Aktivitas Komunikasi Antar Budaya Tjong A Fie (Studi Biografi Gaya Komunikasi Tjong A Fie Dalam Komunikasi Antar Budaya)

(1)

AKTIVITAS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA TJONG A FIE

(Studi Biografi Gaya Komunikasi Tjong A Fie Dalam

Komunikasi Antar Budaya)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Johnvic Chandra

090904101

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Johnvic Chandra NIM : 090904101

Judul Skripsi : Aktivitas Komunikasi Antar Budaya Tjong A Fie (Studi Biografi Gaya Komunikasi Tjong A Fie dalam Komunikasi Antar Budaya)

Pembimbing Ketua Departemen

Dr. Nurbani, M.Si Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A NIP: 196108021987012001 NIP: 196208281987012001

Dekan FISIP USU

Prof. Drs. Badaruddin, M.Siiiiii NIP: 196805251992031002


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh:

Nama : Johnvic Chandra NIM : 090904101 Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi : Aktivitas Komunikasi Antar Budaya Tjong A Fie (Studi Biografi Gaya Komunikasi Tjong A Fie dalam Komunikasi Antar Budaya)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Majelis Penguji

Ketua Penguji :

Penguji :

Penguji Utama :

Ditetapkan di : Medan Tanggal :


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa dan juga junjungan besar Buddha Siddhārtha Gautama atas berkat dan rahmatnya yang melimpah, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini.

Adapun judul dari penelitian ini adalah “Studi Biografi Gaya Komunikasi Tjong A Fie dalam Komunikasi Antar Budaya.” Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Medan. Peneliti sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Hal ini tidak terlepas dari dukungan yang peneliti rasakan dari keluarga tercinta, terutama dari Mama (Lilis Suryani) dan kakak-kakak tersayang (Hera Jenny, Hera Elvi, S.E dan Hera Fanny, S.E). Ayah (Herman) dan abang kandung satu-satunya (Rudi Chandra) juga banyak memberi semangat dan ajaran-ajaran yang banyak peneliti dapatkan selama proses pengerjaan skripsi ini. Untuk itu, izinkan peneliti sampaikan sayang dan sejuta terima kasih kepada mereka semua.

Pada kesempatan ini juga peneliti ingin ucapkan terima kasih kepada masing-masing individu yang telah membantu dan mendukung penulis hingga menyelesaikan penulisan skripsi ini :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan FISIP USU.

2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A. selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU beserta Ibu Dra. Dayana Manurung, M.Si selaku Sekretaris Ilmu Komunikasi FISIP USU.

3. Dosen pembimbing saya, Ibu Dr. Nurbani, M.Si. yang telah sukses membimbing dan memotivasi penulis selama proses pengerjaan skripsi ini.

4. Kak Yovita Sabarina Sitepu, S.Sos, M.Si, yang selama ini menjadi sosok dosen inspirasional bagi penulis, melalui bimbingan-bimbingan dan pertemanan di media sosial. Visca Barca


(5)

5. Bapak dan Ibu para dosen FISIP USU, khususnya dosen Ilmu Komunikasi yang sudah sangat berjasa memberikan ilmu pengetahuan dan wawasan bagi peneliti selama kuliah.

6. Kak Cut dan Kak Maya yang sudah banyak membantu segala urusan administrasi yang diperlukan penulis selama ini.

7. Seluruh perangkat yang berada di bawah lingkup Departemen Ilmu Komunikasi, mulai dari LDIK (Laboratorium Departemen Ilmu Komunikasi) yang di dalamnya bercokol Kak Hanim dan Kak Puan, Radio USUKom FM juga dengan Kak Windy dan seluruh penyiar-penyiarnya, serta P2KM (Pusat Pengkajian Komunikasi Massa) beserta seluruh anggota-anggotanya.

8. HMD tercinta, IMAJINASI (Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi), yang telah berhasil menanam kecintaan dan kebanggaan yang begitu mendalam selama penulis menjabat sebagai Ketua Umum 2011-2012. Kepada seluruh pengurus angkatan 2011-2012, khususnya Sekretaris Umum (Dzikra Maula) dan Bendahara Umum (Sepfiany Evalina), terima kasih sudah menjadi bagian yang memorable.

9. Pak Fon Prawira beserta seluruh individu, termasuk tour guide, di dalam Tjong A Fie Mansion yang telah bersedia membantu penulis dengan menjadi narasumber dan penyedia data utama dalam skripsi ini.

10.Anna Mira Dipta, rekan sekaligus sahabat yang selalu memenuhi apapun permintaan penulis sekaligus wanita yang paling setia berada di dekat penulis selama proses pengerjaan skripsi.

11.Instansi pendidikan tempat penulis mengajar, Libra Education Institute, yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melayani dan memberi ilmu. Pimpinan instansi, seluruh staff dan murid-murid penulis yang akan penulis kenang sebagai salah satu obat penghilang kebosanan selama penulisan skripsi ini.

12.Seluruh sahabat-sahabat penulis yang sudah memberi dukungan moral dan semangat juga motivasi dalam penyelesaian skripsi ini, khususnya kepada The-Ring-Finger.


(6)

13.Seluruh rekan-rekan sejawat dan seperjuangan, mahasiswa-mahasiswi Ilmu Komunikasi stambuk 2009, yang memberi banyak makna pada kehidupan penulis selama berkuliah. Kenangan pertemanan tak akan hilang walau dilekang waktu.

14.Terakhir, kepada Liverpool FC, yang selama ini memberikan hiburan bagi penulis, sekaligus berperan sebagai pelarian yang mujarab bagi penulis ketika rasa jenuh menghampiri. We won it five times.

Saya menyadari skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu, penulis sangat terbuka menerima segala masukan berupa saran dan kritik yang sifatnya membangun. Mudah-mudahan skripsi ini bisa memberi manfaat bagi siapapun yang membacanya. Amin.

Medan, 5 Mei 2013 P enulis


(7)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS.

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Johnvic Chandra NIM : 090904101 Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Universitas Sumatera Utara Jenis Karya : Skripsi

Demi pertimbangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non Exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul “Studi Biografi Gaya Komunikasi Tjong A Fie dalam Komunikasi Antar Budaya.”

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan), dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih-media (memformat), mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilih Hak Cipta.

Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya.

Medan, 5 Mei 2013

Johnvic Chandra


(8)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber, baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika dikemudian hari, saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya

bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Johnvic Chandra Nim : 090904101 Tanda Tangan :

Tanggal :


(9)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Aktivitas Komunikasi Antar Budaya Tjong A Fie yakni sebuah Studi Biografi Gaya Komunikasi Tjong A Fie dalam Komunikasi Antar Budaya. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dan mengetahui kisah hidup sosok legendaris Tjong A Fie, khususnya bagaimana cara beliau dalam melakukan hubungan-hubungan antarbudaya melalui komunikasi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Gaya Komunikasi, Teori Komunikasi Antar Budaya, Teori Identitas Sosial karya Henry Tajfel dan Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal. Data penelitian dibagi menjadi dua yakni data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan Pak Fon Prawira, beliau adalah cucu kandung Tjong A Fie, sekaligus ketua yayasan Tjong A Fie Mansion yang terletak di Jalan Kesawan, Medan. Data sekunder dihimpun melalui berbagai literatur, seperti buku, DVD film dokumenter hingga penjelasan dari seorang tour guide. Hasil penelitian berupa kumpulan cerita-cerita penting kisah perjalanan sosok Tjong A Fie dengan mengambil fokus utama pada komunikasinya, gaya komunikasi dan proses komunikasi verbal serta nonverbal lebih dikemukakan. Dari hasil penelitian, beliau diketahui memiliki ciri-ciri gaya komunikasi konteks-rendah, dimana cara berbicara beliau yang tegas dan langsung, juga sifatnya yang selalu menyikapi secara terbuka seluruh materi pembicaraan yang dibawa oleh lawan bicaranya.

Kata kunci: Gaya Komunikasi, Komunikasi Antarbudaya, Biografi.


(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v

LEMBAR PERNYATAAN ORIGINALITAS ... vi

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ... 1

1.2 Fokus Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif / Paradigma Kajian ... 8

2.2 Uraian Teoritis ... 11

2.2.1 Gaya Komunikasi ... 11

2.2.2 Komunikasi Antar Budaya ... 16

2.2.3 Teori Identitas Sosial ... 28

2.2.4 Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal ... 32

2.3 Model Teoritik ... 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 36

3.2 Objek Penelitian ... 38

3.3 Subjek Penelitian ... 39

3.4 Kerangka Analisis ... 39

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 41

3.5.1 Data Primer ... 41

3.5.2 Data Sekunder ... 42

3.6 Teknik Analisis Data ... 4 viii


(11)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian ... 45

4.1.1 Reduksi Data ... 50

4.1.2 Penyajian Data ... 71

4.1.3 Verifikasi Data ... 75

4.2 Pembahasan ... 76

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 83


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Model Komunikasi Antarbudaya Gudykunst dan Kim ... 18

Gambar 2.2 Model Teoritik... 35

Gambar 4.1 Tjong A Fie dan istrinya, Lim Koei Yap ... 58

Gambar 4.2 Keluarga Besar Tjong A Fie... 59

Gambar 4.3 Mesjid-mesjid yang Dibangun Tjong A Fie semasa jayanya ... 61

Gambar 4.4 Mesjid-mesjid yang Dibangun Tjong A Fie semasa jayanya ... 61

Gambar 4.5 Kelenteng Kwan Ti Kong ... 61

Gambar 4.6 Ruang Tamu Sultan Deli ... 63

Gambar 4.7 Ruang Tamu / Hall ... 63

Gambar 4.8 Peti Jenazah Tjong A Fie ... 68

Gambar 4.9 Peti Jenazah Tjong A Fie yang Diarak Masyarakat ... 69

Gambar 4.10 Makam Tjong A Fie di Pulo Brayan ... 69

Gambar 4.11 Testamen atau Surat Wasiat Tjong A Fie nomor 67 ... 70

Gambar 4.12 Testamen atau Surat Wasiat Tjong A Fie nomor 67 ... 70


(13)

Daftar Lampiran

1. Daftar Acuan Pertanyaan Wawancara 2. Transkrip Data

3. Foto-foto Dokumentasi 4. Surat Izin Penelitian 5. Biodata Penulis

6. Daftar Bimbingan Skripsi


(14)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Aktivitas Komunikasi Antar Budaya Tjong A Fie yakni sebuah Studi Biografi Gaya Komunikasi Tjong A Fie dalam Komunikasi Antar Budaya. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dan mengetahui kisah hidup sosok legendaris Tjong A Fie, khususnya bagaimana cara beliau dalam melakukan hubungan-hubungan antarbudaya melalui komunikasi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Gaya Komunikasi, Teori Komunikasi Antar Budaya, Teori Identitas Sosial karya Henry Tajfel dan Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal. Data penelitian dibagi menjadi dua yakni data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan Pak Fon Prawira, beliau adalah cucu kandung Tjong A Fie, sekaligus ketua yayasan Tjong A Fie Mansion yang terletak di Jalan Kesawan, Medan. Data sekunder dihimpun melalui berbagai literatur, seperti buku, DVD film dokumenter hingga penjelasan dari seorang tour guide. Hasil penelitian berupa kumpulan cerita-cerita penting kisah perjalanan sosok Tjong A Fie dengan mengambil fokus utama pada komunikasinya, gaya komunikasi dan proses komunikasi verbal serta nonverbal lebih dikemukakan. Dari hasil penelitian, beliau diketahui memiliki ciri-ciri gaya komunikasi konteks-rendah, dimana cara berbicara beliau yang tegas dan langsung, juga sifatnya yang selalu menyikapi secara terbuka seluruh materi pembicaraan yang dibawa oleh lawan bicaranya.

