BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hakekat Empati 1. Pengertian Empati - DWI MAI SARAH BAB II

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hakekat Empati 1. Pengertian Empati Empati perlu ditanamkan dan diterapkan terhadap siswa. Berempati dapat menjadikan siswa memiliki keinginan untuk menolong

  sesama, memahami perasaan orang lain serta menghargai serta menghormati orang lain. Pernyataan tersebut diperkuat Carkhuff (dalam Budiningsih, 2004

  : 47) mengartikan empati ialah“kemampuan untuk mengenal, mengerti, dan merasakan perasaan orang lain dengan ungkapan verbal dan perilaku, dan mengkomunikasikan pemahaman tersebut kepada orang lain

  ”. Berbeda dengan pernyataan tersebut di atas, Baron (dalam Howe 2015: 16) menyatakan jika empati dapat didefinisikan sebagai “kemampuan untuk mengidentifikasi apa yang sedang dipikirkan atau dirasakan oleh orang lain dalam rangka untuk merespon pikiran dan perasaan mereka dengan sikap yang tepat

  ”. Konsep empati di atas, dapat dimaknai bahwa dengan menerapkan empati, siswa memiliki keinginan untuk memahami perasaan orang lain serta menghormati dan menghargai orang lain. siswa tidak hanya menerapkan empati ketika di sekolah saja namun juga dalam lingkungan sosialnya. Empati tidak hanya sebatas mengerti perasaan orang lain saja, namun juga memahami keadaan orang lain dan mampu

  7 mengkomunikasikan pemahaman tersebut dengan baik sehingga seseorang merasa diperhatikan dan mengerti keadaannya.

  Empati dalam diri siswa akan semakin meningkat bila selalu diasah dan ditanamkan sedari dini sehingga dapat membentuk kepribadian siswa menjadi lebih baik sejalan dengan hal ini, Sholehhudin (dalam Danim, 2010: 219) berpendapat bahwa:

  Rasa empati dapat kita lakukan asalkan kita memiliki kemauan untuk itu, kapan saja dan dimana saja kita berada. Rasa empati pada seseorang harus diasah. Bila dibiarkan rasa empati tersebut sedikit demi sedikit akan terkikis walau tidak sepenuhnya hilang, tergantung dari lingkungan yang membentuknya. Empati berhubungan dengan kepedulian terhadap orang lain, tidak heran kalau empati selalu berkonotasi sosial seperti menyumbang, memberikan sesuatu pada orang yang kurang mampu, dan memahami perasaan orang lain, manusia akan menjadi egois, hidup soliter, tidak toleran, bahkan mungkin kejam.

  Pengertian empati diatas, dapat artikan bahwa empati adalah suatu kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, memahami, serta merasakan perasaan orang lain yang disertai dengan ungkapan dan tindakan. Berempati dapat membuat seseorang menjadi lebih peduli dan memahami keadaan di sekitarnya, mampu menghargai dan menghormati perasaan orang lain serta adanya keinginan untuk menolong sesama.

  Orang yang memiliki empati yang baik dapat dilihat berdasarkan perilaku atau tindakannya, hal ini sejalan dengan pernyataan Borba (2008:

  21) bahwa “anak yang memiliki empati akan menunjukkan sikap toleransi, kasih sayang, memahami kebutuhan orang lain, mau membantu orang yang sedang kesulitan, lebih pengertian, penuh kepedulian, dan lebih mampu mengendalikan kemarahanny a”.

  Pernyataan empati di atas, dapat dimaknai bahwa seseorang yang memiliki empati yang baik dapat dilihat dari sikapnya terhadap orang lain. Orang yang memiliki empati, mampu memahami perasaan orang lain dengan baik, lebih peka terhadap keadaan orang disekitarnya serta memiliki keinginan untuk menolong dan membantu orang yang sedang membutuhkan.

