Perilaku Pegawai Negeri Sipil Dan Netralitas Birokrat Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan 2010 (Studi PNS Kecamatan Medan Sunggal)

(1)

Perilaku Pegawai Negeri Sipil Dan Netralitas Birokrat Dalam

Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan 2010 (Studi PNS

Kecamatan Medan Sunggal)

DISUSUN OLEH :

M. Taufik Iqbal

050906082

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

ABSTRAKSI

Birokrasi di Indonesia hingga saat ini masih belum efektif. Para birokrat di mata publik memiliki citra buruk dan cenderung korup. Mereka tidak dapat mengikuti situasi ekonomi, sosial dan politik yang sedang berkembang yang menuntut adanya sikap dinamis dan terbuka. Waktu dan biaya yang tidak terukur adalah cermin ketidakprofesional kerja penopang birokrasi. Mereka masih melestarikan budaya birokrasi kolonial. Inilah budaya birokrasi kita saat ini yang jauh dari kesan melayani masyarakat. Perubahan kepemimpinan yang terjadi di tingkat nasional maupun daerah ternyata tidak mampu mendorong reformasi yang terarah dalam memperbaiki citra pejabat birokrat dan sistem birokrasi kita.

Keterlibatan birokrasi dalam politik sebenarnya bukan hal baru mengingat pengalman yang ada selama ini bahwa netralitas birokrasi sebenarnya tidak pernah ada dan cenderung dipertanyakan apalagi jika melihat sejarah kelam birokrasi pada masa orde baru. Dimasa orde baru birokrasi bersama dengan Militer dan Golkar menjadi sandungan yang kokoh bagi rezim soeharto melanggengkan kekuasaannya.Di era reformasi saat ini pun relasi atau hubungan antara birokrasi dan politik sebenarnya masih dipertanyakan. Sebagai sebuah konsep netralitas birokrasi dibutuhkan khusunya menjadikan birokrasi yang demokratis dan memiliki public services yang baik terhadap masyarakat. Beberapa aturan yang mengatur tegas tentang hubungan birokrasi dengan politik sebenarnya sudah dikeluarkan seperti UU No 32 tahun 2004 atau Pemerintah Daerah serta Surat Edaran MENPAN RI No. SE/08/M.PAN/3/2005.

Skripsi ini meneliti tentang netralitas birokrasi khususnya para pegawai negeri sipil (PNS) yang berada di Kecamatan Medan Sunggal khususnya pada saat pemilukada kota Medan tahun 2010. Hal ini menjadi menarik untuk diteliti mengingat salah satu calon walikota yang berlaga saat itu calon incumbent. Maka secara otomatis sangat berpengaruh terhadap keterlibatan mereka dalam ajang demokrasi tersebut.dari hasil penelitian didapat bahwa PNS di lingkungan memahami tidak hanya aturan tentang larangan terlibat dalam politik tetapi juga dapat menahan diri untuk tidak terlibat dalam ajang demokrasi seperti pemilukada Medan tahun 2010


(3)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah... 1

1.2.Perumusan Masalah………..………... 10

1.3.Manfaat danTujuan Penelitian……….…... 10

1.4.Manfaat Penelitian………..……….…..….... 10

1.5.Tinjauan Pustaka…………...………...…..… 11

1.5.1.Konsep Birokrasi………..….… 11

1.5.2.Sejarah Birokrasi………... 12

1.5.3. Teori Birokrasi Max Weber………... 13

1.5.4. Teori Max Weber dan Teori Besi Oligarki………...….……... 15

1.5.5Dampak Kekuasaan Birokrasi Terhadap Kondisi Demokrasi……….……. 16

1.5.6 Birokrasi dan Demokrasi Melalui Beberapa Pendekatan………….….…... 18

1.5.7. Reformasi Birokrasi Pasca Jatuhnya Orde Baru………... 20

1.5.8 Netralitas Birokrasi………... 21

1.6. Metode Penelitan... 24

1.7. Sistematika Penulisan... 26

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 2.1. Luas Wilayah Dirinci per Kelurahan di Kecamatan Medan Sunggal….……... 27

2.2. Pemerintahan Kecamatan Medan Sunggal………..….. 28

2.3. Struktur Pegawai Negeri Kecamatan Medan Sunggal………... 28


(4)

2.5. Struktur Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Medan Sunggal……...….. ….. 30

2.6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama Kecamatan Medan Sunggal………... 31

2.7. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan Terakhir………..…... 32

2.8. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan………..….. 32

2.9. Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku Daerah……… 33

BAB III ANALISA DATA 3.1. Penyajian Data………..…. 35

3.2. Analisa Data……….… 48

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1.Kesimpulan………... 59

4.2. Saran……….….... 62


(5)

ABSTRAKSI

Birokrasi di Indonesia hingga saat ini masih belum efektif. Para birokrat di mata publik memiliki citra buruk dan cenderung korup. Mereka tidak dapat mengikuti situasi ekonomi, sosial dan politik yang sedang berkembang yang menuntut adanya sikap dinamis dan terbuka. Waktu dan biaya yang tidak terukur adalah cermin ketidakprofesional kerja penopang birokrasi. Mereka masih melestarikan budaya birokrasi kolonial. Inilah budaya birokrasi kita saat ini yang jauh dari kesan melayani masyarakat. Perubahan kepemimpinan yang terjadi di tingkat nasional maupun daerah ternyata tidak mampu mendorong reformasi yang terarah dalam memperbaiki citra pejabat birokrat dan sistem birokrasi kita.

Keterlibatan birokrasi dalam politik sebenarnya bukan hal baru mengingat pengalman yang ada selama ini bahwa netralitas birokrasi sebenarnya tidak pernah ada dan cenderung dipertanyakan apalagi jika melihat sejarah kelam birokrasi pada masa orde baru. Dimasa orde baru birokrasi bersama dengan Militer dan Golkar menjadi sandungan yang kokoh bagi rezim soeharto melanggengkan kekuasaannya.Di era reformasi saat ini pun relasi atau hubungan antara birokrasi dan politik sebenarnya masih dipertanyakan. Sebagai sebuah konsep netralitas birokrasi dibutuhkan khusunya menjadikan birokrasi yang demokratis dan memiliki public services yang baik terhadap masyarakat. Beberapa aturan yang mengatur tegas tentang hubungan birokrasi dengan politik sebenarnya sudah dikeluarkan seperti UU No 32 tahun 2004 atau Pemerintah Daerah serta Surat Edaran MENPAN RI No. SE/08/M.PAN/3/2005.

Skripsi ini meneliti tentang netralitas birokrasi khususnya para pegawai negeri sipil (PNS) yang berada di Kecamatan Medan Sunggal khususnya pada saat pemilukada kota Medan tahun 2010. Hal ini menjadi menarik untuk diteliti mengingat salah satu calon walikota yang berlaga saat itu calon incumbent. Maka secara otomatis sangat berpengaruh terhadap keterlibatan mereka dalam ajang demokrasi tersebut.dari hasil penelitian didapat bahwa PNS di lingkungan memahami tidak hanya aturan tentang larangan terlibat dalam politik tetapi juga dapat menahan diri untuk tidak terlibat dalam ajang demokrasi seperti pemilukada Medan tahun 2010


(6)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Kecenderungan birokrasi dan birokratisasi pada masyarakat modern benar-benar dipandang memprihatinkan, sehingga digambarkan adanya ramalan mengenai makin menggejalanya dan berkembangnya praktek-praktek birokrasi yang paling rasionalpun, tidak bisa lagi dianggap sebagai kabar menggembirakan, melainkan justru merupakan pertanda malapetaka dan bencana baru yang menakutkan. 1

1

Mochtar Buchori, 1982, Pola Tingkah Laku Birokrasi sebagai Akibat Pengaruh Kebudayaan, dalam Prisma, 6 Juni 1982: 70-85.

Meskipun sudah menjadi gejala yang sangat umum, ternyata pada setiap konteks sistem budaya masyarakat, secara empirik birokrasi dan birokratisasi terlihat dalam pola perilaku yang beragam. Gejala demikian menunjukkan bahwa birokrasi dan birokratisasi tidak pernah tampil dalam bentuk idealnya. Beberapa alasan, mengapa bentuk ideal birokrasi tidak nampak dalam praktek kerjanya antara lain: Pertama, manusia birokrasi tidak selalu berada (exist) hanya untuk organisasi. Kedua, birokrasi sendiri tidak kebal terhadap perubahan sosial. Ketiga, birokrasi dirancang untuk semua orang. Keempat, dalam kehidupan keseharian manusia birokrasi berbeda-beda dalam kecerdasan, kekuatan, pengabdian dan sebagainya, sehingga mereka tidak dapat saling dipertukarkan untuk peran dan fungsinya dalam kinerja organisasi birokrasi.

Ada kecenderungan bahwa beberapa indikator birokrasi lebih berjaya hidup di dunia barat daripada di dunia timur. Hal ini dapat dipahami, karena di dunia barat birokrasi telah berkembang selama beberapa abad. Suatu misal pada abad pertengahan dan seterusnya, perkembangan birokrasi semakin dipacu dan di dukung oleh masyarakat industri.


(7)

Oleh karena rasionalitas birokrasi cenderung berhubungan dengan gejala industrialisasi, maka banyak negara yang bercita-cita menjadi masyarakatnya menjadi masyarakat industri dan mengadopsi model birokrasi rasional di dalamnya. Namun demikian, bagi masyarakat yang sedang berkembang tidak semua kemanfaatan birokrasi rasional dapat dipetik dan dirasakan. Apalagi birokrasi menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat, maka kecaman dan pesimisme semakin muncul karena banyak anggota masyarakat merasakan bahwa berbagai pola tingkah laku yang telah merupakan kebiasaan dalam birokrasi tidak dapat mengikuti dan memenuhi tuntutan pembangunan dan perkembangan masyarakatnya. Sebagai contoh, Islamy2

Birokrasi di Indonesia hingga saat ini masih belum efektif. Para birokrat di mata publik memiliki citra buruk dan cenderung korup. Mereka tidak dapat mengikuti situasi ekonomi, sosial dan politik yang sedang berkembang yang menuntut adanya sikap dinamis dan terbuka. Waktu dan biaya yang tidak terukur adalah cermin ketidakprofesional kerja penopang birokrasi. Mereka masih melestarikan budaya birokrasi kolonial. Inilah budaya birokrasi kita saat ini yang jauh dari kesan melayani masyarakat. Perubahan kepemimpinan yang terjadi di tingkat nasional maupun daerah ternyata tidak mampu mendorong reformasi menyebutkan adanya keadaan birokrasi publik di sektor pemerintahan, pendidikan dan kesehatan dan sebagainya berada dalam suatu kondisi yang dikenal dengan istilah organizational slack yang ditandai dengan menurunnya kualitas pelayanan yang diberikannya. Masyarakat pengguna pelayanan banyak mengeluhkan akan lambannya penanganan pemerintah atas masalah yang dihadapi dan bahkan mereka telah memberikan semacam public alarm agar pemerintah sebagai instansi yang paling berwenang, responsif terhadap semakin menurunnya kualitas pelayanan kepada masyarakat segera mengambil inisiatif yang cepat dan tepat untuk menanggulanginya.

2 Muh.Irfan Islamy, 1998, Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi Negara, Malang, Fakultas Ilmu Administrasi-Universitas Brawijaya.


