REVITALISASI KEPEMIMPINAN LEMBAGA PUSAT GRAFIKA INDONESIA : Studi Kasus tentang Keefektifan Kepemimpinan Entrepreneur di Pusat Grafika Indonesia Menuju ke Arah Pengembangan Lembaga yang Maju dan Kompetitif.
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN ...i
MOTTO ... ii
PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... ...v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ...x
DAFTAR GAMBAR ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH ... 1
B. FOKUS PERMASALAHAN PENELITIAN ... 13
C. TUJUAN PENELITIAN ... 14
D. MANFAAT PENELITIAN ... 15
E. KERANGKA PIKIR PENELITIAN ... 16
F. PREMIS DAN ASUMSI PENELITIAN ... 20
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. KONSEP DAN TEORI KEPEMIMPINAN YANG BERKAITAN DENGAN INOVASI KELEMBAGAAN ... 24
1. Pengertian Kepemimpinan ... 27
2. Fungsi dan Peran Kepemimpinan ... 30
3. Gaya Kepemimpinan ... 33
4. Teori Kepemimpinan ... 35
5. Model-model Kepemimpinan ... 43
6. Kepemimpinan Pendidikan ... 49
7. Kepemimpinan Entrepreneur ... 55
B. MANAJEMEN PERUBAHAN ... 78
C. KONSEP DAN TEORI ORGANISASI ... 90
1. Organisasi dalam Perspektif Administrasi Pendidikan ... 90
2. Pengertian Organisasi ... 94
3. Pengorganisasian ... 98
4. Kekuasaan dan Kewenangan ... 113
5. Manajemen Sumber Daya Manusia ... 117
6. Organisasi Pembelajaran (Learning Organization) ... 128
7. Budaya, Iklim, dan Lingkungan Organisasi ... 133
8. Perubahan dan Pengembangan Organisasi ... 165
D. PENELITIAN TERDAHULU YANG RELEVAN ... 190 BAB III METODOLOGI PENELITIAN
(2)
C. LATAR BELAKANG PENENTUAN TEMPAT PENELITIAN
(THE SETTING) ... 212
D. SUBJEK PENELITIAN ... 214
E. TEKNIK PENGUMPULAN DATA ... 216
F. TEKNIK ANALISIS DATA ... 218
G. VALIDITAS PENELITIAN ... 221
H. LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN ... 223
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN ... 226
1. Pertumbuhan dan Perkembangan Pusat Grafika Indonesia... 226
2. Budaya Kerja, Iklim, dan Lingkungan ... 299
3. Profil Kepemimpinan di Pusgrafin ... 309
4. Pola Kepemimpinan di Pusgrafin ... 321
5. Strategi Proses Revitalisasi Kepemimpinan di Pusgrafin .... 340
B. PEMBAHASAN ... 345
1. Analisis Situasi Kepemimpinan Pusgrafin Berbasis SWOT ... 345
2. Pola Kepemimpinan Pusgrafin ... 359
3. Transformasi Kepemimpinan Entrepreneur menuju Lembaga Pusgrafin yang Maju dan Kompetitif ... 368
BAB V IMPLIKASI, KESIMPULAN, DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 394
B. Implikasi ... 402
C. Rekomendasi ... 404
DAFTAR PUSTAKA ... 406
(3)
(4)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai tindak lanjut dari upaya pencapaian pembangunan nasional, pemerintah antara lain menetapkan Peraturan Presiden Nomor 9 dan nomor 10 tahun 2004 sebagai kebijakan nasional yang mengatur batas wewenang dan tanggung jawab, tugas, fungsi, dan susunan organisasi instansi pemerintah termasuk Departemen Pendidikan
Nasional. Atas dasar Peraturaan Presiden tersebut kemudian
ditetapkanlah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2005 tanggal 18 Nopember 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat-pusat di Lingkungan Depdiknas. Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa Pusat Grafika Indonesia sebagai Unit Kerja Eselon Dua, mempunyai tugas melaksanakan kajian teknologi, layanan dan pengembangan tenaga di bidang grafika dan penerbitan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri. Untuk melaksanakan tugas dimaksud, Pusat Grafika Indonesia menyelenggarakan fungsi :
1. Menyiapkan bahan rumusan kebijakan di bidang kegrafikaan;
2. Melaksanakan pengkajian teknologi, pengujian mutu bahan dan produk kegrafikaan;
(5)
3. Melaksanakan layanan jasa dan kerjasama kegrafikaan dan penerbitan;
4. Melaksanakan dan mengkoordinasi pengembangan tenaga
kegrafikaan dan penerbitan;
5. Melaksanakan urusan ketatausahaan pusat.
Dalam perkembangannya, Pusat Grafika Indonesia mempunyai visi menjadikan Pusat Layanan dan Pengembangan life skill education di bidang grafika dan penerbitan, pengembangan teknologi terapan, pendidikan dan pelatihan grafika dan penerbitan. Misi Pusat Grafika Indonesia mencakup misi pengembangan layanan masyarakat dan pendidikan dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Misi pengembangan: diwujudkan dalam bentuk kajian dan pengembangan terapan teknologi kegrafikaan guna meningkatkan efisiensi, efektifitas dan kualitas industri grafika dan penerbitan.
2. Misi layanan masyarakat: diwujudkan dalam bentuk pemberian layanan informasi dan jasa konsultasi kegrafikaan guna membantu masyarakat dalam mendapatkan pengetahuan tentang kegrafikaan dan penerbitan dalam meningkatkan efesiensi pengelolaan industri grafika dan penerbitan.
(6)
3. Misi Pendidikan: diwujudkan dalam bentuk penyelenggaraan pendidkan dan pelatihan guna meningkatkan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) dalam bidang kegrafikaan dan penerbitan.
Grafika yang oleh para ahli disebut sebagai “the mother of culture” sangat potensial dikembangkan di Indonesia. Hal ini berangkat dari landasan berpikir bahwa tiada kehidupan yang terlepas dari produk grafika. Kurangnya perhatian terhadap pendidikan grafika di Indonesia akan menjadi penyebab tidak optimalnya peran grafika terhadap pembangunan bangsa. Setelah dihapusnya Departemen Penerangan pada era Pemerintahan Gus Dur, dimana didalamnya terdapat Direktorat Jenderal Grafika, maka Pusat Grafika Indonesia menjadi satu-satunya
lembaga pemerintah yang memberikan pembinaan terhadap
perkembangan kegrafikaan di Indonesia.
Perkembangan teknologi kegrafikaan dan penerbitan di Indonesia pada dasa warsa terakhir ini mengalami akselerasi pergeseran teknologi konvensional menuju ke teknologi digital yang meliputi teknologi screen printing, fleksografi, rotografi, digital printing dan transfer printing, untuk itu Pusat Grafika Indonesia diharapkan dapat menjadi institusi pemerintah yang mampu memenuhi tuntutan masyarakat terhadap kualitas produk grafika dan penerbitan. Hal ini menuntut dilakukannya peningkatan pertumbuhan industri grafika di Indonesia, meningkatkan kualitas kompetensi dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) bidang keahlian
(7)
grafika dan penerbitan, serta meningkatkan mutu layanan pengembangan teknologi terapan dan pengembangan manajemen industri grafika dan penerbitan. Pada akhirnya perkembangan kegrafikaan akan berpengaruh pada kualitas dan ragam sumber belajar.
Situasi atau kondisi kegrafikaan dan penerbitan di tanah air dewasa ini dapat tergambar dari kondisi tampilan mutu fisik buku pelajaran serta bahan cetakan lainnya sebagai sarana penunjang utama sektor pendidikan yang belum sesuai, baik ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Kondisi tersebut merupakan dampak langsung yang berkaitan dengan situasi industri grafika dan penerbitan Indonesia, yang nyata-nyata masih tertinggal.
Sebagai pembanding, berdasarkan perolehan data dari Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI, tahun 2007), Malaysia yang berpenduduk sekitar 26 juta orang menerbitkan buku sekitar 10.000 judul sama dengan Indonesia yang berpenduduk 240 juta orang. Vietnam yang berpenduduk 80 juta orang telah mampu menerbitkan judul buku 15.000 per tahun. Cina menerbitkan buku baru kurang lebih 140.000 judul per tahun. Demikian juga kita masih prihatin bila melihat prosentase jenis terbitan buku sebagaimana tergambar pada Tabel 1.1.
(8)
Tabel 1.1
Prosentase Jenis Terbitan Buku
Terbitan Buku % Jumlah judul
Anak/remaja 19% 1900 judul
Umum 32% 3200 judul
Buku pelajaran 25% 2500 judul
Perguruan tinggi 8% 800 judul
Agama 16% 1600 judul
Data IKAPI Pusat tahun 2007
Dengan melihat jumlah perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia sebanyak 2830 perguruan tinggi, dan dosen 209.319 orang, maka judul buku Ilmu Pengetahuan dan judul buku perguruan tinggi yang hanya 800 judul per tahun sangat kurang memadai (Sumber: Pusgrafin: 2007).
Di sisi lain, menurut Kepala Pusat Grafika Indonesia tahun 2008, penyebaran industri grafika dan penerbitan belum merata karena masih terkonsentrasi di Pulau Jawa (77%), sehingga proses penerbitan, pencetakan buku dan bahan cetakan lainnya untuk keperluan daerah sebagian besar belum digarap oleh daerah masing - masing sesuai dengan semangat dalam Undang-undang Otonomi Daerah. Sifat dan peran kegrafikaan dan penerbitan yang lebih banyak berperan di bidang pelayanan akan membantu tugas pokok dan daerah yang luas, maka
(9)
grafika bisa merembes dan menjangkau daerah yang sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah.
Dengan melihat persoalan tersebut di atas, kiranya perlu dicermati kembali mengenai Tugas dan Fungsi Pusgrafin selama ini, agar tetap mampu berkiprah pada era globalisasi dan tuntutan teknologi serta tuntutan otonomi daerah dalam upaya penyiapan sarana sumber belajar yang berkualitas. Kepemimpinan yang lemah, yang tidak dilatari pengetahuan kegrafikaan dan penerbitan dan kurang berwawasan masa depan atau tidak akan mampu membawa Pusgrafin berubah menghadapi kemajuan teknologi kegrafikaan dan persaingan di bidang tersebut.
Perkembangan teknologi yang sangat pesat khususnya di dunia grafika dan penerbitan menuntut kualitas dan kompetensi sumber daya manusia di bidang tersebut. Industri grafika akan terus berkembang melihat kebutuhan dari hasil karya cetak yang diperlukan dunia pendidikan dan kebutuhan masyarakat. Dewasa ini jumlah industri grafika di Indonesia sekitar 25.000, namun industri menengah dan besar hanya sekitar 1000 unit (4%), industri rumah tangga sebesar 71% dan selebihnya 25% merupakan industri kecil. Namun dengan asumsi bahwa tahun 2010 jumlah industri grafika akan naik 10% menjadi 27.500 unit maka akan terjadi peningkatan produktivitas kerja industri grafika di tanah air, walaupun masih jauh dibanding Cina (900.000) atau India (450.000).
