sengketa pilkada Materi Kuliah Semester 6 | FKPH GUIDE
SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH
DI M AHKAMAH KONSTITUSI
DR. Ni’ matu l Hu d a, S H, MHu m.
Bahan Kuliah FH UII 2015
KEWENANGAN & KEWAJIBAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
Pasal 24C UUD 1945 menegaskan “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan
atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut UUD.
PEMILUKADA dalam UUD 1945
& UU No. 32 Th 2004
Di dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat(4) ditegaskan:
”Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”
Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004:
(1)
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon
yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil.
(2)
Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai
politik atau gabungan partai politik.
KEBERATAN TERHADAP HASIL PEMILUKADA
DI MAHKAMAH AGUNG
Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004:
(1)
Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada
Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari
setelah
penetapan hasil Pemilukada dan wakada
(2)
Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan
dengan
hasil
perhitungan
suara
yang
mempengaruhi
terpilihnya
pasangan calon.
(3)
Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Pengadilan Tinggi untuk pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan
negeri
untuk
kabupaten/kota.
pemilihan
kepala
daerah
dan
wakil
kepala
daerah
lanjutan
(4) Mahkamah
Agung
memutus
sengketa
hasil
penghitungan
suara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14
(empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh
Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.
(5) Putusan Mahkamah Aghung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat
final dan mengikat.
(6) Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi
untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara pemilih kepala daerah
dan wakil kepala daerah kabupaten/kota
(7) Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat
final.
SENGKETA PEMILUKADA
MENURUT PP No. 6 Tahun 2005
Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah, mengatur lebih lanjut perihal sengketa Pemilukada sama
dengan yang telah diatur dalam Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004.
Perbedaan di antara Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004 dengan Pasal 94 PP
No. 6 Tahun 2005 hanya terletak pada ayat (7) yang oleh PP ditegaskan
bahwa putusan Pengadilan Tinggi bersifat final dan mengikat, di UU hanya
dinyatakan bersifat final.
Pengalihan Penanganan
Sengketa Pemilukada
Melalui UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan
Daerah
Pasal
236C
ditegaskan
”Penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah
Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 bulan sejak
undang-undang ini diundangkan.”
Pada 29 Oktober 2008, Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah
Konstitusi bersama-sama telah menandatangani Berita Acara Pengalihan
Wewenang Mengadili.
Untuk
keperluan
tersebut
Mahkamah
Konstitusi
telah
menerbitkan
Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman
Beracara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah.
PARA PIHAK DALAM SENGKETA
PEMILUKADA DI MK
Pasal 3 Peraturan MK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara
Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah, para pihak yang
mempunyai kepentingan langsung dalam perselisihan hasil Pemilukada
adalah:
Pasangan Calon sebagai Pemohon;
KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai termohon.
Pasangan Calon selain Pemohon dapat menjadi Pihak Terkait dalam
perselisihan hasil Pemilukada.
Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait dapat diwakili dan/atau didampingi
oleh kuasa hukumnya masing-masing yang mendapatkan surat kuasa
khusus dan/atau surat keterangan untuk itu.
OBJEK SENGKETA PEMILUKADA di MK
Yang menjadi objek perselisihan Pemilukada adalah hasil penghitungan
suara yang ditetapkan oleh Termohon yang mempengaruhi :
(a)
penentuan
Pasangan
Calon
yang
dapat
mengikuti
putaran
kedua
Pemilukada atau
(b)
terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala
daerah.
ISI PERMOHONAN SENGKETA
Permohonan sekurang-kurangnya memuat uraian yang jelas mengenai:
(1)
kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon;
(2)
permintaan/petitum untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang
ditetapkan oleh Termohon;
(3)
permintaan/petitum untuk menetapkan hasil penghitungan suara yang
benar menurut Pemohon.
Sistem Pemilukada di Beberapa Negara
dengan Sistem Presidensial.
1. First Past the Post System
Sistem first past the post ini dikenal sebagai sistem yang sederhana dan
efisien. Calon kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak otomatis
memenangkan
Pemilukada
dan
menduduki
kursi
kepala
daerah.
Karenanya sistem ini dikenal juga dengan sistem mayoritas sederhana
(simple majority).
