STUDI KELEMBAGAAN PANGLIMA LAÔT LHÔK DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN PURSESEINE DI KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KABUPATENACEH BARAT

  STUDI KELEMBAGAAN PANGLIMA LAÔT LHÔK DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN PURSESEINE DI KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KABUPATENACEH BARAT SKRIPSI NURAINI

  07C10432031

PROGRAM STUDI PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS TEUKU UMAR

  

STUDI KELEMBAGAAN PANGLIMA LAÔT LHÔK DALAM

PENGELOLAAN PERIKANAN PURSE SEINE DI

KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN

KABUPATEN ACEH BARAT

SKRIPSI

NURAINI

  

07C10432031

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan pada

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku Umar

  

PROGRAM STUDI PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS TEUKU UMAR

  Lembaran Pengesahan

  Judul Skripsi : Studi Kelembagaan Panglima Laôt Lhôk Dalam

  Pengelolaan Perikanan Purse Seine di Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat

  Nama : Nuraini Nim : 07C10432031 Program Studi : perikanan

  Disetujui Komisi Pembimbing

  Pembimbing Pembimbing

  Ir.Said Mahjali, MM Ir. Baihaqi

NIDN :0110116502 NIDN : 0108116601

  Diketahui, Ketua Program Studi Dekan Fakultas Perikanan dan perikanan

  Ilmu Kelautan

  

Muhammad Rizal, S.Pi., M.Si Uswatun Hasanah, S.Si., M.Si

NIDN : 0111018301 NIDN : 0121057802

  

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

  Skripsi/tugas akhir dengan judul:

  

STUDI KELEMBAGAAN PANGLIMA LAÔT LHÔK DALAM PENGELOLAAN

PERIKANAN PURSE SEINE DI KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN

KABUPATEN ACEH BARAT

  Yang disusun oleh : Nama : Nuraini Nim : 07C10432031 Fakultas : Perikanan dan Ilmu Kelautan Program Studi : Perikanan Telah dipertahankan didepan dewan penguji pada tanggal 11 Oktober 2013 dan dinyatakan memenuhi syarat untuk diterima.

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

  1. Ir.Said Mahjali, MM (Dosen Penguji I) …………………

  2. Ir Baihaqi (Dosen Penguji II) …………………

  3. Safrizal, M. Sc (Dosen Penguji III) …………………

  4. Erlita, S.Pi (Dosen Penguji IV)

  ………………… Alue Penyareng, 11 Oktober 2013

  Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

KATA PENGANTAR

  Penulis sadar akan kemampuan dan keterbatasan pengetahuan Segala puji syukur ditujukan kehadiran Allah SWT, yang mana atas rahmat dan ridha-Nya, sehingga dapat menyelesaikan sebuah Skripsi ini dengan judul “Studi

  

Kelembagaan Panglima Laot Lhok dalam pengelolaan Perikanan Pukat

cincin di kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.” ini dapat

  terselesaikan, untuk memenuhi sebagai persyaratan dalam memperoleh Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku Umar Meulaboh – Aceh Barat dalam menyusun Skripsi ini

  Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir.Said Mahjali, MM., dan Ir Baihaqi selaku pembimbing yang telah membantu penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini.

  Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis mengaharapkan saran dan kritik yang membangun. Dengan senatiasa memohon ampun ke Rabb semesta alam, Allah SWT, dari segala kesalahan dan kelalaian. Semoga hasil penelitian dalam bentuk skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan di kemudian hari.

  

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Aceh Barat yang memiliki panjang garis pantai 50,55 km dengan luas

  2

  perairan lautnya 80,88 km dengan berbagai variasi ekosisistem memiliki hasil tangkapan ikan laut yang beragam. Kabupaten Aceh Barat merupakan wilayah pesisir yang kaya akan hasil perikanannya. Hal tersebut tidak terlepas dari letaknya yang menghadap langsung Samudera Hindia yang kaya akan ikan.

  Namun belum banyak diketahui secara detail jenis - jenis yang perlu diketahui secara terpadu. Salah satu penyebabnya adalah tidak tersedianya data dan informasi mengenai potensi sumberdaya perikanan wilayah Aceh Barat khususnya. Kurangnya data dan informasi menyebabkan potensi perikanan tidak dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari (Diana et al, 2010).

  Johan Pahlawan merupakan salah satu kecamatan yang terletak di

wilayah pesisir Kabupaten Aceh Barat yang memiliki sumberdaya ikan yang

dapat dimanfaatkan bagi masyarakat setempat maupun luar daerah. Kegiatan

perikanan tangkap merupakan kegiatan yang menopang perekonomian

  masyarakat di Kecamatan Johan Pahlawan.

  Purse seine merupakan salah satu alat penangkap ikan modern yang

dioperasikan oleh nelayan di Johan Pahlawan. Namun berpengaruh besar

terhadap kelestarian sumberdaya ikan di wilayah Perairan kecamatan Johan

Pahlawan. Karena nelayan berusaha menangkap ikan sebanyaknya demi

  2

  Pengelolaan kegiatan perikanan purse seine perlu dilakukan mengingat

Pengelolaan tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi

sumberdaya ikan guna meningkatkan pendapatan nelayan serta menjaga

kelestarian sumberdaya ikan.