(10)
Perkembangan ini akan menuntut Pusgrafin meningkatkan kinerja dan produktivitas kelembagaan.
Sumber Daya Manusia Pusgrafin termasuk Balai Grafika Makasar dan Medan seluruhnya berjumlah 255 orang pegawai dengan rincian 123 orang tenaga administrasi, 83 orang teknisi, 37 orang widiaiswara, dan 12 orang instruktur. Nampak jelas struktur ketenagaan tidak mendukung tupoksi organisasi, bahwa tenaga pengembang dan pengajar sangat kurang sementara tenaga administrasi terlalu banyak (49%). Selain upaya pengalihan profesi perlu dibarengi upaya peningkatan kemampuan profesional pegawai dan tenaga widiaiswara, instruktur dan teknisi. Mengingat lembaga pendidikan formal di bidang ini (baru ada tiga poltek dan akademi) dan 21 SMK grafika, maka Pusgrafin diharapkan dapat memberikan pelatihan SDM Grafika dan penerbitan ke arah teknologi terkini baik untuk keperluan intern maupun keperluan lembaga pendidikan kegrafikaan lainnya.
Seiring dengan pengembangan teknologi di bidang grafika dan penerbitan, keahlian manajemen di bidang industri grafika dan penerbitan tidak boleh tertinggal agar mampu bersaing dengan industri serupa di luar negeri. Pusgrafin diharapkan mampu mengembangkan dan membina kualitas manajemen industri grafika dan penerbitan. Salah satu prinsip dari Reinventing the Government dari sepuluh prinsip yang ditawarkan Osborne dan Gaebler (1992) ialah pemerintahan Entrepreneur. Birokrasi
(11)
pengelolaan Organisasi harus dijalankan melalui proses kepemimpinan dalam perspektif “investasi” yang bisa dimaknai “menyimpan”. Menurut Osborne dan Gaebler, investasi tidak dimaknai secara sempit sebagai cara mendatangkan uang, melainkan berarti “menyimpan”. Kemudian Osborne dan Plastrik (1997) mereferensikan lima strategi menuju pemerintahan wirausaha, yaitu: strategi inti, strategi konsekuensi, strategi pelanggan, strategi pengendalian, dan strategi budaya.
Perkembangan Pusgrafin pada masa yang akan datang banyak diwarnai oleh berbagai faktor, antara lain skills dan vision yang dimiliki oleh pimpinan organisasi atau lembaga. Penciptaan iklim yang kondusif bagi terwujudnya perubahan dan pengembangan lembaga tidak lepas dari
aspek kepemimpinan lembaga. Pimpinan harus mampu
mengkonseptualkan arah baru untuk perubahan. Pemimpin adalah faktor kunci (the key factor) keberhasilan lembaga. Agar pemimpin dapat menjadi pembaharu lembaga melalui transformasi budaya dan secara hipotetical dapat dilaksanakan oleh pemimpin yang memiliki jiwa wirausaha. Pemimpin adalah “decision maker” bagi seluruh kegiatan kelembagaan. Pemimpin entrepreneur akan membelanjakan anggaran menjadi investasi dan mampu menanamkan jiwa wirausaha ke seluruh jajarannya. Hal-hal inilah menjadi tantangan besar bagi lembaga Pusgrafin dalam menghadapi perubahan.
(12)
Fungsi pemimpin antara lain adalah sebagai manajer pembaharu organisasi melalui proses transformasi budaya. Unsur pimpinan Pusgrafin adalah pemimpin yang bertanggung jawab dalam pengaturan dan pengelolaan seluruh aktivitas lembaga sehingga mencapai tujuan lembaga secara efektif. Pimpinan yang dilandasi jiwa entrepreneur diperkirakan dapat membentuk citra dari pemimpin yang kharismatis,
ditularkan melalui proses kepemimpinan transformasional yang
memfokuskan perubahan-perubahan. Manajemen Kepemimpinan di Pusat Grafika belum menunjukkan kriteria kepemimpinan entrepreneur. Pemimpin berjiwa entrepreneur akan menciptakan hubungan istimewa dengan bawahan, menyediakan stimulasi intelektual dengan menantang orang yang dipimpinnya untuk berpikir dalam suatu cara yang benar-benar baru. Hal yang penting adalah kemampuan pimpinan lembaga menjadikan bawahannya “sadar pendapatan”. Namun, jiwa entrepreneur tidak identik dengan bisnis komersil. Kuncinya adalah pada etos kerja. Pemimpin, entrepreneur akan selalu tekun dan yakin bila berjuang lebih keras akan berhasil. Kenyataannya pimpinan Pusgrafin kurang visioner, belum menjadi agen perubahan, belum memiliki etos kerja, belum berani menanggung resiko, serta kurang memiliki keyakinan yang mendalam mengenai nilai penting dari bekerja yang ditekuninya. Keadaan ini dipicu sistem organisasi yang dimulai dari pola pengangkatan yang umumnya tidak dilatari oleh syarat jabatan keahlian di bidang kegrafikaan.
(13)
Untuk itu ketika pemerintah memiliki komitmen kuat dalam pengembangan kualitas produk grafika maka Pusgrafin menjadi lembaga pertama yang memiliki tanggung jawab tersebut. Seluruh Unit kerja di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional harus mengambil peran dan tanggung jawab dalam pelaksanaan kebijakan nasional pendidikan nasional termasuk “menjaga eksistensi Pusgrafin” dengan berbagai cara. Oleh karena itu Pusgrafin harus dilihat secara integratif sebagai unit teknis yang mendukung pelaksanaan kebijakan strategis pendidikan nasional tersebut, dengan program penguatan kapasitas dan modernisasi di bidang kegrafikaan dan penerbitan, khususnya dengan menyesuaikan tugas, fungsi, dan susunan organisasi dengan kebutuhan pelanggan pendidikan nasional, serta menyusun sistem dan prosedur kerja yang efektif bagi terlaksananya kinerja yang lebih memadai.
Pelanggan Pusgrafin minimal dapat diidentifikasi sebagai pelanggan internal dan pelanggan eksternal. Pelanggan internal dari kalangan Departemen Pendidikan Nasional termasuk perguruan tinggi, sedangkan pelanggan eksternal adalah masyarakat grafika. Kalau dilihat dari peran dan tanggung jawab Pusgrafin di bidang kegrafikaan dan penerbitan, maka upaya pencitraan publik harus mengedepankan pelayanan kepada pelanggan eksternal. Karena itu perlu penguatan unsur organisasi yang mengedepankan fokus kepada pelayanan pelanggan,
(14)
yaitu dengan cara melaksanakan prinsip-prinsip sebagaimana disebutkan dalam ISO 9001:2000, meliputi:
1. Fokus kepada pelanggan 2. Penguatan kepemimpinan
3. Keterlibatan semua pegawai/karyawan 4. Pendekatan proses
5. Pendekatan sistem dan manajemen 6. Penyempurnaan yang berkesinambungan
7. Pendekatan yang faktual dalam pengambilan keputusan 8. Hubungan saling menguntungkan dengan pemasok
Proses kebijakan harus dilakukan menurut prinsip yang terkandung dalam dimensi-dimensi nilai sistem administrasi Negara Republik Indonesia, termasuk sistem pemerintahan yang baik, seperti kepastian hukum, demokrasi, desentralisasi, partisipasi, transparansi, rasional, profesional dan akuntabilitas. Kebijakan publik merupakan keputusan yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang berkewenangan dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan nasional.
(15)
Policy sistem pada Pusat Grafika Indonesia merupakan tatanan kelembagaan yang berperan atau merupakan “wahana” dalam penyelenggaraan sebagian atau keseluruhan proses kebijakan (formulasi, implementasi dan evaluasi kinerja kebijakan) yang mengakomodasikan kegiatan teknis (technical process) maupun sosiopolitis (socio-political process) serta saling berhubungan atau berinteraksi antar empat faktor dinamik, yaitu :
1. Lingkungan kebijakan
2. Pembuat dan pelaksana kebijakan 3. Kebijakan itu sendiri
4. Kelompok sasaran kebijakan
Perubahan-perubahan strategis meliputi para manajer organisasi publik dan non profit seperti Pusgrafin, tidak akan pernah luput dari perubahan strategis dalam tubuh organisasinya. Apabila perubahan itu mutlak harus dilakukan, mereka perlu menyesuaikan arah perjalanan organisasi dengan misi dan tujuan yang ingin dicapai. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Hunger dan Wheelen (2001), proses manajemen strategis meliputi empat elemen dasar yaitu :
1. Pengamatan lingkungan 2. Perumusan strategi 3. Implementasi strategi
(16)
4. Evaluasi dan pengendalian
Memperhatikan situasi kegrafikaan dan penerbitan yang semakin meningkat serta berkembang tersebut, serta peran yang strategis untuk mengembangkan jumlah dan mutu sumber belajar sangatlah relevan untuk melakukan revitalisasi tugas dan fungsi, model kepemimpinan dan kelembagaan Pusat Grafika Indonesia dengan mencari strategi pengembangan kelembagaan yang inovatif agar menjadi ujung tombak pengembangan dunia grafika dan penerbitan di Indonesia melalui kepemimpinan entrepreneur.
B. Fokus Permasalahan Penelitian
Bertitik tolak dari latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, mendeskripsikan kondisi objektif kepemimpinan lembaga Pusat Grafika Indonesia yang belum memadai untuk melaksanakan perannya, dan belum mampu membawa perubahan lembaga sesuai dengan tantangan lingkungan serta kemajuan teknologi grafika, maka fokus permasalahan mendasar dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
“Profil kepemimpinan Lembaga Pusat Grafika Indonesia yang sesuai untuk pencapaian Visi dan Misi.”
Dari fokus permasalahan tersebut selanjutnya dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
(17)
1. Bagaimanakah pertumbuhan dan perkembangan Pusat Grafika Indonesia?
2. Bagaimanakah budaya kerja, iklim, dan lingkungan lembaga Pusgrafin?
3. Bagaimanakah profil kepemimpinan aktual di Pusgrafin? 4. Bagaimanakah pola kepemimpinan di Pusgrafin?
5. Bagaimana proses revitalisasi kepemimpinan menuju lembaga Pusgrafin yang maju dan kompetitif?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini ingin menemukan profil Pimpinan Lembaga Pusgrafin yang dapat membawa lembaga menjadi maju dan kompetitif. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah :
1. Memperoleh gambaran nyata pertumbuhan dan perkembangan Pusat Grafika Indonesia dalam upaya mencapai visi dan misi organisasi.
2. Memperoleh gambaran budaya kerja, iklim, dan lingkungan lembaga Pusgrafin.
3. Memperoleh gambaran profil pimpinan Pusat Grafika Indonesia dalam mempengaruhi budaya, iklim dan lingkungan organisasi dalam mencapai kinerja yang optimal.
