Masyarakat Adat dan Desa Adat

Cara pandang kritis terhadap hukum
ternyata sangat perlu diperkenalkan kepada umum
sebab memandang hukum sebagai aturan sakral
yang konon diturunkan dari “surga” saja
rupa-rupanya tidak mencukupi kebutuhan manusia
akan perkembangan sosial yang sehat (Maria Rita Ruwiastuti)

Masyarakat Adat: Lintasan Perjalanan Sejak Kolonialisasi Hingga
UU 6/2014 2014 Tentang Desa : Jalan Itu Masih Panjang1.
Oleh Yesua YDK Pellokila, SH.MH2
Pengantar
Kemunculan gerakan masyarakat adat melalui berbagai organisasinya pada
tahun 80an merupakan akumulasi dari suatu perjalanan panjang menuntut
pengakuan Negara atas keberadaan mereka di bumi Indonesia. Berbagai
kekerasan, stigmatisasi, konflik-konflik tenurial dengan lembaga-lembaga
pemerintah dan swasta serta kriminalisasi para anggota masyarakat adat di
lembaga hukum dan peradilan karena upaya mempertahankan tanah warisan
leluhur secara bertahap telah mendorong masyarakat adat membangun
solidaritas antar komunitas dan persekutuan hukum yang hidup terpencar di
berbagai wilayah Nusantara. Organisasi-organisasi masyarakat sipil pun turut
ambil bagian memberikan dukungan dalam berbagai bentuk antara lain seperti

pelatihan dan pendidikan, pendampingan kasus, dokumentasi, lobby dan
negosiasi dengan lembaga-lembaga pemerintah, aparat penegak hukum hingga
pembelaan di depan pengadilan oleh para pengacara rakyat yang bertindak
individual maupun mewakili lembaga masing-masing. Puncak dari semua
gerakan yang tersebar dan terpisah-pisah di berbagai wilayah negeri Indonesia
itu adalah Kongres Masyarakat Adat Nusantara pada tahun 1999 – yang salah
satu hasilnya adalah pembentukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
sebagai satu-satunya wadah nasional gerakan masyarakat adat di Indonesia
untuk memperjuangan pengakuan Negara terhadap keberadaan masyarakat
adat. Pengakuan tersebut akan berimplikasi sosial, politik, ekonomi dan hukum
terhadap hak-hak masyarakat adat sebagai warga Negara Indonesia. Hak atas
kebebasan beragama, hak atas hidupnya, hak atas sumber-sumber agraria dan
alam di tanah-tanah warisan leluhur mereka.
Keberadaan masyarakat adat berakar jauh dalam sejarah Republik Indonesia.
Jauh sebelum kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), masyarakat
adat telah hidup dan berkembang bergenerasi di wilayah yang saat ini menjadi
wilayah Negara Indonesia. Berbagai literatur hukum pada zaman kolonialisasi
Belanda telah menulis tentang masyarakat adat menggunakan istilah masyarakat
hukum adat atau persekutuan hukum atau kesatuan masyarakat hukum.
Konsepsi masyarakat adat dan/atau masyarakat hukum adat terus berkembang

1 Tulisan ini merupakan tanggapan penulis terhadap permintaan Institute for Research dan
Empowerment (IRE) di Jogjakarta yang meminta penulis untuk menulis suatu artikel lepas
terkait keberadaan UU 6/2014 tentang Desa.
2 Manajer Operasional dan Pengembangan Lembaga. Sajogyo Institute. Kajian Studi-Studi
Agraria Indonesia.

1

sejak era kolonialisasi sampai dengan saat ini. Pada zaman kolonial, para peneliti
Belanda lebih menfokuskan kajian-kajian mereka pada aspek-aspek hukum adat
yang berbeda dengan hukum Belanda atau dikenal juga dengan hukum Eropa
Kontinental. Silih bergantinya rezim politik yang menguasai pemerintahan
Belanda ikut mempengaruhi pasang surut wacana pemberlakuan hukum di
Hindia Belanda3 sebagai negeri jajahan apakah akan menggunakan satu hukum
saja, yakni hukum Belanda dengan melakukan kodifikasi terhadap hukum adat
sehingga dapat diberlakukan menggunakan sistem hukum Belanda melalui suatu
unifikasi atau hukum adat dan hukum Belanda diberlakukan bersama-sama
untuk kelompok masyarakat berbeda, termasuk hukum-hukum warga Timur
Asing seperti India dan Cina yang juga menjadi penduduk Hindia Belanda pada
saat itu. Pasang surut itu berkontribusi signifikan terhadap kajian-kajian tentang

