BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. GUIDED IMAGERY - Cynthia Wulandari BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. GUIDED IMAGERY 1. PENGERTIAN Metode non farmakologi yang terbukti efektif

  dalammeringankan nyeri adalah imajinasi terpimpin.Menurut Potter PG andPerry AG (2006) imajinasi terpimpin merupakan teknikrelaksasi yang dapat memberikan kontrol pada pasien sehingga memberikan kenyamanan fisik dan mental.

  2. Tujuan Guided Imagery akan memberikan efek rileks dengan menurunkan ketegangan otot sehingga nyeri akan berkurang. Pasien yang melakukan guided imagery ini diharuskan berkonsentrasi terhadap imajinasi yang disukai dengan di pimpin oleh perawat.

  Guided imagery ini diharapkan akan meningkatkan relaksasi pada pasien (Johnson JY, 2005).

  3. Manfaat Imajinasi terpimpin sejak lama dikenal manusia dalam meningkatkan relaksasi terhadap gangguan fisik maupun mental

  (Johnson JY, 2005). Menurut Perry and Potter (2006) imajinasi terpimpin memiliki efek relaksasi yang bermanfaat terhadap kesehatan seseorang antara lain : a.

  Menurunkan nadi, tekanan darah, dan pernapasan.

  b.

  Menurunkan ketegangan otot.

  c.

  Meningkatkan kesadaran global. Mengurangi perhatian terhadap stimulus lingkungan.

  e.

  Membuat tidak adanya perubahan posisi yang volunter.

  f.

  Meningkatkan perasaan damai dan sejahtera.

  g.

  Menjadikan periode kewaspadaan yang santai, terjaga, dan dalam.

4. Prosedur Tindakan

  Terapi guided imagery dalam aplikasinya terhadap pasien memiliki prosedur yang berbeda-beda. Tetapi pada intinya, terapi ini diberikan kepada pasien untuk meningkatkan relaksasi. Keadaan rileks ini akan mengurangi keadaan patologis fisik maupun mental pada pasien. Guided imagery yang diberikan pada pasien harus didukung oleh keadaan intern dan ekstern. Keadaan yang intern yang mendukung lancarnya proses terapi ini adalah salah satunya pasien harus kooperatif dengan perawat, tidak mengalami gangguan pendengaran, dan mudah berkonsentrasi. Keadaan ekstern yang mendukung imajinasi terpimpin adalah lingkungan yang tenang, nyaman sehingga akan meningkatkan konsentrasi pada saat terapi berlangsung. Menurut Johnson JY (2005) terapi imajinasi terpimpin memiliki prosedur sebagai berikut : a.

  Kaji suatu imajinasi keadaan yang membuat pasien senang dan rileks seperti suasana keindahan pegunungan, deburan ombak di pantai, pesona air terjun, dan kebersamaan dengan keluarga indera.

  b.

  Bimbing pasien untuk bernapas secara rileks.

  c.

  Mulai bimbing pasien untuk melakukan relaksasi progresif.

  d.

  Bimbing pasien untuk memasuki imajinasi yang telah disepakati di awal dan secara perlahan mendeskripsikan mengalami imajinasi tersebut.

  e.

  Selesaikan terapi imajinasi ini dengan menghitung 1 sampai 3 dan bimbing pasien untuk mengatakan “Saya rileks !” (terminasi ini digunakan untuk menghindari pasien mengantuk dan tertidur yang akan menghilangkan tujuan)

5. Fisiologi

  Guided Imageryakan memberikan efek rileks dengan menurunkan ketegangan otot sehingga nyeri akan berkurang. Pasien dalam keadaan rileks secara alamiah akan memicu pengeluaran hormon endorfin. Hormon ini merupakan analgesik alami dari tubuh yang terdapat pada otak, spinal, dan traktus gastrointestinal (Tamsuri A, 2006).

B. Nyeri 1.

  Pengertian Nyeri merupakan pengalaman penginderaan dan emosional seseorang yang tidak memberikan kenyamanan disertai oleh kerusakan jaringan tubuh yang potensial dan aktual (The International Association For The Study Of Pain (IASP) dalam Latief 2009).

  Menurut Kozier dan Erb (2009) menjelaskan bahwa nyeri merupakan sensasi yang tidak nyaman pada seseorang yang tidak dapat menular pada orang lain. Long tahun 1996 (dikutip dalam Mubarak WI dan Chayatin N, 2008) mendifinisikan nyeri sebagai perasaan yang tidak nyaman yang sangat subjektif dan hanya orang yang mengalaminya saja yang dapat menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut.

2. Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

  Setiap individu memiliki pemahaman yang berbeda-beda terhadap nyeri.Persepsi tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang kompleks dari individu tersebut.Faktor tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi perawat atau tenaga kesehatan lainya dalam mengatasi atau mengontol nyeri yang dialami oleh individu tersaebut. Berbagai faktor dapat mempengaruhi persepsi dan reaksi seseorang terhadap nyeri diantarnya adalah sebagai berikut: a.

  Keragaman Budaya Faktor ini telah lama diketahui sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi reaksi dan ekspresi seseorang terhadap rasa nyeri yang dialami.Andrews dan Boyle tahun 1995 (dikutip dalam Kozier B dan Erb’s G, 2009) mengemukakan tentang hasil yang ada di dunia memiliki perbedaan dalam mempersepsikan nyeri.

  b.

  Proses Perkembangan Usia pada responden akan mempengaruhi reaksi maupun ekspresi dari individu terhadap rasa nyeri (Kozier B dan Erb’s G,

  2009). Perbedaan usia pada responden anak-anak dan lansia akan bereaksi terhadap nyeri. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan untuk mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau petugas kesehatan.Lansia yang mengalami nyeri perlu dilakukan pengkajian, diagnosis, dan implementasi secara intensif.Ebersole dan Hess (1994) dalam Potter & Perry (2006) mengatakan individu yang berusia lanjut memiliki risiko tinggi mengalami situasi-situasi yang membuat mereka merasakan nyeri.

  c.

  Lingkungan dan Faktor Pendukung Kondisi lingkungan yang berbeda seperti rumah sakit, dapat merangsang bertambahnya rasa nyeri.Pasien yang tidak didampingi oleh keluarga sebagai pedukung dapat merasakan nyeri yang hebat, sebaliknya pasien yang memiliki keliarga sebagai pendukung di sekitarnya merasakan sedikit nyeri.Keluarga yang menjadi pemberi asuhan dapat menjadi pendukung yang penting untuk individu yang sedang merasakan d.

  Riwayat Nyeri Sebelumnya Riwayat nyeri yang sebelumnya terjadi pada pasien akan mempengaruhi kepekaan nyeri yang sekarang terjadi pasien.

  Nyeri yang terjadi pada pasien lain juga akan mempengaruhi terjadinya nyeri (Kozier B dan Erb’s G, 2009).

  e.

  Deskripsi Nyeri Persiapan menghadapi nyeri yang terjadi pada pasien dengan sikap positif akan lebih memiliki hasil yang memuaskan.

  Sebaliknya jika dalam menghadapi nyeri yang terjadi dengan sikap negatif maka akan muncul persepsi bahwa nyeri tersebut merupakan ancaman bahkan memiliki persepsi nyeri sebagai awal dari kematian (Kozier B dan Erb’s G, 2009).

  f.

  Kemampuan Memfokuskan Diri Gil tahun 1990 dikutip dalam Potter & Perry

  2006menyatakan dengan meningkatnya fokus perhatian terhadap nyeri yang meningkat, maka respon nyeri akan semakin berat.

  Sedangkan upaya meningkatkan relaksasi akan menurunkan respon nyeri.

  g.

  Kecemasan dan Stress Faktor kecemasan dapat meningkatkan persepsi nyeri, sebaliknya nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan mengatakan bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian system limbik yang diyakini mengendalikan emosi seseorang khususnya ansietas.Sistem limbik ini dapat memproses reaksi emosi terhadap nyeri, yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri.Sehingga individu yang sehat secara emosional, biasanya lebih mampu mentoleransi nyeri sedang hingga berat daripada ndividu yang memiliki status emosional yang kurang stabil.

  h.

  Keletihan Keletihan dapat meningkatkan persepsi seseorang terhadap nyeri.Rasa keletihan juga menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping.Apabila keletihan disertai kesulitan tidur, maka persepsi nyeri dapat terasa lebih berat lagi.Nyeri sering kali berkurang setelah individu mengalami suatu periode tidur yang lelap dibanding pada akhir hari yang melelahkan (Potter & Perry 2006).

