Analisis Industri Jamu sebagai Industri Warisan Budaya.

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII
Denpasar 10 – 12 Oktober 2014

ISSN : 2086 - 0390

ANALISIS INDUSTRI JAMU SEBAGAI INDUSTRI WARISAN BUDAYA
Oleh :
Jahja Hamdani Widjaja
- Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT
Jamu is Indonesian distinctive herbs as well as a kind of Indonesian cultural
heritage that could be a source of jamu firm’s competitive advantage in global
market. Global issue such as ‘back to nature’ has given a wide range of
opportunities for jamu business further development. But, the real situation in
Indonesia now is just as the opposite. There are some obstacles, both endogenous as
well as exogenous, that threatened the sustainability of jamu industry. This paper
was based on an explorative study which conducted literature study as well as field
study to capture current phenomena in jamu industry and aimed to suggest further
development of jamu industry. This research concluded some suggestions for both
firms as players in jamu industry as well as government as industry regulator.
Keywords:


industrial analysis, competitive advantage, sustainability.

1

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII
Denpasar 10 – 12 Oktober 2014

ISSN : 2086 - 0390

1. PENDAHULUAN
Bisnis adalah inidividu atau organisasi yang berupaya mendapatkan laba dengan cara
menyediakan produk yang memuaskan kebutuhan masyarakat [1]. Bisnis harus mampu
menemukan apa yang diinginkan pelanggan, bagaimana cara penyajiannya, bagaimana
perusahaan mengatur diri untuk dapat memenuhi keinginan tersebut, dan mendapatkan
pembayaran yang akan menghasilkan laba bagi perusahaan [2]. Dengan demikian terdapat
dua aktivitas utama bagi bisnis yaitu mencipta nilai bagi pelanggan dan menangkap nilai
(laba) [3]. Aktivitas mencipta nilai mencakup mulai dari penyediaan bahan baku, pembuatan
produk, hingga terciptanya kepuasan konsumen akhir. Penangkapan nilai mencakup
bagaimana perusahaan mendapatkan nilai bagi dirinya hasil dari aktivitas-aktivitas
penciptaan nilai bagi konsumen.

Namun, bisnis ternyata tidak hanya melihat dua buah, wirausaha dan pasar, saja.
Kinerja perusahaan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di mana perusahaan itu berada [4],
seperti pesaing, produk substitusi, bahkan kebijakan pemerintah dan dinamika sosiobudaya.
Keberhasilan suatu perusahaan sangat bergantung pada kemampuannya untuk memberi
respon yang tepat terhadap tuntutan-tuntutan lingkungannya [5]. Hal ini berlaku pula bagi
perusahaan jamu.
Jamu merupakan produk warisan budaya Indonesia [6] yang dapat digunakan baik
untuk perawatan kesehatan maupun untuk perawatan kecantikan (kosmetika) [7]. Kategori
sebagai warisan budaya terhadap jamu didasarkan pada fenomena bahwa pada awalnya
penggunaan jamu didasarkan pada kebiasaan yang ada di masyarakat. Secara peraturan, jamu
untuk perawatan kesehatan dibedakan dari kosmetika. Industri kosmetika secara relatif
memiliki aturan yang lebih mudah daripada industri kesehatan, karena produk kosmetika
lebih bersifat penggunaan di luar tubuh manusia. Sedangkan, jamu untuk kesehatan diatur
secara lebih ketat karena merupakan penggunaan di dalam tubuh (dikonsumsi). Dengan
demikian, kondisi industri jamu kesehatan memiliki tingkat kompleksitas yang lebih tinggi
daripada industri kosmetika.
Penelitian ini lebih fokus pada industri jamu untuk kesehatan dan bertujuan untuk
mengungkap kondisi industri jamu serta memberikan masukan bagi perkembangan
selanjutnya. Industri jamu dipilih karena merupakan industri khas Indonesia yang semestinya
memiliki keunggulan bersaing dibandingkan industri oat farmasi. Bahkan, industri jamu

dapat menjadi cikap bakal berkembangnya industri biofarmasi [8]. Namun, kenyataan di
lapangan saat ini cenderung sebaliknya. Selain kurang memiliki arah yang jelas tentang
perkembangannya ke depan, industri jamu saat ini mendapat tantangan kuat akibat perubahan
lingkungan industri baik dari sisi pasar, pemerintah maupun pelaku industri.

2. METODE PENELITIAN
Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah apa dan bagaimana kondisi industri
jamu yang merupakan produk warisan budaya Indonesia. Berdasarkan pertanyaan penelitian
tersebut maka penelitian ini merupakan penelitian eksplorasi dan eksplanasi [9] dengan
menggunakan sumber data beragam baik primer maupun sekunder. Selain studi literatur
maka peneliti juga melakukan wawancara mendalam dengan pengurus Gabungan Pengusaha

2

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII
Denpasar 10 – 12 Oktober 2014

ISSN : 2086 - 0390

Jamu maupun pengurus Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia Jawa Barat untuk

mendapatkan gambaran yang lebih akurat tentang industri jamu.
Populasi dalam penelitian ini adalah industri jamu. Sedangkan sampel dalam penelitian ini
adalah perusahaan jamu, distributor jamu, dan organisasi Gabungan Pengusaha Jamu.
3. LANDASAN TEORI
3.1 Manajemen Strategik
Studi manajemen strategik fokus untuk mencari dan menjelaskan faktor-faktor apa
yang mempengaruhi kinerja perusahaan [10]. Manajemen strategik dipahami sebagai
serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang mempengaruhi kinerja perusahaan
dalam jangka panjang [11]. Untuk mendapatkan keputusan dan tindakan manajerial yang
tepat maka [11] mengusulkan model dasar manajemen strategik yang diawali oleh
pemindaian lingkungan, formulasi strategi, implementasi strategi, dan evaluasi serta
pengendalian (gambar 1.)

Gambar 1. Model Dasar manajemen Strategi
Wheelen dan Hunger (2005)
Pemindaian lingkungan merupakan aktivitas memonitor, mengevaluasi, dan
menyebarkan informasi tentang lingkungan eksternal maupun internal kepada orang kunci
dalam perusahaan [11]. Lingkungan eksternal merupakan kekuatan-kekuatan yang berada di
luar organisasi dan dalam jangka pendek cenderung di luar kendali perusahaan serta lebih
banyak memberi pengaruh bagi perusahaan daripada dipengaruhi oleh perusahaan.

Lingkungan internal merupakan merupakan kekuatan-kekuatan yang berada di dalam
perusahaan dan dalam jangka pendek cenderung berada di dalam kendali perusahaan serta
lebih banyak ditentukan oleh perusahaan daripada mempengaruhi perusahaan.
Agar suatu perusahaan dapat meningkatkan kinerja maka menurut [12] perusahaan tersebut
perlu memiliki strategi. Strategi merupakan upaya sadar dan sistematis dari perusahaan untuk
membedakan dirinya dari para pesaing di pasar. Untuk melakukan hal ini maka perusahaan
perlu terlebih dahulu melihat ke pasar dan menentukan posisi strategiknya. Posisis strategik
ini semestinya harus memiliki kesesuaian dengan kapabilitas, kompetensi maupun sumber
daya yang dikuasai oleh perusahaan.
3.2 Teori Adaptasi Organisasional Terhadap Lingkungan
Setiap organisasi berada dalam suatu lingkungan yang memberikan konteks
bertumbuh atau merosot serta memberi tekanan dan peluang pada organisasi tersebut [4].
Lingkungan merupakan suatu kondisi yang mengelilingi sebuah organisasi [13]. Lingkungan
berperan sebagai penyedia berbagai sumber daya yang dibutuhkan organisasi untuk
beroperasi dan juga sebagai penyerap output yang dihasilkan oleh organisasi. Untuk itu,
eksekutif puncak maupun para staf perusahaan dituntut untuk memahami tuntutan-tuntutan
lingkungannya [14].

