IMPLEMENTASI LEMBAGA PENEMPATAN ANAK SEMENTARA DI PROVINSI LAMPUNG BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

  

IMPLEMENTASI LEMBAGA PENEMPATAN ANAK SEMENTARA DI

PROVINSI LAMPUNG BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 11

TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

(Jurnal Skripsi)

  

Oleh

DWINA ARIF AUDRIAN

NPM. 1412011076

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

  

2018

  ABSTRAK

  IMPLEMENTASI LEMBAGA PENEMPATAN ANAK SEMENTARA DI PROVINSI LAMPUNG BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Oleh Dwina Arif Audrian, Tri Andrisman, Damanhuri WN. Email: dwinaudrian@gmail.com

  Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 mengatur tentang penahanan anak ditempatkan di Lembaga Penempatan Anak Sementara dan terdapat pula pengaturan bentuk pembinaan serta hak-hak anak selama dibina di dalam LPAS. Di Provinsi Lampung sendiri belum terdapat bangunan Lembaga Penempatan Anak Sementara, sehingga sesuai dengan aturan UUSPPA bila belum terdapat LPAS di suatu provinsi anak ditempatkan di LPKS/LPKA terdekat. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah: Bagaimanakah implementasi ketentuan UUSPPA mengenai penempatan ABH di LPAS oleh Kemenkumham Provinsi Lampung? Dan apakah faktor-faktor yang menghambat implementasi ketentuan UUSPPA mengenai LPAS di Provinsi Lampung? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, sedangkan pendekatan empiris yaitu usaha mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam praktiknya.

  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diketahui bahwa : Implementasi Lembaga Penempatan Anak Sementara di Provinsi Lampung belum terdapat bangunan tersendiri, namun sesuai dengan Undang-Undang Sisterm Peradilan Pidana Anak yang mengaturnya tahanan anak ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang terdapat di Provinsi lampung dengan tetap memiliki tempat yang terpisah dengan narapidana anak. Dalam masalah pembinaan dapat diketahui bahwa ternyata bentuk pembinaan bagi tahanan anak diperlakukan sama dengan pembinaan yang diberikan bagi narapidana anak, walaupun dalam jangka waktu yang tidak lama dengan status tahanan, anak tetap diberikan pembinaan terutama pembinaan rohani, pendidikan formal, serta pendidikan infomal. Adapun faktor internal dan eksternal yang menjadi penghambat implementasi LPAS di provinsi lampung adalah anak didik itu sendiri, SDM sebagai pengasuh maupun petugas pengadilan yang belum kompeten kemudian sarana dan pra sarana yang belum terpenuhi, serta masyarakat sebagai lingkungan penerima output hasil pembinaan.

  Kata Kunci : Implementasi, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, LPAS

  

ABSTRACT

THE IMPLEMENTATION OF JUVENILE TEMPORARY PLACEMENT AGENCY IN

LAMPUNG PROVINCE BASED ON LAW OF REPUBLIC INDONESIA NUMBER 11 YEAR

2012 CONCERNING CHILD JUVENILE JUSTICE SYSTEM

By:

  Dwina Arif Audrian, Tri Andrisman, Damanhuri Warganegara

  

Email: dwinaudrian@gmail.com

Law of Republic Indonesia number 11 year 2012 arranges juvenile detention placed in

Juvenile Temporary Placement Agency, development and also juvenile rights during the

construction in Juvenile Temporary Placement Agency. In Lampung Province, there has

not been a Juvenile Temporary Placement Agency building therefore based on the law of

Child Juvenile Justice System rules (UUSPPA), if there is no Juvenile Temporary

Placement Agency yet, the juvenile is placed in the nearest Social Welfare Operation

Institution (LPKS) or Special Juvenile Development Institution (LPKA). Research

Problems: How is the implementation of juvenile justice system rules (UUSPPA) decision

about the placement of juvenile in conflict with the law (ABH) in Juvenile Temporary

Placement Agency by Ministry of Law and Human Rights of Lampung Province? And

What is the factors which inhibit the implementation of law of Child Juvenile Justice

System rules (UUSPPA) decisions regarding to Juvenile Temporary Placement Agency

(LPAS) in Lampung Province? This reasearch used a juridical normative and juridical

empirical approach. Normative research is conducted against theoretical matters of legal

principles, while empirical approach is the attempt to approach the problem under study

by the nature of the real law or in accordance with the fact that lives in practice. The

results of the study and discussion showed: the implementation of Juvenile Temporary

Placement Agency in Lampung Province does not have its own building, however based

on Juvenile Justice System Law, juvenile custody who is placed in the special institution of

the juvenile in Lampung Province, has a separate with juvenile convict. Through the

development issues, it can be known that kind of development for juvenile custody is

treated the same as the development given for juvenile convict, although in a short period

of time as the custody, the juvenile is still given the development, especially for spiritual

coaching, formal education, and informal education. As for internal and external factors

that inhibit the implementation of Juvenile Temporary Placement Agency (LPAS) in

Lampung Province is the juvenile itself, human resources as the caregivers and court

officials who are not competent yet, facilities and infrastructure that has not been fulfilled,

and the society as the as the recipient of the output of the development.