  Panglima Laôt Lhôk merupakan lembaga pemimpin adat nelayan atau

pesisir yang memiliki kekuasaan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan

kegiatan penangkapan ikan seperti mengatur wilayah penangkapan ikan, alat

tangkap yang digunakan, waktu penangkapan ikan, menyelesaikan permasalahan

antar nelayan (konflik), dan masalah lainnya yang terkait dalam kegiatan

perikanan tangkap di daerah tersebut. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik

melakukan penelitian dengan judul Studi Kelembagaan Panglima Laôt Lhôk

dalam Pengelolaan Perikanan Purse Seine di kecamatan Johan Pahlawan

Kabupaten Aceh Barat.

1.2 Perumusan Masalah

  Permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian adalah:

  

1. Bagaimana Sistem Kelembagaan Panglima Laôt Lhôk dalam mengelola

kegiatan perikanan purse seine?

2. Bagaimana Persepsi Nelayan Purse Seine Terhadap Keberadaan Panglima

  Laôt Lhôk ?

1.3 Tujuan Penelitian

  Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

  3

2. Mengetahui persepsi nelayan terhadap keberadaan Panglima Laôt Lhôk.

1.4 Manfaat Penelitian

  

1. Bagi masyarakat Aceh, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi

mengenai kelembagaan Panglima Laôt Lhôk dan meningkatkan kesadaran mengenai keberadaan lembaga tersebut di Aceh.

  

2. Bagi Panglima Laôt Lhôk, hasil penelitian ini dapat digunakan dalam

mengoptimalkan pengaturan kegiatan yang terkait dengan perikanan purse seine di daerah setempat.

  

3. Bagi nelayan, hasil penelitian ini semoga dapat memberikan infomasi

mengenai kegiatan usaha perikanan purse seine dilihat dari aspek teknis, pasar dan finansial dan memberikan informasi tentang sistem aturan yang diberlakukan oleh Panglima Laôt Lhôk bagi nelayan purse seine di daerah setempat.

  

4. Bagi Pemerintah Daerah, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh

Utara dan pihak-pihak yang terkait, hasil penelitian ini sebagai masukan untuk meningkatkan pemberdayaan Panglima Laôt di tingkat kabupaten dan lhôk .

  

II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Studi

  Studi adalah gambaran kegiatan yang direncanakan sesuai dengan kondisi, potensi, serta peluang yang tersedia dari berbagai aspek dan studi merupakan pengkajian yang bersifat menyeluruh dan mencoba menyoroti segala aspek atau investasi (Fahmi dkk, 2009).

  Menurut Supriyono (1989), Studi adalah suatu kegiatan yang mempelajari secara mendalam suatu kegiatan yang akan dijalankan. Studi bertujuan untuk menentukanalokasiuntuk mendapatkan hasil yang maksimal.

  2.2. Pengertian Kelembagaan

  Kelembagaan adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang menfasilitasi atau koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan di mana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Definisi Umum lembaga mencakup konsep pola perilaku sosial yang sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal ini sangat penting diperhatikan bahwa perilaku sosial tidak membatasi lembaga pada peraturan yang mengatur perilaku tersebut atau mewajibkan orang atau organisasi untuk harus berpikir positif ke arah norma-norma yang menjelaskan perilaku mereka tetapi juga pemahaman akan lembaga ini memusatkan perhatian pada pengertian mengapa orang berprilaku atau bertindak sesuaidengan atau

  5

2.2.1 Studi Kelembagaan

  Menurut Huntington (1965) diacu dalam Widodo (2008), lembaga merupakan pola perilaku yang selalu berulang bersifat kokoh dan dihargai oleh masyarakat. Selanjutnya Uphoff (1986) diacu dalam Widodo (2008) berpendapat bahwa lembaga merupakan sekumpulan norma dan perilaku telah berlangsung dalam waktu yang lama dan digunakan untuk mencapai tujuan bersama.

  Syahyuti (2003) diacu dalam Widodo (2008 ) mengemukakan beberapa pandangan mengenai definisi ‘lembaga’ sebagai organisasi dan lembaga sebagai institusi serta definisi ‘kelembagaan’ (institusi) yang dikemukakan oleh para ahli. Syahyuti sendiri menyatakan bahwa terdapat 4 (empat) cara untuk membedakannya, yaitu:

  1. Kelembagaan cenderung tradisional, sedangkan organisasi cenderung modern.

  2. Kelembagaan berasal dari masyarakat itu sendiri, sedangkan organisasi datang dari atas.

  3. Kelembagaan dan organisasi berada dalam satu kontinuum dimana organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga.

  4. Organisasi merupakan bagian dari kelembagaan.

  Diniah (2008) diacu dalam Nanda (2011) mengemukakan bahwa ada banyak lembaga yang mendukung kegiatan perikanan tangkap. Lembaga tersebut dapat dikelompokkan menjadi kelembagaan yang formal dan non formal. Menurut Sugiyanto (2002) diacu dalam Nanda (2011), ciri lembaga sosial bersifat formal

  6 kebutuhan dan masa kepengurusannya jelas, struktur bersifat formal dan mudah dipengaruh oleh pihak luar. Ciri lembaga yang bersifat non formal adalah terbentuk atas kehendak masyarakat yang bersangkutan, manajemennya lemah, dinamika aktivitas tidak teratur, terbentuk atas norma dan nilai yang dikembangkan atas dasar trust, pengurus dipilih lembaga bersifat monoton, dan menolak campur tangan pihak luar.

