontrol kepribadian yang bersangkutan. Artinya sisi privasi yang ketika dia
berada di ruang publik.
Meskipun demikian, masih harus tetap ada tempat-tempat yang tetap harus
terhormati atau dihormati “space”nya, atau ruangannya. Misalnya ketika dia masuk
ke kamar kecil, atau masuk ke ruangan yang memang bukan untuk umum, memang
disitu “strick” betul untuk tidak boleh diekspose. Atau juga privasi yang ditentukan
oleh pemilik tempat yang bersangkutan. Misalnya, seperti di KPK dimana orang
masuk tidak boleh pakai kamera, artinya itu syarat dan ketentuan yang berlaku di
tempat tersebut.

524

Tetapi yang menarik adalah ketika atau privasi sebelum mereka tampil dimuka
umum. Contohnya seperti mereka memiliki dokumen pribadi. Mereka memiliki
cerita atau keluarga, ini juga perlu untuk di “protect”. Karena yang menjadi artis itu
adalah itu adalah apa yang disebut public figure. Contoh, seperti dalam kasus ini
(Catatan: Kasus Ariel, Luna Maya dan Cut Tari), sayapun termasuk ikut memberi
“comment”, atau memberi saran, ketika misalnya seorang Luna, ketika dia sedang
“mbopong” kemudian dikejar-kejar kru infotainment, itu saya belain Luna.
Kasihan dia, dan anak itu bukan menjadi bagian dari cerita itu. Kecuali anak itu
adalah hasil hubungan gelap mereka, meskipun itu harus disamarkan, tetapi itu
layak untuk kemudian dikejar. Jadi kan ibaratnya gini, kita memang tidak tampil
untuk itu, tapi kenapa harus dipaksakan tampil seperti itu.
Kalimat yang tadi dikeluarkan oleh Cut Tari: Keluarga nggak mengenal itu saya.
Tapi itupun di sampingnya ada anak kecilnya. Tetapi sekarang sudah diblur. Tapi
tadinya itu kan seolah-olah kan gambar itu bisa bernilai lain. Atau apalagi dia halhal yang tidak ada hubungannya dengan apa yang harus dia ceritakan.
Kadang-kadang seperti tadi (pengalaman informan di Bareskrim Mabes Polri),
misalnya, selesai wawancara saya diikuti oleh kamera terus sampai saya masuk
kendaraan, kameramen mau ikut masuk ke kendaraan saya, saya tanya : “Lho mas
mau apa”; katanya mau ikut mau meliput isi mobil. Lha kan nggak ada
hubungannya wawancara saya tadi dengan isi mobil saya. Katanya lagi, “tertarik
aja mas, dalemnya mobil mas Roy kayak apa”. Lho kenapa? Apa hubungannya?
Jawabnya: “Pengin tahu aja, kok kenapa masih nyopir sendiri?” Nah, padahal
kemana-mana saya biasa nyopir sendiri, dan di dalam mobil saya tentunya ada alatalat komunikasi saya. Nah kalau saya buka, kan bisa macem-macem jadinya. Nah
ini yang bisa menjadi berubah, dan itupun nanti perubahan bentuk yang akan
menjadi budaya, bisa jadi trend bagi pemberitaan yang lain.
Contohnya kembali masalah perkelahian tadi, jika ada unjuk rasa, maka yang
ditunggu itu tawurannya. Saya pernah sama Kru Lintas TPI, Kru Fokus Indosiar,

