Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well-Being Pada Remaja SOS Desa Taruna Kinderdorf Bandung.

(1)

I Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui psychological well-being remaja SOS Desa Taruna Kinderdorf Bandung. Subjek penelitian ini terdiri dari 38 remaja SOS Desa Taruna Kinderdorf Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survey. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling.

Alat ukur yang digunakan merupakan alat ukur yang dikembangangkan oleh Ryff (1989) dan dimodifikasi oleh peneliti sesuai kebutuhan penelitian ini, dimana alat ukur yang digunakan terdiri dari 84 item. Setelah dilakukan pengolahan statistik dalam bentuk persentase dengan bantuan SPSS 17.0, maka diperoleh 64 item yang digunakan dengan validitas yang berkisar antara 0,308-0,657 dan reliabilitas sebesar 0,82.

Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh hasil bahwa remaja SOS Desa Taruna Kinderdorf Bandung memiliki derajat psychological well-being yang seimbang, yaitu 50% PWB yang tinggi dan 50% PWB yang rendah.

Psychological well-being memiliki enam dimensi. Keenam dimensi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain terkait oleh usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tipe kepribadian Big Five Personality.

Peneliti mengajukan saran agar dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai konribusi faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being terhadap psychological well-being dan dimensi-dimensinya. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada remaja-remaja Kinderdorf Bandung sebelum dan setelah mereka tinggal di asrama supaya diketahui memang benar terjadi penurunan/ perbedaan derajat psychological well-being dan dimensi-dimensinya. Direktur SOS Desa Taruna Kinderdorf Bandung dapat mengkaji ulang sistem pengasuhan pada remaja-remaja yang tinggal di asrama yang berada di luar Lembang dan membuat sistem pengasuhan yang lebih sesuai dengan remaja-remaja tersebut sehingga dapat membantu untuk meningkatkan dimensi-dimensi psychological well-being remaja-remaja tersebut. Selain itu, psikolog SOS Desa Taruna Kinderdorf Bandung dapat lebih memperluas peranannya dalam konseling yang dilakukan secara face to face ataupun secara group counseling untuk meningkatkan psychological well-being dan dimensi-dimensi dari para remaja SOS Desa Taruna Kinderdorf Bandung yang masih rendah.


(2)

v Universitas Kristen Maranatha Lembar Pengesahan

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR BAGAN ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 9

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 10

1.3.1 Maksud Penelitian ... 10

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Kegunaan Penelitian ... 10

1.4.1 Kegunaan Ilmiah ... 10

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 11

1.5 Kerangka Pemikiran ... 11


(3)

vi Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 22

2.1 Psychological Well-Being ... 22

2.1.1 Sejarah Psychological Well-Being ... 22

2.1.2 Definisi Psychological Well-Being ... 26

2.1.3 Latar belakang dimensi Psychological Well-Being ... 26

2.1.4 Dimensi-dimensi Psychological Well-Being ... 30

2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being .. 33

2.2 Remaja ... 37

2.2.1 Remaja secara Umum ... 37

2.2.2 Perubahan Pubertas ... 38

2.2.3 Perubahan Kognitif ………...…...………...…. 40

2.2.4 Perkembangan Sosio-Ekonomi Pada Masa Remaja ..…………... 42

2.2.5 Teman-Teman Sebaya ………. 43

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 45

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 45

3.2 Bagan Prosedur Penelitian ... 45

3.3 Variabel dan Definisi Operasional ... 45

3.2.1 Variabel Penelitian ... 45

3.2.2 Definisi Operasional ... 46

3.4 Alat Ukur ... 47

3.4.1 Distribusi Alat Ukur PWB ... 47

3.4.2 Data Penunjang ... 51


(4)

vii Universitas Kristen Maranatha

3.6 Teknik Analisis Data ... 53

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 54

4.1 Gambaran Subjek Penelitian ... 54

4.2 Hasil Penelitian ... 56

4.2.1 Psychological Well-Being ... 56

4.2.2 Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being ... 56

4.3 Pembahasan ... 58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

5.1 Kesimpulan ... 73

5.2 Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

DAFTAR RUJUKAN ... 78 LAMPIRAN


(5)

viii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

3.1 Tabel Distribusi Indikator dan Item Psychological Well-Being ……… 48

3.2 Tabel Skor Item Positif dan Negatif ...……… 50

3.3 Tabel Kategori Skor Psychological Well-Being ………. 50

3.4 Tabel Kriteria Reliabilitas ...………...……… 52

4.1.1 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ……….. 54

4.1.2 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ……….. 54

4.1.3 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pendidikan yang Sedang Ditempuh ……….. 55

4.1.4 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Subjek tinggal di Kinderdorf ……… 55 4.2.1.1 Tabel Gambaran Psychological Well-Being ………....… 56

4.2.1.2 Tabel Gambaran Psychological Well-Being Remaja Kinderdorf yang Tinggal di Lembang dan di Luar Lembang …………..…... 56

4.2.2.1 Tabel Gambaran Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being ……...… 56

4.2.2.2 Tabel Gambaran Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being Remaja Kinderdorf yang Tinggal di Lembang dan di Luar Lembang ………... 57


(6)

(7)

x Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

1.1 Bagan Kerangka Pikir... 20 3.1 Bagan Prosedur Penelitian... 45


(8)

xi Universitas Kristen Maranatha Lampiran 2, Kuesioner Big Five Personality………... L2 Lampiran 3, Kuesioner Psychological Well-Being………... L3 Lampiran 4, Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ………... L7 Lampiran 5, Alat Ukur Setelah Validasi ……….. L9 Lampiran 6, Identitas Responden ……….. L12 Lampiran 7, Skor Mentah Responden ………... L14 Lampiran 8, Skor Tiap Dimensi Sebelum Dibobot ………... L17 Lampiran 9, Skor Tiap Dimensi Setelah Dibobot ………..………... L18 Lampiran 10, Kategori PWB dan Dimensi-Dimensinya ………... L19 Lampiran 11, Skor dan Kategori Tiap Tipe Kepribadian Big Five Berdasarkan Uji Z ………...……….. L20 Lampiran 12, Tabel Crosstabs dengan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi …. L22 Lampiran 13, Gambaran Subjek Penelitian ………... L35 Lampiran 14, Hasil Wawancara ……… L37 Lampiran 15, SOS Desa Taruna Kinderdorf ………. L43


(9)

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

UU pasal 4 No. 23 tahun 2002 menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang; baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang secara wajar (http://semuasosdti.blogspot.com/). Hal ini juga berlaku untuk remaja yang tinggal di panti asuhan. Remaja adalah individu yang berusia 10 tahun hingga 22 tahun (Santrock, 2002). Sedangkan panti asuhan adalah sebuah wadah yang menampung anak-anak yatim piatu (tidak punya ayah dan ibu) atau anak-anak yang dititipkan orang tuanya karena tidak mampu membiayai dalam hal pangan, sandang, dan papan yang layak. Di panti asuhan, anak-anak tersebut mendapatkan pendidikan, dan juga dibekali berbagai keterampilan agar dapat berguna di kehidupannya nanti (http://id.wikipedia.org/wiki/Panti_asuhan).