  

Keywords: Implementation, Law of Child Juvenile Justice System, Juvenile Temporary

Placement Agency

I. PENDAHULUAN

  Setiap anak memiliki harkat dan martabat yang dilindungi oleh hukum. Perspektif perlindungan anak adalah cara pandang terhadap semua persoalan dengan menempatkan posisi anak sebagai yang pertama dan utama.

  Negara Indonesia sendiri mengenai perlidungan terhadap harkat dan martabat anak terdapat dalam Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen tegas menyatakan dalam Pasal 28 B Ayat (2) yang dikatakan

  : “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

  2 Pasal 28 B Ayat (2) Undang-Undang

  Dasar 1945 di atas jelas bahwa anak mempunyai hak-hak seperti halnya manusia ataupun orang dewasa pada umumnya, yaitu hak atas kelangsungan hidup, hak untuk tumbuh, hak untuk berkembang, serta hak atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Secara hukum, Negara Indonesia telah memiliki beberapa ketentuan yang mengatur ketika anak berhadapan dengan hukum (ABH), Khususnya dalam peradilan anak berlaku Undang- Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UUSPPA), peranan penting diundangkannya UUSPPA adalah sebagai pendorong penyelesaian perkara anak di luar pengadilan dan semua pihak 1 M. Nasi

  r Djamil, “Anak Bukan untuk di Hukum”, Sinar Grafika, Jakarta, 2014 hlm. 31 2

  memiliki peranan, sehingga pidana yang merta dengan memberikan hukuman.

  Sebelum keberlakuannya Undang- Undang No.

  11 Tahun 2012 penangangan terhadap anak-anak yang melakukan tindak pidana merujuk pada Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang- Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak disahkan dan diundangkan pada tanggal 3 Januari 1997. Banyak pihak menganggap sebagai langkah pembangunan di bidang hukum yang patut dipuji. Banyak kemajuan yang dicapai dengan diterbitkannya undang-undang ini, walaupun ditemui banyak kekurangan yang perlu disempurnakan dan banyak ketentutan Undang-Undang Peradilan Anak yang tidak diimplementasikan atau dilanggar oleh penegak hukum.

1 Di

  3 Meninjau dari bentuk-bentuk kebijakan

  yang terdapat dari Undang-Undang Pengadilan Anak, tampak bahwa sesungguhnya yang hendak diwujudkan dari undang-undang tersebut adalah suatu penanganan terhadap perkara anak nakal yang lebih baik daripada yang terdahulu dan penanganannya memperhatikan kepentingan anak. Sehingga dalam penanganan perkara anak, anak tersebut tidak dirugikan secara fisik maupun mentalnya.

  Dengan demikian banyak pihak menganggap bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang berlaku pada saat ini tidak sesuai dengan kebutuhan hukum dalam 3 Tri Andrisman, “Hukum Peradilan Anak”, Unila, masyarakat dan belum secara perlindungan khusus pada anak yang berkonflik dengan hukum. Oleh karena itu perlu adanya suatu terobosan hukum dalam usaha untuk memberikan perlindungan yang menyeluruh terhadap anak. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kemudian menyikapinya dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang disahkan pada tanggal 3 Juli 2012. Undang- Undang ini akan berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, yaitu tahun 2014 dan akan menggantikan ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Lahirnya Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) mempertegas peran Lembaga Penempatan anak sementara pada proses penahanan anak sebagaimana disebutkan pada Pasal 84 Ayat (1) sampai Ayat (4): (1)

  Anak yang ditahan ditempatkan di LPAS. (2)

  Anak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berhak memperoleh pelayanan, perawatan, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan dan pendampingan, serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  (3) LPAS wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  (4) Pembimbing

  Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan program pendidikan sebagaimana dimaksud

  Substansi yang paling mendasar dalam undang-undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai program pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga-Lembaga yang berperan dalam lingkup peradilan anak dengan berasaskan keadilan restoratif dan diversi.

  Undang-Undang SPPA yang berlaku efektif sejak tanggal 31 Juli 2014 bertujuan untuk menjaga harkat dan martabat anak dengan pendekatan restorative justice, dimana seorang anak yang berhadapan dengan hukum berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan pidana. Tujuan proses peradilan pidana bukanlah pada penghukuman, tetapi perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak serta pencegahan pengulangan tindakan melalui tindakan pengadilan yang konstruktif. Oleh karena itu, SPPA tidak hanya ditekankan pada penjatuhan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana, melainkan juga difokuskan pada pemikiran bahwa penjatuhan sanksi dimaksudkan sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana tersebut. Hal demikian sejalan dengan tujuan penyelenggaraan SPPA yang dikehendaki oleh dunia internasional.

