Usep Munawar BAB II
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. HEMODIALISIS
1. Definisi Hemodialisis adalah dialisis yang dilakukan diluar tubuh yang biasa kita sebut cuci darah atau pembersihan darah dengan menggunakan mesin atau ginjal buatan, dari zat-zat yang konsentrasinya berlebihan di dalam tubuh. Zat- zat tersebut dapat berupa zat yang terlarut dalam darah, seperti toksin ureum dan kalium atau zat pelarutnya yaitu air atau serum darah (Suwitra, 2006). Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada klien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau klien dengan penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen (Suharyanto, 2009).
2. Tujuan Tujuan dilakukan terapi hemodialisis yaitu untuk menurunkan kreatinin dan zat toksik yang lainnya dalam darah, Hemodialisis juga bertujuan untuk menghilangkan gejala yaitu mengendalikan uremia, kelebihan cairan dan ketidak seimbangan elektrolit yang terjadi pada pasien penyakit ginjal tahap akhir (Markum, 2006) .
13
3. Indikasi Hemodialisis diindikasikan pada pasien dalam keadaan akut yang memerlukan terapi dialisis jangka pendek atau pasien dengan gagal ginjal tahap akhir yang memerlukan terapi jangka panjang / permanen (Smeltzer et al. 2008). Indikasi dilakukan hemodialisis pada penderita gagal ginjal adalah: 1) Laju filtrasi glomerulus kurang dari 15ml/menit; 2) Hiperkalemia; 3) Kegagalan terapi konservatif; 4) Kadar ureum lebih dari 200mg/dl; 5) Kelebihan cairan; 6) Anuria berkepanjangan lebih dari 5 kali.
4. Peralatan Hemodialisis Peralatan Hemodialisis meliputi mesin hemodialisis, dialiser dan dialisat:
a. Mesin Hemodialisis Mesin hemodialisis merupakan perpaduan dari komputer dan pompa, yang mempunyai fungsi untuk mengatur dan memonitor. Pompa dalam mesin hemodialisis berfungsi untuk mengalirkan darah dari tubuh ke dialiser dan mengembalikan kembali ke tubuh (homas, 2003). Mesin hemodialisis dilengkapi dengan monitor dan parameter kritis, diantaranya memonitor kecepatan dialisat dan darah, konduktivitas cairan dialisat, temperatur dan pH, aliran darah, tekanan darah, dan memberikan informasi vital lainnya. Mesin Hemodialisis juga mengatur ultrafiltrasi, mengatur cairan dialisat, dan memonitor analisis dialisat terhadap kebocoran serta dilengkapi detektor udara ultrasonic untuk mendeteksi udara atau busa dalam vena (Thomas, 2003). Sistem monitoring sangat penting untuk efektifitas proses dialisis dan keselamatan pasien.
b. Dialiser atau ginjal buatan Dialiser adalah tempat dimana proses hemodialisis berlangsung, tempat terjadinya pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan dialisat.
Dialiser merupakan kunci utama proses hemodalisis, karena yang dialakukan oleh dialiser sebagian besar dikerjakan oleh ginjal yang normal.
Dialiser terdiri dari 2 kompartemen masing-masing untuk cairan dialisat dan darah. Kedua kompartemen dipisahkan membran semipermeabel yang mencegah cairan dialisat dan darah bercampur jadi satu (Lemone & Burke 2008).
c. Dialisat Dialisat adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama dari serum norml yang dipompakan melewati dialiser ke darah pasien (Thomas
& Smith, 2003). Komposisi cairan dialisat diatur sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi ion darah normal dan sedikit dimodifikasi agar dapat memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit pasien ESRD. Dialisat dibuat dengan mencampurkan konsentrat elektrolit dengan buffer (bikarbonat) dan air murni. Dialisis terdiri dari dialisat astat dan dialisat bikarbonat. Dialisat asetat terdiri dari jumlah sodium, kalsium, magnesium, kalim, klorida dan sejumlah kecil asam asetat. Dialiasat asetat dipakai untuk mengoreksi asidosis dan mengimbangi kehilangan bikarbonat secara difusi selama hemodialisis. Sementara itu dialisat bikarbonat terdiri dari larutan asam dan larutan bikarbonat. Dialisat bikarbonat bersifat lebih fisiologis walaupun relatif tidak stabil (kallenbach, 2005). Merekomendasikan unit dialisis menggunakan dialisat bikarbonat untuk mengurangi komplikasi.