masyarakat hukum adat – yang pada saat itu merupakan bagian dari suatu
kelompok masyarakat yang dikenal sebagai masyarakat pribumi.
Sejak kemerdekaan Indonesia hingga saat ini, kesatuan dan/atau persekutuanpersekutuan masyarakat adat dibedakan dengan kelompok-kelompok
masyaratakat lainnya sebagaimana ditulis oleh Stepanus Djuweng dan Sandra
Moniaga “di Indonesia, mayoritas penduduk merupakan bangsa pribumi tetapi
tidak semua warga pribumi adalah mayarakat adat. Sesuai isi dari Pasal 1 (1.b),
Indigenous Peoples dalam konvensi ini dirumuskan sebagai masyarakat di
Negara-begara merdeka yang dianggap sebagai Bangsa Pribumi yang
penetapannya didasarkan pada asal usul (keturunan) mereka diantara penduduk
lain yang mendiami suatu Negara atau suatu wilayah geografis dimana suatu
Negara terletak”4. “Masyarakat adat adalah suatu satuan komuniti yang memiliki
asal usul leluhur secara turun temurun hidup di wilayah geografis tertentu serta
memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya dan sosial yang khas.
Jauh sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus diakui bahwa
beragam komunitas sosial dengan wujud dan tingkat kebudayaan yang sangat
beraneka dan unik telah berada, hidup dan melangsungkan aktifitas sosialkemasyarakatannya di seantero wilayah Nusantara” 5. Senada dengan itu, AMAN
merumuskan pengertian masyarakat adat sebagai “suatu komunitas yang
memiliki asal usul leluhur secara turun temurun hidup di wilayah geografis
tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya dan sosial
yang khas”6.

Literatur-literatur lebih tua yang berasal dari kajian-kajian sosiologis maupun
hukum, terutama hukum adat – yang ditulis sebelum gerakan masyarakat adat
mengkristal dan meluas ke seluruh pelosok negeri Indonesia maupun dunia –
lebih banyak menggunakan istilah persekutuan atau kesatuan masyarakat
hukum yang dikenal dengan sebutan rechtsgemeenschap. Misalnya salah satu
periset dan penulis kajian-kajian hukum adat bernama Ter Haar menulis “di
3 Lihat Soetandyo Wignjosoebroto. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. Dinamika SosialPolitik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia.
4 Stepanus Djuweng dan Sandra Moniaga. Kata Pengantar Buku Konvensi ILO 169. ELSAM dan
LBBT. Hal. 7.
5 KPA. Jurnal Masyarakat Adat No.1. Juli, 2008. Hal.1
6 ICRAF dan P3AE-UI. Kajian kebijakan hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia; suatu refleksi
pengaturan kebijakan dalam era Otonomi Daerah. 2001. Hal. 4

2

seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata terdapat pergaulan
hidup didalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan
terhadap dunia luar, lahir dan batin. Golongan-golongan itu mempunyai tata
susunan yang tetap dan kekal… golongan manusia tersebut mempunyai pula
pengurus sendiri dan mempunyai harta benda, milik keduniawian dan milik gaib.

Golongan-golongan demikianlah yang bersifat persekutuan hukum” 7. Merujuk
pada hasil kajian dan tulisan-tulian Van Vollenhoven serta Soepomo, rumusan
Ter Haar tersebut oleh Bushar Muhammad diperkuat dengan mengemukankan
unsur-unsur masyarakat hukum adat sebagai berikut “1) kesatuan manusia yang
teratur; 2) menetap di suatu daerah tertentu; 3; mempunyai penguasa-penguasa;
4) mempunyai kekayaan yang berwujud atau tidak berwujud, dimana para
anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat
sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam …” 8. Wignjosoebroto dalam Noer
Fauzi Rachman menyatakan “ istilah masyarakat hukum adat sebaiknya dipahami
dalam bahasa Belanda “rechsgemeenschap” yang dasar pembentukan katanya
adalah “masyarakat hukum” dan “adat”, bukan “masyarakat” dan “hukum adat” 9.
Kedua istilah, konsepsi dan makna yang terkandung didalamnya, yakni
masyarakat adat atau masyarakat hukum adat tidak perlu dipertentangkan
karena saling melengkapi satu sama lain. Istilah dan konsepsi masyarakat adat
berbasis pada akar geneologis keberadaan masyarakat adat sejak ratusan tahun
silam yang tidak dapat dikerangkakan dalam batas-batas geografis dan
administratif tertentu namum memiliki suatu wilayah tertentu sebagai tempat
asal usul leluhur yang masih didiami oleh sebagian keturunan mereka sampai
dengan saat ini – yang dikenal sebagai ancestral domain. Istilah dan konsepsi
masyarakat hukum adat berbasis pada akar campuran geneologis dan teritorial