2. Preferential Voting System atau Approval Voting System
Cara kerja sistem preferential voting atau approval voting adalah pemilih
memberikan peringkat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya terhadap
calon-calon kepala daerah yang ada pada saat pemilihan. Seorang calon
akan otomatis memenangkan Pemilukada langsung dan terpilih menjadi
kepala daerah jika perolehan suaranya mencapai peringkat pertama yang
terbesar.
lanjutan
3. Two Round System atau Run-off System
Cara kerja sistem ini pemilihan dilakukan dengan dua putaran (run off)
dengan catatan jika tidak ada calon yang memperoleh mayoritas absolut
(50%) dari keseluruhan suara dalam pemilihan putaran pertama.
4. Sistem Electoral College
Setiap daerah pemilihan diberi alokasi atau bobot suara dewan pemilih
(electoral college) sesuai dengan jumlah penduduk. Keseluruhan jumlah
suara yang diperoleh tiap calon di setiap daerah pemilihan tersebut
dihitung. Pemenang di setiap daerah pemilihan berhak memperoleh
keseluruhan suara Dewan Pemilih di daerah pemilihan yang bersangkutan.
Calon
yang
memperoleh
suara
memenangkan Pemilukada langsung.
Dewan
Pemilih
terbesar
akan
lanjutan
5. Sistem (Pemilihan Presiden) Nigeria
Seorang calon kepala daerah dinyatakan sebagai pemenang Pemilukada
apabila
calon
bersangkutan
dapat
meraih
suara
sederhana
dan
mengumpulkan sedikitnya 25% dari 2/3 suara dari daerah pemilihan yang
ada.
Sistem ini merupakan sistem yang memperhatikan kepentingan legitimasi
dan efisiensi sekaligus secara proporsional. Sekalipun seseorang dipilih
oleh sekurang-kurangnya seperempat dari total pemilih (25 persen) tetapi
karena persebarannya sangat luas sehingga representasi pemilih dapat
diselamatkan.
Lanjutan
Model two round system memang akan mendapatkan hasil yang relatif maksimal di
mana pemilih yang hilang akan diminimalisir. Akan tetapi resiko model ini adalah
biaya dan waktu yang diperlukan cukup banyak.
Model first past the post memiliki legitimasi yang sangat rendah tetapi sangat
efisien. Bisa jadi dengan first past the post calon kepala daerah yang menang hanya
memperoleh suara kemenangan tipis.
Model preferential voting atau juga disebut approval voting sesungguhnya menjadi
penengah dari kedua sistem di atas. Dalam hal ini, pemilih diminta untuk melakukan
approval untuk satu, dua, atau tiga.
Sistem ini tidak begitu rumit dan dilakukan
hanya dalam satu putaran. Tetapi karena model ini seperti multiple choice, tidak
semua orang bisa memahami bahwa seseorang bisa memilih dua atau tiga
sekaligus.
IMPLIKASI PEMILUKADA DUA PUTARAN
(1)Kandidat yang bertarung di dalam Pemilukada harus menyediakan biaya,
tenaga dan waktu ekstra ketat.
(2) Pemilukada dua putaran cenderung melahirkan fragmentasi sosial di
dalam masyarakat yang kian ketat.
(3) Cenderung melahirkan divided government atau pemerintahan yang
terbelah.
(4) sistem pemilukada dua putaran juga hanya memberikan jalan mulus bagi
incumbent.
(5) sistem Pemilukada dua putaran juga mempengaruhi penurunan angka
partisipasi pemilih.
(6) Pemilukada dua putaran memberikan ruang bagi peningkatan jumlah
Golput.
Problem-problem Elektoral yang Ditimbulkan
oleh Penggunaan Sistem Dua Putaran
1.
Terjadi penguatan intervensi pemerintah pusat dalam menetapkan pasangan calon
yang memenangkan Pemilukada. Misalnya adanya keputusan pembatalan pasangan
terpilih oleh pemerintah pusat melalui Departemen Dalam Negeri.
2.
Munculnya arogansi partai besar pasca pelaksanaan Pemilukada, jika Pemilukada
dimenangi oleh partai kecil.
3.
