Hubungan Terapeutik Perawat-Pasien Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar.

(1)

SKRIPSI

HUBUNGAN TERAPEUTIK PERAWAT-PASIEN TERHADAP

TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI IRNA C

RSUP SANGLAH DENPASAR

OLEH:

NI MADE ARTINI

NIM. 1302115010

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

HUBUNGAN TERAPEUTIK PERAWAT-PASIEN TERHADAP

TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI

RUANG IRNA C RSUP SANGLAH DENPASAR

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH :

NI MADE ARTINI

NIM. 1302115010

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

(4)

(5)

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul

“Hubungan Terapeutik Perawat-Pasien terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan saya kesempatan menuntut ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar. 2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS. AIF. selaku Ketua PSIK Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana Denpasar yang memberikan pengarahan dalam proses pendidikan.

3. DR. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes. selaku Direktur RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan kesempatan melakukan penelitian pada instansi yang dipimpin.

4. Ns. Ni Ketut Guru Prapti, S.Kep., MNS. sebagai pembimbing utama yang telah memberikan bantuan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

5. Ns. I Gusti Ngurah Putu, S.Kep sebagai pembimbing pendamping yang telah memberikan bantuan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu. 6. Ayahanda I Made Suintara (Alm.), Ibunda Ni Nengah Sunarti, serta yang


(7)

vi

secara moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Teman-teman angkatan 2013 program S-1 Keperawatan, terima kasih atas dukungan dan bantuannya.

8. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan kritik yang membangun.

Akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Denpasar, Februari 2015


(8)

ABSTRACT

Artini, Ni Made. 2015.The Relation of Therapeutic Nurse-Patient to the Anxiety Level of

Pre-Operation’s Patients in IRNA C RSUP Sanglah Denpasar. Undergraduate thesis, Nursing Departement, Faculty of Medicine, Udayana University, Supervisor (1) Ns. Ni Ketut Guru Prapti S.Kep., MNS; (2) Ns. I Gusti Ngurah Putu, S.Kep.

Operation is the one form of therapy and attempts to bring a threat tothe body, integrity, andsoul. Patients are often not satisfied with the quality and quantity of information that patients receive from health workers, and a lack of communication between the hospital staff to patients is the one of reasons the complaints of patients at the hospital. This study aims to determine therelation of therapeutic nurse-patient to theanxiety level of pre-operation’s patient. This study was a cross-sectional study to therelation of therapeutic nurse and patient anxiety levels, data analysis usingRank Spearman Correlationstatistical test with significance levelα ≤0.01. The study population were the patients in IRNA C RSUP Sanglah Denpasar, amounting to 45 people. Data was collected using a questionnaire. The results showed, there are significant relation of therapeutic and patient's anxiety level with p=0.000 atsignificance level α ≤0.01 and a correlation coefficient -0.895.The further research is expected to have a more in-depth study on the implementation of the therapeutic nurse.


(9)

vii

ABSTRAK

Artini, Ni Made. 2015. Hubungan Terapeutik Perawat-Pasien Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar. Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Denpasar. Pembimbing (1) Ns. Ni Ketut Guru Prapti S.Kep., MNS; (2) Ns. I Gusti Ngurah Putu, S.Kep.

Tindakan pembedahan atau operasi merupakan salah satu bentuk terapi dan upaya yang dapat mendatangkan ancaman terhadap tubuh, integritas dan jiwa seseorang. Pasien sering tidak puas dengan kualitas dan jumlah informasi yang pasien terima dari tenaga kesehatan, serta kurangnya komunikasi antara staf rumah sakit dengan pasien merupakan salah satu alasan keluhan umum pasien di rumah sakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan terapeutik perawat-pasien terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi. Penelitian ini merupakan penelitian crossectionaluntuk mencari hubungan terapeutik perawat dan tingkat kecemasan pasien menggunakan uji statistikRank Spearman Correlation

dengan derajat kemaknaan α ≤ 0,01. Populasi penelitian adalah pasien di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar yang berjumlah 45 orang. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara komunikasi perawat dengan tingkat kecemasan keluarga dengan nilaip= 0,000 pada derajat kemaknaanα ≤ 0,01 dan koefisien korelasi – 0,895. Penelitian mendatang diharapkan ada penelitian yang lebih mendalam tentang pelaksanaan hubungan terapeutik perawat.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...i

PERYATAAN KEASLIAN TULISAN ...ii

HALAMAN PERSETUJUAN...iii

HALAMAN PENGESAHAN ...iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK...vii

ABSTRACT...viii

DAFTAR ISI...ix

DAFTAR TABEL ...xi

DAFTAR GAMBAR ...xii

DAFTAR LAMPIRAN ...xiii

DAFTAR SINGKATAN ...xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Hubungan Terapeutik ... 8

2.1.1 Pengertian Hubungan Terapeutik ... 8

2.1.2 Tujuan Hubungan Terapeutik ... 8

2.1.3 Tahapan Hubungan Terapeutik ... 9

2.1.4 Komponen Hubungan Terapeutik ... 11

2.1.5 Pengukuran Hubungan Terapeutik ... 16

2.2 Komunikasi Interpersonal ... 16

2.3 Persiapan Tindakan Operasi ... 19

2.3.1 Persiapan Mental ... 20

2.3.2 Persiapan Fisik... 21

2.3.3 Persetujuan Tindakan Medik ... 21

2.4 Konsep Kecemasan ... 21

2.4.1 Pengertian Kecemasan... 21

2.4.2 Rentang Respon Cemas ... 22

2.4.3 Tingkat Kecemasan ... 23

2.4.4 Faktor Pencetus Kecemasan ... 25

2.4.5 Dampak Kecemasan ... 25

2.4.6 Pengukuran Kecemasan... 26

2.4.7Hubungan Terapeutik Perawat-Pasien dan Tingkat Kecemasan Pasien ... 28


(11)

x

3.2 Variabel Penelitian... 32

3.3 Definisi Operasional Penelitian ... 32

3.4 Hipotesis ... 36

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian ... 37

4.2 Kerangka Kerja... 38

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian... 38

4.4 Populasi, Sampel dan Sampling ... 39

4.5 Pengumpulan Data... 40

4.6 Teknik Pengolahan dan Analisa Data... 46

4.7 Masalah Etika ... 47

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian... 49

5.2 Pembahasan Hasil Penelitian... 57

5.3 Keterbatasan Penelitian ... 62

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 63

6.2 Saran ... 63 DAFTAR PUSTAKA


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1 Variabel dan Definisi Operasional Penelitian...33 Tabel 5.1 Distribusi Frekwensi Pelaksanaan Hubungan Terapeutik ...53 Tabel 5.2 Distribusi Frekwensi Tingkat Kecemasan ...54 Tabel 5.3 Tabel Silang Hubungan Terapeutik Perawat-Pasien Terhadap

Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi ...55 Tabel 5.4 Hasil UjiRank Spearman...56


(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 : Rentang Respon Adaptif dan Maladaptif ...22

Gambar 3.1: Kerangka Konseptual Penelitian...30

Gambar 4.1 : Rancangan Penelitian...37

Gambar 4.2 : Kerangka Kerja Penelitian ...38

Gambar 5.1 : Distribusi Frekwensi Jenis Kelamin ...51

Gambar 5.2 : Distribusi Frekwensi Umur...51

Gambar 5.3 : Distribusi Frekwensi Tingkat Pendidikan...52


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Jadwal Penelitian Lampiran 2 : Anggaran Penelitian