dalam suatu wilayah geografis tertentu sebagai suatu kesatuan “pemerintahan”.
Konsepsi lama yang menggunakan istilah masyarakat hukum adat dan konsepsi
baru yang menggunakan istilah masyarakat adat merupakan konsepsi yang
diterima dan sah berlaku dalam studi-studi dan gerakan masyarakat adat. Dalam
konteks tersebut dapatlah dilihat dan dipahami mengapa Mahkamah Konstitusi
dalam Putusannya terhadap kasus Nomor 35/PUU-X/2012 (MK 35/2012)
menggunakan kedua istilah dan konsepsi tersebut secara bersama-sama baik
dalam uraian maupun pertimbangan-pertimbangannya.
Pada dasarnya agenda perjuangan masyarakat adat terbagi ke dalam dua
kelompok isu, yakni 1) hak mengurus diri sendiri dalam suatu wilayah tertentu
yang melahirkan kewenangan pengurusan, pengaturan dan pengelolaan
pemerintahan atau tata kelola pemerintahan; dan 2) hak hidup yang bergantung
pada tanah dan sumber daya alam yang melahirkan hak-hak keperdataan adat
atas tanah dan sumber daya alam di dalam suatu wilayah adat atau hak-hak
tenurial. Kedua kelompok hak tersebut saling berhubungan erat satu sama lain
bagaikan satu mata uang bersisi dua yang memiliki satu tubuh, yakni tubuh
masyarakat adat. Namun dalam perjalanannya baik pada era kolonial maupun
7 Bushar Muhammad. Asas-asas Hukum Adat. Suatu Pengantar. Pradnya Paramita. Jakarta. 1987.
Hal. 22
8 Idem

9 Noer Fauzi Rachman. Masyarakat Hukum Adat adalah Bukan Penyandang Hak, Bukan Subyek
Hukum, dan Bukan Pemilik Wilayah Adatnya. Wacana Jurnal Transformasi Sosial. 2014. Hal.26

3

era Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kedua kelompok hak tersebut
yang melahirkan berbagai kewenangan masyarakat adat mengalami perlakukan
dan pengaturan yang berbeda, termasuk pengaturan terbaru terkait adalah di
dalam Bab XIII, Pasal 96 – 111 Undang-Undang 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU
6/2014). Oleh karenanya, tulisan ini memaparkan hasil kajian penulis terhadap
pengaturan tentang masyarakat adat dalam Bab XIII UU Desa tersebut dalam
kaitannya dengan Putusan MK 35/2012.
Desa Adat: Peluang dan Tantangan
Masyarakat adat sebagai suatu kesatuan pemerintahan yang memiliki wilayah
sendiri telah diatur sejak zaman kolonial – yang dikenal dengan
“rechtsgemeenschap”. Soetarjo Kartohadikoesoemo mencatat bahwa aturan
kolonial pertama terkait desa sebagai satuan pemerintahan adalah pada
“Staatsblad No. 13 Tahun 1819 yang menjamin terus berlangsungnya hak
penduduk desa memilih dan mengganti kepala-nya. Aturan tersebut
diperbaharui pada tahun 1878 melalui Staatblad No. 47 yang kemudian

diperbaharui lagi pada tahun 1907 melalui Staatblad No. 212”10, demikian
seterusnya sampai dengan era kemerdekaan Indonesia – yang telah
memberlakukan berbagai peraturan perundang-undangan tentang Desa.
Pada sisi lain, pemerintah kolonial juga mengeluarkan sejumlah pengaturan
terhadap hak-hak keperdataan masyarakat adat atas tanah dan sumber-sumber
daya alam atau hak-hak tenurial – yang dikenal sebagai beschikkingsrecht dalam
literatur-literatur hukum adat era kolonialisasi Belanda. Peraturan yang berefek
signifikan secara politik, ekonomi dan sosial adalah Agrarische Wet 1870 yang
meletakan azas domein Negara atas tanah dan sumber daya alam. “Azas domein
Negara sebagaimana tercantum dalam UU Agraria 1870 dan juga dalam UU
Kehutanan 1875 dan 1897, menyatakan bahwa semua tanah yang tidak
mempunyai status kepemilikian sesuai dengan hukum Barat akan dianggap
sebagai milik Negara. Sebagai akibatnya, semua tanah yang ditelantarkan atau
tidak dipakai (tergolong yang disebut woeste gronden), dan tanah yang tidak
mempunyai hak kepemilikan pribadi (eigendom) akan diberlakukan sebagai
milik Negara”11.
Setelah kemerdekaan Indonesia, kedua undang-undang tersebut diganti dengan
UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan UU No. 5 Tahun
1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan – yang telah diganti
dengan UU No. 41 Tahun 1999. Walau hak-hak keperdataan atas tanah dan