Munculnya strong man atau orang kuat dibalik kepala daerah terpilih.
4.
Munculnya fenomena calon tunggal yang disebabkan oleh adanya dominasi dan
hegemoni yang merupakan gabungan antara kekuasaan dan modal.
Lanjutan
5. Munculnya
ancaman
perang
adat,
sebagai
bentuk
ketidakpuasan
kelompok yang kalah dalam Pemilukada.
6. Munculnya fenomena jeratan birokrasi, di mana calon yang memenangkan
Pemilukada dianulir dengan keputusan pengadilan yang bersifat memihak
dan tidak netral.
PELANGGARAN PEMILUKADA YANG
SISTEMATIS, TERSTRUKTUR DAN MASIF
Pelanggaran Pemilukada yang bersifat sistematis, artinya pelanggaran ini
benar-benar direncanakan secara matang (by design)
Pelanggaran Pemilukada yang bersifat terstruktur, artinya pelanggaran ini
dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun aparat
penyelenggara Pemilukada secara kolektif bukan aksi individual.
Pelanggaran Pemilukada yang bersifat masif, artinya dampak pelanggaran
ini sangat luas dan bukan sporadis.
Menurut Mukhti Fadjar:
Pelanggaran Pemilukada yang bersifat sistematis, terstruktur dan masif
merupakan pelanggaran-pelanggaran yang memang direncanakan sejak
semula, baik oleh negara, penyelenggara Pemilukada maupun peserta
Pemilukada, bersifat meluas dan benar-benar merusak sendi-sendi Pemilu
yang ‘luber’ dan ‘jurdil’. Dengan demikian bukan pelanggaran yang hanya
bersifat insidental, individual dan sporadis yang dalam batas-batas wajar
masih dapat ditoleransi.
Menurut Maruarar Siahaan:
Terstruktur
diartikan
pelanggaran
yang
dilakukan
dalam
struktur
pemerintahan atau struktur partai politik dari tataran tertinggi sampai
terrendah untuk memenangkan salah satu pasangan calon. Sistematis
diartikan suatu sistem yang dirancang dengan matang. Sedangkan masif
berarti dilakukan di wilayah luas dan komprehensif di seluruh kecamatan di
kabupaten bersangkutan yang meliputi RT, RW, Desa, dan Kelurahan
secara merata.
Menurut Topo Santoso
Pelanggaran dalam Pemilukada dapat dibagi menjadi tiga kategori.
“Pertama, pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh atau tidak
dapat
ditaksir
pengaruhnya
terhadap
hasil
suara
pemilu,
seperti
pembuatan baliho, kertas simulasi yang menggunakan lambang dan alat
peraga yang tidak sesuai dengan tata cara yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Untuk jenis pelanggaran ini MK tidak
dapat menjadikannya sebagai dasar pembatalan hasil perhitungan yang
ditetapkan oleh KPU atau KPU Provinsi/Kabupaten/Kota. Hal ini sepenuhnya
menjadi ranah peradilan umum atau PTUN.
Lanjutan
Kedua, pelanggaran yang berpengaruh terhadap hasil pemilu, seperti
money politic, keterlibatan oknum pejabat atau PNS, dugaan pidana
pemilu, manipulasi suara, intimidasi, dan sebagainya. Pelanggaran seperti
itu dapat membatalkan hasil pemilu sepanjang berpengaruh secara
signifikan, yakni karena terjadi secara terstruktur, sistematis dan massif
yang ukurannya telah ditetapkan dalam berbagai putusan MK.
Berbagai pelanggaran yang sifatnya tidak signifikan mempengaruhi
pemilu, seperti yang bersifat sporadis, parsial, perorangan, dan hadiahhadiah yang tidak bias dibuktikan pengaruhnya terhadap pilihan pemilih,
tidak dijadikan dasar oleh MK untuk membatalkan hasil perhitungan oleh
KPU.
Lanjutan
Ketiga, pelanggaran tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat
prinsip dan dapat diukur (seperti syarat tidak pernah dijatuhi pidana
penjara
dan
syarat
keabsahan
dukungan
bagi
calon
independen).
Pelanggaran ini dapat dijadikan dasar untuk membatalkan hasil pemilu
karena ada pesertanya yang tidak memenuhi syarat sejak awal.”
