Perbedaan Kadar Ureum dan Kreatinin pada Pasien Gagal Ginjal Kronis dengan Diabetes dan Non-Diabetes - DIGILIB UNISAYOGYA
LAPORAN PENELITIAN
DOSEN PEMULA KOPERTIS
PERBEDAAN KADAR UREUM DAN KREATININ PADA PASIEN
GAGAL GINJAL KRONIS DENGAN DIABETES DAN NON-DIABETES
PENGUSUL
Ns. Diyah Candra Anita K., MSc. (NIP. 06.06.069)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN STIKES ‘AISYIYAH YOGYAKARTA Desember 2014 Bidang Ilmu: Keperawatan
DAFTAR ISI
4.6 Analisis Hasil .......................................................................................12
7.2 Saran .. ................................................................................................38 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................39 LAMPIRAN
7.1 Simpulan ..............................................................................................38
BAB 6. RENCANA TAHAP BERIKUTNYA ...................................................38 BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................38
5.2 Pembahasan .........................................................................................21
5.1 Hasil Penelitian ....................................................................................13
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................13
4.7 Etika Penelitian ....................................................................................12
4.5 Alat Penelitian .....................................................................................12
HALAMAN SAMPUL .......................................................................................i HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................ii DAFTAR ISI ...... ................................................................................................1 RINGKASAN .... ................................................................................................2
4.4 Populasi dan Sampel ............................................................................11
4.3 Definisi Operasional Penelitian ...........................................................11
4.2 Variabel Penelitian...............................................................................11
4.1 Rancangan Penelitian...........................................................................11
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN .........................................10 BAB 4. METODE PENELITIAN.......................................................................11
2.2 Kerangka Konsep.................................................................................9
2.1 Tinjauan Teori .....................................................................................10
BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................3 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................5
Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian Lampiran 2. Tabulasi Data Lampiran 3. Analisis Statistik
RINGKASAN
Penyakit Gagal Ginjal Kronis menjadi masalah besar di dunia karena sulit disembuhkan, serta membutuhkan biaya perawatan yang lama dan mahal. Penyakit Gagal Ginjal Kronis disebabkan oleh penyakit diabetes dan non- diabetes. Hemodialisa merupakan salah satu terapi untuk mengatasi fungsi ginjal yang rusak.Terapi hemodialisa dilakukan untuk membuang sampah-sampah metabolit, seperti ureum dan kreatinin, yang tidak mampu dibuang oleh ginjal. Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan ureum dan kreatinin pasien Gagal Ginjal Kronis dengan diabetes dan non-diabetes di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.. Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif komparatif. Pengambilan sampel secara accidental sampling selama 1 bulan. Alat ukur utama adalah rekam medis dan hasil laboratorium darah ureum dan kreatinin. Responden dalam penelitian ini terdiri dari 30 orang, dengan 19 pasien GGK non-DM dan 11 pasien GGK dengan DM. Analisis statistik menggunakan uji perbedaan mann whitney untuk kadar ureum dan uji independent t-test untuk kadar kreatinin.
Hasil penelitian didapatkan uji beda kadar ureum pasien GGK non-DM berbeda tidak bermakna dibandingkan pasien GGK dengan DM (p=0,590), namun rerata kadarureum pasien GGK non-DM tetap lebih tinggi dibanding pasien GGK dengan DM. Kadar kreatinin pasien GGK non-DM berbeda bermakna dibandingkan pasien GGK dengan DM. Saran, diharapkan pasien GGK non-DM lebih memperhatikan asupan makanan terutama protein supaya kadar ureum kreatinin tetap terkontrol sehingga fungsi ginjal tidak semakin memburuk.
Kata kunci: Gagal ginjal kronis, diabetes, ureum, kreatinin
BAB 1. PENDAHULUAN Gagal Ginjal Kronis (GGK) merupakan keadaan dimana terjadi penurunan fungsi
ginjal yang cukup berat secara perlahan-lahan (menahun). Penyakit GGK disebabkan oleh berbagai penyakit ginjal. Penyakit ini bersifat progresif dan biasanya tidak bisa pulih kembali (irreversible) (Suwitra, 2006). Prevalensi penyakit GGK meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan Pusat Data & Informasi Perhimpunan Rumah Sakit (PDPERSI), jumlah penderita GGK diperkirakan 50 orang per satu juta penduduk (Suhardjono, 2000). Selama kurun waktu dari tahun 1999 hingga 2004, terdapat 16,8% dari populasi penduduk usia 20 tahun mengalami penyakit GGK. Presentase ini meningkat bila dibandingkan data enam tahun sebelumnya (CDC, 2007). Etiologi utama penyakit GGK adalah diabetes mellitus (44%), tekanan darah tinggi (27%), glomerulonefritis (10%) dan lain-lain (19%) (Suwitra, 2006). Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyebab yang paling utama GGK, yaitu sekitar 30% dari DM tipe-1dan 40% dari DM tipe-2. Tanda-tanda pada fase awal terkena DM tidak diketahui. Gejala tersebut muncul setelah 10 tahun menderita DM tipe-1 atau 5 sampai 8 tahun setelah menderita DM tipe-2 (McCance & Huether, 2006). Pada umumnya para dokter menganjurkan untuk menjalani dialisis pada pasien dengan tingkat fungsi ginjal yang buruk dan bila memungkinkan dilakukan transplantasi (Weening, 2004). Namun demikian, penderita penyakit ginjal kronik yang menjalani dialisa dalam waktu yang lama memiliki insiden mortalitas yang lebih tinggi daripada yang menjalani transplantasi (Verelli, 2006). Indonesia termasuk negara dengan tingkat penderita gagal ginjal cukup tinggi. Saat ini, jumlah penderita gagal ginjal mencapai 4.500 orang. Dari jumlah itu, banyak penderita yang meninggal dunia akibat tidak mampu berobat atau cuci darah (hemodialisa) karena biayanya sangat mahal, yang harus dilakukan 2-3 kali seminggu. Akibatnya, tidak sedikit penderita yang meninggal dunia (Soedarsono, 2001). Kecenderungan kenaikan penderita gagal ginjal itu antara lain terlihat dari meningkatnya jumlah pasien cuci darah, yang jumlahnya rata-rata 250 orang/tahun.
