BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori - ANALISIS FAKTOR PREDISPOSISI PERILAKU IBU DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS GOMBONG I KABUPATEN KEBUMEN TAHUN 2015 - repository perpustakaan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori
1. Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA)
a. Pengertian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi akut yang menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura). ISPA perlu mendapat karena merupakan penyakit yang dapat menimbulkan wabah sesuai dengan Permenkes Nomor 1501/Menkes/Per/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan (Kemenkes RI, 2012).
ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) yang diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI) mempunyai pengertian sebagai berikut:
1) Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisma ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. 2) Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran
12 pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan tersebut, jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract)
3) Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes RI, 2006).
b. Penyebab
ISPA merupakan penyakit infeksi saluran nafas yang secara anatomi dibedakan atas saluran nafas atas mulai dari hidungsampai dengan taring dan saluran nafas bawah mulai dari laring sampai dengan alveoli beserta adnexanya, akibat invasi infecting agents yang mengakibatkan reaksi inflamasi saluran nafas. Hingga saat ini telah dikenal lebih dari 300 jenis bakteri dan virus merupakan penyebab tersering infeksi saluran nafas. Bakteri penyebab ISPA berasal dari genus Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococcus, Hemovilus,
Bordetella, dan Corynebacterium. Virus penyebab ISPA adalah
golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikomavirus, , dan lain
Mikooplasma, herpesvirus –lain (Depkes RI, 2006)
c. Tanda dan Gejala Pada umumnya suatu penyakit saluran pernapasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam kegagalan pernapasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih kompleks. Tanda-tanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tanda-tanda laboratoris (Khaidir, 2008).
1) Tanda-tanda klinis
a) Pada sistem respiratorik adalah: tachypnea, napas tidak teratur (apnea), retraksi dinding thorak, napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah atau hilang, grunting expiratoir dan
wheezing .
b) Pada sistem cardial adalah: tachycardia, bradycardiam, hypertensi, hypotensi dan cardiac arrest.
c) Pada sistem cerebral adalah : gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, papil bendung, kejang dan koma.
d) Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak (Khaidir, 2008).
2) Tanda-tanda laboratoris
a) Hypoxemia
b) Hypercapnia
c) Acydosis (metabolik dan atau respiratorik) (Khaidir, 2008) Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah: tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk, sedangkan tanda bahaya pada anak golongan umur kurang dari 2 bulan adalah: kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari setengah volume yang biasa diminumnya), kejang, kesadaran menurun, stridor dan wheezing (Khaidir, 2008).
d. Patofisiologi Berdasarkan konsep the wheel model of man-environment
interactions maka kejadian penyakit ISPA didasarkan adanya interaksi
antara komponen host (pejamu) dan environment (lingkungan) yang meliputi lingkungan fisik, biologi dan sosial. Berubahnya salah satu komponen akan mengakibatkan keseimbangan terganggu sehingga terjadi kesakitan.
ISPA terdiri dari saluran nafas bagian atas yang meliputi organ atas laring dan saluran nafas bagian bawah yang meliputi semua organ bawah laring. Penyakit-penyakit yang menyerang laring dan saluran nafas bagian bawah sangat berbahaya, karena pipa-pipa ini menjadi lebih sempit dan lebih mudah tersumbat. Jika hidung anak tersumbat, udara tidak dapat masuk ke dalam alveoli. ISPA ini sering terjadi dan dapat menyebabkan demam, batuk, pilek, dan sakit tenggorokan.
ISPA biasanya sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan. Kadang- kadang, infeksi menyebar ke bawah laring dan menyebabkan radang paru-paru (Depkes RI, 2006).