(18)
5. Memperoleh strategi proses revitalisasi kepemimpinan Pusat Grafika Indonesia yang inovatif untuk menjadi organisasi yang maju dan kompetitif dalam memenuhi kebutuhan stakeholders.
D. Manfaat Penelitian
Kajian kepemimpinan termasuk pada dunia pendidikan terus berkembang dan menjadi kajian yang menarik dalam dunia akademik, karena memiliki nilai yang universal dalam konteks proses humanisasi. Proses tersebut melalui perubahan budaya dalam bentuk perubahan dan pembaharuan kelembagaan yang akan memperkaya khasanah ilmu administrasi pendidikan, khususnya dalam pengembangan pola-pola kepemimpinan dalam manajemen sistem kelembagaan.
Di samping itu, secara praktis penelitian ini berkenaan dengan
aspek-aspek yang secara substansial menyangkut eksistensi
kelembagaan, sehingga diharapkan dapat memberikan rekomendasi
dalam rangka pembinaan dan pengembangan proses-proses
kepemimpinan di lingkungan Pusgrafin. Manfaat langsung dari penelitian ini diharapkan berguna antara lain:
1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu rujukan untuk
perencanaan pengembangan sumber daya manusia dan
(19)
2. Para pengambil kebijakan dalam menentukan dan menunjuk pimpinan lembaga akan menyusun kriteria dan sarat jabatan yang
mengacu pada tugas dan fungsi lembaga yang akan
dipercayakannya.
3. Mendorong para pengelola Pusgrafin untuk melakukan kaderisasi kepemimpinan dan mengembangkan kreativitas serta inovasi di bidang proses kepemimpinan.
4. Para peneliti, para ahli manajemen dan kebijakan, dosen, pejabat pendidikan di pusat dan daerah, serta siapa saja yang berminat
kepada pengembangan sumber daya manusia dalam
kepemimpinan dalam rangka perubahan organisasi.
5. Memotivasi diri peneliti sendiri untuk terus mengembangkan penelitian ini.
E. Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka berpikir penelitian merupakan model yang menjadi rujukan bagi peneliti dalam melaksanakan penelitiannya. Penelitian ini berawal dari pemikiran bahwa suatu organisasi akan tetap survive bila selalu siap untuk berubah. Perubahan perlu dikenal, dipahami, dikelola, dan bahkan diciptakan untuk dapat melaksanakan kinerja dalam mencapai tujuan yang diharapkan baik oleh industri, kelompok, maupun organisasi. Sumber Daya Manusia perlu disiapkan untuk menerima dan
(20)
menjalankan perubahan (Wibowo, 2006). Sedangkan Robbins dan Langton (2001) menyebutkan lima opsi dalam manajemen perubahan yaitu berkenaan dengan: (1) budaya; (2) struktur; (3) teknologi; (4) setting fisik lingkungan; dan (5) manusia itu sendiri.
Suatu lembaga yang ingin tetap eksis dan berkembang harus peka terhadap perubahan. Perkembangan teknologi sangat besar pengaruhnya terhadap perubahan lembaga sejenis Pusgrafin, karena output lembaga tersebut adalah sumber daya manusia yang dituntut mampu mengembangkan dan menggunakan teknologi kegrafikaan. Organisasi pemerintah (birokrasi) yang dibentuk berdasarkan legalitas birokrasi akan canggung menghadapi perubahan. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan analisis yang tajam khususnya terhadap kepemimpinan dan budaya organisasi. Ketimpangan di dalam dua hal tersebut memerlukan tipe pemimpin entrepreneur yang diharapkan mampu mencari perubahan dan perkembangan lembaga. Revitalisasi kepemimpinan diharapkan sebagai tonggak perubahan kelembagaan ke arah strategi Kelembagaan Pusgrafin yang maju dan kompetitif. Alur pikir atau paradigma penelitian ini secara diagramatis digambarkan dalam bentuk siklus seperti Gambar 1.1 berikut:
(21)
Analisis yang mendalam, difokuskan pada elaborasi prinsip-prinsip entrepreneur yang berkaitan dengan fungsi kepemimpinan dalam melaksanakan peranan lembaga dan aspek-aspek kekurangefektifan peranan pimpinan lembaga Pusat Grafika Indonesia. Sisi lain yang sering terlupakan untuk dikaji, bukan saja pada aspek desain sistem kepemimpinan, namun lebih utama adalah bagaimana jiwa entrepreneur menjadi kepemilikan para pimpinan lembaga, yang diwujudkan dalam setiap proses pemimpinan kelembagaan. Inilah yang dimaksudkan dengan ‘Kepemimpinan Entrepreneur’. Namun demikian, pada saat proses transformasi kepemimpinan, tidak terlepas dari pengaruh lingkungan strategis, baik lingkungan internal maupun lingkungan eksternal. Kebijakan Kelembagaan Profil Pusgrafin Tantangan Lingkungan dan Masa Depan Budaya Organisasi A N A L I S I S Kepemimpin an Kepemimpin an entrepreneur Perubahan Budaya dan iklim yang kondusif melalui pendidikan Lembaga Pusgrafin yang maju dan kompetitif Umpan balik Gambar 1.1. Kerangka Pikir Penelitian
(22)
Untuk mengatasi kedua pengaruh lingkungan strategis tersebut sangat dibutuhkan kepemimpinan entrepreneur, sehingga diperkirakan dapat mampu mendorong terciptanya budaya kerja ke arah peningkatan kualitas pelayanan kelembagaan Pusgrafin. Karena itu, proses transformasi kepemimpinan entrepreneur tersebut harus diarahkan pada upaya-upaya peningkatan mutu kinerja kelembagaan.
Dihubungkan dengan permasalahan yang diteliti, maka paradigma yang penulis anggap sesuai adalah paradigma model analisis organisasi dengan pendekatan manajemen perubahan. Analisa permasalahan tidak terlepas dari pandangan General System Theory, yang dikenal dengan model analisis input-proses-output-outcomes.
Sasaran pembangunan manusia di Indonesia pada dasarnya diarahkan pada peningkatan kualitas manusia sebagai insan dan manusia sebagai pelaku pembangunan. Manusia sebagai insan diutamakan pada peningkatan kualitas harkat dan martabatnya yang tercermin dari nilai intrinsik manusia, antara lain akhlak, moral dan spiritual, kejuangan serta kondisi fisik, seperti kesehatan dan pendidikan. Sedangkan manusia sebagai pelaku pembangunan terutama berkenaan dengan keahlian, keterampilan, kreativitas, profesionalisme, dan etos kerjanya. Keduanya dikembangkan secara simultan dan integratif, karena keberhasilan manusia sebagai pelaku pembangunan sangat tergantung dari
(23)
keberhasilannya sebagai insan. Keahlian seseorang tidak mempunyai arti apa-apa jika tidak dilandasi dengan akhlak dan moral yang baik.
Sehubungan dengan itu, maka adanya upaya mendidik, melatih, dan mengembangkan para pegawai, widyaiswara, instruktur, dan karyawan di bidang kegrafikaan dan penerbitan dapat pula dianggap sebagai salah satu upaya pembangunan manusia.
F. Premis dan Asumsi Penelitian
Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut, maka asumsi yang dija-dikan sebagai titik tolak pemecahan masalah penelitian ini ialah:
1. Pemimpin yang berjiwa entrepreneur ialah pemimpin yang dapat menghasilkan ketimbang menghabiskan, birokrasi dan kepemimpinan harus dijalankan dalam perspektif “investasi”, namun investasinya tidak dimaknai secara sempit sebagai cara mendatangkan uang, melainkan sebagai simpanan modal untuk kemajuan lembaganya (Osborne dan Gaebler: 1992).
2. Kepemimpinan yang efektif dapat dilihat dari prinsip-prinsip: participation, law enforcement, transparency, responsiveness, equity,
strategic vision, effectiveness and efficiency, profesionalism,
accountability, supervision (Osborne dan Gaebler; 1992).
3. Ada lima opsi dalam manajeman perubahan, yaitu perubahan yang berkenaan dengan: (1) budaya, (2) struktur, (3) teknologi, (4) setting
(24)
fisik lingkungan, dan (5) manusia itu sendiri (Robbins dan Langton; 2001).
4. Budaya organisasi adalah “a pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think, and feel in relation to those problems” (Schein, 1992).
5. Perubahan budaya organisasi pada dasarnya menyangkut
fearlessness culture, persistence culture, one-shot culture, process culture (Sweeney & McFarlin, 2002).
6. Konsep kinerja pelayanan berkenaan dengan tingkat "efektivitas" dalam mencapai produktivitas kelembagaan, “…that employee productivity, regardless of wether it is defined in terms efficiency or effectiveness, is a function of both the employee’s ability and motivation to perform.” (McAfee dan Poffenberger, 1982).
7. Kriteria penting yang digunakan untuk mengukur efektivitas organisasi adalah kualitas performance (kinerja). Performance quality berkenaan dengan kegiatan-kegiatan, tugas, program, atau misi yang dilakukan organisasi. Karenanya, kriteria yang dapat dijadikan ukuran peningkatan kualitas pelayanan kelembagaan berkenaan dengan: (1) kemampuan adaptasi atau fleksibilitas, (2) produktivitas, (3) kepuasan
(25)
kerja, (4) kemampuan menghasilkan (benefits), dan (5) pencarian sumber daya (Steers, 1980).
8. Pengembangan organisasi adalah suatu jawaban terhadap perubahan, suatu strategi pendidikan yang kompleks yang diharapkan untuk merubah kepercayaan, sikap, nilai dan susunan organisasi, sehingga organisasi dapat lebih baik dalam menyesuaikan dengan teknologi, pasar, dan tantangan baru serta perputaran yang cepat dari perubahan itu sendiri ( Warren G Bennis, 1981)
9. Perubahan perlu dikenal, dipahami, dikelola dan bahkan diciptakan untuk meningkatkan kinerja dan mencapai tujuan yang diharapkan baik oleh industri, kelompok, maupun organisasi. Sumber manusia perlu dipersiapkan untuk menerima dan menjalankan perubahan (Wibowo, 2006).
10. Struktur organisasi hendaknya mulai dirubah untuk disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa mengurangi aktivitas yang sedang berjalan (Sutarto, 1998).
Berdasarkan asumsi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Pusgrafin dalam kedudukannya sebagai sub satuan organisasi penunjang teknis di lingkungan Sekretariat Jendral Departemen Pendidikan Nasional, merupakan sub satuan organisasi yang memiliki independensi dalam bidang kegrafikaan dan penerbitan. Kajian Revitalisasi Kepemimpinan
(26)
Lembaga Pusat Grafika Indonesia akan menemukan fakta bahwa lembaga yang membina, mengembangkan, dan melatih tenaga kegrafikaan masih dapat dikembangkan menjadi lembaga yang maju dan kompetitif.