  Empati dapat dijadikan sebagai sarana untuk membuat hubungan sosial dengan orang lain menjadi baik. Berempati dapat membuat seseorang lebih memahami perasaan orang lain sehingga konflik dalam lingkungan sosial dapat terhindarkan. Pedersen (dalam Ioannidou 2008: 119) menyatakan bahwa:

  Empathy and confidence are the basis on which any effective relationship, understanding and communication can be built. They are crucial in developing ideas and solutions, in problem solving, effective communication and avoiding or preventing conflicts. Empathy is an important capability, which all people must develop in order to progress and continue with their life

  Pengertian empati di atas, dapat di maknai bahwa berempati dapat dijadikan sebagai dasar untuk membuat hubungan sosial dengan orang lain menjadi baik. Berempati dapat membuat seseorang menjadi lebih peka dan peduli teradap orang lain, memahami permasalahan orang lain sehingga dapat mencegah dan mengihindari konflik dalam hubungan sosial di lingkungannya.

2. Indikator Empati

  Berempati tidak hanya dilakukan dalam bentuk memahami perasaan orang lain semata, tetapi harus dinyatakan secara verbal dan dalam bentuk tingkah laku. Tiga tahap dalam berempati menurut Gazda (dalam Budiningsih, 2004: 48) adalah:

  a. Tahap pertama, mendengarkan dengan seksama apa yang diceritakan orang lain, bagaimana perasaannya, apa yang terjadi pada dirinya.

  b. Tahap kedua, menyusun kata-kata yang sesuai untuk menggambarkan perasaan dan situasi orang tersebut.

  c. Tahap ketiga, menggunakan susunan kata-kata tersebut untuk mengenali orang lain dan berusaha memahami perasaan serta situasinya. Indikator empati tersebut di atas, dapat di maknai bahwa berempati terdapat tahapan-tahapan yang harus dilakukan yaitu memahami perasaan orang lain dan menjadi pendengar yang baik ketika orang lain sedang berbagi cerita tentang permasalahannya. Memberikan respon berupa kata-kata atau ungkapan yang dapat menggambarkan situasi orang tersebut dan memahaminya sehingga orang lain akan merasa didengarkan serta di mengerti perasaannya.

3. Faktor Penunjang dan Penghambat Empati

  Empati sangat diperlukan oleh manusia agar dapat bersosialisasi secara baik dengan orang lain. Dalam berempati terdapat faktor penunjang dan penghambat untuk melakukannya. Sejalan dengan ini, Borba (2008: 17) menjelaskan secara khusus faktor penunjang dan penghambat dalam berempati seperti:

  4) Ketabuan mengungkapkan perasaan pada anak laki-laki, orang tua lebih sering mendiskusikan perasaan dan mengungkapkan emosinya kepada anak perempuan mereka.. 5) Kekerasan diusia balita.

  a. Faktor Penghambat Empati 1) Ketidakhadiran orang tua secara formal, banyaknya orang tua yang bekerja membuat mereka tidak memiliki waktu untuk bermain bersama dengan anaknya. 2) Ketiadaan keterlibatan ayah. 3) Kekerasan di media, adanya acara televisi, video, permainan dan internet yang menunjukkan kekerasan, kejahatan dan kekejaman dapat memengaruhi perilaku anak.

  b. Faktor Penunjang Empati Untuk meningkatkan empati dalam diri seseorang perlu adanya faktor

  • – faktor penunjang yang dapat menyebabkan empati menjadi meningkat. Berikut ini terdapat faktor-faktor penunjang empati yaitu: 1) Usia, sejalan dengan meningkatnya usia anak maka kemampuan memahami perspektif orang lain juga meningkat sehingga semakin bertambahnya usia anak cenderung lebih berempati.