  2.2.2 kelembagaan Panglima Laot Lhok

  Menurut Rahmad (2011) mengatakan bahwa panglima laot adalah orang yang atau orang yang terpilih dari seorang pawang laut yang berpengalaman dan mengetahui seluk beluk hak adat laut yang berlaku diwilayah setempat.

  Sedangkan menurut Qanun nomor 10 tahun 2008 panglima laot adalah salah satu lembaga adat yang terdiri dari organisasi suatu masyarakat adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu yang mempunyai wilayah tertentu serta mempunyai wewenang dan berhak mengatur serta menyelesaikan hai-hal yang berkaitan dengan adat laot dan pesisir. Menurut kamus bahasa aceh panglima laot adalah pemimpin yang tertinggi yang dikenal dengan seorang kepala yang berwenang di bagian hukum laot.

  Panglima Laôt Lhôk memiliki sistem kelembagaan dalam menjalankan

  fungsi dan tugasnya. Hal ini diperlukan untuk menjaga ketertiban masyarakat nelayan dalam hal mengatur tata cara penangkapan ikan, pemeliharaan sumberdaya ikan serta menjaga ketentraman hidup masyarakat nelayan di wilayah tersebut (Adli at al. 2006).

  7 Kelembagaan Panglima Laôt Lhôk mempunyai peraturan secara khusus dalam mengatur kegiatan perikanan purse seine di wilayah tersebut. Peraturan tersebut berupa batas wilayah penangkapan, yaitu:

  1. Pukat layang, wilayah penangkapannya sejauh 5 mil dari tepi pantai;

  2. Pukat teri, wilayah penangkapannya sejauh 1,62 mil sampai dengan 5 mil dari tepi pantai; dan

  3. Pukat udang, wilayah penangkapannya sejauh 0,16 mil sampai dengan 1 mil dari tepi pantai.

  Wilayah penangkapan pukat layang merupakan wilayah kewenangan pemrintah provinsi, sehingga jika terjadi pelanggaran pelangaran oleh nelayan pukat layang maka pemerintah provinsi yang bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Hal ini sesuai dengan Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Nomor 16 Tahun 2002.

  Lembaga adat Panglima Laôt adalah sebuah lembaga yang mendukung kegiatan perikanan tangkap di wilayah NAD. Panglima Laôt sebagai sebuah kelembagaan memiliki struktur kelembagaan untuk menjalankan fungsi dan tugasnya. Struktur kelembagaan Panglima Laôt di wilayah NAD diketahui terdiri atas 3 tingkatan, yaitu:

  1. Panglima Laôt Provinsi;

  2. Panglima Laôt Kabupaten/Kota dan 3..Panglima Laôt Lhôk.

  Struktur kelembagaan yang dimiliki oleh ketiga tingkatan lembaga

  8 Struktur kelembagaan Panglima Laot Provinsi terlihat lebih kompleks dibandingkan struktur kelembagaan Panglima Laôt Kabupaten/Kota dan

  

Panglima Laôt Lhôk . Panglima Laôt Provinsi merupakan tingkatan Panglima

Laôt yang tertinggi yang menaungi Panglima Laôt Kabupaten/Kota dan Panglima

Laôt Lhôk dalam mengkoordinasi pelaksanaan hukum adat laut antar kabupaten

atau kota dan antar lhok.

  Berdasarkan kedudukannya Panglima Laôt Provinsi menempati tingkatan tertinggi, maka Panglima Laôt Kabupaten/Kota harus tunduk kepada Panglima

  

Laôt Provinsi, begitu pula Panglima Laôt Lhôk harus tunduk kepada Panglima

Laôt Kabupaten/Kota. Struktur kelembagaan Panglima Laôt Provinsi,

  Tabel.1. Struktur kelembagaan Panglima Laôt Provinsi, Panglima Laôt Kecamatan / Kota dan Panglima Laôt Lhôk.

  

Panglima Laôt Provinsi Panglima Laôt Kabupaten /Kota Panglima Laôt Lhôk

  a. 9 orang anggota

  a. 3 orang penasehat;

  a. 3 orang penasehat dewan pertimbangan; b. 1 ketua (Panglima Laôt

  b. 1 ketua (Panglima Bb. 2 orang penasehat; Kabupaten/Kota) Laôt Lhôk ) c.1 ketua umum

  c. 1 wakil ketua

  c. 1 wakil ketua (PanglimaLaôt Aceh); d. 3 sekretaris

  d. 3 sekretaris

  d. 5 ketua;

  e. 1 bendahara

  e. 1 bendahara

  e. 1 sekretaris umum;

  f. 3 sekretaris;

  g. 1 bendahara; h. 1 wakil bendahara.