3


Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII
Denpasar 10 – 12 Oktober 2014

ISSN : 2086 - 0390

Lingkungan organisasi terdiri dari dua elemen, yaitu kekuatan eksternal dan kekuatan
internal ([15]; [11]). Menurut [15], terdapat lima kategori besar dalam kekuatan eksternal
organisasi, yaitu (1) kekuatan politik, meliputi kondisi politik, sikap pemerintah, kebijakan
pemerintah, regulasi dan deregulasi, undang-undang dan berbagai peraturan; (2) kekuatan
ekonomi, meliputi tren PDB, suku bungan, pasokan uang, tingkat inflasi, tingkat
pengangguran, biaya dan ketersediaan energi, disposable income dan discretionary income,
pasar barang, uang dan saham; (3) kekuatan sosial budaya, meliputi gaya hidup, tingkat
pertumbuhan penduduk, distribusi usia penduduk, perilaku penduduk, kondisi lingkungan; (4)
kekuatan teknologi, meliputi produk baru, perlindungan paten, perkembangan baru dalam
transfer teknologi, total belanja pemerintah dalam penelitian dan pengembangan, besar
belanja industri/swasta dalam penelitian dan pengembangan; (5) kekuatan persaingan,
meliputi ancaman pendatang baru, ancaman produk substitusi, daya tawar menawar pemasok,
daya tawar menawar pelanggan, dan persaingan antar pemain yang telah ada di industri.
Kekuatan-kekuatan eksternal ini mampu mengubah permintaan konsumen terhadap barang
dan jasa dalam hal jumlah, tipe, karakteristik. Sebagai contoh dalam industri jamu, sikap

pemerintah yang membiarkan produk jamu asing melakukan penetrasi pasar dan tidak
melakukan pembinaan terhadap perusahaan jamu lokal menyebabkan penurunan citra jamu
dan memperkuat citra jamu asing.
Untuk menghadapi berbagai kekuatan lingkungan yang mempengaruhi kinerja
maupun keberadaan/keberlangsungan perusahaan maka perusahaan perlu mengembangkan
kemampuan untuk beradaptasi. [11] menjelaskan beberapa teori terkait adaptasi
organisasional yaitu, theory of population ecology, institution theory, the strategic choice
perspective, dan organizational learning theory. Menurut theory of population ecology [16]
ketika sebuah organisasi berhasil melakukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan tertentu
maka organisasi tersebut akan mengalami kelembaman untuk beradaptasi lebih lanjut.
Akibatnya ketika terjadi perubahan lingkungan maka organisasi tersebut akan tergantikan
oleh organisasi lainnya yang lebih mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang
ada. Teori ini belum menjelaskan apa yang dilakukan perusahaan ketika mereka melakukan
adaptasi.
Menurut institution theory ([17]; [18]), suatu organisasi melakukan adaptasi terhadap
perubahan lingkungan dengan cara meniru organisasi lain yang telah berhasil mengatasi
perubahan tersebut. Namun, teori ini tidak menjelaskan bagaimana awal mula suatu
organisasi melakukan adaptasi sebelum ada organisasi lain yang berhasil melakukan adaptasi.
Untuk itu, the strategic choice perspective [19] menjelaskan bahwa terdapat peran manajer
organisasi untuk mengambil keputusan strategis yang rasional dalam rangka melakukan

adaptasi, bahkan mencari peluang dan kekuatan untuk membentuk lingkungan mereka. Hal
ini juga didukung oleh organizational learning theory [20]. Menurut organizational learning
theory, suatu organisasi melakukan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan untuk
mempertahankan diri dan menggunakan pengetahuan untuk meningkatkan kemampuan
organisasi dalam menghasilkan kesesuaian antara organisasi dengan lingkungannya.

4

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII
Denpasar 10 – 12 Oktober 2014

ISSN : 2086 - 0390

4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Latar Belakang Industri Kesehatan
Sistem pelayanan kesehatan di berbagai tempat di dunia umumnya diawali oleh
pengobatan tradisional [21]. Misalnya, di kawasan Asia, telah lama dikenal adanya
Traditional Chinese Medicine di Cina [22], di India dikenal adanya Ayurveda [23], dan di
Indonesia dikenal adanya jamu ([24]; [7]). Di Eropa maupun Amerika juga dikenal adanya
homeopathy [25]. Namun, dengan berjalannya waktu dan perkembangan ilmu pengetahuan

maka pengobatan tradisional ini mulai tergeser oleh pengobatan modern (farmasi) [26].
Kemudian, dengan munculnya penggunaan bioteknologi sekitar tahun 70-an [27] maka mulai
dikenal adanya biofarmasi [28].
4.2 Kajian Umum Industri Jamu
Industri pengobatan tradisional masih berperan dalam industri pengobatan modern.
Hal ini terlihat dari industri jamu atau herbal medicine [29] mampu menguasai bagian pasar
yang cukup besar dalam industri farmasi [30] dan memiliki peran penting dalam kesehatan
global [21]. Industri jamu memiliki beberapa karakteristik seperti mengandalkan tanaman
sebagai sumber obat-obatan, penggunaan tanaman sebagai obat didasarkan pada pengalaman
praktis (empirical knowledge), serta keterbatasan untuk memasukan jamu tradisional ke
dalam kebijakan obat nasional [30].
Dalam konteks industri pengobatan modern, industri jamu merupakan cikal bakal
perkembangan industri biofarmasi [8]. Namun, produk industri jamu sering mengalami
kesulitan untuk dimasukkan dalam kebijakan obat nasional [30]. Hal ini disebabkan oleh
penggunaan tanaman sebagai obat didasarkan pada pengalaman praktis (empirical
knowledge) [30] sehingga kualitas, keamanan dan kemanjuran produk industri jamu masih
sering diragukan ([8]; [30]). Akibatnya, walaupun produk industri jamu telah dikenal baik di
negara maju maupun negara sedang berkembang, namun pengakuan maupun penerimaan
masyarakat terhadap produk industri jamu masih sangat beragam.
Di negara sedang berkembang, secara umum produk industri jamu cenderung menggantikan

produk farmasi yang relatif lebih mahal ([30]; [7]). Di Eropa, produk industri jamu telah
diakui dan diatur secara formal sebagai bagian dari industri farmasi. Sedangkan di Amerika
Serikat, produk industri jamu masih dianggap sebagai produk suplemen makanan (dietary
supplement) dan kemanjurannya tidak diakui [30]. Untuk itu, WHO mengadakan program
berupa The Traditional Medicine Program, yang mengupayakan adanya harmonisasi dalam
hal penyediaan informasi ilmiah yang akurat dan terkini tentang penggunaan produk industri
jamu. Diharapkan melalui program ini maka kualitas, keamanan dan kemanjuran produk
industri jamu menjadi terjamin sehingga produk industri jamu dapat dipergunakan di seluruh
dunia [30].
Industri obat tradisional, sebagai cikal bakal industri biofarmasi, perlu memperhatikan
perkembangan atau fenomena yang terjadi dalam industri bioteknologi [8]. Bioteknologi
merupakan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap organisme hidup dengan
menggunakan/mengubah material hidup maupun tidak hidup untuk menghasilkan
pengetahuan, barang dan jasa [31], dan biasanya melibatkan pemrosesan secara alamiah [28].
Bioteknologi memungkinkan terjadinya kemajuan secara signifikan dalam kesehatan manusia
dan ternak, pertanian, industrial processing, dan area-area aplikasi lainnya. Produk industri