Dalam skripsi Fasti Rola (2006) dan hasil wawancara peneliti dengan ibu asuh di Kinderdorf yang diwawancarai peneliti, mereka menyatakan bahwa kehidupan remaja yang tinggal di panti asuhan sebenarnya sama dengan kehidupan remaja yang tinggal dengan keluarga. Bedanya hanya pada kurangnya perhatian, kasih sayang, ataupun bimbingan yang diterima oleh remaja panti asuhan karena ibu asuh harus membagi kasih sayang dan perhatian mereka dengan anak lainnya yang banyak jumlahnya dan tidak bisa memperhatikan secara


(10)

Universitas Kristen Maranatha mendalam. Padahal menurut Mappiere (1982), kebutuhan yang terpenting bagi remaja adalah kebutuhan akan pengakuan, perhatian, dan kasih sayang. Tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut akan menyebabkan remaja mengalami hambatan dalam tugas selanjutnya, sebaliknya terpenuhinya kebutuhan psikis akan membawa keberhasilan dalam perkembangan remaja. Tanpa mengalami kesulitan-kesulitan tersebut pun, remaja memiliki masalah perkembangannya sendiri. Masa remaja merupakan periode transisi dari masa kanak-kanak menuju ke masa awal dewasa, sehingga mereka tidak bisa di katakan lagi sebagai anak-anak, tetapi juga belum bisa dikatakan sebagai seorang dewasa (Hurlock, 1999). Status yang belum jelas, disertai oleh perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan sosioemosional membuat masa remaja ini menjadi sulit.

Visi dan misi Kinderdorf untuk anak-anak yang mereka asuh adalah membantu anak-anak asuh mereka untuk berkembang secara optimal. Diwujudkan dengan cara memberikan keluarga pengganti yang dapat memberikan kasih sayang, rasa aman, dan dihargai. Diharapkan hal-hal tersebut dapat menyembuhkan luka-luka batin (akibat perasaan penolakan) dan menumbuhkan kepercayaan dan keyakinan pada dirinya sendiri maupun kepada orang lain, sehingga mereka bisa membangun dan mempertahankan hubungan jangka panjang yang mendalam dengan orang lain, serta berempati. Selain itu, mereka juga dibimbing untuk mengenal dan dapat mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki melalui pendidikan dan latihan keterampilan yang mereka perlukan untuk dapat menjadi anggota masyarakat yang berhasil dan berguna. Mereka juga diajarkan tentang nilai-nilai dan rasa tanggung jawab serta dibimbing untuk


(11)

3

Universitas Kristen Maranatha membentuk masa depan mereka sendiri, serta berperan menjadi anggota masyarakat yang aktif.

Di Indonesia terdapat tiga sistem pengasuhan, yaitu sistem pengasuhan

berbentuk asrama, ‘cottage’, dan ‘semi cottage’. Sistem pengasuhan Kinderdorf

Bandung termasuk dalam sistem pengasuhan ‘cottage’ (unit rumah masing

-masing keluarga). Sistem ‘cottage’ adalah beberapa anak asuh dalam jumlah 8-10 orang ditempatkan dalam suatu keluarga dengan orang tua pengganti. Sistem asrama adalah banyak anak tinggal di dalam satu bangunan berbentuk asrama dengan hanya satu atau beberapa petugas yang bertindak sebagai bapak atau ibu pengasuh. Sedangkan sistem semi cottage adalah gabungan dari sistem cottage dan sistem asrama (http://id.wikipedia.org/wiki/Panti_asuhan).

Kekhasan dari Kinderdorf ini terletak pada visi dan misi yang dinyatakan dalam sistem pengasuhan yang dipilih. Dalam pelaksanaan sistem pengasuhnnya, Kinderdorf menggunakan sistem cottage. Pelaksanaan sistem cottage ini direalisasikan oleh Kinderdorf dengan mengusahakan pendekatan yang terpadu menuju usaha-usaha ke rehabilitasi, resosialisasi, dan edukasi yang ditujukan kepada anak asuhannya dalam suasana keakraban keluarga dengan menggunakan empat prinsip yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

Prinsip pertama yang diterapkan Kinderdorf adalah: setiap anak dalam satu rumah memiliki satu orang ibu asuh yang dapat memberikan kehangatan, kasih, kenyamanan seperti dari seorang ibu kepada anak kandungnya. Di Kinderdorf tidak ada istilah ayah/ bapak pengasuh. Pembina-pembina pria yang bekerja di Kinderdorflah yang sering dijadikan sebagai ayah bagi anak-anak yang tinggal di


(12)

Universitas Kristen Maranatha Kinderdorf. Prinsip kedua adalah: dalam satu rumah ditempatkan anak-anak dari berbagai tingkat usia sehingga benar-benar seperti keluarga dengan kakak dan adik. Prinsip ketiga adalah: setiap rumah memiliki ciri khasnya masing-masing, karena diatur sesuai dengan persamaan agama, supaya dari sedini mungkin mereka telah mendapatkan pendidikan agama dibawah pimpinan pengasuh yang seagama sebagai pengganti ibu. Prinsip keempat adalah: keluarga-keluarga di Kinderdorf membentuk sebuah desa dimana keluarga-keluarga saling berbagi pengalaman dan bantu-membantu. Mereka juga hidup sebagai anggota yang berintegrasi dan memberikan kontribusi bagi masyarakat setempat. Melalui keluarga, desa dan masyarakat, setiap anak belajar ambil bagian secara aktif di dalam masyarakat.

Selain dari empat prinsip tersebut di atas, Kinderdorf juga memiliki tenaga psikolog untuk membantu anak-anak untuk mengenal lebih jauh bakat, minat, inteligensi anak-anak yang tinggal di Kinderdorf, dan berkonsultasi untuk masalah-masalah pribadi yang dimiliki oleh anak-anak tersebut. Setelah remaja, mereka diberi kebebasan untuk memilih sekolah di daerah Lembang atau di Bandung atau bahkan di luar daerah, tergantung pada tujuan dan bidang yang ingin digeluti oleh remaja. Jika mereka memilih untuk bersekolah atau kuliah di Bandung, maka mereka akan tinggal di asrama putri untuk remaja-remaja putri dan asrama putra untuk remaja-remaja putra. Dimana pada masing-masing asrama terdapat seorang pembina.