DI M AHKAMAH KONSTITUSI
DR. Ni’ matu l Hu d a, S H, MHu m.
Bahan Kuliah FH UII 2015
KEWENANGAN & KEWAJIBAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
Pasal 24C UUD 1945 menegaskan “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan
atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut UUD.
PEMILUKADA dalam UUD 1945
& UU No. 32 Th 2004
Di dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat(4) ditegaskan:
”Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”
Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004:
(1)
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon
yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil.
(2)
Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai
politik atau gabungan partai politik.
KEBERATAN TERHADAP HASIL PEMILUKADA
DI MAHKAMAH AGUNG
Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004:
(1)
Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada
Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari
setelah
penetapan hasil Pemilukada dan wakada
(2)
Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan
dengan
hasil
perhitungan
suara
yang
mempengaruhi
terpilihnya
pasangan calon.
(3)
Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Pengadilan Tinggi untuk pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan
negeri
untuk
kabupaten/kota.
pemilihan
kepala
daerah
dan
wakil
kepala
daerah
lanjutan
(4) Mahkamah
Agung
memutus
sengketa
hasil
penghitungan
suara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14
(empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh
Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.
(5) Putusan Mahkamah Aghung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat
final dan mengikat.
(6) Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi
untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara pemilih kepala daerah
dan wakil kepala daerah kabupaten/kota
(7) Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat
final.
SENGKETA PEMILUKADA
MENURUT PP No. 6 Tahun 2005
Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah, mengatur lebih lanjut perihal sengketa Pemilukada sama
dengan yang telah diatur dalam Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004.
Perbedaan di antara Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004 dengan Pasal 94 PP
No. 6 Tahun 2005 hanya terletak pada ayat (7) yang oleh PP ditegaskan
bahwa putusan Pengadilan Tinggi bersifat final dan mengikat, di UU hanya
dinyatakan bersifat final.
Pengalihan Penanganan
Sengketa Pemilukada
Melalui UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan
Daerah
Pasal
236C
ditegaskan
”Penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah
Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 bulan sejak
undang-undang ini diundangkan.”
Pada 29 Oktober 2008, Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah
Konstitusi bersama-sama telah menandatangani Berita Acara Pengalihan
Wewenang Mengadili.
Untuk
keperluan
tersebut
Mahkamah
Konstitusi
telah
menerbitkan
Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman
Beracara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah.
PARA PIHAK DALAM SENGKETA
PEMILUKADA DI MK
Pasal 3 Peraturan MK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara
Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah, para pihak yang
mempunyai kepentingan langsung dalam perselisihan hasil Pemilukada
adalah:
Pasangan Calon sebagai Pemohon;
KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai termohon.
Pasangan Calon selain Pemohon dapat menjadi Pihak Terkait dalam
perselisihan hasil Pemilukada.
Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait dapat diwakili dan/atau didampingi
oleh kuasa hukumnya masing-masing yang mendapatkan surat kuasa
khusus dan/atau surat keterangan untuk itu.
OBJEK SENGKETA PEMILUKADA di MK
Yang menjadi objek perselisihan Pemilukada adalah hasil penghitungan
suara yang ditetapkan oleh Termohon yang mempengaruhi :
(a)
penentuan
Pasangan
Calon
yang
dapat
mengikuti
putaran
kedua
Pemilukada atau
(b)
terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala
daerah.
ISI PERMOHONAN SENGKETA
Permohonan sekurang-kurangnya memuat uraian yang jelas mengenai:
(1)
kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon;
(2)
permintaan/petitum untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang
ditetapkan oleh Termohon;
(3)
permintaan/petitum untuk menetapkan hasil penghitungan suara yang
benar menurut Pemohon.
Sistem Pemilukada di Beberapa Negara
dengan Sistem Presidensial.
1. First Past the Post System
Sistem first past the post ini dikenal sebagai sistem yang sederhana dan
efisien. Calon kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak otomatis
memenangkan
Pemilukada
dan
menduduki
kursi
kepala
daerah.
Karenanya sistem ini dikenal juga dengan sistem mayoritas sederhana
(simple majority).