(8)

yang terarah dalam memperbaiki citra pejabat birokrat dan sistem birokrasi kita.3

Perlawanan menjadi semakin tidak terkendali apabila diduga bahwa pejabat politik yang baru ternyata lebih suka memasukkan kader-kader politik ke birokrasi dan tidak berusaha mencari pejabat-pejabat birokrat terbaik di lingkungan kerja yang ada. Karenanya, reformasi birokrasi kemudian tidak lebih dari sekedar menyingkirkan kroni-kroni lawan-lawan politik untuk mengokohkan peran partai politik baru dalam birokrasi. Akibatnya birokrasi kita tidak akan pernah dapat bekerja secara optimal dan profesional karena selalu bergantung dengan kepentingan-kepentingan politik jangka pendek.4

Para pejabat politik baru pun harus berkonflik atau berkolusi dengan aparat birokrasi di bawahnya karena dominasi mereka yang begitu kuat. Dalam sejarahnya memang birokrasi kita sejak lama dijadikan sebagai alat mobilisasi politik bagi partai penguasa untuk melanggengkan kekuasaan.5

Reformasi birokrasi pada akhirnya menjadi program yang paling sulit dilakukan. Karenanya di era Reformasi ini, perubahan pejabat politik di level nasional maupun daerah yang dimotori oleh partai politik baru dengan minimnya jaringan birokrasi pasti selalu saja mengalami resistensi tinggi. Kemenangan PKS di kota Depok yang berhasil menempatkan kadernya, Nurmahmudi Ismail sebagai walikota menjadi studi kasus yang sangat menarik tentang konflik dan kolusi antara pejabat politik dan pejabat birokrat. Pergantian kepala-kepala dinas yang dilakukan oleh Nurmahmudi, misalnya, tidak lagi dipandang sebagai usaha melakukan reformasi birokrasi tetapi dianggap sebagai move untuk menggeser para pejabat birokrasi dan menggantinya dengan kader-kader partai. Apalagi mereka yang ada di jajaran birokrasi sendiri sudah terbiasa memainkan peluang-peluang politik itu. Hari-hari sang walikota pun tidak lepas dari aksi-aksi demontrasi.

3Muhammad AS Hikam. (1991), Negara Otoriter Birokratik dan Redemokratisasi: Sebuah Tinjauan Kritis dan

Beberapa Studi Kasus, dalam Jurnal IImu Politik No 8, Jakarta: AIPI-LIPI, hlm.68.

4

David Osborn, Gaebler Ted (1995), Mewirausahakan Birokrasi, Jakarta: PT Teruna Grafica Press 5

Contoh yang sangat kentara ketika RI masih berada dalam rezim Orde Baru. Dimana Soeharto saat itu menjadikan Birokrasi sebagai salah satu dari 3 kekuatan utamanya selain TNI dan Golkar dalam melanggengkan kekuasaan selama 32 tahun lamanya


(9)

Karenanya, perlu dilakukan inovasi baru dalam penciptaan budaya (cultural innovation and

invention) dalam birokrasi. Mengingat perubahan dari dalam yang tidak bisa diharapkan

maka harus diciptakan juga pendekatan struktural yang mampu merubah budaya birokrasi kita. Namun demikian, perubahan-perubahan budaya organisasi pemerintahan secara eksternal ini diharapkan tidak hanya berorientasi pada program rasionalisasi birokrasi yang sering mendapat perlawanan tetapi juga harus diarahkan pada penciptaan budaya baru birokrasi yang lebih terbuka.

Jumlah pegawai pemerintah yang menopang aktifitas-aktifitas birokrasi di Indonesia ternyata telah mencapai 4 juta. Namun jumlah yang besar itu belumlah secara optimal dapat memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Melihat kondisi kinerja para birokrat yang belum efektif dan efisien serta masih jauh dari kesan memuaskan ini maka salah satu langkah yang sering dilakukan oleh pejabat politik yang menduduki kepemimpinan di level nasional maupun di daerah-daerah adalah dengan melakukan langkah rasionalisasi.6

Melihat sejarah birokrasi Indonesia, netralitas birokrasi yang tidak terpengaruh kekuatan politik belum pernah terwujud. Padahal untuk melahirkan tatanan kepemerintahan yang demokratis diperlukan birokrasi pemerintah yang netral dari kepentingan partai atau kekuatan politik. Syafuan Roezi bohan menyebutnya sebagai “bureumania” yaitu

Langkah ini dilakukan dengan memfokuskan pada perombakan besar-besaran terhadap formasi birokrat. Mutasi juga dilakukan terhadap para aparat yang yang dianggap memiliki kinerja dan track record buruk. Langkah semacam ini tentu saja menjadi semacam shock terapy yang dapat memicu ketegangan hubungan antara pemimpin departemen atau pemerintah daerah yang dipegang oleh pejabat poliik dengan aparat birokrat di bawahnya beserta kepentingan-kepentingan politik lainnya.


(10)

kecendrungan akan inefisiensi, penyalahgunaan wewenang, kolusi, korupsi dan nepotisme.7

Pegawai yang profesional dan terbuka terhadap perubahan ekonomi, sosial dan politik menjadi sebuah tuntutan. Bagaimana para birokrat memahami jabatan yang dipegang dan Jika birokrasi pemerintah dibuat netral, maka rakyat secara keseluruhan akan bisa dilayani oleh birokrasi pemerintah, karena birokrasi tidak mengutamakan dan memihak kepada salah satu kepentingan kelompok rakyat tertentu. Pemihakan kepada kepentingan seluruh rakyat ini sama dengan melaksanakan demokrasi. Sedangkan keberpihakan birokrasi terhadap salah satu kekuatan partai politik yang sedang memerintah cenderung akan memberikan peluang terhadap suburnya penyelewengan-penyelewengan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.

Di tengah era reformasi dewasa ini yang membuka peluang bagi berkembangnya pluralisasi dan polarisasi kepartaian, termasuk keterbukaan pola rekrutmen politik, mirip pengalaman era Demokrasi Parlementer tahun 1950-an di masa lalu, kiranya kita telah menyaksikan bersama suatu kontestasi seru persaingan partai dan politisi yang berlomba untuk dapat merebut kursi atau minimal berusaha mempengaruhi kinerja birokrasi pemerintahan. Khususnya di level daerah/lokal dari provinsi hingga kota/kabupaten, realitas ini bahkan seolah kian terlegitimasikan penguatannya lewat UU Pemerintahan Daerah, baik UU No. 22/1999 yang telah ditinggalkan maupun UU No. 32/2004 yang baru, beserta peraturan pelaksanaannya yang bersemangatkan otonomi daerah.

Di sisi lain, masyarakat selama ini masih berpandangan bahwa birokrasi (administrasi negara) sama dengan pemerintah. Padahal keduanya berbeda dan tidak dapat disamakan. Untuk konteks Indonesia, perbedaan birokrasi (administrasi negara) dengan pemerintah, memang kurang lazim didengar. Kekeliruan itu membuat peran eksekutif tetap dominan dan berkuasa penuh atas birokrasi beserta sayap-sayapnya yang menjangkau seluruh lembaga-lembaga negara.

7

Syafuan Rozi Soebhan,2000, Model Reformasi Birokrasi Indonesia, diakses melalui http://www.bpkp.go.id/unit/Sultra/reformasi.pdf, Diakses Pada 13 Januari 2011


(11)

merealisasikan dalam bentuk pelayanan publik optimal adalah hal utama. Selama ini kecenderungan aparat birokrasi masih mewarisi budaya ”memerintah” dan menganggap bahwa jabatan adalah status sosial yang membedakan mereka dengan warga biasa. Melayani dan memenuhi kebutuhan warga negara dengan sebaik-baiknya belumlah menjadi paradigma para birokrat. Masyarakat pun masih menganggap bahwa keberadaan birokrasi bukanlah mempermudah urusan mereka tetapi malah menghambat layanan yang harus diterima.

Besarnya kekuasaan birokrasi dan posisi yang strategis sebagai lembaga yang berada di dalam lingkup pemerintahan serta tingkat kebutuhan masyarakat yang tinggi terhadap lembaga birokrasi itu sendiri, mereka yang mengorganisir pembangunan jalan, mengelola rumah sakit, menyelenggarakan sistem pendidikan, menjaga ketertiban, menyediakan sarana transportasi dsb, maka terdapat pontensi penyalahgunaan kewenangan yang amat besar oleh birokrasi baik secara institusional maupun individual.

Di era otonomi daerah ini, kekuasaan politik birokrasi semakin besar dan potensi penyalahgunaan kewenangannyapun menjadi sangat besar. Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung misalnya, penyalahgunaan kewenangan birokrasi banyak terjadi. Birokrasi dijadikan mesin politik untuk memenangkan incumbent dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah semakin terlihat. Dari 460 Kabupaten/Kota, daerah-daerah yang telah melaksanakan Pilkada, sebanyak 62,17 % incumbentlah yang memenangkan pertarungan.

Bersadarkan hasil penelitian LSI, kepala daerah incumbent yang maju kembali sebagai calon kepala daerah dalam pilkada (230 orang). Mereka yang menang dan terpilih kembali 143 orang (62,17%), sedangkan incumbent yang kalah hanya 87 orang (37,83%).8


(12)

Jabatan politik seperti gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil walikota bagi Partai Politik merupakan jabatan strategis dalam upaya mewujudkan cita-cita Partai untuk memenangkan Pemilu legislatif maupun presiden dan wakil presiden. Apalagi jika gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil wali kota merupakan kader murni Partai, yang merangkap jabatan di struktural Partai seperti Ketua DPW/DPD atau Ketua DPC, sangat besar kemungkinan terjadi politisasi di tubuh birokrasi. Belum lagi ditambah dari internal birokratnya, dimana banyak pejabat birokrat yang ikut maju dalam Pemilihan Pilkada Langsung untuk memperebutkan jabatan politik. Padahal dalam UU Pilkada, dan ditegaskan lagi oleh otoritas pemerintah pusat bahwa birokrat atau PNS dilarang berpolitik. Tetapi dalam wacana informalitas politik, para birokrat jelas tak bisa menghindari permainan politik dalam pilkada. Apalagi jika ada birokrat yang mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat.

Hal ini menunjukkan bahwa birokrasi di daerah masih bisa digerakkan oleh para elite politik untuk memobilisasi dukungan rakyat kepada calon tertentu. Itu berarti konsepsi Weber yang menempatkan rakyat, politisi, dan birokrasi dalam suatu hubungan hirarkis, dalam proses politik pilkada bisa saja dijungkirbalikkan. Artinya, para politisi berperan mendistorsi birokrasi guna memobilisasi dukungan rakyat sebagaimana terjadi di era orde baru. Lebih-lebih cara itu terbukti ampuh untuk meraup dukungan dan simpati publik.

Birokrasi sebagai “alat pemerintah” memang jelas tidak mungkin “netral” dari pengaruh pemerintah. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa birokrasi tidak memiliki kemandirian. Justru karena posisinya sebagai alat pemerintah yang bekerja untuk kepentingan masyarakat, maka diperlukan kemandirian birokrasi. Sebagaimana dicitrakan dalam konsep


(13)

Hegelian Bureaucracy,birokrasi seharusnya menempatkan dirinya sebagai mediating agent, penjembatanan antara kepentingan-kepentingan masyrakat dengan kepentingan pemerintah.9

Bagaimana kemandirian birokrasi dapat dijelaskan dengan adanya netralisasi pengaruh pemerintah, sementara birokrasi merupakan alat pemerintah. Tolok ukurnya menurut Priyo Budi Santoso adalah sejauhmana birokrasi dapat bertindak berpihak pada kepentingan masyarakat dan melayani masyarakat. Dengan demikian, dalam ketidaknetralannya tersebut, birokrasi tetap memiliki kemandirian fungsional, yaitu melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Ia menempatkan dirinya lebih sebagai “abdi masyarakat” daripada “abdi negara” atau setidak-tidaknya ada keseimbangan antara keduanya. Rancang bangun birokrasi dalam konteks hubungan kekuasaan, seharusnya apolitis, terbebas dari pengaruh interest tertentu dari pemerintah selaku pemberi tugas. Tidak mencitrakan dirinya sebagai new political power dalam peta politik yang sudah ada.10

1. Perlu dilakukannya inventarisasi kebutuhan masyarakat akan pelayanan birokrasi. Birokrat harus menempatkan diri sebagaimana fungsi dan tugasnya, maka hal-yang perlu dilakukan adalah :

2. Birokrasi harus memiliki netralitas politik, transparan, responsible, berakuntabilitas, bersih dan berwibawa.

3. Pelaksanaan otonomi daerah, dimana struktur birokrasi sudah tidak lagi tersentralisasi pada pemerintah pusat melainkan ada pada daerah Kabupaten/Kota. 4. Birokrasi dituntut untuk bekerja lebih profesional, karena pengguna jasa birokrasi

tidak hanya masyarakat, melainkan juga masyarakat internasional. Untuk itu standar

9

Priyo Budi Santoso, 1997, Birokrasi Pemerintah Orde Baru : Perspektif Kultural dan Struktural,Edisi I, Cetakan Ketiga, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm 32


(14)

jasa birokrasi di Indonesia harus dapat menyesuaikan diri dengan standar pelayanan birokrasi di negara-negara lain terutama yang sudah maju.