5. Proses Hemodialisis Ginjal buatan (Dialyzer), mempunyai 2 kompartemen, yaitu kompartemen darah dan kompartemen dialisat. Kedua kompartemen tersebut, selain dibatasi oleh membran semi-permeabel, juga mempunyai perbedaan tekanan yang disebut sebagai trans-membranpressure (TMP) (Swartzendruber et al, 2008). Selanjutnya, darah dari dalam tubuh dialirkan kedalam kompartemen darah, sedangkan cairan pembersih (dialisat), dialirkan ke dalam kompartemen dialisat. Pada proses hemodialisis, terjadi 2 mekanisme yaitu, mekanisme difusi dan mekanisme ultrafiltrasi.
Mekanisme difusi bertujuan untuk membuang zat-zat terlarut dalam darah (blood purification), sedangkan mekanisme ultrafiltrasi bertujuan untuk mengurangi kelebihan cairan dalam tubuh (volume control) (Roesli, 2006). Kedua mekanisme dapat digabungkan atau dipisah, sesuai dengan tujuan awal hemodialisisnya. Mekanisme difusi terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi antara kompartemen darah dan kompartemen dialisat. Zat-zat terlarut dengan konsentrasi tinggi dalam darah, berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat, sebaliknya zat-zat terlarut dalam cairan dialisat dengan konsentrasi rendah, berpindah dari kompartemen dialisat ke kompartemen dialisat.
Proses difusi ini akan terus berlangsung hingga konsentrasi pada kedua kompartemen telah sama. Kemudian, untuk menghasilkan mekanisme difusi yang baik, maka aliran darah dan aliran dialisat dibuat saling berlawanan (Rahardjo et al, 2006). Kemudian pada mekanisme ultrafiltrasi, terjadi pembuangan cairan karena adanya perbedaan tekanan antara kompartemen darah dan kompartemen dialisat. Tekanan hidrostatik akan mendorong cairan untuk keluar, sementara tekanan onkotik akan menahannya. Bila tekanan di antara kedua kompartemen sudah seimbang, makamekanisme ultrafiltrasi akan berhenti (Suwitra, 2006).
6. Dosis hemodialisis dan kecukupan dosis Hemodialisis
a. Dosis Hemodialisis Dosis Hemodialisis yang diberikan pada umumnya sebanyak 2 kali seminggu dengan setiap Hemodialisis selama 5 jam atau 14 sebanyak 3 kali seminggu dengan setiap hemodialisis selama 4 jam (Suwitra, 2006). Lamanya hemodialisis berkaitan erat dengan efisiensi dan adekuasi hemodialisis, sehingga lama hemodialisis juga dipengaruhi oleh tingkat uremia akibat progresivitas perburukan fungsi ginjalnya dan faktor-faktor komorbiditasnya, serta kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran dialisat (Swartzendruber et al, 2008). Namun demikian, semakin lama proses hemodialisis, maka semakin lama darah berada diluar tubuh, sehingga makin banyak antikoagulan yang dibutuhkan, dengan konsekuensi sering timbulnya efek samping (Roesli, 2006).
b. Kecukupan Dosis Hemodialisis Kecukupan dosis hemodialisa yang diberikan disebut dengan adekuasi hemodialisis. Adekuasi hemodialisis diukur dengan menghitung urea reduction ratio (URR) dan urea kinetic modeling (Kt/V). Nilai URR dihitung dengan mencari nilai rasio antara kadar ureum pradialisis yang dikurangi kadar ureum pasca dialisis dengan kadar ureum pasca dialisis. Kemudian, perhitumgan nila Kt/V juga memerlukan kadar ureum pradialisis dan pasca dialisis, berat badan pradialisis dan pascadialisis dalam satuan kilogram, dan lama proses hemodialisis dalam satuan jam. Pada hemodialisis dengan dosis 2 kali seminggu, dialisis dianggap cukup bila nilai URR 65-70% dan nilai Kt/V 1,2-1,4 (Swartzendruber et al, 2008).