Lampiran 3 : Lembar Permohonan Menjadi Responden Lampiran 4 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 5 : Form Pengumpulan Data

Lampiran 6 : Lembar Uji Validitas Lampiran 7 : Lembar Uji Reliabilitas Lampiran 8 : Lembar Master Tabel

Lampiran 9 : Lembar Distribusi Frekuensi Lampiran 10 : Lembar Analisa Korelasi Lampiran 11 : UjiSpearman Rank

Lampiran 12 : Surat Permohonan Ijin Pengambilan Data Awal

Lampiran 13 : Surat Permohonan Ijin Penelitian dan Pengambilan Data Lampiran 14 : Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian

Lampiran 15 : Ethical Clearance


(15)

xiv

DAFTAR SINGKATAN

DASS : Depression Anxiety Stress Scale HARS : Halmiton Anxiety Rating

MRS : Masuk Rumah Sakit WHO : World Healt Organization


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bagi sebagian besar pasien, masuk rumah sakit karena sakitnya dan harus menjalani rawat inap adalah sesuatu yang membuat mereka cemas. Faktor kecemasan ini dipicu karena minimalnya informasi yang diterima pasien dari tenaga kesehatan dalam upaya menyembuhan penyakit yang dideritanya. Prosedur pengobatan dapat menimbulkan kecemasaan yang tinggi biasanya adalah prosedur pengobatan dengan operasi atau pembedahan. Tindakan operasi dilakukan untuk mengobati kondisi yang sulit dan tidak mungkin disembuhkan hanya dengan obat-obat sederhana (Potter & Perry, 2005).

Gunawan (2007) (dikutip dari Lyre 2004) mengemukakan bahwa tindakan pembedahan merupakan salah satu bentuk terapi dan upaya yang dapat mendatangkan ancaman terhadap tubuh, integritas dan jiwa seseorang. Tindakan pembedahan yang direncanakan dapat menimbulkan respon fisiologis dan psikologis pada pasien. Menurut Potter dan Perry (2005) selama mengalami pembedahan klien akan mengalami berbagai stressor. Ketakutan atau kecemasan pasien dalam menghadapi pembedahan antara lain adalah takut nyeri, takut terjadi perubahan fisik, menjadi buruk rupa atau tidak berfungsi normal (body image), takut peralatan pembedahan dan petugas, takut tidak sadar lagi setelah dibius, takut operasi gagal.


(17)

2

Berdasarkan data WHO (2007), hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat pada 1 Oktober 2003 sampai 30 September 2006 menunjukan dari 35.539 pasien bedah yang dirawat di unit perawatan intensif, terdapat 8.922 pasien (25,1%) mengalami kondisi kejiwaan dan 2,473 pasien (7%) mengalami kecemasan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan diberbagai rumah sakit di Indonesia diketahui berbagai hal penting mengenai angka kejadian kecemasan dan stres pada pasien pre operasi. Salah satunya adalah penelitian Wijayanti (2009), di RSUD Dr. Soeraji Tirto Negoro Klaten Jawa Tengah ditemukan bahwa 20 (64,5%) pasien mengalami stres ringan dan 11 (35,5%) pasien mengalami stres berat.

Kecemasan dapat menimbulkan hambatan dalam tugas dan kehidupan sehari-hari klien dan menimbulkan berbagai gangguan. Menurut Efendi (2008) (dikutip dari Mohamad 1989) hasil penelitian tim dokter dan ahli psikologis mengenai penyebab penundaan operasi pada pasien, menyimpulkan sebanyak 42% dari 200 pasien yang diamati melakukan penundaan operasi karena faktor psikologis, psikodinamis, dan emosional sebelum operasi.

Menurut Stuart dan Sundeen (1998) kecemasan dapat menimbulkan beberapa gangguan psikologis antara lain bibir terasa kering, merasa kesulitan bernafas, merasa dalam suasana yang tidak nyaman, berkeringat meskipun cuaca tidak panas, jantung bedebar-debar, merasa sulit menelan, gemetar dan ketakutan. Apabila gangguan yang terjadi tidak diatasi dapat berpengaruh dalam memberikan asuhan keperawatan yang tepat dari perawat kepada pasien (Potter & Perry, 2005)


(18)

3

Berbagai hal diduga sebagai pemicu terjadinya kecemasan selain kurangnya pengetahuan. Ellis (2000) menambahkan kecemasan pasien bisa disebabkan oleh (1) kurangnya kesadaran diri perawat, (2) kurangnya pelatihan keterampilan interpersonal yang sistematik, (3) kurangnya kerangka konseptual dan, (4) kurangnya kejelasan tujuan.

Untuk mengatasi kecemasan pasien yang akan menjalani operasi salah satunya adalah dengan pemberian informasi melalui informed consent tentang tindakan persiapan dan kejadian-kejadian yang akan dialami oleh pasien selama dan setelah operasi. Berdasarkan hasil penelitian Dewi, Suarniati, dan Ismail (2013) di ruang perawatan bedah RSUD kota Makasar pada bulan Januari - Februari 2013 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh komunikasi terapeutik terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien. Hasil penelitian tersebut menunjukkan 27 orang (60,7%) memiliki respon baik setelah diberikan intervensi komunikasi teraupetik.

Salah satu instalasi perawatan bedah kelas III di RSUP sanglah adalah IRNA C, disinilah sebagian besar dilakukan intervensi untuk pasien yang akan menjalani tindakan operasi. Ruangan yang termasuk dalam IRNA C terdiri dari ruang Angsoka 1, Angsoka 2, Angsoka 3, dan Kamboja. Jenis operasi yang dilaksanakan terdiri dari operasi minor dan operasi mayor. Jenis operasi minor terbanyak terdiri dari operasi mata, pemasangan dobel lumen, biopsy dengan anastesi lokal. Jenis operasi mayor yang terbanyak terdiri dari mastektomi, colostomy, laparatomy. Jumlah rata-rata pasien yang akan dilakukan tindakan


(19)

4

Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti awal Desember 2014 di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar, salah satunya adalah ruang Angsoka 3 ditemukan data terjadi tujuh kasus penundaan dan pembatalan tindakan operasi. Dalam buku register ruangan menunjukkan hal tersebut terjadi karena keadaan tiga kasus belum tersedianya alat ventilator dan empat kasus lainnya dikarenakan pasien menyatakan takut masuk ruang operasi. Peneliti melakukan wawancara kepada lima pasien yang akan menjalani tindakan operasi yang sudah mendapatkan penjelasan sebelumnya terkait prosedur dan tindakan yang akan dilakukan. Hasil menunjukan dua pasien yang akan menjalani operasi mayor mengatakan mengalami cemas berat dikarenakan takut peralatan pembedahan, petugas, dan takut operasi gagal. Tiga pasien lainnya yang akan menjalani operasi minor, dua diantaranya mengatakan cemas sedang karna takut pembiusan, dan satu pasien lagi mengalami cemas ringan.

Dalam memberikan pelayanan yang baik kepada pasien, IRNA C memiliki ketetapan standar informed consent. Informed consent digunakan oleh tim kesehatan untuk memberikan informasi serta penjelasan terperinci terkait dengan berbagai tindakan yang akan dilakukan kepada pasien selama masa perawatan (Sudarminta, 2001). Setelah pasien mendapatkan informasi dan penjelasan yang lengkap diharapkan pasien bisa mengambil keputusan yang tepat untuk proses kesembuhannya. Asumsi perawat, kecemasan pasien yang akan menjalani operasi disebabkan karena ketidaktahuan atau minimnya informasi yang didapat oleh pasien terkait prosedur operasi yang akan dijalani. Maka dari itu selain sebagai media pemberian informasi kepada pasien terkait segala tindakan yang akan


(20)

5

diberikan selama perawatan, di IRNA C infomerd consent digunakan oleh perawat untuk mengatasi kecemasan pasien yang akan menjalani operasi.

