BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Colletotrichum capsici - STUDI ANTIFUNGI DARI Trichoderma harzianum TERHADAP FUNGI Colletotrichum capsici DAN Fusarium oxysporum SECARA IN-VITRO - repository perpustakaan

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Deskripsi Colletotrichum capsici

2.1.1. Klasifikasi Colletotrichum capsici
Klasifikasi fungi Colletotrichum capsici pada tanaman cabai (Capsicum
annum L.) menurut Alexopoulus (1996) yaitu:
Kingdom

: Fungi

Divisi

: Aschomycota

Classis


: Ascomycetes

Order

: Melanconiales

Family

: Melanconiaceae

Genus

: Colletotrichum

Species

: Colletotrichum capsici

2.1.2. Morfologi Colletotrichum capsici

Fungi Colletotrichum capsici mempunyai konidiofor yang pendek dan
konidia dibentuk dalam aservulus. Colletotrichum mempunyai stroma yang terdiri
dari massa miselium yang berbentuk aservulus, bersepta, panjang antara 30-90
μm, umumnya yang berkembang merupakan perpanjangan dari setiap aservulus.
Konidia berwarna hialin, bersel tunggal dan berukuran 5-15 μm (Daniel, 1972).
Aservulus tersusun di bawah epidermis tumbuhan inang. Epidermis pecah
apabila konidia telah dewasa. Konidia keluar sebagai percikan berwarna putih,
kuning, jingga, hitam atau warna lain sesuai dengan pigmen yang dikandung

6
Studi Antifungi Dari..., Dewi Purwanti, FKIP UMP, 2017

7

konidia. Diantara bangsa Melanconiales yang konidianya cerah (hialin) adalah
Gloeosporium dan Colletotrichum. Keduanya mempunyai konidia yang
memanjang dengan penciutan di tengah (Dwidjoseputro, 1978). Morfologi fungi
C. capsici dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1. Morfologi C. capsici

Sumber : USDA (2014)
2.1.3. Gejala Serangan
Gejala awal serangan fungi C. capsici yang terdapat pada tanaman cabai
mula-mula berbentuk bintik-bintik kecil berwarna kehitaman dan berlekuk, pada
buah yang masih hijau atau yang sudah masak. Bintik-bintik ini tepinya berwarna
kuning, membesar dan memanjang. Bagian tengahnya menjadi semakin gelap
(Semangun, 1994). Menurut Rukmana & Oesman (2002), pada buah yang
terserang fungi C. capsici akan menjadi busuk berwarna seperti terkena sinar
matahari yang kemudian menyebabkan busuk basah berwarna hitam (Gambar
2.2).

Studi Antifungi Dari..., Dewi Purwanti, FKIP UMP, 2017

8

Gambar 2.2. Buah cabai yang terserang fungi C. capsici
Sumber : Halil (2013)
Pada tahap awal infeksi konidia Colletotrichum yang berada di permukaan
kulit


buah

cabai

merah

akan

berkecambah

dan

membentuk

tabung

perkecambahan. Setelah tabung perkecambahan berpenetrasi ke lapisan epidermis
kulit buah cabai merah maka akan terbentuk jaringan hifa. Kemudian hifa intra
dan interseluler menyebar keseluruh jaringan dari buah cabai merah (Photita, et
al., 2005)

Tanaman cabai dewasa yang terkena fungi C. Capsici akan menimbulkan
gejala mati pucuk, kemudian menjalar pada daun bawah dan batang,
menimbulkan busuk kering berwarna coklat kehitam-hitaman. Fungi C. capsici
menyebar dengan cepat dengan timbulnya gejala yang cepat (Rukmana &
Oesman, 2002)