  Sumber: Adli et al. (2006)

  9 Ketiga tingkatan lembaga Panglima Laôt seperti yang telah disebutkan di atas memiliki tugas dan fungsi yang tercantum di dalam Qanun Aceh Nomor 10

  Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Adapun fungsi yang dimiliki oleh tiap

  Panglima Laôt (Pasal 28 ayat (5), yaitu:

  1. Sebagai ketua adat bagi masyarakat nelayan;

  2. Sebagai penghubung antara pemerintah dan masyarakat nelayan; dan

  3. Mitra Pemerintah dalam menyukseskan program pembangunan perikanan dan kelautan.

2.3 Pengelolaan Perikanan Tangkap

  Berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor

  31Tahun 2004 Tentang Perikanan, menjelaskan definisi perikanan yaitu semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan, dan pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan,pemerataan, keterpaduan,

  10 Pengelolaan perikanan di wilayah perairan Indonesia tidak terlepas dari peraturan-peraturan yang berlaku baik berbentuk undang-undang maupun peraturan pemerintah dan keputusan menteri dan juga peraturan-peraturan yang bersifat internasional.

  Menurut UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan Pasal 1 menyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, lokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pada

  Pasal 2 dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan.

  Qanun Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, pada Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa wewenang Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam pengelolaan wilayah laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah atas wilayah laut dalam jarak 4 (empat) mil laut sampai 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal ke arah laut lepas. Lebih lanjut pada Pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan wilayah laut sebagaimana disebutkan dalam

  Pasal 2 adalah atas wilayah laut dalam jarak 0 (nol) sampai 4 (empat) mil laut

  11 Qanun Nomor 16 Tahun 2002 adalah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pasal

  18 ayat (4) menyebutkan, bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.

  Artinya, wilayah pengelolaan pemerintah kabupaten/kota di wilayah laut adalah 0-4 mil laut, dan pemerintah provinsi 4-12 mil laut. Pengaturan batas wilayah pengelolaan di atas bersifat vertikal, sehingga tidak menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan perikanan yang dilakukan Panglima Laôt Lhôk.

  Hal ini dikarenakan, permasalahan yang kerap muncul adalah kegiatan penangkapan ikan yang melintas batas wilayah pengelolaan Panglima Laôt Lhôk secara horizontal, atau memasuki wilayah Panglima Laôt Lhôk lainnya. Pemberlakuan batas wilayah pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan baik yang ditetapkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Qanun Nomor 16 Tahun 2002 tidak menimbulkan permasalahan.

2.4 Deskriptif Perikanan Tangkap

  Perikanan tangkap menjadi bagian penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Usaha peningkatan produksi ikan semakin digalakkan dalam rangka memenuhi kebutuhan proteindari penduduk yang semakin bertambah, disamping kebutuhan devisa yang mendesak. Potensi masih memungkinkan untuk tujuan itu karena sumberdaya yang tergarap masih dibawah taksiran potensinya

  12 Perikanan tangkap Indonesia tahun 2003 telah mencapai 406.200 ton atau sekitar 86,05% dari Jumlah Tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar

  5,12 juta ton per tahun.Seiring dengan upaya untuk mencapai tingkat produksi sesuai dengan JTB, maka diproyeksikan masih terdapat surplus sumberdaya ikan laut sebesar 713.800 ton per tahun (Suharso, 2006).

  Mengingat potensi sumberdaya ikan laut yang masih potensial terutama berada di jalur penangkapan II, III dan ZEEI, maka diperlukan armada penangkapan ikan yang relativ besar dengan menerapkan teknologi penangkapan ikan yang efektif dan efisien yang berwawasan lingkungan. Namun demikian diharapkaninvestasiuntuk usaha penangkapan ikan tersebut juga harus terjangkau oleh kemampuan keuangan nelayan.Dalam hal ini untuk armada penangkapan ikan skala kecil setidaknya berukuran lebih dari 5 GT, sedangkan untuk armada penangkapan ikan skala industri berukuran lebih dari 50 GT (Suharso, 2006).

  Sedangkan kebutuhan tenaga kerja (nelayan) dihitung berdasarkan peluang pengembangan armada penangkapan ikan dalam pemanfaatan potensi sumberdaya ikan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Peluang kerja pada usaha penangkapan ikan tersebut akan semakin besar apabila kita hitung juga peluang pada usaha pendukung, baik hulu maupun usaha hilir.

  Untuk memanfaatkan peluang kerja pada usaha penangkapan ikan tersebut, maka ada dua hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah, yaitu melakukan reorientasi pendidikan perikanan dan mengembangkan pendidikan perikanan terapan (Suharso, 2006).

  13

2.4.1 Alat Tangkap Purse Seine

  Pukat cincin adalah suatu alat penangkap ikan yang digolongkan dalam kelompok jaring lingkar yang dilengkapi tali kerut dan cincin untuk menguncupkan jaring bagian bawah pada saat dioperasikan. Peranan jaring terhadap ikan tangkapan adalah sebagai pengurung ikan agar tidak lari dari sergapan jaring ketika dilingkarkan. Adapun sasarannya adalah ikan pelagis kecil seperti kembung, selar, banyar, layang dan tembang (Suharso, 2006).

  Menurut ISSCFG ( International Standart Statistical Classification On

  

Fishing Gear ), pukat cincin digolongkan kepada alat penangkap jaring lingkar

  pada kelompok jaring lingkar dengan tali kerut ( purse seine), merupakan salah satu alternatif alat penangkap ikan pelagis yang hidup bergerombol dalam bentuk renang (seperti ikan cakalang, tongkol, layang, kembung) dengancara melingkari kelompok renang ikan hingga terkurung oleh lingkarandinding jaring. Agar ikan yang telah terkurung tersebut tidak dapat lolosdari perangkap jaring, maka talii ris bawah (yang dilengkapi dengan 26 jumlah cincin) dikuncupkan oleh tali kerut (purse line) sehingga pukat cincin membentuk seperti tangguk.