  Perbuatan mendasar penanganan perkara anak dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak memberi penguatan terhadap peran pemasyarakatan berada dalam keseluruhan penanganan anak yang berkonflik denga hukum dalam kaitan dengan pembinaan, pembimbingan, Disinilah maka, peran Balai Pemasyarakatan (BAPAS), Rumah Tahanan Negara (RUTAN) yang dibentuk menjadi Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan Lembaga Pemasyarakatan Anak (LPAN) yang dibentuk menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) sebagai Unit Pelaksana Teknis pemasyarakatan menjadi sangat penting dalam mendorong penanganan perkara anak melalui pendekatan restorative justice dan diversi. Salah satu bentuk perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum berupa adanya tempat penahanan terpisah dengan orang dewasa yang dijelaskan pada Pasal 84 Ayat (1) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berbunyi: “anak yang ditahan ditempatkan di LPAS”. Namun, pada praktiknya sudah 3 tahun sejak berlakunya UU tersebut tepatnya tanggal

  31 Juli 2014 ketersediaan lembaga tersebut belum merata di setiap daerah, khususnya di Provinsi Lampung saja hanya terdapat Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Provinsi Lampung yang diresmikan tahun 2012 namun Provinsi Lampung belum memiliki LPAS. Dengan begitu sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa anak yang akan di tahan dalam hal tidak terdapat LPAS, penahanan dapat dilakukan di LPKS/LPKA setempat.

  Permasalahan penelitian ini adalah: a.

  Bagaimanakah implementasi ketentuan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mengenai penempatan ABH di LPAS oleh b.

  Apakah faktor-faktor yang menghambat implementasi ketentuan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mengenai LPAS di Provinsi Lampung?

  Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

  II. PEMBAHASAN A. Implementasi Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) di Provinsi Lampung berdasarkan Undang-Undang No.

  11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

  Implementasi Lembaga Penempatan Anak Sementara (selanjutnya disebut LPAS) yang merupakan tempat tahanan anak ditempatkan sementara bukanlah bangunan penjara berjeruji besi, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mengimplementasikan LPAS sebagai tempat yang tidak mengorientasikan kepada anak sebagai tempat berjeruji besi/penjara karena penjara adalah ujung akhir dari pemidanaan yang berorientasi pembalasan yang akan berakibat pada terpengaruhnya mental serta psikologis anak. Oleh karena itu standar pendidikan, bimbingan dan perhatian terhadap anak harus terus disosialisasikan dan ditindak lanjuti, bukan dengan cara penahanan untuk menyelesaikan permasalahan anak.

  4

  memerlukan bimbingan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan fisik, mental dan sosial. Dalam melaksanakan pembinaan anak sangat diperlukan dukungan dari masyarakat khususnya negara. Upaya perlindungan hukum terhadap anak lebih ditekankan pada hak-hak anak. Demikian juga halnya dengan anak pidana. Perlindungan hukum terhadap anak pidana lebih ditekankan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak. Demikian juga halnya dengan anak didik pemasyarakatan perlindungan hukumnya lebih ditekankan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak didik pemasyarakatan.

  sarana dan prasarana hukum yang mendukung untuk melaksanakan hak- hak anak sebagai warga binaan selama anak berada di dalam Lembaga Pembinaan untuk mengantisipasi segala permasalahan yang timbul. Perlindungan hak anak menjadi penting, karena anak adalah manusia yang utuh, yang oleh karenanya memiliki hak secara asasi. Perlindungan anak dengan demikian merupakan bagian dari pelaksanaan Hak Asasi Manusia.

  implementasi dari konsep keadilan 4 B. Simandjuntak, “Latar Belakang Kenakalan

  Remaja (Etiologi Juvennile Delinquency) ”, Alumni, Bandung, 1979, hlm.97-99. 5 Mulyana W. Kusumah, “Hukum dan Hak-Hak Anak”, 1986,Jakarta : Rajawali, hlm 3. 6 Hadi Supeno, “Deskriminasi Anak: Transformasi Perlindungan Anak Berkonflik dengan Hukum