Pembenahan birokrasi agar menjadi birokrasi yang professional dan netral, bukan saja dilakukan dalam diri birokrasi itu sendiri, akan tetapi diperlukan kearifan lokal khususnya dari kepala daerah maupun wakil kepala daerah dan pejabat birokrat lainnya yang ingin maju dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk tidak menggunakan perangkat birokrasi dalam kampanye maupun mobilisasi saat pemilihan calon.

Kenyataan di lapangan juga telah berkembang ”kebanggaan” berlebihan terhadap institusi di masing-masing lembaga birokrasi yang ada. Mereka tampil sebagai jago kandang dan berusaha membangun kerajaan-kerajaan sendiri. Sayangnya sikap semacam ini sengaja diwariskan kepada para pegawai-pegawai baru melalui pola interaksi dan bahkan terlembaga dalam institusi pendidikan. Karenanya perlu dikembangkan sikap terbuka yang dapat menghilangkan sikap primordial dalam institusi atau departemen itu. Usaha-usaha untuk menciptakan rasa kebersamaan berlebihan di antara calon birokrat dengan alasan kekompakan kerja harus segera dihilangkan. Sekolah-sekolah kedinasan yang menanamkan budaya semacam ini juga harus ditiadakan. Kebutuhan rekruitmen pegawai departemen di tingkat nasional maupun pemerintah daerah hendaknya dapat dipenuhi oleh perguruan tinggi umum yang memang menyediakan pola interaksi terbuka dengan berbagai macam pengalaman hidup yang heterogen. Bagaimana pun juga suasana pendidikan dan pelatihan yang tertutup dalam suatu lembaga pendidikan kedinasan telah menyuburkan praktik-praktik kekerasan dan kebanggaan berlebihan terhadap institusi. Akibatnya, sikap-sikap yang lahir dari tradisi kedinasan akan terbawa dalam lingkungan kerja dan juga berdampak pada kekakuan dan kurangnya sensitifitas terhadap persoalan publik.


(15)

Dalam hal ini Kecamatan Medan Sunggal yang berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang menjadi Kecamatan yang penting untuk diteliti dalam penelitian ini. Sedangkan faktor kemudahan penulis untuk meneliti ini menjadi alasan kuat untuk melakukan penelitian 1.2.Perumusan Masalah

Adapun perumusan Masalah dalam penelitian ini adalah: “ Bagiamana Netralitas dan Perilaku PNS di Kecamatan Medan Sunggal dalam Pemilihan Kepala Derah Kota Medan 2010”

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Untuk Mengetahui netralitas birokrasi di Kecamatan Medan Sunggal dalam Pemiilihan Kepala Daerah Kota Medan 2010.

2. Untuk Mengetahui perilaku politik PNS di Kecamatan Medan Sunggal dalam Pilkada Kota Medan 2010.

1.4.Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis; penelitian ini sebagai salah satu kajian politik dan pemerintahan, terutama berkaitan dengan sikap politik birokrasi

2. Secara praktis; penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi birokrat agar dalam setiap even politik pemilu memiliki sikap netral dan professional.

1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1. Konsep Birokrasi

Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy), diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer.


(16)

Pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya dideskripsikan

dengan jelas dalam organigram.

sehingga cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya terdapat banyak formulir yang harus dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus dilakukan sesuai dengan hirarki kekuasaan.11

Cita-cita dari sistem birokrasi adalah mencapai efisiensi kerja yang seoptimal mungkin. Menurut Weber organisasi bukan dapat digunakan sebagai pendekatan efektif untuk mengontrol pekerjaan sehingga sampai pada sasarannya, karena organisasi birokrasi hanya punya struktur yang jelas tentang kekuasaan clan orang yang punya kekuasaan mempunyai pengaruh sehingga dapat memberi peritah untuk mendistribusikan tugas kepada orang lain.12

Terminologi birokrasi dalam pandangan para ahli memiliki tren yang sangat vareatif, meskipun secara global dapat dirumuskan. Yahya Muhaimin mengartikan birokrasi sebagai “Keseleruhan aparat pemerintahan sipil, maupun militer yang melakukan tugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah itu.13. sedang menurut Prajudi Atmosudirjo dalam bukunya G Kartasapoetra mengemukakan bahwa birokrasi mempunyai arti14

1. Birokrasi sebagai tipe organisasi.

:

2. Sebagai suatu organisasi tertentu, birokrasi cocok sekali untuk melaksanakan suatu macam pekerjaan yang terkait pada peraturan-peraturan suatu macam pekerjaan yang terkait pada peraturan-peraturan yang bersifat rutin, artinya volume pekerjaan besar, akan tetapi sejenis dan bersifat berulang-ulang, dan pekerjaan yang memerlukan keadilan, merata dan stabil.

11 http://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi, Diakses Pada 12 Januari 2011

12 Ribert Denhart, 1984, Theorities of Public Organizations, Monterey, CA: Brook/Cole Publishing Company, Hal.26,32.

13 Yahya Muhaimin, Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia, Prisma No.10 efdisi Oktober, 1990 14G Karyasapoetra, 1994, Debirokratisasi dan Deregulasi, Jakarta: Rineka Cipta, Hal.21


(17)

3. Birokrasi sebagai system, yang artinya birokrasi adalah suatu system kerja yang berdasar atas tata hubungan kerjasama antara jabatan (pejabat-pejabat) secara langsung kepada persolannya dan secara formal serta berjiwa tanpa dipilih kasih atau tanpa pandang bulu.

4. Birokrasi sebagai jiwa kerja, dalam hal ini merupakan jiwa kerja yang kaku, sebab cara kerjanya seolah-olah seperti mesin, ditambah lagi dengan disiplin kerja yang keta/keras dan sedikitpun tidak mau menyimpang dari apa yang duperintahkan atasan atau yang telah ditetapkan oleh peraturan-peraturan.

1.5.2. Sejarah Birokrasi

Birokrasi memiliki asal kata dari Bureau, digunakan pada awal abad ke 18 di Eropa Barat bukan hanya untuk menunjuk pada meja tulis saja, akan tetapi lebih pada kantor, semisal tempat kerja dimana pegawai bekerja. Makna asli dari birokrasi berasal dari bahasa perancis berarti pelapis meja. Kata birokrasi sendiri kemudian digunakan segera setelah Revolusi Perancis tahun 1789, dan kemudian tersebar ke negara lain. Kata imbuhan -kratia berasal dari bahasa Yunani atau kratos yang berarti kekuasaan atau kepemimpinan. Birokrasi secara mendasar berarti kekuasaan perkantoran ataupun kepemimpinan dari strata kepegawaian).15

Teori Karl Marx tentang birokrasi berasal dari teori mengenai historical materialisme, asal muasal birokrasi dapat ditemukan dalam empat sumber: agama, pembentukan negara, Di Cina, dinasti Song (960 AD) sebagai contoh membentuk birokrasi sentralistis dengan staf berasal dari rakyat jelata yang terdidik. Sistem kepemimpinan ini kemudian mendorong konsentrasi kekuasaan di dalam tangan kaisar dan birokrasi istana daripada yang diperoleh oleh dinasti sebelumnya.


(18)

perdagangan, dan teknologi. Kemudian, bentuk birokrasi paling awal terdiri dari tingkatan kasta rohaniawan/tokoh agama, pegawai pemerintah dan pekerja yang mengoperasikan aneka ritual, dan tentara yang ditugaskan untuk mentaati perintah. Di dalam transisi sejarah dari komunitas egaliter primitif ke dalam civil society terbagi kelas-kelas sosial dan wilayah, muncul sekitar 10.000 tahun yang lalu, dimana kewenangan terpusat, dan dipaksakan oleh pegawai pemerintah yang keberadaannya terpisah dari masyarakat.

Negara memformulasikan, memaksakan dan menegakkan peraturan, dan memungut pajak, memberikan kenaikan kepada sekelompok pegawai yang bertindak untuk menyelenggarakan fungsi tersebut. Kemudian, negara melakukan mediasi bila terjadi konflik di antara masyarakat dan menjaga konflik agar masih dalam batas kewajaran; negara juga mengatur pertahanan wilayah. Terutama, hak umum perorangan untuk membawa dan menggunakan senjata untuk mempertahankan diri sedikit demi sedikit dibatasi; memaksakan orang lain untuk berbuat sesuatu menjadi hak legal negara dan aparat pemerintah untuk melakukannya.

1.5.3. Teori Birokrasi Max Weber

Max Weber menjadi salah seorang yang paling berpengaruh di dunia karena pengaruh ajarannya pada ilmu pengetahuan sosial. Ia terkenal oleh karena studinya mengenai pembirokrasian masyarakat banyak aspek dari administrasi publik modern berpaling kepadanya; pendekatan klasik, pegawai pemerintah yang secara organisasi hirarkhis selanjutnya disebut “Weberian Civil Service.” akan tetapi, bertolak belakang dengan pendapat masyarakat umum, “bureaucracy” merupakan kata yang berasal dari Inggris jauh sebelum Weber; Kamus Bahasa Inggris terbitan Oxford menyebutkan kata ini beberapa kali


(19)

dalam edisi tahunan yang berbeda antara tahun 1818 dan 1860, sebelum tahun kelahiran Weber pada 1864 (Watson, 1980).16

Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu :

Weber menggambarkan tipe birokrasi ideal dalam nada positif, membuatnya lebihberberntuk organisasi rasional dan efisien daripada alternatif yang terdapat sebelumnya, yang dikarakterisasikan sebagai dominasi karismatik dan tradisional. Menurut terminologinya, birokrasi merupakan bagian dari dominasi legal. Akan tetapi, ia juga menekankan bahwa birokrasi menjadi inefisien ketika keputusan harus diadopsi kepada kasus individual.

Menurut Weber, atribut birokrasi moderen termasuk kepribadiannya, konsentrasi dari arti administrasi, efek daya peningkatan terhadap perbedaan sosial dan ekonomi dan implementasi sistem kewenangan yang praktis tidak bisa dihancurkan. Birokrasi ala Weber dikenal juga dengan sebutan “Birokrasi Weberian”.

Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal. Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber kemudian mengembangkan apa yang seharusnya (ideal typhus) melekat disebuah birokrasi.

17

1. Tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan.

2. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi.

16Tony J Watson. .1980. “Sociology, Work and Industry”. Routledge. ISBN 0 415-32165-4:

17 John Toye, odern Bureaucracy, Resear ch Paper No. 2006/ 52, Unived Nat ions Universit y, May


(20)

3. Jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint).

4. Aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih menjadi diperlukan.

5. Anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi.

6. Pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;

7. Administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern.

8. Sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi birokratik.

1.5.4. Teori Max Weber dan Teori Besi Oligarki

Seorang pejabat birokrasi adalah berkepribadian bebas dan ditunjuk dalam posisi berdasarkan peraturan, menggunakan kewenangan yang diberikan kepadanya dengan gaya kepemimpinan yang adil, dan kesetiaannya tergambar melalui pelaksanaan tugasnya secara sepenuh hati, penunjukkan dan penempatan kerja berdasarkan kualifikasi teknis yang dimiliki, kerja administratif dikerjakan penuh waktu (full time), pekerjaan diganjar berdasarkan upah harian dan prospek masa depan sepanjang karir. Seorang pegawai pemerintah harus menggunakan penilaian dan keterampilannya, akan tetapi tugasnya adalah menempatkan kedua hal tersebut pada kewenangan yang lebih tinggi akhirnya dia hanya bertanggungjawab untuk menjalankan sebagian tugas yang telah ditugaskan dan harus mengorbankan penilaiannya apabila bertentangan dengan tugas pekerjaannya. Pola kerja


(21)

Weber banyak diikuti oleh yang lainnya seperti Robert Michels dengan teori Besi Oligarki (Iron Law of Oligarchy).18

Sedikit kepatuhan sudah merupakan suatu kondisi bagi demokrasi. Bila pemerintah harus memaksa kepatuhan yang sepenuhnya, hal ini berarti mengurangi demokrasi.Kepatuhan tanpa syarat pada hakikatnya menghindari kritik dan ketidaksepakatan yang menjadi inti demokrasi.