Namun pelaksanaan pemberian informed consent di IRNA C belum berhasil optimal, karena kecemasan pasien yang akan menjalani operasi masih merupakan masalah dalam perawatan pre operasi. Menurut Ley (1992), menyatakan 35-40% pasien sering tidak puas dengan kualitas dan jumlah informasi yang pasien terima dari tenaga kesehatan, serta kurangnya komunikasi antara staf rumah sakit dengan pasien merupakan salah satu alasan keluhan umum pasien di rumah sakit (dikutip oleh Smet, 2004). Menurut Widodo, Arif (2004) apabila informasi sebelum operasi yang diberikan atau dijelaskan kepada pasien kurang jelas atau sulit dimengerti pasien maka kecemasan pasien akan semakin tinggi.

Hubungan terapeutik perawat-pasien adalah hubungan kerja sama yang ditandai tukar-menukar prilaku, perasaan, pikiran, dan pengalaman dalam membina hubungan yang erat yang terapeutik (Stuart & Sundeen 2007). Komunikasi terapeutik merupakan salah satu pelaksanaan dari hubungan terapeutik yang baik antara perawat dengan pasien. Dalam komunikasi terapeutik diharapkan perawat dapat hadir secara fisik maupun psikologis. Menurut Truax, Carkhoff, dan Benerson (dikutip dari Stuart & Sundeen 1987), kehadiran perawat secara psikologis terdiri dari dimensi respon dan dimensi tindakkan, kedua komponen tersebut sebagai salah satu dasar penilaian apakah perawat telah membentuk hubungan terapeutik yang baik untuk mengatasi masalah pasien khususnya


(21)

6

Apabila hubungan terapeutik perawat-pasien tidak diaplikasikan akan berdampak negatif bagi mutu pelayanan keperawatan di rumah sakit serta akan menimbulkan ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan. Untuk dapat meningkatkan kepercayaan diri pasien dalam menghadapi suatu tindakan operasi, maka hubungan perawat-pasien perlu dibangun agar pasien dapat memilih alternatif coping yang positif bagi dirinya sehingga kecemasan pre operasi dapat diminimalisir (Hastuti, 2005).

Dari pemikiran dan fenomena diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan terapeutik perawat-pasien dengan tingkat kecemasan pasien, khususnya pada pasien sebelum dilakukan operasi di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan

pada penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan antara terapeutik

perawat-pasien terhadap tingkat kecemasan perawat-pasien pre operasi di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar?”.

1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum :

Untuk mengetahui hubungan terapeutik perawat-pasien terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar.


(22)

7

1.3.2 Tujuan khusus :

1) Mengidentifikasi hubungan terapeutik yang dilakukan perawat kepada pasien di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar.

2) Mengidentifikasi tingkat kecemasan pasien pre operasi di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar.

3) Menganalisa hubungan terapeutik perawat-pasien terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar.

1.4 Manfaat penelitian

Adapun manfaat penelitian adalah : 1.4.1 Teoritis

1) Pengembangan ilmu keperawatan pre operasi, khususnya dalam hal pelaksanaan hubungan terapeutik dalam menurunkan tingkat kecemasan pasien pre operasi.

2) Sebagai acuan ataupun sumber informasi untuk pelaksanaan penelitian selanjutnya.

1.4.2 Praktis

1) Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi perawat dalam melaksanakan hubungan terapeutik pada pasien yang dirawat di IRNA C.

2) Diharapkan penelitian ini memberikan informasi kepada perawat di IRNA C tentang pentingnya hubungan terapeutik perawat-pasien sebelum


(23)

(24)

8

BAB II TINJAUAN TEORI

Dalam tinjauan teoritis ini akan dibahas tentang konsep dasar hubungan terapeutik, komunikasi interpersonal, persiapan tindakan operasi dan kecemasan.

2.1. Konsep Hubungan terapeutik 2.1.1 Pengertian

Hubungan terapeutik adalah kemampuan seseorang melakukan suatu interaksi atau mengkomunikasikan perkataan, perbuatan, atau ekspresi yang memfasilitasi proses penyembuhan (Stuart dan Sundeen,1995). Hubungan terapeutik perawat-pasien adalah pengalaman belajar bersama dan pengalaman untuk memperbaiki emosi pasien. Pengertian lain menurut Liliweri (2008 ) komunikasi dalam hubungan terapeutik berkaitan dengan proses pertukaran pengetahuan, meningkatkan konsesus, mengidentifikasi aksi-aksi yang berkaitan dengan kesehatan yang mungkin dapat dilakukan secara efektif. Dalam hubungan ini perawat memakai diri sendiri dan teknik pendekatan yang khusus dalam bekerja dengan pasien untuk memberikan pengertian dan merubah prilaku pasien (Machfoedz, 2009).

2.1.2 Tujuan Hubungan Terapeutik

Hubungan terapeutik perawat – pasien bertujuan untuk perkembangan pasien (Nurjanah, 2005) yaitu :


(25)

9

c. Kemampuan untuk membina hubungan erat, interdependen, pribadi dengan kecakapan menerima dan memberi kasih sayang.

d. Kemampuan untuk membentuk suatu keintiman dan saling ketergantungan. e. Mendorong fungsi dan meningkatkan kemampuan terhadap kebutuhan yang

memuaskan dan mencapai tujuan pribadi yang realistik.

2.1.3 Tahapan Hubungan Terapeutik

Dalam proses, perawat membina hubungan sesuai tingkat perkembangan pasien dalam menyadari dan mengidentifikasi masalah dan membantu memecahkan masalah. Tahapan hubungan terapeutik ini dibagi dalam empat tahapan atau fase yaitu pra interaksi, orientasi atau perkenalan, kerja, dan terminasi.

a. Pra interaksi

Prainteraksi mulai sebelum kontak pertama dengan pasien. Perawat mengeksplorasikan perasaan, fantasi dan ketakutannya, sehingga kesadaran dan kesiapan perawat untuk melakukan hubungan dengan pasien dapat dipertanggung jawabkan. Perawat yang sudah berpengalaman dapat menganalisa diri sendiri serta nilai tambah pengalamannya berguna agar lebih efektif dalam memberikan asuhan keperawatan. Perawat harus mempunyai konsep diri yang stabil dan harga diri yang adekuat, mempunyai hubungan yang konstruktif dengan orang lain dan berpegang pada kenyataan dalam menolong pasien (Stuart dan Sundeen, 1987). Tugas tambahan pada fase ini adalah mendapatkan informasi tentang pasien dan menentukan kontak pertama.