  Alat tangkap purse seine dibuat dengan dinding yang panjang, panjang jaring bagian bawah sama atau lebih panjang dari gian atas. Bentuk konstruksi jaring seperti ini, tidak ada kantong yang bentuk permanen pada jaring purse

  

seine . Karakteristik jaring purse seine letak pada cincin yang terdapat pada

bagian bawah jaring (Putra, 2012).

  Menurut Baskoro (2002) dalam Putra (2012) alat tangkap purse seine

  14 bagian bawah jaring erutkan hingga tertutup dengan menarik tali kerut yang dipasang sepanjanggian bawah melalui cincin. Alat penangkapan ini ditujukan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan (pelagis fish).

  Tujuan penangkapan purse seine adalah schooling ikan, yang artinya bahwa yang akan ditangkap tersebut biasanya hidup bergerombol (schooling), ada dekat permukaan air (sea surface) dan diharapkan dalam suatu densitas

  

hoolling yang besar. Jika ikan belum terkumpul dalam suatu area penangkapan

(tchable area), atau berada diluar kemampuan perangkap jaring (Putra, 2012).

2.4.2 Kapal Purse Seine

  Kapal Purse seine juga disebut sebagai Kapal jaring kantong karena jaring tersebut waktu perasikan menyerupai kantong. Selain itu, purse seine juga disebut ring kolor, karena pada bagian bawah jaring dilengkapi dengan tali kolor yang berguna untuk nyatukan bagian bawah jaring sewaktu dioperasikan dengan cara menarik tali tersebut (Suharso, 2006)

  Kapal Purse seine adalah suatu kapal penangkap ikan yang digolongkan dalam kelompok jaring lingkar (surrounding net) yang dilengkapi tali kerut dan cincin untuk menguncupkan jaring bagian bawah pada saat dioperasikan. Peranan jaring terhadap ikan hasil tangkapan adalah sebagai pengurung ikan agar tidak lari dari sergapan jaring ketika dilingkarkan. Alat tangkap purse seine (Pukat cincin) merupakan alat tangkap yang tergolong berukuran besar, sehingga membutuhkan ABK dan nelayan dengan jumlah yang banyak. Persiapan purse seine dengan kelengkapannya (desain, konstruksi dan alat bantu penangkapan ikan),

  15 kegagalan dalam setiap operasi penangkapan ikan dengan menggunakan purse

  

seine ; mengingat pengoperasian purse seine harus aktif mencari, mengejar, dan

  mengurung ikan pelagis yang bergerombol danbergerak cepat dalam jumlah besar; atau melalui alat pengumpul ikan(rumpon atau lampu) (Febrida et al, 2012) Kapal pukat cincin ketika beroperasi akan melingkarkan jarring pukat cincin untuk mengelilingi kawanan ikan. Kapal seperti ini pada umumnya memerlukan bentuk lambung yang dirancang khusus agar memiliki kemampuan untuk bergerak dan berputar (Putra, 2012)

  Kapal pukat cincin memerlukan turning ability (kemampuan berputar) yang besar, sehingga kapal tidak boleh terlalu panjang. Pada saat pengangkatan jaring dan ikan ABK berada disalah satu sisi kapal untuk mencegah kapal terbalik, maka diharuskan kapal tidak terlalu lebar dan tidak telalu tinggi (kedalaman Kapal) sehingga titik berat kapal tidak terlalu naik (Putra, 2012).

  Menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, kapal perikanan adalah kapal, perahu atau alat tampung yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan dan penelitian/eksplorasi perikanan.

2.4.3 Pengoperasian Purse seine

  Ayodhyoa (1981) mengemukakan bahwa prinsip penangkapan yang digunakan purse seine adalah melingkari gerombolan ikan dengan jaring,

  16 penangkapan ini adalah memperkecil ruang gerak ikan, kemungkinan ikan dapat meloloskan diri melalui pertemuan dua celah penarikan, sehingga dibutuhkan kecepatan dan ketepatan dalam melingkari dan menarik tali kerut

  Menurut Sainsbury (1986), tahapan dalam kegiatan penangkapan ikan menggunakan alat tangkap purse seine terbagi ke dalam dua tahap, yaitu: 1) Tahap penebaran jaring (setting) Ketika gerombolan ikan telah diketahui, kapal bergerak memutari gerombolan tersebut. Pada saat penurunan purse

  seine , posisi kapal terhadap arus dan angin perlu diperhatikan agar kapal dapat menebar jaring dengan baik dan gerombolan ikan terkurung sempurna.

  Penebaran jaring dimulai dari bagian kantong ditautkan pada kapal kecil untuk perlengkapan penebaran jaring (seine skiff) yang diluncurkan ke air.

  Pada waktu menarik jaring, skiff. ini membantu menarik jaring, atau dapat juga menautkan ujung kantong dengan pelampung besar (bouy) yang dilemparkan ke laut. Kapal kemudian bergerak mengelilingi gerombolan ikan sambil menurunkan jaring. Biasanya penurunan jaring dilakukan di bagian kanan kapal, akan tetapi dapat juga dilakukan di sisi kiri kapal. Bila seluruh jaring telah ditebarkan, maka sebelum kapal penuh mengitari gerombolan ikan, bagian sayap jaring ditarik dengan tali penarik yang ditautkan pada kapal agar jaring terentang sempurna.