Perjalanan alamiah penyakit pada ISPA dimulai dengan adanya interaksi bibit penyakit dengan tubuh pada tahap awal. Tahap selanjutnya tubuh berusaha membasmi bibit penyakit melalui mekanisme pertahanan tubuh secara sistemik maupun lokal. Apabila sistem pertahanan tubuh gagal untuk menanggulangi, maka bibit penyakit tersebut akan merusak sel epitel dan lapisan mukosa dari saluran nafas, sedangkan saluran nafas bagian bawah dalam keadaan normal dan steril. Adanya interaksi virus dapat merupakan predeposisi terjadinya interaksi sekunder bakteri patogen yang ada di saluran nafas bagian atas, kemudian menyerang mukosa pada saluran nafas bawah yang rusak. Infeksi sekunder ini yang dapat menimbulkan terjadinya ISPA bakteri.
e. Faktor Risiko 1) Faktor Risiko Intrinsik
a) Status Gizi Status gizi yang kurang merupakan salah satu faktor risiko yang berhubungan besar terhadap kejadian pneumonia pada balita. Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik seseorang sangat berhubungan adanya persediaan gizi dalam tubuh, dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan kerentaan dan beratnya infeksi suatu penyakit. Masalah gizi menjadi masalah utama di negara yang sedang berkembang terutama kekurangan kalori protein, hipovitaminosis A, anemia, dan kekurangan Vitamin B complek mengakibatkan anak balita di negara berkembang banyak yang rentan terhadap infeksi termasuk Pneumonia. Hal ini disebabkan infeksi penyakit dan menganggu proses pencernaan, ketika asupan makanan berkurang zat gizi yang diperlukan berkurang pula, sehingga akan memperburuk kondisi tubuh dan berakibat tubuh menjadi rentan (Depkes RI, 2006).
b) Status Imunisasi Usaha penurunan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan penyakit yang dapat dicegah dalam imunisasi (PD3I) dilakukan melalui kegiatan imunisasi dengan sasaran bayi. Beberapa penyakit PD3I mempunyai gejala prodomal yang menyerupai ISPA sehingga imunisasi merupakan usaha yang baik dalam rangka penanggulangan Pneumonia, karena kematian Pneumonia pada balita 10% diikuti oleh Pertusis, 15% oleh campak 5% oleh
Bronchiolitis/acute abtructive laryngitis.
c) Pemberian Vitamin A Program pemberian Vitamin A di Indonesia yang dilakukan setiap 6 bulan sekali yaitu bulan Februari dan
Agustus, selain ditujukan untuk peningkatan daya tahan tubuh dan pertumbuhan juga kesehatan mata pada anak balita.
Peningkatan daya tahan tubuh diharapkan dapat mengurangi kesakitan karena infeksi termasuk Pneumonia.
d) Umur dan Jenis Kelamin Di negara berkembang sebagian besar kematian
Pneumonia terjadi pada anak umur > 1 tahun. Umur merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian Pneumonia, 70% kematian Pneumonia terjadi pada bayi umur < 7 bulan. Sedangkan bayi umur > 1 tahun mempunyai risiko lebih tinggi terhadap ISPA dan umur < 3 tahun lebih tinggi risikonya terhadap Pneumonia. Hal ini dimungkinkan karena sistem kekebalan tubuh anak < 3 tahun belum sempurna/baik walaupun penelitian lain menunjukkan umur bukan merupakan faktor risiko terjadinya Pneumonia pada anak < 3 tahun dan > 3 tahun (Depkes RI, 2006).
e) Pemberian ASI Air susu ibu yang diberikan pada bayi hingga umur 6 bulan selain sebagai bahan makanan bayi juga berfungsi sebagai pelindung dari penyakit dan infeksi, karena dapat mencegah infeksi saluran pernafasan oleh bakteri atau virus.
Pemberian ASI pada umur yang cukup juga dapat menurunkan insidensi pneumonia dan merupakan faktor risiko terhadap kejadian pneumonia pada bayi/anak balita. Air susu ibu disamping sebagai bahan nutrisi juga mengandung bahan- bahan anti infeksi atau bahan imunologis serta bahan-bahan lain yang penting dalam mencegah infeksi (Depkes RI, 2006).
2) Faktor Risiko Ekstrinsik
a) Rumah Rumah Yang sehat menurut Winslow dan Apha (Hidayat,
2005) adalah rumah harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain: (1) Memenuhi kebutuhan phsiologis (2) Memenuhi kebutuhan psikologis (3) Mencegah penularan penyakit (4) Mencegah terjadinya kecelakaan
b) Umur Ibu Umur ibu balita sebagai faktor risiko terhadap kejadian
Pnemonia dikemukakan oleh Kartasasmita (2004) dengan berpedoman pada batasan umur ibu muda (< 20 tahun).