  2) Gender, anak lebih berempati pada teman yang memiliki persamaan gender karena dianggap memiliki banyak persamaan. 3) Intelegensia, anak yang cerdas biasanya lebih mampu menempatkan diri untuk bersosialisasi dengan orang lain. 4) Pemahaman emosional, anak yang pintar mengekspresikan diri akan lebih mampu untuk memahami orang lain. 5) Orang tua yang berempati, anak selalu mencontoh perilaku dari orang tua sehingga orang tua harus menjadi tauladan yang baik sehingga empati dalam diri anak juga dapat meningkat. 6) Rasa aman secara emosional, anak yang mudah menyesuaikan diri akan lebih mudah juga untuk berempati 7) Temperamen, anak yang mudah bergaul akan lebih mudah untuk berempati 8) Persamaan kondisi, anak akan lebih mudah berempati terhadap orang yang memiliki kondisi yang sama dengannya. 9) Ikatan, anak lebih mudah berempati kepada orang tua atau temannya yang sudah memiliki hubungan yang dekat. Faktor penghambat dan penunjang empati di atas, dapat diketahui bahwa dalam meningkatkan empati dalam diri seseorang tidak semuanya berjalan dengan lancar, ada kendala dan ada penunjangnya. Faktor-faktor tersebut berkaitan satu sama lain sehingga dalam penerapan empati, penting untuk diperhatikan mengenai hal apa saja yang dapat menghambat empati seseorang dan yang dapat meningkatkannya.

4. Manfaat Empati dalam Kehidupan

  Ada beberapa manfaat yang dapat ditemukan dalam kehidupan pribadi dan sosial manakala mempunyai kemampuan berempati. Safaria (2005 : 78) menyebutkan empati memiliki beberapa manfaat diantaranya yaitu: a. Menghilangkan sikap egois, orang yang telah mampu mengembangkan kemampuan empati dapat menghilangkan sikap egois (mementingkan diri sendiri).

  b. Menghilangkan kesombongan, salah satu cara mengembangkan empati adalah membayangkan apa yang terjadi pada diri orang lain akan terjadi pula pada diri kita.

  c. Mengembangkan kemampuan evaluasi dan kontrol diri,pada dasarnya empati adalah salah satu usaha kita untuk melakukan evaluasi diri sekaligus mengembangkan kontrol diri yang positif.

  Manfaat empati di atas, dapat dimaknai bahwa empati memiliki manfaat-manfaat positif yang membuat kehidupan seseorang lebih terkontrol dan menjadi lebih baik. Dengan berempati seseorang dapat menghilangkan sikap-sikap buruknya seperti egois dan sombong.

  Berempati membuat seseorang menjadi lebih peka dan peduli terhadap lingkungan sosialnya sehingga sikap-sikap yang buruk tersebut dapat hilang dengan sendirinya.

  Berbeda dengan pendapat Davis dalam Howe (2015 : 324) yang mengemukakan manfaat empati terdiri dari: a. Individu

  • – individu yang baik dalam pengambilan perspektif, melihat dan mengakui perasaan dari sudut pandang orang lain akan membantu menjauhkan konflik sosial.

  b. Empati cenderung menghasilkan komunikasi yang lebih baik, lebih akurat dan lebih konstruktif.

  c. Empati membuat orang menjadi lebih baik budi, perhatian, dan cenderung bijaksana.

  d. Para empatisan yang baik cenderung mengevaluasi hubungan- hubungan mereka secara positif. Manfaat empati yang diungkapkan di atas, dapat diartikan bahwa dengan berempati seseorang akan cenderung berpikiran positif dalam menyelesaikan suatu permasalahan baik dalam keluarga maupun ingkungan sosialnya. Berempati membuat seseorang menjadi lebih memahami keadaan orang lain dan mampu mengkomunikasannya dengan lebih baik.

B. Lingkungan Sosial

  Lingkungan sosial menjadi tempat dimana seseorang melakukan interaksi dan komunikasi dengan orang lain. Lingkungan sosial berpengaruh terhadap sikap dan tingkah laku seseorang. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Dalyono (2010: 133) menyatakan lingkungan s osial adalah “semua orang yang mempengaruhi kita. Pengaruh lingkungan sosial ada yang diterima secara langsung dan ada yang tidak langsung. Pengaruh langsung seperti dalam pergaulan sehari-hari, seperti keluarga, teman-teman, kawan sekolah dan sepekerjaan dan sebagainya”.