Walaupun Kinderdorf telah berusaha melakukan yang terbaik, berdasarkan


(13)

5

Universitas Kristen Maranatha 2009), ”Aku tetap merasakan adanya pandangan negatif terhadap diriku dan perasaan negatif, bahkan sampai aku keluar dari Kinderdorf. Walaupun Kinderdorf sudah memberikan yang terbaik kepadaku, ada luka batin yang tertoreh dalam di hatiku. Krisis identitas, yang ditandai oleh perasaan minder, tidak berani terbuka, sensitif, membuat aku mengalami kesulitan untuk masuk di dalam komunitas. Selain itu aku juga menjadi seorang pemberontak”.

Pengalaman-pengalaman dan tantangan-tantangan yang terjadi dalam kehidupan remaja dapat dievaluasi secara berbeda-beda. Hasil evaluasi remaja Kinderdorf terhadap pengalaman dan tantangan hidup yang mereka hadapi inilah yang disebut sebagai psychological being (Ryff, 1995). Psychological

well-being (PWB) dapat dilihat dari enam dimensi, yaitu self-acceptance, positive relations with others, personal growth, purpose in life, environmental mastery,

dan autonomy. Self-acceptance adalah patokan dimana individu harus berjuang untuk merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Positive relations with others adalah kemampuan untuk mempererat hubungan dan keberadaan hubungan dengan orang lain yang hangat, intim, saling percaya, berempati, dan bekerjasama dengan orang lain. Personal growth adalah usaha yang berkelanjutan individu mampu menilai dirinya untuk dan telah bertumbuh serta berkembang, berubah dalam cara yang lebih efektif, mau terbuka pada pengalaman-pengalaman baru, dan mampu merealisasikan potensinya. Purpose in life terdiri atas maksud dan tujuan individu untuk hidup, yang meliputi adanya tujuan hidup dan penghayatan bahwa hidup itu mempunyai arah. Environmental mastery meliputi kemampuan individu untuk mengenali kebutuhan personalnya, berperan aktif dalam mengatur


(14)

Universitas Kristen Maranatha dan mengontrol kejadian sehari-hari, mengefektifkan kesempatan yang ada untuk menciptakan kondisi tertentu yang sesuai dengan kebutuhannya tersebut.

Autonomy adalah merefleksikan pencarian akan penentuan diri (self-determination) dan otoritas personal/ kemandirian dalam masyarakat yang

terkadang mendorong pada sikap obedience dan compliance.

Seseorang dikatakan memiliki PWB yang tinggi jika memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain, mengembangkan diri mereka sebaik mungkin dan berusaha mengeksplorasinya, memiliki tujuan-tujuan yang membuat hidup mereka menjadi bermakna, mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka, dan mampu membuat keputusan sendiri dan meregulasi perilaku mereka sendiri. Sedangkan untuk psychological well-being rendah adalah yang sebaliknya. Individu yang memiliki PWB tinggi akan dapat merasa puas atas hidupnya selama ini, merasa hidupnya berisi dan bermakna. Sedangkan individu yang memiliki PWB rendah akan merasa sebaliknya.

Berdasarkan hasil survei terhadap delapan remaja Kinderdorf Bandung, 100% remaja menyatakan bahwa merasa senang tinggal di Kinderdorf. Dari 100% tersebut, 25% remaja tersebut mau mengakui dan menerima kelebihan dan kekurangan diri mereka apa adanya. Sedangkan 75% lainnya menyatakan bahwa mereka sulit mengakui dan menerima kelebihan dan kekurangan diri mereka, dan semakin tidak bisa menerima kekurangan mereka kalau mereka melakukan kesalahan. Dalam dimensi self-acceptance ini, lebih banyak remaja yang menghayati bahwa mereka belum dapat menerima diri mereka apa adanya.


(15)

7

Universitas Kristen Maranatha Dari delapan remaja tersebut, terdapat 87,5% remaja senang menjalin dan mempererat relasi dengan orang lain (ibu asuh, teman, pembina, guru). Mereka juga mengatakan bahwa mereka mampu menjalin hubungan yang hangat dan mendalam dengan orang lain. Sedangkan 12,5% menyatakan tidak suka dan/ malas untuk menjalin relasi yang hangat dan intim dengan orang lain; bahkan menutup diri dan tidak mau dekat serta percaya kepada teman-teman lainnya. Dari 87,5% tersebut, 71,4% mampu menempatkan diri pada posisi orang lain dan ikut merasakan apa yang dialami oleh orang tersebut (berempati) dan 28,6% lainnya belum bisa berempati. Pada dimensi positive relations with others lebih banyak yang menghayati bahwa mereka menyukai dan mampu menjalin hubungan dengan orang-orang di sekeliling mereka.

Sebanyak 87,5% remaja Kinderdorf mau mengikuti beberapa kegiatan yang berbeda dan mau mencoba hal-hal baru bagi mereka. Sedangkan 12,5% lainnya tidak mau untuk mengembangkan diri, sering membolos dari kegiatan-kegiatan yang telah disediakan oleh Kinderdorf, serta tidak mau mencoba hal-hal baru. Dalam dimensi personal growth ini lebih banyak remaja yang menghayati bahwa mereka mau berusaha untuk mengembangkan diri dan tidak tertutup pada kesempatan untuk mencoba hal-hal yang baru.

Dari kedelapan remaja tersebut, 100% memiliki cita-cita yang ingin dicapai berdasarkan keinginan sendiri, menyadari mengapa mereka memilih cita-cita tersebut. Selain itu, remaja-remaja tersebut berusaha untuk mencapai cita-cita-cita-cita tersebut dengan cara mengikuti kegiatan-kegiatan yang mendukung cita-cita mereka, bertanya kepada orang yang mampu/ ahli di bidang yang sama dengan


(16)

Universitas Kristen Maranatha cita-cita mereka. Pada dimensi purpose in life ini, semuanya mengevaluasi bahwa mereka memiliki tujuan hidup yang jelas dan telah berusaha untuk mencapai cita-cita mereka tersebut.

Sebanyak 37,5% remaja Kinderdorf memiliki jadwal pribadi dan mengevaluasi bahwa diri mereka mengetahui apa yang menjadi keinginan-keinginan yang ingin mereka capai dan telah menggunakan cara yang efektif untuk memperoleh sesuatu, sehingga mereka sering berhasil mendapatkan hal yang diiinginkan. Sedangkan 62,5% tidak pernah membuat jadwal pribadi dan mengevaluasi diri mereka menggunakan cara yang kurang efektif untuk mendapatkan sesuatu, sehingga mereka sering tidak mendapatkan hal yang diinginkan. Ketika menghadapi masalah, terdapat 39% yang yang berusaha untuk menyelesaikannya hingga selesai dan memiliki keyakinan bahwa mereka mampu menyelesaikan masalahnya tersebut. Sedangkan 61% lebih memilih untuk menghindari masalah yang sedang di alami karena mereka mengevaluasi diri mereka tidak mampu untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam dimensi

environmental mastery ini, lebih banyak remaja yang mengevaluasi diri mereka

belum mampu untuk mengendalikan aktivitas eksternal dan mengefektifkan kesempatan yang ada, memilih dan menciptakan kondisi tertentu yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuan pribadi mereka.