Ginjal mempunyai peran strategis dalam tubuh yaitu mengeluarkan air dan sampah metabolisme dalam bentuk air kemih serta menghasilkan hormone erythropoietin yang berperan dalam pembentukan sel darah merah (Groer, 2001; Price & Lorraine, 1998; Copstead & Banasik, 2000). Ureum-kreatinin merupakan produk sisa dari metabolisme tubuh. Peningkatan kadar ureum dan kreatinin yang tinggi dapat menyebabkan komplikasi tambahan yaitu menyebabkan syock uremikum yang dapat berlanjut menjadi kematian (Setyoningsih, Puspito & Rosyidi, 2018). Kadar ureum kreatinin perlu dimonitor sebagai indikator kerusakan ginjal dan pemeriksaan ini dilakukan setiap akan menjalani hemodialisis. Data secara umum di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta diperoleh bahwa pada tahun 2012, RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta telah merawat 159 orang. Jumlah pasien GGK yang dirawat di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2013, meningkat menjadi 205 orang. Peningkatan jumlah penderita tersebut menggambarkan bahwa kejadian GGK di DI. Yogyakarta cukup tinggi. Data di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta juga menyebutkan bahwa penyakit GGK merupakan penyebab kelima kematian pada pasien. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti perbedaan ureum dan kreatinin pada pasien DM dan non-DM di ruang hemodialisa RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah kadar ureum pasien DM lebih rendah daripada kadar ureum pasien non-DM?
2. Apakah kadar kreatinin pasien DM lebih rendah daripada kadar kreatinin pasien non-DM?
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik, yang ditandai dengan karakteristik hiperglikemia kronis. Diabetes Mellitus terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedu-duanya. Diabetes Mellitus menimbulkan berbagai komplikasi pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah (ADA, 2011). Diabetes menurut ADA diklasifikasikan menjadi 4 kelas, yaitu : DM tipe-1, DM tipe-2, DM tipe spesifik dan DM gestasional. Diabetes mellitus tipe-1 atau insulin
dependent diabetes mellitus (IDDM) disebabkan karena kerusakan sel β pankreas
dan mengakibatkan defisiensi insulin mutlak. Diabetes mellitus tipe-2 atau non
insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) disebabkan karena penurunan
sekresi insulin secara progresif dengan dilatarbelakangi resistensi insulin.Diabetes mellitus tipe spesifik disebabkan karena penyebab lain, contohnya cacat genetik, penyakit eksokrin pankreas (seperti sistik fibrosis), induksi obat-obatan kimia (misalnya pada pengobatan HIV/AIDS atau pengobatan pasca transplantasi organ). Diabetes mellitus gestasional adalah DM yang ditemukan selama kehamilan (ADA, 2011). DM ditegakkan dengan mengadakan pemeriksaan kadar gula darah jika menunjukkan tanda-tanda seperti poliuri (banyak kencing), polidipsi (sering haus) dan polifagi (sering lapar). Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Seorang penderita dikatakan DM jika kadar gula darah sewaktu menunjukkan ≥200 mg/dL atau kadar gula puasa ≥120 mg/dL (Sherwood, 2012) Kondisi hiperglikemia akan menginduksi stres oksidatif yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menimbulkan berbagai macam komplikasi (Ueno et al., 2002; Wiyono, 2003). Komplikasi tersebut antara lain berupa penyakit vaskuler sistemik (atherosklerosis), penyakit jantung, penyakit mikrovaskuler pada mata sebagai penyebab kebutaan dan degenerasi retina (retinopati diabetik), katarak, kerusakan ginjal (nefropati diabetik) serta kerusakan saraf tepi (neuropati diabetik) (Setiawan & Suhartono, 2005). Stres oksidatif adalah kondisi yang disebabkan ketidakseimbangan antara produksi ROS dan mekanisme pertahanan antioksidan (Evans et al., 2002). Sumber utama stres oksidatif selama diabetes adalah auto-oksidasi glukosa, produksi ROS yang berlebih pada mitokondria, glikasi nonenzimatik dan aktivasi jalur poliol (Lemos et al., 2012). Enzim aldose reductase mengubah glukosa menjadi sorbitol dengan NADPH sebagai koenzim pada jalur poliol. Sorbitol, dengan bantuan enzim sorbitol dehidrogenase (SDH), akan diubah menjadi fruktosa. Degradasi sorbitol ini berjalan lambat sehingga sorbitol menumpuk dalam sel dan kemudian mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik yang selanjutnya dapat merusak sel dan meningkatkan kadar lipid peroksidase (Nishimura, 1998). Konsumsi NADPH yang berlebih oleh enzim aldose reductase akan berakibat pada penurunan antioksidan endogen yaitu glutathion (GSH), sebab NADPH dibutuhkan untuk pembentukan glutathion. Penumpukan sorbitol di jaringan dan penurunan glutathion akan menyebabkan peningkatan stres oksidatif (Lemos et al., 2012). Mekanisme lain yang juga meningkatkan stres oksidatif adalah transport elektron di mitokondria. Kadar glukosa intrasel yang tinggi akan meningkatkan transfer elektron melalui rantai transport elektron di mitokondria selama respirasi oksidatif dan memproduksi ROS (Pitoco et al., 2010). Kondisi tersebut akan mengganggu keseimbangan redox dan berakibat pada protein yang cukup sensitif terhadap redox seperti protein kinase C (PKC). Produksi AGE akibat hiperglikemia merangsang oksidase NADPH yang selanjutnya memproduksi ROS (Lemos et al., 2012).