Seiring dengan pengembangan teknologi, reinventing kelembagaan Pusgrafin diperlukan, dengan penyesuaian tugas dan fungsi, peran, kinerja, budaya organisasi, tingkat kemampuan profesional, kedudukan, dan tentunya kepemimpinan. Faktor kepemimpinan memegang peranan yang penting untuk membawa perubahan kelembagaan, ke arah yang lebih baik. Kepemimpinan entrepreneur diharapkan menjadi pilihan tepat untuk membawa model lembaga kegrafikaan yang maju dan kompetitif.
(27)
(28)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif-deskriptif-analitis. Jenis penelitian deskriptif adalah jenis penelitian untuk mengkaji status sekelompok manusia, suatu objek, suatu setting kondisi, suatu sistem pemikiran tertentu atau suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antarfenomena yang diselidiki, dengan cara mengumpulkan data-data yang diperoleh untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif (Wahono, 2000).
Pada penelitian kualitatif, peneliti berusaha memahami subjek dari kerangka berpikirnya sendiri (Taylor dan Bogdan, 1984; Creswell, 1994; Neuman, 1997). Dengan demikian, yang terpenting dalam pendekatan ini adalah pengalaman, pendapat, perasaan, dan pengetahuan partisipan (Patton, 1990). Oleh karena itu, semua perspektif menjadi bernilai bagi peneliti. Peneliti tidak melihat benar atau salah, melainkan kebenaran bersifat jamak yang bersumber dari semua informan. Artinya semua data yang ditemukan di
(29)
lapangan dipandang penting. Pada konteks lain, pendekatan ini sering disebut juga sebagai pendekatan yang humanistik, karena peneliti tidak kehilangan sisi kemanusiaan dari suatu kehidupan sosial. Peneliti tidak dibatasi lagi oleh angka-angka, perhitungan statistik, variabel-variabel yang mengurangi nilai keunikan individual tiap-tiap manusia yang menjadi objek penelitian (Taylor dan Bogdan, 1984).
Metode yang digunakan dalam pendekatan kualitatif ini tidak kaku dan tidak terstandarisasi. Penelitian kualitatif sifatnya fleksibel, dalam arti kesesuaiannya tergantung dari tujuan setiap penelitian. Walaupun demikian, selalu ada pedoman untuk diikuti, tapi bukan aturan yang mati (Cassel dan Symon, 1994; Strauss, 1987; Taylor dan Bogdan, 1984). Jalannya penelitian dapat berubah sesuai kebutuhan, situasi lapangan serta berbagai fenomena yang muncul selama berlangsungnya aktivitas penelitian ini.
Tedapat berbagai macam pendapat yang dikemukakan oleh sejumlah penulis mengenai kapan pendekatan kualitatif digunakan. Sebagian besar penulis seperti: Creswell (1994); Patton (1990); Strauss (1987); Taylor dan Bogdan (1984) mengemukakan bahwa pendekatan kualitatif digunakan bila peneliti ingin memahami sudut
(30)
pandang partisipan secara lebih mendalam, dinamis, dan menggali berbagai macam faktor sekaligus. Selain itu, Creswell (1994) menambahkan bahwa pendekatan kualitatif tepat digunakan dalam situasi yang informal. Dalam hal ini dimungkinkan oleh topik yang peka bagi responden, latar belakang demografis misalnya, pendidikan, lokasi dan situasi lembaga, sumber pendapatan orang-orang yang ada dan terlibat dalam lembaga yang diteliti, aktifitas kehidupan/budaya kerja dalam organisasi dan sebagainya pada tempat tertentu serta berbagai kondisi yang menyebabkan pendekatan kuantitatif sulit diterapkan.
Menurut Strauss dan Corbin (1990) penelitian kualitatif dapat berupa penelitian tentang kehidupan, riwayat, dan perilaku seseorang. Di samping itu, penelitian dengan pendekatan kualitatif dapat juga mencermati tentang peranan organisasi, pergerakan sosial atau hubungan timbal balik dalam interaksi antar manusia sebagaimana dikaji dalam penelitian ini. Selanjutnya, penelitian dengan pendekatan kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik fenomena yang sedikit diketahui. Dengan kata lain, metode ini juga dapat memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkap oleh penelitian kuantitatif. Penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif
(31)
sifatnya memberi makna terhadap sebuah atau beberapa buah fenomena dalam aktifitas kehidupan manusia beserta lingkungan sosialnya. Sementara penelitian dengan menggunakan pendekatan kuantitatif lebih banyak ingin membuktikan sebuah hipotesis. Namun demikian, beberapa tokoh metodologi penelitian kualitatif seperti: Cresswell (1994); Patton (1990); Goetz dan LeCompte (1984); Strauss (1987); Taylor dan Bogdan (1984); Corbin (1990) menjelaskan kelebihan pendekatan kualitatif antara lain adalah kemampuannya untuk memotret fenomena yang tidak bisa diukur oleh penelitian kuantitatif, berupa gejala yang hidup dalam alam pikiran manusia yang tidak dapat ditangkap hanya dengan mengamati tingkah lakunya.
Penelitian dengan pendekatan kualitatif bekerja berdasar logika induktif, yang berupaya untuk memecahkan masalah dengan menempuh cara berpikir sintetik melalui proses pembuktian kebenaran bersifat aposteriori. Cara berpikir sintetik berangkat dari berbagai pengetahuan dan fakta-fakta khusus atau peristiwa-peristiwa yang kongkret. Selanjutnya berbagai fakta tersebut dirangkaikan menjadi suatu pemecahan masalah yang bersifat umum. Atau dengan istilah lain, kesimpulan yang ditempuh melalui jalan induktif berangkat dari berbagai fakta dan peristiwa kongkret
(32)
yang selanjutnya disusun pada suatu pola/emergent design yang muncul di permukaan.
Mengacu pada prinsip logika induktif di atas, peneliti akan berangkat dari data lapangan untuk membuat kategorisasi/konsep-konsep penelitian. Data-data yang diperoleh di lapangan akan direduksi sesuai dengan kisi-kisi penelitian sehingga dapat dihasilkan konsep penelitian. Guna menjaga validitas penelitian, peneliti menggunakan trianggulasi data untuk memverifikasi setiap temuan lapangan. Dengan demikian, peneliti dapat memastikan konsep yang muncul adalah realitas di lapangan bukan sekedar persepsi informan tentang realitas yang diteliti.
Penelitian ini tidak dirancang untuk menguji hipotesis, tetapi lebih mengarah pada upaya pendeskripsian data, fakta dan keadaan atau kecederungan yang ada serta melakukan analisa apa yang ada dalam masyarakat wilayah penelitian. Kondisi nyata lapangan diangkat berdasarkan hasil studi kasus kualitatif dan dikemas dengan teknik penyajian deskriptif analitik.
B. Pendekatan Penelitian
Perhatian utama penelitian ini adalah tentang gambaran nyata kinerja organisasi kepemimpinan yang diperankan oleh
(33)
Pusgrafin pada perubahan budaya organisasi ke arah peningkatan kinerja kelembagaan dengan pola kepemimpinan transformatif yang dipertajam dengan upaya penggalian informasi tentang model
transformasi kepemimpinan transformatif berbasis budaya
entrepreneur menuju peningkatan kualitas kinerja kelembaggan sesuai dengan konteks aktifitas organisasi dalam menghadapi berbagai perubahan yang melingkupi. Aktifitas dan kinerja Pusgrafin dalam upaya memberikan layanan jasa kegrafikaan dan penerbit yang akan berpengaruh langsung pada peningkatan kualitas dan ragam sumber belajar serta produk-produk grafika lainnya merupakan suatu sistem “pengetahuan” yang digunakan untuk memahami lingkungan kinerja Pusgrafin guna membantu
masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan sekaligus
pemahaman tentang kegrafikaan dan penerbitan dalam
meningkatkan efisiensi pengelolaan industri grafika dan penerbitan. Oleh karena itu, pendekatan penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi sejauh ini merupakan metode yang paling baik digunakan untuk menerangkan sesuatu fenomena yang terjadi pada saat ini. Dengan menggunakan metode pendekatan fenomenologi akan dapat diperoleh gambaran umum dan
(34)
mendalam dari objek penelitian yang dikaji berdasarkan ”penampakan-penampakan” pada diri objek penelitian. Berbagai penampakan yang dimaksudkan dalam metode fenomenologi ini merupakan penampakan yang sama sekali “baru” dan “hangat” sebagai suatu problema sosial. Dalam arti tidak ada “tirai” yang menghalangi suatu realitas untuk dapat menampakkan dirinya sebagai objek kajian. Berdasarkan realitas yang muncul itulah maka peneliti dapat mengamati berbagai gejala yang ada dengan penuh kesadaran tanpa ada rekayasa. Dengan demikian metode fenomenologi dapat dikatakan sebagai metode yang paling signifikan untuk mencermati dan mendalami objek yang akan diuji.
Metode pendekatan fenomenologi adalah bagian dari metode kualitatif yang dalam perkembangannya mengandung nilai sejarah mencakup existing condition kelembagaan Pusgrafin dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya termasuk budaya organisasi dalam proses transformasi kepemimpinannya. Mathew B. Miles dan Michael Huberman (1992) serta Embree (Salim, 2001) menyebutkan penelitian dengan metode fenomenologi membangun cara penelitian sebagai berikut:
1. Fenomenolog cenderung untuk menentang atau meragukan apapun yang diterima tanpa melalui penelaahan atau
(35)
pengamatan terlebih dahulu dan menentang sistem besar yang dibangun dari pemikiran spekulatif.
2. Fenomenolog cenderung untuk menentang naturalisme dan juga sering disebut positivisme yang tumbuh secara meluas dari ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta telah menyebar di daratan Eropa bagian utara sejak zaman Renaissance.
3. Secara positif penelitian dengan menggunakan pendekatan fenomenologi cenderung membenarkan pandangan atau persepsi dan juga evaluasi yang mengacu pada evidence. 4. Peneliti dengan menggunakan pendekatan fenomenologi
cenderung memegang teguh bahwa peneliti harus
memfokuskan diri pada apa yang disebut sebagai menemukan permasalahan sebagaimana diarahkan pada objek dan pembetulannya terhadap objek sebagaimana ditemukan dalam permasalahan.
5. Fenomenolog cenderung untuk mengetahui peranan deskripsi secara universal, pengertian apriori untuk menjelaskan sebab akibat serta maksud ataupun latar belakangnya.
Pada awalnya pendekatan fenomenologi sering dicirikan sebagai descriptive phenomenology yang berbentuk pembuktian
(36)
dan bersifat deskriptif terhadap dua bentuk temuan yaitu permasalahan dan objek sebagai permasalahan. Hal inilah yang kemudian memunculkan empat ragam pendekatan fenomenologi sebagai berikut:
1. Realistic phenomenology yang menekankan pada pencarian secara universal tentang persoalan berbagai objek yang mencakup tindakan manusia, motif tindakannya dan nilai kepribadiannya.