Sebanyak 37,5% remaja mengatakan bahwa mereka mampu untuk mempertahankan pendapat-pendapat mereka ketika sedang berbeda pendapat dengan orang lain. Sedangkan sebanyak 62,5% remaja memilih untuk mengikuti pendapat orang lain daripada mempertahankan pendapatnya sendiri. Ada


(17)

9

Universitas Kristen Maranatha sebanyak 75% remaja mengevaluasi bahwa diri mereka mampu mempertahankan prinsip moral yang mereka miliki (tidak mau melanggar peraturan) ketika dihadapkan pada ajakan-ajakan yang melanggar aturan, dan 25% remaja yang tidak memiliki prinsip moral - sehingga mereka mengikuti ajakan-ajakan yang melanggar aturan. Sebanyak 62,5% remaja tersebut sering melakukan evaluasi dan hasil evaluasinya adalah positif, sedangkan sebanyak 37,5% remaja lainnya jarang melakukan evaluasi. Dalam dimensi autonomy ini, lebih banyak remaja yang mengevaluasi diri mereka untuk mengikuti pendapat orang lain daripada mempertahankan pendapat mereka sendiri.

Para remaja Kinderdorf yang mengalami peristiwa khas dibandingkan remaja yang tinggal dengan keluarga mereka sendiri mengevaluasi peristiwa-peristiwa dalam hidup mereka secara berbeda-beda. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti tentang derajat psychological well-being pada remaja Kinderdorf di Bandung yang memiliki kekhasan dan yang ditindaklanjuti dengan kekhasan dari sistem pengasuhan Kinderdorf juga.

1.2 Identifikasi Masalah

Bagaimana derajat psychological well-being pada remaja di Kinderdorf Bandung.


(18)

Universitas Kristen Maranatha 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Untuk memperoleh gambaran derajat psychological well-being pada remaja-remaja Kinderdorf Bandung yang dilihat dari keenam dimensinya.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk memperoleh gambaran psychological well-being pada remaja-remaja Kinderdorf Bandung.

Untuk memperoleh gambaran psychological well-being remaja-remaja Kinderdorf Bandung yang dilihat lebih jelas lagi melalui keenam dimensinya.  Untuk melihat keterkaitan antara faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

dimensi-dimensi PWB.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Ilmiah

 Sebagai informasi tambahan bagi ilmu Psikologi Perkembangan dan Psikologi Sosial mengenai derajat psychological well-being pada remaja panti asuhan.

 Sebagai informasi bagi peneliti selanjutnya, khususnya yang tertarik untuk meneliti derajat psychological well-being pada remaja panti asuhan.


(19)

11

Universitas Kristen Maranatha 1.4.2 Kegunaan Praktis

 Memberikan informasi bagi pengelola Kinderdorf mengenai derajat

psychological well-being remaja-remaja yang tinggal di sana sebagai

bahan referensi untuk menyusun program-program panti yang sesuai kebutuhan dengan para remaja yang tinggal di Kinderdorf, khususnya Kinderdorf Bandung.

 Memberikan informasi kepada ibu asuh Kinderdorf mengenai derajat

psychological well-being para remaja yang menjadi anak asuh mereka,

sehingga mereka dapat lebih peka dalam melihat aspek-aspek

psychological well-being dan membantu meningkatkan psychological well-being remaja-remaja asuh mereka.

1.5 Kerangka Pemikiran

Panti asuhan adalah suatu wadah yang menampung anak-anak yatim piatu. Di dalam panti asuhan, anak-anak yatim piatu dan anak yang dititipkan orang tuanya karena memiliki masalah ekonomi. Anak-anak tersebut dibekali pendidikan, dan juga dengan berbagai keterampilan agar dapat berguna di kehidupan nanti (http://id.wikipedia.org/wiki/Panti_asuhan). Anak-anak yang tinggal di Kinderdorf dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori. Pertama, remaja yang tidak memiliki orang tua/ orang tuanya tidak diketahui keberadaannya. Kedua adalah masih memiliki keluarga (lengkap/ hanya salah satu orang tua) dan terkadang masih bertemu/ pulang ke rumah mereka yang sesungguhnya, tetapi karena alasan ekonomi mereka diserahkan/ dititipkan di


(20)

Universitas Kristen Maranatha Kinderdorf oleh keluarga mereka. Ketiga, adalah remaja yang masih memiliki keluarga tetapi tidak pernah bertemu sama sekali.

Remaja adalah periode transisi dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa yang dimulai pada usia kira-kira 10 tahun dan berakhir pada usia 22 tahun (Santrock, 1995). Menurut Hurlock (1999), masa remaja merupakan periode transisi dari masa kanak-kanak menuju ke masa awal dewasa, sehingga mereka tidak bisa dikatakan lagi sebagai anak-anak, tetapi juga belum bisa dikatakan sebagai seorang dewasa. Selain itu, dewasa ini para remaja menghadapi tuntutan, harapan, serta risiko-risiko dan godaan-godaan, yang nampaknya lebih banyak dan kompleks daripada yang dihadapi oleh para remaja generasi sebelumnya (Feldman & Elliott, 1990; Hamburg, 1993; Hechinger, 1992). Mayoritas remaja menganggap transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa sebagai suatu masa perkembangan fisik, kognitif, dan sosial yang memberi tantangan, peluang-peluang, dan pertumbuhan yang besar sekali (Santrock, 1993; Takanishi, 1993). Hal ini masih ditambah dengan keadaan mereka yang harus tinggal di panti asuhan, jauh dari keluarga (bagi yang memiliki).

Pengalaman dan tantangan yang dihadapi oleh remaja Kinderdorf sepanjang hidup dapat dievaluasi secara berbeda-beda. Hasil evaluasi inilah yang disebut sebagai psychological well-being. Psychological well-being (Ryff, 1995) adalah penilaian/ evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya yang dilihat dari enam dimensi yang membentuknya, yaitu self-acceptance, positive relations

with others, personal growth, purpose in life, environmental mastery, dan autonomy. Remaja panti asuhan dapat dikatakan memiliki derajat psychological


(21)

13

Universitas Kristen Maranatha

well-being yang tinggi jika mereka memiliki sikap yang positif terhadap dirinya

sendiri dan orang lain, mengembangkan diri mereka sebaik mungkin dan berusaha mengeksplorasinya, memiliki tujuan-tujuan yang membuat hidup mereka menjadi bermakna, mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka, dan mampu membuat keputusan sendiri dan meregulasi perilaku mereka sendiri. Sedangkan untuk psychological well-being rendah adalah yang sebaliknya.