5

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII

Denpasar 10 – 12 Oktober 2014

ISSN : 2086 - 0390

jamu dengan memperhatikan berbagai tuntutan dalam industri bioteknologi diharapkan
menghasilkan revolusi dalam terapi pengobatan [32].
Industri bioteknologi merupakan elemen kritis bagi pertumbuhan ekonomi negara dan
kawasan [33]. Bioteknologi merupakan bisnis yang mendasarkan pada ilmu pengetahuan
(science-based business) ([32]; [34]; [27]; [35]) dan menjembatani ilmu pengetahuan dasar
dan ilmu pengetahuan terapan untuk menghasilkan obat baru yang berharga [32]. Bisnis
berbasis ilmu pengetahuan merupakan fenomena baru [32] karena menggabungkan domain
universitas atau lembaga penelitian sebagai institusi non laba yang memiliki misi untuk
memajukan ilmu pengetahuan dasar dan domain bisnis yang melakukan komersialisasi hasil
riset tadi dalam bentuk pengembangan produk atau jasa untuk menangkap nilai dari
pengetahuan yang diciptakannya. Hal ini diwujudkan dalam bentuk kerja sama antara
perusahaan bioteknologi dan universitas maupun lembaga riset publik dan swasta lainnya.
Universitas atau lembaga riset publik dan swasta lainnya melakukan riset dengan didukung
dana dari perusahaan bioteknologi dan hasilnya menjadi milik perusahaan bioteknologi untuk
dikembangkan lebih lanjut menjadi produk atau jasa. Ketika perusahaan bioteknologi dapat
menghasilkan produk atau jasa baru maka mereka akan mempatenkan hal tersebut dan
menjual hak paten tersebut ke perusahaan farmasi yang sudah mapan untuk diproduksi secara
massa.
Sebagai contoh, perusahaan bioteknologi di India menerapkan model bisnis berupa
platform, product, hybrid atau vertical integrated [36]. Model bisnis platform merujuk pada
perusahaan bioteknologi yang mengembangkan seperangkat peralatan atau teknologi
terintegrasi dan fokus pada pengembangan riset dasar dan pengembangan pra klinis. Model
bisnis product merujuk pada perusahaan bioteknologi yang menawarkan produk seperti
vaksin, terapi obat dan produk diagnostik, yang dibuat berdasarkan teknologi baru yang
dimiliki atau sudah ada. Model bisnis hybrid merupakan kombinasi antara model bisnis
platform dan product dengan menawarkan jasa dalam bentuk kontrak riset atau kontrak
produksi berdasarkan teknologi-teknologi yang diketahui. Model bisnis vertical integrated
mengacu pada perusahaan bioteknologi yang menawarkan penciptaan nilai dalam rentang
paling luas, sejak pengembangan obat hingga akhir studi klinis dan mendapatkan persetujuan,
baik dilakukan sendiri maupun melalui outsourcing. Selain itu, pengembangan perusahaan
bioteknologi juga membutuhkan dukungan modal usaha (venture capital) dan kerja sama
intim antara universitas dan perusahaan bioteknologi ([36]; [32]).
Perusahaan bioteknologi sering mengalami kerugian akibat menanggung resiko dalam
melakukan riset dan pengembangan [32]. Resiko ini disebabkan oleh tiga karakteristik riset
dan pengembangan obat yang berbeda dengan riset dan pengembangan dalam industri
berteknologi tinggi lainnya. Karakteristik pertama dari riset dan pengembangan obat adalah
riset dan pengembangan obat selalu memiliki ketidakpastian yang tinggi. Hal ini dipicu oleh
keterbatasan pengetahuan tentang sistem biologi dan proses biologi manusia. Ketika riset dan
pengembangan untuk menghasilkan obat dilakukan maka tidak ada kepastian bahwa obat
yang dihasilkan nantinya pasti akan mujarab. Berdasarkan pengalaman maka tercatat hanya 1
dari sekitar 6000 senyawa/campuran sintetis berhasil masuk ke pasar, hanya 10% - 20% dari
kandidat obat yang mulai menjalani uji klinis akhirnya berhasil disetujui untuk dijual secara
komersial, dan untuk obat baru memasuki pasar dibutuhkan waktu antara 10 – 12 tahun.
Resiko ini memunculkan masalah berupa terbatasnya modal usaha (venture capital) yang

6

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII
Denpasar 10 – 12 Oktober 2014