sumber daya alam diatur dalam peraturan berbeda dengan hak-hak tata kelola
pemerintahan sejak era kolonial sampai dengan NKRI, namun kedua pengaturan
tersebut memiliki satu persamaan yakni adanya politik hukum yang dipengaruhi
oleh dinamika dan konstelasi sosial dan politik ekonomi pemerintahannya
masing-masing.
Pengaturan tata kelola pemerintahan desa, kampong, nagari, lembang, kuan,
nggolok atau nama lain sejenis sebagai unit pemerintah terkecil di Indonesia
telah mengalami beberapa pergantian sesuai dinamika sosial dan politik
10 Soetarjo Kartohadikoesoemmo. Desa. Balai Pustaka. 1984. Hal. 45
11 Noer Fauzi Rachman. Land Reform dari Masa ke Masa. Tanah Air Beda. 2012. Hal. 15
4

ekonomi masing-masing rejim pemerintahan 12 – sampai dengan pengaturan
terbaru dalam UU 6/2014. Demikian juga dengan pengaturan perundangundangan terkait hak-hak tenurial masyarakat adat – seperti ulayat, lingko, dae
leo, suf dan lain-lain – terutama berhubungan dengan hutan sebagai salah satu
sumber kehidupan masyarakat adat – yang diatur dalam UU 41/1999 maupun
berbagai peraturan teknis seperti Peraturan Menteri sampai dengan Peraturan
Bupati. Dalam perjalanan pengaturan-pengaturan tersebut, harus diakui
pengaturan terkait hak tata kelola pemerintahan masyarakat adat lebih progresif
dan telah mengakomodir tuntutan gerakan masyarakat hukum adat, yang

berpuncak pada pengakuan konstitusi melalui Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 13.
Kehadiran Bab XIII, Pasal 96 – 111 UU 6/2014 merupakan suatu babak baru
dalam gerakan perjuangan masyarakat adat mendapatkan pengakuan Negara
terhadap keberadaannya. UU Desa telah menerjemahkan dan menjabarkan
pengakuan Negara kepada masyarakat adat dalam Pasal 18B, Ayat (2) 14 UUD
1945 tersebut, yakni masyarakat adat sebagai warga negara penyandang hak,
subyek hukum dan pemilik wilayah adatnya. Bab XIII UU tersebut memberikan
hak dan kewenangan kepada masyarakat adat melakukan perbuatan-perbuatan
hukum
mengurus
pemerintahan,
melaksanakan
program-program
pembangunan, pengelolaan keuangan dan pengelolaan serta pemanfaatan tanah
dan sumber daya alam di dalam wilayah desa adat, sebagaimana ditegaskan
dalam alinea 9 Penjelasan Umum UU 6/2014 bahwa “Desa Adat memiliki fungsi
pemerintahan, keuangan Desa, pembangunan Desa, serta mendapat fasilitasi dan
pembinaan dari pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam posisi seperti ini, Desa dan
Desa Adat mendapat perlakuan yang sama dari Pemerintah dan Pemerintah
Daerah. Oleh sebab itu, di masa depan Desa dan Desa Adat dapat melakukan

perubahan wajah Desa dan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang
efektif, pelaksanaan pembangunan yang berdaya guna, serta pembinaan
masyarakat dan pemberdayaan masyarakat di wilayahnya”. Dengan kata lain, UU
6/2014 membatasi kewenangan desa adat pada tata kelola pemerintahan, tidak
mencakup hak dan kewenangan tenurial.
Selain keterbatasan tersebut, beberapa substansi pengaturan UU 6/2014 perlu
diperjelas dalam aturan teknis berbentuk Peraturan Pemerintah, yakni antara
lain tentang makna konsepsi hak asal usul dan hak-hak tradisional, prosedur dan
tatacara pembentukan dan penataan desa adat, akomodasi partisipasi, usul dan
saran masyarakat adat serta organisasi-organisasi masyarakat sipil ke dalam
kajian-kajian akademik untuk pembuatan peraturan-peraturan daerah tentang
desa adat, kelembagaan desa adat, termasuk kepala desa adat dan perangkatnya,
12 Tercatat adanya 4 undang-undang tentang Desa yang telah diberlakukan oleh Pemerintah

Indonesia sejak kemerdekaan, yakni UU Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desapraja diganti oleh
UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Desa yang digantikan oleh UU 22 Tahun 1999 yang telah
diganti oleh UU Nomor 32 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti
oleh UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
13 Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
14 Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat besera hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang

5

jenis-jenis sengketa adat yang diselesaikan, kedudukan, kewenangan, tugas dan
fungsi peradilan adat.
Penyelesaian sengketa adat dan peradilan adat sebagaimana diatur dalam Pasal
103 huruf (e) memerlukan pengaturan lanjutan untuk menegaskan kedudukan,
kewenangan, fungsi, peran, tugas dan tanggungjawab peradilan tersebut serta
apakah perlu pemisahan antara kewenangan penyelesaian sengketa dengan
kewenangan mengadili – yang pada umumnya dalam kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat merupakan satu kewenangan yang melekat pada
lembaga-lembaga adat yang dijalankan oleh para tua adat, alias kewenangan
tersebut tidak dipisah-pisahkan sebagaimana yang dilakukan pada zaman
kolonial Belanda maupun berbagai referensi yang mengulas peradilan adat. UU
6/2014 melakukan hal yang sama dengan membuat dua kategori berbeda, yakni
penyelesaian sengketa dan peradilan adat. Padahal pemisahan ini bersumber
pada konsepsi yang salah tentang kewenangan lembaga adat menyelesaikan
sengketa dan mengadili perkara yang diwarisi oleh para peneliti dan penulis era
kolonial yang konsepsi teoritiknya dipengaruhi ilmu hukum Eropa Kontinental
yang mengenal pemisahan kewenangan antara menyelesaikan sengketa dengan
mengadili perkara. Dalam konteks pemisahan demikian, pengaturan tentang
peradilan adat dalam UU 6/2014 berhadapan dengan UU 48/2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang mengatur jenis-jenis badan peradilan, kedudukan
dan kewenangan lembaga-lembaga tersebut – yang mana Peradilan Adat tidak
masuk dalam kategori lembaga peradilan karena peradilan ini secara yuridis
telah dihapus keberadaannya oleh UU Darurat No. 1 Tahun 1951 sebagaimana
ditulis oleh HUMA bahwa “melalui UU ini dipertegas niatan untuk mewujudkan
unifikasi sistem peradilan. UU ini berisi 4 hal pokok yaitu: 1) Penghapusan
beberapa pengadilan yang tidak lagi sesuai dengan susunan negara kesatuan; 2)
Penghapusan secara berangsur-angsur pengadilan swapraja didaerah-daerah
tertentu dan semua pengadilan adat... 15. Kewenangan mengadili suatu badan
peradilan berada dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan
oleh Mahkamah Agung dan sejumlah badan peradilan dibawahnya. Peradilan
adat dan/atau peradilan perdamaian desa adat tidak dikenal / diatur dalam UU
48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Jika kemudian kewenangan Peradilan
Adat/Desa Adat muncul melalui pengaturan dalam UU 6/2014, maka
kewenangan tersebut harus dilaksanakan sesuai ketentuan UU 48/2009 yang
merupakan undang-undang organik dari Bab IX UUD 1945 tentang Kekuasaan
Kehakiman16.
Pada tataran praktek, memilih menjadi desa adat memberikan tantangan
manajemen administrasi pemerintahan dan pengelolaan keuangan kepada suatu
desa adat. Karena itu, di Bali misalnya sebelum pemberlakukan UU 6/2014,
15 HUMA. Sekilas tentang peradilan adat. http://huma.or.id/wp-content/uploads/2006/08/
Sekilas-Mengenai-Peradilan-Adat_abdurrahman-saleh.pdf
16 Pasal 24 Ayat (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; Ayat (2) Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi; 3)
Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undangundang.

6

urusan administrasi pemerintahan, program pembangunan dan pengelolaan
keuangan diurus oleh desa dinas. Desa adat hanya mengurus aspek-aspek yang
terkait adat semata karena adanya kesadaran kurangnya kapasitas sumber daya
manusia desa adat memenuhi aturan dan tuntutan administrasi manajemen
pemerintahan. Walau demikian, karena UU Desa telah menyediakan kewenangan
itu, maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah tentunya bertanggungjawab
menyediakan kapasitas yang dibutuhkan melalui alokasi dana, pendidikan dan
pelatihan serta pendampingan intensif dalam suatu periode waktu tertentu
sampai desa adat memiliki kapasitas yang cukup untuk menjalankan
administrasi pemerintahan dan pengelolaan keuangannya – jika suatu
persekutuan masyarakat adat memilih menjadi desa adat. Pada tataran normatif,
kewenangan-kewenangan desa adat yang diberikan melalui Pasal 103 UU
6/2014 tersebut dibatasi tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan lain (Pasal 97 Ayat 4b) dan Pasal 110 UU 6/2014.
Desa Adat dan Hak Keperdataan / Hak Tenurial Masyarakat Adat: Jalan Itu
Masih Panjang.
Konstruksi hukum Bab XIII, Pasal 96 – 111 UU 6/2014 adalah konstruksi tata
kelola penyelenggaraan pemerintahan yang bersumber pada Pasal 18B Ayat (2)
UUD 1945, sebagaimana dinyatakan alinea 7 Penjelasan Umum UU 6/2014
bahwa “Undang-Undang ini disusun dengan semangat penerapan amanat
konstitusi, yaitu pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan
Pasal 18B ayat (2) untuk diatur dalam susunan pemerintahan sesuai dengan
ketentuan Pasal 18 ayat (7). Walaupun demikian, kewenangan kesatuan
masyarakat hukum adat mengenai pengaturan hak ulayat merujuk pada
ketentuan peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan” 17. Kalimat
“walau demikian… di alinea 7 tersebut menunjukan kesalahan asumsi para
perumus UU 6/2014 bahwa Pasal 18B Ayat (2) merupakan pengakuan
konstitusional hak tenurial masyarakat adat, selain tata kelola pemerintahan.
Padahal, sesungguhnya konstruksi pengaturan hak tenurial masyarakat adat –
sebagaimana diatur dalam UUPA, UU Kehutanan dan berbagai peraturan
perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang tanah dan sumber daya
alam memiliki basis konstitusional berbeda, yakni pada Pasal 33 Ayat (3) UUD
1945 yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Karena itu, penulis menyimpulkan bahwa Pengaturan Desa
adat dalam Bab XIII UU 6/2014 tidak memiliki hubungan dengan hak
keperdataan masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam atau hak-hak
tenurial masyarakat adat di dalam suatu wilayah adat. Bab XIII UU 6/2014
tersebut tidak dapat digunakan sebagai rujukan penyelesaian konflik dan
mengakhiri kriminalisasi terhadap mayarakat adat.
Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 merupakan dasar konstitusional Hak Menguasai dari
Negara (HMN) yang tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan
terkait agraria dan sumber daya alam, terutama UUPA (Pasal 2 Ayat 1 dan 2) 18
17 Garis bawah oleh Penulis
18 Ayat (1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal

sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi

7

dan UU Kehutanan (Pasal 4 Ayat 1 dan 2) 19. Pasal-pasal tersebut telah
menyingkirkan kewenangan beschikkingsrecht20 masyararakat adat. Kewenangan
itu telah diambil alih Negara melalui Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang diteruskan
pengaturannya ke dalam berbagai undang-undang yang mengatur tentang
agraria dan sumber daya alam, terutama dalam UUPA dan UU Kehutanan. Alinea
4 Penjelasan Umum II.3 UUPA secara gamblang menegaskan peminggiran hak
ulayat, jika hak tersebut bertentangan dengan kepentingan nasional dan
Negara21. Melalui HMN, Negara memiliki kewenangan mengatur penguasaan,
pemilikan, penggunaan, pemanfaatan dan pengelolaan agraria dan sumbersumber daya alam di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, termasuk
mengatur hak-hak keperdataan masyarakat adat atas tanah dan sumber daya
alam. Prinsip unifikasi hukum yang dibawa UUPA – yang lalu diadopsi semua
peraturan perundang-undangan sejenis, termasuk UU Kehutanan – tidak
memberikan tempat bagi masyarakat adat menggunakan hukum adatnya
mengatur tanah dan sumber daya alam secara berbeda dengan pengaturan yang
diatur dalam UUPA. Dengan kata lain, UUPA memaksakan suatu penundukan diri
dari hukum-hukum adat itu terhadap pengaturan obyek hukum yang sama oleh
hukum Negara. Dalam prakteknya, pemaksaan tersebut menimbulkan konflik
berkepanjangan sampai dengan hari ini, karena Negara melalui HMN telah
memberikan hak-hak lain kepada subyek-subyek hukum lain untuk menguasai
dan mengelola tanah dan sumber daya alam di wilayah-wilayah adat yang dalam
kekuasaan seluruh rakyat. Ayat (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini
memberi wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
19 Ayat (1) Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ayat (2)
Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada
pemerintah untuk: a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan; b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan
atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan c. mengatur dan menetapkan hubunganhubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum
mengenai kehutanan.
20 Noer Fauzi Rachman – dalam sublemen Jurnal Wacana. Masyarakat Hukum Adat dalah
Penyandang Hak, Subyek Hukum, dan Pemilik Wilayah adatnya – menulis kembali penegasan Van
Vollenhoven terhadap konsep bershikkingsrecht, yakni penguasaan masyarakat adat atas tanah
yang meliputi: 1) kewenangan masyarakat hukum adat atas tanah yang berada dalam wilayah
adatnya…2) pemanfaatan bagian wilayah adat oleh pihak lain…3) pembayaran atas pengunaan
tanah dalam penguasaan masyarakat hukum adat…4) kewenangan masyarakat hukum atas tanah
dalam wilayah adat yang sedang dibudidayakan; 5) tanggungjawab kolektif pihak luar yang
memanfaatkan tanah…6) keabadian hak-hak masyarakat hukum. Larangan mengasingkan tanah
yang termasuk wilayah adat.
21 Alinea tersebut berbunyi “Kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk
pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun
pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah
dapat dibenarkan, jika didalam alam bernegara dewasa ini sesuatu masyarakat
hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak,
seakan-akan ia terlepas dari pada hubungannya dengan masyarakat-masyarakat
hukum dan daerah-daerah lainnya didalam lingkungan Negara sebagai kesatuan.
Sikap yang demikian terang bertentangan dengan azas pokok yang tercantum
dalam pasal 2 dan dalam prakteknya pun akan membawa akibat terhambatnya
usaha-usaha besar untuk mencapai kemakmuran Rakyat seluruhnya”.