  2) Tahap penarikan jaring (hauling ) Apabila kedua ujung jaring telah bertemu, maka kedua ujung jaring tersebut dinaikkan ke atas kapal dan penarikan tali kolor dengan bantuan power block dimulai hingga semua cincin naik ke atas

  17 dipindahkan ke dalam palkah dengan bantuan alat scoop net ataupun fish

  pump (Rasdani et al. 2006)

2.4.4 Hasil Tangkapan

  Ayodhyoa (1981) mengemukakan bahwa ikan yang menjadi tujuan penangkapan dari purse seine adalah ikan pelagis (schooling) spesies, yaitu ikan yang berada dalam suatu kawanan, berada dekat dengan permukaan air dan sangat diharapkan agar densitas gerombolannya tinggi, berarti jarak antar ikan yang satu dengan lainnya haruslah sedekat mungkin. Menurut Subani dan Barus (1989), hasil tangkapan purse seine adalah herring (Clupea sp.), layang (Decapterus sp.), kembung (Rastrellinger sp.), tongkol (Auxis sp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomerus commersoni), dan sardine (Sardinella sp.).

2.5 Nelayan Pukat Cincin

  Menurut Putra (2012) nelayan pada satu kapal pukat cincin terbagi dalam bidang kapten kapal (Fishing master) wakil kapten, juru mudi, kepala kamar mesin (KKM). Juru masak (Koki) dan anak buah kapal (ABK/deck hand).

  Nelayan adalah orang yang melakukan kegiatan atau aktifitas diatas kapal dan yang mengoperasikan kapal, disamping itu nelayan harus mengetahui keadaan atau kondisi kapal, jumlah nelayan dalam satu kapal pukat cincin tidaklah sama tergantung besar kecilnya kapal dan alat tangkap yang di opersikannya (putra, 2012).

  Menurut UU No.45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang

  18 sehari - hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT).

  Sedangkan dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juga disebutkan bahwa pengertian nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Sehingga nelayan ini adalah mereka yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di laut apakah dia sebagai yang pemilik langsung alat - alat produksi maupun sebaliknya.

  1. Nelayan pemilik yaitu nelayan yang memilki kapal perahu atau kapal penangkap ikan dan dia sendiri ikut serta atau tidak ikut ke laut untuk memperoleh hasil laut.

  2. Nelayan juragan yaitu nelayan yang membawa kapal orang lain tetapi ia tidak memiliki kapal.

  3. Nelayan buruh yaitu nelayan yang hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja tanpa memiliki perahu penangkap ikan. Berdasarkan perahu/kapal penangkap ikan, nelayan pemilik nelayan bermotor. Nelayan tradisional memakai perahu tanpa mesin/motor. Bila perahu mempunyai mesin yang ditempel di luar perahu disebut perahu motor tempel, bila perahu/kapal mempunyai mesin di dalam kapal maka disebut kapal motor. Berdasarkan besarnya mesin yang digunakan, diukur dengan GT (Gross Ton), kapal motor dibagi menjadi:

  • kapal kecil, yaitu < 5 GT – 10 GT
  • kapal sedang, yaitu 10 GT – 30 GT

  19 Subani dan Barus (1989) mengemukakan bahwa jumlah nelayan tiap kapal

  

purse seine tidaklah sama, bergantung pada skala usahanya. Jika skala kecil

  jumlah ABK sekitar 15-20 orang, sedangkan skala besar jumlah ABK bisa mencapai 40 atau lebih.

III. METODELOGI PENELITIAN

  3.1 Tempat dan Waktu

  Penelitian ini dilaksanakan di kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat pada bulan Maret s/d April 2013

  3.2 Alat dan Bahan

  Alat yang digunakan adalah kamera sedangkan bahan yang digunakan adalah kuesioner untuk nelayan, Pawang boat, Panglima Laot lhok dan Pedagang ikan di kecamatan Johan Pahlawan

  3.3 Metode Penelitian

  Metode Penelitian yang digunakan adalah metode Survei dan lapangan mengenai kelembagaan panglima laot lhok dalam mengelolaan perikanan pukat cincin di kecamatan Johan Pahlawan . Sedangkan observasi sebagai metode pengumpul data mempunyai ciri yang spesifik bila di bandingkan dengan teknik lain, yaitu wawancara atau kuesioner. Kalau wawancara dan kuesioner selalu berkomunikasi dengan orang, maka observasi tidak terbatas pada orang, tetapi juga objek-objek yang lain (Sugiyono, 2011).

  Rahardjo & Gudnanto (2011) menyatakan bahwa observasi adalah kegiatan pengamatan (secara inderawi) yang direncanakan, sistematis dan hasilnya di catat serta dimaknai (diinterpretasikan) dalam rangka memperoleh

  21

3.4 Teknik Penetapan Sampel

  Penetapan sampel dalam penelitian ini adalah secara sengaja (Porposive

  

Sampling ) sampel yang dipilih mampu berkonikasi pada saat wawancara. Untuk

  lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel. 1. Jumlah responden sebagai sampel.