Self-acceptance merupakan keadaan dimana seseorang harus berjuang

untuk merasa nyaman dengan dirinya sendiri melalui penerimaan diri. Remaja panti asuhan yang memiliki self-acceptance tinggi mengakui dan menerima berbagai kualitas baik dan buruk dalam diri mereka, serta mengevaluasi masa lalu sebagai pengalaman hidup yang berharga. Sedangkan remaja panti asuhan yang memiliki self-acceptance rendah sulit menerima keadaan dirinya yang tinggal di panti asuhan, merasa kecewa dengan kejadian dalam kehidupannya di masa lalu, sulit menerima kualitas baik dan buruk dalam dirinya.

Sef-acceptance ini terkait juga dengan faktor kepribadian (Big Five Personality) neuroticism, yaitu kecenderungan untuk mudah mengalami perasaan

yang tidak menyenangkan, seperti marah, cemas, depresi, atau rentan; terkadang disebut emosi yang tidak stabil. Faktor kepribadian neuroticism ini terkait dengan

self-acceptance karena remaja panti asuhan dengan tipe kepribadian ini cenderung

memiliki emosi yang negatif mengenai pengalamannya. Selain itu, sistem

cottage’ yang diterapkan Kinderdorf ini juga memungkinkan untuk memberikan keluarga pengganti bagi mereka, memberikan kasih sayang, rasa aman, dan


(22)

Universitas Kristen Maranatha dihargai. System cottage yang diterapkan ini diharapkan dapat menyembuhkan luka-luka batin dan menumbuhkan kepercayaan dan keyakinan pada diri sendiri maupun kepada orang lain, sehingga mereka bisa membangun dan mempertahankan hubungan yang langgeng dengan orang lain (teman, kakak, adik, ibu asuh, pembina, dan guru), serta mampu berempati. Hal ini juga turut terkait dengan dimensi positive relations with others.

Positive relations with others merupakan kemampuan untuk menjalin

hubungan yang intim dan hangat dengan orang lain. Remaja panti asuhan yang memiliki positive relations with others tinggi mampu mempererat hubungan untuk membangun hubungan jangka panjang dan memiliki kualitas hubungan dengan orang lain yang hangat, saling percaya, serta intim. Selain itu, peduli akan kesejahteraan orang lain, dan mampu berempati, bekerjasama, dan berkompromi dalam berbagai hal. Sedangkan untuk remaja panti asuhan yang memiliki positive

relations with others rendah sulit untuk menjalin hubungan yang intim dan hangat

dengan orang lain, sulit terbuka dan peduli pada kesejahteraan orang lain, sulit berempati, bekerjasama, dan berkompromi dalam berbagai hal. Positive relations

with others terkait dengan faktor kepribadian dan jenis kelamin. Menurut Big Five Personality faktor kepribadian aggreeableness remaja panti asuhan tekait dengan

kecenderungan remaja untuk bersikap terbuka, peduli, dan bekerjasama dengan orang lain sehingga dapat meningkatkan derajat dimensi positive relations with

others. Menurut Ryff & Keyes (1995), biasanya wanita mendapatkan skor yang

lebih tinggi daripada pria untuk dimensi ini; karena perkembangan wanita tidak begitu individual, sehingga wanita lebih fokus pada hubungan interpersonal


(23)

15

Universitas Kristen Maranatha dibandingkan laki-laki. Begitu juga dengan dimensi autonomy dan personal

growth karena wanita dianggap lebih banyak menghadapi masalah psikologis, dan

ketika mereka mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan suatu akhir yang baik/ positif, mereka menunjukkan kekuatan psikologis yang unik, sehingga dapat semakin mengembangkan personal growth mereka.

Personal growth merupakan usaha yang berkelanjutan untuk mencapai

dan mengembangkan keterampilan, talenta, dan kesempatan yang tersedia untuk perkembangan diri dan untuk merealisasikan potensi seseorang. Selain itu juga meliputi kapasitas untuk bersikap terbuka terhadap pengalaman baru dan untuk mengidentifikasikan tantangan-tantangan dalam berbagai kondisi nyata. Remaja panti asuhan yang memiliki personal growth tinggi adalah remaja yang memiliki keterbukaan terhadap pengalaman baru, mau mengembangkan diri, dan mampu merealisasikan potensi dirinya. Sedangkan remaja panti asuhan yang memiliki

personal growth rendah adalah remaja yang kurang memiliki keterbukaan terhdap

pengalaman baru, kurang mau mengembangkan diri dan merealisasikan potensi dirinya.

Faktor-faktor kepribadian yang terkait dengan personal growth ini adalah faktor kepribadian openness to experience, karena individu yang memiliki tipe kepribadian ini cenderung memiliki rasa ingin tahu, terbuka pada hal-hal baru dan berbagai pengalaman, dan extraversion karena cenderung mencari stimulus/ pengalaman baru yang terkait dengan pengembangan dimensi personal growth. Selain itu, personal growth juga terkait dengan faktor tingkat pendidikan. Remaja yang tingkat pendidikannya rendah cenderung kurang memiliki kesempatan untuk


(24)

Universitas Kristen Maranatha mengembangkan diri; walaupun mungkin saja remaja yang tingkat pendidikannya rendah merasa puas dalam hidupnya. Beragamnya kegiatan yang ditawarkan oleh Kinderdorf terhadap remaja asuhannya dan pengenalan sejak dini terhadap minat, bakat, dan inteligensi remaja-remaja tersebut juga memungkinkan remaja dibimbing untuk mengenal dan dapat mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki melalui pendidikan dan latihan keterampilan yang mereka perlukan untuk dapat menjadi anggota masyarakat yang berhasil dan berguna.

Purpose in life adalah maksud dan tujuan seseorang untuk hidup, meliputi

tujuan hidup dan penghayatan bahwa hidup ini mempunyai arah. Remaja panti asuhan yang memiliki purpose in life tinggi memiliki cita-cita dan berusaha untuk mencapainya, dan cenderung memandang hidup mereka sehari-hari sebagai sebuah bentuk pemenuhan akan arah dan tujuan, sehingga memandang masa kini dan masa lalu sebagai sesuatu yang bermakna. Sedangkan remaja panti asuhan yang memiliki purpose in life rendah belum memiliki cita-cita yang ingin dicapainya dan cenderung merasa bahwa hidupnya tidak berarti, tidak mampu melihat adanya tujuan dari pengalaman masa lalu, dan memiliki tujuan/ harapan yang sedikit untuk masa depan mereka. Faktor-faktor yang terkait dengan dimensi

purpose in life ini adalah faktor tingkat pendidikan, karena mereka yang tingkat

pendidikannya tinggi cenderung memiliki penghayatan yang lebih baik terhadap tujuan-tujuan dan arahan dalam hidup (Ryff, 1994).