(26)

10

b. Perkenalan atau orientasi

Fase ini dimulai dengan pertemuan dengan pasien. Hal utama yang perlu dikaji adalah alasan pasien minta pertolongan yang akan mempengaruhi terbinanya hubungan perawat-pasien. Dalam memulai hubungan, tugas utama adalah membina rasa percaya, penerimaan, dan pengertian, komunikasi yang terbuka dan perumusan kontrak dengan pasien. Stuart dan Sundeen (1987) mengatakan elemen-elemen kontrak perlu diuraikan dengan jelas pada pasien sehingga kerja sama perawat-pasien dapat optimal. Diharapkan pasien berperan serta secara penuh dalam kontrak. Perawat dan pasien mungkin mengalami perasaan tidak nyaman, bimbang karena memulai hubungan yang baru. Pasien yang mempunyai pengalaman hubungan interpersonal yang menyakitkan akan sukar menerima dan terbuka pada perawat. Dimana pada tahap ini tugas perawat adalah mengeksplorasikan pikiran, perasaan, perbuatan pasien, dan mengidentifikasi masalah,serta merumuskan tujuan bersama pasien.

c. Kerja

Pada fase ini, perawat dan pasien mengungkapkan stressor yang tepat dan mendorong perkembangan kesadaran diri dengan menghubungkan persepsi, pikiran, perasaan dan perbuatan pasien. Perawat membantu pasien mengatasi kecemasan, meningkatkan kemandirian dan tanggung jawab diri sendiri, dan mengembangkan mekanisme coping yang konstruktif. Perubahan perilaku


(27)

11

d. Terminasi

Terminasi merupakan fase yang sangat sulit dan penting dari hubungan terapeutik. Rasa percaya dan hubungan erat yang terapeutik sudah terjalin dan berada pada tingkat yang optimal. Perawat dan pasien, akan merasakan kehilangan. Terminasi dapat terjadi pada saat perawat mengakhiri tugas pada unit tertentu atau pasien akan pulang. Dimana perawat dan pasien bersama-sama meninjau kembali proses perawatan yang telah dilalui dan pencapaian tujuan. Proses terminasi yang sehat akan memberi pengalaman positif dalam membantu pasien mengembangkan koping untuk perpisahan. Terminasi yang mendadak dan tanpa persiapan mungkin dipersepsikan pasien sebagai penolakan, atau dengan harapan perawat tidak akan mengakhiri hubungan karena pasien masih memerlukan bantuan perawat (Keliat,1992).

2.1.4 Komponen Hubungan Terapeutik

Komponen-komponen hubungan terapeutik perawat dengan pasien terdiri dari enam komponen :

a. Kualitas personal/pribadi perawat

Fokus analisa diri perawat adalah kesadaran diri, klarifikasi nilai, pengungkapan perasaan, dan rasa tanggung jawab.

1. Kesadaran diri perawat, merupakan kemampuan seseorang untuk memahami diri sendiri baik perilaku, perasaan maupun pikirannya sendiri. Pemahaman dan penerimaan diri akan membuat perawat menghargai perbedaan dan keunikan yang dimiliki pasien. Menurut Stuart dan Sundeen yang dikutip Keliat (1992), kesadaran diri dapat ditingkatkan melalui tiga cara : a)


(28)

12

Mempelajari diri sendiri meliputi proses pengungkapan diri, pikiran, perasaan, perilaku, termasuk pengalaman yang menyenangkan, hubungan

interpersonal dan kebutuhan pribadi, b) Belajar dari orang lain, merupakan suatu kesedian dan keterbukaan menerima umpan balik dari orang lain c) Membuka diri merupakan salah satu kriteria kepribadian yang sehat. Kesadaran diri dapat ditingkatkan agar penguasaan diri secara terapeutik dapat lebih efektif.

2. Klarifikasi nilai, Covey (1997) mengatakan bahwa metode dimana seseorang menemukan nilai-nilainya sendiri dengan mengkaji, mengungkapkan dan menentukan nilai-nilai pribadi serta bagaimana nilai-nilai tersebut digunakan sebagai acuan dalam mengambil keputusan. Hal ini perlu dilakukan karena nilai itu bermacam-macam, dari sinilah seorang yang proaktif mendasarkan pemilihan responnya, pilihan tersebut merupakan hasil dari pertimbangan yang matang berdasarakan nilai bukan emosi sesaat. Perawat sebaiknya mempunyai sumber kepuasan dan rasa aman yang cukup, sehingga tidak menggunakan pasien untuk kepuasan dan keamanannya.

3. Pengungkapan perasaan, disini dilakukan terhadap hubungan seseorang dengan lingkungan luar atau interaksinya dengan orang lain. Perawat perlu terbuka dan sadar terhadap perasaannya, dan mengontrol agar dapat menggunakan diri secara terapeutik. Jika perawat terbuka pada perasaannya akan mendapatkan bagimana informasi tentang respon dan penampilan pada pasien.


(29)

13

4. Etik dan tanggung jawab, perawat mempunyai kode etik dan tanggung jawab tertentu yang mengambarkan nilai-nilai yang terdapat dalam hubungan perawat dengan pasien. Dengan demikian perawat perlu memahami kode etik keperawatan dan menggunakan kode etik dalam melaksanakan tugas.

b. Fasilitasi Komunikasi

Komunikasi pada dasarnya dapat menjadi suatu alat untuk memfasilitasi dan tanpa komunikasi tidak mungkin terjadi hubungan terapeutik antara perawat–pasien. Menurut Wilson dan Kneisi (1983), fasilitasi komunikasi bertujuan untuk memulai, membangun dan membina keterlibatan dan hubungan saling percaya, antara perawat dan pasien. Dalam berkomunikasi faktor yang perlu diperhatikan agar hubungan dapat berlangsung secara efektif diperlukan suatu pengenalan kesadaran diri sendiri dan mengenal orang lain dengan demikian tujuan komunikasi dapat tercapai. Dalam proses komunikasi ada beberapa faktor yang yang mempengaruhi, sehingga komunikasi yang dibangun tidak dapat berlangsung secara efektif antara lain : 1) perkembangan, 2) persepsi, 3) nilai atau standar, 4) latar belakang sosial budaya, 5) emosi, 6) jenis kelamin, 7) pengetahuan, 8) peran dan hubungan, 9) lingkungan, dan 10) jarak.

c. Dimensi respon

Menurut Stuart and Sundeen dikutip dari Keliat (2003), dimensi respon terdiri dari respon perawat yang ikhlas, menghargai, empati dan konkrit. Dimensi respon sangat penting pada awal berhubungan dengan pasien untuk membina hubungan saling percaya dan komunikasi yang terbuka.


(30)

14

1. Keikhlasan, perawat menyatakan melalui keterbukaan, kejujuran, ketulusan, dan berperan aktif dalam hubungannya dengan pasien. Perawat berespon dengan tulus, tidak berpura-pura, mengungkapkan perasaan yang sebenarnya dan spontan.

2. Menghargai, perawat menerima pasien apa adanya. Sikap perawat tidak menghakimi, tidak mengkritik, tidak mengejek, atau tidak menghina. Rasa menghargai dapat dikomunikasikan melalui duduk diam bersama pasien yang menangis, minta maaf pada hal yang tidak disenangi pasien.

3. Empati, merupakan kemampuan masuk dalam kehidupan pasien agar dapat merasakan pikiran dan perasaannya. Perawat memandang melalui pandangan pasien, merasakan melalui perasaan pasien dan kemudian mengidentifikasi masalah pasien, serta membantu pasien mengatasi masalah tersebut.

4. Konkrit, Perawat harus dapat menghindari keraguan dan ketidakjelasan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan: a) mempertahankan respon perawat terhadap pasien, b) memberikan penjelasan yang akurat, c) mendorong pasien memikirkan masalahnya.

d. Dimensi Tindakan

Dimensi tindakan tidak dapat dipisahkan dengan dimensi respon. Tindakan yang dilaksanakan harus dalam konteks kehangatan dan pergertian Stuart dan Sundeen (dikutip oleh Keliat,1992), dimensi tindakan terdiri dari konfrontasi, kesegeraan, keterbukaan, emosional catharsis..