3. Patofosiologi

  Menurut McNair (1990) dalam Perry & Potter (2006) nyeri merupakan perpaduan dari suatu reaksi, emosi jiwa, dan perilaku manusia. Rangsang yang terjadi akan mengirimkan impuls melalui serabut saraf perifer. Serabut nyeri memasuki medula spinalis dan dalam massa abu-abu di medula spinalis, dan munculah sensasi nyeri. Secara otomatis otak akan menginterpretasikan kualitas nyeri dan memproses informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta asosiasi kebudayaan dalam upaya mempersepsikan nyeri.

  Tamsuri A (2006) menyatakan bahwa terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana reseptor dapat menghasilkan persepsi nyeri, dan sampai saat ini teori gerbang kendali nyeri (Theorygate control) oleh Melzack dan Wall (1965) masih dianggap paling relevan.Potter & Perry (2006) menyatakan bahwa teori gerbang kendali nyeri (Theory gate control) memiliki mekanisme hantaran impuls nyeri yang dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat dan dihantarkan saat sebuah pertahanan tertutup.Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar terapi menghilangkan nyeri.

  Sistem pertahanan ini diatur oleh suatu keseimbangan aktivitas dari neuron dan serabut control desenden dari otak. Neuron yang berperan dalam sistem pertahanan ini adalah neuron delta-A dan C yang menghasilkan substansi P dan mekanoreseptor ;neuron beta-A yang lebih tebal. Neuron beta-Aini lebih cepat melepaskan

  neurotransmitter penghambat. Apabila masukan yang dominan

  berasal dari serabut beta- A, akan mengaktivasi endorphin yang memberikan efek analgesik dan akan menutup mekanisme pertahanan. perawat mencoba memberikan teknik relaksasi, konseling, pemberian

  

placebo dan menggosok punggung klien dengan lembut dan penuh

  perasaan. Rangsang yang dihasilkan oleh perawat terhadap punggung klien tadi akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila rangsang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka system pertahanan tersebut dan klien akan mempersepsikan sensasi nyeri tersebut (Potter & Perry 2006).

4. Pengukuran Nyeri

  Menurut Pasero tahun 1996 (dikutip dalam Kozier & Erb’s 2009) menyatakan bahwa indikator tunggal yang paling penting untuk mengetahui intensitas nyeri adalah laporan klien tentang nyeri.Dalam studi menunjukan bahwa tenaga kesehatan dapat meremehkan atau melebihkan intensitas nyeri klien.Sebaliknya, penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah dan dapat dipercaya dalam menentukan intensitas nyeri yang dirasakan oleh klien.Skala tersebut dapat memberikan konsistensi bagi perawat dalam memberikan informasi kepada klien dan tenaga kesehatan lainya.

  Skala intensitas nyeri yang dapat digunakan antara lain sebagai berikut: a.

  Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)

  Verbal Descriptor Scale merupakan sebuah garis lurus

  yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”.Disini klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang dirasakan.Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh terasa paling tidak menyakitkan.Skala pendeskripsi verbal ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsi nyerinya (Potter & Perry 2006).

  b.

  Skala penilaian numerik (Numerical Rating Scale, NRS) Skala ini lebih digunakan untuk pengganti alat pendeskripsi kata.Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10.Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi teraupetik.Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasi patokan 10 cm (AHCPR, 1992) dalam Potter & Perry (2006).

  Dimasukannya kata-kata penjelas pada skala dapat membantu beberapa klien yang mengalami kesulitan dalam menentukan skala nyeri yang dirasakan.

  Skala penilaian numerik (Numerical Rating Scale) c.

  Skala analog visual (Visual Analog Scale, VAS)

  Visual Analog Scale merupakan suatu garis lurus yang

  mewakili alat pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya.Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengindentifikasi keparahan nyeri.VAS menurut Guire (1984) dalam Potter & Perry (2006) merupakan pengukur keparahan nyeri yang lebih sensitive karena klien dapat mengindentifikasi setiap titik pada rangkaian daripada dipaksa memilih satu kata atau satu angka.

  Sumber:

  Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR). Acute

Pain Management: Operatif or Medical Prosedures and Trauma.

  

Clinical Practice Guidelines. Rockville, MD: Agency for Health

Care Policy and Research, Public Health service, U.S.

  d.

  Face Pain Rating scale Menurut wong dan baker (1998) pengukuran skala nyeri menggunakan Face Pain Rating Scale yaitu terdiri dari 6 wajah yang tersenyum untuk “tidak ada nyeri” hingga wajah yang menangis untuk “nyeri berat (Maryunani 2013)

  Gambar 2.4

  

Face Pain Rating scale

e.