  ”, Jakarta: Komisi Perlindungan

  restoratif yang berorientasi pada secara konstruktif, penanaman rasa tanggung-jawab, penyesalan, empati pelaku pada korban, serta pembinaan yang menyiapkan pelaku siap dan mampu bersosialisasi dan menjadi lebih baik saat kembali ke dalam keluarga dan masyarakat. Banyak pemikiran yang berkembang seputar bagaimana LPAS ini diimplementasikan. Ada yang berpandangan bahwa idealnya merupakan bangunan yang ada dalam sebuah lokasi yang didesain berdasar konsep rancang- bangun ”sistem peradilan pidana yang terintegrasi”. Ada yang berpandangan memanfaatkan panti- panti sosial milik Kementerian atau Dinas Sosial, karena dalam Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana Anak pun dinyatakan dalam Pasal 33 Ayat (5), bahwa jika LPAS belum ada, anak dapat ditempatkan di LPKS. Ada pula yang berpandangan memanfaatkan shelter, rumah dinas pejabat yang relevan, dipandang representatif dan memenuhi syarat. Bagi daerah yang sudah memiliki infrastruktur perlingdungan ABH yang baik, LPAS bisa langsung berada di lokasi yang sudah ada, dengan perubahan konsep dan implementasinya sesuai dengan semangat dan norma yang ada dalam Undang- undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Irwadi selaku narasumber dari LPKA Klas II Bandar Lampung mengatakan untuk Provinsi Lampung LPAS belum tersedia, sehingga menurut ketentuan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak tahanan anak dapat ditempatkan di LPKA yang telah tersedia, dalam hal ini Provinsi Lampung

5 Selaras dengan hal tersebut dibutuhkan

6 Rancang bangun LPAS merupakan

  telah memiliki Lembaga Pembinaan yang beralamat di Jalan Ikatan Saudara Nomor 39 Desa Kota Agung, Masgar, Kabupaten Pesawaran. Rencana sudah ada,sejak Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana anak diundangkan sudah mulai dicanangkan program pembangunan LPAS sendiri yang teripisah dari LPKA, namun karena faktor-faktor seperti biaya, lahan, serta sumber daya yang kompeten belum terpenuhi sehingga belum bisa di realisasikan dalam waktu dekat ini.

7 Menurut Firganefi secara teori

  pengimplementasian tahanan anak ditempatkan di LPKA kurang tepat meskipun telah diatur oleh UU SPPA sesuai Pasal 33 Ayat (5), karena tahanan anak disamaratakan harus ditempatkan di tahanan baik berat maupun ringan kejahatan yang dilakukan, semestinya ada pertimbangan dimana anak dengan kejahatan ringan untuk tidak ditahan, untuk anak dengan ancaman pidana dibawah 7 tahun anak seharusnya memang tidak ditahan, karena dengan berstatusnya anak sebagai tahanan sudah sangat mempengaruhi psikologis anak tersebut, namun pada praktiknya anak tetap ditahan karena ditakutkan Anak akan melarikan diri, menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau mengulangi tindak pidana.

  8

  Registrasi&Klasifikasi Irwadi di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Klas II Bandar Lampung, pada tanggal 17 Januari 2018 8 Hasil Wawancara dengan Firganefi di Universitas Lampung, Pada Tanggal 1 Februari

  Prinsip-prinsip perlindungan anak, perlindungan khusus bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum, adalah nilai-nilai yang secara intrinsik harus mendasari pembentukan LPAS di Indonesia karena sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan secara rinci dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Demikian pula Peraturan PBB untuk Perlindungan Anak yang Terampas Kebebasannya/Juvenile

  Deprived of Their Liberty sangat penting

  dijadikan acuan operasional rancang- bangun LPAS, karena norma-norma dalam Undang- undang Perlindungan Anak dan Undang- undang Sistem Peradilan Pidana Anak juga sudah menjadikan instrumen internasional ini sebagai rujukan. Jangka waktu penempatan anak di LPAS perlu menjadi pertimbangan tersendiri bagaimana model pengasuhan, pembimbingan dan pendampingan yang perlu dilakukan agar hak anak terlindungi, anak memahami kewajibannya, serta siap berubah menjadi pribadi yang jauh lebih baik dan bertanggungjawab. Anak berada di LPAS dalam waktu maksimal 7 hari dan dapat diperpanjang paling lama 8 hari untuk kepentingan penyidikan, dan maksimal 5 hari dan dapat diperpanjang paling lama 5 hari untuk untuk kepentingan penuntutan, dan maksimal 10 hari dan dapat diperpanjang paling lama

7 Hasil Wawancara dengan Kasi

  15 hari untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Total dari waktu yang mungkin dijalani anak di LPAS ini, hendaknya menjadi acuan bagaimana tata-kelola LPAS dirancang secara tepat dan efektif agar waktu- waktu yang ada dapat semaksimal dan mendorong terjadinya keadilan restoratif dan diversi. Dengan waktu yang ada, LPAS juga dapat berfungsi sebagai tempat pengasuhan alternatif, tempat pembimbingan, pendidikan, pendampingan, dan tempat yang melindungi hak-hak anak. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi pengelolaan LPAS dan tenaga-tenaga yang terlibat di dalamnya. Selama anak berada di LPAS, harus dipastikan hak-hak anak tetap terpenuhi, baik hak sebagai ABH, maupun hak anak secara umum. Akses anak untuk bertemu keluarga dan melakukan proses-proses pemulihan hubungan dengan korban juga perlu dibuka. Pada saat yang sama, anak juga dipahamkan akan kewajiban- kewajibannya, sebagaimana terdapat dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor

  23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yakni : a.