8

hukum-hukum adat setempat merupakan hak penguasaan dan pemilikan
masyarakat adat setempat.
Oleh karena konflik berkepanjangan tersebut telah mengorbankan jutaan
masyarakat adat, termasuk kriminalisasi, penjara, cacat dan kematian, maka
mayarakat adat melakukan suatu upaya hukum22 melalui permohonan pengujian
konsitusional terhadap Pasal 1 Angka (6) dan beberapa pasal lain UU Kehutanan
ke Mahkamah Konstitusi23. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 16
Mei 2013 terhadap perkara Nomor 35/PUU-X/2012 (MK 35/2012), MK
mengabulkan sebagian permohonan para pemohon, terutama penghapusan kata
Negara dalam Pasal 1 Angka (6) 24 sehingga rumusannya menjadi “hutan adat
adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”25.
Putusan MK 35/2012 disambut gembira oleh para eksponen gerakan sosial,
terutama organisasi-organisasi yang mendukung perjuangan masyarakat adat.
Koran Kompas tanggal 27 Desember 2013 tentang Konflik Agraria yang
mengutip pernyataan Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menulis
“Iwan menuturkan, tahun ini sebenarnya ada harapan atas penyelesaian konflik
agrarian yang lebih berpihak pada warga. Pada Mei 2013, Mahkamah Konstitusi
menetapkan hutan adat, bukan hutan Negara. Namun Pemerintah tidak mau
melaksanakan keputusan itu. Bahkan Kementerian Kehutanan menuduh
keputusan itu memicu kelahiran masyarakat adat palsu, ujarnya” 26. Defri Tri
Hamdani yang adalah Ketua Badan Pengurus Harian AMAN Wilayah Bengkulu
menyebutkan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUUX/2012 tentang pengeluaran hutan adat dari hutan negara, seharusnya
pemerintah menerapkan aturan itu tidak dengan sembarangan mengusir
masyarakat dari taman nasional apalagi sampai menetapkan mereka sebagai
tersangka. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus memahami putusan MK
itu ada catatan khusus bahwa jika mereka masyarakat adat, maka mereka berhak
menempati wilayah tersebut”27. Kementerian Kehutanan mengeluarkan Surat
Edaran Menteri Kehutanan Nomor SE.1/Menhut-II/2013 dan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P62/Permenhut-II/2013. Ayat (3) Pasal 24a Permen tersebut
menyatakan “ayat (3) Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah masyarakat
hukum adat berada dalam kawasan hutan, dikeluarkan dari kawasan hutan. Para
perumus UU 6/2014 juga menempatkan Putusan MK 35/2012 sebagai salah satu
acuan dalam penetapan desa adat yang diatur dalam UU tersebut. Padahal semua
sikap para pihak diatas merupakan suatu salah tafsir terhadap Putusan MK
35/2012 tersebut.

22 Upaya hukum tersebut dilakukan oleh AMAN dan kesatuan masyarakat hukum adat
Kenegerian Kuntu dan kesatuan masyarakat hukum adat Kasepuhan Cisitu.
23 Pasal-pasal yang dimohonkan pengujian materilnya ke Mahkamah Konstitusi adalah Pasal 1
Angka (6), Pasal 4 Ayat (3), Pasal 5 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) dan Ayat (4).
24 Sebelum Putusan MK 35/2012, rumusan Pasal 1 Angka (6) berbunyi “hutan adat adalah
hutan Negara dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
25 Amar Putusan MK 35/2012 Nomor 1.2. Hal. 185
26 Koran KOMPAS, 27 Desember 2013. Hal. 8
27 Kompas.com, 25 Desember 2013.