Kata kunci: Gaya Komunikasi, Komunikasi Antarbudaya, Biografi.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Konteks Masalah

Komunikasi antarbudaya merupakan salah satu kajian dalam ilmu komunikasi. Adalah antropolog Edward T. Hall (dalam Mulyana dan Rakhmat, 2000:19) yang memperkenalkan komunikasi antarbudaya ini sejak empat dekade lalu, beliau menyatakan budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan. Seluruh aktivitas perilaku manusia, termasuk dalam berkomunikasi, dipengaruhi oleh budaya tempat manusia itu dibesarkan. Hal ini disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan landasan komunikasi, bila kebudayaan di dunia ini beranekaragam, maka beranekaragam pula cara orang-orang berkomunikasi. Kebudayaan dan komunikasi seperti dua sisi mata uang, di satu sisi, budaya sudah menjadi bagian dari perilaku komunikasi manusia, di sisi lain komunikasi turut aktif menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Samovar dan Porter dalam bukunya Intercultural Communication (2003) seakan menimpali dengan mengatakan bahwa hubungan antarbudaya sangat penting untuk memahami komunikasi antarbudaya karena hal itu mempengaruhi orang-orang untuk belajar berkomunikasi. Hamid Mowlana dalam Purwasito (2003:123) menetapkan komunikasi antarbudaya sebagai human flow across national boundaries. Misalnya dalam keterlibatan suatu konferensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain. Hal ini diamini oleh Fred E. Jandt (1998:36) yang menyebut komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka di antara orang-orang yang berbeda budayanya.

Komunikasi antarbudaya disimpulkan sebagai proses pertukaran pesan diantara individu-individu dari budaya berbeda untuk menegosiasikan makna bersama. Hal ini mengacu pada tujuan mulia dari komunikasi antarbudaya yakni terciptanya bentuk-bentuk hubungan antarbudaya yang menggambarkan upaya yang sadar dari individu untuk memperbarui relasi atau hubungan antara komunikator dan komunikan, membangun sebuah manajemen komunikasi yang


(16)

efektif, lahirnya semangat persahabatan antarbudaya, hingga mengurangi terjadinya konflik antarbudaya (Liliweri, 2003)

Seseorang dipandang mampu ber-komunikasi antarbudaya bila memiliki kesesuaian dan efektifitas pesan. Keefektifan ini bisa dilihat dari nilai-nilai dan norma budaya yang terjalin. Ukuran efektifitas komunikasi dapat dilihat dari derajat dimana individu mendapatkan arti bersama sebagaimana diharapkan pada situasi tertentu dan menurut budaya tertentu. Teramat banyak hal yang dapat menjadi faktor dalam keberhasilan melakukan komunikasi antarbudaya. Selain harus memiliki sikap penuh kesadaran dalam melakukannya, identitas diri juga turut mempengaruhi keberhasilan komunikasi antarbudaya. Identitas diri dapat dipengaruhi - salah satunya - oleh cara kita berkomunikasi dengan orang lain. Cara kita berbicara, termasuk kata-kata yang kita pilih, kelancaran, kecepatan, dan intonasi suara kita menampilkan siapa diri kita di mata orang lain. Semua hal ini disebut gaya komunikasi. Dikatakan bahwa gaya komunikasi adalah jendela untuk memahami bagaimana dunia memandang Anda (Deddy Mulyana, 2004).

Gaya komunikasi atau dalam bahasa Inggris disebut communication styles adalah sebuah perangkat perilaku komunikasi individu yang mewakili individu tersebut dalam menyampaikan pesan sebagai peran seorang komunikator (Mulyana, 2004:112). Dalam perannya sebagai komunikator, gaya komunikasi merupakan hal yang vital. Sebab apabila tidak memiliki gaya komunikasi yang elegan, maka akan sulit membuat komunikan tertarik dan percaya terhadap pesan-pesan komunikasi, selain itu identitas diri juga sulit dibentuk. Salah satu analisis mendalam mengenai gaya komunikasi dikemukakan oleh Edward T Hall (dalam Mulyana, 2004:130), dimana dia membagi gaya komunikasi ke dalam dua konteks, yaitu gaya komunikasi tinggi dan gaya komunikasi konteks-rendah.

Komunikasi konteks-tinggi adalah komunikasi yang bersifat implisit dan ambigu, tidak jelas dan lebih sering berputar-putar, yang menuntut penerima pesan untuk menafsirkannya sendiri. Salah satu ciri komunikasi model ini yaitu apabila ingin mengutarakan sebuah pesan cenderung diawali dengan basa-basi dan teramat sering menggunakan kata-kata kiasan tanpa menyebut inti pesan secara


(17)

langsung. Para pejabat di negeri Indonesia sering menerapkan gaya komunikasi seperti ini. Sementara komunikasi konteks-rendah adalah kebalikan dari komunikasi konteks-tinggi yaitu bersifat langsung, lugas, apa adanya, tidak berbelit-belit dan tidak ambigu. Karakter seperti ini sering dijumpai dalam masyarakat negara-negara barat, yang biasanya berbicara straight-to-the-point. Pokok pembicaraan yang ingin disampaikan sangat mudah diterima oleh lawan bicaranya, tanpa harus melakukan penafsiran layaknya di dalam komunikasi konteks-tinggi.

Dalam dunia serba cepat seperti sekarang ini, keefektifan dalam melakukan komunikasi sangatlah penting. Salah dalam menyampaikan pesan akan berujung dengan kesalahan penafsiran pesan pula. Oleh karena itu, gaya komunikasi harus diperhatikan, berbicara tanpa mengindahkan konteks budaya dimana Anda berada akan berujung pada ketidakefektifan komunikasi. Menurut Deddy Mulyana (2004:52), masyarakat barat, khususnya negara-negara Eropa, cenderung berkomunikasi secara linier, salah satunya ditunjukkan dengan sikap langsung menyikapi pokok pembicaraan, tidak melakukan pemborosan kata-kata dalam berkomunikasi, apa yang hendak disampaikan akan diucapkan secara lugas, mereka juga akan menyerap bulat-bulat informasi yang disampaikan oleh lawan bicaranya. Seorang mahasiswi asal China akan tertegun melihat betapa sombongnya orang Jerman ketika tidak memberikan minuman kepada dia saat berkunjung ke rumahnya, hanya karena sudah sekali menolak pemberian minuman. Orang Jerman itu berfikir, jika sudah ditawari dan kemudian ditolak, maka orang tersebut memang betul-betul sedang tidak ingin minum. Padahal sangat lumrah dalam masyarakat timur untuk menolak penawaran minuman atau makanan sampai beberapa kali karena tidak ingin disebut rakus atau tidak tahu malu, padahal dalam hati mereka sedang haus atau lapar. Hal ini diasumsikan masyarakat barat didominasi budaya konteks-rendah, dimana proses pertukaran informasi berlangsung dengan sangat cepat dan linier.

Berkebalikan dengan masyarakat barat, budaya di masyarakat timur didominasi oleh budaya konteks-tinggi dan berkomunikasi secara nonlinier pula, dimana proses pertukaran informasi cenderung lebih sulit dilakukan. Mereka


(18)

gemar berdiam diri, tidak suka berterus terang dan misterius. Orang yang berbudaya konteks-tinggi menekankan isyarat kontekstual. Suatu pertanyaan yang dilontarkan dan jawaban yang diterima harus dimaknai berdasarkan konteksnya, artinya makna sesungguhnya bukan terdapat di dalam pertanyaan atau jawaban yang diucapkan, akan tetapi lebih tersirat di dalam konteks (budaya) orang-orang yang bersangkutan. Maka di dalam budaya konteks-tinggi, ekspresi wajah, tensi, gerakan, kecepatan interaksi, dan lokasi interaksi lebih bermakna dibanding pesan yang disampaikan. Orang berbudaya konteks-tinggi mengharapkan lawan bicara agar memahami suasana hati yang tak terucapkan dan isyarat halus yang seringkali diabaikan oleh orang-orang berbudaya konteks-rendah.

Berbicara soal gaya komunikasi, ada salah seorang tokoh yang bisa dijadikan contoh, yakni KH. Abdurrahman Wahid atau yang biasa kita sapa Gus Dur. Seperti yang diurai dalam buku Komunikasi Efektif karya Deddy Mulyana, gaya komunikasi Gus Dur disebut-sebut dipengaruhi oleh budaya Jawa dan budaya pesantren, dimana hal ini berarti termasuk dalam budaya konteks-tinggi. Gus Dur, dimana seperti orang yang dibesarkan dalam sistem konteks-tinggi umumnya, lebih mengharapkan orang lain dapat membaca pikirannya dan mengetahui kemauannya tanpa dia harus mengucapkan secara spesifik. Beliau akan berbicara berputar-putar, mengatakan apa saja kecuali inti pokok pembicaraannya. Gaya seperti ini tentu tidak cocok diterapkan di sistem budaya konteks-rendah dimana orang-orang dengan budaya konteks-rendah berkomunikasi lebih lugas dan langsung. Hal itulah yang diterapkan oleh, contohnya Amien Rais, dimana disebutkan gaya komunikasinya banyak dipengaruhi oleh budaya konteks-tinggi. Amien Rais, yang pernah mengecap pendidikan bertahun-tahun di Amerika, negara yang berbudaya berkonteks-rendah, berbicara layaknya orang-orang Barat. Beliau berkomunikasi lugas, apa adanya dan langsung menuju pokok permasalahan yang ada. Namun, suka atau tidak, gaya komunikasi seperti yang dimiliki Amien Rais tentu tidak akan efektif apabila diterapkan di dalam budaya-budaya Timur, yang cenderung dipengaruhi konteks-tinggi. Hal inilah yang menarik untuk dipelajari bahwa bagaimana sebenarnya kaitan gaya komunikasi seseorang akan memiliki efek langsung terhadap hubungan dalam melakukan komunikasi antarbudaya.


(19)

Dalam penelitian kali ini, penulis hendak meneliti gaya komunikasi salah seorang tokoh, yakni Tjong A Fie. Beliau adalah salah seorang sosok yang dikenang banyak warga kota Medan, yang konon memiliki andil besar dalam membangun kota Medan zaman dulu. Tjong A Fie, yang lahir tahun 1860 di (Belawan), dalam usia yang masih remaja. Dia mengawali kehidupannya dengan menjadi karyawan di salah satu toko kelontong milik Tjong Sui Fo. Di toko tersebut, beliau bekerja dari memegang buku, melayani pelanggan, menagih utang serta tugas-tugas lainnya. Dia dikenal pandai bergaul, tidak hanya dengan sesama peranta Dalam waktu singkat, dia menjadi teladan dengan menampilkan watak

Singkat cerita, beliau kemudian dikenal sebagai seora dan, kapitan yang sukses membang pabri waktu yang lama memberi dampak yang signifikan bagi pembangunan kota Medan secara menyeluruh. Beberapa jasanya dalam usaha mengembangkan kota Medan adalah menyumbangkan menara lonceng untuk Gedung Balai Kota Medan yang lama, pembangunan Istana Maimoon, Gereja Uskup Agung Sugiopranoto, Kuil Buddha di Brayan, Kuil Hindu untuk warga India, Batavia Bank, Deli Bank, Jembatan Kebajikan di Jalan Zainul Arifin serta mendirikan rumah sakit Tionghoa pertama di Medan bernama Tjie On Jie Jan. Ia dikenal pula sebagai pelopor industri perkebunan dan transportasi kereta api pertama di Sumatera Utara, yakni Kereta Api Deli (DSM), yang menghubungkan kota Medan dengan pelabuhan Belawan.