  Menghormati orang tua, wali, dan guru; b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; c. mencintai tanah air, bangsa, dan negara; d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan e. melaksanakan etika dan akhlak mulia.

  Gambaran tentang implementasi LPAS meniscayakan perlunya LPAS menjadi tempat yang berfungsi sebagai ”Rumah Pengasuhan Alternatif”, ”Rumah Pembimbingan”, dan sekaligus ”Rumah Perlindungan dan Pendampingan” yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat anak tinggal. Radius yang tidak terlalu jauh ini penting agar akses bertemu keluarga, pendamping hukum, pendamping psikologis, pembimbing lain dapat dibuka dengan mudah dalam rangka menjamin berjalannya proses keadilan restoratif dan diversi, serta penyiapan anak untuk re-integrasi sosial jika proses hukum tidak berlanjut ataupun menjadi tempat pendampingan hukum kalau proses hukum selanjutnya harus terjadi. LPAS, dengan demikian perlu ada di setiap Kabupaten/Kota, atau minimal satu LPAS untuk beberapa Kabupaten/Kota yang letaknya berdekatan.

  Fungsi LPAS sebagai ”Rumah Penga suhan Alternatif”, ”Rumah Pembimbingan”, dan ”Rumah Perlindungan dan Pendampingan” ini pada gilirannya perlu dijabarkan lebih lanjut dalam tata-ruang dan fasilitas, tata kelola, dan personalia.

  Fungsi pembinaan tersebut memberikan tekanan yang berbeda sehingga mengutamakan salah satu hal. Fungsi pembinaan mencakup tiga hal antara lain: 1. penyampaian informasi dan pengetahuan; 2. perubahan dan pengembangan sikap; 3. latihan dan pengembangan kecakapan serta keterampilan.

  9 Tata ruang LPAS perlu didesain sebagai

  ruang yang tidak menghambat tumbuh kembang anak dan memungkinkan anak untuk memiliki akses untuk bertemu keluarga, para petugas kemasyarakatan, dan para pendamping (hukum, 9 A.M. Mangunhardjana, “Pembinaan Arti dan

  Metodenya ”, Yogyakarta: Kanisius, 1986, hlm. psikologis, spiritual, dll.). Tata ruang anak dari menjadi korban dan pelaku kekerasan. LPAS harus bisa menjamin anak aman dari kemungkinan amuk massa atau balas dendam yang dilakukan oleh korban/ teman/ keluarga korban dan kekerasan dari sesama tahanan, serta memastikan anak agar tidak menjadi pelaku kekerasan baik terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri. Sebagai implementasi dari ”rumah pengasuhan alternatif”, LPAS idealnya dibangun dengan konsep tataruang yang menyerupai rumah yang memiliki ruang- ruang privat (seperti kamar, tempat tidur, tempat penyimpanan barang pribadi, serta kamar mandi) dan ruang-ruang publik (seperti sarana olah raga, tempat ibadah, tempat belajar/pelatihan, dapur umum, serta tempat pertemuan dengan keluarga, petugas kemasyarakatan, dan pendamping). Di ruang privat dan publik tersebut, anak mendapatkan pengasuhan dari petugas yang menggantikan fungsi orang tuanya saat berada di rumah. Tata kelola LPAS diorientasikan sesuai amanat Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 84, yakni bahwa selama ditempatkan di LPAS anak berhak memperoleh pelayanan, perawatan, pendidikan, pembimbingan dan pendampingan, serta hak-hak lain sesuai dengan ketentuan perundang- undangan. Sebagai konsekuensinya LPAS wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Jika kewajiban LPAS yang diamanatkan UndangUndang ini diimplementasikan dalam lembaga yang

  Pengasuhan Alternatif”, ”Rumah Pembimbingan dan Pembinaan”, dan ”Rumah

  Perlindungan dan Pendampingan”, diyakini LPAS akan menjadi tempat yang menjamin tumbuh kembang anak secara maksimal dan melindungi anak dari kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, dan tindakan salah lainnya.