1.5.5.Dampak Kekuasaan Birokrasi Terhadap Kondisi Demokrasi

Kekuasaan birokrasi menimbulkan pertanyaan yang menyebabkan para ilmuan mulai berpikir. Adil dan perlakuan yang sama bagi seluruh penduduk ternyata membutuhkan seperangkat hukum yang kompleks dan peraturan-peraturan administratif, untuk dapat berfungsi, setidak-tidaknya masyarakat harus memberikan pengertiannya karena pada kenyataannya jumlah polisi tidak cukup banyak di dalam melakukan kontrol atas penerapan hukum, dengan demikian keadaan menjadi sulit bila masyarakat cendrung tidak mematuhi hukum.

Dalam jangka pendek, tentu saja birokrasi dapat memerintah masyarakat tanpa Menimbulkan perlawanan mereka Namun sebagaimana kita juga pemah belajar dari masa lampau, kerelaan yang pertama-tama bersifat pasif pada akhimya membangkitkan rasa ketidakberdayaan. Hal ini kemudian dicetuskan dalam bentuk protes yang mengacaukan suasana. Apabila kita menunggu sampai suasana itu benar-benar terjadi, inilah yang disebut antitesis demokrasi.

19

18 Walaupun dalam khazanan kajian birokrasi Weber mungkin salah satu yang paling terkemuka namun pikiran-pikirannya tak pelak juga banyak dikritisi oleh ahli lain misalnya Robert K. Mert on, Philip Selznick, T alcot t Parsons at au Carl Friedrich.

19

Peter M Blau, Meyer ,Marshall W. (1987), Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Jakarta: ill-Press, Hal.206-223.


(22)

Bila kita lihat contoh di Indonesia, bahwa masyarakat wajib pajaknya sudah lelah dengan seabrek peraturan yang harus dipatuhi. sehingga ada kesan terpaksa untuk memenuhi kewajiban perpajakan, dan sulit menciptakan masyarakat yang sadar pajak dalam sistem yang diterapkan untuk meningkatkan penerimaan negara. Pada dasamya masyarakat lebih menginginkan terciptanya kesadaran daripada kepatuhan. Ibarat seorang pencuri bertobat untuk tidak akan mengulangi perbuatannya karena dia takut kepada Allah (sadar bahwa mencuri itu perbuatan dosa), daripada takut karena adanya ganjaran hukuman yang menantinya, sehingga sulit untuk mencapai tahap masyarakat yang "marginal detterence". kalau mentalnya masih mental pencuri.

Nilai-nilai demokratis tidak saja berarti tujuan-tujuan masyarakat yang ditentukan oleh keputusan mayoritas. tetapi juga bahwa tujuan-tujuan tadi diterapkan melalui metode-metode efektif yang ada, yakni dengan memantapkan organisasi-organisasi sifatnya yang lebih birokratis daripada berupa pengaturan secara demokratis. Keberadaan birokrasi-birokrasi semacam itu tidak merusak nilai-nilai demokrasi.

Jika birokrasi berlebihan maka masyarakat dirugikan karena masyarakat punya otonomi yang terbatas, karena freewill terbatas untuk masyarakat, karena belum tentu yang dilakukan birokrat baik, baik juga untuk rnasyarakat. Birokrasi sulit untuk direm karena ada dorongan dari dalam (birokrat itu sendiri) ataupun dari luar seperti :

1. Dorongan politik, yaitu : tuntutan dari rnasyarakat sehingga membuat birokrasi menjadi lebih besar peranannya, adanya tuntutan negara semakin berkembang terus, yang meminta negara untuk menyelesaikannya dan meminta negara melayani hal tersebut sebagai contoh yaitu negara yang demokratis.

2. Dorongan ekonomi yaitu : bagaimana birokrasi menajdi sebuah penghasil atau sumber income (pendapatan).


(23)

3. Dorongan yang bersifat sosial, yaitu pemberian tanggungjawab pada negara untuk melakukan sesuatu pada masyarakat, ada pandangan bahwa negara sebagai penggerak pembanggunanan nasional dan negara diasumsikan sebagai fungsi yang strategis. Demokrasi dan birokrasi sesungguhnya sangat diperlukan dalam proses pembangunan suatu negara , akan tetapi semakin kuat birokrasi dalam negara maka akan semakin rendah demokrasi dan sebaliknya semakin lemah birokrasi maka akan semakin tinggi demokrasi.

Gejala tumbuhnya birokrasi yang terlarnpau kuat diungkapkan oleh Fred W Rigg ketika ia rnelakukan penelitiam modernisasi di Thailand yang kemudian muncul dengan konsep "Bureaucratic Politic" yang menggambarkan betapa birokrasi di Thailand telah memasuki suatu jaringan kehidupan politik dan ekonomi yang sangat kuat yang dilakukan oleh negara terhadap kehidupan masyarakat, dalam konsep yang sama Karl D.Jackson untuk studinya tentang birokrasi di Indonesia, yang menempatkan birokrasi melalui pemasukan nilai budaya masyarakat yang dominan sebagai suatu kekuatan tersendiri dalam mempengaruhi sistem politik dan perilaku politik elit kekuasaan .20

Berdasarkan studi Guelermo O'Donnel bahwa negara telah muncul sebagai kekuatan politik yang tidak hanya relatif mandiri berhadapan dengan faksi-faksi elit pendukungnya serta masyaraklu sipil, tetapi ia telah menjadi kekuatan dominan yang marnpu mengatasi keduanya. Otoritarian Birokratik memang diciptakan untuk melakukan pengawasan yang kuat terhadap masyarakat sipil, terutama dalam upaya mencegah massa rakyat di bawah keterlibatan politik yang terlampau aktif agar proses akselerasi industrialisasi tidak tergangggu.21

20

Karl D Jackson and Lucian W Pye (1987), Political Power and Comunications in Indonesia, California: University of California Press, Hal.4.

21

Dalam Muhammad AS Hikam. (1991), Negara Otoriter Birokratik dan Redemokratisasi: Sebuah Tinjauan


(24)

1.5.6 Birokrasi dan Demokrasi Melalui Beberapa Pendekatan.

Birokrasi dan Demokrasi melalui penjelasan tersebut ibarat dua sisi dari mata uang yang sama, birokrasi dan demokrasi sangat diperlukan dalam kegiatan negara dan masyarakat, akan tetapi keduanya justru menunjukkan tingkat perbedaan yang mendasar dan kalaupun memungkinkan dapat dipertemukan satu sama lain melalui rekonstruksi antara keduanya. Birokrasi merupakan salah satu sarana bagi kekuasaan negara untuk memperkuat posisi politik dan merupakan sumber legitirnasi politiknya. Sementara demokrasi merupakan keinginan dari sebagian besar rnasyarakat untuk rnendapatkan keberdayaan sehingga proses tawar menawar antara state dan sipil society dapat berkembang dengan baik khususnya dalam kerangka pengembalian keputusan politik sebagaimana prinsip-prinsip dasar dari demokrasi itu sendiri.

Modal kebijakan merupakan pendekatan yang akan dipakai dalam merekonstruksi birokrasi dan demokrasi. Allison mendeskripsikan 4 model kebijakan yaitu :

1. Synoptic Model,

Merupakan model yang ideal dengan melihat proses kebijakan sebagai suatu proses yang sangat rasional dimana policy maker atau aktor-aktor yang terlibat dalam proses kebijakan dianggap memiliki persepsi yang jelas tentang tujuan yang akan dicapai.22

22

Charles..H Levine DKK ,1990, Public Administration: challenges, Choices, Consequences, Glenview: illinois London: A Division of Scott, Foresman and Company,Hal.82

Para aktor politik bisa menilai konsekuensi-konsekuensi positif dan negatif, contohnya : kebijakan pengentasan kemiskinan, adanya kesadaran para aktor dalam birokrasi sehingga mengambil nilai tertentu yang siap dimaksimalkan pemerintah. Dalam hal ini birokrasi tidak hanya penerima kebijakan dari pejabat-pejabat politik, tetapi turut melakukan kebijakan berupa tindakan membela si miskin sebagai suatu pertanda merekonstruksi


(25)

demokrasi, hat ini menandakan bahwa birokrasi bukan pemerintahan rakyat tetapi mengembalikan peran negara sebagai arbiter (perantara).

2. Model Incremental,

Merupakan kebijakan yang dimulai dengan melihat kebijakan yang ada, apa yang menjadi tantangan masa depan, apa perlu kebijakan direvisi atau direform. Proses kebijakannnya sering kali tidak dimulai dari titik nol karena selalu dimulai dengan kebijakan yang ada sehingga standard operating procedurenya terlalu kuat.

3. Model Garbage Can,

Merupakan kebijakan yang mencari tujuan yang pasti, akan tetapi hubungan antara tujuan dan kebijakan-kebijakan utama tidak selalu jelas. Pendekatan ini sering juga disebut organisasi anarki, menurut model ini hasil pembuatan keputusan secara kebetulan dipengaruhi 4 komponen yaitu : para partisipan, solusi, masalah-masalah dan kesempatan untuk memilih. 23

4. Model Birokratik Politik,

Merupakan proses pengambilan keputusan dalam melibatkan banyak aktor/kelompok-kelompok kepcntingan yang masing-masing punya nilai atau kepentingan sendiri, punya agenda masing-masing, memperjungkan atau membangun strategi-strategi sendiri dengan berkoalisi, bergaining atau kompromi sesuai dengan tujuan yang ia miliki.24

Berdasarkan beberapa model yang ditawarkan, jika kita mengacu ke negeri sendiri yaitu Indonesia, maka ada kecendrungan kita memakai model Incremental, dimana terlalu banyak prosedur dan standard operating procedure terlalu dinomorsatukan atau dijadikan sebagai salah satu instrumen yang digunakan oleh pemerintah pusat. Pembuatan keputusan-keputusan poitik nasional amat didominasi oleh pemerintah dan kesan seperti itu sukar dibantah.


(26)

1.5.7. Reformasi Birokrasi Pasca Jatuhnya Orde Baru

Tuntutan reformasi birokrasi yang menjadi aspirasi publik pasca Orde Baru, tampaknya kini perlu diangkat kembali sebagai isu publik. Apalagi dari sejumlah agenda reformasi yang telah dilaksanakan selama ini, birokrasi merupakan salah satu wilayah yang belum tersentuh secara signifikan. Presiden SBY pun beberapa waktu lalu telah merespon tuntutan ini dengan mengemukakan akan memimpin sendiri secara langsung proses reformasi birokrasi ini dengan membentuk tim khusus. Entah tim khusus seperti apa yang akan dibentuk, belum ada penjelasan konkret.

Salah satu masalah krusial yang patut disoroti terkait masalah ini adalah soal yang berhubungan dengan perilaku jaringan orang-orang partai yang berkuasa dalam domain lembaga birokrasi. Kita ketahui, bahwa keberadaan mereka bagaimanapun sulit dipungkiri membawa pengaruh kepentingan politik praktis. Tuntutan publik adalah agar para politisi yang menjadi pejabat pemerintahan tidak mempolitisasi birokrasi.