2. Preferential Voting System atau Approval Voting System
Cara kerja sistem preferential voting atau approval voting adalah pemilih
memberikan peringkat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya terhadap
calon-calon kepala daerah yang ada pada saat pemilihan. Seorang calon
akan otomatis memenangkan Pemilukada langsung dan terpilih menjadi
kepala daerah jika perolehan suaranya mencapai peringkat pertama yang
terbesar.
lanjutan
3. Two Round System atau Run-off System
Cara kerja sistem ini pemilihan dilakukan dengan dua putaran (run off)
dengan catatan jika tidak ada calon yang memperoleh mayoritas absolut
(50%) dari keseluruhan suara dalam pemilihan putaran pertama.
4. Sistem Electoral College
Setiap daerah pemilihan diberi alokasi atau bobot suara dewan pemilih
(electoral college) sesuai dengan jumlah penduduk. Keseluruhan jumlah
suara yang diperoleh tiap calon di setiap daerah pemilihan tersebut
dihitung. Pemenang di setiap daerah pemilihan berhak memperoleh
keseluruhan suara Dewan Pemilih di daerah pemilihan yang bersangkutan.
Calon
yang
memperoleh
suara
memenangkan Pemilukada langsung.
Dewan
Pemilih
terbesar
akan
lanjutan
5. Sistem (Pemilihan Presiden) Nigeria
Seorang calon kepala daerah dinyatakan sebagai pemenang Pemilukada
apabila
calon
bersangkutan
dapat
meraih
suara
sederhana
dan
mengumpulkan sedikitnya 25% dari 2/3 suara dari daerah pemilihan yang
ada.
Sistem ini merupakan sistem yang memperhatikan kepentingan legitimasi
dan efisiensi sekaligus secara proporsional. Sekalipun seseorang dipilih
oleh sekurang-kurangnya seperempat dari total pemilih (25 persen) tetapi
karena persebarannya sangat luas sehingga representasi pemilih dapat
diselamatkan.
Lanjutan
Model two round system memang akan mendapatkan hasil yang relatif maksimal di
mana pemilih yang hilang akan diminimalisir. Akan tetapi resiko model ini adalah
biaya dan waktu yang diperlukan cukup banyak.
Model first past the post memiliki legitimasi yang sangat rendah tetapi sangat
efisien. Bisa jadi dengan first past the post calon kepala daerah yang menang hanya
memperoleh suara kemenangan tipis.
Model preferential voting atau juga disebut approval voting sesungguhnya menjadi
penengah dari kedua sistem di atas. Dalam hal ini, pemilih diminta untuk melakukan
approval untuk satu, dua, atau tiga.
Sistem ini tidak begitu rumit dan dilakukan
hanya dalam satu putaran. Tetapi karena model ini seperti multiple choice, tidak
semua orang bisa memahami bahwa seseorang bisa memilih dua atau tiga
sekaligus.
IMPLIKASI PEMILUKADA DUA PUTARAN
(1)Kandidat yang bertarung di dalam Pemilukada harus menyediakan biaya,
tenaga dan waktu ekstra ketat.
(2) Pemilukada dua putaran cenderung melahirkan fragmentasi sosial di
dalam masyarakat yang kian ketat.
(3) Cenderung melahirkan divided government atau pemerintahan yang
terbelah.
(4) sistem pemilukada dua putaran juga hanya memberikan jalan mulus bagi
incumbent.
(5) sistem Pemilukada dua putaran juga mempengaruhi penurunan angka
partisipasi pemilih.
(6) Pemilukada dua putaran memberikan ruang bagi peningkatan jumlah
Golput.
Problem-problem Elektoral yang Ditimbulkan
oleh Penggunaan Sistem Dua Putaran
1.
Terjadi penguatan intervensi pemerintah pusat dalam menetapkan pasangan calon
yang memenangkan Pemilukada. Misalnya adanya keputusan pembatalan pasangan
terpilih oleh pemerintah pusat melalui Departemen Dalam Negeri.
2.
Munculnya arogansi partai besar pasca pelaksanaan Pemilukada, jika Pemilukada
dimenangi oleh partai kecil.
3.
Munculnya strong man atau orang kuat dibalik kepala daerah terpilih.
4.