(31)

15

Carkhoff (1988) yang dikutip oleh Keliat (1992), mengidentifikasi ada tiga kategoriyaitu: a) Ketidaksesuaian antara konsep tentang diri pasien dan ideal diri pasien, b) Ketidaksesuaian antara ekspresi non verbal dan perilaku pasien, c) Ketidaksesuaian antara pengalaman pasien dan perawat. Sebelum melakukan konfrontasi, perawat perlu mengkaji tingkat hubungan saling percaya, waktu yang tepat, tingkat kecemasan pasien, dan kekuatan coping

pasien. Konfrontasi ini berguna untuk meningkatkan kesadaran pasien akan kesesuaian perasaan, sikap, kepercayaan dan perilaku yang dilakukan secara

asertif.

2. Kesegeraan, kesegeraan berfokus pada interaksi dan hubungan perawat- pasien saat ini. Perawat sensitif terhadap perasaan dan berkeinginan membantu pasien dengan segera.

3. Keterbukaan perawat, perawat memberikan informasi tentang dirinya, idealnya, perasaanya, sikap dan nilainya. Perawat

membuka diri tentang pengalaman yang berguna. Keterbukaan antara perawat dan pasien akan menurunkan tingkat kecemasan perawat-pasien (Keliat,1992).

4. Emosional Catharsis, terjadi jika pasien diminta bicara tentang hal yang sangat menganggu dirinya seperti ketakutan, perasaan, dan pengalaman. Jika terjadi hubungan perawat – pasien dimana pasien menyadari perasannya dalam suasana yang diterima dan aman ,maka pasien akan memperluas kesadaran dan penerimaan pada dirinya. Menurut Goldstein (1975), yang dikutip oleh Smet (1994), mengatakan makin baik hubungan interpersonal


(32)

16

perawat dengan pasien makin terbuka pasien mengungkapkan perasaannya dan makin cenderung mendengarkan dengan penuh perhatian serta bertindak atas nasehat yang diberikan oleh perawat.

2.1.4 Pengukuran Hubungan Terapeutik Perawat-Pasien

Menurut Stuart dan Sundeen , dalam Cristina, dkk., (2003) Hubungan terapeutik perawat-pasien diukur dengan tahapan-tahapan hubungan terapeutik. Untuk melihat hubungan terapeutik yang dilakukan perawat kepada pasien dinilai dari dimensi respon dan dimensi tindakan. Alat ukur yang digunakan terdiri dari 21 pertanyaan, masing-masing pertanyaan diberikan penilaian (score) 1-3 yang artinya adalah: nilai 1= tidak pernah, 2= kadang-kadang, 3= ya. Masing-masing score dari ke 21 pertanyaan tersebut dijumlahkan dan hasil dari penjumlahan tersebut dapat diketahui penerapan hubungan terapeutik perawat kepada pasien yaitu: total score < 30= hubungan terapeutik kurang, 30-50= hubungan terapeutik sedang, dan > 50= hubungan terapeutik baik (Penelitian Dewi, Suarniati, dan Ismail, 2013)

2.2 Komunikasi Interpersonal

Menzies (1970), mengatakan ada beberapa kajian terakhir yang mengidentifikasi masalah komunikasi sebagai penyebab yang harus selalu diperhatikan dalam proses pemberian pelayanan kesehatan. Alasan yang paling sering disebut antara lain: kurangnya ketrampilan dan pelatihan, kurangnya sumber daya dan waktu, kepekaan emosional, dan letak emosional. Peplau (1988) mengatakan bahwa


(33)

17

yang kompeten harus menjadi komunikator yang efektif dan setiap perawat mempunyai tanggung jawab untuk memperhatikan perkembangnya sendiri. Ada empat faktor utama yang menunjang terjadinya masalah komunikasi dalam perawatan yang nantinya akan mempengaruhi hubungan perawat dengan pasien yaitu : kurangnya kesadaran diri perawat, kurangnya ketrampilan interpersonal yang sistematik, kurangnya kerangka konseptual dan kurangnya kejelasan tujuan:

a. Kurangnya kesadaran diri perawat

Kesadaran diri perawat akan aspek – aspek diri sendiri sangat mempengaruhi interaksi dengan orang lain. Faktor pribadi yang mempengaruhi seperti sikap, nilai-nilai, kepercayaan, perasaan dan perilaku. Kesadaran diri perawat akan menghasilkan interaksi yang lebih produktif dan penggunaan diri lebih berarti serta akan mengubah potensi kegagalan. Purba (2008) mengatakan perawat perlu mengembangkan kesadaran diri yang akut manakala terlibat dalam interaksi dan hubungan dengan pasien, melalui kesadaran diri perawat akan tahu apa yang sedang pasien lakukan dan bagaimana tindakannya mempengaruhi pasien yang sedang dirawat. Kesadaran diri perawat perlu ditingkatkan agar penggunaan diri secara terapeutik dapat lebih efektif. Ellis (1974 ) menyatakan bahwa unsur inti dari hubungan pertolongan adalah kehangatan, ketulusan, pemahaman yang empati dan perhatian positif yang tidak bersyarat. Unsur-unsur ini sangat diperlukan untuk mendapatkan perubahan yang konstruktif bagi pasien dalam situasi terapeutik.


(34)

18

b. Kurangnya pelatihan keterampilan interpersonal yang sistematik

Keterampilan yang sistematis mempunyai peranan dalam proses menjadikan seseorang komunikator yang efektif dan kompeten, serta dapat mengintegrasikan keterampilan yang sudah dikenalnya kedalam gaya komunikasi yang unik. Keterampilan interpersonal meliputi keterampilan verbal dan non verbal yang terdiri dari keterampilan mendengarkan dengan penuh perhatian, menujukkan penerimaan, mengulangi ucapan pasien dengan menggunakan kata kata sendiri, memfokuskan pembicaraan, menganjurkan pasien untuk menguraikan persepsinya dan memberikan kesempatan kepada pasien memulai pembicaraan. Keterampilan tersebut, akan dipraktekkan sampai kompetensi dicapai. Egan (1990) memperhatikan seringkali tidak memiliki keterampilan dasar untuk menolong (keterampilan interpersonal ).

c. Kurangnya kerangka konseptual

Dunn (1991) Perawat yang menunjukkan kompetensi dalam penerapan keterampilan interpersonal kadang-kadang dapat menggunakan cara yang khusus (dikutip oleh Ellis,1999). Dibutuhkan sebuah kerangka teoritis yang memberikan informasi dan menyediakan sebuah struktur untuk analisis, refleksi dan evaluasi interaksi. Upaya untuk memahami hubungan tanpa sebuah konsep adalah hal yang bemasalah. Adalah penting bagi perawat untuk mengkonseptualisasikan apa yang sedang perawat lakukan untuk memastikan bahwa keterampilan digunakan dengan cara yang koheren dan strategis. Dan akan terungkap dalam model kerangka konseptual yang jelas seperti model keperawatan Orem (1985),


(35)

19

terapeutik perawat-pasien menentukan kapan sesorang membutuhkan bantuan, memperhatikan respon pasien (Jumadi,1999) Model Betty Neuman (1982) meletakkan dasar bagi komunikasi terbuka antara perawat dan pasien dalam keterlibatan perawat yang efektif. Model yang diterapkan ini, berfokus pada individu dan respon atau reaksi individu terhadap stress termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi dan kemampuan adaptasi pasien (Gaffar,1999).

d. Kurangnya kejelasan tujuan

Hubungan yang efektif akan mempunyai angka keberhasilan dalam membuat pilihan yang benar pada situasi-situasi yang dihadapi karena perawat mengetahui dengan jelas tentang tujuan atau maksud dari setiap interaksi (Ellis,1999). Ini memungkinkan untuk membeda-bedakan dan memilih pilihan yang cocok dengan situasi tertentu. Biasanya bukan perawat yang menentukan tujuan interaksi tetapi kebutuhan pasien. Proses ini, membutuhkan kepekaan dan empati agar perawat mampu membaca situasi secara tepat dan menilai apa yang diperlukan serta mengetahui tujuan yang jelas, dan melakukan secara strategis.