Sosok inspiratif itu akhirnya tutup usia pada tanggal karena menderit


(20)

dan laurentiadewi.com)

Menilik sedikit sejarah mengenai sosok Tjong A Fie di atas, penulis tertarik meneliti bagaimana beliau membangun hubungan yang begitu erat dengan masyarakat sekitar, karena kita tahu, perbedaan budaya yang ada tentu tidak mudah dihadapi. Banyak hambatan-hambatan yang harus dilewati. Selain itu, kemampuan dia dalam menjalin komunikasi antarbudaya, seperti yang dilakukannya dengan pihak Kesultanan Deli dan pemerintah Belanda saat itu juga menarik. Hal ini berkaitan dengan gaya komunikasi beliau yang cenderung mudah diterima oleh berbagai kalangan. Selain itu, hingga saat ini, belum ada penelitian yang berfokus pada gaya komunikasi Tjong A Fie. Alasan terakhir adalah adanya unsur kedekatan budaya antara penulis dengan sosok Tjong A Fie. Alasan-alasan ini yang akhirnya membuat peneliti ingin meneliti bagaimana gaya komunikasi beliau hingga akhirnya beliau meraih sukses sebagai salah satu perantau China yang banyak dikenal masyarakat kota Medan dan melegenda hingga saat ini.

Dengan segala uraian di atas, peneliti memutuskan melakukan penelitian mengenai “Aktivitas komunikasi antar budaya Tjong A Fie”.

1.2

Fokus Masalah

Fokus masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan yang hendak dicari jawabannya. Sering juga dikatakan bahwa perumusan masalah merupakan pernyataan yang lengkap dan terinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti, bisa berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang telah diuraikan sebelumnya. (Syafruddin Pohan, dkk, 2012:10)

Berdasarkan uraian konteks masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah gaya komunikasi Tjong A Fie dalam aktivitas komunikasi antar budaya?”


(21)

1.3

Tujuan Penelitian

Secara umum, tujuan utama penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan aktivitas antarbudaya sosok Tjong A Fie. Secara khusus, tujuan penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui gaya komunikasi Tjong A Fie (konteks-tinggi dan konteks-rendah) dikaitkan dengan komunikasi antarbudaya.

2. Untuk mengetahui komunikasi verbal dan nonverbal Tjong A Fie dalam melakukan komunikasi antarbudaya.

1.4

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan mampu memperluas atau menambah khasanah penelitian komunikasi dan menambah pengetahuan dan pengalaman ilmu mahasiswa di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

2. Manfaat Teoritis

Penelitian ini untuk menerapkan ilmu yang didapat selama menjadi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU serta menambah cakrawala dan wawasan peneliti mengenai sosok Tjong A Fie.

3. Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini, diharapkan bisa memberikan pandangan dan pengetahuan kepada siapa saja mengenai sosok Tjong A Fie, baik mengenai peran, tindakan dan sikapnya pada masa lalu.


(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perspektif/Paradigma Kajian

Perspektif diartikan sebagai sudut pandang atau cara kita memandang sesuatu. Cara memandang yang kita gunakan dalam mengamati kenyataan akan menentukan pengetahuan yang akan kita peroleh. Dalam studi komunikasi, dikenal tiga perspektif, yaitu positivis, konstruktivis, dan kritis.

Perspektif positivis berfokus pada hal-hal yang tampak nyata atau yang terlihat secara objektif. Prinsip dasar dalam perspektif positivis yaitu ilmu merupakan upaya untuk mengungkapkan realitas, hubungan antara objek dan subjek harus dapat dibuktikan, dan hasil temuan memungkinkan untuk digunakan dalam proses generalisasi pada waktu dan tempat yang berbeda. Menurut beberapa pendapat yaitu komunikasi merupakan sebuah proses linier atau proses sebab akibat yang mencerminkan upaya pengirim pesan untuk mengubah pengetahuan penerima pesan yang pasif (Ardianto, 2009). Jadi, paradigma positivis ini memandang proses komunikasi ditentukan oleh pengirim atau komunikator. Berhasil atau tidaknya sebuah proses komunikasi bergantung pada upaya yang dilakukan oleh pengirim atau komunikator dalam mengemas pesan, menarik perhatian penerima ataupun mempelajari sifat dan karakteristik penerima untuk menentukan strategi penyampaian pesan.

Sedangkan, perspektif konstruktivis muncul sebagai kritik terhadap kaum positivis. Paradigma konstruktivis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Paradigma konstruktivis menolak pandangan positivis yang menyatakan peran pengirim pesan sebagai faktor sukses tidaknya proses komunikasi. Dalam pandangan konstruktivis, penerima pesan atau komunikan disebut sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosial lainnya. Bahasa pun tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif


(23)

belaka. Jika dalam perspektif positivis, tujuan penelitiannya adalah mendapatkan pengetahuan yang objektif, maka dalam perspektif konstruktivis ini tujuannya adalah mengungkapkan kesadaran palsu dibalik nilai-nilai objektif ini. Tujuannya adalah menemukan penyadaran, pemberdayaan, atau transformasi sosial.

Lain halnya dengan perspektif kritis. Pandangan ini mencoba membongkar kepentingan atau ideologi lain yang berdiri dibalik fenomena sosial, perspektif ini tidak sekedar melakukan observasi melainkan memberikan kritik terhadap fenomena sosial. Kaum kritis ini meyakini pentingnya kontruksi kultur dan cara-cara praktik sosial dalam menentukan, menghilangkan, membangun suatu kultur. Paradigma kritis lahir sebagai koreksi dari pandangan kontruktivis yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun intitusional. Analisis teori kritis tidak berpusat pada kebenaran atau ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada konstruktivis.

Dari ketiga perspektif yang ada, penelitian biografi termasuk ke dalam perspektif konstruktivis, dimana tujuan penelitian biografi sesungguhnya adalah mencari dan mengungkapkan kenyataan atau realitas yang ada secara mendalam. Hal ini disebabkan teori yang menjadi dasar dari metode biografi adalah etnografi, fenomenologi, analisis narasi, interaksionime simbolik, teori diskursus dan analisis konvensional. Namun, metode biografi menimbulkan perdebatan yang cukup hangat antara aliran positivis dan aliran konstruktivis. Menurut aliran positivis, cerita tentang kehidupan seseorang dapat mengungkapkan kenyataan yang sesungguhnya atau memiliki kebenaran empiris. Cerita kehidupan seseorang biasanya dianggap sebagai peristiwa atau pengalaman yang nyata dan biasanya pencerita menjadi saksi utama atas kejadian yang diceritakan. Sedangkan, menurut aliran konstruktivisme, pandangan kaum positivis tersebut kurang tepat, karena baik cerita dari partisipan dan interpretasi peneliti sudah melalui suatu kesepakatan tentang cara penceritaan kembali. Dengan kata lain, cerita dari subjek sudah melalui interpretasi dari peneliti. Akibatnya cerita tidak akan memiliki arti tanpa interpretasi dari peneliti. Justru karena diinterpretasi, maka cerita tersebut dapat dimengerti oleh orang lain. Aliran konstruktivis tertarik untuk meneliti


(24)

bagaimana pencerita membentuk cerita atas suatu peristiwa tertentu, dan bagaimana realita tersebut dibentuk dari ceritanya.

Penelitian biografi merupakan sebuah studi mengenai seseorang individu dan semua pengalaman hidupnya yang diceritakan kembali oleh peneliti dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen dan arsip-arsip yang berhubungan dengan individu yang diteliti tersebut. Penelitian biografi sebagai sebuah metode yang mengumpulkan sekaligus mempelajari dokumen-dokumen yang menjelaskan ‘turning-point moment’ dari kehidupan seseorang (Denzin, 1989:69). Denzin juga menjelaskan bahwa dengan menggunakan metode ini, peneliti nantinya akan mampu mengungkapkan dan menjelaskan arti yang mendalam dari pengalaman maupun sejarah hidup seseorang, yang kemudian dapat memberikan pencerahan bagi orang lain. Denzin menggunakan istilah ‘epiphani’ yang berarti pencerahan atau ‘yang tampak berarti’ dari tindakan, sejarah hidup dan maupun problematika kehidupan seseorang yang dianggap akan bermanfaat bagi orang lain. Disimpulkan bahwa penelitian biografi ini berusaha menghadirkan sejarah kehidupan seseorang secara gamblang beserta manfaatnya untuk orang lain (Denzin dan Lincoln, 1990).

Namun perlu ditekankan bahwa penelitian biografi tidak hanya membahas secara umum mengenai individu seseorang seperti tempat lahir atau asalnya saja. Tapi lebih jauh dari itu, penelitian ini mencoba menjelaskan bahwa masih banyak yang bisa digali dan didata dari seseorang, agar dapat bermanfaat bagi orang banyak. Penelitian jenis biografi merupakan sebuah narasi yang mana peneliti akan menuliskan kembali riwayat hidup seseorang yang dianggap hidupnya baik untuk dibiografikan, termasuk penghargaan-penghargaan yang diterima semasa hidup maupun saat sudah wafat, yang dianggap dapat memotivasi dan bermanfaat bagi orang lain. Asumsi dasar dari penelitian ini adalah bahwa pengalaman setiap manusia selalu punya arti khusus sekaligus dapat bermanfaat bagi orang lain.


(25)

2.2 Uraian Teoritis

2.2.1 Gaya Komunikasi

Gaya komunikasi (communication style) didefinisikan sebagai seperangkat perilaku antarpribadi yang digunakan dalam suatu situasi tertentu. Gaya komunikasi terdiri dari sekumpulan perilaku komunikasi yang dipakai untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu dalam situasi yang tertentu pula (Mulyana, 2004:102). Kesesuaian dari satu gaya komunikasi yang digunakan, bergantung pada maksud dari komunikator dan harapan dari komunikan.

Penampilan dan kecakapan komunikasi, yang biasanya dinilai dari cara seseorang memilih kata-kata, melakukan jeda saat berbicara hingga intonasi dan mimik muka sering kali mengambil peran tersendiri dalam sebuah proses komunikasi. Seseorang yang mahir memilih kata-katanya secara efektif dan memiliki intonasi yang bagus akan senantiasa lebih ingin didengarkan oleh lawan bicaranya daripada seseorang yang berbicara dengan cepat atau sering melakukan kesalahan kata. Begitupun dengan mimik muka yang biasanya akan mendukung proses pengalihan pesan ke komunikan. Penampilan diri yang elegan dan rapi juga memegang poin penting apabila kita membahas dengan keefektifan pesan komunikasi. Seorang pembicara atau motivator yang senantiasa berpenampilan rapi dan bersih akan selalu mampu menarik perhatian pendengarnya, sebaliknya tidak akan banyak yang mendengarkan apabila sang komunikator tidak menjaga penampilan dirinya saat sedang menyampaikan pesannya.