ISSN : 2086 - 0390

mau membiayai perusahaan bioteknologi karena sulitnya mengukur tingkat kebutuhan
investasi atas proyek riset dan pengembangan obat yang sedang berjalan dan sulitnya
memastikan tingkat keberhasilan riset dan pengembangan obat.
Karakteristik kedua dari riset dan pengembangan obat adalah riset pengembangan
obat tidak bisa menerapkan prinsip modularitas dengan perencanaan real options untuk
memperkecil kerugian [32]. Untuk itu dibutuhkan adanya sejumlah pakar/spesialis
independen yang mengintegrasikan pekerjaan mereka melalui aliansi, persetujuan lisensi dan
kolaborasi [32]. Namun, hal ini sulit dilakukan karena kekayaan intelektual dalam riset dan
pengembangan obat sulit dikodifikasi dan hak terhadap kekayaan intelektual dalam riset dan
pengembangan obat tidak jelas dan sulit dilindungi [32]. Kesulitan kodifikasi maupun
perlindungan hak atas kekayaan intelektual dalam riset dan pengembangan obat disebabkan
oleh belum adanya pedoman yang diidentifikasi secara baku.
Karakteristik ketiga dari riset dan pengembangan obat adalah sulitnya dilakukan
collective learning karena kebanyakan pengetahuan yang digunakan dalam mendukung
sektor biofarmasi bersifat tacid dan intuitif [32]. Penemuan obat, selain didorong oleh
kemajuan ilmu pengetahuan, juga didorong oleh pertimbangan/pendapat, naluri, dan
pengalaman. Untuk itu dibutuhkan adanya akumulasi pembelajaran yang didapatkan dari
eksperimen-eksperimen yang dibagikan guna menghasilkan collective wisdom [32].
Berdasarkan uraian tentang kondisi industri bioteknologi di atas maka kemajuan
bioteknologi membutuhkan dukungan berupa pendanaan dari investor (pasar saham),
kapasitas wirausaha dari ilmuwan dan insinyur yang melakukan riset dan pengembangan
obat, dorongan kuat dari industri farmasi untuk membeli paten yang dihasilkan oleh industri
bioteknologi ([34]; [26]), dorongan untuk melakukan integrasi vertikal yang menghubungkan
keahlian tehnikal dan keahlian fungsional [32] dan kolaborasi yang lebih fokus, dekat dan
bersifat jangka panjang antara universitas dan perusahaan bioteknologi ([35]; [32]).
Segmen terbesar dari industri bioteknologi adalah industri biofarmasi ([36]; [37]). Industri
biofarmasi menghasilkan produk medis yang bersifat alamiah dan diproduksi dengan
menggunakan bioteknologi [28]. Industri jamu dapat dikategorikan sebagai industri
biofarmasi karena menghasilkan produk yang terkait dengan kesehatan atau pengobatan [7].
4.3 Gambaran Khusus Industri Jamu Indonesia
Jamu di Indonesia didefinisikan sebagai obat ramuan tradisional berbahan tumbuhan,
hewan, mineral, sediaan sarian, atau campuran dari bahan tersebut yang penggunaannya
mengacu pada pengalaman, ketrampilan turun temurun, dan dapat diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat [6]. Jamu dapat berupa ramuan yang menggunakan lebih
dari satu jenis tanaman/bahan (multiple compound) dan dapat juga berupa bahan tunggal
(single compound).
Sebagai sebuah industri, industri jamu di Indonesia mulai berkembang sekitar tahun
1942 ketika Jepang mulai menduduki Indonesia [7]. Produk jamu didorong penggunaannya
untuk menggantikan obat farmasi yang langka pada waktu itu. Keberadaan produk jamu
makin diperkuat dengan didirikannya Komite Pengobatan Tradisional Indonesia pada bulan
Juni 1944 [7]. Hal ini menyebabkan industri jamu Indonesia mengalami kemajuan. Apalagi,
pengobatan modern masih sulit diperoleh pada awal kemerdekaan Republik Indonesia. Saat

7

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII
Denpasar 10 – 12 Oktober 2014

ISSN : 2086 - 0390

ini, omset industri jamu Indonesia diperkirakan akan menembus angka 10 triliun Rupiah pada
tahun 2010 dan menyerap tenaga kerja sampai 15 juta orang [38].
Industri jamu Indonesia memiliki beberapa ciri khas berupa: (1) merupakan industri
asli Indonesia karena tidak ada investor asing yang masuk ke dalam industri ini [29]; (2)
terdiri dari perusahaan-perusahaan keluarga ([7]; [29]); (3) produknya dapat saling
menggantikan [7]. Penelitian [7] juga menunjukkan bahwa hanya terdapat 20 perusahaan
jamu yang dianggap industrial karena mempekerjakan sejumlah manajer dan karyawan.
Keduapuluh perusahaan ini dikelompokkan menjadi golongan kecil dengan jumlah karyawan
kurang dari 500 orang per perusahaan, golongan menengah dengan jumlah karyawan antara
500 sampai 1.000 orang per perusahaan, dan golongan besar yang mempekerjakan lebih dari
1.000 karyawan per perusahaan.
Industri jamu Indonesia memiliki beberapa faktor pendukung seperti (1) adanya
Badan Pengawas Obat dan makanan (BPOM) dan Asosiasi Pengusaha Jamu yang dapat
menjadi forum komunikasi dan tukar pikiran untuk mengembangkan industri jamu dan
kosmetik [7] sekaligus memastikan adanya penegakan peraturan dan undang-undang
kesehatan yang sudah semestinya untuk ditaati oleh para pengusaha di negara maju [39]; (2)
adanya dukungan pemerintah Republik Indonesia [40] dan upaya pemerintah agar jamu
nasional mendapatkan pengakuan UNESCO sebagai pusaka dunia (world heritage) [41].
Namun, industri jamu Indonesia juga mengalami beberapa kesulitan seperti (1) sangat
berkurangnya tanaman obat yang masih tumbuh di alam bebas ([24]; [42]); (2) banyak jenis
tanaman obat yang belum diketahui atau terdaftar nama ilmiahnya [43].
Lebih lanjut, berdasarkan wawancara dengan Ketua Gabungan Pengusaha Jamu
terungkap bahwa komitmen pemerintah terhadap industri jamu ternyata masih belum
menunjukkan upaya nyata untuk menjelaskan bagaimana produk industri jamu dipergunakan
oleh masyarakat. Peran pemerintah lebih fokus pada pengaturan produk industri jamu yang
menekankan segi keamanan, mutu serta kemanjuran namun kurang memikirkan praktek
pembinaan dan pengembangan industri jamu. Terdapat sekitar 20 departemen/lembaga yang
terlibat dalam pengaturan industri jamu yang menyebabkan terjadinya banyak
kesimpangsiuran aturan, ijin dan menghambat perkembangan industri jamu Indonesia. Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), misalnya, sebagai badan yang seharusnya hanya
berfungsi sebagai pengawas obat dan makanan juga sering membuat aturan-aturan tentang
jamu. Hal ini menjadi praktek tata kelola yang tidak baik karena tidak ada pihak yang
mengawasi peraturan yang dihasilkan oleh BPOM sendiri. Selain itu, industri jamu Indonesia
mengalami sejumlah masalah terkait dengan pesaing, saluran distribusi, saintifikasi jamu,
standar mutu, teknologi dan gaya hidup masyarakat Indonesia.
Produk jamu Indonesia mendapatkan ancaman dari produk jamu yang mengandung
bahan kimia obat. Namun ketersediaan obat farmasi secara luas dan murah di pasar sejak
awal 1980an menyebabkan masyarakat mulai mengenal obat farmasi dan merasakan bahwa
obat farmasi memiliki efek lebih cepat daripada jamu walaupun tidak disadari adanya
campuran bahan kimia obat. Hal ini mendorong beberapa pengusaha jamu (yang sering
diistilahkan dengan jamu ”Cilacap”), mencampur jamu dengan bahan kimia obat. Jamu yang
mengandung bahan kimia obat mampu memberi efek yang lebih cepat namun memiliki efek
samping yang berbahaya. Akibatnya, jamu berbahan kimia obat ini akan merusak citra dan
kepercayaan masyarakat terhadap produk jamu secara keseluruhan. Walaupun secara resmi

8

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII
Denpasar 10 – 12 Oktober 2014

