Signifikansi Netralitas TNI/Polri.

Pikiran Rakyat
o Selasa

2
18
OJan

Q)
19

OPeb

4

6

5
20

21


.

o Kamis o Jumat o Sabtu

F'ab.;

7
22

8
23

9

10
24

11
25


12
26

27

o Mar OApr o Mei .. Jun OJul OAgs

0

13

OSep

14
28

OOkt

15


16

29
30
31 J:
ONov o Des ,I

Signifikansi Netralitas - -~TNIIPolri
=

Oleh MURADI

M

ASALAH netralitas
TNI/Polri dalam Pemilu Presiden (Pil~
pres) 2009 kembali diperdebatkan karena tiga pasangan
yang maju menggandeng purnawirawan jenderal TNI, baik
sebagai capres maupun cawapres. Selain itu, ketiga tim sukses pasangan cap res tersebut
juga diisi para mantan jenderal

TNI maupun Polri. Hal tersebut makin menguatkan kekhawatiran publik terkait dengan
netralitas kedua institusi negara. Pengalaman selama lebih
dari tiga puluh tahun, di mana
TNI dan Potri menjadi mesin
pemenangan politik pemerintahan Orde Baru dengan Golkarnya menjadi catatan kelam
bagi perpolitikan nasional.
Pasangan SBY-Boediono paling banyak diisi mantan petinggi TNI dan Polri, sebut saja
Djoko Suyanto, mantan Panglima TNI, Sutanto, mantan Kapolri, sementara dua pasangan
lainnya relatif diisi mantanjenderal yang seangkatan atau karena kedekatan semasa aktif.
Akan tetapi, seberapa signifikannya netralitas TNI/Polri bagi pemenangan ketiga kandidat
tersebut? Sejatinya bila mengacu kepada hasil pemilu legislatif beberapa waktu lalu, ada
perubahan basis dukungan di
kantong-kantong dan kompleks
perumahan TNI/Polri. Sekadar
._,.~.~~

.,

ilustrasi, pada Pemilu 2004,
kompleks Perumahan Brimob

Kelapa Dua, Depok dimenangkan PDI P dan Golkar. Namun,
pada Pemilu 2009, kemenangan secara mutlak diraih PD.
Hal yang hampir sarna terjadi di kompleks-kompleks perumahan TNI dan Polri. Bisa saja hal tersebut dianggap se,bagai "fenomena SBY".Akan tetapi, hal tersebut secara sistematis terjadi di hampir semua
kompleks perumahan anggota
TNI/Polri di seluruh Indonesia,
termasuk J awa Barat. Artinya,.
perubahan perolehan suara sa.ngat mungkin terjadi dan akan
menguntungkan
salah satu
kandidat. Tak heran, apabila
kekhawatiran publik akan adanya "perang bintang" antartim
sukses yang diusung para
man"-':.:!IIo.

tan jenderal dan berupaya memenangkan
masing-masing
kandidat yang didukungnya dengan merebut basis-basis suara
. dari keluarga TNI dan Polri bisajadi ada benarnya. Kekhawatiran tersebut terletak pada cara dan pola intelijen dan pengorganisasian khas militer untuk
menarik dukungan kepada masing-masing kandidat. Sehingga cenderung akan memarginalkan esensi sipil dalam hajat
politik lima tahunan tersebut.

Apabila dikalkulasi secara
matematis sesungguhnya jumlah keseluruhan anggota TNI
dan Polri kurang dari satu juta,
katakanlah
masing-masing
anggota memiliki istri dan dua
anak yang memiliki hak memilih dalam pilpres, jumlah suara
yang akan diraup oleh para
kandidat tersebut kurang lebih
tiga juta suara dukungan. Artinya, bila dibandingkan dengan
daftar pemilih yang ada tidak
terlalu signifikan pengaruhnya;
apalagi bila tiga juta suara tersebut tersebar dari NAD hingga Papua.
Namun, harus disadari bahwa budaya politik yang berkembang di masyarakat cenderung meliha.t anggota TNI/Polri dan keluarganya dalam status "digugu dan ditiru" yang
akhirnya akan memasifkan du.kungan bagi para kandidat tersebut. Tak heran apabila kemudian perolehan suara PD
melonjak~-~
300% pada pileg dan

~- -----_..


Klipi"9
----

Humos

Un pod

2009
---

--

-

tersebar dari perkotaan hingga
perdesaan, dari Sabang hingga
Merauke. Selain figuritas SBY,
juga diindikasikan
adanya
langkah-Iangkah sistematis dari internal TNI/Polri untuk

mendongkrak perolehan suara
partai tersebut agar mampu
menjadi kendaraan politik SBY
pada pileg.
Mengacu pada hasil Pemilu
1999 dan 2004, sesungguhnya
masalah netralitas TNI/Polri
pada 'Pemilu 2009 ini tak lebih
sekadar fenomena politik. Pada Pemilu 1999, meski ketika
itu TNI dan Polri sedang
mengalami masa-masa yang
sulit karena tuntutan masyarakat terkait dengan Dwifungsi
ABRI serta pelanggaran HAM,
kedua institusi tersebut masih
berupaya mendukung Golkar.
Meski kalah dari PDI P, kecenderungan mendukung rezim
yang sedang memerintah merupakan karakteristik militer
dan polisi di banyak negara.
Sementara itu pada Pemilu
2004, langkah-langkah memenangkan PDIP dan salah seorang capres juga menguat. Salah satu kasus yang terbuka ke

publik adalah pengarahan dari
Kapolwil Purwokerto waktu itu
kepada anggota Bhayangkari
dan Dharma Wanita di lingkungan Polwil Purwokerto
agar memenangkan salah satu
partai dan capres.
Berkaca pada dua kasus tadi,
sesungguhnya
kekhawatiran

-- -

publik terkait
netralitas
TNI/Polri pada pilpres Juli
nanti lebih banyak dibangun
oleh asumsi yang berlebihan
terkait keterlibatan para mantanjenderal tersebut di gelanggang politik. Selainitu, lemahnya konsolidasi sipil juga menguatkhn situasi kekhawatiran
tersebut.
Fenomena tersebut sesungguhnya bisa dipupus bahkan

dihilangkan sarna sekaliapabila elite sipil marilpu menjawab
harapan-harapan publik terkait dengan program yang
efektifdan langsung dirasakan
oleh masyarakat. Artinya, signifikansi netralitas TNI/Polri
tidak berarti apabila partai politik sebagaimesin politikmenjalankan fungsinya dengan tawaran konkret terkait dengan
program. Hal tersebut akan diuji pada pilpres nanti, apakah
fenomena netralitas TNI/Polri
akan kembali terulang atau
mesin politik partai yang berfungsi. Salah satu indikasinya
adalah. perolehan suara di
kompleks TNI/Polri dan kantong-kantong sekitarnya tidak
didominasi oleh salah satu
kandidat.

***

Penulis, kandidat doktor
Ilmu Politik dari School of Political and International Studies, Flinders University, Australia. Staf pengajar Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas
Padjadjaran.
--