Memang ironis, bahwa upaya untuk membangun birokrasi modern yang seperti diistilahkan oleh Max Weber sebagai birokrasi rasional yang lebih bertumpu pada aspek profesionalitas dan prestasi sebagai public servant masih sulit untuk dibangun. Sepanjang era reformasi, birokrasi menunjukkan peluangnya malah kian terperangkap menjadi alat politik partisan. Apalagi sumber rekrutmen kepemimpinan birokrasi mulai Presiden/Wakil Presiden, Menteri-menteri, Gubernur/Wakil Gubernur, Walikota/Wakil Walikota, hingga Bupati/Wakil Bupati, tidak terlepas dari jaringan dukungan parpol.

1.5.8 Netralitas Birokrasi

Sekitar abad ke 20, konsep netralitas organisasi birokrasi menjadi sangat penting dalam kehidupan sosial politik modern. Para penulis di tahun 30-an mulai lantang berbicara


(27)

tentang managerial revolution dan konsep baru tentang birokrasi dunia (bureaucratization of

the world). Berbarengan dengan itu mereka juga ingin tahu sampai di mana peranan birokrasi

dalam perubahan-perubahan besar dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik pada zaman yang semakin maju ini.25

Dalam keadaan seperti itu masyarakat sangat merindukan terciptanya satu situasi yang memungkin-kan kepentingan mereka tersalurkan dan terwakili melalui partai politik. Situasi yang demikian dibaca oleh rejim baru, sehingga begitu orde lama tumbang, orde baru berusaha untuk memulihkan keadaan dengan mengetrapkan dua strategi dasar: Pertama, menjadikan tentara/ABRI sebagai ujung tombak demokrasi dan pemegang kemdali pemerintahan ditopang oleh birokrasi yang kuat dan terlepas dari ikatan kepartaian konvensional/tradisional. Kedua, menitikberatkan pembangunan ke arah rehabilitasi ekonomi.

Kemudian bila dibandingkan dengan kondisi birokrasi di Indonesia khususnya pada era Orde Baru yang berjalan hamipr 32 tahun di mana jelas bahwa birokrasi sudah menampakkan keberpihakannya kepada satu kekuatan politik tertentu (Golkar) sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik Orde Baru itu sendiri.

Ketika Orde Baru lahir, kehidupan kepartaian kita dalam kondisi dan situasi yang sangat memprihatinkan. Ini disebabkan oleh strategi pembangunan politik orde lama di mana PKI merupakan satu-satunya partai politik yang tetap eksis dengan fungsinya. Sedangkan parta-partai lain satu persatu hilang, baik secara alamiah atupun karena tidak sesuai dengan Bung Karno sebagai Presiden yang sekaligus sebagai Panglima Tertinggi dan menyatakan dirinya juga sebagai Panglima Besar Revolusi waktu itu yang mengeluarkan gagasan JAREK (jalannya revolusi kita)

26

25 Miftah Thoha. 2004. “Birokrasi dan Politik di Indonesia”. Cetakan ke 3. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. 26 A. Isa Anshori. 1994. “Netralitas Birokrasi”. Makalah disampaikan dalam Seminar Dikotomi Politik dan Administrasi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.


(28)

Dua strategi tersebut jelas akan memerlukan stabilitas dengan segala resikonya yang dalam banyak hal akan merugikan bagi parpol non-pemerintah. Dalam kerangka inilah ABRI kemudian mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (SEK-BER GOLKAR) pada tahun 1964 sebagai embrio bagi partai pemerintah (partai pelopor seperti konsep Presiden Soekarno).

Dari sini kita melihat bahwa politik orde baru berusaha menciptakan iklim politik yang mendukung tumbuh suburnya kembali partai-partai politik, namun tetap berada di bawah kontrol birokrasi sehingga tidak akan menggoyahkan stabilitas nasional.

Faktor lain yang juga dapat disebut adalah tulisan Dr. Muhajir Darwin seperti dikutip Anshori (1994) yang menyatakan bahwa ; sejarah birokrasi di Indonesia di jaman kerajaan dahulu pernah meletakkan para birokrat (kaum ningrat dan abdi dalem) sebagai instrumen untuk melayani kepentingan raja. Kemudian datang penjajah atau para kolonial yang mengembangkan birokrasi model Weberian (secara rasional) untuk memenuhi kepentingan negara penjajah.Setelah kemerdekaan diperoleh, birokrasi menjelma sebagai organisasi modern dan besar di tengah masyarakat yang belum terbiasa berorganisasi secara modern.Disamping itu birokratisasi di Indonesia berkembang tanpa didahului oleh demokrasi seperti kebanyakan yang terjadi di negara-negara berkembang lainnya.

Melihat perjalanan sejarah birokrasi di Indonesia yang seperti di atas tadi, maka sulit kiranya (bila biorkrasi tidak benar-benar netral) mewujudkan proses kontrol yang efektif terhadap birokrasi, menciptakan proses check and balance dalam mekanisme politik. Sebab dengan model; birokrasi = kekuatan politik tertentu/dominan dan sebaliknya, birokrasi akan bebas meniadakan fungsi kontrol terhadap hak-hak politik warga negara; sebagai contoh (era orde baru) lembaga LITSUS paling efektif untuk mengebiri hak-hak politik warga negara dengan menggunakan justifikasi politis yaitu "stabilitas politik" dan alasan ini adalah paling


(29)

tepat dan mudah digunakan karena sejauh itulah yang dipercaya sebagai faktor yang mendukung keberhasilan pembangunan Indonesia selama kurun waktu 30 tahun terakhir ini.

Namun memihaknya birokrasi pemerintah kepada kekuatan politik atau pada golongan yang dominan membuat birokrasi tidak steril (Miftah; 1993). Banyak virus yang terus menggrogotinya seperti pelayanan yang memihak, jauh dari obyektifitas, terlalu birokratis (bertele-tele) dan sebagainya, akibatnya merteka merasa lebih kuat sendiri,kebal dari pengawasan dan kritik.

Dengan melihat masalah politisasi birokrasi yang tetap berlangsung, maka jelas tampak di sini pentingnya untuk mengartikulasikan kembali tuntutan netralisasi birokrasi. Sebenarnya tuntutan ini sudah pernah menghangat ketika muncul perdebatan mengenai rangkap jabatan seorang pejabat pemerintahan sekaligus pengurus atau anggota partai. Namun demikian, tuntutan itu mendapatkan resistensi dari parpol dan para politisi atau kader partai yang meraih kekuasaan dalam kepemimpinan birokrasi pemerintahan.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Jenis Penelitian

Metode penelitian dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan lainnya pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang terlihat sebagaimana adanya. Penelitian ini menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan hasil penelitian tersebut dan menjawab persoalan yang penulis teliti. Oleh karena itu jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif.

1.6.2. Lokasi Penelitian


(30)

1.6.3. Populasi dan Sampel

1.6.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Pegawai Negeri Sipil yang berada di Instansi-instansi di Kecamatan Medan Sunggal.

1.6.3.2. Sampel

Jadi sampel yang digunakan untuk menjadi responden dalam penelitian ini adalah 10027

a. Data primer yang didasarkan pada peninjauan langsung pada objek yang diteliti untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan. Studi lapangan yang dilakukan dengan datang langsung ke lokasi penelitian dengan cara menyebarkan angket/kuesioner kepada responden yang dijadikan sebagai sampel penelitian. Responden menjawab dengan memilih pilihan jawaban yang telah disediakan dalam daftar pertanyaan.

orang PNS dilingkungan Kecamatan Medan Sunggal.

1.6.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan maka penulis melakukan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

b. Data sekunder yaitu dengan mencari sumber data dan informasi melalui buku-buku, jurnal, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini.


(31)

1.6.5. Teknik Analisa Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian disusun, dianalisa dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada. Data data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.

1.7.Sistematika Penulisan

BAB I: Pendahuluan

Pada bab ini akan memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dasar-dasar teori, metode penelitian dan sistematika penulisan

BAB II: Deskripsi Lokasi Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan gambaran umum dari lokasi penelitian di Kecamatan Medan Sunggal antara lain berupa sejarah singkat kelurahan, kondisi geografis, demografi penduduk

BAB III: Pembahasan

Pada bab ini data dan informasi disajikan dan dianalisis secara sistematis berdasarkan penelitian yang dilakukan


(32)

BAB II

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Kecamatan Medan Sunggal berbatasan langsung dengan kecamatan Medan Selayang di sebelah selatan, kecamatan Medan Helvetia di sebelah utara, kabupaten Deli Serdang di sebelah barat, dan Kecamatan Medan Baru dan Medan Petisah di sebelah Timur. Kecamatan Medan Helvetia merupakan salah satu kecamatan di Kota Medan yang mempunyai luas sekitar 14.116 km2. jarak kantor kecamatan ke kantor walikota Medan yaitu sekitar 8 km. 2.9.Luas wilayah dirinci per Kelurahan di Kecamatan Medan Sunggal

Dari 6 kelurahan di kecamatan Medan Sunggal, kelurahan Sunggal memiliki luas wilayah yang terluas yaitu sebesar 4.93 km2 sedang kelurahan Simpang Tanjung mempunyai luas terkecil yakni 0,32 km228

Sumber : Google Map


(33)

2.10. Pemerintahan Kecamatan Medan Sunggal29

Kecamatan Medan Sunggal yang dipimpin oleh seorang camat, saat ini terdiri dari 6 kelurahan yang terbagi atas 88 lingkungan, 85 RW, 263 RT dan 190 blok sensus

Tabel 2.1 Monografi

Kecamatan Medan Sunggal

NO Kelurahan Jumlah Lingkungan Luas Area

1 Tanjung Rejo 24 3.50Km2

2 Simpang Tanjung 4 0.32 Km2

3 Sei Sikambing 22 28,4 Km2

4 Sunggal 14 4.93 Km2

5 Lalang 13 1.25 Km2

6 Babura 11 1.06 Km2

Jumlah 88 14.116 km2.

Sumber: Kecamatan Medan Sunggal Dalam Angka 2009

2.11. Struktur Pegawai Negeri Kecamatan Medan Sunggal30

Tahun 2008, kecamatan Medan Sunggal memiliki total 100 pegawai negeri yang dialokasikan di Kantor Camat dan Instansi-instansi Pemerintah lainnya dimana alokasi pegawai terbesar ada di kantor kelurahan yakni sebanyak 32 pegawai dan puskesmas 32 pegawai. Sedangkan alokasi pegawai terkecil terdapat pada mantis kecamatan dan pertanian yang hanya berjumlah satu pegawai.

Bila dirinci menurut golongan, pegawai negeri di kecamatan Medan Sunggal, ternyata sebagian besar pegawai negeri sudah bergolongan III yaitu sebanyak 69 pegawai.

29 Kecamatan Medan Sunggal Dalam Angka Tahun 2009 30 Kecamatan Medan Sunggal Dalam Angka Tahun 2009


(34)

Tabel 2.2

Jumlah Pegawai Negeri Sipil Kantor Camat dan Instansi-Instansi Pemerintah di Kecamatan Medan Sunggal

No Instansi Golongan I Golongan II Golongan III

Golongan IV

Jumlah

1 Kantor Camat 0 5 15 1 21

2 KUA 0 1 7 0 8

3 Mantis 0 0 1 0 1

4 Jupen 0 0 0 0 0

5 PPLKB 0 0 5 0 5

6 Pertanian 0 0 1 0 1

7 PSK (Sosial) 0 0 0 0 0

8 PD Kebersihan 0 0 0 0 0`

9 Puskesmas 0 11 19 2 32

10 Kelurahan 1 10 21 0 32

Jumlah 1 27 69 3 100

Sumber: Kecamatan Medan Sunggal dalam Angka 2008

2.12. Jumlah penduduk, dirinci menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Sunggal Kecamatan Medan Sunggal dihuni oleh 130470 orang penduduk dimana penduduk terbanyak berada di Kelurahan Sunggal yakni sebanyak 38566 orang. Jumlah penduduk terkecil di Kelurahan Simpang Tanjung yakni sebanyak 2522 orang.