2. Constitutive phenomenology; metode jenis ini menganggap realita berada dalam kegiatan intersubjective, sehingga ciptaan dari pikiran selalu berada dalam posisi interaksi para aktor yang terlibat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam metode ini disadari pula bahwa walaupun dalam masyarakat mempunyai seperangkat pengetahuan tentang dunianya atau stock of knowledge sebagai bentuk akal sehat. Akan tetapi stock of knowledge yang ada tersebut juga belum tentu sempurna dalam mengintepretasikan objek yang ada.
3. Existensial phenomenology; yang menggunakan kehidupan manusia sebagai cara dalam ontologi fundamental yang bergerak melampaui ontologi regional.
(37)
4. Hermeneutic phenomenology; metode ini mengintepretasikan eksistensi manusia. Isu utama yang dikembangkan dengan pendekatan ini mencakup semua kecenderungan yang dikembangkan tiga pendekatan terdahulu, yang dibedakan oleh metode intepretasinya.
Tahap persiapan dalam penelitian kualitatif berbasis fenomenologi berdasarkan parameter pengumpulan data yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992) sebagai berikut: 1. The setting: peneliti perlu mengetahui kondisi lapangan
penelitian yang sebenarnya untuk membantu dalam
merencanakan pengambilan data. Hal-hal yang perlu diketahui untuk menunjang pelaksanaan pengambilan data, waktu dan lamanya wawancara mendalam serta biaya yang dibutuhkan. 2. The actors: peneliti perlu mendapatkan data tentang
karakteristik calon partisipannya. Di dalamnya termasuk situasi yang lebih disukai partisipan, kalimat pembuka, pembicaraan pendahuluan dan sikap peneliti dalam melakukan pendekatan. 3. The event, yaitu berbagai kejadian yang ada dalam wilayah
penelitian. Pada bagian ini peneliti akan memanfaatkan hasil sebagai bagian yang sangat penting dalam penelitian.
(38)
4. The process, berdasarkan persiapan pada bagian pertama sampai ketiga, maka disusunlah strategi pengumpulan secara keseluruhan. Strategi ini mencakup seluruh perencanaan pengambilan data mulai dari kondisi, strategi pendekatan, dan bagaimana pengambilan data dilakukan.
C. Latar Belakang Penentuan Tempat Penelitian (The Setting) Penelitian ini mengkaji tentang Revitalisasi Kepemimpinan Lembaga Pusat Grafika Indonesia (Studi kasus tentang keefektifan kepemimpinan entrepreneur di Pusat Grafika Indonesia menuju ke arah pengembangan lembaga yang maju dan kompetitif). Seiring dengan perkembangan teknologi di bidang kegrafikaan dan penerbitan serta faktor budaya dan sosial lainnya, Pusgrafin dituntut untuk dapat menjadi arus utama (mainstreaming) dalam pengembangan sistem kegrafikaan dan penerbitan yang canggih sebagai pelopor percetakan dan penerbitan berkualitas di Indonesia dalam penyediaan berbagai sumber belajar yang bermutu. Kondisi ini dihadapkan dengan terbitnya Peraturan Menteri Nomor: 60 Tahun 2008 Tanggal 4 Oktober 2008 tentang Pendirian Politeknik Negeri Media Kreatif, yang berujung dengan ditutupnya Pusgrafin. Hal ini memperkuat pertanyaan yang perlu
(39)
dikaji secara mendalam bahwa tepatkah pengalihan Pusgrafin menjadi Poltek Negeri Media Kreatif akan mendongkrak peningkatan kualitas percetakan dan penerbitan di Indonesia? Sehubungan dengan hal tersebut penelitian dilakukan di Pusgrafin Jakarta, Balai Grafika Medan, dan Balai Grafika Makasar. Penentuan tiga lokasi ini dipilih dengan alasan sebagai berikut: 1. Ketiga lembaga tersebut merupakan satu kesatuan organisasi
yang bergerak di bidang grafika dan penerbitan
2. Balai Grafika Medan dan Makasar merupakan Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pusgrafin yang diharapkan dapat mengejar ketertinggalan Industri Grafika di wilayah Indonesia bagian Barat dan bagian Timur.
Sebelum setting dipilih, diadakan penjagaan lapangan sebagai kegiatan pra survey sebelum penyusunan proposal. Pengamatan awal dilakukan untuk melihat dari dekat keberadaan Pusgrafin yang selama ini telah menampakkan perannya dalam
pengembangan penerbitan sumber belajar di Indonesia.
Pengamatan awal sampai dengan pemilihan setting dengan menemui dan mengadakan pendekatan secara kekeluargaan kepada komponen pimpinan dan staf yang kompeten di Pusgrafin baik pada situasi formal ataupun informal. Adanya penerimaan
(40)
yang simpatik dari jajaran Pusgrafin diyakini sebagai jalan untuk dapat melaksanakan penelitian di lokasi tersebut. Selanjutnya atas dasar perijinan formal dari berbagai instansi terkait penelitian mulai dilaksanakan dengan kegiatan pengumpulan data sesuai dengan fokus yang akan diteliti. Data dan informasi dijaring melalui berbagai cara dan komponen masyarakat grafika, staf dan pimpinan lembaga Pusgrafin baik yang masih aktif maupun yang sudah purna bakti akan tetapi masih memiliki perhatian pada persoalan grafika dan penerbitan.
D. Subjek Penelitian
Subjek penelitian dalam kajian ini mencakup pimpinan dan staf Pusgrafin yang berkompeten dalam permasalahan ini termasuk yang ada di Balai Grafika Makasar dan Medan. Sejak dibentuknya Pusgrafin sebagai salah satu lembaga pengembangan sumber daya di bidang kegrafikaan dalam lingkup Departemen Pendidikan Nasional, telah banyak menghasilkan berbagai karya sesuai dengan tugas dan fungsi yang dimilikinya. Meskipun dalam perkembangannya saat ini dalam proses perubahan menjadi lembaga pendidikan Politeknik Media Kreatif dengan tugas khusus yang memiliki perbedaan dengan lembaga sebelumnya. Kondisi ini
(41)
tentu saja membawa perubahan-perubahan baik pada tataran struktur organisasi, keberadaan SDM, pola manajemen, dasar hukum, tugas dan fungsi, dan sebagainya. Namun demikian, arah mana lembaga ini menyusun strategi dan pelaksanaan kinerja memerlukan pencermatan yang mendalam.
Penentuan subjek penelitian melalui seorang informan utama menjadi hal yang sangat menentukan dalam kajian ini. Kriteria pada sosok informan yang mengetahui luar dalam, tentang keberadaan lembaga Pusgrafin sejak awal dibentuk sampai dengan dinamika perkembangannya saat ini tidak memungkinkan bila hanya dilakukan dengan aktifitas random. Oleh karenanya dilakukan penjajakan awal yang cukup memakan waktu untuk dapat menentukan subjek penelitian/key informan (informan kunci) secara tepat. Melalui berbagai proses yang telah dilakukan ditemukan sosok Bapak AW (50 tahun) dan BP (64 tahun). Kedua informan tersebut masih aktif dalam lembaga kegrafikaan dan sangat mengetahui luar dalam tentang setting penelitian yang dimaksud. Selain itu, penelusuran data juga dilakukan pada praktisi kegrafikaan yang selama ini menjadi mitra kerja Pusgrafin. Informan yang dimaksud adalah F P, praktisi di bidang printing dan publishing dan SDM (55 tahun) selaku Ketua Ikatan Penerbit
(42)
Indonesia (IKAPI), TW (52 tahun) Pengurus Persatuan Perusahaan Grafika sebagai salah satu pengguna jasa Pusgrafin, AR (70 tahun) salah satu kepala University Press yang selalu mengikuti perkembangan Pusgrafin dari awal sampai saat ini. Terkait dengan tata kelola kelembagaan penelusuran data dan informasi secara mendalam juga dilakukan pada bagian Kelembagaan Biro Hukum dan Organisasi Depdiknas dan ditemukan informan SLH (49 tahun) yang sangat memahami tentang seluk-beluk kelembagaan di Depdiknas.
Untuk selanjutnya, jaringan informasi yang diberikan oleh subjek penelitian dikembangkan dengan teknik snow ball; artinya peneliti akan melakukan penggalian data sedikit demi sedikit yang lama kelamaan akan mendalam melalui dukungan informasi dari informan-informan yang lain.
E. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama dilakukan pengumpulan data primer. Data primer diambil dengan menggunakan teknik observasi partisipan. Peneliti mengikuti hampir pada semua aktifitas yang dilakukan oleh informan di kantor Pusgrafin ditambah dengan aktifitas informal di
(43)
luar kantor yang dianggap perlu. Peneliti juga melakukan beberapa
wawancara mendalam dengan beberapa staf Pusgrafin
berkompeten yang dianggap dapat melengkapi data yang diperlukan. Wawancara dilakukan dengan alat bantu tape recorder untuk memudahkan melakukan proses transkrip data. Agar proses penggalian data melalui observasi lapangan dan wawancara mendalam tidak keluar dari fokus penelitian maka terlebih dahulu disusun kisi-kisi instrumen. Dalam melakukan wawancara mendalam dipertajam dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD) diantara para informan pada suatu kesempatan tertentu. Hasil FGD diolah dengan menggunakan teknik Delphi untuk mempertajam intepretasi data.
Tahap kedua, peneliti melakukan crosscheck data primer yang telah diperoleh dengan berbagai literatur tentang persoalan management, budaya organisasi, dan lain-lain. Langkah ini
dilakukan untuk mengetahui “reaksi” pustaka tentang
kelembagaan, kepemimpinan, dan budaya organisasi terhadap fenomena yang ditemukan di lapangan.
Tahap ketiga, peneliti kemudian “mengkonfirmasi” data yang telah dilengkapi dengan studi pustaka ke lapangan. Pada tahap inilah peneliti berusaha mengintegrasikan seluruh fenomena yang
(44)
ditangkap melalui tahapan-tahapan analisis fenomenologi sebagaimana dikembangkan oleh Miles dan Huberman. Peneliti akan menghentikan melakukan snow ball ketika merasa sudah mengetahui seluk beluk Pusgrafin secara ajeg (saturated).
F. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema yang ada di dalam data tersebut (Bogdan dan Biklen, 1982; Patton, 1990). Perlu digarisbawahi, bahwa dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif, analisis data adalah suatu proses. Proses analisis data pada dasarnya sudah dimulai sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada
saat pengumpulan data berlangsung sampai pada saat
pengumpulan data selesai dilakukan. Pada saat melakukan wawancara mendalam kepada para informan yang dilakukan secara formal maupun informal, peneliti sudah melakukan analisis terhadap pandangan para informan yang diwawancarai. Berkaitan dengan hal tersebut, Miles dan Huberman (1984) mengatakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara
(45)
interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas. Artinya sampai data yang diperoleh dari para informan mengalami kejenuhan. Aktifitas dalam analisis data dalam penelitian ini mencakup tiga hal:
1. Reduksi data (data reduction), yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal-hal-hal yang penting, mencari tema dan polanya. Data yang direduksi memberikan gambaran yang lebih jelas dan memudahkan peneliti utuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencari bila masih diperlukan. Reduksi data merupakan proses berpikir sensitif yang memerlukan kecerdasan dan keleluasaan serta kedalaman wawasan.