ISSN : 2086 - 0390

hal ini telah dilarang [44] namun sampai saat ini masih banyak beredar produk jamu yang
mengandung bahan kimia obat. Keberadaan jamu yang mengandung bahan kimia obat sering
dijadikan alasan bagi BPOM dan Dinas Kesehatan untuk melakukan pemeriksaan (sweeping)
produk jamu di outlet-outlet pedagang pengecer.
Produk jamu Indonesia juga mendapatkan ancaman dari produk jamu asing. Tidak
semua produk jamu asing bebas dari bahan kimia obat. Produk jamu asing memasuki pasar
Indonesia melalui praktek klinik kesehatan, pijat refleksi atau spa yang ijinnya bisa
dikeluarkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atau Dinas Kesehatan
Pemerintah Daerah dan mereka memiliki keleluasaan melakukan iklan promosi termasuk
melakukan klaim bahwa praktek mereka mampu menyembuhkan penyakit-penyakit berat.
Hal ini sangat berbeda dengan produk jamu Indonesia yang tunduk terhadap aturan
Kementerian Kesehatan dan BPOM dan ketika melakukan promosi tidak boleh mengklaim
khasiat produk jamu tersebut. Akibatnya perusahaan jamu yang menginduk pada
Kementerian Kesehatan dan BPOM banyak dirugikan. Selain itu, jika produk asing tersebut
ternyata mengandung bahan kimia obat maka akan ikut merusak citra jamu sebagai ramuan
herbal yang aman.
Dalam hal pemasaran, produk jamu Indonesia secara umum didistribusikan melalui
dua jenis saluran, yaitu saluran informal dan saluran formal. Saluran informal adalah cara
yang selama ini sudah ditempuh perusahaan jamu yaitu dengan menjual ramuan tradisional
langsung ke pedagang pengecer atau konsumen. Dalam hal ini jamu digunakan langsung oleh
konsumen tanpa resep dokter. Sedangkan saluran formal adalah menggunakan dokter untuk
menganjurkan penggunaan produk jamu. Saluran formal diatur oleh pemerintah dengan
tujuan memperluas penggunaan jamu khususnya melalui resep dokter.
Pada saluran informal, pengusaha jamu memposisikan produk jamu sebagai upaya
memelihara kesehatan dan pengobatan penyakit ringan (misalnya, masuk angin, menjaga
stamina) atau sering disebut sebagai upaya preventif dan promotif. Pada saluran ini
perusahaan jamu mengalami kendala berupa kesulitan mencari pengecer. Kesulitan ini
disebabkan oleh 5 faktor, yaitu (1) seringnya terjadi sweeping produk baik oleh BPOM
maupun Dinas Kesehatan Pemda tingkat I maupun Pemda tingkat II menyebabkan pengecer
merasa tidak aman ketika menjual jamu. Kurangnya informasi dari pemerintah tentang
produk jamu legal dan illegal, tata cara sweeping, serta banyaknya aturan dari instansi yang
berperan sebagai pengatur dan pengawas jamu menimbulkan kebingungan di kalangan
pedagang pengecer, (2) banyaknya peredaran jamu yang mengandung bahan kimia obat
menyebabkan konsumen menganggap jamu tidak aman dikonsumsi. Akibatnya, pedagang
pengecer memilih menjual produk yang aman dan lebih banyak diminati konsumen, (3)
adanya peredaran jamu impor terutama jamu Cina yang masuk ke pasar Indonesia melalui
praktek pijat dan spa serta bebas melakukan promosi maupun iklan yang gencar
menyebabkan konsumen jamu banyak yang beralih ke produk jamu Cina, (4) jamu gendong
sebagai salah satu bentuk pedagang pengecer belum diatur/dibina oleh pemerintah. Belum
ada pembinaan pada penjual jamu gendong tentang produk jamu yang aman. Akibatnya, ada
kemungkinan penjual jamu gendong akan mencampur jamunya dengan bahan kimia obat
sehingga dapat merusak citra jamu sebagai produk yang aman, (5) pedagang pengecer sendiri
sering mengkategorikan jamu sebagai obat sehingga tidak cocok untuk dijual bersamaan
dengan produk bebas lain (misal, makanan ringan, kebutuhan rumah tangga). Untuk itu,

9

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII
Denpasar 10 – 12 Oktober 2014

ISSN : 2086 - 0390

perusahaan jamu didorong untuk membangun saluran distribusinya sendiri agar kepercayaan
pedagang pengecer maupun masyarakat terhadap jamu dapat ditingkatkan.
Pada saluran formal, jamu membutuhkan dokter untuk menganjurkan penggunaan
jamu. Hasil wawancara dengan Ketua GP Jamu maupun ketua PDHMI Jabar mengungkapkan
bahwa dokter biasa bertindak berdasarkan evidence-based medicine ([45]; [46]). Untuk
memenuhi kriteria evidence-based medicine maka dibutuhkan serangkaian uji terhadap jamu
untuk mendapatkan data tentang penggunaan jamu atau juga disebut saintifikasi. Setelah
melampaui serangkaian uji dan diperoleh data penggunaan jamu maka diharapkan dokter
dapat menggunakan jamu sebagai alternatif obat dalam resep yang dibuatnya. Namun
ternyata ide ini masih menimbulkan polemik karena ada sebagian dokter yang mau memakai
jamu hanya sebagai upaya pemeliharaan kesehatan atau pendorong stamina dan ada juga
yang menginginkan jamu sebagai tindakan pengobatan. Lebih lanjut saintifikasi jamu ini juga
setidaknya menimbulkan 2 permasalahan. Pertama, untuk mendapatkan jamu yang aman dan
bermutu maka perusahaan jamu harus memiliki sertifikasi Cara Pembuatan Obat Tradisional
yang Baik (CPOTB). Untuk mendapatkan CPOTB dibutuhkan sejumlah investasi yang tidak
semua perusahaan jamu akan dapat memenuhinya. Kedua, untuk melakukan saintifikasi maka
dibutuhkan uji klinis yang membutuhkan keterlibatan dokter sebagai penganjur penggunaan
jamu dan kesediaan pasien untuk menggunakan produk jamu. Hal ini menjadi kendala karena
jumlah dokter yang memahami proses saintifikasi jamu sangat terbatas. Akibatnya,
dibutuhkan waktu yang panjang untuk mempersiapkan dokter agar terbiasa dengan proses
tersebut. Dengan demikian, dibutuhkan waktu yang panjang agar suatu produk jamu
tersaintifikasi.
Untuk menunjang program saintifikasi jamu maka Balitbangkes bekerja sama dengan
Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia untuk melakukan pelatihan prosedur
pelaksanaan saintifikasi jamu selama 50 jam di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Tawangmangu. Hasil pelatihan ini
diharapkan tersedianya dokter yang bersertifikat sebagai herbalis sehingga dapat menunjang
proses saintifikasi jamu. Jamu yang digunakan pada pelatihan tersebut adalah merupakan
racikan B2P2TOOT Tawangmangu. Jika program pelatihan ini berhasil maka terjadi lonjakan
permintaan jamu racikan B2P2TOOT yang belum tentu B2P2TOOT dapat memenuhinya.
Jika kebutuhan tersebut akan diganti dengan jamu racikan perusahaan jamu maka timbul
masalah baru karena racikan B2P2TOOT tidak sama dengan racikan yang dihasilkan oleh
perusahaan-perusahaan jamu. Dengan demikian, program saintifikasi disini tidak terkait
langsung dengan perusahaan jamu namun lebih terkait dengan B2P2TOOT.
Jamu hasil racikan B2P2TOOT Tawangmangu yang berada di bawah Kementerian
Kesehatan dapat langsung dipergunakan oleh dokter herbalis. Namun ketika racikan tersebut
akan dijual ke masyarakat, maka perlu ijin dari BPOM. Selain itu, racikan B2P2TOOT lebih
menekankan pada keamanan, mutu dan kemanjuran, tanpa memperhatikan rasa sehingga
belum tentu hasilnya disukai oleh masyarakat. Hal ini tentunya berbeda dengan perusahaan
jamu yang sangat mempedulikan rasa jamu agar produk jamunya laku di pasar.
Saat ini perusahaan jamu Indonesia hanya dapat menjual bahan mentah jamu ke pasar
internasional. Perusahaan jamu Indonesia mengalami hambatan ketika berupaya menjual
jamu dalam bentuk bahan baku (single compound) ke pasar internasional. Hal ini disebabkan
Indonesia belum memiliki ketentuan standar kualitas jamu dalam bentuk single compound