Studi Antifungi Dari..., Dewi Purwanti, FKIP UMP, 2017

9

2.1.4. Siklus Hidup Fungi Colletotrichum capsici
Siklus hidup dari fungi C. capsici yang terdapat pada tanaman cabai yaitu
berawal dari buah, masuk menginfeksi biji. Pada umumnya fungi tersebut
menginfeksi semai yang tumbuh dari biji buah yang sakit. Fungi C. capsici juga
menyerang daun dan batang, hingga buah tanaman dan dapat mempertahankan
dirinya dalam sisa-sisa tanaman sakit. Konidium dari fungi akan disebarkan oleh
angin (Semangun, 1994).
Spora fungi Colletotrichum dapat disebarkan oleh angin dan percikan air
hujan dan pada inang yang cocok akan berkembang dengan cepat (Dickman,
1993). Pertumbuhan awal fungi Colletotrichum membentuk koloni miselium yang

berwarna putih dengan miselium yang timbul di permukaan, kemudian perlahanlahan berubah menjadi hitam dan akhirnya berbentuk aservulus. Aservulus
berwarna merah muda sampai coklat muda merupakan kumpulan massa konidia
(Rusli & Zulpadli, 1997).
2.1.5. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Colletotrichum
capsici
Pertumbuhan fungi Colletotrichum capsici sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan. Faktor lingkungan tersebut adalah:
1. pH
pH sangat penting dalam mengatur metabolisme dan sistem-sistem enzim.
Bila terjadi penyimpangan pH, maka proses metabolisme fungi dapat
terhenti. Menurut Yulianty (2006), pH optimal untuk pertumbuhan fungi
Colletotrichum capsisi yang baik adalah pH 5-7.

Studi Antifungi Dari..., Dewi Purwanti, FKIP UMP, 2017

10

2. Suhu
Suhu optimum pertumbuhan Colletotrichum capsici yaitu antara 24-30o C
(Nurhayati, 2011) dengan kelembaban relatif antara 80-90% (Rompas,

2001).
3. Musim
Pertumbuhan fungi C. capsici kurang baik pada musim kemarau dan lahan
yang mempunyai drainase baik. fungi tersebut dapat dibantu oleh angin
dan hujan untuk penyebaran konidia (Semangun, 1991).

2.2 Deskripsi Fusarium oxysporum
2.2.1. Klasifikasi Fusarium oxysporum
Klasifikasi Fusarium oxysporum menurut Alexopoulus & Mims (1979)
sebagai berikut :
Kingdom

: Fungi

Divisi

: Eumycota

Classis


: Deuteromycetes

Order

: Moniliales

Family

: Tuberculariaceae

Genus

: Fusarium

Species

: Fusarium oxysporum

Studi Antifungi Dari..., Dewi Purwanti, FKIP UMP, 2017


11

2.2.2 Morfologi Fusarium oxysporum
Fungi F. oxysporum memiliki struktur yang terdiri dari mikrokonidia dan
makrokonidia. Permukaan koloninya berwarna ungu dan tepinya bergerigi serta
memiliki permukaan yang kasar berserabut dan bergelombang. Di alam, fungi ini
membentuk konidium. Konidiofor bercabang dan makrokonidium berbentuk
sabit, bertangkai kecil dan seringkali berpasangan (Lucas et al., 1985). Gambar
2.3. Morfologi Fusarium oxysporum.

Gambar 2.3. Morfologi Fusarium oxysporum.
Sumber : BBPPKETINDAN(2015)
Miselium Fusarium oxysporum terdapat di dalam sel khusus di dalam
pembuluh tanaman, juga terdapat diantara sel-sel, yaitu di dalam kulit dan di
jaringan parenkim didekat terjadinya infeksi. F. oxysporum adalah fungi
aseksual.
Fungi F. oxysporum menghasilkan 3 jenis spora yaitu mikrokonidia
makrokonidia, dan klamidospora (Gambar 2.4). Makrokonidia berbentuk panjang
melengkung seperti kumparan, tidak berwarna, dan pada kedua ujungnya sempit
menyerupai bulan sabit yang terdiri dari 3-5 sekat dengan ukuran 25-33 x 3,5-5,5


Studi Antifungi Dari..., Dewi Purwanti, FKIP UMP, 2017

12

µm . Mikrokonidia merupakan spora bersel satu atau dua yang tidak berwarna,
berbentuk lonjong atau bulat telur dengan ukuran 6-15 x 2,5-4 µm. Klamidiospora
merupakan spora berbentuk bulat yang terdapat di dalam hifa atau di ujung hifa.
Klamidiospora dapat terbentuk jika kondisi lingkungan tidak mendukung dan
klamidiospora yang dihasilkan bersifat dorman (Semangun, 1996).