Setiap individu yang melakukan proses komunikasi memiliki gaya khas-nya tersendiri. Apabila diperhatikan dengan seksama, gaya komunikasi seseorang seharusnya berbeda dengan orang lain. Ibarat pakaian, tidak semua orang memakai pakaian tebal di daerah yang dingin atau pakaian terbuka di daerah panas, begitupun gaya komunikasi, gaya komunikasi orang Batak, belum tentu cocok apabila diterapkan dengan orang Betawi. Gaya komunikasi biasanya dipengaruhi oleh kebudayaan tempat ia bernaung. Edward T. Hall dalam Mulyana (2004:130) membagi gaya komunikasi berdasarkan dua konteks, yaitu komunikasi konteks-tinggi dan komunikasi konteks-rendah.


(26)

Komunikasi Konteks-Tinggi dan Komunikasi Konteks-Rendah Suatu kebudayaan dimana suatu prosedur pengalihan informasi menjadi lebih sukar dikomunikasikan disebut High Context Culture atau Komunikasi Konteks-Tinggi. Sebaliknya, kebudayaan di mana suatu prosedur pengalihan informasi menjadi lebih mudah dikomunikasikan biasa disebut Low Context Culture atau Komunikasi Konteks-Rendah (Mulyana, 2004:87). Para anggota kebudayaan konteks-tinggi sangat mengharapkan agar digunakan cara-cara yang lebih praktis yang dapat membantu mereka dalam mengakses informasi dalam variasi situasi apapun. Hal ini karena kebudayaan masyarakat konteks-tinggi umumnya bersifat implisit dan ambigu. Hal yang hendak disampaikan tersebut sudah ada dalam nilai-nilai, norma-norma, dan sistem kepercayaan mereka. Sedangkan, komunikasi konteks-rendah sangat berharap agar tidak menggunakan cara-cara praktis hanya untuk membantu mereka mengakses informasi dalam variasi situasi apapun. Pada kebudayaan ini, cukup diberikan informasi secara garis besar saja dan mereka mampu mengaksesnya dengan mudah. Hal ini karena kebudayaan masyarakat konteks-rendah umumnya bersifat eksplisit (Stella Ting Toomey, 1986).

Kebudayaan dengan komunikasi konteks-rendah lebih langsung dan tidak berbasa-basi. Mereka juga cenderung mencari dan menyerap informasi langsung dari sumbernya. Gaya komunikasi mereka lebih mengutamakan pertukaran informasi secara verbal (hanya sedikit didukung oleh pesan nonverbal), pertemuannya bersifat formal, tatap muka, tanpa basa-basi, dan langsung pada tujuan. Sedangkan pada budaya dengan komunikasi konteks-tinggi selalu menggunakan gaya komunikasi yang tidak langsung. Gaya komunikasinya cenderung kurang formal, pesan-pesan lebih banyak didukung oleh pesan-pesan nonverbal dan lebih menyukai basa-basi. Adapun gaya komunikasi anggota masyarakat kebudayaan konteks-rendah cenderung melakukan negosiasi yang bersifat linier dan logis dalam menyelesaikan masalah. Analisis merupakan suatu prosedur yang esensial dari kebudayaan ini, negosiasi harus singkat dan tidak bertele-tele, masuk akal, dan menggunakan pendekatan bargaining.


(27)

Sebaliknya pada masyarakat kebudayaan konteks-tinggi memakai sistem perundingan yang halus, pilihan komunikasinya meliputi perasaan dan intuisi. Gaya ini lebih mengutamakan hati daripada logika. Budaya konteks-tinggi selalu menggunakan gaya komunikasi tidak langsung dalam menyelesaikan konflik, mereka tidak serta merta menjadikan informasi sebagai sesuatu yang utama dalam proses resolusi konflik, tetapi mengutamakan faktor-faktor relasi antar manusia, emosi budaya, dan kadang-kadang menggunakan pendekatan human relations.

Orang-orang dari negara barat cenderung menerapkan komunikasi konteks-rendah dimana proses komunikasi dilakukan secara langsung, tanpa tedeng aling-aling, tegas dan tidak berputar-putar. Masyarakat Inggris, Jerman, Amerika maupun Prancis atau negara-negara Eropa lainnya tidak melakukan komunikasi yang bertele-tele, apa yang hendak disampaikan akan tersampaikan begitu saja, hal ini dipengaruhi dengan kebudayaan masyarakat barat yang berbeda dengan kebudayaan masyarakat timur, dalam hal ini negara-negara di Asia, termasuk Indonesia. Masyarakat Jepang, China dan Indonesia cenderung menyukai komunikasi konteks-tinggi, yang lebih banyak berpusat pada lambang-lambang dan bahasa non-verbal. Bahasa nonverbal sering kali dijadikan sebagai fokus utama dalam komunikasi konteks-tinggi ini. Oleh karena itu, proses pengalihan pesan terkadang menjadi sedikit sulit disampaikan atau tidak berjalan dengan mulus. Namun, tidak jarang juga, dalam sebuah komunitas atau masyarakat di sebuah negara, terdapat dua buah konteks sekaligus, baik konteks-tinggi ataupun konteks-rendah, hanya saja salah satu akan lebih mendominasi.

Gaya komunikasi personal dapat ditunjukkan dengan cara kognitif maupun sosial. Banyak tipe atau gaya personal yang dimiliki manusia dalam melakukan proses komunikasi. Diantaranya, terdapat orang yang senang bercakap dengan menampakkan wajah ceria atau penuh dengan kehangatan, namun ada juga orang yang berbicara tanpa ekspresi. Terkadang juga ditemukan orang yang bersikap otoriter, namun akan ditemui pula orang yang bersikap sangat demokratis. Ada orang yang


(28)

menghargai lawan bicara dengan cara menatap mata, namun ada pula yang acuh dan menatap ke segala arah ketika proses komunikasi sedang berlangsung.

Gaya Bicara Linier dan Gaya Bicara Nonlinier

Masyarakat yang berpola pikir linier biasanya akan berkomunikasi secara linier pula. Di Amerika atau negara Eropa yang berkonteks-rendah sering ditandai dengan masyarakat yang bergaya bicara linier. Salah satu ciri khas-nya adalah sifat langsung, lugas dan tegas saat berkomunikasi. Sebaliknya, dalam budaya konteks-tinggi, seperti China atau Jepang, masyarakatnya akan lebih banyak berbicara secara nonlinier, dimana proses pertukaran informasi terjadi secara tidak langsung dan lebih banyak melakukan basa-basi. Tujuannya antara lain untuk memelihara kelangsungan kelompok (Deddy Mulyana, 2004). Oleh karena itu, seorang anggota budaya konteks-tinggi tidak suka dipermalukan di depan orang lain. Jika terjadi konflik, tidak jarang konflik diselesaikan dengan perantaraan pihak ketiga, sebabnya penganut budaya konteks-tinggi ini cenderung menghindari konfrontasi dalam berkomunikasi.

Orang Timur yang berbicara secara nonlinier menganggap orang dari negara-negara Barat sebagai orang yang tidak perasaan, karena berbicara secara lugas dan tanpa basa-basi. Apa yang hendak disampaikan akan tersampaikan begitu saja, diucapkan tanpa melihat kondisi sosial maupun psikis lawan bicaranya. Misalnya saja, seorang manajer Jepang yang sedang melakukan kunjungan kerja ke Australia tampak terkejut ketika rekan sejawatnya disana menjelaskan secara panjang lebar prosedur bisnis baru kepadanya. Orang Australia itu berbicara dengan cepat, persis dari awal hingga akhir, menjelaskan bagaimana prosedur itu bekerja, menunjukkan masalah-masalah yang mungkin muncul, dan bertanya apabila ia memiliki pertanyaan. Orang Jepang itu tersinggung dan merasa diperlakukan layaknya anak kecil, lantas berkesimpulan bahwa rekannya dari Australia itu tidak punya pertimbangan atas perasaannya. Dari cerita


(29)

ini, diketahui bahwa gaya komunikasi dan budaya yang melingkupinya memiliki peran langsung dalam gaya komunikasi personal individu.

Paralinguistik

Paralinguistik merupakan seperangkat karakteristik verbal yang menyertai pesan komunikasi seseorang saat sedang melakukan proses pertukaran pesan. Hal itu terkait dengan kecepatan bicara, intonasi, nada suara, kelancaran vokal dan sebagainya (Deddy Mulyana, 2004). Paralinguistik sebenarnya merupakan salah satu aspek komunikasi nonverbal. Namun seringkali kehadirannya juga terkair dengan komunikasi verbal. Paralinguistik seorang komunikator jelas akan berpengaruh dalam memberikan kesan tertentu kepada pendengarnya.

Ditinjau dari segi paralinguistik, tiap individu sebenarnya mempunyai gayanya sendiri-sendiri. Pun tiap komunitas budaya memiliki gaya khas yang membedakannya dengan komunitas budaya lainnya. Contohnya dikatakan bahwa orang-orang dari etnis Batak misalnya cenderung berbicara lebih keras dan kasar, jauh berbeda apabila dibandingkan dengan orang Melayu yang berbicara halus dan lembut.

Suara memberikan kesan tentang kepribadian seseorang. Suara yang parau pada pria akan dianggap matang dan dewasa, sedangkan suara parau pada wanita akan dianggap tidak cerdas, malas, neurotis, apatis dan tidak menarik. Seseorang, tidak perduli pria atau wanita, apabila berbicara secara lambat, dengan nada yang rendah dan menurun, memberi kesan bahwa orang itu menderita depresi. Bicara cepat namun tidak rata, dengan nada tinggi dan suara basah, dan kesalahan ucap yang beruntun, menunjukkan kegugupan. Seorang ekstrovert misalnya berbicara lebih keras, lebih cepat, dengan nada yang tinggi, dengan lebih sedikit jeda. Gaya ini terlihat asertif, cakap dan persuasif. Orang-orang yang berkepribadian agresif dan ambisius, dikenali lewat gaya bicara mereka yang keras, cepat dan meledak-ledak. Aspek paralinguistik ini membawa informasi mengenai emosi, sikap, kepribadian, dan latar belakang sosial individu yang bersangkutan.


(30)

2.2.2 Komunikasi Antar Budaya

Komunikasi antarbudaya terjadi diantara orang-orang yang berbeda budaya. Komunikasi antarbudaya memiliki tema pokok yang membedakannya dari studi komunikasi lainnya, yaitu perbedaan latar belakang -yang lebih banyak disebabkan oleh perbedaan budaya- diantara para pelaku komunikasinya. Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda budaya maka akan berbeda pula komunikasi dan makna yang dimilikinya. Istilah antarbudaya pertama kali diperkenalkan oleh Edward T.Hall pada tahun 1959. Namun demikian, Hall tidak menerangkan pengaruh perbedaan budaya terhadap proses komunikasi antarpribadi. Perbedaan antarbudaya dalam berkomunikasi baru dijelaskan David K. Berlo melalui bukunya The Process of Communication (An Introduction to Theory and Practice) pada tahun 1960. Menurut Liliweri (2001), komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh komunikator dan komunikan yang berbeda budaya, bahkan dalam satu bangsa sekalipun.

Guo-Ming Chen dan William J. Sartosa (Liliweri, 2003:11) mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan:

1. Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan.

2. Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung daripersetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama.

3. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita.