10

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII
Denpasar 10 – 12 Oktober 2014

ISSN : 2086 - 0390

maupun multiple compound yang diakui di pasar internasional. BPOM Indonesia baru
memiliki standar nilai minimum komposisi suatu jamu single compound. Permasalahan yang
muncul adalah saat ini belum jelas departemen/lembaga mana yang memiliki wewenang
untuk mengurus pembuatan standar kualitas jamu yang diakui di pasar internasional.
Pembenahan mutu bahan jamu (jamu single compound) dapat memberi nilai tambah lebih
besar bagi perusahaan jamu daripada sekedar menjual bahan mentah jamu. Selain itu,
pembenahan mutu bahan jamu juga akan meningkatkan mutu jamu racikan.
Peran teknologi dalam perusahaan jamu lebih dikaitkan dengan proses pembuatan
jamu. Padahal dibutuhkan pula teknologi maju untuk mendapatkan ekstraksi bahan jamu
yang berkualitas sehingga dapat membuka peluang penjualan bahan jamu ke pasar
internasional. Terkait dengan belum adanya standar mutu ekstrak bahan jamu yang
berkualifikasi internasional maka saat ini belum ada perusahaan jamu yang memiliki
teknologi untuk ekstraksi bahan jamu single compound.
Jamu saat ini belum menjadi bagian dalam gaya hidup di Indonesia. Ketika
masyarakat saat ini sudah mengenal adanya kedai kopi (coffee shop) dan kedai teh, maka
kedai jamu belum banyak ditemui. Bahkan dilihat dari kacamata Kementerian Kesehatan,
jamu diletakkan pada posisi terendah setelah fitofarmaka dan obat herbal terstandar [47].
Fitorarmaka merupakan kategori Obat Asli Indonesia tertinggi karena memiliki standarisasi
bahan baku dan klaim khasiat yang dibuktikan melalui uji klinis. Uji klinis memberikan
informasi tentang khasiat, dosis yang tepat dan perhatian pada efek samping. Uji klinis
merupakan syarat agar produk (obat/jamu) dapat diresepkan oleh dokter. Obat herbal
terstandar oleh pemerintah dikategorikan lebih baik daripada jamu tradisional karena obat
herbal terstandar telah memiliki standar bahan baku serta klaim khasiat yang dibuktikan
melalui uji praklinis. Sedangkan jamu tradisional dikategorikan paling rendah karena tidak
memiliki standar bahan baku dan klaim khasiat tidak dibuktikan secara ilmiah. Hal ini secara
tidak langsung menyatakan bahwa manfaat jamu yang telah digunakan di masyarakat selama
puluhan tahun menjadi tidak bermakna. Walaupun begitu, masyarakat saat ini memiliki
kepedulian yang tinggi tentang kesehatan. Oleh karena itu, perusahaan jamu perlu melakukan
inovasi untuk dapat memanfaatkan peluang pasar di bidang kesehatan melalui produk
berbasis jamu seperti minuman kesehatan dan spa. Selain itu, perusahaan jamu didorong
untuk membangun saluran distribusi khusus sebagai salah satu bentuk promosi.
Industri jamu Indonesia terdiri dari perusahaan-perusahaan jamu lokal yang
merupakan perusahaan keluarga ([7]; [29]). Karakteristik sebagai perusahaan keluarga ini
memberikan warna tersendiri bagi perkembangan industri jamu, misalnya tidak sekedar
mengejar tujuan finansial ([48]; [49]) dan sangat berorientasi pada nilai-nilai keluarga ([50];
[51]). Hal-hal ini dapat berdampak pada pertumbuhan perusahaan jamu seperti pembatasan
wilayah pasar yang akan dilayani dan arah pertumbuhan usaha apakah masih berkaitan
dengan produk jamu atau melakukan variasi ke industri lain. Saat ini keberadaan perusahaan
jamu yang fokus pada pengembangan produk jamu dan beroperasi secara nasional maupun
internasional masih sangat terbatas. Untuk itu dibutuhkan dukungan dari pemerintah untuk
mendorong pengembangan industri jamu dalam konteks pelestarian warisan budaya
Indonesia.
Selanjutnya, berbagai permasalahan dalam industri jamu beserta saran solusinya
dirangkum pada tabel 1.

11

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII
Denpasar 10 – 12 Oktober 2014

ISSN : 2086 - 0390

Tabel 1. Ringkasan Masalah dan Saran Solusi Jamu
Permasalahan
Saran Solusi
Kementerian/Badan
Penanggung Jawab
Tidak ada standarisasi
• Penyusunan standarisasi bahan • Kementerian Kesehatan,
bahan baku jamu
baku dasar jamu.
Pertanian.
• Menyelenggarakan
program • Kementerian Pertanian
pembinaan
kepada
petani
empon-empon
agar
menghasilkan bahan baku yang
bermutu.
Belum ada sosialisasi
• Sosialisasi hasil-hasil penelitian • Kementerian Pertanian
hasil penelitian tanaman
tanaman obat kepada industri
obat
jamu.
Tersebarnya petani
• Kementerian Pertanian
• Membentuk/menyebarluaskan
bahan baku jamu
peta lokasi obat tradisional
kepada pengusaha jamu
Kurangnya kemampuan
• Memberi pelatihan manajerial
• Kementerian Koperasi
manajerial dan
bagi para petani
dan Usaha Kecil,
pemodalan petani
Kementerian Keuangan.
• Menyiapkan lembaga/skema
tanaman obat
permodalan (KUR) bagi para
petani
Tidak ada ‘negative
• Mengusulkan adanya
• Kementerian
investment’ untuk
pembatasan pemodal asing
Perindustrian
melarang asing masuk
untuk masuk industri bahan
dalam industri bahan
baku jamu maupun industri
baku jamu maupun
jamu.
industri jamu
Penerapan CPOTB 2011 • Kemudahan pelaksanaan
• BPOM
penerapan CPOTB sesuai
kemampuan industri
• Pengaturan Toll Manufacturing
Masih beredar produk • Diadakan razia secara terus
jamu Berbahan Kimia
menerus dan terkoodinir
Obat
terhadap penjual jamu.
• GP Jamu diberi mandat untuk
merekomendasikan perusahaan
jamu yang akan mendaftarkan
ijin BPOM sehingga GP Jamu
dapat ikut mengawasi
anggotanya
• Mengadakan pembinaan kepada

• BPOM, Kementerian
Kesehatan dan Kepolisian
• BPOM

12

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII
Denpasar 10 – 12 Oktober 2014