Reactive oxygen species (ROS) yang meningkat pada mitokondria (terutama
superoksid) akan mengakibatkan beberapa hal, diantaranya adalah kerusakan pada komponen-komponen dalam mitokondria tersebut seperti DNA, membran protein dan lipid; terbukanya mitochondrial permeability transition pore (MPTP); pelepasan protein proapoptosis dari mitokondria seperti sitokrom C yang merangsang kematian sel. Produksi ROS di rantai respirasi mitokondria diduga sebagai pembawa pesan kedua untuk aktivasi NF- κ B melalui TNF- α dan IL-1 (Lemos et al., 2012). Sumber ROS non-mitokondria seperti enzim cyclooxigenase (COX), akan mensintesis beberapa prostaglandin. Sitokin proinflamasi akan menginduksi ekspresi COX2 melalui rangsangan oksidasi NADPH dan produksi ROS. Enzim
COX2 akan berperan sebagai vasculopati pada sel endotel. Sumber ROS lainnya adalah sitokrom P450 monooksigenase ,yang merupakan enzim yang terlibat dalam metabolisme dan detoksifikasi komponen endogen dan eksogen. Kondisi DM akan menyebabkan perubahan isoform P450 yang berespon merugikan hepar, seperti misalnya peningkatan ekspresi CYP2E1. Peningkatan CYP2E1 akan meningkatkan produksi ROS, lipid peroksida dan merangsang perkembangan penyakit hati yang berhubungan dengan DM tipe-2 (Lemos et al., 2012). Peningkatan ROS akan mengaktifkan beberapa stress-sensitive kinases yang selanjutnya memediasi resistensi insulin. Aktivasi kinase-kinase tersebut meningkat dan mengaktifkan nuclear factor- κ B (NF- κ
B) dan activator protein-1 (AP-1) dan sesudah itu akan mengaktifkan c-Jun N-terminal kinase (JNK) dan menghambat NF- κ B kinase-β (IKK); meningkatkan transkripsi gen-gen sitokin proinflamasi dan meningkatkan sintesis reaktan pada fase akut (Evans et al., 2002; Lemos et al., 2012).
Komplikasi kronis DM terutama disebabkan oleh gangguan integritas pembuluh darah. Komplikasi kronis yang berhubungan dengan DM adalah penyakit mikro dan makrovaskular. Kerusakan vaskular merupakan gejala yang khas sebagai akibat dari DM dan dikenal dengan nama angiopati diabetikum. Mikroangiopati, yang merupakan mikrovaskular memberikan manifestasi retinopati, nefropati dan neuropati (ADA, 2011). Berdasarkan pengertian klinik, nefropati diabetikum (ND) adalah komplikasi diabetes yang ditandai dengan adanya proteinuria menetap (persisten) ( > 0,3 gr/24 jam). Nefropati diabetik biasanya disertai dengan adanya retinopati dan hipertensi tanpa kelainan ginjal primer dan gagal jantung (Breyer, 1992; Roesli & Hadi, 2000). Menurut Sherwood (2012), nefropati diabetik ditandai dengan mikro maupun makro proteinuria, penurunan LFG, dan peningkatan tekanan darah. Apabila nefropati diabetikum berjalan secara progresif, maka akan menyebabkan terjadinya penyakit gagal ginjal kronis.
2.1.2 Gagal Ginjal Kronis (GGK)
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari tiga bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m², seperti pada tabel 2.1 berikut:
Tabel 1. Batasan Penyakit Ginjal Kronik
1. Kerusakan ginjal lebih dari tiga bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan LFG berdasarkan:
- Kelainan patologik.
Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan - pada pemeriksaan pencitraan.
2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m² selama lebih dari tiga bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Sumber: Pedoman Pelayanan Hemodialisis, 2008; Kallenbach et al., 2005; Black and Hawk, 2005.
Pada pasien dengan penyakit GGK, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai LFG, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai LFG yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium satu adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal; stadium dua adalah kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan; stadium tiga adalah kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal; stadium empat adalah kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal; dan stadium lima adalah gagal ginjal (Perazella, 2005). Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut:
Tabel 2. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) dan Stadium Penyakit Ginjal Kronik
Stadium Deskripsi LFG
0 Resiko meningkat ≥ 90 dengan faktor risiko
1 Kerusakan ginjal disertai ≥ 90
LFG normal atau meninggi
2 Penurunan ringan LFG 60-89
3 Penurunan moderat LFG 30-59
4 Penurunan berat LFG 15-29
5 Gagal ginjal
15 atau dialisis
< Sumber: Pedoman Pelayanan Hemodialisis, 2008. Berdasarkan data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).