Environmental mastery merupakan kemampuan individu mengenali

kebutuhan dan hasrat personalnya, merasa mampu dan memungkinkan untuk mengambil peran aktif dalam mendapatkan apa yang dibutuhkan dari lingkungan.


(25)

17

Universitas Kristen Maranatha Remaja panti asuhan yang memiliki environmental mastery tinggi cenderung mengetahui apa yang menjadi kebutuhan personal mereka, dan berusaha untuk mengefektifkan kesempatan yang ada sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan pribadi mereka dengan cara memilih dan menciptakan kondisi tertentu yang sesuai. Sedangkan remaja yang memiliki environmental mastery rendah cenderung tidak mengetahui apa yang menjadi kebutuhan personal mereka secara pasti; atau ketika mereka mengetahui kebutuhan personal mereka pun, mereka kurang mampu menggunakan kesempatan yang ada untuk mendapatkan apa yang menjadi kebutuhan mereka.

Faktor-faktor yang terkait dengan dimensi environmental mastery ini adalah faktor usia. Berdasarkan hasil penelitian Ryff (1989), seiring dengan peningkatan usia, dimensi environmental mastery juga mengalami peningkatan. Semakin bertambah usia remaja, semakin bertambah juga pengalaman-pengalaman hidupnya, sehingga hal ini memiliki keterkaitan dengan dimensi

environmental mastery. Hal ini juga berlaku untuk dimensi autonomy. Selain itu,

dimensi environmental mastery ini juga terkait dengan faktor kepribadian

neuroticism, extraversion, conscientiousness dari Big Five Personality. Remaja

panti dengan tipe neuroticism cenderung mudah merasa cemas dan depresi (emosinya tidak stabil) terhadap kejadian-kejadian sehari-hari dalam hidupnya sehingga akan menurunkan derajat environmental mastery. Remaja panti dengan tipe kepribadian extraversion cenderung memiliki emosi yang positif terhadap kejadian-kejadian sehari-hari dalam hidupnya, berusaha untuk melakukan berbagai kegiatan untuk mencapai kebutuhan dan hasrat personalnya, serta


(26)

Universitas Kristen Maranatha mencari dukungan dari orang-orang disekitarnya (social support) sehingga akan meningkatkan derajat environmental mastery. Remaja panti dengan tipe kepribadian conscientiousness, cenderung mengetahui apa yang menjadi kebutuhan dan hasrat personalnya, berusaha untuk mengatur kejadian sehari-hari untuk mendapatkan kebutuhan dan hasrat personalnya tersebut, dan merencanakan dan melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan rencana sehingga akan meningkatkan derajat environmental mastery.

Autonomy merupakan kemampuan untuk merefleksikan pencarian akan

penentuan diri (self-determination) dan otoritas personal atau kemandirian dalam masyarakat yang terkadang mendorong pada sikap obedience (patuh karena adanya kontrol dari dalam diri) dan compliance (patuh karena adanya kesadaran dari dalam diri). Remaja panti asuhan yang memiliki autonomy tinggi memiliki kemampuan untuk menginternalisasikan dan mempertahankan nilai-nilai/ prinsip-prinsip yang mendasar dari tekanan-tekanan sosial sehingga dapat berpikir dan bertindak dengan cara-cara tertentu, serta memandu dan mengevaluasi perilaku berdasarkan standar dan nilai yang diinternalisasikan. Remaja panti asuhan yang memiliki autonomy rendah adalah remaja yang kurang mampu menginternalisasikan dan mempertahankan nilai-nilai/ prinsip-prinsip, sehingga mereka mudah terpengaruh oleh pengaruh buruk ketika mereka mendapat tekanan dari orang-orang di sekeliling mereka. Oleh karena itu, mereka kurang mampu mengevaluasi perilaku mereka berdasarkan standar pribadi. Sistem ‘

cottage-terpadu ini juga mengajarkan tentang nilai-nilai dan rasa tanggung jawab serta dibimbing untuk membentuk masa depan mereka sendiri, serta berperan menjadi


(27)

19

Universitas Kristen Maranatha anggota masyarakat yang aktif; sehingga diharapkan dapat meningkatkan derajat

psychological well-being. Autonomy terkait dengan bermacam-macam trait tapi


(28)

Universitas Kristen Maranatha Remaja yang tinggal

di Kinderdorf

Psychological well-being

Tinggi

Rendah

1. Self-acceptance

2. Positive relations with others 3. Personal growth

4. Purpose in life

5. Environmental mastery 6. Autonomy

Faktor-faktor yang mempengaruhi:

a. Sosiodemografi - Jenis kelamin - Usia

-Tingkat pendidikan b. Kepribadian


(29)

21

Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi

Remaja Kinderdorf memiliki derajat psychological well-being yang berbeda-beda.

Tinggi atau rendahnya derajat psychological well-being remaja Kinderdorf ditentukan oleh enam dimensi yang membentuknya, yaitu self-acceptance,

positive relations with others, personal growth, purpose in life, environmental mastery, dan autonomy.

Derajat psychological well-being remaja Kinderdorf dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan faktor kepribadian.

 Masing-masing faktor-faktor tersebut mempengaruhi dimensi-dimensi yang ada secara berbeda-beda dalam diri remaja Kinderdorf.


(30)

73 Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological

well-being (PWB) yang dilakukan pada remaja Kinderdorf Bandug, maka diperoleh

kesimpulan sebagai berikut:

1. Remaja Kinderdorf memiliki persentase derajat PWB yang merata, yaitu sebanyak 50% (19 orang) untuk kategori PWB yang tinggi dan rendah. 2. Remaja Kinderdorf Bandung yang tinggal di Lembang lebih banyak yang

memiliki derajat PWB yang tinggi dibandingkan dengan remaja Kinderdorf Bandung yang tinggal di asrama.

3. Dimensi pada kategori tinggi yang paling banyak dimiliki remaja Kinderdorf Bandung adalah dimensi autonomy. Sedangkan dimensi yang paling pada kategori tinggi yang paling sedikit dimiliki remaja Kinderdorf Bandung adalah dimensi positive relations with others.

4. Hasil penelitian yang berbeda dengan penelitian Ryff:

- Pada dimensi positive relations with others dan personal growth, remaja laki-laki lebih banyak yang berada pada kategori tinggi dibandingkan dengan remaja perempuan.

- Remaja Kinderdorf Bandung yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih banyak yang menunjukkan personal


(31)

74

Universitas Kristen Maranatha - Big Five Personality dan dimensi-dimensi PWB

Remaja yang memiliki tipe kepribadian openness dan extraversion justru lebih banyak yang memiliki personal growth rendah.

Remaja yang memiliki tipe kepribadian extraversion juga lebih banyak yang memiliki positive relations with others dan environmental

mastery yang rendah.