  Fungsi ”Rumah Pengasuhan Alternatif” mengharuskan LPAS dikelola sebagaimana layaknya keluarga. Ada petugas yang berfungsi seperti orang tua yang memperhatikan tumbuh kembang anak, merawatnya, memberikan kecukupan gizi dan menyiapkan tempat yang bersih dan memadai, serta memberinya tugas dan tanggungjawab dalam aktivitas keluarga sehari-hari, seperti menjaga kebersihan dan kerapian kamar, serta ikut membantu dalam proses penyiapan kebutuhan pribadinya seperti makan dan minum. Anak dalam LPAS yang berfungsi keluarga tidak merasa dipenjara namun tidak juga diperlakukan layaknya tamu yang dipenuhi kebutuhan fisiknya tanpa dilibatkan dalam proses penyiapan dan pemenuhan kebutuhan pribadinya tersebut. Fungsi ”Rumah Pembimbingan dan Pembinaan” mengharuskan tata-kelola yang berorientasi pada pembinaan, pembimbingan dan penyadaran pelaku. Tantangannya adalah, tata kelola LPAS harus dapat merancang program- program yang menjadi kewajibannya sedemikian rupa agar dalam waktu yang terbatas anak mendapat pembimbingan dan pembinaan yang dapat berhasil secara efektif. Teknik dan metode yang tepat menjadi sangat penting di sini. Bimbingan dan konseling, training, serta motivasi-motivasi keagamaan dan teknik dan metode yang tepat agar nilai- nilai yang disampaikan mampu menembus kesadaran terdalam anak dalam waktu yang singkat. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah mendorong anak untuk menyadari kesalahannya, dan kemudian menjadikannya sanggup bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukannya, dengan menunjukkan empati, mengganti kerugian, serta memulihkan dan memperbaiki hubungan dengan korban secara konstruktif. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan diketahui bahwa Provinsi Lampung belum memiliki LPAS sehingga tahanan anak ditempatkan di LPKA Klas II Bandar lampung, bentuk rancang bangun serta fungsi dari LPKA dengan LPAS jelas berbeda, namun pola pembinaan yang diterapkan pada tahanan maupun narapidana anak terbilang sama, pembinaan jasmani maupun rohani, pendidikan formal, serta pendidikan infomal semua dapat terpenuhi. Sehingga pengimplementasian LPAS berdasarkan UUSPPA sudah terlaksana meski belum maksimal.

  Petugas-petugas Lembaga Pembinaan Khusus Anak Klas II Bandar Lampung karena mereka dituntut berperan selayaknya orang tua kepada anaknya tanpa kekerasan dan diskriminatif dalam mendidik dan membina Anak Didik Pemasyarakatan. Lembaga Pembinaan

  Khusus Anak Klas II Bandar Lampung membina. Kendala tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, faktor Anak Didik Pemasyarakatan, pemberian pembinaan kepada Anak Didik Pemasyarakatan dilakukan agar Anak Didik Pemasyarakatan tidak mengulangi kesalahannya dan dapat memperbaiki pribadi dirinya mejadi lebih baik. Namun, Dalam pembinaan tersebut tidak sedikit Anak Didik Pemasyarakatan yang bermalas-malasan dalam melakukan program pembinaan yang sudah diberikan Lembaga Pembinaan Khusus Anak Klas II Bandar Lampung. Menurut Irwadi, menyatakan bahwa kendala dalam membina Anak Didik Pemasyarakatan ketika si Anak Didik tersebut malas. Hal inilah yang menjadi hal utama kenapa para petugas pembinaan harus memiliki pengetahuan yang baik tentang psikologi tentunya agar para petugas pembinaan mengetahui seperti apa karakter Anak Didiknya sehingga petugas pembinaan mengerti bagaimana membina Anak Didik Pemasyarakatan yang bermalas- malasan dengan mengetahui karakter diri Anak Didik Pemasyarakatan tersebut. Kedua, faktor Sarana dan Prasarana. Lembaga Pembinaan Khusus Anak Lampung hampir mempunyai fasilitas sarana dan prasarana yang cukup memadai. Namun, tidak semuanya berjalan dengan baik, masih ada kendala yang sering muncul, seperti yang diutarakan oleh Irwadi bahwa sarana dan prasarana memang terbatas tetapi Lembaga Pembinaan Khusus Anak Klas

B. Faktor yang menghambat Implementasi ketentuan Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mengenai LPAS di Provinsi lampung

  II Bandar Lampung tetap berusaha mengoptimalkan yang ada walaupun

10 Ketiga, faktor Sumber Daya Manusia.

  Sumber Daya Manusia (SDM) adalah salah satu faktor yang sangat penting bahkan tidak dapat dilepaskan dari sebuah organisasi, baik institusi maupun perusahaan. Lembaga Pembinaan Khusus Anak Lampung juga sangat mementingkan SDM yang ada di dalamnya. Menurut pernyataan Irwadi, bahwa di bagian SDM yaitu petugas pembinaan yang masih kurang baik secara kuantitas maupun kualitas, kurangnya karena petugas di LPKA Klas

  II Bandar Lampung itu belum mengerti apa arti dari pembinaan. Oleh karena itu, petugas di LPKA Klas II Bandar Lampung harus mendapatkan pelatihan- pelatihan sehingga ilmu petugas LPKA Klas

  II Bandar Lampung terus bertambah karena yang dididik manusia yang terus berkembang. Jadi, petugas pembinaannya harus mempunyai ilmu yang semakin tinggi.

  adalah komponen yang penting dalam menentukan keberhasilan pembinaan. Anak Didik Pemasyarakatan yang sudah keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak Klas II Bandar Lampung harus mendapatkan pembinaan yang baik dari masyarakat karena Anak Didik Pemasyarakatan yang sudah keluar 10 Hasil Wawancara dengan Kasi

  Registrasi&Klasifikasi Irwadi di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Klas II Bandar Lampung, pada tanggal 17 Januari 2018 11 Hasil Wawancara dengan Kasi Registrasi&Klasifikasi Irwadi di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Klas II Bandar Lampung, pada tanggal 17 Januari 2018

  bukan lagi tanggung jawab Lembaga Lampung. Menurut Irwadi, bahwa anak menjadi residivis semuanya disebabkan karena pergaulan.