  Pengertian lingkungan sosial seperti yang tercantum di atas, dapat diartikan bahwa lingkungan sosial menjadi tempat dimana seseorang melakukan interaksi dengan orang lain dalam masyarakat. Lingkungan sosial memiliki pengaruh dalam kehidupan seseorang dalam bersikap dan bertingkah laku, baik itu pengaruh dari keluarga, teman-teman di sekolah, pergaulan dalam masyarakat dan lain sebagainya.

  Lingkungan sosial merupakan salah satu faktor yang dapat membentuk sikap dan perilaku seseorang maupun kelompok dalam melakukan suatu tindakan. Pengaruh lingkungan sosial tidak hanya hal-hal yang positif saja, melainkan juga meliputi hal-hal negatif. Lingkungan sosial meliputi tiga aspek penting dalam kehidupan sehari-hari yaitu: 1.

   Lingkungan Sosial Keluarga

  Keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama kali dikenal oleh individu sejak lahir yang memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan seseorang. Sejalan dengan hal ini Dalyono (2010 : 130) berpendapat bahwa”Anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga berada umumnya akan menghasilkan anak yang sehat dan cepat pertumbuhan badannya dibandingkan dengan anak dari keluarga berpendidikan akan menghasilkan anak yang berpendidikan pula ”.

  Pendapat mengenai lingkungan sosial keluarga seperti tercantum di atas, dapat dimaknai bahwa keluarga memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membentuk tingkah laku serta kepribadian seseorang. Pada umunya keluarga dengan latar belakang yang baik akan menghasilkan anak yang memiliki kepribadian yang baik begitu pula sebaliknya, keluarga dengan latar belakang buruk dapat berdampak pada perilaku anak dan menghasilkan anak yang memiliki tingkah laku dan kepribadian yang kurang baik.

  Orang tua merupakan pendidik yang paling berperan dalam pertumbuhan serta perkembangan jiwa anak untuk membentuk akhlak dan perilakunya menjadi manusia yang saleh dan taat kepada kedua orang tua. Dilihat dari ajaran Islam, anak adalah amanah Allah yang wajib untuk dipertanggung jawabkan sehingga keluarga merupakan inti

  • – dari tanggung jawab itu. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Al Ghazali (dalam Iqbal, 2013: 76) menyatakan bahwa sesungguhnya tujuan terpenting dalam pembentukan keluarga sebagai berikut:

  1) Mendirikan syariat Allah dalam segala permasalahan rumah tangga. 2) Mewujudkan ketentraman dan ketenangan psikologis. 3) Mewujudkan sunnah Rasulullah SAW, dengan melahirkan anak-anak yang saleh sehingga umat manusia merasa bangga dengan kehadirannya. 4) Memenuhi cinta

  • – kasih saying anak – anak, naluri menyayangi anak merupakan potensi yang diciptakan bersama dengan penciptaan manusia dan binatang.

  Penjelasan mengenai pembentukan keluarga di atas, dapat diartikan bahwa orang tua merupakan faktor terpenting dalam pembentukan akhlak dan kepribadian seseorang didalam keluarga. Orang tua mendidik dan membesarkan anaknya dengan berpedoman pada syariat Allah sehingga dengan sangat mudah anak akan mengikuti dan mencontoh kebiasaan orang tua untuk hidup islami. Dalam keluarga, orang tua harus mewujudkan kehidupan yang harmonis dan bahagia pada anaknya, sehingga anak akan tumbuh dalam psikologis yang baik.

  Membimbing dan mendidik anak untuk berakhlak dan berperilaku baik akan mewujudkan salah satu sunnah Rasulullah SAW yaitu memiliki anak yang saleh. Selain itu, cinta-kasih saying dalam keluarga juga merupakan landasan penting untuk terciptanya akhlak dan perilaku anak yang saleh.