Gambar 2.4. (A) Makrokonidia, (B) Mikrikonidia, (C) Klamidiospora
Sumber : Seifert and Gams (2001)
2.2.3. Gejala Serangan
Gejala awal yang terlihat akibat serangan patogen ini yaitu memucatnya
tulang-tulang daun

terutama

daun-daun


atas

kemudian

diikuti

dengan

menggulungnya daun yang lebih tua selanjutnya tangkai daun akan merunduk dan
akhirnya tanaman menjadi layu secara keseluruhan (Gambar 2.5). Jika tanaman
sakit dipotong maka dekat pangkal batang akan terlihat suatu cincin dari berkas
pembuluh (Semangun, 1996).
Pada tanaman yang masih sangat muda, penyakit ini dapat menyebabkan
matinya tanaman secara mendadak, karena pada pangkal batang terjadi kerusakan
atau kanker yang menggelang (Semangun, 2001).

Studi Antifungi Dari..., Dewi Purwanti, FKIP UMP, 2017

13

Gambar 2.5.Tanaman cabai yang terserang Fusarium oxysporum
Sumber : Langit (2014)
2.2.4. Siklus Hidup Fungi Fusarium oxysporum
Fungi Fusarium mengalami 2 fase dalam siklus hidupnya yakni
patogenesa dan saprogenesa. F. oxysporum tersebut hidup sebagai parasit pada
tanaman inang yang masuk melalui luka pada akar dan berkembang dalam
jaringan tanaman yang disebut sebagai fase patogenesa. Pada fase saprogenesa
merupakan fase bertahan yang diakibatkan tidak adanya inang, hidup sebagai
saprofit dalam tanah dan sisa-sisa tanaman dan menjadi sumber inokulum untuk
menimbulkan penyakit pada tanaman yang lain. Patogen ini dapat menimbulkan
gejala penyakit karena mampu menghasilkan enzim, toksin, polisakarida dan
antibiotik dalam jaringan tanaman (Agrios 1997 dalam Susetyo 2010),
2.2.5. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Fusarium oxysporum
Kehidupan Fusarium oxysporum dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Faktor-faktor tersebut adalah temperatur, kelembaban tanah yang rendah, panjang
hari yang pendek, intensitas cahaya yang rendah, nutrisi N dan P yang rendah,
nutrisi K yang tinggi dan pH yang rendah (Booth, 1985).

Studi Antifungi Dari..., Dewi Purwanti, FKIP UMP, 2017

14

Fungi F. oxysporum mampu bertahan hidup pada temperatur tanah 21o33oC, temperatur optimumnya adalah 280C (Semangun, 1996). Fungi F.
oxysporum sangat cocok pada tanah yang mempunyai kisaran pH 4,5-6,0
(Sastrahidayat, 1989). Kelembaban tanah yang sangat rendah atau tinggi dapat
menahan pertumbuhan tanaman dan juga perkembangan penyakit layu fusarium
(Mehrotra, 1980). Faktor lain yang mempengaruhi perkembangan Fusarium
adalah unsur-unsur yang terkandung dalam tanah. Di banyak negara diketahui
bahwa penyakit berkembang lebih berat bila tanah mengandung banyak nitrogen
tapi miskin akan kalium (Semangun, 1996).
2.3.

Pengendali Hayati
Pengendalian terhadap penyakit tanaman saat ini masih bertumpu pada

penggunaan pestisida sintetis. Namun penggunaan pestisida sintetis secara terusmenerus dapat menimbulkan berbagai macam dampak negatif. Penggunaan
pestisida sintetis dapat membahayakan keselamatan hayati termasuk manusia dan
keseimbangan ekosistem. Oleh sebab itu, saat ini metode pengendalian telah
diarahkan pada pengendalian secara hayati (Suwahyono, 2009).
Pengendalian biologi (hayati) menunjukkan alternatif pengendalian yang
dapat dilakukan tanpa harus memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan
dan sekitarnya, salah satunya adalah dengan pemanfaatan agens hayati seperti
virus, fungi, bakteri atau aktiomisetes (Ismail, 2010).
Mekanisme fungi dalam menghambat patogen tanaman dapat melalui
antibiosis, lisis, kompetisi, dan parasitisme (Arwiyanti, 2003).