Maraknya
peredaran
obat tradisional asing
baik legal maupun ilegal
serta produk Multi Level
Marketing
yang
memasukan obat herbal

Kendala ekspor jamu ke
luar negeri

Lemahnya
minum jamu

budaya

Sedikitnya informasinya
tentang
jamu
dan

konsumen jamu agar tidak
mengkonsumsi obat tradisional
yang mengandung Bahan Kimia
Obat.
• Mengadakan penyuluhan bagi
penjual jamu gendong maupun
penjual jamu racikan tentang
CPOTB.
• Memperketat ijin pendirian
klinik-klinik pengobatan asing.
• Perusahaan MLM diwajibkan
mendirikan pabrik di Indonesia
sehingga akan memberikan
manfaat yang jauh lebih besar
bagi masyarakat sekitar.
• GP Jamu dilibatkan dalam tim
periklanan BPOM (baik untuk
iklan produk obat tradisional
dalam negeri maupun asing).
• Ijin yang dikeluarkan oleh
BPOM diharapkan bisa berlaku
di seluruh dunia (khususnya di
negara-negara ASEAN).
• Adanya fasilitas hubungan
perdagangan antara pengusaha
Indonesia dengan pengusaha
luar negeri serta pembinaan
untuk meningkatkan citra jamu
di luar negeri.
• Adanya website tentang Jamu
Indonesia.
• Adanya kurikulum
pendidikan/sekolah yang
memperkenalkan tanaman obat
Indonesia.
• Menjadikan jamu (air jahe,
kunir asem, air asem, beras
kencur) sebagai minuman
pembukaan dalam acara resmi
pemerintahan maupun di hotel
berbintang.
• Adanya website tentang Jamu
Indonesia.

ISSN : 2086 - 0390

• Kementerian pariwisata
dan industri kreatif
• Kementerian perdagangan
& Kementerian
Perindustrian
• BPOM

• BPOM

• Kementerian Perdagangan
& Atase Perdagangan &
ITPC (Indonesian Trade
Promotion Center)
• Kementerian komunikasi
dan informasi
• Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan
• Kementerian pariwisata
dan industri kreatif

• Kementerian komunikasi
dan informasi

13

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII
Denpasar 10 – 12 Oktober 2014
khasiatnya

ISSN : 2086 - 0390

• Kementerian pariwisata
• Mendorong industri kreatif
dan industri kreatif
untuk melestarikan jamu sebagai
warisan budaya misalnya
melalui pengembangan paket
wisata warisan budaya
Indonesia, melakukan sinergi
antar berbagai museum jamu
yang ada dengan melibatkan
perusahaan jamu.

5. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal berikut. Pertama, dunia
kesehatan global sejak tahun 1970an banyak diwarnai oleh obat farmasi yang mengandalkan
pada rasionalitas pengetahuan dan uji klinis ([45]; [46]). Akibatnya praktek-praktek
kesehatan lokal yang mengandalkan pada pengetahuan praktek tradisional menjadi
terpinggirkan. Namun, ternyata dunia kesehatan tidak sepenuhnya rasional. Hal ini terbukti
dengan adanya faktor kepercayaan (trust) yang berperan dalam dunia kesehatan seperti, orang
lebih memlih untuk berobat pada dokter tertentu atau merek obat tertentu daripada fungsi
terapi ilmiahnya. Fenomena ini oleh [52] sebagai ”brand trust in an age without trust”.
Faktor kepercayaan (trust) ini memberi jalan bagi praktek-praktek kesehatan lokal untuk
tetap hidup bahkan bertumbuh.
Kedua, status fitofarmaka masih belum mampu mendorong penjualan jamu. Sejak
ketentuan tentang fitofarmaka diperkenalkan awal 1990 hingga saat ini di Indonesia baru
dikenal lima buah fitofarmaka yang beredar dan hanya satu yang dimiliki oleh perusahaan
jamu. Artinya, status fitofarmaka tidak mampu mengangkat citra jamu yang dianggap
tradisional menjadi herbal modern maupun meningkatkan nilai jualnya.
Ketiga, untuk mengembangkan industri jamu maka pemerintah perlu menata industri jamu
dengan memperhatikan sisi budaya. Dalam hal ini, pemahaman ethnopharmacy nampaknya
dapat membantu. Jika jamu diatur berdasarkan pemahaman tentang farmasi modern maka
dapat dipastikan terjadi konflik minat dengan industri farmasi. Selain itu, perusahaan jamu
perlu diarahkan untuk menggunakan model bisnis platform [36] untuk memperkuat riset
dasar dan pengembangan pra klinis.
Keempat, keberlangsungan perusahaan jamu di pasar dapat dijaga melalui dua hal.
Pertama, mendorong eksploitasi pasar dengan terus menerus membangun kepercayaan
konsumen melalui pemahaman bahwa jamu adalah produk warisan budaya yang telah
puluhan tahun digunakan. Unsur tradisional justru perlu ditekankan untuk menghasilkan
kepercayaan konsumen. Kedua, mendorong eksplorasi pasar dengan mengembangkan jamu
untuk mengatasi masalah penyakit degeneratif seperti, darah tinggi, diabetes, kolesterol, dan
asam urat serta kebutuhan akan anti oksidan yang diperlukan konsumen rakyat banyak.
Kedua hal ini dapat dilakukan secara bersamaan sehingga dapat menghasilkan sinergi.
Kelima, rantai distribusi jamu merupakan masalah strategis yang memerlukan penanganan
yang tepat. Jamu umumnya dijual di tempat-tempat tertentu terutama pasar-pasar tradisional.
Hal ini terutama disebabkan karakteristik bisnis jamu yang mayoritas mengandalkan pasar

14

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII
Denpasar 10 – 12 Oktober 2014