2.1.3 Ureum dan Kreatinin
Kadar ureum bisa dijadikan parameter untuk menilai adekuasi tindakan hemodialisis. Ureum adalah sisa produk metabolisma yang berupa nitrogen sebagai senyawa terbesar yang dikeluarkan oleh ginjal yang berasal dari makanan yang dikonsumsi (Bruyne & Whitney, 2008 dalam Nabella, 2011). Ureum adalah suatu senyawa organik yang terdiri dari unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen dengan rumus CON
2 H 4 atau (NH 2 )
2 CO. Uremia merupakan sampah
organik dari sisa metabolisme tubuh yang tidak dapat dibersihkan oleh ginjal karena ginjal mengalami gangguan yang bisa muncul saat fungsi ginjal dibawah 50% (Meyer & Hostetter, 2007). Keadaan uremik meningkatkan kebutuhan oksigen dan akan memperburuk keadaan hipoksia pada tubulus ginjal melalui peningkatan sters oksidatif. Uremia juga menggangu produksi hormon eritropoitin dalam ginjal (Chiang, Tanaka & Nangaku, 2012). Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil metabolisme otot. Kreatinin dilepaskan oleh otot dengan kecepatan yang hampir konstan dan diekskresikan kedalam urine dalam dengan kecepatan yang sama. Kreatinin diekskresikan oleh ginjal melalui kombinasi filtrasi dan sekresi, konsentrasinya relatif konstan dalam plasma dari hari ke hari, kadar yang lebih besar dari normal mengisyaratkan adanya gangguan fungsi ginjal (Corwin, 2001). Peningkatan dua kali lipat kadar kreatinin serum mengindikasikan adanya penurunan fungsi ginjal sebesar 50%, demikian juga peningkatan kadar kreatinin tiga kali lipat mengisyaratkan penurunan fungsi ginjal sebesar 75% (Soeparman dkk, 2001).
2.2 Kerangka Konsep
Infeksi Ginjal, Non DM Hipertensi, dll DM Nefropati GGK
Ureum Kreatinin
Gambar 1. Kerangka konsep Keterangan:
Diteliti Tidak diteliti
2.3 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kadar ureum pasien GGK DM lebih baik dibandingkan kadar ureum pasien GGK dengan non-DM.
2. Kadar kreatinin pasien GGK DM lebih baik dibandingkan kadar kreatinin pasien GGK dengan non-DM.
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengevaluasi perbedaan kadar ureum dan kreatinin pada pasien DM dan non-DM di ruang rawat inap kelas III RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mengevaluasi:
1. Mengetahui kadar ureum pasien DM dan non-DM?
2. Mengetahui kadar kreatinin pasien DM dan non-DM?
3.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kadar ureum dan kreatinin pada pasien GGK yang memiliki penyakit DM dan yang tidak memiliki penyakit DM.
BAB 4. METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional komparasi dengan penggunaan data sekunder berupa rekam medik untuk ureum dan kreatinin darah.
4.2 Variabel Penelitian
Variabel terikat penelitian ini adalah kadar ureum dan kreatinin. Variabel tersebut merupakan variabel tunggal.
4.3 Definisi Operasional Penelitian
1. Kadar ureum Ureum adalah hasil akhir metabolisme protein. Berasal dari asam amino yang telah dipindah amonianya di dalam hati dan mencapai ginjal, dan diekskresikan rata-rata 30 gram sehari. Kadar ureum darah yang normal adalah 20 – 40 mg/dL dalam setiap 100 cc darah.
Skala data menggunakan skala data rasio.
2. Kadar kreatinin Kreatinin merupakan produk sisa dari perombakan kreatin fosfat yang terjadi di otot. Kreatinin adalah zat racun dalam darah, terdapat pada seseorang yang ginjalnya sudah tidak berfungsi dengan normal. Kadar kreatinin pada laki-laki maksimal 1,4 mg/dL.
Skala data menggunakan skala data rasio.
4.4 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien GGK yang dirawat di ruang rawat inap RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Karakteristik sampel yaitu berada pada rentang usia ≥ 20 tahun, belum menjalankan terapi hemodialisis, dan dapat berkomunikasi dengan baik. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan
accidental sampling selama pelaksanaan penelitian, pada shift pagi. Pengambilan
data penelitian dilakukan selama 1 bulan.4.5 Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu hasil rekam medis uji laboratorium saat rawat inap.
4.6 Analisis Hasil
Analisis hasil untuk penelitian ini menggunakan program statistik. Skala data yang digunakan adalah skala numerik yang disajikan dalam bentuk rerata ±
Standard Error of Mean (SEM). Sebelum analisis, dilakukan uji normalitas data
terlebih dahulu (Dahlan, 2009). Data yang berdistribusi normal diuji dengan statistik parametrik. Uji statistik independent t-test digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan kadar ureum dan kadar kreatinin dalam darah antara kelompok pasien DM dengan kelompok pasien non-DM.
4.7 Etika Penelitian
Meminta ijin ke RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan setelah disetujui, melakukan pengambilan data dengan prinsip:
1. Informed concent, peneliti meminta ijin terlebih dahulu kepada responden yang akan diteliti.
2. Anonimity, peneliti tidak menggunakan nama asli dari responden dan hanya menuliskannya dengan kode.
3. Confidentiality, peneliti memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian.
Hanya kelompok data yang dilaporkan pada hasil riset.
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan di PKU Muhammadiyah Yogyakarta, selama dua bulan yaitu pada bulan September sampai dengan Oktober 2014. Penelitian tersebut dilakukan di dua bangsal rawat inap kelas III, yaitu Ruangan Marwah dan Arofah. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi perbedaan kadar ureum dan kreatinin pada pasien DM dan non-DM di ruang rawat inap kelas III RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 30 orang yang terdiri dari 19 orang pasien GGK non-diabetes dan 11 orang pasien GGK dengan diabetes.