  Skala nyeri Bourbanis Perawat menanyakan kepada klien tentang nilai nyerinya dengan menggunakan skala 0 sampai 10 yang membantu menerangkan bagaimana intensitas nyerinya

  Gambar 2.5 Skala nyeri Bourbanis 5.

  Efek Nyeri Menurut Tamsuri (2006) efek nyeri terhadap tubuh antara lain dilatasi lumen bronkus, peningkatan frekuensi napas, denyut jantung meningkat, vasokontiksi perifer, peningkatan glukosa darah, diaforesis, tegangan otot meningkat, dilatasi pupil, penurunan motilitas usus, pucat, kelelahan otot, tekanan darah dan nadi menurun, mual dan muntah, serta kelemahan. Kozier & Erb’s (2009) memaparkan bahwa respon perilaku individu terhadap rasa nyeri yang dialami oleh individu antara lain sebagai berikut: a.

  Gigi mengatup b. Menutup mata dengan rapat c. Menggigit bibir bawah d. Wajah meringis e. Merintih , mengerang f. Merengek g.

  Menangis h. Menjerit i. Immobilisasi tubuh j.

  Menjaga bagian tubuh k.

  Gelisah, melempar benda, berbalik l. Menggosok bagian tubuh m.

  Menyangga bagian tubuh yang sakit

   Nyeri pada Post ORIF 1.

  Pengertian Penatalaksanaan nyeri sebagu bagian dari asuhan perawat atas respon pasien akan berbeda antar pasien. Persepsi yang salah menganai penanganan nyeri harus selalu diberi analgesic tidak berlaku pada keperawatan .Hal ini justru menimbulkan suatu concern terhadap respon pasien akibat efek samping dari analgesic itu nantinya (Potter & Perry, 2006).Pada dasarnya nyeri dapat diatasi dan atau dikurangi, dengan melihat jenis dan tingkatan respon masing-masing individu.

2. Skala Post ORIF

  Nyeri post operasi ortopedi telah dilaporkan sebagai nyeri akut pada level severe (Aisudione, & Ahadrac, 2010). Level severe pada nyeri post operasi ortopedi berbeda dengan level pada nyeri karsinoma, karena nyeri severe pada post operasi ortopedi bersifat akut dan pada karsinoma bersifat kronis (Aisudione, & Shadrac, 2010). Pembedahan ortopedi yang telah didahului oleh trauma sebelumnya akan mempengaruhi perubahan persepsi di CNS yang akan berpengaruh pada outcome post operasi (Pasero & MacCaffery,

  2007). Pembedahan ortopedi reduksi terbuka fraktur membantu dalam melihat lebih banyak jaringan yang rusak, jaringan lunak, pendarahan, kerusakan diantara fragmen, maupun kerusakan pembuluh syaraf (Pasero & MacCaffery, 2007).

  Sesaat setelah pembedahan ortopedi, nyeri yang dirasakan menderita dan kesakitan (Aisudione, & Shadrac, 2010).Pada hari berikutnya setelah operasi, banyak pasien mengeluh takut menggerakan ekstermitas yang dioperasi karena nyeri.Pada pemeriksaan dengan menggunakan VAS, pasien masih berada pada level 7-8 dan pada beberapa pasien masih pada level 10( Aisudione, & Ahadrac, 2010).

3. Indikasi a.

  Oedema Oedema dapat terjadi karena adanya kerusakan pada pembuluh darah akibat dari insisi, sehingga cairan yang melewati membran tidak lancar dan tidak dapat tersaring lalu terjadi akumulasi cairan sehingga timbul bengkak.

  b.

  Nyeri Nyeri dapat terjadi karena adanya rangsangan nociceptor akibat insisi dan adanya oedema pada sekitar fraktur.

  c.

  Keterbatasan LGS Permasalahan ini timbul karena adanya rasa nyeri, oedema, kelemahan pada otot sehingga pasien tidak ingin bergerak dan beraktivitas. Keadaan ini dapat menyebabkan perlengketan jaringan dan keterbatasan lingkup gerak sendi.

  d.

  Kekuatan Otot Potensial terjadi penurunan kekuatan otot, terjadi penurunan menggerakkan dengan kuat. Tetapi jika dibiarkan terlalu lama maka penurunan kekuatan otot ini akan benar-benar terjadi.