Remaja yang memiliki tipe kepribadian consciencetiousness dan

neuroticism juga lebih banyak yang memiliki environmental mastery

yang rendah.

Tipe kepribadian consciencetiousness lebih terkait dengan dimensi

autonomy daripada tipe kepribadian neuroticism.

5. Remaja Kinderdorf Bandung yang memiliki penghayatan sangat senang, lebih banyak yang menunjukan dimensi-dimensi PWB yang rendah, kecuali untuk dimensi positive relations with others.

6. Remaja Kinderdorf Bandung yang masih melakukan kontak dengan orangtua kandungnya lebih banyak yang memiliki skor yang rendah di semua dimensi-dimensi PWB, kecuali dimensi positive relations with

others.

7. Banyaknya jumlah kegiatan yang diikuti oleh remaja Kinderdorf Bandung tidak menunjukkan keterkaitan yang signifikan dengan dimensi-dimensi

psychological well-being.

8. Banyaknya social support yang dimiliki remaja Kinderdorf Bandung tidak menunjukkan keterkaitan dengan dimensi-dimensi PWB.


(32)

Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran

5.2.1 Saran Metodologis

1. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan penelitian lanjutan psychological

well-being untuk remaja Kinderdorf Lembang pada saat mereka telah tinggal

di Kinderdorf luar Lembang, apakah memang terjadi penurunan/ perbedaan derajat psychological well-being dan dimensi-dimensinya.

2. Penelitian lanjutan untuk mengetahui kontribusi dari data-data penunjang mana saja yang mempengaruhi psychological well-being remaja-remaja yang tinggal di panti asuhan, khususnya yang tinggal di Kinderdorf Lembang.

5.2.2 Saran Praktis

1. Direktur SOS Desa Taruna Kinderdorf Bandung dapat mengkaji ulang sistem pengasuhan pada remaja-remaja yang tinggal di asrama yang berada di luar Lembang dan membuat sistem pengasuhan yang lebih sesuai dengan remaja-remaja tersebut sehingga dapat membantu untuk meningkatkan dimensi-dimensi psychological well-being remaja-remaja tersebut.

2. Memperluas peranan psikolog Kinderdorf dalam hal konseling, baik secara

face to face ataupun group counseling untuk meningkatkan psychological well-being dan dimensi-dimensi dari para remaja SOS Desa Taruna


(33)

76 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

John, Oliver P., & Srivastava, Sanjay. 1999. The Big Five Trait Taxonomy:

History, Measurement, and Theoritical Perspectives. Berkeley: University

of California.

Keyes, dkk. The Measurement and Utility of Adult Subjective Well Being. In Lopez, Shane J, & Snyder, C.R (ed). 2003. Positive Psychological

Assessment; A Handbook of Models and Measures. Washington DC:

American Psychological Association.

Nazir, Moh. Metode Penelitian. 2005. Cetakan kelima Bogor: Ghalia Indonesia.

Ryff, Carol D., 1989. Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on the

Meaning of Psychological Well Being. “Journal of Personality and Social

Psychology”. Vol. 57: 1069-1081.

. 1994. Psychological Well-Being in Adult Life. “Current Directions in Psychological Science”.

____________, & Keyes. 1995. The Structure of Psychological Well-Being

Revisited. “Journal of Personality and Social Psychology”. Vol. 69:

719-727.

, dkk. 2002. Optimizing Well Being: the Empirical Encounter of

Two Traditions. “Journal of Personality and Social Psychology”. Vol. 82 :

1007-1022.

, & Singer. 2006. Know Thyself and Become What You Are: A Eudaimonic Approach Psychological Well-Being. “Journal of Happiness Studies”.

Santrock, John W., 2002. Life-Span development: Perkembangan Masa Hidup Jilid 2. 5th ed. Jakarta: Erlangga.


(34)

Universitas Kristen Maranatha The American Academy of Child and Adolescent Psychiatry. 2000. Your

Adolescent: Emotional, Behavioral, and Cognitive Development from Early Adolescence through the Teen Years. New York: Harper Resource.


(35)

78

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Big Five Personality. 2008. (http://www.rumahbelajarpsikologi.html, diakses

tanggal 24 Maret 2009).

Big Five Personality Traits.

(http://en.wikipedia.org/wiki/Big_Five_personality_traits, diakses 9 Februari 2009).

Halim, Magdalena S., & Atmoko, Wahyu D. Maret 2005. Jurnal Psikologi Vol. 15, No. 1. Hubungan antara Kecemasan akan HIV/AIDS dan

Psychological Well-Being pada Waria yang Menjadi Pekerja Seks

Komersial, hlm. 17-31.

Kongres Anak Nasional SOS Desa Taruna Indonesia.

(http://semuasosdti.blogspot.com/, diakses 16 September 2009).

McCrae, R.R., & Allik, J. 2002. The Five Factor Model of personality across

cultures. New York: Kluwer Academic/ Plenum Publishers

(http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/big-5-p.html, diakses 22 Februari 2009).

Mustokoweni, Emilia. 2004. Perbedaan Kecerdasan Emosional antara Anak

Panti Asuhan dengan Sistem Pengasuhan Ibu Asuh dan Anak Panti Asuhan dengan Sistem Pengasuhan Tradisional. Skripsi. Jakarta: Unika

Atma Jaya

(http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=77926, diakses 5 September 2009).

Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Edisi Revisi II. Agustus 2007. Bandung:

Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Panti Asuhan (http://id.wikipedia.org/wiki/Panti_asuhan, diakses 14 September 2009).


(36)

Universitas Kristen Maranatha Psikologi Anak Panti Asuhan. 19 April 2008.

(http://creasoft.wordpress.com/2008/04/19/psikologi-anak-panti-asuhan/, diakses 5 Maret 2010).

Rola, F. 2006. Konsep Diri Remaja Penghuni Panti Asuhan. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara

(http://library.usu.ac.id/download/fk/06010308.pdf, diakses 5 September 2009).

Tejalaksana Rudy, M.K. 2009. Seri Konseling Anak/ Remaja yang Mengalami

Emotional Deprivation dari Orangtua (Konseling Bagi Anak-Anak Panti

Asuhan). (http://his-shelter-community.blogspot.com/2009/12/pelayanan-konseling-bagi-anak-anak.html, diakses 13 April 2010).

SOS Desa Taruna Profile. 21 Maret 2008.

(http://semuasosdti.blogspot.com/2008/03/sos-desa-taruna-profile_21.html, diakses 23 November 2009).

Wahyudi. 2007. SOS Kinderdorf Mengubah Masa Depanku

(http://khowahyudi.blogspot.com/2009/02/3-sos-kinderdorf-mengubah-masa-depanku.html, diakses 23 November 2009).