Studi Antifungi Dari..., Dewi Purwanti, FKIP UMP, 2017

15

1.

Antibiosis
Antibiosis adalah interaksi antar organisme dimana salah satu organisme
menghasilkan zat antibiotik yang dapat menghancurkan sel fungi melalui
perusakan terhadap permeabilitas membran sel.

2.

Lisis
Lisis adalah proses pemecahan komponen dinding sel fungi patogen oleh
fungi antagonis dengan cara menghasilkan enzim seperti kitinase yang
dapat mendegradasi kitin pada dinding sel patogen.

3.

Kompetisi
Kompetisi yaitu mempunyai kemampuan berkompetisi memperebutkan
tempat hidup dan sumber makanan.

4.

Parasitisme
Parasitisme yaitu memarasit miselium fungi lain dengan menembus
dinding sel dan masuk ke dalam sel untuk mengambil zat makanan dari
dalam sel sehingga fungi akan mati.
Penggunaan

pengendali

hayati

dalam

mengendalikan

organisme

pengganggu tanaman (OPT) semakin berkembang karena cara ini lebih unggul
dibanding pengendalian berbasis pestisida. Beberapa keunggulan tersebut antara
lain: (1) aman bagi manusia, musuh alami dan lingkungan; (2) dapat mencegah
timbulnya ledakan OPT sekunder, (3) produk tanaman yang dihasilkan bebas dari
residu pestisida; (4) aman bagi kesehatan manusia; (5) terdapat di sekitas
pertanaman sehingga dapat mengurangi ketergantungan petani terhadap pestisida
sintetis dan (6) dapat menurunkan biaya produksi karena aplikasi agens

Studi Antifungi Dari..., Dewi Purwanti, FKIP UMP, 2017

16

pengendali hayati dilakukan satu atau dua kali dalam satu musim panen (Tombe et
al., 1999).
Telah diketahui beberapa mikroorganisme yang digunakan sebagai
pengendali hayati. Sebagai contohnya dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1. Contoh mikroorganisme yang digunakan sebagai pengendali hayati
Jenis Pengendali Hayati
(Mikroorganisme)

Mikroorganisme Sasaran

Nama Penyakit

Busuk akar

Pseudomonas cepacia

Aspergillus niger
Fusarium
oxysporum f.sp. lycopersici
Fusarium spp, Rhizoctonia
solani
Fusarium spp, R. Solani

Serratia plymuthica

Pythium ultimum

Rebah kecambah
pada
Timun

Trichoderma viridae

Heterobasidon annosum

Verticillium sp

Hemiliea vastarix

Busuk akar/ layu
sayuran
Bercak daun pada
tanaman kopi

Bacillus subtilis
Pseudomonas
flourescens
Phytium oligandrum

Layu fusarium pada
Tomat

Layu pada tomat/
kentang
Rebah semai padi,
kapas dan legum

Studi Antifungi Dari..., Dewi Purwanti, FKIP UMP, 2017

17

2.4. Deskripsi Trichoderma harzianum
2.4.1. Klasifikasi FungiTrichoderma harzianum
Klasifikasi Trichoderma harzianum menurut Rivai (1969) adalah sebagai
berikut :
Kingdom

: Fungi

Divisi

: Ascomycota

Subdivisi

: Pezizomycotina

Classis

: Sordariomycetes

Order

: Hypocreales

Family

: Hypocreaceae

Genus

: Trichoderma

Species

: Trichoderma harzianum

2.4.2. Morfologi Fungi Trichoderma harzianum
Morfologi T. harzianum terdiri dari konidia yang terdapat pada struktur
konidiofor. Konidiofor dapat bercabang menyerupai piramida berupa cabang
lateral yang berulang-ulang, sedangkan ke arah ujung percabangan menjadi
bertambah pendek. Phialida/ cabang hifa tampak langsing dan panjang terutama
pada apeks dari cabang dan berukuran 18 x 2,5 µm, konidia berbentuk semi bulat
hingga oval pendek, berukuran (2,8-3,2)x(2,5-2,8) µm dan berdinding halus
(Gambar 2.6). Trichoderma mempunyai klamidiospora (spora aseksual
berdinding tebal dan mampu bertahan hidup dalam lingkungan yang kurang
menguntungkan) yang umumnya ditemukan dalam miselia dari koloni yang sudah

Studi Antifungi Dari..., Dewi Purwanti, FKIP UMP, 2017

18

tua, terletak interkalar dan kadang-kadang terminal, umumnya berbentuk bulat,
berwarna hialin dan berdinding halus. Kemampuan Trichoderma dalam
memproduksi klamidiospora merupakan aspek penting dalam proses sporulasi
sedangkan reproduksi aseksual Trichoderma menggunakan konidia (Gandjar,
1999).

Gambar 2.6. Morfologi Trichoderma harzianum dengan perbesaran 400 kali
Sumber : USDA (2008)
Trichoderma harzianum adalah fungi non mikoriza yang dapat
menghasilkan enzim kitinase, sehingga dapat berfungsi sebagai pengendali
penyakit tanaman. Kitinase merupakan enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh
fungi dan bakteri serta berperan penting dalam pemecahan kitin (Wijaya, 2002).
2.4.3. Manfaat Trichoderma harzianum
Trichoderma harzianum memiliki aktivitas antifungal yang tinggi
dibanding Trichoderma jenis lain. T. harzianum dapat memproduksi enzim litik
dan antibiotik antifungal. T. harzianum juga dapat berkompetisi dengan patogen
dan dapat membantu pertumbuhan tanaman. Fungi tersebut juga memiliki kisaran
penghambatan yang luas karena dapat menghambat berbagai jenis fungi. T.

Studi Antifungi Dari..., Dewi Purwanti, FKIP UMP, 2017

19

harzianum memproduksi metabolit seperti asam sitrat, etanol, dan berbagai enzim
seperti urease, selulose, glukanase, dan kitinase. Hasil metabolit tersebut
dipengaruhi kandungan nutrisi yang terdapat dalam media. Saat berada pada
kondisi yang kaya akan kitin, T. harzianum memproduksi protein kitinolitik dan
enzim kitinase. Enzim tersebut berguna untuk meningkatkan efisiensi aktivitas
biokontrol terhadap patogen yang mengandung kitin (Suwahyono, 2010 dalam
Azmi, 2011)
Menurut Salma & Gunarto (1999), Trichoderma harzianum mempunyai
kemampuan menghasilkan enzim selulase sehingga dapat merusak dinding sel
fungi patogen famili Pythiaceae. Fungi tanah T. harzianum mempunyai
kemampuan melakukan pelilitan dan penetrasi hifa patogen serta menghasilkan
antibiotik yang bersifat toksin bagi patogen lawannya (Dennis & Webster, 1971
dalam Salma & Gunarto, 1999).
2.5. Kandungan Metabolit Sekunder (Antifungi)
Metabolit sekunder adalah substansi kimia yang diperoleh dari metabolit
primer sebagai produk dari proses metabolisme respirasi maupun fotosintesis
(Ramawat et al., 2009). Metabolit sekunder merupakan senyawa dari hasil
metabolisme primer yang tidak diperlukan untuk pertumbuhan fungi tersebut.
Secara umum metabolit sekunder pada fungi terjadi pada fase akhir petumbuhan
dan mulai memasuki fase stationer. Metabolisme sekunder pada fungi diartikan
sbagai suatu proses diferensiasi dan sporulasi.
Beberapa kelompok senyawa metabolit sekunder diantaranya adalah
sebagai berikut:

Studi Antifungi Dari..., Dewi Purwanti, FKIP UMP, 2017

20

1. Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa biologis heterosiklik aktif yang
mengandung nitrogen (Kurnar & Rawat, 2011). Alkaloid pada umumnya
mencakup senyawa yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih
atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik
(Harborne, 1987).
Mekanisme kerja alkaloid sebagai antifungi dilakukan dengan
merusak membran sel fungi. Alkaloid akan berikatan dengan ergosterol
membentuk lubang yang menyebabkan kebocoran membran sel. Hal ini
mengakibatkan kerusakan sel dan kematian sel fungi.
2. Flavonoid
Flavonoid adalah salah satu dari golongan fenol alam yang paling
besar. Flavonoid mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya, rumus
kimia C6-C3-C6 yang artinya kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus
C6 (Cincin benzene tersubtitusi) yang dihubungkan secara alifatis oleh
tiga karbon (Lumbanraja, 2009).
Senyawa-senyawa flavonoid mempunyai kemampuan sebagai
antifungi. Selain itu flavonoid juga berperan sebagai antivirus, antibakteri,
antiradang, dan antialergi. Flavonoid mampu menyebabkan gangguan
permeabilitas membran sel fungi karena gugus hidroksil yang dimiliki
flavonoid mampu merubah komponen organik dan transport nutrisi yang
menimbulkan efek toksik pada fungi (Wiryowidagdo, 2006).
3. Saponin

Studi Antifungi Dari..., Dewi Purwanti, FKIP UMP, 2017

21

Saponin adalah glikosida dan stereol yang telah terdeteksi pada
lebih dari 90 suku tumbuhan. Saponin juga merupakan senyawa aktif
permukaan dan bersifat seperti sabun. Saponin dapat dideteksi berdasarkan
kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah (Harborne,
1987).
Saponin

pada

bakteri

mampu

meningkatkan

permeabilitas

membran sel bakteri sehingga struktur dan fungsi membran bakteri
berubah, menyebabkan denaturasi protein membran sehingga membran sel
akan rusak dan lisis (Siswandono & Soekarjo, 2000).
2.5.1. Mekanisme Kerja Antifungi
Antifungi adalah suatu bahan yang dapat mengganggu pertumbuhan dan
metabolisme mikroorganisme. Pemakaian bahan antifungi merupakan suatu usaha
untuk mengendalikan fungi maupun bakteri, yaitu segala kegiatan yang dapat
menghambat, membasmi atau menyingkirkan mikroorganisme (Pelczar & Chan,
1988). Mekanisme antifungi dapat berupa gangguan pada membran sel yang
terjadi karena adanya ergosterol dalam sel fungi, penghambatan sintesis asam
nukleat dan protein fungi yang disebabkan oleh senyawa turunan pirimidin dan
penghambatan mitosis fungi karena adanya senyawa griseofulvin. (Sholichah,
2010).

Studi Antifungi Dari..., Dewi Purwanti, FKIP UMP, 2017

22

2.6.

Pengujian Aktivitas Antifungi
Pengujian aktivitas antifungi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu:
1. Metode Dilusi
Metode dilusi digunakan untuk menentukan kadar hambat minimum dan
kadar bunuh minimum dari bahan antimikroba. Prinsip dari metode dilusi
yaitu menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi medium cair dan
sejumlah tertentu sel mikroba yang diuji. Selanjutnya masing-masing
tabung diisi dengan bahan antimikroba yang telah diencerkan secara serial,
kemudian seri tabung diinkubasi pada suhu 370 C selama 18-24 jam dan
diamati terjadinya kekeruhan konsentrasi terendah bahan antimikroba pada
tabung yang ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai tampak jernih
(tidak ada pertumbuhan fungi merupakan konsentrasi hambat minimum).
Biakan dari semua tabung yang jernih ditumbuhkan pada medium agar
padat, diinkubasi selama 24 jam, dan diamati ada tidaknya koloni fungi
yang tumbuh . Konsentrasi terendah obat pada biakan pada medium padat
yang ditunjukan dengan tidak adanya pertumbuhan fungi adalah
merupakan konsentrasi bunuh minimum bahan antimikroba terhadap fungi
uji (Tortora et al., 2001).
2. Metode Difusi Cakram (Uji Kirby-Bauer)
Prinsip dari metode difusi cakram adalah menempatkan kertas cakram
yang sudah mengandung bahan antimikroba tertentu pada medium
lempeng padat yang telah dicampur dengan fungi yang akan diuji.
Medium ini kemudian diinkubasi pada suhu 370 selama 18-24 jam,