(31)

4. Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan pelbagai cara. (Liliweri, 2003:36)

Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam keadaan demikian, akan segera dihadapkan pada masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi tempat suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain. Seperti diketahui bahwa budaya sangat mempengaruhi orang yang berkomunikasi dan budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya, bila dua orang yang berbeda budaya maka akan berbeda pula perbendaharaan yang dimilikinya, dan itu jelas akan menimbulkan kesulitan tertentu. Sehubungan dengan itu, para ahli seperti William B. Gudykunst dan Young Yun Kim (1983) menerapkan sebuah model dalam komunikasi antarbudaya, yakni komunikasi antara orang-orang yang berasal dari budaya yang berlainan, atau komunikasi dengan orang asing (stranger). Model komunikasi ini pada dasarnya sesuai untuk komunikasi tatap muka, khususnya antara dua orang. Meskipun model itu disebut model komunikasi antarbudaya atau model komunikasi dengan orang asing, model komunikasi tersebut dapat mempresentasikan komunikasi antara siapa saja, karena pada dasarnya tidak ada dua orang yang mempunyai budaya, sosiobudaya dan psikobudaya yang persis sama.

Model Gudykunst dan Kim ini mengasumsikan dua orang yang setara dalam berkomunikasi, masing-masing sebagai pengirim dan sekaligus sebagai penerima, atau keduanya sekaligus melakukan penyandian (encoding) dan penyandian-balik (decoding). Karena itu, tampak pula bahwa pesan suatu pihak sekaligus juga adalah umpan balik bagi pihak lainnya. Pesan dan umpan balik antara kedua peserta komunikasi dipresentasikan oleh garis dari penyandian seseorang ke penyandian-balik orang lain dan dari penyandian orang kedua ke penyandian-balik orang pertama. Kedua garis pesan dan umpan balik tersebut menunjukkan bahwa setiap kita berkomunikasi, secara serentak kita menyandi dan


(32)

menyandi-balik pesan. Dengan kata lain, komunikasi tidak statis, kita tidak menyandi suatu pesan dan tidak melakukan apa-apa hingga kita menerima umpan balik. Alih-alih, kita memproses rangsangan yang datang (menyandi-balik) pada saat kita juga menyandi pesan. Menurut Gudykunst dan Kim, penyandian pesan dan penyandian-balik pesan merupakan suatu proses interaktif yang dipengaruhi oleh filter-filter konseptual yang dikategorikan menjadi faktor-faktor budaya, sosiobudaya, psikobudaya dan faktor lingkungan. Lingkaran paling dalam, yang mengandung interaksi antara penyandian pesan dan penyandian-balik pesan, dikelilingi tiga lingkaran lainnya yang mempresentasikan pengaruh budaya, sosiobudaya dan psikobudaya. Masing-masing peserta komunikasi, misal orang A dan orang B, dipengaruhi budaya, sosiobudaya dan psikobudaya, berupa lingkaran-lingkaran dengan garis yang terputus-putus. Garis terputus-putus itu menunjukkan bahwa budaya, sosiobudaya dan psikobudaya itu saling berhubungan atau saling mempengaruhi. Kedua orang yang mewakili model juga berada dalam suatu kotak dengan garis terputus-putus yang mewakili pengaruh lingkungan. Selanjutnya, garis terputus-putus yang membentuk kotak tersebut menunjukkan bahwa lingkungan tersebut bukanlah suatu sistem tertutup atau terisolasi. Kebanyakan komunikasi antara orang-orang berlangsung dalam suatu lingkungan sosial yang mencakup orang-orang lain yang juga terlibat dalam komunikasi.

Gambar 2.1 Model Komunikasi Antarbudaya Gudykunst dan Kim. Sumber: William B. Gudykunst dan Young Yun Kim (1983:65)


(33)

Seperti ditunjukkan gambar di atas, pengaruh-pengaruh budaya, sosiobudaya dan psikobudaya itu berfungsi sebagai filter konseptual untuk menyandi dan menyandi-balik pesan. Filter tersebut adalah mekanisme yang membatasi jumlah alternatif yang memungkinkan kita memilih ketika kita menyandi dan menyandi-balik pesan. Lebih khusus lagi, filter tersebut membatasi prediksi yang kita buat mengenai bagaimana orang lain mungkin menanggapi perilaku komunikasi kita. Pada gilirannya, sifat prediksi yang kita buat mempengaruhi cara kita menyandi pesan. Lebih jauh lagi, filter itu membatasi rangsangan apa yang kita perhatikan dan bagaimana kita menafsirkan rangsangan tersebut ketika kita menyandi-balik pesan yang datang.

Gudykunst dan Kim berpendapat, pengaruh budaya dalam model itu meliputi faktor-faktor yang menjelaskan kemiripan dan perbedaan budaya, misalnya pandangan dunia (agama), bahasa, juga sikap terhadap manusia, misalnya apakah kita harus peduli terhadap individu (individualisme) atau terhadap kelompok (kolektivisme). Faktor-faktor tersebut mempengaruhi nilai, norma dan aturan yang mempengaruhi perilaku komunikasi. Pengaruh sosiobudaya adalah pengaruh yang menyangkut proses penataan sosial (social ordering process). Penataan sosial berkembang berdasarkan interaksi dengan orang lain ketika pola-pola perilaku menjadi konsisten dengan berjalannya waktu. Sosiobudaya ini terdiri dari empat faktor utama: keanggotaan dalam kelompok sosial, konsep diri, ekspektasi peran, dan defenisi mengenai hubungan antarpribadi. Dimensi psikobudaya mencakup proses penataan pribadi (personal ordering process). Penataan pribadi ini adalah proses yang memberi stabilitas pada proses psikologis. Faktor-faktor psikobudaya ini meliputi stereotip dan sikap (misalnya etnosentrisme dan prasangka) terhadap kelompok lain. Stereotip dan sikap menciptakan pengharapan mengenai bagaimana orang lain akan berperilaku. Pengharapan itu pada akhirnya mempengaruhi cara kita menafsirkan rangsangan yang datang dan prediksi yang dibuat mengenai perilaku orang lain. Etnosentrisme, misalnya, mendorong kita menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan kerangka rujukan sendiri dan mengharapkan orang lain berperilaku sama seperti kita. Hal ini akan membuat salah penafsiran pesan orang lain dan meramalkan perilakunya yang akan datang secara salah pula.


(34)

Salah satu unsur yang melengkapi model Gudykunst dan Kim adalah lingkungan. Lingkungan sangat berpengaruh dalam menyandi dan menyandi-balik pesan. Lokasi geografis, iklim, situasi arsitektural (lingkungan fisik), dan persepsi atas lingkungan tersebut, mempengaruhi cara menafsirkan rangsangan yang datang dan prediksi yang dibuat mengenai perilaku orang lain. Oleh karena orang lain mungkin mempunyai persepsi dan orientasi yang berbeda dalam situasi yang sama. Intinya, model tersebut menunjukkan bahwa terdapat banyak ragam perbedaan dalam komunikasi antarbudaya.

Unsur Komunikasi Antarbudaya.

Terdapat tiga unsur budaya yang secara hakekat mempengaruhi komunikasi antarbudaya yaitu sebagai berikut:

a. Persepsi

Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Secara umum dipercaya bahwa orang berperilaku sedemikian rupa sebagai hasil dari cara mereka mempersepsikan dunia. Perilaku ini dipelajari sebagai bagian dari pengalaman budaya mereka (Porter dan Samovar, dalam Mulyana dan Rakhmat, 1993:27). Masyarakat Timur pada umumnya adalah masyarakat kolektivitis. Dalam budaya kolektivitis, diri (self) tidak bersifat unik atau otonom, melainkan lebur dalam kelompok (keluarga, klan, kelompok kerja, suku, bangsa, dan sebagainya), sementara diri dalam budaya individualis (Barat) bersifat otonom. Akan tetapi suatu budaya sebenarnya dapat saja memiliki kecenderungan individualis dan kolektivitis, hanya saja salah satu biasanya lebih menonjol. Dalam komunikasi antarbudaya yang ideal kita akan mengharapkan persamaan dalam pengalaman persepsi. Tetapi karakter budaya cenderung memperkenalkan kita kepada pengalaman-pengalaman yang tidak sama, dan oleh karenanya, membawa kita kepada persepsi yang berbeda atas dunia luar.


(35)

Ada tiga unsur sosio-budaya yang mempunyai pengaruh besar atas makna-makna yang dibangun dalam persepsi, yaitu :

- Sistem-sistem kepercayaan, nilai, dan sikap yang lahir dalam budayanya.

- Pandangan dunia (world view) yang berorientasi dari pandangan dunia satu budaya terhadap hal-hal seperti Sang Maha Pencipta, alam semesta, kemanusiaan, dan konsep-konsep masalah filosofis lainnya yang berkenan dengan konsep makhluk. Singkatnya, pandangan dunia ini membantu kita untuk mengetahui posisi dan tingkatan kita di dalam alam semesta.

- Organisasi sosial, dalam hal ini terkait dengan bagaimana cara suatu budaya mengorganisasikan masyarakatnya dan lembaga-lembaganya, juga mempengaruhi bagaimana anggota-anggota budaya mempersepsi dunia dan bagaimana cara mereka berkomunikasi. Dua unit sosial yang dominan dalam suatu organisasi sosial dalam perspektif budaya adalah keluarga dan lingkungan pendidikan (sekolah).

b. Proses Verbal

Proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana berbicara dengan orang lain, namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan pengembangan makna bagi kata-kata yang digunakan. Proses-proses ini secara vital berhubungan dengan proses pemberian makna saat melakukan komunikasi antarbudaya:

 Bahasa Verbal

Bahasa merupakan alat utama yang digunakan oleh budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai dan norma. Bahasa merupakan alat bagi orang-orang untuk berinteraksi dengan orang lain dan juga sebagai alat untuk berpikir. Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan dan turut membentuk pikiran. Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu lambang yang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan


(36)

hasil belajar, yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu komunitas budaya.

 Pola Pikir

Pola pikir suatu budaya mempengaruhi bagaimana individu-individu dalam budaya tersebut berkomunikasi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi bagaimana setiap orang akan merespon individu-individu dari budaya lain. Kebanyakan orang menganggap bahwa setiap orang meiliki pola pikir yang sama. Namun, harus disadari bahwa terdapat perbedaan-perbedaan budaya dalam aspek berpikir. Kita tidak dapat mengharapkan setiap orang untuk menggunakan pola pikir yang sama, namun memahami bahwa terdapat pola pikir dan belajar menerima pola-pola tersebut akan memudahkan kita dalam berkomunikasi.

c. Proses Nonverbal.

Proses-proses nonverbal merupakan alat utama untuk bertukar pikiran dan gagasan secara simbolik, yang biasanya dilakukan melalui gerak isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, dan lain-lain. Lambang-lambang tersebut dan respon-respon yang ditimbulkannya merupakan bagian dari pengalaman budaya. Budaya mempengaruhi kita dalam mengirim, menerima dan merespon lambang-lambang tersebut.