  12 Oleh karena itu,

  Anak Didik Pemasyarakatan yang sudah keluar tergantung dari pergaulan atau didikan dari orang tua dan masyarakat tersebut, apabila pergaulan dan didikan yang didapat buruk maka tidak menutup kemungkinan Anak tersebut menjadi Anak Residivis. Optimal atau tidaknya pembinaan yang dilakukan jelas tidak dapat semaksimal apabila LPAS memiliki bangunan yang terpisah dari LPKA karena pola pembinaan yang ada didalamnya pun berbeda, secara teori maupun praktiknya sumber dana memang faktor yang sangat mempengaruhi disamping faktor-faktor lain seperti lahan, serta Sumber Daya Manusia yang Tersedia.

  13 Apabila ketentuan penahanan dalam

11 Keempat, faktor masyarakat. Masyarakat

  Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 dibandingkan dengan dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012, maka Undang-undang baru ini lama penahanannya lebih pendek dari undang- undang yang berlaku saat ini. Dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012, penahanan untuk kepentingan penyidikan paling lama 7 (tujuh) hari dan dapat diperpanjang kepada penuntut umum untuk paling lama 8 (delapan) hari. Penahanan untuk kepentingan 12 Hasil Wawancara dengan Kasi

  Registrasi&Klasifikasi Irwadi di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Klas II Bandar Lampung, pada tanggal 17 Januari 2018 13 Hasil Wawancara dengan Firganefi di Universitas Lampung, Pada Tanggal 1 Februari penuntutan lamanya 5 (lima) hari dan Pengadilan Negeri untuk paling lama 5 (lima) hari. Sedangkan hakim dapat melakukan penahanan selama

  10 (sepuluh) hari dan dapat diperpanjang kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk paling lama 15 (lima belas) hari. Jenis penahanan yang diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) KUHAP terdiri dari tiga jenis, yaitu : a.

  Penahanan Rumah Tahanan Negara, tersangka atau terdakwa ditempatkan di Rumah Tahanan Negara (Rutan); b. Penahanan rumah. Penahanan dilakukan di rumah tempat tinggal tersangka/terdakwa dengan pengawasan yang bersangkutan untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam proses penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di muka sidang pengadilan; dan c.

  Penahanan kota. Penahanan yang dilakukan di kota tempat tinggal tersangka/terdakwa dengan kewajiban kepadanya untuk melaporkan diri pada waktu yang telah ditetapkan oleh petugas yang berwenang. Pada prinsipnya penyidik/penuntut umum/hakim, berwenang atau dapat mengalihkan jenis penahanan dari satu jenis ke jenis penahanan lainnya sesuai dengan kebutuhan dan pertimbangan untuk kepentingan proses hukum yang berjalan (Pasal 23 Ayat (1) KUHAP). Di dalam Pasal 31 KUHAP diatur juga tentang penangguhan penahanan yang dapat diajukan oleh tersangka/terdakwa/keluarganya/penaseh at hukumnya dengan jaminan uang dan atau orang. Namun pada praktiknya dewasa ini masih banyak pihak birokrasi proses penahanan anak, pelimpahan tahanan anak padahal sudah diatur dalam undang-undang namun ada saja yang masih rancu terkait aturan yang diatur dalam UU SPPA tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pihak kejaksaan masih sering salah dalam keterangan surat penahanan, penahanan masih di alamatkan ke Rutan, padahal seharusnya pelimpahan tahanan anak langsung dialamatkan ke LPKA klas II Bandar Lampung.

  14 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012

  tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, tidak memberikan penjelasan tertentu tentang pengadilan anak, karena pada dasarnya Undang- Undang ini menginginkan penyelesaian perkara anak tidak melalui proses pengadilan, tetapi dapat diselesaikan di luar pengadilan, sebagaimana prinsip restorative justice atau keadilan restoratif yang menekankan pada pemulihan kembali keadaan korban pada keadaan semula, dan bukan pembalasan kepada pelaku tindak pidana anak. Pasal 21 KUHP mengatur baik tentang sahnya maupun tentang perlunnya penahanan. Teori membedakan tentang sahnya (rechvaar-

  dighed ) dan perlunya (noodzakelijkheid)

  penahanan. Hal ini perlu diperhatikan mengingat dalam penahanan adalah satu bentuk rampasan kemerdekaan bergerak seseorang. Disini terdapat pertentangan antara dua asas, yaitu hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati disatu 14 Hasil Wawancara dengan Kasi