525

dan Kru Liputan SCTV, kok kenapa ratingnya turun? Jawab mereka, karena
mereka tidak memberitakan yang kayak gitu. Sementara dua stasiun TV yang
memang kategorinya TV berita, isinya itu ya sampai hal kayak gitu. Nah yang
harus dicermati, bahkan kadang ketika ada teknologi yang memungkinkan isinya
live, itu bisa masalah sensorship-nya terlewati. Ketika ada siaran langsung
misalnya kejadian-kejadian di daerah, atau seperti kejadian di Rawamangun, di
Mbah Priuk, dimana dalam bentrokan ada yang digebukin, mobil-mobil dibakarin,
dsb nah itu akan jadi trend, dan terbukti. Ternyata Stasiun TV yang punya siaran
beritanya “sopan”, atau berita yang positif, itu lantas menjadi kurang tertonton.
Penonton melihatnya jadi nggak rame.
Tadi atau hari ini kan ada diskusi antara Kemenkominfo, Dewan Pers dan KPI,
membahas masalah infotainment, judulnya “Etika ruang privat ke ruang publik”.
Meskipun ya jangan sampai nanti itu menjadi pembenaran. Kalau dari sisi temanteman media, yang di privat-pun bisa semuanya ditarik ke publik, atau
kebalikannya menjadi pembenaran dari sisi narasumner atau aktor, bahwa kalau
yang namanya privat dia bilang privasi, tidak boleh disyut.
P

: Nah kan memang di Indonesia belum ada Undang-Undang tentang privasi
(Privacy Act). Wacananya bagaimana? Karena tampaknya di infotainment itu
banyak terjadi pelanggaran atas privasi?

RSN : Makanya memang perlu ada standarisasi meskipun kita tidak bisa mengharapkan
bahwa

semua pekerja media termasuk infotainment itu akan bisa sama

kualitasnya. Dan lucunya di kalangan teman-teman wartawanpun itu kan memang
ingin dibedakan. Seperti wawancara tadi siang, ada yang nggak mau bareng ikut
wawancara dengan yang lainnya, ingin tersendiri.
Pekerja infotainment merasa sebagai wartawan karena sudah dianggap sebagai
wartawan oleh PWI, tapi AJI meskipun menerima tetapi tidak menyamakan seratus
persen. Yah karena apa, karena kadang-kadang pertanyaannya memang tidak
standard. Misalnya, Mas tadi apa yang dilakukan di dalam? Saya katakan bahwa
tadi saya memberikan konsultansi begini-begini. Lalu dari infotainment

526

menanyakan: Mas komentar anda terhadap OC Kaligis yang menyatakan anda
sama pegang HP? Kalau orang news gak akan bertanya begitu. Tapi ya saya
trenyuh, saya jawab, yah saya memaafkan atas komentar-komentar yang kurang
tepat. Dalam hal ini saya kan membantu negara membantu Kepolisian. Dan yang
menunjuk saya adalah Mabes Polri.
Nah disitu tiga unsur itu berlaku, kalau terpancing ya saya jadi kelihatan
budayanya jelek sekali, wah dia yang .. kan jadi polemik, dan itu yang ditunggu.
Itu seperti sengaja dibegitukan kan? Kadang kayak dialog pagi stasiun TV, saya
pernah ngalamin, saya diundang mewakili partai, “ditempukkan” (dipertemukan/
dikonfrontirkan) dengan PKB yang memiliki suara berbeda Bu Lily Wahid. Begitu
sampai studio, MetroTV kecewa, karena dia pikir saya nggak kenal mbak Lily, dan
akan terjadi pertentangan. Lha saya kalau dengan Mbak Lily di ruangan Komisi I
itu sudah saya anggap mbakyuku (kakakku). Nah kita memang akrab ya akhirnya
saling mendukung. Itu kelihatan sekali sebenarnya mereka ingin membenturkan
antara saya dengan mbak Lily. Ketika presenter menanya, jadi saya tidak berfriksi
dengan mbak Lily, saya jawab : Ya tidak, wong Mbak Lily itu Mbak saya. Dan
Mbak Lily Wahid menyahuti : Ya iya, wong Roy Suryo itu adik saya. Jadi
sebenarnya agenda setting yang dibangun oleh media, juga bisa di-counter oleh
unsur yang kedua.
Nah kalau tinjauannya dari sudut pandang nilai budaya, kan yang dinilai adalah
bagaimana persepsi penonton terhadap tayangan itu? (Catatan: terkait dengan
unsur ketiga, yaitu medianya). Apakah semua penonton tahu tentang hal itu? Kalau
teman-teman dari media mungkin tahu kalau stasiun ini pemiliknya siapa, dan
stasiun yang itu punya siapa. Dapat ditebak, sudah jelas pasti ini arahnya begini.
Nah tapi kan banyak yang tidak tahu. Dan itulah keberhasilan dari si stasiun TV.
Dia sudah dapat citra duluan, dapat nama duluan, apapun yang diberitakan itu
sudah merakyat. Misalnya di Jakarta ada apa atau terjadi apa, orang akan langsung
klik ke FM 90,0 Radio ElShinta, itu sudah terpatri. Demikian juga MetroTV atau
TV One, orang akan nyari, atau di internet orang langsung buka Detik.com.