 Perilaku Nonverbal

Kebanyakan komunikasi nonverbal berlandaskan budaya, apa yang dilambangkannya merupakan hal yang telah disebarkan budaya kepada anggota-anggotanya. Misalnya lambang bunuh diri berbeda-beda antara satu budaya dengan budaya lainnya. Di Amerika Serikat, hal ini dilambangkan dengan jari yang diarahkan ke pelipis, di Jepang dilambangkan dengan tangan yang diarahkan ke perut, dan di New Guinea dilambangkan dengan tangan yang diarahkan ke leher. Sentuhan sebagai bentuk komunikasi dapat menunjukkan bagaimana komunikasi nonverbal


(37)

merupakan suatu produk budaya. Di Jerman, kaum wanita seperti juga kaum pria biasa berjabat tangan dalam pergaulan sosial, sedangkan Amerika wanita jarang berjabat tangan. Di Muangthai, orang-orang tidak bersentuhan (berpegang tangan) dengan lawan jenis di tempat umum, dan memegang kepala seseorang merupakan suatu pelanggaran sosial.

 Konsep Waktu

Waktu merupakan komponen budaya yang penting. Terdapat banyak perbedaan mengenai konsep waktu antara budaya yang satu dengan budaya yang lain, yang mempengaruhi komunikasi.

 Penggunaan Ruang

Cara seseorang menggunakan ruang sebagai bagian dalam komunikasi disebut dengan prosemik. Prosemik tidak hanya meliputi jarak antara orang-orang yang terlibat dalam percakapan, tetapi juga orientasi fisik mereka. Orang-orang dari budaya yang berbeda mempunyai cara-cara yang berbeda pula dalam menjaga jarak ketika bergaul dengan sesamanya. Bila berbicara dengan orang yang berbeda budaya, kita harus dapat memperkirakan pelanggaran-pelanggaran yang mungkin timbul, menghindari pelanggaran tersebut dan meneruskan interaksi kita tanpa memperlihatkan reaksi permusuhan.

Hambatan Komunikasi Antarbudaya.

Melakukan komunikasi antarbudaya sebenarnya sangat sulit. Bukan hanya karena berbeda budaya, tetapi juga muncul hambatan-hambatan yang timbul dalam komunikasi antarbudaya atara lain disebabkan oleh:

a. Prasangka Sosial

Prasangka sosial merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap golongan tertentu, golongan ras atau kebudayaan yang berlainan dengan


(38)

golongannya. Prasangka sosial terdiri dari sikap sosial yang negatif terhadap golongan lain dan mempengaruhi perilakunya terhadap golongan tersebut. Batak memandang diri mereka sendiri sebagai berani, terbuka dan tangguh. Mereka menganggap orang Jawa dan Sunda sebagai orang yang terlampau sopan sehingga menimbulkan stigma bahwa mereka cenderung lebih penakut dan lemah serta ragu-ragu dalam berbicara. Bagi orang Batak, cara komunikasi yang dianggap sebagian orang kasar justru dianggap sebagai simbol kejujuran, sementara mereka menafsirkan kehalusan orang Sunda dan Jawa sebagai kemunafikan. Maka dapat disimpulkan bahwa faktor pengalaman dengan intra maupun antaretnik mempengaruhi komunikasi. Dalam berkomunikasi terjadi proses persepsi yang bersifat selektif sehingga terjadi generalisasi yang keliru terhadap objek.

Prasangka sosial ini sendiri kemudian berkembang disebabkan oleh ketiga faktor dibawah ini, yakni:

- Etnosentrisme yaitu merasa etniknya sendiri yang paling baik.

- Terlalu mudah menganalisis perilaku etnik lain dengan pengetahuan dan pengalamannya yang terbatas.

- Cenderung memilih stereotip yang mendukung kepercayaannya tentang hubungan dan hak-hak istimewa apa yang harus dimiliki oleh diri pribadi.

b. Jarak Sosial

Jarak sosial merupakan perasaan untuk memisahkan seseorang atau kelompok tertentu berdasarkan tingkat penerimaan seseorang terhadap orang lain. Jarak sosial sebagai suatu penilaian di atas skala pada mulanya dilakukan oleh Borgadus, dengan mengambil sample 1725 orang Amerika asli dengan latar belakang 30 etnik. Borgadous menemukan bahwa pada setiap etnik ada perbedaan pilihan jarak sosial. Ada kecenderungan yang menunjukkan bentuk interaksi positif. Sikap ini dapat mempengaruhi efektifitas komunikasi antaretnik (Liliweri, 2001:178). Menurut Zastrow,


(39)

diskriminasi memberikan jarak sosial merupakan faktor yang merusak kerjasama antarmanusia maupun komunikasi di antara mereka.

Doob, dalam Liliweri (2001:178) mengakui diskriminasi sebagai bentuk perilaku yang ditujukan untuk mencegah suatu kelompok atau membatasi kelompok lain yang berusaha memiliki atau mendapatkan sumberdaya kehidupan. Dari beberapa penelitian tentang diskriminasi, dapat disimpulkan bahwa diskriminasi terjadi karena alasan historis, seperti kebanggaan atas kejayaan suatu etnik, bisa juga berupa sistem nilai yang berbeda antara etnis mayoritas dan minoritas, pola kerja sama yang berlainan, juga pola pemukiman yang berbeda, seperti Timur dan Barat, urban dengan rural hingga terkait dengan faktor sosial budaya, ekonomi, agama, dimana hal itu memerlukan perbedaan perlakuan. Prasangka sosial dan stereotipe ini kemudian berpengaruh terhadap tingkah laku diskriminatis yang terinternalisasi melalui proses sosialisasi, persuasi, identifikasi dan penyesuaian. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap para anggota kelompok etnik lain dan mempengaruhi penilaian masing-masing anggota antarkelompok ini, karena mereka merefleksikan penilaian-penilaiannya yang berpengaruh terhadap identitas dirinya sendiri (Cookie dan Walter, 1985 dalam Liliweri, 2001).

Efektifitas Komunikasi Antarbudaya.

Terdapat beberapa orientasi jawaban logis apabila kita menanyakan mengenai keefektifan seseorang dalam melakukan komunikasi antarbudaya. Salah satunya adalah kemampuan menyesuaikan diri dan kualitas pertumbuhan pribadi pelaku komunikasi itu sendiri. Semakin cepat ia mampu menyesuaikan diri dengan kultur budaya yang berbeda, maka semakin baik pula dikatakan komunikasi antarbudaya-nya. Tidak banyak yang mampu dengan cepat atau setidaknya memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan kultur budaya yang berbeda, salah satunya harus didasari oleh kemampuan ia dalam melakukan komunikasi antarbudaya yang efektif.


(40)

Faktor lain agar bisa mengatakan seseorang melakukan komunikasi antarbudaya yang efektif ialah bahwa ia harus memiliki sikap dan pengetahuan berbasis budaya yang menawan. Hal ini tentu tidak mudah, karena seseorang dituntut untuk memiliki sikap dan pengetahuan yang dalam terkait dengan budaya orang lain. Terakhir, kualitas komunikasi yang terjalin harus diharapkan menyinggung segala aspek kehidupan, bisa dimulai dari aspek ekonomi, politik, olahraga, bahasa, kesehatan, pendidikan dan lain-lain.

Menurut hasil penelitian para ahli yakni Kealey dan Reuben (1983) tentang efektifitas komunikasi antarbudaya yang menunjukkan terdapatnya variabel-variabel yang menentukan efektif atau tidaknya komunikasi antarbudaya, yakni:

- Kejujuran, empati, pengungkapan rasa hormat dan keluwesan dari pelaku komunikasi.

- Variabel situasional yang terdiri atas kondisi kerja, batasan-batasan kerja dan tingkat kesulitan kerja, kondisi hidup, persoalan kesehatan, kesimpangsiuran politik hingga kesulitan bahasa dari pelaku komunikasi.

- Kekuatan kepribadian, partisipasi sosial, kemampuan bahasa, dan apresiasi adat istiadat dari pelaku komunikasi.

- Penyesuaian dan kepuasan pribadi, kepiawaian professional, dan hubungan dari hati ke hati dengan anggota budaya tuan rumah.

- Sifat kepribadian yang terbuka dan tertarik kepada orang lain, percaya diri, luwes, dan piawai secara professional dari pelaku komunikasi. - Kemampuan melakukan penyesuaian diri dan mengatasi stress, kontak

dengan orang setempat yang relatif tinggi, pemahaman dan keefektifan dalam hal pengetahuan dan teknologi dari pelaku komunikasi.


(41)

Namun harus diakui, efektif atau tidaknya komunikasi antarbudaya bergantung pada budaya yang mewarnai perilaku manusianya. Semakin baik kita kita mengenal dan memahami budaya lawan bicara kita, maka akan semakin efektif pula proses komunikasi yang kita lakukan. Selain itu, sikap stereotipe atas beragam budaya harus kita terima sebagai makna yang positif atas ragam budaya dan uniknya manusia.


(42)

2.2.3 Teori Identitas Sosial.

Tidak bisa disangkal bahwa manusia tidak akan pernah bisa hidup sendiri. Sejak lahir sampai meninggal dunia pun manusia selalu membutuhkan kehadiran orang lain. Interaksi dan korelasi dengan sesama membuat setiap orang sanggup membangun kepribadiannya sebagaimana adanya. Walaupun setiap orang memiliki perbedaan, manusia selalu akan masuk dan bergabung dalam satu komunitas budaya tertentu. Kesamaan lingkungan seperti geografis, kesamaan nasib, keluarga, nilai-nilai, keagamaan, kebiasaan, adat istiadat dari komunitas budaya ikut membentuk identitas diri maupun komunitasnya. Ini membuat seorang individu tidak saja memiliki identitas diri sebagai persona, namun juga punya ciri-ciri yang bisa sama dengan orang lain di dalam komunitasnya. Karena dengan menjadi anggota komunitas budaya, seseorang akan membentuk personalitasnya dan sekaligus juga dilingkupi oleh budaya dan diidentifikasi dengan kelompok orang dalam budayanya (Molan, dkk, 2009:33)

Manusia adalah mahkluk yang senantiasa berpikir, seringkali manusia bertanya akan dirinya sendiri. Dengan kata lain manusia cenderung selalu mencari identitas dirinya, terkadang mereka mencari dimanakah tempat yang seharusnya mereka berada. Salah satu faktornya adalah karena manusia diberikan akal pikiran. Keadaan tersebut yang membedakan manusia dengan makhluk lain di dunia, seperti hewan dan tumbuhan. Karena manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang berpikir, maka hanya manusia yang akan menyadari keberadaan makhluk lain dan segala sesuatu di dunia ini. Berpikir adalah proses akan lahirnya kesadaran. Kesadaran berarti sadar akan sesuatu, maksudnya adalah ada diri lain selain diri kita yang hidup bersama kita, adanya subjek dan objek lain di dunia ini. Kesadaran ini menyebabkan manusia selalu ingin bertanya. Dengan bertanya dan berpikir, mereka mulai mencari identitas dirinya. Mereka kemudian akan mampu menempatkan diri pada posisi mana dia akan berada. Dalam pencarian untuk menemukan dirinya atau identitasnya, manusia akan berusaha dengan akal pikiran yang ada pada dirinya. Segala usaha yang dilakukan manusia tentunya semata-mata untuk mendapatkan suatu ke-khas-an atau identitas tertentu. Identitas yang mencakup diri manusia itu. Mulai dari ciri-ciri fisik serta daya kemampuan yang


(43)

dimilikinya. Selain itu, identitas yang dimaksudkan juga mencakup dalam suatu ciri yang bisa diterima oleh masyarakat atau dengan kata lain suatu ciri yang menandakan adanya seseorang dalam suatu kelompok tertentu. Semua yang ada atau melekat pada diri seseorang bisa dikatakan sebagai identitasnya. Pada akhirnya pencarian terhadap identitas tersebut dikatakan sebagai teori identitas sosial.