ISSN : 2086 - 0390

yang telah mengenal jamu. Konsumen biasa mendatangi tempat-tempat penjualan jamu.
Namun, ketika tren meminum jamu menurun dan produk-produk selain jamu cenderung
secara ekspansif mendekatkan diri ke konsumen melalui berbagai jaringan yang ada baik
saluran tradisional maupun modern, maka jamu perlu memikirkan ulang cara distribusinya.
Perusahaan jamu perlu membangun kembali saluran distribusinya. Selain itu, pemanfaatan
website perusahaan sebagai media penjualan online maupun sarana pendidikan tentang jamu
terhadap masyarakat luas dapat lebih ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Ferrell, O. C., Geoffrey A. Hirt, & Linda Ferrell. (2011). Business: a changing world.
8th edition. New York: McGraw-Hill.
[2] Teece, David J. (2010). Business Models, Business Strategy and Innovation. Long
Range Planning. 43. 172 – 194.
[3] Chesbrough, Henry. (2007). Business Model Innovation: It’s Not Just About
Technology Anymore. Strategy & Leadership. Vol.35. No.6. pp.:12 – 17.
[4] Hatch, M. J., Ann L.Cunliffe. (2006). Organization Theory. 2nd ed. New York: Oxford
University Press.
[5] Hambrick, D. C. (1983) Some tests of the effectiveness and functional attributes of
Miles and Snow's strategic types. Academy of Management Journal, 26, 5-26.
[6] Kepmenkes no.1076/Menkes/SK/VII/2003
[7] Liong, Theresia C.Y. (2010). The Martha Tilaar Way. Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara.
[8] Basu, Paroma. (2004). Trading on traditional medicines. Nature Biotechnology,
Vol.22. No.3, 263 – 365.
[9] Yin, Robert K. (1994). Case Study Research, Design and Methods. 2nd edition.
California: Sage Publication, Inc.
[10] Nelson, Richard R. (1991). Why Do Firms Differ, and How Does it Matter? Strategic
Management Journal, Vol.12, pp.61-74.
[11] Wheelen, T.L. & Hunger, J.D. (2004). Strategic Management and Business Policy.
9th. New Jersey: Prentice Hall.
[12] Porter, Michael E. (1996). What is Strategy? Harvard Business Review, NovemberDecember, pp.61-78.
[13] Dill, W. R. (1958). Environment as an influence on managerial autonomy.
Administrative Science Quarterly, 2, 409-443.
[14] Lenz, R.T. dan Jack L. Engledow. (1986). Environment analysis: the applicability of
current theory. Strategic Management Journal, Vol.7, pp.329-346.
[15] David, Fred R. (2006). Manajemen Strategis: Konsep, Edisi 10. Jakarta: Penerbit
Salemba Empat. Terjemahan.
[16] Baum, J. A.C. (1996). “Organizational Ecology,” in Handbook of Organization
Studies, edited by S. R. Clegg, C. Handy, and W.Nord (London: Sage), pp.77-114.
[17] Scott, W. Richard. (1987). The Adolescence of Institutional Theory. Administrative
Science Quarterly, Vol.42, No.4, pp.493-511.

15

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII
Denpasar 10 – 12 Oktober 2014

ISSN : 2086 - 0390

[18] Zucker, Lynne G. (1987). Institutional Theories of Organization. Annual Review of
Sociology, Vol.13, pp.443-464.
[19] Child, John. (1997). Strategic Choice in the Analysis of Action, Structure,
Organizations and Environment: Retrospect and Prospect. Organization Studies, 18,
pp.43-76.
[20] Fiol, C.M. dan Lyles, M.A. (1985). Organizational learning. Academy of Management
Review 10, 803-813.
[21] Tilburt, Jon C. dan Ted J.Kaptchuk. (2008). Herbal medicine research and global
health: an ethical analysis. Bulletin of the World Health Organization, August, 86
(8).
[22] Siow, Yaw L., Yuewen Gong, Kathy K W Au-Yeung, Connie W H Woo. (2005).
Emerging issues in traditional Chinese medicine. Canadian Journal of Physiology
and Pharmacology. Vol. 83, No. 4, 321 - 334.
[23] Arogyaswamy, Bernard., dan Deepak Manchanda. (1998). A strategic balance of
tradition and technology: an Ayurvedic firm in modern India. Business Horizons.
November-December, pp. 41 – 48.
[24] Beers, S-J. (2001). Jamu, the ancient Indonesian art of herbal healing. Hongkong:
Periplus edition Ltd.
[25] Anderson, Gary M., Dennis Halcoussis, Linda Johnston, M. D., Anton D. Lowenberg.
(2000). Regulatory barriers to entry in the healthcare industry: the case of alternative
medicine. The Quarterly Review of Economics and Finance 40, pp.485 – 502.
[26] Galambos, Louis dan Jeffrey L.Sturchio. (1998).
Pharmaceutical firms dan the
transition to biotechnology: a study in strategic innovation. The Business History
Review. Vol. 72, No. 2, 250-278.
[27] Ebers, Mark. dan Walter W. Powell. (2007). Introduction – Biotechnology: Its origins,
organizations, and outputs. Research Policy, 36, 433-437.
[28] Rader, Ronald A. (2008). (Re)defining biopharmaceutical. Nature Biotechnology.
Vol.26, No. 7, 743-751.
[29] Rademakers, Martijn F. L. (1998). Market Organization in Indonesia: Javanese and
Chinese Family Business in the Jamu Industry. Organization Studies, 19/6, 10051027.
[30] Mahady, Gail B. (2001). Global harmonization of herbal health claims. The Journal of Nutrition.
March, 1120S – 1123S.
[31] OECD. (2006). OECD Biotechnology Statistics-2006. OECD Publishing, Paris.
[32] Pisano, Gary P. (2006). Can science be a business? (Lessons from biotechnology).
Harvard Business Review. October.
[33] European Commission, Life Sciences and Biotechnology. (2002). A Strategy for
Europe, Communication from the Commission to the Council, the European
Parliament, the Economic and Social Committee, and the Committee of the
Regions, Brussels.
[34] Arantes-Oliveira, Nuno. (2007). A case study on obstacles to the growth of
biotechnology. Technological Forecasting and Social Change. 74, 61-74.

16

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII
Denpasar 10 – 12 Oktober 2014

ISSN : 2086 - 0390

[35] Lemarie, S., V. Mangematin, A.Torre. (2001). Is the creation and development of
biotech SMEs localised? Conclusions drawn the French case. Small business
Economics. 17: 61-76.
[36] Konde, Viren. (2009). Biotechnology business models: an Indian perspective. Journal of
commercial biotechnology, 15., 215-226.
[37] Shan, Weijan., Gordon Walker, Bruce Kogut. (1994). Interfirm cooperation dan startup innovation
in the biotechnology industry. Strategic Management Journal, Vol, 15, No. 5, 387-394.
[38] Kabarbisnis.com; Selasa, 04 Mei 2010 | 15:52 wib ET. http://www.kabarbisnis.com/lainlain/2811423-Omzet industri jamu Indonesia diperkirakan capai Rp10 triliun.html
[39] Clarkson, M.B.E. (1995). A Stakeholder framework for analyzing and evaluating
corporate social performance. Academy of Management Review, No.20, 92-117.
[40] Kompas (2010a). Pemerintah Kawal Industri Jamu Nasional. www.Kompas.com tgl. 22 Mei
2010
pk.13:29
WIB.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/05/22/1329138/Pemerintah.Kawal.Industri.Jamu.Na
sional-4
[41] Kompas (2010b). Jamu Akan Diakui sebagai Pusaka Dunia. www.Kompas.com tgl. 10 Mei
2010 pk.04:16 WIB. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/05/10/ 04161119/Jamu Akan
Diakui sebagai Pusaka.Dunia
[42] Mikail, Bramirus., dan Asep Candra. (2011). Risto, Antisipasi Kepunahan Tanaman Obat.
http://health.kompas.com/read/2011/10/21/21121436/Risto.Antisipasi.Kepunahan.Tanaman.Obat.
Jumat, 21 Oktober 2011 pukul 21:12 WIB.
[43] Elfahmi, Ruslan, K., R. Bos, O. Kayser, H.j. Woerdenbag, W.j. Quax. (2006). Jamu:
The Indonesian Traditional Herbal Medicine, 14-34. (ABI/INFORM Global,
diakses 19 September 2007).
[44] Public Warning/ Peringatan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
tentang Obat Tradisional Mengandung Bahan Kimia Obat Nomor :
HM.03.03.1.43.08.10.8013, 2010
[45] Arle, Jeffrey E. (2011).