5.1.1. Data Demografi
Tabel 3. Data Demografi Responden Secara Umum
No. Variabel Jumlah %
1. Usia responden
18-29 tahun 1 3,30 30-45 tahun 11 36,70 46-59 tahun 11 36,70 60-80 tahun 7 23,30
2. Jenis kelamin
Laki-laki 17 56,70 Perempuan 13 43,30
3. Penyakit penyerta diabetes
GGK non-diabetes 19 63,30 GGK dengan diabetes 11 36,70
4. Klasifikasi hipertensi
Prehipertensi 6 20,00 Hipertensi stage 1 6 20,00 Hipertensi stage 2 18 60,00
Jumlah total 30 100,00
Berdasarkan tabel 3. diperoleh data bahwa mayoritas responden (36,70%) adalah berusia 30-45 tahun (dewasa madya) dan 46-59 tahun (dewasa tua). Responden dalam penelitian ini mayoritas adalah laki-laki (56,70%). Sebagian besar responden menderita GGK tanpa penyakit penyerta diabetes (63,30%). SEluruh responden memiliki tekanan darah lebih dari normal, namun mayoritas responden
(60,00%) menderita hipertensi stage 2. Menurut Joint National Comitee (JNC
VII), responden dikatakan hipertensi jika tekanan darah sistolik ≥160 mmHg atau tekanan darah diastolic ≥100 mmHg.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Data Demografi Responden Berdasarkan Penyakit Penyerta Diabetes
Non-diabetes Diabetes No Data Umum
Jumlah % Jumlah %
1. Usia Pasien
18-29 tahun 1 5,26 0,00 30-45 tahun 8 42,11 3 27,27 46-59 tahun 7 36,84 4 36,36 60-80 tahun 3 15,79 4 36,36
2. Jenis Kelamin
Laki-laki 11 57,89 6 54,55 Perempuan 8 42,11 5 45,45
3. Tempat Tinggal
Bantul 1 5,26 2 18,18 DIY 14 73,68 4 36,36 Gunung Kidul 3 15,79 0,00 Kulon Progo 0,00 2 18,18 Sleman 1 5,26 3 27,27
Jumlah 19 100,00 11 100,00 Sampel dalam penelitian ini berjumlah 30 orang yang terdiri dari 19 orang pasien GGK non-diabetes dan 11 orang pasien GGK dengan diabetes. Usia responden GGK non-diabetes terbanyak adalah pada rentang usia 30-45 tahun (dewasa madya), yaitu sekitar 36,84%; sedangkan usia responden diabetes terbanyak adalah pada rentang usia 46-59 tahun (dewasa tua) dan 60-80 tahun (lansia), yaitu masing-masing 36,36%.
Berdasarkan tabel 4. diketahui bahwa laki-laki merupakan responden terbanyak pada kelompok GGK non-diabetes maupun GGK dengan diabetes, yaitu masing- masing 57,89% dan 54,55%. Tabel 4. menunjukkan bahwa reponden dalam penelitian ini, mayoritas berdomisili di kota Yogyakarta, baik pada kelompok GG non-diabetes (73,68%) maupun GGK dengan diabetes (36,36%).
5.1.2. Klasifikasi Hipertensi
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Tekanan Darah Responden
TD sistolik TD diastolik No. Variabel
Mean SD Mean SD
1. Responden secara 163,20 28,01 95,83 3,84
keseluruhan
2. Usia responden
30-45 tahun 164,27 29,57 98,00 17,96 46-59 tahun 153,64 27,67 90,91 21,66 60-80 tahun 174,14 26,49 99,57 27,41
3. Jenis kelamin
Laki-laki 160,53 25,38 96,82 19,40 Perempuan 166,69 31,84 94,54 23,80
4. Penyakit diabetes
GGK non-DM 167,05 28,43 93,53 17,85 GGK diabetes 156,55 27,26 99,82 26,16
Data pada tabel 5. menyebutkan bahwa rerata tekanan darah sistolik respondem dalam penelitian ini adalah 163,20 mmHg dan rerata tekanan darah diastoliknya 95,83 mmHg. Berdasarkan usia responden, rerata tekanan darah sistolik paling tinggi terdapat pada usia 60-80 tahun (lansia), yaitu 174,14 mmHg. Begitu pula dengan rerata tekanan diastolik, yang paling tinggi berada pada rentang usia lansia, yaitu 99,57 mmHg. Berdasarkan jenis kelamin, perempuan memiliki rerata tekanan darah sistolik 166,69 mmHg lebih tinggi dibanding laki-laki 160,53 mmHg. Sebaliknya, rerata tekanan darah diastolik pada lelaki lebih tinggi, yaitu 96,82 mmHg dibanding rerata tekanan darah diastolik perempuan 94,54 mmHg. Berdasarkan penyakit penyerta diabetes, rerata tekanan darah sistolik pada responden GGK non-diabetes adalah 167,05 mmHg, lebih tinggi dibanding rerata tekanan darah sistolik pada responden GGK diabetes, yaitu 156,55 mmHg. Rerata tekanan darah diastolik pada responden GGK non-diabetes adalah 93,53 mmHg sedangkan pada kelompok responden diabetes adalah 99,82 mmHg. Dengan demikian, rerata tekanan darah diastolik pada kelompok GGK dengan diabetes lebih tinggi dibandingkan kelompok GGK non-diabetes.