(35)

2.13. Struktur Penduduk berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur di Kecamatan Medan Sunggal

Jumlah penduduk kecamatan Medan Sunggal sebanyak 130.470 penduduk terdiri dari 62.275 orang laki-laki serta 68.195 orang perempuan. Berdasarkan kelompok umur, distribusi penduduk kecamatan Medan Helvetia relatif lebih banyak penduduk usia produktif.

Terdapat warga negara Asing cina berdomisili di kecamatan ini. Sebanyak 25 orang warga negara asing cina berdomisili di kecamatan Medan Sunggal

Tabel 2.3.

Data Kependudukan Kecamatan Medan Sunggal

No Kelurahan Jumlah Penduduk

(Jiwa)

Jumlah Penduduk

(KK)

Jenis Kelamin (LK)

Jenis Kelamin (PR)

1 Tanjung Rejo 333681 7590 16119 18407

2 Simpang Tanjung 2522 331 888 735

3 Sei Sikambing 21334 5213 9738 11541

4 Sunggal 38566 7467 18317 19994

5 Lalang 21553 3791 11005 11366

6 Babura 12814 2373 6208 6152

Jumlah 130470 26765 62275 68195

Sumber: Kantor Kecamatan Medan Sunggal 2008

Dari data diatas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk terbanyak terdapat di tanjung Rejo. Hal ini dikarenakan bahwa daerah tersebut memang sangat potensial dijadikan lahan untuk berdagang atau sangat baik dari segi pembangunan ekonominya.


(36)

2.6.Struktur Penduduk berdasarkan Agama Kecamatan Medan Sunggal

Jumlah penduduk kecamatan Medan Sunggal mayoritas beragama Islam dengan jumlah 69627 orang. Sedangkan Hindu merupakan agama minoritas dengan jumlah 6543 orang

Tabel 2.4

Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama

No Kelurahan Islam Kristen Protestan

Kristen Katolik

Hindu Budha

1 Tanjung Rejo 17654 4142 5130 1720 800

2 Simpang Tanjung 522 174 77 81 577

3 Sei Sikambing 19630 2645 1404 1120 1783

4 Sunggal 12856 4501 7176 2934 50581

5 Lalang 13201 2292 695 642 4488

6 Babura 5764 4464 8815 46 76

Jumlah 69627 18218 23297 6543 12782

Sumber: Kecamatan Medan Sunggal 2008

Berdasarkan sumber dari keterangan warga disana bahwa memang mengapa islam menjadi mayoritas di daerah ini karena letaknya yang berdekatan dengan daerah atau banyak nya suku Melayu khususnya masa kerajaan Deli pada masa yang lalu. Hal ini akan tampak berbanding lurus dengan banyaknya jumlah suku Melayu di Kecamatan Medan Sunggal. Lalu kemudian masuk agama-agama lain seperti Kristen,Hindu , Budha akabat mobilitas penduduk dari waktu-ke waktu. Hanya di Babura penduduk Islam tidak lebih banyak dari penganut agama Kristen (Katholik atau Protestan).


(37)

2.7. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan Terakhir

Mayoritas penduduk Kecamatan Medan Sunggal memiliki tingkat pendidikan terakhir tamatam SMU dengan jumlah 59752. Ada juga penduduk dengan tamatan pendidikan terkahir S3 degan jumlah 55

Table 2.5

Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan Terakhir

No Kelurahan SD SMP SMU S-1 S-2 S-3

1 Tanjung Rejo 9872 8285 14439 1058 157 34 2 Simpang Tanjung 38 433 1074 392 9 - 3 Sei Sikambing 631 854 9583 6157 49 12 4 Sunggal 3415 7959 14812 10492 102 5

5 Lalang 3536 7880 10576 423 31 4

6 Babura 2335 6880 9268 611 69 -

Jumlah 19827 32291 59752 19133 417 55

Sumber: Kecamatan Medan Sunggal 2008

Namun jika dilihat dari persentase terbanyak dari tingkat pendidikan di Medan Sunggal adalah SMU. Jumlah ini menjadikan Medan Sunggal sebagai salah satu kontibutor terbesar di Medan dalam hal penyuplai tenaga kerja. Namun yang patut disayangkan adalah jumlah penduduk yang hanya tamatan SD dan SMP juga tergolong banyak yaitu ribuan. SD (19.827) sedang SMP (32.291).

2.8. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan

Beragamnya penduduk di Kecamatan Medan Sunggal. Kebanyakan penduduk di Kecamatan Medan Sunggal adalah bekerja disektor swasta seperti karyawan swasta dengan jumlah 16245 orang dan disusul yang berprofesi sebagai pedagang 15351 orang. Selain itu jika dilihat dari data Kecamatan Medan Sunggal tahun 2008 banyak juga diantara penduduk Kecataman Medan Sunggal itu berprofesi tidak tetap atau dalam keadaan perekonomian yang


(38)

sulit yaitu berkisar 2950 orang yang banyak terdapat di kelurahan Lalalang dan yang sedikit di kelurahan simpang tanjung. Namun di kelurahan simpang tanjung tidak ada asrama TNI Polri tidka terdapat di daerah ini. Begitu juga dengan guru (PNS) juga tidak terdapat di daerah ini.buruh dan pedagang terdapati di kelurahan tanjung rejo. Yang juga berdekatan dengan daerah Tanjung Sari yang agak lebih deket pusat kota (Medan Baru).

Untuk simpang tanjung didiami paling sedikit jumlah pegawainya, termasuk pedagang daan buruh.

2.9. Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku Daerah

Suku Melayu merupakan suku yang terbanyak yang tinggal di Kecamatan Medan Sunggal dengan jumlah 1700 jiwa. Sedangkan suku Dairi merupakan suku minoritas yang ada di Kecamatan Medan Sunggal. Di kecamatan ini tidak terdapat suku tionghoa yang mana jika melihat kecamtan lain di Medan suku tionghoa pasti terdaftar sebagai penduduk.

Table 2.7

Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku Daerah

No Kelurahan Melay u

Batak/Sim alungun

Karo Mandai ling

Dairi Nias Mina ng

Aceh Jawa

1 Tanjung Rejo

3158 1514 3115 4153 1151 131 558 2170 10602

2 Simpang Tanjung

175 273 29 136 - 46 34 124 745

3 Sei Sikambing B

5171 3968 1621 1382 217 119 115 1657 4920

4 Sunggal 4311 3016 2766 2300 - 1157 1211 1627 6703 5 Lalalang 2994 2367 884 1417 101 182 720 740 3941 6 Babura 1191 5566 982 3192 162 399 300 418 2924


(39)

Jumlah 17000 16704 9397 12580 162 399 300 478 2924

Sumber: Kecamatan Dalam Angka 2009

Sumber: Kecamatan Medan Sunggal tahun 2009

CAMAT

Sub Penyusunan

Program Sub

Bagian Keuangan

Sekretaris

Kelompok Jabatan Fungsional

Seksi Tata Pemerintahan

Seksi Pemberdayaan Masyarakat

Seksi Ketentraman

dan Ketertiban

Seksi Kesejahteraan

Sosial Sub Bagian


(40)

BAB III ANALISA DATA 3.1.Penyajian Data

Penyajian data yang diperoleh merupakan hasil dari penelitian lapangan yang menyebar ke seluruh instansi pemerintahan yang ada di Kecamatan Medan Sunggal. Data diperoleh dari karakteristik berdasarkan golongan, jenis kelamin, tingkat pendidikan. Sehingga data ini merupakan data responden yang heterogen.

Berikut ini adalah penyajian data lapngagan yang diperoleh peneliti: 1. Karaketristik Responden Berdasarkan golongan

No Golongan Jumlah Persentase

1 Golongan III 69 69%

2 Golongan II 27 27%

3 Golongan IV 3 3%

4 Golongan I 1 1%

67% 27%

3% 1%


(41)

Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa mayoritas responden adalah Pegawai Negeri dengan golongan III dengan jumlah 67%. Sedangkan golongan II berjumlah 27%. Dan golongan I merupakan golongan sedikit dengan jumlah 1%

Kesulitan peneliti adalah mendapatkan responden dengan golongan IV karena agak tertutupnya memberikan informasi terhadadap kuesioner yang dberikan.

2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah Persentase

1 Pria 58 58

2 Wanita 42 42

Sekarang ini tidak ada lagi perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Dimana tidak hanya laki-laki saja yang dapat menggunakan hak pilihnya, tetapi perempuan juga memiliki hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 42% sedangkan pria dengan jumlah responden 58%.


(42)

3. Distribusi Jawaban Responden Mengetahui Peraturan Pemerintah bahwa Pegawai Negeri Sipil harus netral dalam setiap pilkada

No PNS Harus Netral Jumlah Persentase

1 Mengetahui 79 79%

2 Tidak Mengetahui 13 13%

3 Tidak Menjawab 8 8%

Sumber: Hasil Penelitian Lapangan pada Kecamatan Medan Sunggal 2010

0% 20% 40% 60% 80% 100%

1 2 3

79% 13% 8%

PNS Harus Netral

Dari data yang diperoleh diatas dapat dilihat bahwa mayoritas responden menyatakan mengetahui Peraturan Pemerintah bahwa Pegawai Negeri Sipil harus netral dalam setiap pilkada dengan 79%. Sedangkan 13.% menyatakan bahwa tidak mengetahui peraturan pemerintah bahwa Pegawai Negeri Sipil harus netral dalam setiap pilkada. Sedangkan 8% tidak menjawab.Dari data di atas dapat dilihat bahwa PNS di Kecamatan Medan Sunggal sudah mengetahui tugas fungsi untuk melayani masyarakat bukan sebagai alat kepentingan politik.

Tanpa adanya netralitas birokrasi, Pilkada yang kita harapkan menghasilkan pemimpin pilihan rakyat, justru, terbajak karena prilaku tamak dan rakus kuasa yang diidap birokrasi kita. Semoga praktik yang selama ini kurang netral, baik dalam pengaturan


(43)

kebijakan, penggunaan anggaran dan fasilitas publik-- dihentikan. Agar Kota Medan tidak menjadi kota tanpa peradaban, netralitas kaum birokrat dalam Pilkada menjadi pendorong dan harapan untuk Medan yang berkemajuan.

4. Distribusi Jawaban Peraturan Pemerintah kesanggupan Mengundurkan diri No Harus Mengundurkan Diri Jumlah Persentase

1 Mengetahui 92 92%

2 Tidak Tahu 6 6%

3 Tidak Menjawab 2 2%

92%

6% 2%

0% 20% 40% 60% 80% 100%

1 2 3

Kesanggupan

Mengundurkan Diri

Dari data diatas dapat dilihat bahwa dalam pemilihan Kota Medan 2010 Pegawai Negeri Sipil di Kecamatan Medan Sunggal mengetahui adanya peraturan pemerintah untuk mengundurkan diri dari pegawai negeri jika tebukti terlibat dalam Tim Sukses Calon Walikota. Hal ini dapat dilihat dari jawaban mayoritas responden yang menyatakan dengan 92% tahu tentang peraturan pemerintah yang menyatakan siap mengundurkan diri dari pegawai negeri sipil jika terbukti terlibat dalam tim sukses. Sedangkan 6% menyatakan tidak tahu tentang peraturan pemerintah yang menyatakan siap mengundurkan diri dari pegawai


(44)

negeri sipil jika terbukti terlibat dalam tim sukses calon walikota Medan. Sedangkan hanya 2% menyatakan tidak menjawab.

Seorang PNS berfungsi sebagai abdi negara yang memiliki tiga peran : sebagai alat/aparatur negara, sebagai pelayan publik dan sebagai alat pemerintah. Untuk menyadarkan diri akan fungsi dan peran sebagai PNS sebaiknya seorang PNS memahami betul aturan-aturan tentang PNS dan pilkada. Beberapa ketentuan yang terkait dengan eksistensi PNS dalam pilkada diantaranya : (1) Pasal 3 UU Nomor 43 tahun 1999 tentang Parubahan atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepagawaian, dan (2) Pasal 66 PP 6/2005 dengan jelas pasangan calon dilarang melibatkan PNS. Dengan demikian, setiap PNS perlu mempertimbangkan secara cermat sebelum masuk ke salah satu partai politik. Hal itu mengingat resiko yang ditimbulkan adalah sangat berat yaitu diberhentikan sebagai PNS sesuai dengan surat penegasan Kepala BKN Nomor F.III.26-17/V.151-2/42 tanggal 15 Desember 2003.