4. Penatalaksanaan

  Tujuan utama penatalaksanaan rehabilitasi pada perawatan pasca fraktur adalah mengembalikan pasien tersebut dalam tingkat aktivitas normalnya Kozier & Erb’s (2009).Modalitas fisioterapi yang digunakan untuk penanganan pasca operasi fraktur cruris dextra 1/3 distal dengan terapi latihan.Terapi latihan adalah suatu usaha penyembuhan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaannya menggunakan gerakan tubuh, baik secara aktif maupun pasif (Kowalak & Mayer, 2011).

  Terapi latihan yang dapat dilakukan : a.

  Static contraction Static contraction merupakan kontraksi otot secara isometrik untuk mempertahankan kestabilan tanpa disertai gerakan (Kowalak & Mayer, 2011). Dengan gerakan ini maka akan merangsang otot- otot untuk melakukan pumping action sehingga aliran darah balik vena akan lebih cepat. Apabila sistem peredaran darah baik maka oedema dan nyeri dapat berkurang.

  b.

  Latihan pasif Merupakan gerakan yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan dari luar sedangkan otot penderita rileks (Kowalak & Mayer, 2011).

  c.

  Latihan aktif Latihan aktif merupakan gerakan murni yang dilakukan oleh otot- otot anggota tubuh pasien itu sendiri. Tujuan latihan aktifmeningkatkan kekuatan otot (Johnson 2005). Gerak aktif tersebut akan meningkatkan tonus otot sehingga pengiriman oksigen dan nutrisi makanan akan diedarkan oleh darah. Dengan adanya oksigen dan nutrisi dalam darah, maka kebutuhan regenerasi pada tempat yang mengalami perpatahan akan terpenuhi dengan baik dan dapat mencegah adanya fibrotic.

D. Kerangka Teori Penenlitian

  Farmakologi Non- Farmakologi

  Mekanisme guided imagery mengurangi nyeri

  5. Distraksi ( Guided imagery)

  4. Accupunture

  3. Accupresure

  2. Massage

  1. Relaksasi

  fraktur Tindakan Pembedahan :ORIF,OREF

  Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri:

  6. Lingkungan Nyeri post operasi

  5. Deskripsi Nyeri

  4. Kecemasan

  3. Riwayat pembedahan sebelumnya

  2. Jenis Kelamin

  1. Usia

  Intervensi untuk mengurangi nyeri

  Getaran yang dihasilkan Guided Imagery

  Masuk bersama impuls nyeri Gate Control Theory

  Persepsi auditori di pusat auditori lobus temporal Mendistraksi persepsi nyeri dengan guided imagery

  Menurunkan stimulasi simpatis Mengeluarkan hormone endorfin

  Midbrain mengeluarkan GABA, Menurunkan aktivitas adrenalin dan enchefalin, beta endorfin level sekresi epinefrin

  Menimbulkan efek analgesia Heart Rate menurun, RR menurun, neuromuscular tension menurun, , Mengeliminasi neurotransmitter konsumsi oksigen memurun, menurunnya ketegangan otot, penurunan asam lambung,penurunan tekanan darah

  Nyeri Berkurang

  Gambar 2.6 Sumber: Smeltzer Bare, 2002; Potter & Perry 2010; Kozier dan Erb’s 2009;

  Tamsuri, 2006; Auisudione& Shadrac, 2010

E. Kerangka Konsep Penelitian

  Wasis (2008) mengemukakan bahwa kerangka konsep adalah kerangaka hubungan antara konsep yan ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan. Pengembangan konsep dilakukan dengan dua pendekatan yaitu dengan melihat hubungan variabel dependen-

  Variable dependen Variabel Independen

  Persepsi Nyeri pasien Guided post ORIF Imagery

Gambar 2.7 Kerangka Konsep F.

   Hipotesis.

  Hipotesis adalah sebuah pernyataan sederhana mengenai perkiraan hubungan antar variable-variabel yang sedang dipelajari.Hal tersebut sering kali disebut sebagai dugaan yang diperhitungkan atau dipikirkan seperti untuk jawaban pertanyaan studi.Didalam pernyataan hipotesis, suatu kondisi pendahuluan disebut sebagai variable independen dikaitkan dengan terjadinya kondisi efek lain, disebut variable dependen ( Patricia& Arthur, 2002).

  Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah : H o : Ada pengaruh penggunaan guided imagery terhadap persepsi nyeri pasien post ORIF di RSUD dr. R.

  Goetheng Taroenadibrata Purbalingga H

  

1 : Tidak ada pengaruh penggunaan guided imagery

terhadap persepsi nyeri pasien post ORIF di RSUD dr. R.

  Goetheng Taroenadibrata Purbalingga