2.3 Persiapan Tindakan Operasi

Tindakan pre operasi penting sekali untuk memperkecil resiko operasi karena hasil akhir suatu pembedahan sangat bergantung pada penilaian keadaan pasien dan persiapan pre operasi (Brunner & Suddarth, 2002). Dalam persiapan ditentukan indikasi atau kontra indikasi operasi, toleransi pasien terhadap tindakan bedah dan ditetapkan waktu yang tepat untuk melaksanakan pembedahan. Menurut Lukman dan Sorensen (1993) tindakan keperawatan pre


(36)

20

operasi yang dilakukan setelah diputuskan melakukan pembedahan adalah untuk mempersiapkan pasien agar penyulit paska bedah dapat dicegah sebanyak mungkin. Tindakan bedah adalah upaya yang dapat mendatangkan stress karena terdapat ancaman terhadap tubuh, integritas dan terhadap jiwa seseorang. Perawat berada dalam posisi untuk memberikan bantuan kepada pasien agar bisa menyesuaikan dengan stressor (Meyer & Gray, 2001).

2.3.1 Persiapan mental

Persiapan mental pasien sebelum menjalani tindakan operasi meliputi tiga hal penting yaitu :

a. Informasi

Menurut Long (1996), informasi merupakan fungsi untuk mengurangi rasa cemas. Pasien yang menerima informasi yang benar sebelum menghadapi prosedur tindakan, tujuan operasi dan efek sampingnya lebih dapat melakukan perawatan yang mandiri (Keliat,1998). Adapun informasi yang harus diterima pasien meliputi prosedur dan resiko yang mungkin terjadi, alternatif tindakan yang dapat dipilih, perubahan bentuk dan penampilan, anestesi yang digunakan ( kondisi pada periode pasca operasi dan biaya operasi ).

b. Dukungan

Merupakan dukungan dari petugas kesehatan dan terutama dari keluarga. Dari petugas kesehatan dapat berupa informasi tentang operasi serta cara kerja yang profesional dalam mempersiapkan operasi. Sedangkan dari keluarga dapat berupa


(37)

21

c. Post op Exercise

Misalnya diagfragmatic breathing, turning and leg exercise, dsb. Post op exercise dapat meningkatkan kepercayaan diri pasien dalam menghadapi operasi. 2.3.2 Persiapan fisik

Persiapan fisik meliputi persiapan berbagai sistem tubuh dan organ, keadaan gizi pasien, pemeriksaan laboratorium, foto dan pemasangan alat perawatan sesuai prosedur operasi serta penyulit pasca bedah lainnya yang mungkin timbul.

2.3.3 Persetujuan tindakan medik

Merupakan perjanjian legal antara dokter dan pasien yang harus ditanda tangani oleh pasien / orang tua / wali sebelum dokter melakukan tindakan (Appelbaum, 1987).

2.4 Konsep Kecemasan 2.4.1 Pengertian Kecemasan

Kecemasan adalah perasaan yang tidak menyenangkan atau ketakutan yang tidak jelas dan hebat. Hal ini terjadi sebagai reaksi terhadap sesuatu yang dialami oleh seseorang (Nugroho, 2008).

Kecemasan merupakan gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (masih baik), kepribadian tetap utuh dan prilaku dapat terganggu tetapi dalam batas-batas normal (Hawari, 2001).


(38)

22

2.4.2 Rentang Respon dan Proses Adaptasi Terhadap Cemas

Stuart dan Sundeen (2000) mengatakan rentang respon individu berfluktuasi antara respon adaptif dan maladaptif seperti :

Adatif Maladatif

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik Gambar 2.1 Rentang Respon Adaptif dan Maladaptif

Roy (1992) mengatakan manusia mahluk yang unik karenanya mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap cemas tergantung kemampuan adaptasi ini dipengaruhi oleh pengalaman berubah dan kemampuan koping individu. Menurut Stuart & Sundeen (2000) koping adalah mekanisme mempertahankan keseimbangan dalam menghadapi stress. Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua yaitu :

a. Mekanisme Koping Adaptif

Adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif.


(39)

23

b. Mekanisme Koping Maladaptif

Adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan / tidak makan, bekerja berlebihan dan menghindar.

2.4.3 Tingkat Kecemasan

Menurut Stuart & Sundeen (2000), tingkat kecemasan dibagi menjadi empat tingkatan yaitu :

a. Ansietas ringan

Pada fase ini pasien akan merasa :

1. Berhubungan dengan ketegangan dalam peristiwa sehari-hari. 2. Kewaspadaan meningkat.

3. Persepsi terhadap lingkungan meningkat.

4. Dapat menjadi motivasi positif untuk belajar dan menghasilkan kreativitas. 5. Respon kognitif tampak mampu menerima rangsangan yang kompleks,

konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif dan terangsang untuk melakukan tindakan.

6. Respon prilaku dan emosi terlihat tidak dapat duduk tenang dan kadang– kadang suara meninggi.


(40)

24

b. Ansietas sedang

Pada fase ini akan muncul respon sebagai berikut :

1. Respon fisiologis terlihat sering nafas pendek, tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia, sakit kepala, letih dan sering berkemih.

2. Respon kognitif tampak memusatkan perhatiannya pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, lapang persepsi menyempit, dan rangsangan dari luar tidak mampu diterima.

3. Respon perilaku dan emosi terlihat gerakan tersentak–sentak, terlihat lebih tegang, bicara banyak, dan lebih cepat, susah tidur dan perasaan tidak aman.

c. Ansietas berat

Pada fase ini individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja serta mengabaikan hal yang lain, dan respon yang muncul antara lain :

1. Respon fisiologis tampak nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala, pengelihatan kabur, serta tampak tegang. 2. Respon kognitif tampak tidak mampu berfikir berat dan membutuhkan

banyak pengarahan/tuntunan, serta lapang persepsi menyempit.

3. Respon perilaku dan emosi tampak adanya perasaan terancam yang meningkat dan komunikasi terganggu (verbalisasi cepat).

d. Ansietas sangat berat / panik

Pada fase ini respon yang muncul antara lain :


(41)

25

2. Respon kognitif terjadi gangguan realitas, tidak dapat berfikir logis, persepsi terhadap lingkungan mengalami distorsi dan ketidakmampuan memahami situasi.

3. Respon perilaku dan emosi terlihat mengamuk dan marah, ketakutan, berteriak – teriak, kehilangan kendali / kontrol diri, perasaan terancam serta dapat berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.

2.4.4 Faktor Pencetus Kecemasan

Faktor yang dapat menjadi pencetus seseorang merasa cemas dapat berasal dari diri sendiri (faktor internal) maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Namun demikian pencetus ansietas dapat dikelompokkan kedalam dua kategori:

a. Ancaman terhadap integritas diri, meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan dalam melakukan aktivitas sehari–hari guna pemenuhan kebutuhan dasarnya.

b. Ancaman terhadap sistem diri yaitu adanya sesuatu yang dapat mengancam terhadap identitas diri, harga diri, kehilangan status/peran diri dan hubungan interpersonal.