5. Distribusi Jawaban Pelarang Menggunakan Anggaran Pemerintah Untuk Pemenangan Calon

No Pelarangan Mengunakan Anggaran Jumlah Persentase

1 Mengetahui 91 91%

2 Tidak Tahu 4 4%


(45)

91%

4%5%

Pelarangan

Menggunakan

Anggaran

Dalam pemilihan calon walikota Medan Tahun 2010 menyatakan ada pelarangan menggunakan anggaran pemerintah untuk kepentingan calon walikota Medan 2010. Hal itu juga terlihat dari jawaban responden yang menyatakan mengetahui pelarangan penggunaan anggaran untuk kepentingan calon walikota dengan 91%. Sedangkan 4% menyatakan tidak mengetahui adanya pelarangan menggunakan anggaran pemerintah untuk kepentingan salah satu calon. Sedangkan 5% tidak menjawab tentang pelarangan penggunaan anggaran pemerintah dalam mendukung calah satu calon.

Bagi parpol, keterlibatan PNS akan amat membantu dan mempermudah pelaksanaan kampanye yang sering terjadi melalui pemanfaatan fasilitas negara (mobil, gedung, dan kewenangan) secara diskriminatif, yang menguntungkan salah satu parpol. Selain itu, di pelosok pedesaan yang mayoritas penduduknya tidak terdidik, figur dan pilihan PNS akan menjadi referensi bagi pilihan masyarakat.

Pertukaran ekonomi politik antara partai/aktor politik dan PNS dalam pemilu tidak saja menguntungkan sisi politik, tetapi juga PNS sendiri. Keberpihakan PNS dalam pemilu kepada parpol/caleg dibutuhkan untuk promosi dan karier jabatan. Dalam sistem birokrasi di Indonesia kini, di mana promosi dan karier jabatan tidak ditentukan oleh kompetensi dan kinerja, tetapi oleh afiliasi politik, netralitas PNS sulit ditegakkan. Hal inilah yang dapat menyumbangkan terjadinya blunder dalam pelaksanaan pilkada.


(46)

6. Distribusi Jawaban Pelarangan Penggunaan Fasilitas Untuk Calon Walikota Medan No Pelarangan Mengunakan

Fasilitas Pemerintah

Jumlah Persentase

1 Mengetahui 78 78%

2 Tidak Tahu 14 14%

3 Tidak Menjawab 8 8%

0% 50% 100%

1 2 3

78% 14% 8%

Pelarangan Menggunakan

Fasilitas Pemerintah

Penggunaan fasilitas yang terkait dengan jabatan untuk pemenangan calon kepala daerah tidak dilakukan oleh pegawai negeri sipil kecamatan Medan Sunggal. Itu terlihat dari mayoritas responden dengan 78% menyatakan mengetahui pelarangan menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya untuk Tim Sukses salah satu calon. Sedangkan 14% menyatakan tidak mengatahui adanya pelarangan menggunakan fasilitas pemeruntah untuk salah satu calon. Dan hanya 8% menyatakan tidak menjawab tentang pelarangan menggunakan fasilitas Negara yang terkait jabatannya untuk salah satu tim sukses.

Biasanya calon incumbent memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan dirinya sendiri. Segala upaya yang dilakukan untuk memperkaya diri atau orang lain. Potensi korupsi calon incumbent bisa juga terlihat dari fasilitas yang digunakan untuk kepentingan kampanye. Sebut saja misalnya gedung yang digunakan serta fasilitas mobil. Itu merupakan fasilitas negara, yang tidak boleh lagi digunakan. Contoh lain soal fasilitas istimewa yang


(47)

diperlakukan bagi calon incumbent ini. Perlakuan demikian, merupakan titik awal terjadinya praktik perampokan uang haram tersebut. Selama masa kampanye, calon incumbent memiliki akses terhadap pelaksanaan regulasi, sehingga sulit membedakan di posisi mana calon incumbent tersebut sedang sebagai calon yang bertindak untuk kepentingannya sendiri, dan sedang melaksanakan tugasnya sebagai kepala daerah.

Dari jawaban ini sekali lagi dapat menegaskan bahwa secara umum normative para PNS di Kec Medan Sunggal mengetahui dan memahami bahwa keikutsertaan termasuk didalammnya penggunaan fasilitas Negara untuk keperluan kampanye sangat dilarang.

7.Distribusi Jawaban Mengenai PNS tidak boleh ikut dalam kampanye No Pelarangan Mengikuti

Kampanye dan Menjadi Tim Kampanye

Jumlah Persentase

1 Mengetahui 77 77%

2 Tidak Tahu 24 24%

3 Tidak Menjawab 9 9%

77% 24%9%

Pelarangan

Mengikuti

Kampanye

Pegawai Negeri Sipil memang tidak diperbolehkan mengikuti kampanye dengan menggunakan seragam dinas. Karena itu menunjukkan bahwa Pegawai Negeri Sipil tidak


(48)

berpihak kepada salah satu calon. Hal ini terlihat dari jawaban responden yang menyatakan mengeahui pelarangan tidak boleh mengikuti kampanye dan terlibat dalam tim kampanye salah satu calon dengan 77%. Sedangkan 24% menyatakan tidak mengetahui pelarangan pegawai negeri sipil mengikuti kampanye dan menjadi Tim Kampanye dalam pilkada Kota Medan tahun 2010. Sedangkan 9% tidak meyatakan pendapat tentang pelarangan mengikuti kampanye dan menjadi tim kampanye dalam pilkada Kota Medan 2010.

Penegasan mengingat hingga saat ini masih banyak pihak yang beranggapan bahwa kalangan PNS dapat mengikuti kegiatan kampanye sebagaimana terjadi pada penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) lalu. “Berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004 tersebut, PNS, Polri dan TNI dilarang mengikuti kampanye Pilkada karena penyelenggaraan Pilkada tidak mengacu pada UU Nomor 10 tahun 2007 tentang Pileg dan Pilpres,” ungkap Puspaningrum ketika dimintai tanggapan wartawan terkait prokontra keterlibatan PNS dalam Pilkada. UU Nomor 10 tahun 2007 hanya mengatur tentang Pileg dan Pilpres yang membolehkan PNS mengikuti kegiatan kampanye.

Dalam UU Nomor 10 tahun 2007 tersebut memang tidak dilarang PNS mengikuti kampanye, karena dalam undang-undang itu hanya mengatur tentang penggunaan fasilitas negara untuk kampanye, tidak ada larangan secara spesifik PNS mengikuti kegiatan kampanye. Untuk Pilkada, digunakan UU Nomor 32 tahun 2004 pada pasal 79 ayat 4 yang menyebutkan dengan tegas bahwa PNS dilarang mengikuti kampanye pemililhan umum (Pemilu).


(49)

8. Distribusi Jawaban Memberikan Dukungan Kepada Calon dalam Kampanye No Memberi Dukungan

Kepada Calon Pilkada Dalam kampanye

Jumlah Persentase

1 Mengetahui 81 81%

2 Tidak Tahu 12 12%

3 Tidak Menjawab 7 7%

81%

12%

7%

Memberikan Dukungan

Kepada Calon Dalam …

Pegawai Negeri Sipil memang harus dituntut netral dalam setiap pemilu. Karena Pegawai Negeri Sipil adalah pamong rakyat yang bertugas untuk melayani rakyat bukan melayani kepentingan politik. Dalam hal pilkada Kota Medan 2010, Pegawai Negeri Sipil sudah menyadari bahwa pentingnya netralitas birokrasi. Hal ini dapat dilihat bahwa mayoritas Pegawai Negeri Sipil Kecamatan Medan Sunggal menyatakan tidak member dukungan dalam kampanye Pilkada Kota Medan kepada salah satu calon dengaan 81%. Tetapi masih ada juga Pegawai Negeri Sipil yang member dukungan kepada salah satu calon dalam kampanye dengan 12%. Sedangkan 7% menyatakan tidak menjawab tentang dukungan kepada calon dalam kampanye Pilkada Kota Medan.

Posisi PNS pada Pemilukada kali ini mempunyai nilai tawar yang sangat tinggi. Mendasari UU 32/ 2004 bahwa yang dilarang PNS menjadi tim dan pelaksanaan kampanye,


(50)

datang ditempat kampanye di saat jam kerja, mengenakan atribut PNS. PNS dilarang memberikan dukungan terhadap bakal calon . Hal itu mendasar Surat Edaran Men PAN, yang isinya antara lain melarang PNS terlibat aktif dalam penyelenggaraan pemilu.

9. Distribusi Jawaban Kebijakan Menguntungkan Calon Kepala Daerah Kota Medan No Kebijakan Yang

Menguntungkan

Jumlah Persentase

1 Tidak 88 88%

2 Ada 8 8%

3 Tidak Menjawab 4 4%

88 8

4

Memberikan Dukungan

Kepada Calon Dalam …

Keuntungan dari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh birokrasi kepada calon kepala daerah akan memberikan suatu kesan kepada masyarakat bahwa tidak terjadinya netralitas birokrasi. Tapi ini tidak terjadi di Pemerintahan kecamatan Medan Sunggal yang tidak memberikan suatu kebijakan yang menguntungkan kepada calon walikota. Hal ini terlihat dari jawaban responden yang mayoritas menyatakan tidak membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan salah satu calon untuk memenangkan calon tertentu dengan 88%. Sedangkan 8% menyatakan membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan calon kepala daerah. Dan hanya 8% menyatakan tidak tahu kebijakan-kebijakan yang menguntungkan salah satu calon dalam pemenangan pilkada Kota Medan.


(51)

Posisi incumbent diakui sangat menguntungkan bagi kandidat. Keuntungan bagi incumbent yang bisa digunakan secara idak sah atau (paling tidak) secara tidak etis pada pelaksanaan Pilkada adalah:

1. Kepala Daerah yang sedang berkuasa dapat memanfaatkan program-program dan anggaran pemerintah (baik dari pusat maupun daerah untuk mengkapitalisasi popularitasnya.

2. Memanfaatkan relasi dengan pejabat pusat dan pejabat daerah serta dengan aparat birokrasi di bawahnya (termasuk kepala dinas, camat, hingga lurah/kepala desa). Jadi seluruh hubungan vertikal maupun horizontal bisa dijadikan modal.

3. Potensi penyimpangan menjadi demikian terbuka karena tidak tegasnya ketentuan mengenai kampanye (terutama mengenai kampanye sebelum waktunya) serta sanksi bagi pelanggarnya. Sebelum tahapan kampanye yang ditentukan KPUD, incumbent akan dengan leluasa melakukan berbagai kegiatan untuk “kampanye” dengan berbagai dalih.

4. Kurang memadainya ketentuan perundang- undangan akan membuat penyimpangan dalam perolehan dan penggunaan dana kampanye serta money politics menjadi semakin meluas.

10. Distribusi Jawaban Arahan ada untuk memilih calon tertentu No Arahan Untuk

Memenangkan

Jumlah Persentase

1 Ya 0 0%

2 Tidak 99 99%


(52)

Pegawai Negeri Sipil Kecamatan Medan Sunggal tidak mendapatan arahan atau perintah untuk mendukung atau memenangkan calon tertentu. Itu terlihat dari jawaban di atas yang menyatakan 99% menyatakan tidak mendapatkan arahan atau perintah untuk mendukung dan memenangkan calon tertentu baik langsung ataupun tidak langsung. Sedangkan 1% menyatakan tidak tahu apakah ada perintah atau larangan untuk memenangkan calon tertentu.