Penelitian di Thailand dengan menggunakan batasan umur ibu balita < 35 tahun menunjukan hasil yang bermakna terhadap kematian balita karena pnemonia, tetapi penelitian lain di Gambia tidak menunjukkan hubungan yang bermakna (Depkes RI, 2006).
c) Pendidikan Ibu Beberapa penelitian tentang keterkaitan pendidikan ibu dengan kejadian pnemonia pada anak balita telah dilakukan, antara lain oleh Kartasasmita (2004) ibu dengan lama tingkat pendidikan < 12 tahun dan > 12 tahun anaknya mempunyai peluang yang sama untuk terkena pnemonia. Penelitian di Kuala Lumpur dengan menggunakan batasan lama pendidikan tingkat dasar mendapatkan hasil yang tidak bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian Pnemonia.
Penelitian lain menunjukkan ibu balita dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) maka anaknya mempunyai risiko 1,49 kali lebih besar terkena pnemonia bila dibandingkan dengan anak dengan ibu berpendidikan Sekolah Lanjutan Atas (SLTA). Ibu berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) anaknya mempunyai risiko 1,28 kali lebih besar terkena Pnemonia dibanding ibu dengan pendidikan SLTA.
d) Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007).
Hasil penelitian Yasin (2010), menyimpulkan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang ISPA dengan kejadian ISPA pada balita (p = 0,001). hasil penelitian lainnya oleh Aderita (2013), menyatakan terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian ISPA pada anak balita di Desa Pucangan Wilayah Kerja Puskesmas Kartasura I, dengan nilai p = 0,000 pada taraf signifikansi 5%.
e) Tindakan Pencegahan Tindakan pencegahan dapat dilakukan seperti dengan pemberian imunisasi. Vaksin ini memberikan perlindungan terhadap penyakit yang umum disebabkan oleh tujuh serotype Streptococcus pneumonia. Penggunaan vaksin ini menurunkan insiden invasive pneumococcal disease (McIntosh, 2002).
Hasil penelitian Sugiarto (2004), menyimpulkan adanya hubungan antara sikap (p = 0,000) dan praktik (p = 0,000) ibu tentang pencegahan ISPA dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil penelitian lainnya oleh Sarijan (2005), menyatakan bahwa semua perilaku (pengetahuan, sikap dan praktik) yang buruk berpengaruh terhadap kejadian ISPA.
f. Penatalaksanaan Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA memberikan petunjuk standar pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta mengurangi penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi penatalaksanaan kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman sebagai bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA. Penatalaksanaan ISPA meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut (Khaidir, 2008):
1) Upaya pencegahan Pencegahan dapat dilakukan dengan: a) Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.
b) Imunisasi.
c) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan.
d) Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA. 2) Pengobatan atau perawatan
Prinsip perawatan ISPA antara lain:
a) Menigkatkan istirahat minimal 8 jam perhari
b) Meningkatkan makanan bergizi
c) Bila demam beri kompres dan banyak minum
d) Bila hidung tersumbat karena pilek bersihkan lubang hidung dengan sapu tangan yang bersih e) Bila badan seseorang demam gunakan pakaian yang cukup tipis tidak terlalu ketat.
f) Bila terserang pada anak tetap berikan makanan dan ASI bila anak tersebut masih menetek g. Pencegahan ISPA
Pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan : 1) Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.
Menjaga keadaan gizi agar tetap baik dilakukan dengan pemantauan gizi, pada balita dapat dilakukan dengan penimbangan secara teratur, sehingga apabila terjadi penyimpangan dapat diantisipasi secara dini.
2) Imunisasi Pemberian imunisasi dapat memberikan kekebalan terhadap
ISPA, sehingga setiap terjadi infeksi ISPA tubuh tidak sampai sakit.
3) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan.
Perorangan dan lingkungan yang terjaga kebersihannya akan sulit tertular karena diri dan lingkungannya tidak memungkinkan menjadi vektor penyakit menular, diantaranya ISPA. 4) Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.
Mencegah anak berhubungan dengan menderita ISPA akan menghindarkan anak tertular secara langsung virus penyebab ISPA yang dapat ditularkan lewat udara (Depkes RI, 2006).
h. Anak Usia Bawah Lima Tahun (Balita) Balita adalah anak yang berumur dibawah 5 tahun atau masih kecil yang perlu tempat bergantung pada seorang dewasa yang mempunyai kekutan untuk mandiri dengan usaha anak balita yang tumbuh. Tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan balita yaitu: 1) Masa neonatus : usia 0
- – 28 hari
a) Masa neonatal dini : 0
- – 7 hari
b) Masa neonatal lanjut : 8
- – 20 hari
c) Masa pasca neonatal : 29 hari
- – 1 tahun 2) Masa bayi : usia 0
- – 1 tahun
a) Masa bayi dini : 0
- – 1 tahun
- – 2 tahun 3) Masa pra sekolah (usia 2
- – 6 tahun)
a) Pra sekolah awal (masa balita) : mulai 2
- – 3 tahun
2. Perilaku Perilaku menurut Suliha (2002) adalah respon seseorang terhadap rangsang dari luar subyek dan memiliki dua macam bentuk respon yaitu bentuk aktif dan bentuk pasif. Bentuk aktif adalah respon yang secara langsung dapat diobservasi, perilaku ini sudah termasuk tindakan nyata (overt behavior). Bentuk pasif terjadi dalam diri manusia dan tidak diamati secara lansung oleh orang lain, seperti pikiran, tanggapan, sikap batin dan pengetahuan. Perilaku semacam ini masih terselubung (covert
behavior ). Perilaku terjadi karena adanya dorongan dari dalam yang
merupakan suatu usaha untuk memenuhi kebutuhan. Menurut Katz (dalam Notoatmodjo, 2007), perilaku dilatarbelakangi oleh kebutuhan individu.
Seseorang dapat berperilaku baik terhadap obyek demi pemenuhan kebutuhan.
Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan (Sarwono, 2004). Suliha (2002) juga menyatakan bahwa, perilaku manusia secara operasional dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu perilaku dalam bentuk pengetahuan, sikap dan bentuk tindakan nyata atau perbuatan. L. Green dalam Notoatmodjo (2007) mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (nonbehavior causes). Perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, yaitu:
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, tradisi, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, pendidikan, dan sebagainya.
b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas- fasilitas atau, sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebagainya.
c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
3. Pengetahuan
a. Pengertian Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007).
Menurut penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2007), bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni:
1) Awarenes (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (obyek) terlebih dahulu.
2) Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus. 3) Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya).
4) Trial, orang mulai mencoba perilaku baru. 5) Adoption, subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Apabila penerimaan perilaku baru/ adopsi perilaku melalui proses yang di dasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap positif maka, perilaku tersebut akan bersifat langgeng (Long Lasting). Sebaiknya apabila perilaku itu tidak di dasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2007).
b. Tingkatan Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yakni:
1) Tahu (Know)
Diartikan sebagai mengingat yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk ke dalam tingkat pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
Oleh karena itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
2) Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang proyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut dengan benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan. 3) Aplikasi (Aplication)
Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi penggunaan hukum- hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem di dalam pemahaman masalah kesehatan dari kasus
solving cycle) yang diberikan.
4) Analisis (Analysis)
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam komponen - komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih saling keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Kemampuan analisis dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.
5) Sintesis (Syntesis)
Sintesis ini menunjukkan kepada kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari informasi yang sudah ada.
6) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi/obyek. Penilaian - penilaian itu berdasarkan pada suatu kriteria yang telah ada.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan, adalah:
1) Tingkat pendidikan Pendidikan adalah upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat
(Notoatmodjo, 2007). Tingkat pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan, yaitu kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan (Undang- Undang RI Nomor 20 Tahun 2003). Penelitian Kusumawati (2004) menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan berhubungan dengan tingkat pengetahuan.
2) Informasi Seseorang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas. Informasi ini dapat diperoleh dari beberapa sumber antara lain TV, radio, koran, kader, bidan, puskesmas, majalah (Notoatmodjo, 2007).
Penelitian Mugiati (2002) menyimpulkan bahwa sumber informasi berhubungan dengan tingkat pengetahuan.
3) Budaya Tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhan yang meliputi sikap dan kebudayaan (Notoatmodjo, 2007:146). Penelitian Irab (2009) menyimpulkan bahwa budaya berhubungan dengan tingkat pengetahuan.
4) Pengalaman Pengalaman adalah sesuatu yang pernah dialami seseorang tentang sesuatu (Notoatmodjo, 2007).
d. Pengukuran Tingkat Pengetahuan Pengukuran terhadap pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian. Arikunto (2006) menjelaskan interpretasi pengukuran hasil kuesioner berdasarkan skor jawaban sebagai berikut.
1) Baik, jika persentase jawaban yang benar : 76 %
- – 100 % 2) Cukup baik, jika persentase jawaban yang benar : 56 %
- – 75% 3) Kurang baik, jika persentase jawaban yang benar : < 56%
4. Sikap Sikap merupakan reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap menurut teori WHO (World Health Organization) sering diperoleh dari pengalaman (Notoatmodjo, 2007).
Komponen pokok sikap menurut Allport (1954, dalam Notoatmodjo, 2007) antara lain, kepercayaan atau keyakinan, konsep terhadap suatu obyek, nilai, perasaan dan kecenderungan untuk bertindak.
Sikap terdiri dari 4 tingkatan yaitu ;
a. Menerima diartikan bahwa orang mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan.
b. Merespon adalah memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
c. Menghargai yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah. d. Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
5. Praktik dan tindakan Tindakan akan terjadi setelah seseorang mengetahui stimulus, kemudian mengadakan penilaian terhadap apa yang diketahui dan proses selanjutnya diharapkan akan melaksanakan apa yang diketahuinya (Notoatmodjo, 2007). Suatu sikap belum terwujud dalam suatu tindakan.
Untuk mewujudkan sikap pada suatu tindakan yang konsisten diperlukan faktor pendukung yaitu suatu kondisi yang memungkinkan (Notoatmodjo, 2007). Tindakan mempunyai beberapa tingkatan, yaitu:
a. Persepsi adalah mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktek tingkat pertama.
b. Respon terpimpin adalah dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai.
c. Mekanisme, apabila seseorang lebih bisa melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan suatu kebiasaan.
d. Adopsi adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
B. Kerangka Teori
Faktor prediposisi (predisposing
factors ):
1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Tradisi
4. Nilai
5. Pendidikan Faktor pendukung (enabling
factors )
1. Sarana dan prasarana Perilaku Kejadian
2. Fasilitas kesehatan Ibu Tentang
ISPA Pada
3. Jarak lokasi
ISPA Balita
4. Biaya Faktor pendorong (reinforcing
factors )
1. Sikap dan perilaku tenaga kesehatan
2. Tokoh masyarakat
3. Tokoh agama
4. Undang-undang
Gambar 2.1 Kerangka TeoriSumber: Depkes RI (2006) dan Notoatmodjo (2007) C.
Kerangka Konsep
Variabel Bebas Variabel Terikat
Faktor Presdisposisi Kejadian ISPA
Perilaku ibu tentang ISPA pada Balita (Pengetahuan, Sikap,
Tindakan)
Gambar 2.2. Kerangka KonsepD. Hipotesis
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini yaitu: H1 : Ada hubungan antara pengetahuan ibu tentang ISPA dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Gombong I Kabupaten
Kebumen tahun 2014”. H2 : Ada hubungan antara sikap ibu tentang ISPA dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Gombong I Kabupaten Kebumen tahun
2014”. H3 : Ada hubungan antara tindakan ibu tentang ISPA dengan kejadian
ISPA pada balita di Puskesmas Gombong I Kabupaten Kebumen tahun 2014”.