  No Responden Jumlah responden

  1 Panglima Laot Kabupaten

  1 Orang

  2 Panglima Laot Kecamatan

  1 Orang

  3 Panglima Laot Lhok

  3 Orang

  4 Nelayan ABK dan Pawang Boat

  6 Orang

  5 Kadis DKP/Kabid Penangkapan

  1 Orang

  6 Nelayan

  4 Orang Jumlah

  16 Orang

3.5 Metode Pengumpulan Data

  Metode pengambilan data yang digunakan adalah dengan metode wawancara dengan mengunakan kuisioner. Pengambilan sampel sacara Purposive

  

Sampling , dimana responden dipilih dengan sengaja berdasarkan pertimbangan

  bahwa responden mampu berkomunikasi dengan baik pada saat wawancara, dan menguasai tentang masalah yang sedang diteliti.

  Data yang dikumpulkan pada penelitian kelembagaan panglima laot lhok dalam mengelolaan perikanan pukat cincin di kecamatan Johan Pahlawan mencakup Data Primer dan Data Sekunder. Data primer diperoleh dari responden

  22 penelitian sedangkan Data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait seperti terlihat pada tabel 3 :

  Tabel 2. Data Primer dan Data Sekunder

  No Data Informasi

  1 Data Primer Dasar hukum kelembagaan Panglima Laôt; Aturan atau ketentuan Panglima Laôt dalam mengelola perikanan purse seine; Sejarah lahirnya kelembagaan Panglima Laôt; Susunan kelembagaan Panglima Laôt

  2 Data Sekunder Dinas Kelautan Perikanan, Badan Pusat Statistik, laporan-laporan peneliti terdahulu.

3.6 Metode Analisa Data

  Metode analisa data yang digunakan adalah metode deskriptif. Menurut Whitney ( 1960 ) dalam Nazir (1983), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Kemudian data tersebut diolah dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan diagram.

3.6.1 Studi Kelembagaan

  Berdasarkan Sugiyanto (2002), ada dua metode pendekatan yang dapat dimanfaatkan untuk mempelajari atau mengkaji dalam menelusuri keberadaan lembaga-lembaga sosial yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Kedua pendekatan tersebut adalah:

  1. Pendekatan Historis Mengkaji keberadaan lembaga ditelusuri melalui sejarah lahirnya lembaga

  23

  2. Pendekatan Hubungan Pendekatan ini lebih menekankan pada hubungan fungsional artinya lembaga adat Panglima Laôt tidak mungkin hidup sendiri tanpa ada hubungan/kaitmengkait dengan lembaga lainnya.

3.6.2 Studi Persepsi Nelayan

  Metode digunakan untuk mengstudi persepsi nelayan adalah dengan menggunakan tabulasi data. Menurut Arikunto (2006 ), kegiatan yang termasuk ke dalam kegiatan tabulasi data ini antara lain: 1. Memberikan skor (scoring) terhadap item-item yang perlu diberi skor.

  2. Memberikan kode terhadap item-item yang tidak diberi skor.

  3. Mengubah jenis data, disesuaikan atau dimodifikasikan dengan teknik analisis yang akan digunakan.

  4. Memberikan kode (coding) dalam hubungan pengolahan data jika akan menggunakan komputer.

  Variabel persepsi Nelayan yang digunakan yaitu: 1. Pengetahuan nelayan tentang Lembaga adat Panglima Laôt Lhôk ; 2. Kepatuhan nelayan terhadap aturan hukum adat laut, dan 3. Kepuasan nelayan terhadap kinerja Panglima Laôt Lhôk . Skor untuk variabel persepsi pertama berkisar antara 20 sampai 4. Sementara skor untuk variabel persepsi kedua berkisar antara 10 sampai 2, sedangkan skor untuk kepuasan nelayan terhadap kinerja Panglima Laôt berkisar antara 15 sampai 3. Rincian variabel dan kriteria skor yang akan diuji untuk memperoleh persepsi dari tiap-tiap responden dapat dilihat pada Tabel 4.

1. Pengetahuan Nelayan tentang Lembaga

  Panglima laot Lhok 20-4

  a. Struktur Kelembagaan Panglima Laôt Lhôk

  24

  Tabel. 3. Variabel Tingkat Persepsi Nelayan terhadap keberadaan Panglima Laôt Lhôk. No Variabel Persepsi Skor

  • Sangat Mengetahui (SM)
  • Cukup Mengetahui (CM)
  • Mengetahui (M)
  • Kurang Mengetahui (KM)

  10-2

  • Sangat Tinggi (ST)
  • Cukup Tinggi (CT)

  4 3. Kepuasan nelayan terhadap kinerja Panglima Laôt Lhôk

  9. Hasil pengurangan yang diproleh dibagi dengan jumlah klasifikasi tingkat persepsinya. Adapun perhitungannya adalah:

  Tingkat persepsi dibagi menjadi tiga klasifikasi tingkatan, yaitu: tinggi, sedang dan rendah. Masing-masing klasifikasi ditentukan dengan cara mengurangkan jumlah total skor tertinggi dengan jumlah total skor terendah dari ketiga variabel persepsi yang telah ditentukan. Adapun total skor tertinggi dari ketiga variabel sebesar 45, sedangkan total skor terendah ketiga variabel sebesar