Tabel 6. Tabulasi Silang Klasifikasi Hipertensi
Prehipertensi Hipertensi Hipertensi
No. Variabel stage 1 stage 2
Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%)
1. Usia responden
18-29 tahun 0 ( 0,00) 0 ( 0,00) 1 ( 5,56) 30-45 tahun 2 (33,33) 2 (33,33) 7 (38,89) 46-59 tahun 4 (66,67) 2 (33,33) 5 (27,78) 60-80 tahun 0 ( 0,00) 2 (33,33) 5 (27,78)
2. Jenis kelamin
Laki-laki 2 (33,33) 6 (100,00) 9 (50,00) Perempuan 4 (66,67) 0 ( 0,00) 9 (50,00)
3. Penyakit diabetes
GGK non-diabetes 4 (66,67) 2 (33,33) 13 (72,22) GGK diabetes 2 (33,33) 4 (66,67) 5 (27,78)
Jumlah 6 (100,00) 6 (100,00) 18 (100,00) Berdasarkan tabel 6. didapatkan data bahwa prehipertensi paling banyak (66,67%) diderita pada usia 46-59 tahun (dewasa tua). Hipertensi stage 1 diderita oleh hamper semua rentang usia (33,33%), mulai dari dewasa madya, dewasa tua dan lanisa. Sedangkan hipertensi stage 2 paling banyak (38,89%) diderita oleh rentang usia 30-45 tahun (dewasa madya). Berdasarkan jenis kelamin, prehipertensi paling banyak diderita oleh jenis kelamin perempuan (66,67%). Hipertensi stage 1 paling banyak diderita oleh jenis kelamin laki-laki (100,00%). Proporsi responden dengan hipertensi stage 2, diderita paling banyak oleh laki-laki dan perempuan (50,00%).
Berdasarkan penyakit penyerta, yang dalam hal ini adalah penyakit diabetes, proporsi penderita prehipertensi paling banyak (66,67%) pada penderita GGK non-diabetes. Hipertensi stage 1 paling banyak diderita oleh responden GGK dengan diabetes, yaitu 66,67%. Sebagian besar responden GGK non-diabetes mengalami hipertensi stage 2, yaitu 72,22%.
5.1.3. Kadar Ureum
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Kadar Ureum Responden No.
Nilai Nilai Kadar ureum SD Mean SEM ±±±± min max
1. Responden secara 81,92
76 529 179,03 14,96
±
keseluruhan
2. Usia responden
30-45 tahun 51,09 110 273 185,64 15,40
±
46-59 tahun 113,19 93 529 206,64 34,13
±
60-80 tahun 42,33 76 183 124,57 16,00
±
3. Jenis kelamin
Laki-laki 103,56 76 529 179,41 25,12
±
Perempuan 43,78 110 273 178,46 12,14
±
4. Penyakit diabetes
GGK non-DM 95,94 76 529 189,16 22,01
±
GGK DM 48,61 95 231 161,55 14,66
±
Tabel 7. menggambarkan bahwa rerata ureum pada seluruh responden adalah 179,03 mg/dL, dengan nilai tertinggi adalah 76 mg/dL dan nilai terendah adalah 529 mg/dL. Dengan demikian didapatkan data bahwa semua responden (100,00%) memiliki kadar ureum lebih dari normal. Kadar ureum normal dalam dalam darah adalah 20-40 mg/dL. Data ini diambil saat pasien masih berada di ruang rawat inap dan belum dilakukan terapi hemodialysis. Berdasarkan usia responden, rerata kadar ureum tertinggi terdapat pada rentang usia 46-59 tahun (dewasa tua), yaitu 206,64 mg/dL, dengan nilai terendah adalah 93 mg/dL dan nilai tertinggi adalah 529 mg/dL. Berdasarkan jenis kelamin, rerata kadar ureum pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan pada perempuan, yaitu 179,41 mg/dL. Berdasarkan penyakit penyerta diabetes, rerata kadar ureum pada kelompok GGK non-diabetes adalah 189,16 mg/dL, sedangkan rerata kadar ureum pada kelompok GGK diabetes adalah 161,55 mg/dL. Dengan demikian, kadar ureum pada kelompok GGK non-diabetes lebih tinggi dibandingkan kadar ureum pada kelompok GGK dengan diabetes.
5.1.4. Kadar Kreatinin
Tabel 8. Distribusi Frekuensi Kadar Kreatinin Responden
No. Kadar kreatinin SD Nilai min Nilai max
Mean SEM ±±±±
1. Responden secara 5,80 3,80 27,50
11,04 1,06
±
keseluruhan
2. Usia responden
30-45 tahun 4,78 4,80 20,60 10,88 1,44
±
46-59 tahun 6,73 7,10 27,50 12,61 2,03
±
60-80 tahun 3,06 3,80 10,6 7,31 1,16
±
3. Jenis kelamin
Laki-laki 6,08 3,80 27,50 10,25 1,47
±
Perempuan 5,48 4,80 21,50 12,08 1,52
±
4. Penyakit diabetes
GGK non-DM 6,05 4,80 27,50 13,29 1,39
±
GGK DM 2,33 3,80 11,00 7,16 0,70
±
Berdasarkan tabel 8. didapatkan data bahwa rerata kadar kreatinin pada responden penelitian adalah 11,04 mg/dL, dengan nilai terendah 3,80 mg/dL dan nilai tertinggi adalah 27,50 mg/dL. Dengan demikian kadar kreatinin seluruh responden (100,00%) lebih dari normal. Kadar kreatinin normal pada lelaki adalah 0,8-1,4 mg/dL, sedangkan nilai normal pada perempuan adalah 0,6-1,2 mg/dL. Berdasarkan usia responden, didapatkan data bahwa kadar kreatinin tertinggi berada pada rentang usia 46-59 tahun (dewasa tua), yaitu 12,08 mg/dL. Berdasarkan jenis kelamin, rerata kreatinin pada perempuan lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki, yaitu 10,25 mg/dL. Berdasarkan penyakit penyerta diabetes, rerata kadar kreatinin kelompok GGK non-diabetes 13,29 mg/dL, lebih tinggi dibandingkan rerata kadar kreatinin kelompok GGK dengan diabetes yaitu 7,16 mg/dL.