B. KOMPLIKASI INTRADIALISIS
1. Definisi Komplikasi hemodialisis dapat disebabkan oleh karena penyakit yang mendasari terjadinya penyakit ginjal kronik tersebut atau oleh karena proses selama menjalani hemodialisis itu sendiri. Sedangkan komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama proses hemodialisis berlangsung (Rahardjo et al, 2006). Menurut Daugirdas et al, (2007) Komplikasi intradialisis merupakan kondisi abnormal yang terjadi saat pasien menjalani hemodialisis, komplikasi yang umum terjadi saat pasien menjalani hemodialisis adalah hipotensi, kram, mual, dan muntah, heasache, nyeri dada, nyeri punggung, gatal, demam dan menggigil.
Komplikasi intradialisis lainnya yang mungkin terjadi adalah hipertensi intradialisis dan disequlibrium syndrome yaitu kumpulan gejala disfungsi serebral terdiri dari sakit kepala, pusing, mual, muntah, kejang, disorientasi sampai koma, Daugirdas et al (2007) menyebutkan juga bahwa komplikasi intradialisis lain yang biasa dialami pasien hemodialisis kronik adalah aritmia, hemolisis, dan emboli udara. Berikut ini akan menguraikan meliputi: hipotensi, kram, mualdan muntah, pusing, nyeri dada, nyeri punggung, gatal, demam, menggigil, hipertensi, disequlibrium syndrome, aritmia, hemolisis, dan emboli udara.
a. Hipotensi intradialisis Menurut shahgholian et al, (2008) Hipotensi Intradialisis adalah penurunan tekanan darah sistolik > 30% atau penurunan tekanan diastolik sampai di bawah 60 mmHg yang terjadi saat pasien menjalani hemodialisis, disebabkan oleh karena penurunan volume plasma, disfungsi otonom, vasodilatasi karena energi panas, obat anti hipertensi.
Penyebab dari Hipotensi intradialisis (IDH) adalah multifaktorial. Pada satu sisi, kondisi pasien dapat mencetuskan penurunan tekanan darah selama hemodialisis; Umum, komorbid seperti diabetes dan kardiomiopati, anemia, large interdialytic weight gain (IDWG), penggunaan obat-obat antihipertensi. Pada sisi lain, faktor-faktor yang berhubungan dengan dialisis itu sendiri dapat berkontribusi terhadap instabilitas hemodinamik: sesi hemodialisis yang pendek, laju ultafirasi yang tinggi, temperatur dialisat yang tinggi, konsentrasi sodium dialisat yang rendah, inflamasi yang di sebabkan aktivasi dari membran dan lain-lain. Faktor yang kelihatannya dominan dari kejadian IDH ini adalah berkurangnya volume sirkulasi darah yang agresif, dikarenakan ultrafiltrasi, penurunan osmolitas ekstraseluler dengan cepat yang berhubungan dengan perpindahan sodium, dan ketidakseimbangan antara ultrafiltrasi dan plasma refilling.
b. Kram otot Kram otot terjadi pada 20% pasien hemodialisa, penyebabnya idiopatik namun diduga karena kontraksi akut yang dipicu oleh peningkatan volume ekstraseluler. Intradialytic muscle craping, biasa terjadi pada ekstrimitas bawah (Holley et al, 2007).
Kram otot adalah kontraksi yang terus menerus yang dialami oleh otot atau sekelompok otot dan mengakibatkan rasa nyeri. penyebab kram adalah otot yang terlalu lelah, kurangnya pemanasan serta peregangan, adanya gangguan sirkulasi darah yang menuju ke otot sehingga menimbulkan kejang (Parkkari et al. 2001). Beberapa hal yang dapat menimbulkan kram antara lain adalah :
1. Kelelahan otot saat berolahraga sehingga terjadi akumulasi sisa metabolik yang menumpuk berupa asam laktat kemudian merangsang otot/ saraf hingga terjadi kram.
2. Kurang memadainya pemanasan serta pendinginan sehingga tubuh kurang memiliki kesempatan untuk melakukan adaptasi terhadap latihan (Parkkari et al. 2001).
c. Pusing (headache) Teta 2007 menyebutkan bahwa frekuensi sakit kepala saat dialisis adalah 5% dari keseluruhan prosedur hemodialisis. Penelitian menunjukan bahwa migren akibat gangguan vaskuler dan tension headache adalah dua tipe sakit kepala yang dialami oleh paisen saat hemodialisis.