2. Penyajian Data (Data Display); dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan lain-lain. Tetapi yang paling sering dilakukan adalah penyajian data dalam bentuk tes naratif. Penyajian data memudahkan peneliti dalam memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasar apa yang telah diamati.
3. Conclusion drawing/Verification; adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan yang dimaksud adalah kesimpulan awal, bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak
(46)
ditemukan bukti kuat. Di sini peneliti melakukan upaya untuk menjawab masalah yang dirumuskan sejak awal.
Dalam penelitian ini langkah analisis yang digunakan adalah analysis interactive models dari Miles dan Huberman (1984), sebagaimana dalam gambar di bawah ini.
Penggunaan model analisis kualitatif Miles dan Huberman di atas, dipertajam dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan menggunakan teknik Delphi. Hal ini dimaksudkan agar intepretasi data yang dilakukan sudah betul-betul merupakan data yang terjadi di lapangan. Selanjutnya dilakukan analisis
Data collection
Data display
Data reduction
Data drawing/verifying
Gambar 3.1.
(47)
SWOT untuk dapat mengukur kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan Tantangan Kepemimpinan di Pusat Grafika Indonesia.
G. Validitas Penelitian
Validitas penelitian ini menggunakan validitas dalam penelitian kualitatif, yang disebut dengan trianggulasi untuk menjamin diperolehnya data yang akurat. Menurut Miles dan Huberman (1992), makna dan informasi yang muncul harus selalu diuji kebenaran, kekokohan, dan kecocokannya. Dengan demikian, data-data yang disajikan dalam penelitian ini adalah realitas yang sesungguhnya, bukan impian atau khayalan peneliti belaka.
Dalam upaya untuk mencapai kredibilitas dan validitas data dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (1985) dan dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Kegiatan: yang dimaksud adalah melakukan kegiatan untuk
meningkatkan kemungkinan diperolehnya temuan yang
memiliki kredibilitas tinggi dengan cara: memperlama waktu penelitian, melakukan pengumpulan data secara terus menerus, melakukan trianggulasi data. Data yang diperoleh akan diverifikasi terus menerus melalui proses trianggulasi, uji
(48)
validitas dalam penelitian ini meliputi: a) melakukan pengecekan data, yaitu melakukan wawancara mendalam dengan dua orang atau lebih pada subyek penelitian yang berbeda dengan pertanyaan yang sama, b) melakukan cek ulang data, yaitu melakukan proses wawancara secara berulang dengan mengajukan pertanyaan yang sama pada informan yang sama dalam waktu yang berlainan, c) melakukan pengecekan silang, yaitu menggali keterangan tentang keadaan subjek penelitian yang satu dengan yang lainnya pada waktu berbeda.
2. Tanya jawab dengan teman sejawat: untuk membuat peneliti bersifat jujur atau tidak menimbulkan bias dalam menggali makna penelitiannya serta memperjelas landasan untuk membuat intepretasi. Tanya jawab dengan teman sejawat juga memungkinkan peneliti untuk membersihkan pikiran dan perasaan yang mungkin mengganggu dalam membuat keputusan.
3. Referensi yang cukup: merupakan cara untuk dapat menghasilkan evaluasi dari beberapa data yang diperoleh selama proses penelitian berlangsung.
(49)
4. Pengecekan oleh Subjek penelitian: dilakukan pengecekan data oleh subjek penelitian terhadap data, kategori-kategori, intepretasi dan kesimpulan merupakan teknik penting untuk mencapai kredibilitas. Hal ini dilakukan secara formal dan informal, secara kontinyu dengan memberikan kesempatan kepada subjek penelitian untuk memberikan tanggapan, komentar atau mengutarakan wawasan mereka.
H. Langkah-langkah Penelitian
Dalam melakukan aktifitas pencarian dan penggalian data, beberapa aktifitas yang dilakukan peneliti mencakup beberapa kegiatan sebagaimana berikut di bawah ini:
1. Studi penjajakan, dilakukan dengan melakukan kajian awal keberadaan lembaga Pusgrafin sebagai lembaga pemerintah dengan tupoksi khusus pengembangan SDM kegrafikaan dalam upaya penyediaan sumber belajar yang berkualitas. Aktifitas yang dilakukan adalah pengamatan awal keberadaan lembaga dan penjajakan pada beberapa personil yang terlibat didalamnya, sarana yang dimiliki, dan pola manajemennya
(50)
2. Studi pustaka, untuk mencari teori-teori dasar sebagai landasan dalam pengembangan asumsi berbagai fenomena yang ditemukan di lapangan.
3. Observasi lapangan, kegiatan observasi lapangan dilakukan di lembaga Pusgrafin termasuk Balai Grafika di Medan dan Makasar. Diawali dengan mencermati kondisi fisik lembaga dan letak geografisnya, pada hari berikutnya meningkat pada profil SDMnya, yang semakin diperdalam pada kegiatan observasi berikutnya. Dari sini disusun kategori penelitian menjadi kisi-kisi penelitian. Berdasar kisi-kisi penelitian ini, peneliti mulai melakukan pengumpulan data sekaligus melakukan analisis datanya. Peneliti akan menganalisa data primer dan data sekunder. Data primer akan diperoleh dengan wawancara mendalam kepada informan kunci yang telah ditetapkan. Adapun bagan alur sebagai berikut:
(51)
Transformasi kepemimpinan dan budaya oganisasi Pusgrafin
Studi Penjajagan Kondisi tubuh Pusgrafin dan Balai Grafika
Observasi Partisipan
Pembuatan
Kategori-kategori Trianggulasi Data kegiatan teman sejawat dan lain-lain
Eksistensi
Kepemimpinan di Pusgrafin
Inovasi model Kepemimpinan
Revitalisasi Pusgrafin:
•Desain Lembaga
•Struktur Organisasi
•Penyelenggaraan
•Kepemimpinan
Gambar 3.2.
Langkah-langkah Penelitian
Wawancara
(52)
(53)
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Keberadaan Pusat Grafika Indonesia (selanjutnya disebut Pusgrafin) diawali dengan keterdesakan pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan akan kebutuhan sumber bahan ajar cetak untuk memenuhi aktivitas belajar mengajar sekitar tahun 1966. Untuk itu, mulai dijalin hubungan kerjasama dengan pemerintah Kerajaan Belanda yang diikuti dengan pendirian Pusgrafin. Berbagai aktivitas dilakukan di Pusgrafin dalam masa kerjasama dengan pemerintah Belanda, mulai dari aktivitas produksi bahan-bahan cetakan sampai dengan memberikan pendidikan dan latihan kepada masyarakat yang tertarik pada bidang grafika dan percetakan untuk menjadi ahli pada bidang tersebut. Oleh karenanya, kebutuhan sumber belajar cetak untuk memenuhi kebutuhan pendidikan pada saat itu dapat terpenuhi yang diikuti dengan berkembangnya industri grafika di Indonesia, sebagaimana yang dikenal saat ini seperti Kompas, Sinar Harapan, Bintang Timur, Harian Fajar, Jawa Post Grup, dan sebagainya. Tahun 1977 Lembaga Grafika diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan dikelola oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan nama Pusat Grafika Indonesia (PGI) yang berganti akronim menjadi Pusgrafin.
(54)
Setelah beberapa kali mengalami perubahan tugas, fungsi serta struktur organisasinya, akhirnya berdasarkan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat-pusat di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional dan Pusgrafin berada dalam lingkungan Sekretariat Jenderal dan mengemban tugas untuk melaksanakan layanan grafika dan percetakan, kajian teknologi, dan pengembangan sumber daya bidang grafika dan penerbitan. Berdasarkan Permen ini, Pusgrafin
banyak memberikan berbagai diklat kepada masyarakat yang
membutuhkan, menggali, dan mengembangkan potensi masyarakat yang tertarik pada persoalan grafika dan percetakan, serta memberikan dukungan kepada pemerintah melalui Depdiknas pada produk-produk cetakan yang diperlukan. Hanya saja, terdapat berbagai hal yang ditemukan dan menjadi kendala dalam menjaga eksistensi keterlibatan Pusgrafin untuk mendukung kinerja pemerintah melalui Depdiknas. Berbagai faktor yang dapat dinyatakan sebagai penghambat dan sekaligus melemahnya pencitraan Pusgrafin di mata masyarakat antara lain: struktur kelembagaan yang tidak praktis, sumber daya manusia yang kurang profesional, tata kelola organisasi yang tidak akuntabel serta dukungan kebijakan dari pemerintah yang kurang jelas. Akibatnya, dalam dua puluh lima tahun terakhir tugas pokok, peran, dan fungsi Pusgrafin dalam jajaran birokrasi Depdiknas semakin tidak jelas dan sarat dengan muatan-muatan politis jangka pendek yang mengakibatkan semakin terpuruknya eksistensi Pusgrafin di Indonesia. Berangkat dari hal tersebut,
(55)
penelitian ini menyorot lebih mendalam pada faktor kepemimpinan sebagai salah satu aspek penting dan sekaligus penentu akan eksis tidaknya, maju tidaknya Pusgrafin dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Para ahli manajemen menjelaskan tentang pentingnya peran kepemimpinan dalam menjalankan roda organisasi. Pusgrafin sebagai lembaga pemerintah merupakan organisasi yang kuat karena terbentuk dengan pola top down. Dengan demikian pola penetapan kepemimpinan memiliki mekanisme tersendiri, sesuai dengan kriteria dan tuntutan yang ditetapkan oleh peraturan dan perundangan yang berlaku. Hanya saja, model kelembagaan dan pola penetapan kepemimpinan seperti ini memiliki kelemahan dan menjadi sumber persoalan untuk lembaga Pusgrafin dengan tugas dan fungsi yang berbeda dengan UPT lain di lingkup Depdiknas. Perbedaan ini terletak pada persyaratan khusus yang harus dimiliki oleh seorang calon pemimpin Lembaga Pusgrafin karena tuntutan keahlian yang harus dimiliki seiring dengan kebutuhan pengembangan sarana dan prasarana yang ada serta kemampuan menghadapi tantangan eksternal yang terus menguat. Ketersediaan sarana dan prasarana di Pusgrafin ataupun Balai Grafika merupakan aset besar bila dikelola dengan baik, yang selanjutnya akan mampu menghasilkan produktivitas kinerja Pusgrafin dan pada ujungnya Pusgrafin dapat memberikan kontribusi lebih konkret pada pemerintah dan para pegwai yang mengelolanya.