2. Lingkungan Sosial Sekolah

  Sekolah memiliki peran penting dalam pertumbuhan dan perkembangan siswa terutama dari segi kecerdasannya. Pernyataan tersebut diperkuat dengan pendapat Syah (2010: 135) yang menyatakan bahwa:

  Lingkungan sekolah seperti para guru, para tenaga kependidikan (kepala sekolah dan wakil-wakilnya) dan teman-teman sekelas dapat memengaruhi semangat belajar seorang siswa. Para guru yang selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang simpatik dan memperlihatkan suri teladan yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar, misalnya rajin membaca dan berdiskusi, dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar siswa.

  Pengertian lingkungan sosial sekolah di atas, dapat dimaknai bahwa lingkungan sekolah memiliki peran penting dalam pertumbuhan dan perkembangan siswa khususnya pada tingkat kecerdasannya. Kepala sekolah, guru serta siswa yang lain dapat mempengaruhi semangat belajar siswa. Ketika guru terbiasa mencontohkan hal-hal yang baik kepada siswanya, maka dengan sendirinya siswa akan mengikuti perilaku gurunya. Hal ini diharapkan mampu menjadi nilai positif yang dapat di tanamkan dalam diri siswa sehingga juga dapat berdampak pada prestasi siswa di sekolah.

  Proses belajar mengajar di sekolah juga harus mengutamakan

  • – etika serta akhlak dalam berperilaku baik dari guru maupun murid. Al Ghazali (dalam Iqbal, 2013: 90) menyatakan bahwa dalam kitab Ihya’ Ulumuddin terdapat beberapa etika murid yang dapat dikemukakan sebagai berikut:

  1) Seorang murid harus membersihkan jiwanya terlebih dahulu dari akhlak yang buruk dan sifat-sifat tercela. 2) Seorang murid hendaknya tidak banyak melibatkan diri dalam urusan duniawi. 3) Seorang murid jangan menyombongkan diri dengan ilmu yang dimilikinya dan jangan pula menentang guru, tetapi menyerahkan sepenuhnya kepada guru dengan menaruh keyakinan penuh terhadap segala hal yang dinasehatkannya, sebagaimana orang sakit yang bodoh yakin kepada dokter yang ahli dan berpengalaman. 4) Bagi murid permulaan, janganlah melibatkan dan mendalami perbedaan pendapat para ulama. 5) Seorang murid janganlah berpindah dari suatu ilmu yang terpuji kepada cabang

  • – cabangnya kecuali ia sudah mendalami dan memahami ilmu – ilmu sebelumnya.

  Penjelasan etika siswa di atas, dapat dimaknai bahwa sorang siswa harus memiliki akhlak yang baik dan perilaku terpuji, hal karena ilmu merupakan ibadah hati sehingga dalam penerapannya haruslah menggunakan jiwa yang bersih. Seorang siswa tidak boleh terlalu larut dalam urusan duniawi karena dalam menuntut ilmu haruslah dengan usaha serta keyakinan yang sungguh-sungguh sehingga pikiran serta hati tidak terbagi-bagi. Siswa tidak boleh sombong hati dan berani melawan gurunya sebab guru merupakan sumber utama dimana ilmu akan diperoleh oleh siswa, sehingga siswa harus bersikap baik dan hormat kepada gurunya. Bagi siswa pemula, tidak dianjurkan untuk mencampurkan perbedaan-perbedaan pendapat guru/ulama lainnya karena dapat mengakibatkan pikiran menjadi kacau dan susah untuk menerapkan ilmu yang sudah didapat, sehingga alangkah lebih baiknya siswa belajar sesuai dengan petunjuk guru terlebih dahulu. Setelah itu, barulah siswa dapat mendengar pendapat-pendapat serupa lainnya. Lebih labjur, siswa tidak di anjurkan untuk berpindah-pindah cabang ilmu kecuali dia sudah memahami ilmu tersebut, karena dikhawatirkan pemahaman siswa tentang ilmu yang sudah dipelajari menjadi kurang maksimal.