  Registrasi&Klasifikasi Irwadi di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Klas II Bandar pihak dan kepentingan ketertiban umum untuk orang banyak atau masyarakat dari perbuatan tersangka. Ukuran atas asas keperluan (noodzakelijkheid) khususnya bagi anak tidak dijelaskan secara rinci dalam ketentuan perundang-undangan. Secara umum asas ini dapat diterjemahkan sebagai suatu yang mutlak harus dilakukan dan tidak dapat dihindari penggunaannya oleh penegak hukum. Asas mutlak perlu ini merupakan suatu keadaan dimana penahanan merupakan suatu yang tidak dapat dihindari dan harus dilakukan dengan pertimbangan baik untuk perlindungan anak/kepentingan anak (misalnya dari amuk massa) atau perlindungan kepentingan masyarakat. (misalnya dari sifat berbahayanya perbuatan). Seorang anak yang berhadapan dengan hukum karena melakukan suatu tindak pidana misalnya selalu memiliki latar belakang cerita atau alasan yang akan jauh berbeda dengan orang dewasa. Beberapa alasan yang jelas berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi keluarganya dan lingkungannya. Beberapa kasus misalnya berkaitan dengan Asas keperluan ini, patut diingat bahwa konsekwensi dari dilakukannya penahanan anak selalu berujung kepada terampasnya sejumlah hak anak. Berdasarkan Penelitian yang penulis lakukan perlunya pengetahuan dari petugas pelaksana undang-undang pun perlu diperhatikan untuk optimalnya implementasi dari aturan yang telah dibuat, sehingga tidak ada lagi hambatan seperti di atas yang dapat mempengaruhi proses dari peradilan anak yang berurusan dengan hukum.

  III. PENUTUP A. Simpulan 1.

  Implementasi Lembaga

  Penempatan Anak Sementara di Provinsi Lampung memang belum terdapat bangunan tersendiri yang terpisah dengan Lembaga Pembinaan Khusus Anak, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 33 Ayat (5) dimana bila belum terdapat Lembaga Penempatan Anak Sementara makan anak ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Bentuk pembinaan yang diberikan pun dirasa cukup baik dengan adanya kerjasama dengan pihak-pihak dari berbagai bidang seperti Dinas Pendidikan, Balai Latihan Kerja (BLK), Universitas Muhammadiyah Lampung dengan fokus pada bidang psikologi, dari pola pembinaan, tahanan anak memang tidak dibedakan dengan narapidana anak, namun tahanan anak tetap memiliki tempat yang terpisah dengan narapidana anak.

  2. Faktor penghambat implementasi Lembaga Penempatan Anak Sementara di Provinsi Lampung masih terkendala pada biaya, pengadaan lahan, serta SDM yang mumpuni, dibutuhkan sarana dan prasarana hukum yang mendukung untuk melaksanakan hak-hak anak sebagai warga binaan selama anak berada di dalam Lembaga Pembinaan untuk Djamil, M. Nasir, 2013, “Anak Bukan

  untuk di Hukum ”, Sinar Grafika, Jakarta.

  B.

  Mangunhardjana, A.M. 1986,

   Saran

  “Pembinaan Arti dan Metodenya”, 1. Kanisius, Yogyakarta. Diharapkan kepada Kementrian yang berwenang yaitu

  Kementrian Hukum & Hak Simandjuntak, B. 1979, “Latar Belakang

  Asasi Manusia khususnya Kenakalan Remaja (Etiologi Kanwil Provinsi Lampung Juvennile Delinquency) ”, Alumni, segera merealisasikan bangunan Bandung.

  Lembaga Penempatan Anak Sementara yang terpisah dari Supeno, Hadi. 2010,

  “Deskriminasi Lembaga Pembinaan Khusus Anak: Transformasi Perlindungan Anak Klas II Bandar Lampung Anak Berkonflik dengan Hukum

  ”, Untuk mengoptimalkannya Komisi Perlindungan Anak fungsi dan implementasi dari Indoneisa (KPAI), Jakarta.

  LPAS serta menjaga hak-hak anak selama berstatus sebagai W. Kusumah, Mulyana. 1986, “Hukum

  Tahanan. dan Hak-Hak Anak ”, Rajawali, Jakarta.

  2. Bagi instansi yang berwenang diharapkan dapat lebih memahami birokrasi yang ada sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang mengaturnya, dapat memaksimalkan sarana serta prasarana yang ada, meskipun dengan segala keterbatasan diharapkan tidak menjadi hambatan bagi anak untuk mendapatkan hak nya dalam masa tahanan.

DAFTAR PUSTAKA

  Andrisman, Tri, 2013, “Hukum

  Peradilan Anak

  ”, Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila, Bandar Lampung.