(56)
Persoalan kepemimpinan di Pusgrafin, berdasarkan hasil pengamatan berpengaruh langsung pada budaya kerja, iklim, dan lingkungan yang ada. Budaya kerja staf yang kurang profesional diawali oleh pola rekruitmen yang tidak transparan serta tidak berdasarkan analisis kebutuhan yang jelas. Faktor primordialisme seperti etnik, agama, dan kekerabatan, mendominasi proses rekruitmen staf. Pada aspek yang lain, iklim kerja staf dipengaruhi oleh ada tidaknya bentuk insentif yang dikeluarkan oleh pimpinan dan rendahnya motivasi berprestasi di antara para staf karena kurangnya motivasi dari pimpinan yang ada. Selama ini, proses penetapan kepemimpinan di Pusgrafin memiliki pola khas yang sarat kepentingan-kepentingan jangka pendek. Iklim kepemimpinan yang diwarnai oleh motivasi kepentingan pribadi menjadi ciri khas pola kepemimpinan Pusgrafin sejak tahun 1975 sampai dengan tahun 2000. Bahkan pada periode ini image para di tingkat departemen birokrat bahwa Pusgrafin adalah tempat parkir bagi pejabat di lingkup Depdiknas tidak terelakkan, karena hampir semua pimpinan di Pusgrafin bukanlah ahli grafika yang diharapkan mampu memahami substansi tugas-tugas kegrafikaan. Bila Terry (1996) dalam salah satu teorinya menyebutkan bahwa pemimpin adalah trigger yang dapat memberikan inspirasi kepada bawahan, memiliki akuntabilitas tinggi, memiliki ide inovatif, proaktif menyambut peluang, dan memiliki profesionalisme, sampai saat ini belum terwujud di Pusgrafin. Analisis kepemimpinan di Pusgrafin, berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut:
(57)
1. Tidak satupun pemimpin memiliki latar belakang pendidikan grafika secara akademik dan praktis.
2. Tidak ada dukungan pendanaan yang cukup dari pemerintah atau kebijakan yang luwes dalam penganggaran yang dapat memberikan peluang bagi Pusgrafin dalam mengembangkan tugas dan fungsi. Pusgrafin hanya mengolah dana rutin yang bersumber dari APBN saja. 3. Suasana kepemimpinan didominasi oleh kepentingan individu, etnis,
agama, dan kekerabatan.
4. Pola kepemimpinan birokratik, top down, yang kurang sesuai untuk lembaga Pusgrafin dengan kekayaan sarana dan prasarana yang bila dioptimalkan dapat menghasilkan keluaran yang lebih besar.
5. Kurangnya perhatian dari pemerintah pusat, karena lemahnya komunikasi birokrasi para pimpinan Pusgrafin dari waktu ke waktu. 6. Kurangnya kemampuan pimpinan untuk menangkap sinyal perubahan,
sebagai akibat dari tidak terpahaminya substansi tugas pokok lembaga grafika.
7. Kurangnya kaderisasi dan bimbingan karir dari staf menuju pucuk pimpinan di Pusgrafin.
8. Kultur birokratik pimpinan, menghambat berbagai kreativitas bawahan untuk melakukan perubahan.
9. Kuatnya image bahwa Pusgrafin sebagai UPT Depdiknas sebagai lahan parkir bagi pimpinan Depdiknas untuk menunggu masa pensiun.
(58)
10. Rendahnya dedikasi para pimpinan Pusgrafin, karena romantisme emosional orang-orang tertentu yang mempengaruhinya.
Berdasarkan hal-hal di atas, menggambarkan ketidakefektifan kepemimpinan di Pusgrafin yang membawa ekses pada: dominasi sikap paternalistik pada struktur kepemimpinan di Pusgrafin, lemahnya kemandirian, kurangnya komitmen staf, munculnya loyalis-loyalis semu, penuh konflik yang menurunkan semangat kerja, lemahnya komitmen, sempitnya jaringan kerja, dan berujung pada rendahnya pencitraan Pusgrafin di mata masyarakat. Untuk itu, temuan penelitian ini mengajukan terjadinya perubahan pola kepemimpinan di Pusgrafin pada model kepemimpinan transmormatif yang berbasis budaya entrepreneur. Kondisi ini dipertajam dengan analisis SWOT yang memperkuat argumentasi bahwa Pusgrafin masih dapat dipertahankan sebagai lembaga yang kuat dan maju dengan persyaratan-persyaratan tertentu, khususnya persoalan kepemimpinan. Temuan ini mempertegas teori kepemimpinan modern yang dikemukakan oleh R. Jones (2000) bahwa pemimpin bukan sekedar kemampuan mempengaruhi, tetapi lebih pada kemampuan memberikan inspirasi kepada bawahannya untuk mencapai visi, misi, dan tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Sudah barang tentu aplikasi teori R. Jones ini Pusgrafin dapat menjadi lembaga yang kuat dan maju serta diakui eksistensinya di masyarakat harus segera meninggalkan pola kepemimpinan konvensional yang diwarnai oleh kurangnya pelibatan staf, dominasi budaya birokrat, lemahnya pengelolaan konflik,
(59)
menonjolnya kepentingan pribadi, ketidakmampuan mengoptimalkan aset, ketidakberanian pimpinan di Pusgrafin untuk mengambil risiko, dan minimnya profesionalisme pada seluruh jajaran.
Untuk itu mendukung optimalisasi teori kepemimpinan R. Jones (2000) perlu dilakukan transformasi kepemimpinan sebagaimana dikembangkan oleh Burns (1978) dan Bernard Bass (1990) yang menyatakan bahwa untuk merespon perubahan diperlukan transformasi kepemimpinan, karena dalam pola kepemimpinan ini pemimpin bekerja dengan sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya, mengubah status quo menuju lembaga yang maju dan
kompetitif. Empat hal yang berpengaruh dalam transformasi
kepemimpinan ini dalam teori Bass (1990) mencakup idealized influences, inspirational, intellectual stimulation, dan individualized consideration, yang bila melalui prosedur penetapan kepemimpinan sesungguhnya dapat ditemukan sosok pemimpin sejati untuk mengemudikan roda organisasi Pusgrafin. Pola kepemimpinan transformasional ini akan semakin kokoh bila diperkuat dengan model entrepreneur sebagai jiwa kepemimpinan yang transformartif. Mengacu pada teori Bass dan Avolio (1990) yang menegaskan bahwa pola kepemimpinan transformasional bertujuan untuk
maksimalisasi hasil kinerja organisasi. Oleh karenanya pola
kepemimpinan transformasional ini, semakin jelas bila dipadukan dengan
pola kepemimpinan entrepreneur dengan 22 karakteristiknya
(60)
Lupiyohadi (2007) yang mengatakan bahwa seorang entrepreneur memiliki profil kepribadian yang didominasi oleh keinginan berprestasi dalam mewujudkan cita-cita organisasi, dalam berbagai situasi selalu mencari segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kinerja lembaga, selalu ingin tampil lebih baik dan lebih efektif, dan memiliki swa-kendali tentang kekurangan dan kelebihan organisasinya. Dengan demikian, temuan penelitian ini menegaskan bahwa perubahan pola kepemimpinan di Pusgrafin menjadi lembaga yang kuat, maju dan kompetitif tidak dapat dipungkiri. Existing condition Pusgrafin saat ini dalam proses berubah menjadi Politeknik Negeri Media Kreatif, boleh dikatakan belum mampu menyelesaikan permasalahan sesungguhnya, yaitu peningkatan kinerja kelembagaan yang kurang profesional selama ini. Oleh karenanya, diawali dengan mengubah pola kepemimpinan dari pola birokratik ke pola transformatif berbasis entrepreneur menjadi satu langkah konkret pengembalian peran Pusgrafin yang sesungguhnya. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam teori Hornaday (1982) yang menjelaskan kepemimpinan entrepreneur mampu membangkitkan kinerja kelembagaan menuju layanan profesional dalam mendukung program-program pemerintah. Kepemimpinan entrepreneur menjadi jiwa (soul) bagi para top level yang duduk di Pusgrafin untuk dapat mengkondisikan seluruh komponen untuk dapat memiliki loyalitas sungguh-sungguh, bekerja bersama-sama, saling memahami dan saling memotivasi kepada komunitas Pusgrafin tanpa kecuali. Situasi dan kondisi lembaga yang
(61)
seperti tersebut di atas, mendeskripsikan suatu budaya, iklim, dan lingkungan kerja yang efektif. Karena setiap orang boleh dan harus memiliki sense of belonging bersama-sama dalam memajukan organisasi. Bila hal ini yang terjadi sudah dapat dipastikan Pusgrafin tanpa diucapkanpun sudah siap dan tergambar sebagai lembaga yang kuat, maju, dan kompetitif dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Pemimpin yang ideal di Pusgrafin adalah pemimpin yang memiliki delapan sikap pribadi sebagaimana diungkapkan oleh Terry (1996) dan Drake (1999).
B. Implikasi
Berdasarkan temuan penelitian, bahwa pola kepemimpinan transformatif berbasis entrepreneur menjadi penentu bagi keberhasilan Pusgrafin untuk melaksanakan tugas, fungsi, dan tujuannya, serta pengembalian citra positif Pusgrafin di mata masyarakat dan pemerintah. Oleh karenanya, secara menyeluruh temuan penelitian ini membawa suatu implikasi baik teoritik maupun operatif sebagaimana penjelasan berikut ini:
a) Teoritik: bahwa kepemimpinan (leadership) dalam konteks manajemen organisasi, mendapatkan posisi prioritas baik secara substansial maupun metodologis. Secara substansial teori kepemimpinan menjadi penentu bagi keberlangsungan dan sekaligus keberlanjutan organisasi. Kepemimpinan menempati urutan pertama dan elemen penting berjalannya roda organisasi. Kepemimpinan sebagai proses seseorang
(62)
untuk mempengaruhi orang lain untuk memenuhi sesuatu yang objektif dalam menata organisasi untuk membuatnya lebih kohesif dan koheren.
b) Praktis: pada tataran praktis kepemimpinan berkaitan dengan manajemen proses suatu organisasi yang di dalamnya tercakup beberapa langkah kerja organisasi mulai dari penentuan visi, misi, dan tujuan organisasi, proses rekruitmen staf, pembagian tugas dan wewenang, tata administrasi, budaya, iklim, dan lingkungan kerja dan seterusnya. Oleh karenanya, dalam menetapkan seorang pemimpin perlu memperhatikan potensi kepemimpinan seseorang yang akan didudukkan sebagai kepala Pusgrafin. Dalam hal ini perlu diciptakan instrumen rekruitmen dengan kriteria kepemimpinan Pusgrafin berstandar nasional dan internasional untuk mampu memperluas jaringan kerja. Selanjutnya, sistem kaderisasi calon pemimpin Pusgrafin
hendaknya segera diciptakan dengan mengacu pada pola
kepemimpinan transformasional berbasis budaya entrepreneur yang sangat tepat diterapkan di Pusgrafin. Dengan berorientasi pada kepemimpinan transformasional berbasis entrepreneur, maka seluruh potensi organisasi akan mampu tergali, karena terbangunnya sistem, budaya, iklim, dan lingkungan kerja yang kondusif. Pada tataran berikutnya, diperlukan sistem kepelatihan pimpinan Pusgrafin dalam konteks internasional kegrafikaan untuk dapat diperoleh berbagai
(1)
Poser Barry Z., and James M. Kauzes. (1995). The
Leadership Challence San Francisco: Jossey Bas
Publisher.