Teori identitas sosial dipopulerkan oleh seorang tokoh yang bernama Henri Tajfel. Dikatakan ada cara-cara atau usaha yang dilakukan oleh manusia dalam mencari atau memperoleh identitas tertentu. Mulai dari melakukan tindakan atau perbuatan yang sesuai dengan kepentingan kelompok budaya individu tersebut maupun kepentingan persona. Selain itu pula manusia akan berusaha untuk memberikan identitas tertentu pada orang lain, dan bukan hanya berusaha untuk mendapatkan identitas untuk dirinya sendiri. Sudah jelas bahwa suatu identitas muncul dalam konsep pemenuhan akan suatu kebutuhan. Dengan begitu, adanya suatu identitas akan menumbuhkan suatu struktur sosial tertentu yang diinginkan oleh beberpa orang. Memang dibenarkan jika suatu identitas sosial akan dibutuhkan untuk menjadi penanda adanya perbedaan individu satu dengan individu yang lainnya.

Pada awalnya teori identitas sosial digunakan untuk menjelaskan hubungan antar kelompok, tetapi belakangan, seorang ahli bernama Ralph Tyler (1996) mengembangkan teori ini untuk menjelaskan hubungan individu dengan suatu kelompok. Teori ini menjelaskan bahwa individu menggunakan kelompok sebagai sumber informasi mengenai anggota-anggota kelompok dan untuk membangun status diri (Tyler, 1996:20). Perspektif ini menyatakan bahwa seorang anggota kelompok akan menggunakan status atau kedudukan sosial dalam kelompok untuk membangun harga dirinya. Tyler memprediksi bahwa keinginan individu untuk bekerjasama dalam suatu kelompok dipengaruhi oleh informasi mengenai identitas yang akan diterima dari kelompoknya. Kesimpulannya, salah satu motivasi individu untuk bergabung dalam suatu kelompok adalah untuk memperoleh dan menjaga identitas sosial dirinya.


(44)

Akibatnya, alasan utama individu untuk bergabung dalam suatu kelompok adalah validasi diri yang dapat diperoleh individu tersebut ketika menjadi anggota kelompok, yaitu identitas dan harga diri. Kelompok seakan mempunyai fungsi penting bagi individu dengan mendefinisikan dan memberikan self worth bagi dirinya dan anggota kelompok lainnya. Motivasi untuk memiliki dan menjaga harga diri menjadi argumen bahwa individu dalam suatu kelompok akan melakukan suatu aktivitas yang seharusnya menguntungkan kelompok. Identifikasi didefinisikan sebagai tingkat keinginan individu secara kognitif untuk menggabungkan dirinya dengan kelompok. Ketika individu diidentifikasi melalui kelompoknya, maka individu memiliki motivasi untuk bekerjasama meningkatkan kinerja kelompok tersebut. Semakin kuat identifikasi individu melalui kelompok, semakin penting fungsi kelompok bagi dirinya. Fungsi ini akan mendorong individu untuk memikirkan kelangsungan kelompok melalui perbaikan kinerja. Individu akan memikirkan kepentingan kelompok seperti mereka memikirkan kepentingannya sendiri. Hal ini berarti perilaku individu dibentuk oleh tingkat identifikasi individu dengan kelompoknya. Studi Abrams, Ando dan Hinkle (1998) memberikan bukti bahwa identitas akan membentuk perilaku dengan rendahnya keinginan berpindah ketika individu tersebut sukses mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok dimana dirinya berada.

Ketika individu memandang bahwa kelompok mempunyai fungsi penting untuk memperoleh dan menjaga identitas sosialnya, maka individu akan melakukan evaluasi terhadap kelompoknya. Evaluasi terhadap status kelompok akan mempengaruhi identifikasi. Ketika individu memiliki pertimbangan yang positif terhadap statusnya di dalam kelompok, maka tingkat identifikasi individu terhadap kelompoknya akan tinggi. Kondisi ini akan mempengaruhi sikap dan perilaku individu dalam kelompok. Respek menjelaskan pertimbangan mengenai status individu dalam kelompok. Respek yang diberikan kelompok kepada anggotanya akan membentuk identitas personal yang berkaitan dengan reputasi anggota dalam kelompok. Hal ini mendorong individu berperilaku kreatif dan memiliki pemikiran yang unik untuk membentuk reputasi di antara anggota kelompok. Individu yang merasa dihargai oleh individu lain dan kelompoknya


(45)

akan memiliki komitmen yang tinggi terhadap kelompoknya dan secara sukarela termotivasi untuk berperilaku yang memberikan manfaat bagi kelompoknya.

Teori identitas sosial menjelaskan proses dinamis yang membentuk perilaku diskresioner. Kebutuhan sosial dan psikologis akan identitas sosial ini, mendorong individu untuk membangun relasi jangka panjang karena individu ingin terus menerus menjaga identitasnya. Perilaku positif akan membuat individu memiliki perhatian terhadap perlakuan dan penilaian yang ada di dalam kelompok tersebut.


(46)

2.2.4 Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal. Komunikasi Verbal

Komunikasi verbal adalah proses penyampaian pesan atau stimulus antar komunikator ke komunikan yang menggunakan kata-kata (words), baik lisan maupun tulisan. Bentuk yang paling umum dari komunikasi verbal adalah bahasa. Bentuk lain yang berupa tulisan hanya sekedar cara untuk merekam bahasa yang diucapkan, dengan membuat tanda-tanda pada kertas maupun pada media tulis lainnya (Lubis, 2009:113)

Komunikasi Nonverbal

Secara sederhana, komunikasi nonverbal dapat didefinisikan sebagai berikut: Non berarti tidak, Verbal bermakna kata-kata (words), sehingga komunikasi nonverbal dimaknai sebagai komunikasi tanpa kata-kata. Bahasan lain mengenai komunikasi nonverbal dikemukakan oleh beberapa ahli lainnya, yaitu :

1. Frank E.X. Dance dan Carl E. Larson: Komunikasi nonverbal adalah sebuah stimuli yang tidak bergantung pada isi simbolik untuk memaknainya (a stimulus not dependent on symbolic content for meaning).

2. Edward Sapir: Komunikasi nonverbal adalah sebuah kode yang luas yang ditulis tidak dimana pun juga, diketahui oleh tidak seorang pun dan dimengerti oleh semua (an elaborate code that is written nowhere, known to none, and understood by all).

3. Malandro dan Barker yang dikutip dari Ilya Sunarwinadi, dalam kaitan dengan komunikasi antarbudaya, memberikan batasan-batasannya sebagai berikut :

- Komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata-kata

- Komunikasi nonverbal terjadi bila individu berkomunikasi tanpa menggunakan suara

- Komunikasi nonverbal adalah setiap hal yang dilakukan oleh seseorang yang diberi makna oleh orang lain


(47)

- Komunikasi nonverbal adalah studi mengenai ekspresi wajah, sentuhan, waktu, gerak isyarat, bau, perilaku mata dan lain-lain. Komunikasi nonverbal disebut merupakan cara yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau stimulus ke orang lain melalui isyarat-isyarat atau simbol-simbol (Lubis, 2009:121), seperti:

1. Penampilan fisik, dilihat dari bentuk tubuh dan cara berpakaian. 2. Kinesik yang mencakup gerakan tubuh, lengan dan kaki serta

ekspresi wajah, dan perilaku mata (keheranan, ketakutan, kemarahan, kebahagiaan, kesedihan, kebencian dan lain-lain)

3. Sensories, mencakup sentuhan, rabaan dan kontak tubuh, bisa dilihat melalui cara orang berjabat tangan.

4. Proxemics yang terkait dengan ruang dan jarak. Ada empat pembagiannya yakni:

- Intimate distance, berlangsung dengan bisikan atau suara pelan diantara pribadi yang memiliki emosional sangat akrab.

- Personal distance, komunikasi berlangsung tertutup namun percakapannya tidak bersifat pribadi.

- Social distance, terjadi dalam situasi bisnis dan sosial.

- Public distance, komunikasi yang terjadi di dalam ruang umum tertentu.

5. Chronemics (waktu), orang yang tepat atau tidak tepat waktu yang ingin menunjukkan pesan suka atau tidak atas apa yang sedang dilakukannya.

6. Vocalics atau paralanguange, mencakup di dalamnya aksen, volume suara, nada suara, intonasi, kecepatan bicara dan penggunaan jeda dalam berbicara.


(48)

Sedangkan jika membahas fungsi, komunikasi nonverbal memiliki beberapa fungsi sesuai dengan penggunaannya, yaitu:

1. Pengulangan, dimana pesan atau lambang-lambang nonverbal akan mengulang atau meneguhkan pesan verbal yang terucap. Misalnya dalam suatu lelang, kita mengacungkan jari untuk menunjukkan jumlah tawaran.

2. Kontradiksi, dimana pesan nonverbal menegaskan pesan verbal seperti dalam sarkasme atau sindiran-sindiran tajam.

3. Pengganti, dimana pesan nonverbal dapat mengganti pesan verbal, sehingga pesan verbal tidak perlu diucapkan. Misalnya, ketika sebuah kemenangan diraih, pemenang cukup mengacungkan dua jari bentuk “V” untuk menyampaikan victory yang bermakna kemenangan.

4. Pengaturan, dimana pesan nonverbal berfungsi mengendalikan sebuah interaksi dalam suatu cara yang sesuai dan halus, misal anggukan kepala selama percakapan berlangsung.

5. Pelengkap, pesan nonverbal digunakan untuk melengkapi, misal tersenyum untuk menunjukkan rasa bahagia.


(49)

2.3 Model Teoritik

Gambar 2.2 Model Teoritik

TJONG A FIE

GAYA

KOMUNIKASI

KOMUNIKASI

KONTEKS-TINGGI dan

KOMUNIKASI

KONTEKS-RENDAH

GAYA BICARA

LINIER dan

GAYA BICARA

NONLINIER

PARALINGUISTIK

KOMUNIKASI

ANTAR

BUDAYA

PERSEPSI

PROSES

VERBAL

PROSES

NONVERBAL

IDENTITAS

SOSIAL

KOMUNIKASI

VERBAL dan

NONVERBAL


(50)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik analisis biografi. Teknik analisis biografi adalah metode menganalisis sejarah hidup seseorang. Objek kajiannya adalah orang tersebut dan seluruh pengalaman hidupnya, mulai dari kelahirannya, menjadi dewasa, sampai dengan masa tuanya, bahkan sampai orang tersebut meninggal dunia (Bungin, 2007:233). Dijelaskan pula, selain biografi, terdapat pula otobiografi, yang sama-sama menghasilkan deskripsi sejarah diri seseorang, namun berbeda dalam hal siapa yang menulis penelitian tersebut. Biografi dikerjakan oleh orang lain tentang seseorang, sedangkan otobiografi ditulis sendiri oleh orang tersebut mengenai dirinya sendiri.

Teknik biografi ini disusun berdasarkan cerita pengalaman seseorang mengenai orang lain, atau berdasarkan dokumen-dokumen tertulis dan arsip-arsip lain yang tersimpan. Sering juga peneliti mengumpulkan informasi dari sumber lain atau melalui wawancara atau foto-foto dokumenter. Pada umumnya, data yang diperoleh bersumber dari cerita orang yang diperoleh melalui pembicaraan formal maupun informal.