5.1.4. Normalitas Data Ureum dan Kreatinin
Responden dalam penelitian ini adalah 30 orang, yang terdiri dari 19 orang responden GGK non-diabetes dan 11 orang responden GGK dengan diabetes. Variabel dalam penelitian ini, yaitu ureum dan kreatinin diukur menggunakan skala data rasio. Oleh karena responden <50 orang dan skala data yang digunakan adalah rasio, maka data harus diukur normalitasnya terlebih dahulu. Dalam hal ini, uji statistik yang digunakan adalah saphiro wilk.
Tabel 9. Normalitas Data Ureum dan Kreatinin
GGK non-diabetes GGK diabetes No. Variabel p value Interpretasi p value Interpretasi
1. Ureum 0,000 Tidak normal 0,434 Normal
2. Kreatinin 0,112 Normal 0,612 Normal
Data dikatakan normal apabila nilai signifikansi (p value) ≥ 0,05. Berdasarkan tabel 9. diperoleh informasi bahwa data pada ureum GGK non-diabetes tidak normal. p value pada ureum kelompok GGK non diabetes adalah 0,000 (p<0,05), dengan demikian maka uji beda kadar ureum antara 2 kelompok menggunakan uji statistik non-parametrik, yaitu mann whitney. Nilai ‘p’ pada uji normalitas kreatinin adalah 0,112 untuk kelompok GGK non- diabetes; dan 0,612 untuk kelompok GGK dengan diabetes. ‘p’ ≥ 0,05, sehingga dapat disimpulkan data kadar kreatinin untuk kedua kelompok terdistribusi normal. Oleh karena itu, uji beda kadar kreatinin menggunakan uji statistik parametric, yaitu independent t-test.
5.1.5. Uji Beda Kadar Ureum Dan Kreatinin
Tabel 10. Uji Beda Kadar Ureum dan Kreatinin
No. Variabel Uji beda p value Interpretasi
1. Ureum Mann whitney test 0,590 Berbeda tidak bermakna
2. Kreatinin Independent t-test 0,003 Berbeda bermakna
Uji komparasi atau uji beda dikatakan memiliki makna jika taraf signifikansi atau p value 0,05. Uji beda mann whitney kadar ureum pada kedua kelompok
≤
didapatkan hasil p>0,05; p=0,590, sehingga dapat disimpulkan nilai kadar ureum pada kedua kelompok berbeda tetapi tidak bermakna. Uji beda independent t-test kadar kreatinin pada kedua kelompok adalah p 0,05; p=0,003, sehingga dapat
≤
disimpulkan ada perbedaan bermakna kadar kreatinin pada kedua kelompok atau rerata kadar kreatinin kelompok GGK dengan diabetes lebih rendah secara bermakna dibandingkan kelompok GGK non-diabetes.
5.2 Pembahasan
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan sebuah kondisi kerusakan ginjal yang dapat diketahui dengan pemeriksaan urinasi, radiologi maupun histologi. Diagnosis penyakit GGK ditegakkan apabila pasien memiliki glomerular
filtration rate (GFR) kurang dari 60 mL/menit/1,73 m² dalam kurun waktu lebih
dari sama dengan tiga bulan (Iseki, 2008). End-stage renal disease (ESDR) atau gagal ginjal terminal, didefinisikan sebagai kerusakan ginjal yang ditandai dengan penurunan GFR <15 mL/menit/1,73 m², serta adanya abnormalitas hasil pemeriksaan kadar ureum serum (Black & Hawk, 2005).