(53)

Analisa Data

Netralitas birokrasi menjadi barang mahal dalam setiap pelaksanaan pilkada. Potensi pelanggaran atas netralitas birokrasi muncul dari ketentuan yang tidak tegas menyangkut para pejabat negara atau pemerintahan yang terlibat dalam pilkada. UU No. 32 Tahun 2004 tidak secara tegas melarang pejabat negara. Pasal 79 Ayat (1) menyebutkan pelarangan terhadap: hakim di semua jenis dan tingkatan peradilan; pejabat BUMN/BUMD; pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri; dan kepala desa.

Tidak adanya aturan tegas mengenai keterlibatan pejabat negara dalam hal ini pimpinan lembagalembaga negara menyebabkan kampanye pilkada selalu menjadi ajang ketokohan figur nasional yang berafiliasi kepada partai politiknya masing- masing. Hal ini menyebabkan terjadinya bias profesionalisme dan independensi pejabat publik/ pejabatan negara di hadapan masyarakat. Padahal seyogiyanya mereka harus mengatasi segala perbedaan di dalam masyarakat. Mereka seharusnya telah menjadi milik masyarakat dan bertugas hanya untuk melayani masyarakat.

Di samping itu, potensi pelanggaran netralitas birokrasi terdapat pada kondisi di suatu daerah yang kepala daerah menjabat (incumbent) ikut maju dalam pilkada. Berdasarkan beberapa data peluang incumbent untuk meraih kemenangan dalam pilkada sangat besar. Permasalahan tentu timbul jika ternyata kemenangan yang diraih para incumbent dilakukan dengan memanfaatkan jabatannya secara tidak adil dan amanah.

Adalah sangat wajar jika pejabat yang sedang menjabat mengerahkan segenap daya upaya ternasuk dalam hal pengerahan unsur birokrasi yang berada di bawahnya untuk sama-sama memenangkan Pemilukada. Yang menjadi permasalahan adalah bila unsur pegawai di tingkat bawah misal pegawai kelurahan menolak perintah lurah maka tentu saja membahayakan posisi pegawai tersebut.


(54)

Posisi semacam ini sebenarnya menjadi rentan bila kita berbicara tentang pemilukada dan netralitas birokrasi tersebut. Akan sangat mustahil diharapkan munculnya netralitas birokrasi dengan situasi yang tidak mendukung terciptanya independensi birokrasi saat ini.

Terkait dengan potensi pelanggaran calon incumbent damal Pemilu Menurut Topo Santoso, paling tidak, terdapat empat jalan potensi pelanggaran yang dapat dilakukan oleh para calon incumbent. Pertama, kepala daerah yang sedang berkuasa dapat memanfaatkan program-program dan anggaran pemerintah (baik dari pusat maupun daerah) untuk mengkapitalisasi popularitasnya. Memang program-program pembangunan itu sudah diatur. Jadi yang dilakukan hanya “mendompleng” secara cerdas sehingga rakyat memuji, ia berjasa memajukan daerahnya. Masyarakat yang kritis seharusnya tidak terpengaruh sebab bukankah sudah seharusnya pemerintah melakukan tugas-tugas menyejahterakan rakyat? Mengapa upaya itu tidak dilakukan sejak dulu? Pemanfaatan program dan anggaran daerah juga terlihat dari banyaknya poster, spanduk, dan iklan incumbent mengatasnamakan kepala daerah dengan dalih kampanye, publikasi atau sosialisasi program daerah. Dan tentu saja hal tersebut dilakukan dengan menggunakan kas APBD.

Kedua, memanfaatkan relasi dengan pejabat pusat dan daerah serta dengan aparat birokrasi di bawahnya (termasuk kepala dinas, camat, hingga lurah/kepala desa). Jadi seluruh hubungan vertikal maupun horizontal bisa dijadikan modal. Hubungan berlandaskan administrasi pemerintahan seperti itu tidak dimiliki para pesaing. Ini akan diperparah jika sudah ada keberpihakan dari pejabat pusat dan daerah kepada sang kepala daerah.18 Penyimpangan harus lebih diperhatikan terjadi di daerah-daerah yang dominasi satu partai politik amat besar (meski bisa terjadi di daerah yang konfigurasi politik lebih seimbang). Termasuk dalam konteks ini adalah pemanfaatan (atau penyalahgunaan) hubungan melalui forum “muspida”. Banyak dugaan penyimpangan jenis ini sudah dan akan mewarnai tahapan pilkada, misalnya, pemilihan pelaksana teknis pemilihan, seperti anggota PPK, PPS, dan


(1)

menjadi Pengurus Partai Politik (politik Praktis), sedangkan netralitas disini juga harus jelas, karena PNS masih memiliki hak pilih, tentunya untuk menentukan hak pilih dalam mewujudkan Pemimpin Pilihan rakyat, seorang PNS akan memberikan dan mempoengaruhi nilai suara yang akan diberikan, tentunya PNS diberi hak untuk mengetahui figur balon yang memenuhi sebagai Pemimpin Pilihan Rakyat.

Namun kalau sekiranya seorang PNS yang menjadi calon Kepala atau Wakil Kepala Daerah, mereka harus mundur semenjak mereka sudah intens dengan Partai Politik dalam rangka lobi, karena sudah masuk PNS wilayah politik Praktis, kenyataan ini banyak terjadi pada saat ini, dan ini perlu diberi sanksi, sehingga jangan terjadi “maling teriak maling “ : Kejadian sudah banyak terjadi PNS korban penguasa “Bayangkan ketika seorang PNS berbicara tentang pilkada, tak diperkenankan, diintimidasi, kesannya kegiatan politik sangat-sangat dilarang bagi PNS,” Padahal yang perlu diluruskan, pelarangan bagi PNS hanya dimaksudkan bagi kegiatan politik praktis. “Jangan salah kaprah, ketahuan berbicara masalah pilkada malah dimutasi, berbicara masalah pilkada kemudian disanksi.

Dari hasil penelitian tentang netralitas birokrasi dapat disimpulkan bahwa secara normative para PNS di Kecamatan Medan Sunggal secara peraturan normative memahami sosialiasasi aturan tentang perlunya netralitas aparat birokrasi dalam ajang politik seperti Pemilu. Dan dari hasil penelitian didapati bahwa secara mayoritas PNS kecamatan Medan Sunggal sudah melakukan netralitas dalam Pemilukada Medan tahun 2010 dengan persentase 81 % yang tidak ikut mendukung secara real dalam usaha pemenangan salah satu calon walikota Medan.

Tetapi ada satu hal yang mungkin perlu di teliti lebih lanjut adalah bahwa tidak bisa menemukan data yang valid tentang keterlibatan mereka secara pasti dengan metode kuisioner seperti penelitian yang penulis lakukan. Karena mendukung atau tidak mendukung tu terkait dengan kerahasian mereka.


(2)

4.2..Saran

Adapun saran dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Mengkondisikan terwujudnya keadaan good governance atau tata kelola negara atau instrumen eksekutif yang berjalan profesional dan berbasis kompetensi. Jika nepotisme dipergunakan kalangan tertentu (berlatar kesamaan etnis, agama, almamater) dalam rekruitmen, perasaan tidak puas akan menggunung. Manejemen rekruitmen yang berbasis keterwakilan etnis multikultural dan keahlian profesionalisme akan menghasilkan dukungan legitimasi yang tinggi dalam suatu negara yang bermasyarakat plural.

2. Prasyarat suatu pemerintahan yang kompeten untuk Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik, memiliki antara lain mampu mengadakan: (a). Informasi akurat; (b). Diagnosa yang benar; (c). Otoritas dan legitimasi yang memadai; d). Punya kemampuan prediktif dan anti-sipatif; (e). Bisa melakukan pengobatan atau penanganan keadaan yang tepat; (f). Mampu mengatasi dampak ikutan suatu kebijakan atau keadaan.

3. Birokrasi Indonesia perlu punya kriteria „a man who knows the way, shows the way and goes the way‟. Berusaha utnuk mengetahui jalan atau cara yang akan ditempuh publik, menunjukannya ke publik dan ikut menjalankannya bersama publik. Korporat yang mau memikirkan perbaikan nasib generasi men-datang...insight and vision for now and fututre generations. Memajukan aspek keteladanan (leadership) dan meng-hormati hukum (rule of law) dalam segala hal, termasuk dalam persoalan menjaga integritas bangsa.

4. Birokrasi Indonesia perlu dilandasi oleh aspek-aspek moralitas dan pembelaan terhadap HAM. yang memotivasi rakyatnya untuk membangun dirinya dan menjadikannya mitra sejajar. Prinsip good governance Birokrasi Indonesia hendaknya


(3)

bermuara ke “good living for public. Seperti ungkapan Cicero “sales patriae suprame lex”: kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi.

5. Salah satu contoh praktik pemerintahan yang baik adalah adanya transparansi dan pertanggungjawaban terhadap masya-rakat (public accountibility) misalnya menjelaskan berapa penerimaan pajak dari masyarakat dan untuk apa saja dana itu telah digunakan yang diumumkan lewat media publik. Adanya perhatian terhadap dinaikkannya anggaran pendidikan untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang akan mengelola potensi kemanusiaan yang ada.

6. Pegawai Negeri Sipil dalam tiap tingkatan harus benar-benar mendapat pengawasan yang menyuluruh untuk menjamin netralitasnya tetap terjaga sehingga pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dapat berjalan optimal sekaligus dapat menghindakan konflik diantara aparatur birokrsai.

7. Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri, Pegawai Negeri tidak hanya dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik namun juga ikut terlibat dalam ajang-ajang pemilu apapun kontribusinya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Anshori, A. Isa. 1994. “Netralitas Birokrasi”. Makalah disampaikan dalam Seminar Dikotomi Politik dan Administrasi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Blau, Peter M, Meyer ,Marshall W. (1987), Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Jakarta: ill-Press

Buchori, Mochtar, 1982, Pola Tingkah Laku Birokrasi sebagai Akibat Pengaruh Kebudayaan, dalam Prisma, 6 Juni 1982

Budi Santoso Priyo, 1997, Birokrasi Pemerintah Orde Baru : Perspektif Kultural dan Struktural,Edisi I, Cetakan Ketiga, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta

Carino, Ledivina V., 1994, Bureaucracy for Democracy, the dynamics of executive bureaucracy interaction during governmental transitions, College of Public Administration, University of the Philippines.

Denhardt, Ribert, 1984, Theorities of Public Organizations, Monterey, CA: Brook/Cole Publishing Company

Hikam, Muhammad AS. (1991), Negara Otoriter Birokratik dan Redemokratisasi: Sebuah Tinjauan Kritis dan Beberapa Studi Kasus, dalam Jurnal IImu Politik No 8, Jakarta: AIPI-LIPI

Hill, Larry B.(Edt.) 1992,The State of Public Bureaucracy, ME Sharpe, Inc., Armonk, New York

Islamy, Muh.Irfan, 1998, Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi Negara, Malang, Fakultas Ilmu Administrasi-Universitas Brawijaya.


(5)

Jackson, Karl D and Pye, Lucian W (1987), Political Power and Comunications in Indonesia, California: University of California Press.

Karyasapoetra, G, 1994, Debirokratisasi dan Deregulasi, Jakarta: Rineka Cipta

Levine,.Charles..H, Peters.Guy.8, & Thompson. Frank.J (1990), Public Administration: challenges, Choices, Consequences, Glenview: illinois London: A Division of Scott, Foresman and Company,

Muhaimin, Yahya, Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia, Prisma No.10 edisi Oktober, 1990

Nawawi, Hadari. 1987. Metodologi Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Osborne David, Gaebler Ted (1995), Mewirausahakan Birokrasi, Jakarta: PT Teruna Grafica Press

Redford Emmette S., 1969, Democrcay in the Administrative State, Oxford University Press, New York,

Thoha, Miftah. 2004. “Birokrasi dan Politik di Indonesia”. Cetakan ke 3. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.

Watson, Tony J. .1980. “Sociology, Work and Industry”. Routledge. ISBN 0 415-32165-4:

UNDANG-UNDANG

UU No 22 Tahun 1999

UU No 32 Tahun 2004


(6)

WEBSITES

www.wikipedia.jumlah birokrasi,/html www.lsi.or.id