Metode ini biasanya mengalami kendala dalam hal validasi data dan realibitas, karena coraknya yang sangat subjektif. Hal lain yang menjadi perhatian dalam metode ini adalah jumlah cerita yang harus dikumpulkan. Beberapa peneliti menganjurkan untuk lebih menekankan kepada satu cerita saja sebagai dasar penelitian. Peranan peneliti sangat penting terutama dalam menafsirkan cerita dari responden atau partisipan wawancara. Karena itu, masalah etika penulisan, kepercayaan dan kredibilitas peneliti menjadi hal yang sangat sentral. Peneliti harus menjadikan informasi peserta penelitian atau responden dalam menuai informasi sebagai data satu-satunya untuk dianalisis dan bukan dari pikirannya sendiri. Hal yang harus pasti disini adalah peneliti dianjurkan terlibat langsung dengan subjek yang diteliti. Peneliti harus masuk dalam konteks dan situasi hidup mereka. Dengan kata lain, peneliti sungguh menguasai keadaan tempat penelitian.


(51)

Sebagaimana analisis deskriptif lainnya, maka biografi mengandalkan kemampuan peneliti atau penulis biografi untuk mengungkapkan fakta-fakta sejarah pribadi objek analisis dengan sejelas-jelasnya tanpa berniat menyembunyikan sesuatu hal yang pernah terjadi. Hasil dari metode ini adalah pengertian dan pemahaman baru tentang hidup yang tercermin pada pengalaman hidup orang lain. Untuk menarik minat pembaca, maka cara penyajiannya harus menarik. Salah satu cara yaitu dengan menggambarkan konteksnya secara baik, sehingga pembaca seolah-olah diajak masuk ke dalam situasi orang yang bercerita tentang pengalamannya. Metode itu menekankan pemahaman secara menyeluruh atas subjek dan latar belakang yang mengitarinya.

Minat terhadap metode ini makin meningkat, karena orang dapat belajar banyak dari pengalaman, keberhasilan bahkan kegagalan orang lain. Dalam biografinya, orang sering mengungkapkan rahasia hidup seseorang yang membuat dia berbeda dari orang lain. Dari pengalaman-pengalaman orang tersebut, pembaca dapat bercermin dan mendapatkan nilai-nilai dan pelajaran moral yang baik.

Langkah Teknik Biografi

Riset yang akan dilakukan oleh peneliti untuk mengakomodasi manfaat yang besar dari jenis penelitian biografi ini harus melalui proses penyelidikan yang teliti dan panjang, guna untuk memperoleh data atau informasi yang dibutuhkan. Peneliti harusmengetahui dan memilah apa saja yang hendak ditulis dalam penelitian biografinya, kemudian peneliti harus mampu memahami, menganalisa, dan mendefinisikan cerita yang diperoleh dari lapangan atau responden.


(52)

Berikut langkah-langkah yang dilalui untuk melakukan penelitian kualitatif-biografi (Bogdan & Biklen dalam Moleong, 2006:248) :

1. Bekerja dengan data. 2. Mengorganisasikan data.

3. Memilah-milah menjadi satuan yang dapat dikelola. 4. Mencari dan menemukan pola.

5. Menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari. 6. Memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Menurut Bungin (2007:234), ada tujuh kategori domain-domain sejarah penting yang harus dijadikan objek analisis dalam penelitian teknik biografi, seperti :

1. Identitas diri, keturunan dan keluarga.

2. Perkembangan hidup semasa kecil dan orang-orang yang memengaruhinya.

3. Sejarah pendidikan dan masa pertumbuhannya menjadi dewasa. 4. Sejarah pekerjaan dan reputasi.

5. Ideologi agama dan masyarakat yang memengaruhinya. 6. Ajaran-ajaran moral yang diperjuangkan.

7. Harapan-harapannya untuk masyarakat yang akan datang.

3.2 Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah semua hal yang melekat dan terdapat dalam cerita pengalaman sosok Tjong A Fie, dengan berfokus pada gaya komunikasi beliau.


(53)

3.3 Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah sebagai alat bagi peneliti untuk mencari dan mengumpulkan data-data mengenai objek penelitian. Subjek penelitian dalam hal ini adalah sebagai berikut :

1. Narasumber yang mengenal dekat sosok Tjong A Fie dan yang layak dijadikan responden sebagai tempat peneliti bertanya. Narasumber dibagi menjadi dua, yakni narasumber utama dan narasumber pendukung. Salah satu kriteria yang harus diperhatikan dalam memilih narasumber yaitu narasumber tersebut harus mengetahui seluk beluk kehidupan objek penelitian (Tjong A Fie), memiliki pengalaman sebagai narasumber dalam penelitian-penelitian sebelumnya, memiliki waktu luang dan kemauan sebagai narasumber.

3.4 Kerangka Analisis

Dalam penelitian ini, kerangka analisis yang digunakan adalah model Miles dan Huberman (1984), dimana dikatakan bahwa ada tiga langkah dalam menentukan data, seperti dikutip dalam Cresswell (1998) mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga mencapai data jenuh. Aktifitas dalam analisis data menurut Miles and Huberman, yakni data reduction, data display, dan conclusion drawing / verification.

Gambar 3.1. Model Miles dan Huberman.

Data Verification Data Display Data Reduction


(54)

Data reduction (Reduksi data)

Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu perlu dicatat secara teliti dan rinci. Seperti yang telah dikemukakan, semakin lama peneliti ke lapangan, maka jumlah data akan semakin banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

Reduksi data merupakan proses berfikir sensitif yang memerlukan kecerdasan dan keluasan dan kedalaman wawasan yang dapat mendiskusikan pada teman atau pada orang yang dipandang ahli. Melalui diskusi itu, maka wawancara peneliti akan berkembang, sehingga dapat mereduksi data-data yang memiliki nilai temuan dan pengembangan teori yang signifikan.

Data display (Penyajian data)

Setelah data direduksi maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Kalau dalam penelitian kuantitatif penyajian data ini akan dapat dilakukan dalam bentuk tabel, grafik, pictogram dan sejenisnya. Melalui penyajian tersebut, maka data akan terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga akan semakin mudah dipahami. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Dalam hal ini Miles and Huberman (1984) menyatakan “the most frequent form of display data for qualitative research data in the past has been narrative text”. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.

Verification (Verifikasi data)

Data yang telah direduksi dan kemudian disajikan kemudian harus diverifikasi terlebih dahulu sebelum peneliti memasuki wilayah analisis data


(55)

berikutnya. Verifikasi data dibutuhkan agar kredibilitas dan realibitas data terjamin keabsahannya. Verifikasi bisa melalui cross-check data yang ada atau dengan membicarakannya dengan orang yang lebih ahli di bidang penelitian yang sedang dijalani.

3.5

Teknik Pengumpulan Data

3.5.1 Data Primer

Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau sasaran yang ingin diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewaawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan.

Pewawancara adalah orang yang menggunakan metode wawancara sekaligus dia bertindak sebagai pemimpin dalam proses wawancara tersebut. Dia pula yang berhak menentukan materi yang akan ditanya-jawab tersebut, serta menentukan kapan proses wawancara dimulai dan diakhiri. Namun, kadang kala informan pun dapat menentukan perannya dalam hal kesepakatan mengenai kapan waktu wawancara mulai dilaksanakan dan diakhiri, serta dimana tempat dilakukan wawancara tersebut. Informan adalah orang yang diwawancarai, diminta informasi oleh pewawancara. Informan adalah orang yang diperkirakan menguasai dan memahami data, informasi, ataupun fakta dari objek penelitian (Bungin, 2010:108)

Materi wawancara yang dimaksud disini adalah yang berkaitan dengan sosok Tjong A Fie. Semua pertanyaan akan dirunut satu per satu guna mencari tahu informasi sebanyak-banyaknya mengenai sosok Tjong A Fie. Pewawancara


(1)

Gambar 7. Ucapan selamat dari para buruh China atas terpilihnya Tjong A Fie sebagai Mayor.

Gambar 8. Peresmian

pembangunan Titi Berlian oleh Mayor Tjong A Fie.

Gambar 9. Suasana perkebunan Tjong A Fie.


(2)

Gambar 10. Aktivitas perkebunan Tjong A Fie (1).

Gambar 11. Aktivitas perkebunan Tjong A Fie (2).

Gambar 12. Aktivitas perkebunan Tjong A Fie (3).


(3)

Gambar 13. Foto saat Tjong A Fie merayakan ulang tahunnya yang ke-60, setahun sebelum beliau

meninggal dunia.

Gambar 14. Foto ucapan terimakasih Dr. Sun Yat Sen kepada sosok mendiang Tjong A Fie.

Gambar 15. Tulisan kaligrafi Dr. Sun Yat Sen sebagai ucapan terimakasih kepada Tjong A Fie.


(4)

Gambar 16. Foto para kerabat Tjong A Fie

mengungkapk an

belasungkawa mendalam atas berita duka tanggal 4 Februari 1921.

Gambar 17. Queeny Chang dengan adik-adiknya.

Gambar 18. Gerbang utama Tjong A Fie Mansion.


(5)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Jl. Dr. A. Sofyan No. 1 Telp. (061) 8217168

No. TGL.

PERTEMUAN PEMBAHASAN

PARAF PEMBIMBING

1. 5 Desember 2012 Diskusi Judul dan Proposal Seminar

2. 9 Februari 2013 Penyerahan Proposal 3. 12 Februari 2013 ACC. Proposal 4. 18 Februari 2013 Seminar Proposal 5. 13 Maret 2013 Diskusi Bab I, II dan

teori-teori penunjang 6. 16 Maret 2013 Penyerahan Bab I, II 7. 5 April 2013 Diskusi Bab III dan daftar

pertanyaan wawancara 8. 12 April 2013 Penyerahan Bab III 9. 19 April 2013 Diskusi teknis pengumpulan

data

10. 2 Mei 2013 Diskusi data-data penelitian 11. 6 Mei 2013 Diskusi hasil penelitian 12. 8 Mei 2013 Diskusi Bab IV-V 13. 15 Mei 2013 Penyerahan Bab IV-V 14. 20 Mei 2013 Penyerahan keseluruhan

skripsi yang telah direvisi


(6)

Biodata Penulis

Data Pribadi

Nama Lengkap : Johnvic Chandra

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat, Tanggal Lahir : Tebing Tinggi, 30 Juni 1991

Agama : Buddha

Alamat : Jln. Tuanku Imam Bonjol, no: 5b, Tebing Tinggi, Sumatera Utara.

Telepon : 0819-1994-4599

Email : johnvicchandra@ymail.com

Facebook : Johnvic Chandra

Twitter : @Johnvic14

Silsilah Keluarga

Ayah : Herman

Ibu : Lilis Suryani

Kakak : 1. Hera Jenny

2. Hera Elvi, S.E. 3. Hera Fanny, S.E.

Abang : Rudy Chandra

Riwayat Pendidikan

SD Swasta F.Tandean, Tebing Tinggi, Sumatera Utara. SLTP Swasta F.Tandean, Tebing Tinggi, Sumatera Utara. SLTA Swasta F.Tandean, Tebing Tinggi, Sumatera Utara.

Mahasiswa Jurusan Public Relations, Departemen Ilmu Komunikasi, FISIP, USU.

Pengalaman Organisasi

2010 – 2011 : Divisi Minat dan Bakat Ikatan Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi (IMAJINASI) FISIP USU.