Pudjosumedi.(2009). Perkembangan Grafika Indonesia. Jakarta: Uhamka Press
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Departemen Pendidikan Nasional (2007). Managejemen Sekolah, Jakarta: Pusdiklat Depdiknas.
Rasdi, E. (2003). Pengaruh Pemberdayaan Kepemimpinan
dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Guru SMK di Jawa Tengah. Disertasi. Pasca Sarjana UPI Bandung.
Rauch, Bellig. (1984). Organization; Theory and Behaviors. San Francisco: Joseey Bass Publisher
Razik Taher A & Swanson Austin D.(1995). Fundamental Concepts
of Educational Leadership and Management. Ohio: Prentice
–Hall Inc.
Razik., A. T. and Swanson., A. D. (1995). Fundamental Concept
of Educational Leadership and Management. New Jersey:
Prentice Hall, Englewood Cliffs.
Ridwan. (2003). Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Rifai M Moh.(1986) Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Jemmars.
Robbin, Stephen. (1996). Organizational Bihavior Concepts.
Controversies, Applications. New Jersey : A Simon &
Schuster Company.
Robbins Stephen P et al. (1994). Organization Behavior. Australia: Prentice Hall.
Robbins Stephen P.(l998). Orgaizational Behavior. New Jersey: Prentice Hall.
Robbins, Stephen P. and Nancy Langton, (2001), Organization
Behavior, 2nd ed., Canada: Pearson Education.
Robert K Yin. ( 2003 ). Diterjemahkan oleh : M. Djauzi Mudzakir. Studi Kasus Desain dan Metode Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
(2)
Rogers, Everett M dan F. Floyd Shoemaker. ( 1987 ). “Communication of Innovation”. Alih Bahasa: Abdillah Hanafi. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Surabaya: Usaha Nasional.
Rumtini, I. (2002). Kepemimpinan Transformasional Kepala
Sekolah SLTP dan Korelasinya dengan Manajemen Instruksional di Beberapa Sekolah di Yogyakarta, Artikel:
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta
Runkel, Jakob. (1995). The Dual Vocational Training System of
Germany. Dikmas., Depdiknas.
Saaty Thomas L & Vargas Luis G.(1994). Decision Making in
Economic, Political, Social and Technological Environments with the Analytic Hierarchy Process. Pittsburgh USA:
University of Pittsburgh.
Sagala H.S.(2007). Desain Organisasi Pendidikan dalam
Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. Jakarta: Uhamka
Press.
Sagala Saeful.(2005). Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung : Alfabeta.
Sagian, Sondang. (1991). Organisasi Kepemimpinan dan Perilaku
Administrasi. Jakarta: CV. Haji MasAgung.
Sallis, Edward., (1983). Total Quality Management in Education. London :Kogan Page Limited.
Samsudin Sadili.(2006), Manajemen Sumber Daya Manusia, Bandung : CV Pustaka Setia.
Santoso, Singgih.(2000). SPSS Statistik Parametrik. Jakarta: PT Elex Media Kompotindo.
Satori, Djam’an. (2000). Peningkatan Mutu Pendidikan berbasis
Sekolah. Naskah Akademik untuk Jurnal Manajemen
pendidikan Formasi No. 2Th. II Maret 2000.
Saud Udin S dan Satory Djam’an . (2007). Administrasi Pendidikan
Pengantar Untuk Praktek Profesional. Bandung: Prodi
Adm.Pendidikan Sekolah Pasca Sarjana UPI.
Schein Edgar H. (1991). Psikologi Organisasi.Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo.
Schein, (1985), Organizational Culture and Leadership, San Francisco: Jossey-Bass, Inc.
(3)
Schlechty Philip C. (1997). Inventing Better Schools. San Fransisco: Jossy Publishers
Sedarmayanti, Syarifudin, (2002). Metodologoi Penelitian.
Bandung: CV Mandar Maju Seutuhnya.
Selltiz, C.L. ( 1964 ). Research Methods in Social Relation. New York: Holt Rinehart and Winston.
Senge Peter M et al.(2007). Educational Leadership (2nd edition).
United State: John Wiley & Sons,Inc.
Shaskin, M. and Kiser, K. (1992), Total Quality Manajement. Seabrook, MD: Docochon Press.
Siagian Sondang P. (1998). Manajemen Stratejik, Jakarta: Bumi Aksara.
Silin, H. (1994). The Relationship betweenTransformational and
Transactional Leadership and School Improvement Outcomes, School Effectiveness and School Improvement, 5(5), 272-289.
Silverman David.(2005). Doing Qualitative Research, A Practical
Handbook. London: Sage Publications.
Slamet, (1988). Persiapan Kerja dalam Program Pendidikan
Menengah Kejuruan Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia, Bandung.
Soediyarto. (2008). Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta: PT Gramedia.
Soegiyono. (2006). Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan
Kuantitatif, Kualitatif dan R.D.Bandung: Alfabeta.
Sofyan Effendi, (1990). Metodologi Penelitian Survei. Jakarta : LP3ES.
Sonhaji, Achmad. (1989). Teknologi Informasi dan Trasformasi
Pendidikan. Makalah. Disampaikan dalam rangka Perayaan
Lustrum VII IKIP Malang 19 Oktober 1989.
Spradley, James P. ( 1980 ). Participan Observation. New York: Holt Rinehart and Winston.
_______________. ( 1997 ). “ The Etnographic Interview “. Alih Bahasa: Misbah Zulfa Elizabeth. Metode Etnografi. Yogyakarta. Tiara Wacana.
_______________. ( 1972 ). Culture and Cognition Rules, Maps
(4)
Steers, Richard M., (1980), Effectivitas Organisasi, terjemahan, Jakarta: Erlanggga.
Stogdill, R.M., (1986). Handbook of Leadership A Survey of
Theory and Research Revised and Expanded. London:
The Free Press.
Stoner James A.F. and Freeman Edward R.(1994). Manajemen. Jakarta: Inter Media.
, James, A. and Freeman, Edward, R., (1995). Management, Sixth Edition, New Jersey: Englewood Cliffts.
Strauss, Anselm and Juliet Corbin. ( 2003 ). “Basic Of Qualitative
Research Grounded Theory Procedure and Technique”.
Alih Bahasa : Muhammad Shodiq dan Imam Mutaqin.
Dasar – Dasar Penelitian Qualitative. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Strauss, A.L. ( 1987 ). Qualitative Analysis for Social Scientist. New York: Cambridge University Press.
Stufflebeam Daniel L and Shinkfield Anthony J,(1984). Systematic
Evaluation. United State: Kluwer-Nijhoff Publish
Suharyanto Hadriyanus dan Heruanto Agus Hadua.(2005),
Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Media
Wacana.
Sujak, Abi (1990), Kepemimpinan Manajer (Eksistensinya dalam
Perilaku Organisasi). Jakarta : Rajawali Press.
Suparman Sumahamijaya., (1980). Membina Sikap Mental
Wiraswasta. Jakarta: Gunung Jati.
Suprapti, Wahyu. (2001). Kepemimpinan dalam Organisasi. Bandung : Rosda Karya.
Surahmad, Winarno. (2002). Implikasi Manajemen Pendidikan
Dalam Konteks Otonomi Daerah. Makalah dalam Konferensi
Nasional “ Manajemen pendidikan”. Diselenggarakan oleh Himpunan Sarjana Administrasi Pendidikan bekerja sama dengan UNJ. tanggal 8-10 Agustus 2002 di Jakarta
Suryabrata Sumadi. (2003). Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Susanto A.B.et al. (2008). Corporate Culture & Organization
(5)
Susanto A.B. (2009). Leadpreneurship, Pendekatan Strategic
Management dalam Kewirausahaan. Jakarta :
Esensi-Erlangga Group.
Sutarto.(l998). Dasar-Dasar Organisaasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sutisna, Oteng, (1990). Profesionalisasi Tenaga Pendidikan
Kepala Sekolah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
IKIP Bandung.
Terry, G.R. (1986). Asas-Asas Manajemen. Terjemahan Winardi. Bandung: Alumni.
Terry,George R.(2003). Prinsip Manajemen. Alih Bahasa J Smith DFM.Jakarta: Bumi Aksara.
Tilaar H.A.R. & Nugraha Riant (2008). Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tylor, R. F. (1984). Motive the Older Employee. Columbus, Ohio: Ohio State University Press.
Ulrich, Dave. (1993). The Boundaryless Organization, Alabama: ACES Press.
Usman Husaeni,(1996). Profil Perilaku Kepemimpinan
Intrapreneurship Kepala Sekolah Menengah Kejuruan,
Bandung, Disertasi
Wadsworth Watter J. (2008). Kepemimpinan, Memimpin karyawan
dengan Sukses. Yogyakarta: Tugu Publisher.
Wahidmurni.(2007). Managemen Perubahan Bisnis, Dari Teori
Menuju Data. Malang: UIN Malang Press.
Wahono. ( 2000 ). Jenis- Jenis Penelitian. UI: Program Pasca Sarjana
Wexley, K.N., Yukl, G.A. (1977). Organizational Behavior and
Personal Psychology. Illinois : Richard D. Irvin, Inc. Wibowo.(2006). Managemen Perubahan. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Wibowo.(2006). Managing Change, Pengantar Manajemen
Perubahan. Bandung: Alfabeta.
Wiles, Kimball (1961). Supervision for Better School. Englewood Cliffs, New York: Prentice-Hall, Inc.
(6)
Winardi J. (2007).Teori Organisasi & Pengorganisasian, Jakarta: PT Raja Grasindo Persada.
Winardi J. (2005). Entrepreneur dan Entrepreneurship. Jakarta : Kencana
Winardi J.(1997). Manajemen Perilaku Organisasi. Jakarta: Kencana.
Winardi, (1994), Pengembangan SDM Pembangunan Dalam
Mengantisipasi Pembangunan Jangka Panjang Kedua.
Bandung: Pascasarjana Unpad.
Yuniarsih Tjutju dan Suwatno.(2008). Manajemen Sumber Daya
Manusia, Bandung: Sekolah Pasca Sarjana UPI bekerja
sama dengan CV Alfabeta.
Yusof A Aziz. (2005). Human Resource Management, the Soft
Dimension. Malaysia: Prentice Hall.
KELOMPOK WEBSITE
http://referensi-kepemimpinan.blogspot.com. http://www.PDFDatabase.com
http://psikologi.binadarma.ac.id. http://www.pemimpin-unggul.com http://cokroaminoto.blogetery.com http://elqoni.wordpress.com