(1)

Universitas Kristen Maranatha - Big Five Personality dan dimensi-dimensi PWB

Remaja yang memiliki tipe kepribadian openness dan extraversion justru lebih banyak yang memiliki personal growth rendah.

Remaja yang memiliki tipe kepribadian extraversion juga lebih banyak yang memiliki positive relations with others dan environmental mastery yang rendah.

Remaja yang memiliki tipe kepribadian consciencetiousness dan neuroticism juga lebih banyak yang memiliki environmental mastery yang rendah.

Tipe kepribadian consciencetiousness lebih terkait dengan dimensi autonomy daripada tipe kepribadian neuroticism.

5. Remaja Kinderdorf Bandung yang memiliki penghayatan sangat senang, lebih banyak yang menunjukan dimensi-dimensi PWB yang rendah, kecuali untuk dimensi positive relations with others.

6. Remaja Kinderdorf Bandung yang masih melakukan kontak dengan orangtua kandungnya lebih banyak yang memiliki skor yang rendah di semua dimensi-dimensi PWB, kecuali dimensi positive relations with others.

7. Banyaknya jumlah kegiatan yang diikuti oleh remaja Kinderdorf Bandung tidak menunjukkan keterkaitan yang signifikan dengan dimensi-dimensi psychological well-being.

8. Banyaknya social support yang dimiliki remaja Kinderdorf Bandung tidak menunjukkan keterkaitan dengan dimensi-dimensi PWB.


(2)

75

5.2 Saran

5.2.1 Saran Metodologis

1. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan penelitian lanjutan psychological well-being untuk remaja Kinderdorf Lembang pada saat mereka telah tinggal di Kinderdorf luar Lembang, apakah memang terjadi penurunan/ perbedaan derajat psychological well-being dan dimensi-dimensinya.

2. Penelitian lanjutan untuk mengetahui kontribusi dari data-data penunjang mana saja yang mempengaruhi psychological well-being remaja-remaja yang tinggal di panti asuhan, khususnya yang tinggal di Kinderdorf Lembang.

5.2.2 Saran Praktis

1. Direktur SOS Desa Taruna Kinderdorf Bandung dapat mengkaji ulang sistem pengasuhan pada remaja-remaja yang tinggal di asrama yang berada di luar Lembang dan membuat sistem pengasuhan yang lebih sesuai dengan remaja-remaja tersebut sehingga dapat membantu untuk meningkatkan dimensi-dimensi psychological well-being remaja-remaja tersebut.

2. Memperluas peranan psikolog Kinderdorf dalam hal konseling, baik secara face to face ataupun group counseling untuk meningkatkan psychological well-being dan dimensi-dimensi dari para remaja SOS Desa Taruna Kinderdorf Bandung yang masih rendah.


(3)

76 Universitas Kristen Maranatha of California.

Keyes, dkk. The Measurement and Utility of Adult Subjective Well Being. In Lopez, Shane J, & Snyder, C.R (ed). 2003. Positive Psychological Assessment; A Handbook of Models and Measures. Washington DC: American Psychological Association.

Nazir, Moh. Metode Penelitian. 2005. Cetakan kelima Bogor: Ghalia Indonesia.

Ryff, Carol D., 1989. Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on the Meaning of Psychological Well Being. “Journal of Personality and Social Psychology”. Vol. 57: 1069-1081.

. 1994. Psychological Well-Being in Adult Life. “Current Directions in Psychological Science”.

____________, & Keyes. 1995. The Structure of Psychological Well-Being Revisited. “Journal of Personality and Social Psychology”. Vol. 69: 719-727.

, dkk. 2002. Optimizing Well Being: the Empirical Encounter of Two Traditions. “Journal of Personality and Social Psychology”. Vol. 82 : 1007-1022.

, & Singer. 2006. Know Thyself and Become What You Are: A Eudaimonic Approach Psychological Well-Being. “Journal of Happiness Studies”.

Santrock, John W., 2002. Life-Span development: Perkembangan Masa Hidup Jilid 2. 5th ed. Jakarta: Erlangga.


(4)

77

The American Academy of Child and Adolescent Psychiatry. 2000. Your Adolescent: Emotional, Behavioral, and Cognitive Development from Early Adolescence through the Teen Years. New York: Harper Resource.


(5)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Big Five Personality. 2008. (http://www.rumahbelajarpsikologi.html, diakses tanggal 24 Maret 2009).

Big Five Personality Traits.

(http://en.wikipedia.org/wiki/Big_Five_personality_traits, diakses 9 Februari 2009).

Halim, Magdalena S., & Atmoko, Wahyu D. Maret 2005. Jurnal Psikologi Vol. 15, No. 1. Hubungan antara Kecemasan akan HIV/AIDS dan

Psychological Well-Being pada Waria yang Menjadi Pekerja Seks Komersial, hlm. 17-31.

Kongres Anak Nasional SOS Desa Taruna Indonesia.

(http://semuasosdti.blogspot.com/, diakses 16 September 2009).

McCrae, R.R., & Allik, J. 2002. The Five Factor Model of personality across cultures. New York: Kluwer Academic/ Plenum Publishers

(http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/big-5-p.html, diakses 22 Februari 2009).

Mustokoweni, Emilia. 2004. Perbedaan Kecerdasan Emosional antara Anak Panti Asuhan dengan Sistem Pengasuhan Ibu Asuh dan Anak Panti Asuhan dengan Sistem Pengasuhan Tradisional. Skripsi. Jakarta: Unika Atma Jaya

(http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=77926, diakses 5 September 2009).

Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Edisi Revisi II. Agustus 2007. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Panti Asuhan (http://id.wikipedia.org/wiki/Panti_asuhan, diakses 14 September 2009).


(6)

79

Psikologi Anak Panti Asuhan. 19 April 2008.

(http://creasoft.wordpress.com/2008/04/19/psikologi-anak-panti-asuhan/, diakses 5 Maret 2010).

Rola, F. 2006. Konsep Diri Remaja Penghuni Panti Asuhan. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara

(http://library.usu.ac.id/download/fk/06010308.pdf, diakses 5 September 2009).

Tejalaksana Rudy, M.K. 2009. Seri Konseling Anak/ Remaja yang Mengalami Emotional Deprivation dari Orangtua (Konseling Bagi Anak-Anak Panti Asuhan). (http://his-shelter-community.blogspot.com/2009/12/pelayanan-konseling-bagi-anak-anak.html, diakses 13 April 2010).

SOS Desa Taruna Profile. 21 Maret 2008.

(http://semuasosdti.blogspot.com/2008/03/sos-desa-taruna-profile_21.html, diakses 23 November 2009).

Wahyudi. 2007. SOS Kinderdorf Mengubah Masa Depanku

(http://khowahyudi.blogspot.com/2009/02/3-sos-kinderdorf-mengubah-masa-depanku.html, diakses 23 November 2009).