Munculnya fenomena calon tunggal yang disebabkan oleh adanya dominasi dan
hegemoni yang merupakan gabungan antara kekuasaan dan modal.
Lanjutan
5. Munculnya
ancaman
perang
adat,
sebagai
bentuk
ketidakpuasan
kelompok yang kalah dalam Pemilukada.
6. Munculnya fenomena jeratan birokrasi, di mana calon yang memenangkan
Pemilukada dianulir dengan keputusan pengadilan yang bersifat memihak
dan tidak netral.
PELANGGARAN PEMILUKADA YANG
SISTEMATIS, TERSTRUKTUR DAN MASIF
Pelanggaran Pemilukada yang bersifat sistematis, artinya pelanggaran ini
benar-benar direncanakan secara matang (by design)
Pelanggaran Pemilukada yang bersifat terstruktur, artinya pelanggaran ini
dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun aparat
penyelenggara Pemilukada secara kolektif bukan aksi individual.
Pelanggaran Pemilukada yang bersifat masif, artinya dampak pelanggaran
ini sangat luas dan bukan sporadis.
Menurut Mukhti Fadjar:
Pelanggaran Pemilukada yang bersifat sistematis, terstruktur dan masif
merupakan pelanggaran-pelanggaran yang memang direncanakan sejak
semula, baik oleh negara, penyelenggara Pemilukada maupun peserta
Pemilukada, bersifat meluas dan benar-benar merusak sendi-sendi Pemilu
yang ‘luber’ dan ‘jurdil’. Dengan demikian bukan pelanggaran yang hanya
bersifat insidental, individual dan sporadis yang dalam batas-batas wajar
masih dapat ditoleransi.
Menurut Maruarar Siahaan:
Terstruktur
diartikan
pelanggaran
yang
dilakukan
dalam
struktur
pemerintahan atau struktur partai politik dari tataran tertinggi sampai
terrendah untuk memenangkan salah satu pasangan calon. Sistematis
diartikan suatu sistem yang dirancang dengan matang. Sedangkan masif
berarti dilakukan di wilayah luas dan komprehensif di seluruh kecamatan di
kabupaten bersangkutan yang meliputi RT, RW, Desa, dan Kelurahan
secara merata.
Menurut Topo Santoso
Pelanggaran dalam Pemilukada dapat dibagi menjadi tiga kategori.
“Pertama, pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh atau tidak
dapat
ditaksir
pengaruhnya
terhadap
hasil
suara
pemilu,
seperti
pembuatan baliho, kertas simulasi yang menggunakan lambang dan alat
peraga yang tidak sesuai dengan tata cara yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Untuk jenis pelanggaran ini MK tidak
dapat menjadikannya sebagai dasar pembatalan hasil perhitungan yang
ditetapkan oleh KPU atau KPU Provinsi/Kabupaten/Kota. Hal ini sepenuhnya
menjadi ranah peradilan umum atau PTUN.
Lanjutan
Kedua, pelanggaran yang berpengaruh terhadap hasil pemilu, seperti
money politic, keterlibatan oknum pejabat atau PNS, dugaan pidana
pemilu, manipulasi suara, intimidasi, dan sebagainya. Pelanggaran seperti
itu dapat membatalkan hasil pemilu sepanjang berpengaruh secara
signifikan, yakni karena terjadi secara terstruktur, sistematis dan massif
yang ukurannya telah ditetapkan dalam berbagai putusan MK.
Berbagai pelanggaran yang sifatnya tidak signifikan mempengaruhi
pemilu, seperti yang bersifat sporadis, parsial, perorangan, dan hadiahhadiah yang tidak bias dibuktikan pengaruhnya terhadap pilihan pemilih,
tidak dijadikan dasar oleh MK untuk membatalkan hasil perhitungan oleh
KPU.
Lanjutan
Ketiga, pelanggaran tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat
prinsip dan dapat diukur (seperti syarat tidak pernah dijatuhi pidana
penjara
dan
syarat
keabsahan
dukungan
bagi
calon
independen).
Pelanggaran ini dapat dijadikan dasar untuk membatalkan hasil pemilu
karena ada pesertanya yang tidak memenuhi syarat sejak awal.”