3. Lingkungan Sosial Masyarakat

  Lingkungan sosial masyarakat meliputi tetangga dan teman-teman sepermainan di sekitar tempat tinggal siswa. Kondisi masyarakat dimana siswa tinggal dapat menjadi faktor yang mempengaruhi perilaku siswa. Dalyono (2010 : 131) menyatakan bahwa “masyarakat adalah lingkungan tempat tinggal anak. Mereka juga termasuk teman-teman anak tapi di luar sekolah. Di samping itu, kondisi orang-orang di desa atau kota tempat ia tinggal juga turut mempengaruhi perkembangan jiwanya”.

  Pengertian lingkungan sosial masyarakat seperti tercantum di atas, dapat dimaknai bahwa kondisi masyarakat dapat mempengaruhi perilaku siswa. Siswa yang tinggal di lingkungan yang baik akan menjadikan siswa tumbuh dengan perilaku yang baik juga. Misalnya siswa yang tumbuh dalam lingkungan yang baik, akan selalu menghormati dan menghargai orang yang lebih tua di lingkungannya.

  Hal ini karena dalam lingkungan masyarakat yang baik, anak dituntut untuk dapat saling menghormati antara teman sebaya dan juga orang yang lebih tua. Kebiasaan ini akan selalu terbawa ketika mereka berada di lingkungan lainnya. Berbeda dengan siswa yang tumbuh di lingkungan yang negatif, sifat dan perilaku siswa juga akan negatif karena terbawa oleh lingkungannya yang kurang baik.

C. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar

  Karakteristik siswa perlu dipahami karena dapat berpengaruh pada proses pembelajaran di sekolah. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Budinigsih (2004: 16) menyatakan bahwa “Pemahaman tentang karakteristik siswa bertujuan untuk mendeskripsikan bagian-bagian kepribadian siswa yang perlu diperhatikan untuk kepentingan rancangan pembelajaran”.

  Pernyataan karakteristik siswa di atas, dapat dimaknai bahwa dengan memahami secara mendalam mengenai karakteristik siswa maka dapat memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran dikelas. Ilmu yang diberikan akan lebih mudah diterima siswa karena guru sudah memahami bagaimana karakteristik masing-masin siswanya.

  Masa siswa sekolah dasar disebut juga masa anak. Pada masa ini anak sudah merasa besar dan tidak mau lagi dianggap sebagai anak-anak kecil.

  Anak tersebut sudah lepas dari lembaga pendidikan dasar (TK). Anak ini sudah ingin memperoleh kecakapan-kecakapan baru yang diperoleh dalam sekolah maupun saat bermain. Anak pada masa kanak-kanak akhir sudah memiliki lingkungan pergaulan yang semakin luas sehingga sudah banyak bergaul dengan orang-orang diluar rumah, yaitu teman bermain disekitar rumah dan teman di sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasution (dalam Djamarah, 2002: 89) bahwa:

  Usia 6 tahun adalah usia yang sudah dianggap matang untuk siswa pertama kalinya masuk dalam dunia pendidikan formal yaitu di sekolah dasar. Saat memasuki masa usia sekolah dasar, siswa akan mulai mengubah pola pikirnya, sikapnya serta perilakunya sebab pada fase ini siswa akan menyesuaikan diri lagi dengan lingkungan sekitarnya.

  Karakteristik siswa sekolah dasar di atas, dapat diartikan bahwa pada masa usia 6 tahun seseorang pertama kalinya menerima pendidikan formal di sekolah yaitu sekolah dasar. Ketika sudah masuk pada pendidikan di sekolah dasar, siswa sudah di anggap sudah siap untuk menerima dan memperoleh ilmu pengetahuan secara formal. Pada masa sekolah ini, siswa melakukan adaptasi lagi dengan lingkungan sosialnya sehingga akan mengubah sikap dan perilakunya.