2.4.5 Dampak Kecemasan

Dampak yang paling umum dari kecemasan adalah rasa tidak nyaman baik secara fisik maupun secara psikologis (Hawari, 2008). Kecemasan itu adalah suatu proses melelahkan karena memerlukan tenaga tubuh, sumber-sumber fisik dan psikologis (Rasmun, 2004). Dampak dari kecemasan terhadap integritas dan kesehatan seseorang adalah menurunnya daya tahan tubuh karena pada saat


(42)

26

mengalami kecemasan maka tubuh akan mengeluarkan hormon kortisol yang mempunyai efek menekan sistem kekebalan tubuh (Wardhana, 2010).

2.4.6 Pengukuran Kecemasan

Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan digunakan alat ukur kecemasan. Ada dua jenis alat ukur yang sering di gunakan untuk menilai tingkat kecemasan, alat ukur yang sering digunakan adalah Halmiton Anxiety Rating Scale (HARS)dan Depression Anxiety Stress Scale (DASS).

a. Alat ukur HARS

Skala HARS merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan pada munculnya

symptom pada individu yang mengalami kecemasan. Menurut skala HARS

terdapat 14 symptoms yang nampak pada individu yang mengalami kecemasan. Setiap item yang diobservasi diberi 5 tingkatan skor antara 0 (Nol Present) sampai dengan 4 (severe). Penilaian kecemasan terdiri dari 14 item, meliputi : perasaan cemas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan kecerdasan, perasaan depresi, gejala somatik, gejala sensorik, gejala kardiovaskuler, gejala pernafasan, gejala gastroinstensinal, gejala urogenital, gejala vegetative, dan perilaku sewaktu wawancara. Cara penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dan kategori : nilai 0= tidak ada gejala sama sekali, 1= satu dari gejala yang ada, 2= sedang atau separuh gejala yang ada, 3= berat/lebih dari setengah gejala yang ada, 4= sangat berat/semua gejala ada. Masing-masing score dari ke 14 pertanyaan tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang yaitu: <6= tidak ada kecemasan, 7-14= kecemasan ringan,


(43)

27

b. Alat ukur DASS

Menurut Hardjanah 1994 (dalam Sriati 2008) DASS adalah seperangkat skala subyektif yang dibentuk untuk mengukur status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stress. DASS 42 dibentuk tidak hanya mengukur secara konvensional mengenai status emosional, tetapi untuk proses yang lebih lanjut untuk pemahaman, pengertian, dan pengukuran yang berlaku dimanapun dari status emosional secara signifikan biasanya digambarkan dengan stress. DASS

baik digunakan untuk individu maupun kelompok untuk tujuan penelitian.

Pengukuran skala kecemasan menilai gairah otonom, efek otot rangka, kecemasan situasional, dan pengalaman subjektif yang mempengaruhi cemas. Alat ukur ini terdiri dari 14 pertanyaan. Masing-masing pertanyaan diberikan penilaian (score)

antara 0-3, yang artinya adalah : nilai 0 = tidak pernah, 1 = kadang-kadang, 2 = lumayan sering, 3 = sering sekali. Masing-masing score dari ke 14 pertanyaan tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang yaitu : total score 0-7 = tidak ada kecemasan, 8-9 = kecemasan ringan, 10-14 = kecemasan sedang, 15-19 = kecemasan berat, >20 = kecemasan sangat berat (Lovibond, 1995).

Dari 2 jenis alat ukur kecemasan diatas, alat ukur dengan menggunakan DASS

yang dipilih dan dianggap sesuai dengan penelitian ini. DASS menggunakan klasifikasi penilaian yang lebih jelas dan lebih mudah dipahami, setiap item pertanyaan DASS lebih menggali kondisi psikologis yang dirasakan pasien yang mencirikan pasien yang sedang mengalami kecemasan.


(44)

28

2.4.7 Hubungan Terapeutik Perawat-Pasien dengan Tingkat Kecemasan

Penerapan hubungan terapeutik perawat-pasien sangat berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi. Keberhasilan hubungan tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan langsung kepada pasien. Status pasien dalam hubungan perawat-pasien merupakan hubungan interdependent dan perawat memberikan alternatif dan membantu pasien dalam proses pemecahan masalah yang dihadapi (Cook dan Fontaine,1987). Dalam hubungan terapeutik tersebut, perawat harus mampu membina hubungan saling percaya serta tindakan yang dilaksanakan dalam konteks kehangatan dan pengertian. Maka berdasarkan hal tersebut penulis ingin membuktikan kebenaran teori dengan kenyataan dilapangan.

Berdasarkan hasil penelitian Dewi,Suarniati,Ismail (2013) di ruang perawatan bedah RSUD kota Makasar pada bulan Januari - Februari 2013 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh komunikasi terapeutik terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien pada pasien pre operasi di RSUD kota makasar. Dalam menilai komunikasi terapeutik yang dilakukan perawat, peneliti mengukur dari segi dimensi respon dan dimensi tindakan. Dari dimensi respon dan dimensi tindakan itulah peneliti dapat mengetahui kepedulian dan kepekaan perawat untuk menempatkan diri dan memahami perilaku yang menunjukan perhatian perawat terhadap pasien yaitu dalam tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh perawat dalam merespon suatu rangsangan. Hasil penelitian menunjukan tingkat dimensi respon didapat nilai (p = 0,03) dan nilai tingkat dimensi tindakan yaitu (p =


(45)

29

yaitu (< α = 0,05). Hasil penelitian tersebut menunjukkan 27 orang (60,7%) memiliki respon baik setelah diberikan intervensi komunikasi teraupetik.


(1)

b. Ansietas sedang

Pada fase ini akan muncul respon sebagai berikut :

1. Respon fisiologis terlihat sering nafas pendek, tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia, sakit kepala, letih dan sering berkemih.

2. Respon kognitif tampak memusatkan perhatiannya pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, lapang persepsi menyempit, dan rangsangan dari luar tidak mampu diterima.

3. Respon perilaku dan emosi terlihat gerakan tersentak–sentak, terlihat lebih tegang, bicara banyak, dan lebih cepat, susah tidur dan perasaan tidak aman.

c. Ansietas berat

Pada fase ini individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja serta mengabaikan hal yang lain, dan respon yang muncul antara lain :

1. Respon fisiologis tampak nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala, pengelihatan kabur, serta tampak tegang. 2. Respon kognitif tampak tidak mampu berfikir berat dan membutuhkan

banyak pengarahan/tuntunan, serta lapang persepsi menyempit.

3. Respon perilaku dan emosi tampak adanya perasaan terancam yang meningkat dan komunikasi terganggu (verbalisasi cepat).

d. Ansietas sangat berat / panik

Pada fase ini respon yang muncul antara lain :

1. Respon fisiologis tampak nafas pendek, rasa tercekek, sakit dada, pucat, hipotensi, serta rendahnya koordinasi motorik.


(2)

2. Respon kognitif terjadi gangguan realitas, tidak dapat berfikir logis, persepsi terhadap lingkungan mengalami distorsi dan ketidakmampuan memahami situasi.

3. Respon perilaku dan emosi terlihat mengamuk dan marah, ketakutan, berteriak – teriak, kehilangan kendali / kontrol diri, perasaan terancam serta dapat berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.