527

P

: Berkaitan dengan pengaduan masyarakat ke KPI terhadap tayangan acara, dari
8.000 lebih kasus yang diadukan, ternyata yang terkait dengan masalah
infotainment Cuma 163, dan yang terkait dengan konten hanya 70 saja. Apakah
karena masyarakat sudah jenuh, atau menganggap itu sudah biasa,sudah sangat
permisif, atau bagaimana?

RSN : Saya melihatnya begini, bagaimanapun juga yang namanya infotainment itu sudah
menjadi sebuah acara yang ditunggu oleh masyarakat. Sehingga kalau terjadi
pelanggaran sisi privasi atau pelanggaran dari sisi budaya, ada kekhawatiran dari
masyarakat sendiri ketika akan melaporkan acara itu menjadi sayang kalau seperti
itu akan hilang. Ini tak lepas dari kelemahan-kelemahan peraturannya. Hal yang
terjadi pada acara Empat Mata yang kemudian berubah menjadi Bukan Empat
Mata, juga terjadi pada internet. Ketika terjadi pelanggaran FaceBook yang
memuat karikatur Nabi Muhammad, dan Depkominfo cepat bertindak menutup
FaceBooknya, masyarakat marah-marah, karena yang ditutup kok bukan kontennya
saja. Itu sama dengan kita mau mencari tikus, tapi yang dibakar lumbungnya.
Nah apa yang sedang pak Bambang teliti, ini sangat penting, ya karena ada hal-hal
yang harus dicermati dan perlu diberikan edukasi, semuanya. Jadi kalau tadi itu ada
tiga yang berperan (Catatan: teknologi, narasumber/aktor, dan pekerja media),
sekarang ditambah satu lagi yaitu pemirsanya.
P

: Nah jadi pergeseran nilai budaya itu bergeser ke masyarakat? Apakah masyarakat
sudah bisa menerima, menyukai lantas menunggu infiotainment atau hanya sebuah
bentuk eskapisme saja baik untuk masyarakat maupun pelakonnya sendiri?

RSN : Ya, ya itu karena saling membutuhkan. Di satu sisi orang membutuhkan panggung,
di sisi lain infotainment butuh rating yang bagus. Sehingga ketika rekor
infotainment itu pernah sampai lebih dari 50 judul infotainment.
P

: Memang setelah saya teliti, yang pada tahun 2006-2007 itu per-harinya siaran

528

infotainment 13 jam, ternyata pada tahun 2008-2009 bisa mencapai 15 jam perhari. Namun sekarang trend-nya turun hanya sekitar 8 – 10 jam saja per-harinya.
RSN : Iya betul, kan yang masih bisa bertahan kan hanya beberapa nama saja seperti Cek
& Ricek, Kabar-Kabari, Silet, dan beberapa yang lain. Tapi banyak yang sudah
tidak tampak lagi. Jadi kelihatannya masyarakat sepertinya sudah jenuh juga.
P

: Kan mas Roy sangat concern dengan masalah moralitas, apalagi dikaitkan dengan
ketiga unsur tadi. Nah infotainment kan sepertinya menyebabkan orang bergunjing
itu boleh, dsb., bagaimana pandangan mas Roy?