  Masa usia sekolah dasar memiliki fase-fase yang dapat dibedakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Suryobroto (dalam Djamarah, 2002: 90) bahwa masa-masa sekolah dasar dapat dibedakan menjadi dua fase, yaitu:

  1. Masa Kelas-Kelas Rendah Sekolah Dasar Beberapa sifat khas siswa pada masa ini antara lain adalah seperti yang disebutkan dibawah ini: a. Memilikiketerkaitan hubungan antara pertumbuhan jasmani dengan prestasi siswa di sekolah.

  b. Lebih menyukai peraturan-peraturan permainan tradisional.

  c. Kecenderungan untuk memuji diri sendiri. d. Senang memnbanding-bandingkan dirinya dengan siswa lain.

  e. Jika kesulitan menyelesaikan soal, maka soal tersebut akan di remehkan dan dianggap tidak penting.

  f. Pada masa ini, siswa selalu ingin terlihat unggul dengan nilai- nilai rapor yang tinggi tanpa melihat kemampuan dari dirinya sendiri. Pernyataan masa kelas rendah di atas, dapat dimaknai bahwa pada fase kelas rendah, siswa memiliki sikap dan perilaku tertentu yang mencerminkan pertumbuhannya sesuai dengan usia mereka. Fase kelas rendah adalah fase saat siswa memiliki korelasi positif antara pertumbuhan jasmani dengan prestasinya disekolah dimana semakin bertumbuhnya siswa akan semakin mempengaruhi prestasi belajarnya. Kecenderungan ingin memiliki nilai-nilai dan prestasi belajar yang baik supaya siswa terlihat unggul dan layak untuk menerima pujian dari orang lain tanpa melihat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai yang baik atau tidak. Selain itu, siswa pada fase kelas rendah gemar membandingkan dirinya dengan siswa lain baik dari segi fisik maupun prestasi akademik sehingga siswa tersebut merasa lebih hebat dari siswa lain. Sikap dan perilaku siswa pada fase kelas rendah lebih terfokus pada keinginan untuk mementingkan dirinya sendiri dan kurang peduli terhadap lingkungan sosialnya misalnya saat siswa tidak bisa mengerjakan soal, maka soal itu dianggap tidak penting.

  2. Masa Kelas-Kelas Tinggi Sekolah Dasar Beberapa sifat khas anak-anak pada masa ini adalah sebagai berikut.

  a. Adanya kecenderungan menyukai pekerjaan-pekerjaan yang lebih praktis dan mudah.

  b. Rasa ingin tahu yang tinggi dengan selalu ingin belajar dan berpikir realistis.

  c. Mulai bisa memilih pelajaran-pelajaran khusus yang digemari. d. Sampai kira-kira umur 11 tahun anak membutuhkan bimbingan dari orang dewasa.

  e. Pada masa ini siswa mulai senang membuat kelompok bermain dengan membuat peraturan sendiri dalam permainan tersebut. Masa kelas tinggi seperti diungkapkan di atas, dapat diartikan bahwa pada fase kelas tinggi siswa memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan pertumbuhannya pada usia tersebut. Rasa ingin tahu lebih besar, siswa memiliki kecenderungan untuk selalu ingin tahu, ingin belajar dan penasaran tentang hal-hal yang terdapat pada lingkungan sekitarnya. Selain itu mulai muncul minat untuk menyukai hal-hal khusus contohnya seperti memilih mata pelajaran yang disenangi di sekolah hingga kira-kira umur 11 tahun siswa mulai membutuhkan peran orang yang lebih tua untuk membimbingnya dalam kehidupan sehari-hari baik itu guru, orang tua, maupun orang yang lebih dewasa darinya.

D. Penelitian Relevan

  Penelitian dilaksanakan oleh Muhammad Iqbal Ansari pada tahun 2015 yang berjudul “Strategi Sistem Full Day School dalam Membentuk Empati Siswa”. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa perilaku empati bisa dibentuk dengan menggunakan strategi sistem full day

  school . Beberapa kegiatan dalam pelaksanaan full day school seperti

  memakan jatah makan masing-masing, berbagi makanan antar siswa, selalu mengantri ketika berwudhu, infaq hari jumat, kunjungan ke panti asuhan dll, merupakan tujuan dari pihak sekolah untuk membentuk empati siswa.