2.4.4 Faktor Pencetus Kecemasan

Faktor yang dapat menjadi pencetus seseorang merasa cemas dapat berasal dari diri sendiri (faktor internal) maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Namun demikian pencetus ansietas dapat dikelompokkan kedalam dua kategori:

a. Ancaman terhadap integritas diri, meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan dalam melakukan aktivitas sehari–hari guna pemenuhan kebutuhan dasarnya.

b. Ancaman terhadap sistem diri yaitu adanya sesuatu yang dapat mengancam terhadap identitas diri, harga diri, kehilangan status/peran diri dan hubungan interpersonal.

2.4.5 Dampak Kecemasan

Dampak yang paling umum dari kecemasan adalah rasa tidak nyaman baik secara fisik maupun secara psikologis (Hawari, 2008). Kecemasan itu adalah suatu proses melelahkan karena memerlukan tenaga tubuh, sumber-sumber fisik dan psikologis (Rasmun, 2004). Dampak dari kecemasan terhadap integritas dan kesehatan seseorang adalah menurunnya daya tahan tubuh karena pada saat


(3)

mengalami kecemasan maka tubuh akan mengeluarkan hormon kortisol yang mempunyai efek menekan sistem kekebalan tubuh (Wardhana, 2010).

2.4.6 Pengukuran Kecemasan

Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan digunakan alat ukur kecemasan. Ada dua jenis alat ukur yang sering di gunakan untuk menilai tingkat kecemasan, alat ukur yang sering digunakan adalah Halmiton Anxiety Rating Scale (HARS) dan Depression Anxiety Stress Scale (DASS).

a. Alat ukur HARS

Skala HARS merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan pada munculnya

symptom pada individu yang mengalami kecemasan. Menurut skala HARS

terdapat 14 symptoms yang nampak pada individu yang mengalami kecemasan. Setiap item yang diobservasi diberi 5 tingkatan skor antara 0 (Nol Present) sampai dengan 4 (severe). Penilaian kecemasan terdiri dari 14 item, meliputi : perasaan cemas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan kecerdasan, perasaan depresi, gejala somatik, gejala sensorik, gejala kardiovaskuler, gejala pernafasan, gejala gastroinstensinal, gejala urogenital, gejala vegetative, dan perilaku sewaktu wawancara. Cara penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dan kategori : nilai 0= tidak ada gejala sama sekali, 1= satu dari gejala yang ada, 2= sedang atau separuh gejala yang ada, 3= berat/lebih dari setengah gejala yang ada, 4= sangat berat/semua gejala ada. Masing-masing score dari ke 14 pertanyaan tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang yaitu: <6= tidak ada kecemasan, 7-14= kecemasan ringan, 15-27= kecemasan sedang, >27= kecemasan berat.


(4)

b. Alat ukur DASS

Menurut Hardjanah 1994 (dalam Sriati 2008) DASS adalah seperangkat skala subyektif yang dibentuk untuk mengukur status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stress. DASS 42 dibentuk tidak hanya mengukur secara konvensional mengenai status emosional, tetapi untuk proses yang lebih lanjut untuk pemahaman, pengertian, dan pengukuran yang berlaku dimanapun dari status emosional secara signifikan biasanya digambarkan dengan stress. DASS baik digunakan untuk individu maupun kelompok untuk tujuan penelitian.

Pengukuran skala kecemasan menilai gairah otonom, efek otot rangka, kecemasan situasional, dan pengalaman subjektif yang mempengaruhi cemas. Alat ukur ini terdiri dari 14 pertanyaan. Masing-masing pertanyaan diberikan penilaian (score) antara 0-3, yang artinya adalah : nilai 0 = tidak pernah, 1 = kadang-kadang, 2 = lumayan sering, 3 = sering sekali. Masing-masing score dari ke 14 pertanyaan tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang yaitu : total score 0-7 = tidak ada kecemasan, 8-9 = kecemasan ringan, 10-14 = kecemasan sedang, 15-19 = kecemasan berat, >20 = kecemasan sangat berat (Lovibond, 1995).

Dari 2 jenis alat ukur kecemasan diatas, alat ukur dengan menggunakan DASS yang dipilih dan dianggap sesuai dengan penelitian ini. DASS menggunakan klasifikasi penilaian yang lebih jelas dan lebih mudah dipahami, setiap item pertanyaan DASS lebih menggali kondisi psikologis yang dirasakan pasien yang mencirikan pasien yang sedang mengalami kecemasan.


(5)

2.4.7 Hubungan Terapeutik Perawat-Pasien dengan Tingkat Kecemasan

Penerapan hubungan terapeutik perawat-pasien sangat berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi. Keberhasilan hubungan tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan langsung kepada pasien. Status pasien dalam hubungan perawat-pasien merupakan hubungan interdependent dan perawat memberikan alternatif dan membantu pasien dalam proses pemecahan masalah yang dihadapi (Cook dan Fontaine,1987). Dalam hubungan terapeutik tersebut, perawat harus mampu membina hubungan saling percaya serta tindakan yang dilaksanakan dalam konteks kehangatan dan pengertian. Maka berdasarkan hal tersebut penulis ingin membuktikan kebenaran teori dengan kenyataan dilapangan.

Berdasarkan hasil penelitian Dewi,Suarniati,Ismail (2013) di ruang perawatan bedah RSUD kota Makasar pada bulan Januari - Februari 2013 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh komunikasi terapeutik terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien pada pasien pre operasi di RSUD kota makasar. Dalam menilai komunikasi terapeutik yang dilakukan perawat, peneliti mengukur dari segi dimensi respon dan dimensi tindakan. Dari dimensi respon dan dimensi tindakan itulah peneliti dapat mengetahui kepedulian dan kepekaan perawat untuk menempatkan diri dan memahami perilaku yang menunjukan perhatian perawat terhadap pasien yaitu dalam tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh perawat dalam merespon suatu rangsangan. Hasil penelitian menunjukan tingkat dimensi respon didapat nilai (p = 0,03) dan nilai tingkat dimensi tindakan yaitu (p = 0,023), dimana hasil tersebut lebih kecil dari tingkat kemaknaan yang ditentukan


(6)

yaitu (< α = 0,05). Hasil penelitian tersebut menunjukkan 27 orang (60,7%) memiliki respon baik setelah diberikan intervensi komunikasi teraupetik.


Dokumen yang terkait

Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di Ruangan RB2 RSUP HAM.

15 115 59

Efektif itas Komunikasi Terapeutik Interpersonal Perawat Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi Fraktur

0 3 10

HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI IRNA BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG.

0 10 10

HUBUNGAN MOTIVASI DENGAN KEPATUHAN CUCI TANGAN ENAM LANGKAH LIMA MOMEN PERAWAT DI IRNA C RSUP SANGLAH DENPASAR.

12 20 55

HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI IRNA BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG - Repositori Universitas Andalas

0 2 1

HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI IRNA BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG - Repositori Universitas Andalas

0 1 7

HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI IRNA BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG - Repositori Universitas Andalas

0 0 2

HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RSUD SETJONEGORO KABUPATEN WONOSOBO NASKAH PUBLIKASI - HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RSUD SETJONEGORO KABUPATEN W

0 3 11

PENGARUH KOMUNIKASI TERAPEUTIK TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN PRE OPERASI DI RUMAH SAKIT UMUM ‘AISYIYAH PONOROGO

0 0 12

HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RAWAT INAP RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING

0 0 11