RSN : Makanya kita harus sangat hati-hati terutama terhadap komentar-komentar yang
disampaikan. Seperti tadi saya ditanya wartawan : Mas percaya gak kalau itu
memang betul-betul Ariel, Luna dan Cut Tari? Saya bilang, lho saya tidak
berkompeten soal itu, saya cuma bicara dari sudut ilmiahnya saja.
Masalahnya kan mereka ingin mencari sensasi, infotainment butuh sensasi juga.
Yang dicari sisi-sisi seperti itu, itu yang dijual.
P

: Mas Roy, kan sekarang ini acara-acara lain seperti talkshow atau reality show,
kan juga sudah banyak mengupas sisi-sisi pribadi seseorang. Nah kalau dalam
infotainment apakah terjadi pelanggaran terhadap etika atau kode etik, norma
apa logika, ataukah bisa dikategorikan suatu kejahatan?

RSN : Kalau dari sisi prinsip ilmu komunikasi, saya tidak boleh terlalu menilai moral.
Tetapi bahwa media komunikasi itu dimungkinkan untuk membuat itu. Itu betul.
Jadi artinya kalau memang sudah ada agenda setting sebelumnya atau katakanlah
memang ada niatan sebelumnya untuk diambil seperti itu. Jangankan infotainment.
Siaran berita TV biasapun bisa membuat itu. Seperti contoh kasus Century, ketika
MetroTV ingin menjerumuskan kasus itu, kita bisa melihat kok narasumbernarasumber yang di tanggap (diundang/diwawancarai) itu-itu terus. Omongannya
sudah bisa ditebak arahnya. Jadi memang benar bahwa itu bisa membawa
perubahan kearah opini tertentu. Jadi kalau media itu sudah mendapat nama maka
yang kasihan masyarakatnya. Meskipun itu pinter-pinternya media itu

529

membungkusnya, sehingga sebelum sampai pada point of no return, dia sudah bisa
mbalik, karena kalau sampai pada point of no return maka media itu akan
ditinggalkan. Sehingga tampak tidak obyektif.
P

: Para pakar kan menyatakan bahwa kehidupan dan kemajuan yang sekarang ini
kan semu, apa pendapat dan harapan anda tentang itu mas.

RSN : Saya berharap, bagaimanapun juga, dalam bahasa yang tidak ilmiah tadi seperti
“tumbu oleh tutup”, tetapi secara ilmiah semua itu saling memberikan pengaruh
kepada zamannya sendiri-sendiri. Ketika teknologi memberikan pengaruh kepada
bentuk atau style dan gaya hidup juga membawa kebudayaan akhirnya bagi
masyarakat itu untuk bergerak. Dan itu mengandung konsekwensi, artinya tidak
mungkin kita balik lagi kebelakang. Contoh, kasus-kasus dari News, seperti
kasunya Tommy Suharto dulu. Ketika saya mbantu aparat dan diwawancara di TV
membawa-bawa laptop itu saya dikatakan tidak lazim. Dibilang laptopnya suruh
ditaruh dibawah saja. Nah saya itu bawa laptop karena saya perlu ini. Tapi
sekarang? Jadi trend malah? Kalau gak pakai laptop dianggap ketinggalan.
Terus kalau soal infotainment, itu juga sekarang media atau infotainment itu
berusaha untuk mengikuti teknologi yang ada. Meskipun ya kadang-kadang juga
lucu. Seperti artisnya sengaja diposisikan untuk bawa ini itu, biar kelihatan canggih
atau gimana.
P

: Bagaimana kalau artis mengundang atau mengajak jalan-jalan kru infotainment
kemudian meliput apa saja yang dilakukan si artis?

RSN : Kalau artis sedang kering tidak ada pemberitaan, mereka sering menggunakan
klausul itu. Disitu thesis pak Bambang terbukti. Nah misalnya sedang tidak ada
kasus yang sekarang ini (Catatan: Kasus video porno), maka yang diulas urusan
lain. Misalnya kasihan Marchel Maryam. Memang mungkin ada hubungan yang
tidak harmonis, retak rumah tangganya. Tapi kan diulasnya sepertinya bagaimana
gitu dan diulang-ulang, sepertinya Piala Dunia aja kalah seru dengan ulasan gossip
itu.

530

P

: Nah setahu saya Mas R