  3 Sumber : Robbins (1996) diacu dalam Nanda (2011)

  4

  5

  c. Menjaga perikanan berkelanjutan

  b. Kepemimpinan yang amanah

  15-3 a. Menjalankan tugas dan fungsi

  5

  b. Mekanisme pemilihan Panglima Laôt Lhôk

  b. Keikutsertaan menegakkan hukum adat laut

  a. Mematuhi aturan hukum adat laut

  2 2. Kepatuhan nelayan terhadap aturan hukum adat laut

  3

  4

  5

  d. Aturan hukum adat laut

  c. Tugas dan fungsi Panglima Laôt Lhôk

  • Sangat Setuju (SS)
  • Cukup Setuju (CS)
  • Setuju (S)

  25 Berdasarkan hasil di atas sehingga diturunkan berdasarkan klasifikasi

  Tingkat Persepsi Nelayan sebagai berikut (Robbin 1996) diacu dalam nanda (2011).

  = Tingkat Persepsi Tinggi

1. Skor 37 – 47

  2. Skor 22 - 35 = Tingkat Persepsi Sedang

  3. Skor 9 - 21 = Tingkat Persepsi Rendah Keterangan :

  a. 5 : Sangat Mengetahui

  b. 4 : Cukup mengetahui

  c. 3 : Mengetahui

  d. 2 : Kurang Mengetahui

  26

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Letak Geografis Derah penelitian

  Kabupaten Aceh Barat terletak di bagian ujung pulau sumatera di pesisir barat

  o o

  Provinsi Aceh dengan letak geografis 04 06’ 36” Lintang Utara dan 95 52’ 43”

  o

  96 16 45” Bujur Timur. Dengan luas wilayah kabupaten Aceh Barat mencapai

  2

  2.927.95 Km atau seluas 292.795 Ha, sedangkan panjang garis pantai

  2 diperhitungkan 50,55 Km luas laut 233 Km .

  Daerah Lokasi Penelitian berada di Desa Ujung Baroh di kecamatan Johan Pahlawan, dengan Luas Wilayah Kecamatan Johan Pahlawan adalah 44,91 km2 atau 1,53 % dari luas kabupaten Aceh Barat. Desa ujung Baroh sebelah Utara berbatasan dengan Rundeng, sebelah Timur berbatasan dengan Panggong, sebelah selatan berbatasan dengan Padang Serahet, dan sebelah barat berbatasan dengan Ujung kalak.

  Secara geografis Kabupaten Aceh Barat berbatasan, disebelah utara dengan kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Pidie, sebelah timur dengan kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Nagan Raya, sebelah barat dengan Samudera Indonesia dan Kabupaten Nagan Raya.

  Kabupaten ini memiliki empat Kecamatan yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia dan merupakan Kecamatan pesisir yaitu kecamatan Johan Pahlawan, Meureubo, Samatiga dan kecamatan arongan lambalek. Dan kecamatan daratan ada 8 (delapan) meliputi yaitu kaway XVI, Sungai Mas, Pantee

  27

4.2 Nelayan

  Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal dipinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Keadaan jumlah Nelayan Menurut Kecamatan Johan Pahlawan dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini.

  Tabel 4 Jumlah Nelayan Kecamatan Johan Pahlawan Periode Tahun 2008- 2011

  Johan Pahlawan Persentase No Tahun (Jumlah orang) (%) 1 2008 1811 26.92%

  2 2009 1596 23.73% 3 2010 1621 24.11% 4 2011 1698 25.24% Jumlah 6726 100%

  Sumber : DKP Kabupaten Aceh Barat Tahun 2012 (diolah)

  Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Nelayan di kecamatan Johan Pahlawan pada tahun 2008 para nelayan berjumlah 1811 jiwa, dan pada tahun 2009 nelayan berjumlah 1596 jiwa, di ikuti pada tahun 2010 para nelayan berjumlah 1621 jiwa, dan pada tahun 2011 jumlah para nelayan berkisar 1698 jiwa. Dengan tingkat persentasenya seperti dijelaskan pada grafik dibawah ini.

  Jumlah Nelayan 2500 1811 2000

  1698 1500 1621 1000

  1596 500

  28 Berdasarkan gambar 1 diatas jumlah nelayan di kecamatan Johan Pahlawan pada tahun periode 2008-2011 diperoleh persentase yang berbeda pada tiap tahunnya, pada tahun 2008 jumlah nelayan tingkat pertumbuhannya yaitu 1811 orang (26.92%), lalu pada tahun 2009 jumlah nelayan mengalami penurunan menjadi sebanyak 1596 orang (23.73%), Dari jumlah nelayan ini dapat dilihat bahwa kebanyakan dari jumlah nelayan tersebut beralih ke pekerjaan sampingan lainnya, dan pada tahun 2010 jumlah nelayan meningkat menjadi 1621orang (24.11%), lalu pada tahun 2011 jumlah nelayan lebih meningkat menjadi 1698 orang (25.24%), nelayan yang tadinya jarang pergi melaut sekarang sudah kembali menjadi nelayan tetap ini disebabkan banyaknya bantuan dari NGO untuk nelayan mencapai 50% berupa kapal dan alat tangkap.

4.3 Kapal Penangkapan Ikan

  Menurut UU No 45 Tahun 2009 kapal merupakan perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan dan mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, penelitian perikanan, sehingga proses produksi ikan dapat berjalan secara efesien.