Sebagian besar dari jaringan otak sendiri tidak peka nyeri. Perangsangan terhadap bangunan-bangunan itu dapat berupa:
1. Vasodilatasi arteri intrakranial akibat keadaan toksik (seperti pada infeksi umum, intoksikasi alkohol, intoksikasi CO, reaksi alergik), gangguan metabolik (seperti hipoksemia, hipoglikemia dan hiperkapnia), pemakaian obat vasodilatasi, keadaan paska contusio serebri, insufisiensi serebrovasculer akut).
2. Gangguan pembuluh darah ekstrakranial, misalnya vasodilatasi (migren dan cluster headache) dan radang (arteritis temporalis)
3. Gangguan terhadap otot-otot yang mempunyai hubungan dengan kepala, seperti pada spondiloartrosis deformans servikalis.
4. Peregangan selaput otak akibat proses desak ruang intrakranial, penyumbatan jalan lintasan liquor, trombosis venos spinosus, edema serebri atau tekanan intrakranial yang menurun tiba-tiba atau cepat sekali.
d. Nyeri dada Daugirdas, et al (2007) menyebutkan bahwa nyeri dada hebat saat hemodialisis frekuensinya adalah 1-4%. Nyeri dada saat hemodialisis terjadi akibat penurunan hemotokrit dan perubahan volume darah karena penarikan cairan.
e. Demam FMNCA (2007) mengidentifikasikan demam selama hemodialisis sebagai peningkatan suhu tubuh selama hemodialisis lebih dari 0.5° C atau suhu rectal atau aksila selama dialisis lebih dari 38° C. Mayoritas (70%) reaksi febris berhubungan dengan infeksi akses vaskuler, perkemihan dan pernafasan. Demam selama hemodialisis juga berhubungan dengan jenis dialisat yang digunakan dan reaksi hipertensifitas.
Mekanisme demam terjadi ketika pembuluh darah disekitar hipotalamus terkena pirogen eksogen tertentu (seperti bakteri) atau pirogen endogen (Interleukin-1, interleukin-6, tumor necrosis factor) sebagai penyebab demam, maka metabolit asam arakidonat dilepaskan dari endotel sel jaringan pembuluh darah. Metabolit seperti prostaglandin
E2 , akan melintasi barrier darah-otak dan menyebar ke dalam pusat
pengaturan suhu di hipotalamus, yang kemudian memberikan respon dengan meningkatkan suhu.
f. Hipertensi intradialisis Terjadinya hipertensi saat hemodialisis lebih sering terjadi akibat peningkatan tahanan perifer. Penelitian oleh Landry, et al (2006) menunjukan bahwa pada pasien yang mengalami hipertensi tejadi peningkatan tahanan perifer vaskuler resitence (PVR) yang signifikan.
Peningkatan resistensi vaskuler dapat dipicu oleh kelebihan cairan pradialisis juga akan meningkatkan resistensi vaskuler dapat vaskuler.
Akibatnya curah jantung meningkat, menyebabkan peningkatan tekanan darah selama dialisis.
Pembuluh darah di tubuh manusia terdiri dari 3 jenis yaitu pembuluh darah arteri, vena dan kapiler. Pembuluh darah arteri dan vena dibagi menjadi 3 jenis yaitu pembuluh darah dengan diameter besar, sedang dan kecil. Pembuluh darah arteri yang juga disebut sebagai pembuluh nadi terdiri atas aorta, arteri dan arterioli berdasarkan ukurannya. Sedangkan pembuluh darah vena (pembuluh balik) terdiri atas vena cava, vena dan venula berdasarkan ukurannya. Pembuluh darah arteri mengalirkan darah secara aktif sebab dinding pembuluh darahnya lebih tebal, elastis, memiliki sel otot polos dan jika pembuluh terluka maka darah akan dengan arteri. memancar. Sedangkan aliran darah pada vena berkebalikan
Salah satu mekanisme penyebab hipertensi telah dideskripsikan sebagai akibat tingginya output kerja jantung yang terjadi akibat penurunan resistensi vascular perifer dan stimulasi jantung bersamaan dengan hiperaktivitas adrenergic serta perubahan homeostasis kalsium.