  Beberapa kegiatan tersebut telah berhasil membentuk empati siswa. Jenis penelitian ini adalah kualitatif.

  Penelitian dilaksanakan oleh Ela Destiyana pada tahun 2016 dengan judul “Upaya Meningkatkan Sikap Empati Melalui Metode Storytelling Pada Siswa SD Negeri Caturtunggal 3 Depok”. Penelitian dilakukan dalam dua siklus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku empati dapat ditingkatkan melalui metode storytelling. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil presentase rata-rata skor pre test, post test 1dan post test II yang mengalami peningkatan dari 58,89% menjadi 74,76% dan meningkat lagi menjadi 72,29%. Interpretasi hasil observasi dan wawancara menunjukkan siswa telah mampu memunculkan sikap empati. Analisis data menggunakan data menggunakan data kuantitatif dan kualitatif.

  Penelitian dilaksanakan oleh Leyla Ulus pada tahun 2015 dengan judul “Empathy and Forgiveness Relationship” yang menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun ini terdapat perbedaan yang signifikan antara toleransi dalam hubungan sehingga menyebabkan empati berkurang. Penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan bahwa terdapat keterkaitan antara empati dan pemberian maaf pada individu dalam suatu hubungan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2001, 2002 dan 2009 terdapat pertimbangan penelitian yang menunjukkan bahwa hal itu mempengaruhi tingkat empati seseorang terhadap orang lain dan pemberian maaf antara individu dalam hubungan.

  Penelitian dilaksanakan oleh Rosmawati dengan judul

  “Analysis of the Empathy Attitude of Guidance and Counseling Students (FKIP) in the Riau University ”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keseluruhan

  gambaran tentang empati siswa terhadap bimbingan dan konseling, mengetahui tentang empati melalui jenis kelamin siswa, mengetahui empati melalui tempat tinggal siswa dan mengetahui tentang empati dari demokrasi yang orang tua siswa lakukan. Penelitian menggunakan skala empati seperti sangat tinggi, tinggi, rendah dan sangat rendah. Hasil penelitian membuktikan bahwa empati baik tentang gender, dimana siswa tinggal, atau otokrasi atau demokrasi orang tua berada pada kategori yang lebih tinggi. Penelitian ini adalah deskriptif.

  Adanya fakta - fakta diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku empati merupakan faktor penting dalam proses pembelajaran maupun sosialisasi dengan sesama. Upaya mengembangkan perilaku empati telah dilakukan dengan menggunakan berbagai metode. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini lebih mengkaji dan mencari tahu lebih dalam mengenai seberapa besar empati siswa di sekolah, faktor-faktor yang mempengaruhi empati siswa dan peran guru dalam menanamkan empati siswa di sekolah.

E. Kerangka Berpikir

  Peneliti melakukan penelitian tentang analisis perilaku empati siswa terhadap lingkungan sosial di MI Muhammadiyah Sidamulya Kemranjen. Pada pendidikan, proses belajar mengajar tidak hanya sebatas tentang ilmu dan pengetahuan saja namun juga sebagai sarana dalam menanamkan nilai dan tata krama ke dalam diri siswa sehingga dapat membentuk watak serta perilaku yang lebih baik. Empati merupakan suatu bentuk perilaku yang dapat terinternalisasi dalam diri siswa. Keberhasilan suatu pendidikan tidak hanya terfokus pada nilai kognitif dan psikomotorik saja namun juga harus diimbangi dengan nilai aektif. Berempati dapat meningkatkan nilai afektif karena dengan berempati seseorang menjadi lebih peka, peduli, menghormati dan menghargai satu sama lain sehingga nilai dan tata karma dapat terjaga dengan baik.

  Keluarga Lingkungan

  Sekolah Empati

  Sosial Perilaku yang baik