5.2.1. Faktor risiko usia pada GGK
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah penyakit yang bisa diderita oleh semua rentang usia, mulai dari anak-anak, remaja dan lansia. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang tercantum pada tabel 3, bahwa dalam penelitian ini responden dengan GGK dapat ditemukan pada usia dewasa muda (3,30%), dewasa madya (36,70%), dewasa tua (36,70%), dan lansia (23,30%). Gagal ginjal dapat terjadi pada semua rentang usia dan mempunyai distribusi penyebab yang berbeda-beda (Groer, 2001). Pada usia muda, gagal dapat terjadi akibat dehidrasi yang kronis maupun zat nefrotoksis. Konsumsi makanan atau minuman yang mengandung zat nefrotoksik akan mempercepat terjadinya pengrusakan sel-sel ginjal. Pada usia dewasa tua dan manula, secara anatomis kemampuan pertumbuhan sel-sel ginjal mulai menurun dan mulai terjadi pemunduran fungsi sel-sel ginjal (Saryono & Handoyo, 2006). Sebagian besar responden (96,70%) dalam penelitian ini berusia 40 tahun keatas. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Lindeman dan Preuss (1994), yang menyebutkan bahwa fungsi ginjal akan mengalami penurunan secara progresif sejak usia 40 tahun. Hal ini disebabkan ginjal akan mengalami perubahan struktur maupun fungsi seiring dengan proses penuaan. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Chadijah dan Wirawanni (2012), usia 40 tahun mulai terjadi penurunan kemampuan fungsi ginjal dan pada usia 60 tahun kemampuan ginjal menurun menjadi tinggal 50% dari kapasitas fungsinya pada usia 40 tahun, yang disebabkan karena proses fisiologik berupa berkurangnya populasi nefron dan tidak adanya kemampuan regenerasi. Hasil dalam penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Fransiska (2007), yang menyebutkan bahwa penderita GGK mayoritas adalah usia 51-60 tahun. Penelitian yang dilakukakan oleh Daryani (2011), menyebutkan bahwa rerata penderita GGK memiliki rentang usia 40-46 tahun. Menurut O’Hare et al. (2007), penyakit GGK sering diderita di kalangan lanjut usia (lansia). Hal ini disebabkan karena pada lansia mulai terjadi penurunan fungsi pada nefron ginjalnya. Penderita GGK usia lanjut memiliki risiko kematian lebih tinggi dikarenakan nilai
glomerular filtration rate (GFR)-nya lebih rendah. Nilai GFR lansia dengan GGK
rerata 15 mL/menit per 1,73 m² sedangkan nilai GFR dewasa dengan GGK rerata 45 mL/menit per 1,73 m². Menurut penelitian Weinstein dan Anderson (2010), penuaan akan menyebabkan penurunan nilai GFR dan renal blood flow (RBF) secara progresif. Penurunan GFR akan menyebabkan penurunan rata-rata aliran plasma dan penurunan koefisien pada kapiler glomerulus. Penurunan hambatan pada arteriolar afferent berhubungan dengan peningkatan tekanan hydraulic pada kapiler glomerulus. Perubahan hemodinamik tersebut terjadi akibat adanya perubahan struktur ginjal pada penuaan, seperti kehilangan massa renal, hyalinisasi pada arteriole afferent, peningkatan glomerular sclerotic dan fibrosis tubulointersitial. Penuaan juga akan mengganggu aktivitas dan responsifitas terhadap stimulus vasoactive, seperti penurunan respon tubuh untuk melakukan vasokontriksi maupun vasodilatasi, penurunan aktivitas regulasi terhadap mekanisme renin-angiotensin dan nitric oxide.
5.2.2. Faktor risiko jenis kelamin pada GGK
Tabel 3. Memberikan data bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini (56,70%) berjenis kelamin laki-laki. Beberapa teori menyebutkan bahwa salah satu faktor risiko penyakit GGK adalah jenis kelamin laki-laki. Penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Saryono & Handoyo (2006), yang menyebutkan bahwa mayoritas penderita GGK adalah laki-laki (67,00%).
Hal ini dimungkinkan karena saluran kemih laki-laki lebih panjang sehingga memungkinkan tingginya hambatan pengeluaran urin dari kantong kemih. Hambatan ini dapat berupa penyempitan saluran (stricture) ataupun tersumbatnya saluran oleh batu. Penelitian yang dilakukan oleh Weinstein dan Anderson (2010) mengemukakan bahwa hormone sex berkontribusi terhadap terjadinya GGK. Progresifitas GGK pada perempuan lebih lambat dibandingkan pada laki-laki, baik secara klinis maupun secara eksperimen (percobaan perlakuan). Jenis kelamin dan usia mempengaruhi perubahan pada Renin-Angiotensin system (RAS) dan nitric oxide (NO), maupun aktivitas metalloprotease. Metalloprotease merupakan sebuah enzyme protease yang melakukan mekanisme katalisis pada metal. Pengaruh jenis kelamin terhadap RAS yaitu pada interaksi antara 17β-estradiol (E2) dan Angiotensin II. E2 yang menurun di tingkat jaringan, mampu menurunkan aktivitas Angiotensin II dan Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Sebaliknya, testosterone akan meningkatkan aktivitas RAS. Dalam penelitian eksperimen, terapi esterogen dan kekurangan androgen digunakan sebagai perlindungan terhadap progressifitas GGK (Weinstein & Anderson, 2010). Nitric oxide (NO) adalah sitokin yang memiliki efek perlindungan pada ginjal karena mencegah penurunan sel mesangial dan produksi matriks. Perbedaan kadar NO pada jenis kelamin disebabkan interaksi antara NO dan E2, yang akan menstimulus pelepasan NO sintase. Penelitian yang melakukan komparasi antara perempuan pre-menopouse dan laki-laki, didapatkan hasil bahwa sintesis dan produksi NO pada perempuan lebih besar dibandingkan laki-laki (Weinstein & Anderson, 2010) Ketidaksesuaian kadar metalloprotease juga dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin, terutama kaitannya dengan difungsi renal. Metalloprotease mampu memecah matriks yang dapat membantu mencegah ekspansi matriks ginjal. Saat usia lanjut, kadar metalloprotease meningkat pada perempuan dibandingkan pada laki-laki (Weinstein & Anderson, 2010). Androgen pada lelaki mampu meningkatkan risiko terjadinya disfungsi renal melalui efek negative yang dimiliki oleh androgen. Androgen dapat meningkatkan fibrosis dan produksi matriks mesangial, menstimulasi RAS sehigga akan meningkatkan retensi sodium, yang berakibat pada peningkatan tekanan darah (hipertensi), sehingga memperburuk progresifitas GGK (Weinstein & Anderson, 2010; Iseki, 2008).
5.2.3. Faktor penyakit penyerta Diabetes Mellitus (DM) pada GGK