Mekanisme kedua menjelaskan bahwa hipertensi terjadi akibat manifestasi penurunan cardiac output atau cardiac output normal namun resistensi vaskuler meningkat akibat peningkatan vasoreaktivitas. Mekanisme lain bisa jadi disebabkan akibat peningkatan reabsorpsi garam dan air (akibat sensitivitas garam) oleh ginjal, dimana akan mengakibatkan peningkatan volume darah yang bersirkulasi.
C. SATURASI OKSIGEN (SaO2)
1. Definisi Saturasi Oksigen adalah persentasi hemoglobin yang berikatan dengan oksigen dalam arteri, saturasi oksigen normal adalah antara 95-100 %.Dalam kedokteran, oksigen saturasi (SO2), sering disebut sebagai "SATS", untuk mengukur persentase oksigen yang diikat oleh hemoglobin di dalam aliran darah. Pada tekanan parsial oksigen yang rendah, sebagian besar hemoglobin terdeoksigenasi, maksudnya adalah proses pendistribusian darah beroksigen dari arteri ke jaringan tubuh (Hidayat, 2007). Menurut Potter & Perry, (2006) Faktor-faktor yang mempengaruhi saturasi oksigen adalah jumlah oksigen yang masuk ke paru-paru (ventilasi), kecepatan difusi, dan kapasitas hemoglobin dalam membawa oksigen.
Pada sekitar 90% (nilai bervariasi sesuai dengan konteks klinis) saturasi oksigen meningkat menurut kurva disosiasi hemoglobin
- – oksigen dan pendekatan 100% pada tekanan parsial oksigen > 10 kPa. Saturasi oksigen atau oksigen terlarut (DO) adalah ukuran relatif dari jumlah oksigen yang terlarut atau dibawa dalam media tertentu. Hal ini dapat diukur dengan probe oksigen terlarut seperti sensor oksigen atau optode dalam media cair.
2. Pengukuran Saturasi Oksigen Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik.
Penggunaan Pulse Oksimetri merupakan tehnik yang efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Tarwoto, 2006).
Adapun cara pengukuran saturasi oksigen antara lain :
a. Saturasi oksigen arteri (SaO2)
Nilai di bawah 90% menunjukan keadaan hipoksemia (yang juga dapat disebabkan oleh anemia). Hipoksemia karena SaO2 rendah ditandai dengan sianosis. Pulse Oksimetri adalah metode pemantauan non invasif secara kontinu terhadap saturasi oksigen hemoglobin (SaO2). Meski oksimetri oksigen tidak bisa menggantikan gas-gas darah arteri, oksimetri oksigen merupakan salah satu cara efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil dan mendadak. Oksimetri nadi digunakan dalam banyak lingkungan, termasuk unit perawatan kritis, unit keperawatan umum, dan pada area diagnostik dan pengobatan ketika diperlukan pemantauan saturasi oksigen selama prosedur.
b. Saturasi oksigen vena (Sv O2) Untuk melihat berapa banyak mengkonsumsi oksigen tubuh. Dalam perawatan klinis, Sv O2 dibawah 60%, menunjukkan bahwa tubuh adalah dalam kekurangan oksigen, dan iskemik penyakit terjadi. Pengukuran ini sering digunakan pengobatan dengan mesin jantung-paru (Extracorporeal Sirkulasi), dan dapat memberikan gambaran tentang berapa banyak aliran darah pasien yang diperlukan agar tetap sehat.
c. Tissue oksigen saturasi (St O2) Dapat diukur dengan spektroskopi inframerah dekat. Tissue oksigen saturasi memberikan gambaran tentang oksigenasi jaringan dalam berbagai kondisi. d. Saturasi oksigen perifer (Sp O2) Estimasi dari tingkat kejenuhan oksigen yang biasanya diukur dengan puls oksimetri. Pemantauan saturasi O2 yang sering adalah dengan menggunakan oksimetri nadi yang secara luas dinilai sebagai salah satu kemajuan terbesar dalam pemantauan klinis (Giuliano & Higgins, 2005).
Untuk pemantauan saturasi O2 yang dilakukan diperinatalogi (perawatan risiko tinggi) Rumah Sakit Islam Kendal juga dengan menggunakan oksimetri nadi. Alat ini merupakan metode langsung yang dapat dilakukan di sisi tempat tidur, bersifat sederhana dan non invasive untuk mengukur saturasi O2 arterial (Astowo, 2005 ).