Studi Antifungi Dari..., Dewi Purwanti, FKIP UMP, 2017

23

selanjutnya diamati adanya zona jernih di sekitar kertas cakram. Daerah
jernih yang tampak di sekeliling kertas cakram menunjukkan tidak adanya
pertumbuhan mikroba. Fungi yang sensitif terhadap bahan antimikroba
akan ditandai dengan adanya daerah hambatan disekitar cakram,
sedangkan jamur yang resisten terlihat tetap tumbuh pada tepi kertas
cakram (Tortora et al., 2001).
2.7. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode pilihan untuk
memisahkan suatu senyawa yang larut dalam lipid. Plat silika digunakan sebagai
fase diam, sedangkan fase gerak dalam kromatografi lapis tipis berupa pelarut
maupun campuran pelarut yang disebut larutan pengembang. Fase gerak yang
dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena
pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending), atau karena
pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Gandjar &
Rohman, 2007).
Beberapa keuntungan dari kromatografi lapis tipis adalah (Gandjar &
Rohman, 2007):
a. Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis.
b. Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna,
flourensi, atau radiasi dengan sinar ultraviolet.
c. Dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending), menurun (descending)
atau dengan cara elusi 2 dimensi.

Studi Antifungi Dari..., Dewi Purwanti, FKIP UMP, 2017

24

d. Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan
ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak.

Studi Antifungi Dari..., Dewi Purwanti, FKIP UMP, 2017

Dokumen yang terkait

EFEKTIFITAS BERBAGAI KONSENTRASI DEKOK DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum L) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici SECARA IN-VITRO

4 157 1

PENGARUH BERBAGAI TINGKAT FRAKSI EKSTRAK DAUN MENGKUDU (Morinda citrifolia L) TERHADAP PERTUMBUHAN Colletotrichum capsici PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI (Capsicum annum L) SECARA IN VITRO

3 20 39

KAJIAN FORMULASI DAN MASA SIMPAN Trichoderma harzianum Rifai DALAM MENGHAMBAT Phytophthora capsici Leon. PENYEBAB PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG LADA SECARA IN VITRO

1 6 10

KETAHANAN KULTIVAR CABAI RAWIT (Capsicum frutescent L.) TERHADAP JAMUR Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA

1 20 32

KETAHANAN KULTIVAR CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) TERHADAP JAMUR Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA

8 110 31

PENGARUH FRAKSI EKSTRAK DAUN TAGETES (Tagetes erecta) SALIARA (Lantana camara) dan SIRIH HIJAU (Piper betle) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SPORULASI Colletotrichum capsici SECARA IN VITRO

2 15 46

MEKANISME ANTAGONIS LIMA ISOLAT Bacillus subtilis TERHADAP Colletotrichum capsici DAN C. gloeospoiroides IN VITRO Antagonistic Mechanism of Five Isolates of Bacillus subtilis to Colletotrichum capsici and Colletotrichum gloeospoiroides In Vitro

0 0 13

1. Biologi Fusarium oxysporum f.sp capsici - Penggunaan Jamur Endofit Dari Terong Belanda (Solanum betacea) untuk Mengendalikan Fusarium oxysporum f.sp.capsici dan Alternari solani Secara In Vitro

0 0 9

UJI AKTIVITAS SENYAWA BIOAKTIF BAKTERI Corynebacterium sp TERHADAP JAMUR PATOGEN Fusarium oxysporum f.sp. capsici PENYEBAB PENYAKIT LAYU PADA TANAMAN CABAI SECARA IN VITRO

0 1 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cabai Merah 2.1.1. Klasifikasi Cabai Merah - UJI AKTIVITAS SENYAWA BIOAKTIF BAKTERI Corynebacterium sp TERHADAP JAMUR PATOGEN Fusarium oxysporum f.sp. capsici PENYEBAB PENYAKIT LAYU PADA TANAMAN CABAI SECARA IN VITRO - reposit

1 1 16