9

Maria Rita Roewiastoeti menyatakan “kegembiraan membuat AMAN lupa
menyikapi dengan kritis berita buruk yang terkandung dalam Putusan yang
sama, yakni ditolaknya judicial review AMAN atas prosedur pengakuan wilayah
adat; penolakan mana secara tidak langsung mementahkan kembali
“kemenangan” AMAN karena proses kembalinya kekuasaan atas “hutan adat”
kepada persekutuan-persekutuan adat empunya bukan terjadi secara otomatis,
tanpa syarat, melainkan masih harus melewati jalan panjang yang tidak lepas
dari kekuasaan pengurus Negara selaku pelaksana undang-undang” 28. Para pihak
tersebut, termasuk para perumus UU 6/2014 mungkin lupa atau malah tidak
mengetahui bahwa Putusan tersebut tidak mengubah kewenangan Kementerian
Kehutanan dalam Pasal 4 Ayat (2) UU 41/1999 – yang bersumber pada Hak
Menguasai dari Negara (HMN) dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 – yakni
kewenangan mengatur peruntukan seluruh kawasan hutan – tentunya termasuk
hutan adat yang berada dalam wilayah persekutuan masyarakat hukum adat atau
dalam suatu wilayah desa adat – sebagaimana Putusan MK 35/2012 tersebut.
Para pihak juga lupa bahwa Putusan tersebut harus ditindak-lanjuti melalui
perubahan UU 41/1999 oleh Pemerintah atau DPR sebagaimana diatur dalam
Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2) UU 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan29. Revisi itu harusnya merupakan suatu terobosan politik
dan hukum yang tidak hanya terpaku pada Putusan MK 35/2012. Revisi itu
seharusnya merupakan wujud dari komitmen politik pemerintah baru
melindungi masyarakat adat sebagaimana tertulis dalam Nawacita. Karena itu,
revisi tersebut seharusnya mencakup pula revisi terhadap Pasal 4 Ayat (1) dan
(2) dan Pasal 67 UU 41/1999. Revisi yang sama harusnya dilakukan juga
terhadap Pasal 2 Ayat (1) dan (2) UU 5/1960. Jika tidak, maka revisi tersebut
masih belum akan mengubah relasi konflik masyarakat adat dengan Negara
serta juga kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Karena, HMN dalam Pasal 4
UU 41/1999 yang diadopsi dari Pasal 2 UU 5/1960 merupakan akar masalahnya.
Jalan Itu Masih Sangat Panjang!!!..

28 Maria Rita Roewiastoeti. Dampak sosial politik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-X/2012. Jurnal Wacana Nomor 33|tahun XVI|2014. Masyarakat adat dan perebutan
penguasaan hutan. Hal. 50.
29 Ayat (1) Pasal 10 UU tersebut menyatakan “materi muatan yang harus diatur dengan undangundang berisi a…b… c… d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi;…”. Selanjutnya Ayat
(2) menyatakan “Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden

10

Daftar Bacaan dan Rujukan.
-

Bakri, Muhammad. Hak Menguasai Tanah oleh Negara (Paradigma Baru untuk Reformasi
Agraria. Citra Media. 2007.
Kansil, C.S.T. Desa Kita Dalam Peraturan Tata Pemerintahan Desa. Ghalia Indonesia. 1984.
Kartohadikoesoemo, Soetardjo. Desa. Balai Pustaka. 1984.
Mudjadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Kedudukan Berkuasa dan Hak Milik Dalam Sudut
Pandang KUH Perdata. Kencana. 2004.
Muhammad, Bushar. Asas-Asas Hukum Adat. Suatu Pengantar. Pradnya Paramita. 1994.
Rachman, Noer Fauzi. Land Reform Dari Masa Ke Masa. Tanah Air Beda. 2012.
Rachman, Noer Fauzi. Masyarakat Hukum Adat adalah Penyandang Hak, Subjek Hukum,
dan Pemilik Wilayah Adatnya. Suplemen Jurnal Wacana. Insist Press. 2014.
Ruwiastuti, Maria R, Noer Fauzi dan Dianto Bachriadi. Penghancuran Hak Masyarakat
Adat atas Tanah. KPA. 1997.
Ruwiastuti, Maria. Sesat Pikir Politik Hukum Agraria. Membongkar Alas Penguasaan
Negara Atas Hak-Hak Adat. Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar. 2000.
Safitri, Mirna. Desa, Institusi Lokal dan Pengelolaan Hutan. Refleksi Kebijakan dan
Praktek. ELSAM. 2000.
Saragih, Djaren. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Tarsito. 1984.
Soekanto, Soerjono. Masalah Kedudukan dan Peranan Hukum Adat. Academica. 1979.
Sodiki, Achmad. Politik Hukum Agraria. Konstitusi Press. 2013.
Suhartono dkk. Parlemen Desa: Dinamika DPR Kalurahan dan DPRK Gotong Royong.
Lapera. 2000
Syafiie, Inu Kencana. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Pustaka Jaya. 1994.
Wignjosoebroto, Soetandyo. Raja Grafindo Persada. 1995.
Jurnal KPA. Mayarakat Adat. Pembaruan Hukum dalam Perspektif Indigenous Peoples.
Nomor 1 Tahun 1998.
Konvensi ILO 169 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyrakat Adat di Negara-Negara
Merdeka. ELSAM dan LBBT.
Kumpulan Tulisan tentang Hak-Hak Masyarakat Adat Indonesia. Masyarakat Adat dalam
Mengelola Sumber Daya Alam. ICRAF dan JAPHAMA. 2000.
Masyarakat Adat dan Perebutan Penguasaan Hutan. Jurnal Wacana No.33|Tahun XVI|
2014. Insist Press. 2014
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desapraja.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Putusan MK 35/PUU-X/2012.

11

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65