3. Alat yang digunakan dan tempat pengukuran Alat yang digunakan adalah Pulse Oksimetri yang terdiri dari dua diode pengemisi cahaya (satu cahaya merah dan satu cahaya inframerah) pada satu sisi probe, kedua diode ini mentransmisikan cahaya merah dan inframerah melewati pembuluh darah, biasanya pada ujung jari atau daun telinga, menuju foto detektor pada sisi lain dari probe (Welch, 2005).
4. Menurut Brooker (2010) ketidakakuratan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah : a. Suhu tubuh
Suhu tubuh yang menibgkat akan menyebabkan metabolisme dalam tubuh juga meningkat. Peningkatan metabolisme membutuhkan jumlah kadar oksigen yang juga akan meningkat, karenanya suhu tubuh khususnya bila mengalami demam akan menurunkan saturasi oksigennya. Menggigil atau gerakan yang berlebihan pada sisi sensor dapat mengganggu pembacaan hasil yang akurat.
b. Anemia Anemia adalah nilai sel darah merah dan zat besi yang menurun.
Indikator terjadinya anemia dapat diperlihatkan dari hasil haemoglobin (Hb). Anemia berpengaruh terhadap kadar saturasi oksigen disebabkan karena jumlah Hb yang menurun akan memungkinkan kemampuan tubuh untuk mengikat oksigen juga menurun, karenanya ikatan Hb oksigen juga menurun dan hal ini akan membuat nilai saturasi oksigen menjadi menurun. Jadi klien dapat menderita anemia berat dan memiliki oksigen yang tidak adekuat untuk persediaan jaringan sementara oksimetri nadi akan tetap pada nilai normal
c. Hipoksemia Hipoksemia merupakan kondisi turunnya konsentrasi oksigen dalam darah arteri dengan nilai PaO2 kurang dari 50 mmHg. Hipoksemia dapat terjadi karena penurunan oksigen di udara, hipoventilasi karena daya regang paru menurun, hipoperfusi atau penurunan aliran darah ke alveolus, dan destruksi alveolus kapiler. Kondisi hipoksemia akan menurunkan nilai saturasi oksigen. Oksimetri tidak akan memberikan bacaan yang akurat jika area di bawah sensor mengalami gangguan sirkulasi. Selain saturasi oksigen ada pemeriksaan yang dinamakan Analisa Gas Darah (AGD) yang merupaka pemeriksaan untuk mengukur keasaman (ph), jumlah oksigen, dan karbondioksida dalam darah. Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai fungsi kerja paru-paru dalam menghantarkan oksigen ke dalam sirkulasi darah dan mengambil karbondioksida dalam darah. AGD meliputi PO2, PCO3, pH, HCO3 dan SaO2. Indikasi analisis AGD meliputi: gangguan pernafasan, pascahenti jantung paru, kondisi metabolik, perburukan tiba-tiba yang tidak dapat dijelaskan, evaluasi terhadapa intervensi, titrasi ventilasi non invasif, trauma mayor, dan sebelum pembedahan mayor.
D. Kerangka teori Gagal ginjal kronis(GGK) Pengukuran SaO2 Tindakan Kejadian komplikasi
(Pulsa Oksimeri) Hemodialisis intradialisis
1. Hipotensi Nilai Saturasi
2. Kram otot Oksigen (SaO2)
3. Pusing Normal > 95%
4. Nyeri dada Tidak Normal <
5. Demam 95%
6. Hipertensi
Gambar 2.1 Krangka Teori Sumber: (Suharyanto, 2009); (Rahardji, 2006); (Suwitra, 2006); ( Hidayat, 2007) E. Kerangka Konsep Kejadian komplikasiPasien yang menjalani intradialisis hemodialisis dengan pemasangan AV Shunt
Nilai Saturasi Oksigen dan Femoral (SaO2)
Gambar 2.2 Kerangka KonsepMenurut Arikunto (2010) hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul.
F. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah : Ha : Terdapat hubungan antara kejadian komplikasi intradialisis terhadap
Saturasi oksigen pada pasien yang menjalani hemodialisis di RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
Ho : Tidak ada hubungan antara kejadian komplikasi intradialisis terhadap Saturasi oksigen pada pasien yang menjalani hemodialisis di RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto.