Makalah Ilmu dan Agama dalam Perspektif

Makalah Ilmu dan Agama dalam Perspektif AL-Ghazali
Pendahuluan
Wawasan Pendidikan,- Fenomena berkembangnya ilmu pengetahuan secara sendiri
(otonom) dan terbebas dari agama dan social menandai abad ke-20 terutama setelah
perang dunia II. Akibatnya sering kali perencanaan yang dihasilkan ilmu pengetahuan
bertabrakan dengan nilai-nilai religius seperti yang terjadi di Barat.[1]
Dewasa ini, kita sudah terbiasa dengan sebutan ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu
agama lebih berorientasi dan berbasiskan pada wahyu, hadits Nabi, penalaran dan
fakata sejarah sudah berkembang demikian pesat. Selanjutnya ilmu umum yang lebih
berbasis pada penalaran akal dan data empirik juga berkembanglebih pesat. Antara
keduanya seakan terdapat pemisahan wilayah dan seharusnya berjalan sendiri-sendiri.
Hal yang mendasar adalah pemahaman dan penilaian terhadap ilmu dan agama.
Dalam pandangan Islam, ilmu mempunyai posisi yang sangat tinggi. Tidak
mengherankan jika dalam nash-nash al-Qur’an ditemukan anjuran untuk menuntut
ilmu. Bahkan ayat pertama kali yang diturunkan kepada Muhammad pun adalah
anjuran untuk membaca dan belajar. Begitu juga agama, agama yang lebih dipahami
sebagai suatu bentuk tingkah laku demi pendekatan diri kepada Tuhan juga tidak
kalah penting.
Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh yang menentang adanya dikotomi antara ilmu
dan agama. Bagi al-Ghazali, kedua seperti mata rantai yang saling berhubungan dan
tidak dapat dipisahkan bahkan berjalan sendiri-sdendiri. Al-Ghazali sangat getol

dalam penentangannya akan dikotomi ilmu dan agama. Argumentasi-argumentasi
yang dipaparkannya pun menjajjikan bahkan beliau juga memberikan penggambaran
yang nyata akan hubungan keduanya.
Yang menjadi persoalaan adalah dikotomi antara ilmu dan agama telah
mengakibatkan adanya dikotomi antara ilmu umu dan ilmu agama. beberapa
golongan merasa bahwa islam adalah sumber segalanya, ilmu-ilmu umum yang
notabene berasal dari non Islam tidak patut untuk mendapat apresiasi. Sebaliknya
sebagian dari mereka juga ada yang beranggapan bahwa ilmu adalah pusat kebenaran.
Dengan ilmu seseorang akan hidup bahagia dimanapun berada khususnya di dunia
ini.

Untuk menjawab persoalan diatas, penulis mencoba untuk memahami dan mendalami
pandangan al-Ghazali terhadap hubungan ilmu dan agama. apakah dikotomi antara
keduanya
terdapat
dalam
pandangannya
ataupin
sebaliknya.
Sekilas ilmu dan agama

Kata ilmu merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa inggris scince. Kata saince
ini berasal dari kata latin scientia yang berarti pengetahuan. Kata secientia ini berasal
dari bentuk kata kerja scire yang artinya mempelajari, mengetahui. Pada mulanya
cakupan ilmu (science) secara etimologis menunjuk kepada pengetahuan sematamata, pengetahuan mengenai apa saja. Pada pertimbangan selanjutnya, pengertian
ilmu (science) ini mengalami perluasan arti sehingga menunjuk kepada segenap
pengetahuan sistematis (systemstic knowledge).[2]
Etimologi makna ilmu mempunyai dua arti, pertama, makna denotatif ilmu yang
merujuk kepada pengetahuan, tubuh pengetahuan yang terorganisir (the organized
body of knowledge), studi sistematis (systematical stadies), dan pengetahuan teoritis
(theoretical knowledge). Dengan demikian, makna denotatif ilmu mengcu pada
lingkup pengertian yang sangat luas baik itu pengetahuan yang dimiliki oleh semua
manusia maupun pengetahuan ilmiah yang disusun secara sistematis dan
dikembangkan melalui prosedur tertentu. Kedua, makna konotasi ilmu yang merujuk
kepada serangkaian aktifitas manusia yang manusiawi (human), bertujuan
(purposeful), dan berhubungan dengan kesadaran (cognitive).[3]
Pada dasarnya, ilmu dikembangkan untuk mencapai kebenaran atau memperoleh
pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar akan membawa manusia
memperoleh pemahamn yang benar tentang alam semesta, dunia sekelilingnya,
masyarakat, lingkungannya bahkan dirinya sendiri.
Untuk mencapai kebenaran terdapat cara atau jalan tertentu yang dipakai dalam dunia

ilmu yang selanjutnya disebut metode. Metode yang digunakan adalah metode ilmiah
yaitu cara atau jalan yang dilalui oleh proses ilmu untuk mendapatkan kebenaran
melalui cara yang ilmiah. Francis Bacon mengemukakan empat sendi untuk
menyusun ilmu, yaitu : observasi (pengamatan), measuring (pengukuran), expalining
(penjelasan), verifying (pengujian).[4]
Ciri-ciri yang terkandung dalam pengertian ilmu pengetahuan dapat diuji untuk lebih
memahami sifat dcinamis pada ilmu pengetahuan. Salah satu ciri khas ilmu
pengetahuan adalah suatu bentuk aktifitas, yaitu sebagai suatu kegiatan yang
dilakukan secara sadar oleh manusia. Ilmu tidak hanya merupakan aktifitas tunggal
saja, tetapi suatu rangkaian aktifitas sehingga merupakan proses. Proses dalam
rangkaian aktifitas ini bersifat intelektual dan mengarah kepada tujuan-tujuan

tertentu. Aktifitas intelektual berarti kegiatan yang memerlukan kemampuan berfikir
untuk melakukan penalaran logis atau hasil-hasil pengalaman empiris.
Dalam aktifitas manusia khususnya aktifitas intelektual, seseorang akan menemukan
sesuatu yang baru yang belum didapatkan sebelumnya maupun mendapatkan
pengembangan dari suatu pengetahuan. Hasil aktifitas tersebut, merupakan suatu
produk yang kemudian menjadi ciri yang kedua dari ilmu.
Kedua ciri dasar ilmu, yaitu wujud aktifitas manusia dan hasil aktifitas tersebut,
merupakan sisi yang tidak terlepaskan dari ciri ketiga yang dimiliki oleh ilmu yaitu

sebagai metode. Metode merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai
tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh
pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah ada.
Tujuan-tujuan terpenting ilmu bertalian dengan apa yang telah dicirikan sebagai
fungsi pengetahuan atau kognitif dari ilmu. Dengan fungsi itu ilmu memusatakan
perhatian terkuat pada pemahaman-pemahaman kaidah ilmiah yang baru dan tidak
diketahui sebelumnya pada penyempurnaan keadaan pengetahuan dewasa ini
mengenai kaidah-kaidah semacam itu.
Setiap ilmu (sciencea) ditentukan oleh objeknya. Ada dua macam objek ilmu, yaitu
objek material dan objek formal. Objek material ( obiectum materiale, material
object) ialah seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan objek penyelidikan suatu
ilmu. Objek formal ( obeictum formale, formal object) ialah objek material yang
disoroti oleh suatu ilmu, sehingga membedakan ilmu satu dengan ilmu yang lainnya,
jika berobyek materi sama.
Berbicara mengenai agama, kita dapat mendefinisikan kata agama dengan meneliti
dan memahami suatu agama tertentu. Tentu pandangan dan penilaian terhadap suatu
agama akan mempengaruhi definisi yang didapatkan. Banyaknya definisi itu
diakibatkan oleh banyaknya agama itu pula. Dalam menyelidiki agama, terdapat
kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Kenyataan bahwa dalam tiap-tiap agama terdapat
beberapa paradox (pertentangan) atau hal-hal yang kelihatan bertentangan

mempersulit peneliti dalam membuat konklusi pemahaman sebuah agama.[5]
Pada dasarnya semua agama yang ada di muka bumi mengandung unsur-unsur yang
terdapat didalamnya. Unsur terpenting dalam suatu agama adalah adanya keyakinan

dan upacara-upacara yang khas yang terdapat di dalam agama tersebut. Brightman
memberikan suatu definisi deskriptif tentang agama dengan ungkapannya sebagai
berikut :
“Agama adalah suatu unsur mengenai pengalaman-pengalaman yang dipandang
mempunyai nilai yang tertinggi. Pengabdian kepada suatu penguasaan yang
dipercayai menjadi asal mula, yang menambah dan melestarikan nilai-nilai ini, dan
sejumlah ungkapan yang sesuai tentang urusan dan pengabdian tersebut, baik dengan
jalan melakukan upacara-upacara simbolis maupun melalui perbuatan-perbuatan lain
yang
bersifat
perseorangan
dan
yang
bersifat
kemasyarakatan.”[6]


Hubungan ilmu dan agama menurut al-Ghazali
Imam al-Ghazali[7] merupakan salah satu tokoh agama yang sangat terkenal
dikalangan orang islam. Selain tokah agama, beliau juga terkenal ahli dalam berbagai
ilmu. Baik ilmu tasawuf, filsafat dan logika. Kemampuannya dalam membungkus
keilmuannya dengan syari’at agama menjadikannya mendapat gelar terhormat
hujjayul islam. Dengan berbagai kemampuan dan keilmuannya, beliau menuangkan
pemikiran dan pandangannya berbentuk karya-karya diberbagai cabang keilmuan.
Dalam dunia tasawuf, terdapat salah satu karya monumentalnya yang sekarang

dijadikan rujukan dan dikaji di berbaga studi keislaman. Buku yang dinamakan Ihya’
Ulumuddin itu telah dicetak beberapa kali. Dalam bidang ushul fiqih, beliau menulis
buku yang diberi judul Al-Mustashfa. Tidak hanya berhenti pada cabang itu, dalam
dunia filsafat pun beliau menulis buku yang sangat terkenal dikalangan filsof muslim
pada masa setehnya yaitu Tahafat al-Falasifah.
Sebelum kita membahas pandangan al-Ghazali mengenai hubungan ilmu dan agama,
kita tidak bisa lepas dari pandangannya mengenai ilmu. Dalam kitabnya Minhajul
Abidin, Al-Ghazali mengatakan ilmu adalah imamnya amal dan amal adalah
makmumnya. Ilmu adalah pemimpin dan pengamalan adalah pengikutnya. Ilmu
ibarat permata yang harus digali dan terus dicari oleh semua orang.[8]
Dari segi akal, ilmu merupakan keutamaan yang harus dimiliki dan diraih oleh

manusia demi mendekatkan diri kepada tuhannya. Orang yang berilmu, ilmunya akan
mengantarkannya menuju jalan kebenaran dan kebahagiaan baik di dunia maupun di
akhirat kelak.
Al-Ghazali membagi ilmu menjadi ilmu terpuji dan ilmu tercela. Ilmu terpuji adalah
ilmu yang dapat mengantarkan seseorang kepada kebenaran dan kebahagiaan di sisi
tuhan. Ilmu fiqih, tauhid, dan ilmu agma-agama yang lainnya dikategorikan dalam
kategori ini. Ilmu tercela adalah ilmu yang menyebabkan berbagai kerusakan baik
kerusakan individual maupun kerusakan social. Sihir, manta, ramalan dan sebagainya
masuk dalam kategori ini. Dalam mempelajari ilmu Astronomi (perbintangan),
hendaklah dibatasi dengan pembahasan dan pendalaman dalam mencari suatu araha
dan mencari kiblat. dalam ilmu kimia hendalaklah dibatasi dengan ilmu kedokteran
secukupnya.[9]
Di sisi lain, al-Ghazali juga membagi ilmu menjadi ilmu fardhu ain dan fardhu
kifayah. ilmu fardhu ain adalah ilmu yang dapat menyelamatkan dari kebinasaan dan
memperoleh derajat yang tinggi. Sementara ilmu-ilmu yang lebih dari itu adalah
fardhu kifayah buakan fardhu ain.[10]
Secara filosofis al-Ghazali membagi ilmu ke dalam ilmu syar’yah dan ilmu aqliyah.
Oleh al-Ghazali ilmu yang terakhir ini disebut juga ilmu ghairu syar’iyah. Ilmu
nonfilosofis menurutnya dipandang sinonim dengan ilmu relegius, karena dia
menganggap ilmu itu berkembang dalam suatu peradaban yang memiliki syari’ah

(hukum wahyu).[11]

Ilmu Syar’iyah mencakup dua ilmu penting. Pertama, ilmu tentang prinsip-prinsip
dasar (al-Ushul). Dalam pembahasannya ilmu ini mencakup ilmu tentang keesaan
Tuhan, kenabian, akhirat atau eskatologis, al-Qur’an dan Hadits dan sebagainya.
Kedua, ilmu tentang cabang-cabang (furu’). Dalam pembahasannya ilmu ini
mencakup ilmu tentang kewajiban tuhan kepada tuhannya (ibadah), ilmu kewajiban
manusia terhadap masyarakat, ilmu kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri
(akhlak).
Ilmu Aqliyah mencakup beberapa ilmu dan cabang-cabangnya. Seperti Matematika,
aritmatika, geometri, astronomi dan astrologi. Ilmu tentang wujud di luar alam atau
metafisika, ontologi, logika, fisika dan sebagainya.
Tidak hanya berhenti pada pandangannya akan pembagian ilmu, al-Ghazali juga
membagi ilmu-ilmu berdasarkan kadar kepentingannya. Kadar kepentingan dalam
tingkatan ilmu diukur dari kedekatannya dengan akhirat. Seperti ilmu syariat lebih
utama dari pada ilmu yang lainnya. Hal ini menurut Al-Ghazali, karena segala
macam ilmu termasuk dalam af'al (perbuatan-perbuatan) Allah dan sifat-sifat-Nya.
Al-Ghazali bahkan beranggapan bahwa ilmu pengetahuan yang dapat digali dari alQur’an tidak dapat dihitung. Al-Ghazali sangat gigih berupaya menjadikan al-Qur’an
sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan, baik yang bersifat duniawi maupun
ukhrawi. Ia mengklaim bahwa semua jenis ilmu pengetahuan dapat digali dari alQur’an.[12]

Hubungan antara ilmu dan agama adalah pandangan yang telah lama dikemukakan
oleh para ulama, filosof dan teolog. Masalah ini telah diungkapkan dari sudut
pandang yang berbeda-beda dalam teologi dan filsafat ilmu-ilmu sosial dan filsafat
ilmu.
Sebagai Hujjatul Islam, al-Ghazali tidak mentabukan adanya hubungan antara ilmu
dan agama. Dalam kitabnya Mukhtashar ihya’Ulumuddin, beliau berkata ”iman itu
telanjang pakainnya adalah takwa perhiasannya adalah rasa malu dan buahnya adalah
ilmu.” Ilmu dan ibadah adalah dua mata rantai yang saling terkait, pada dasarnya
segala sesuatu yang kita lihat, kita dengar, kita rasakan dan kita pelajari adalah hanya
untuk ilmu dan ibadah.

Bagi al-Ghazali, ilmu dan agama sagat terikat dan keduanya tidak dapat dipisahkan.
Dalam mendiskripsikan hubungan keduanya, beliau menggunakan logikanya dengan
mencoba memahami sebuah pohon. Pada sebuah pohon, ilmu merupakan pohonnya
dan agama merupakan buahnya. Maka jika kita beragama dan beribadah sesuai
tuntutannya tanpa dibekali ilmu, ilmu tersebut akan lenyap bagaikan debu ditiup
angin. Buah pun tidak akan dapat diraih. Sebaliknya, ketika pohon itu hanya mampu
memberi daun dan tidak bisa menghasilkan sebuah buah maka eksistensi pohon itu
menjadi kurang sempurna.[13]
Menuju sikap profesional

Sekelompok orang menawarkan pemisahan dalam wilayah tugas dan fungsi ilmu dan
agama; dengan makna bahwa tugas ilmu sebagai media hipotesa, estimasi, dan
kontrol; bukan penjelas; dan agama hanya sebagai pengatur dan penertib kehidupan
individu dan masyarakat; bukan penjelas perkara-perkara realitas. Sebagian lagi
menjelaskan pemisahan tujuan ilmu dan agama. Tujuan agama adalah memberi
hidayah dan memberi kebahagiaan pada manusia, sedangkan tujuan ilmu adalah
menerangkan hakikat-hakikat alam natural. Kelompok lainnya, mengungkapkan
pemisahan bahasa agama dan bahasa ilmu serta bermaknanya proposisi-proposisi
ilmu dan agama, atau pandangan tidak bermaknanya proposisi-proposisi agama lewat
kaum positivisme, atau pemisahan fungsionalisme bahasa ilmu dan agama dari filosof
analitik bahasa.
Pengklasifikasian ilmu menjadi ilmu yang terpuji dan yang tercela seakan
mengisyaratkan adanya dikotomi antara ilmu dan agama.ketika dipahami sekilas hal
itu seakan tidak bisa dipungkiri. Setelah diteliti dan dikaji secara mendalam, penulis
dapat memahami adanya pemahaman dan pandangan al-Ghazali akan hubungan
antara ilmu dan agama. Suatu ilmu selalu diukur dan dihubungkan oleh al-Ghazali
sesuai batas agama. Ilmu dapat dikatakan terpuji jika dengan ilmu itu seseorang dapat
lebih mendekatkan andiri kepada tuhan. Hal ini juga tidak mendikotomikan ilmu
agama dan ilmu umum. Seseorang dapat mendekatkan diri kepada tuhan sesuai ilmu
yang dimiliki.

Al-Ghazali memandang bahwa hubungan dan keseimbangan antara ilmu dan agama
sangatlah penting. Berlandaskan ilmu tanpa berpegang teguh dengan agama
seseorang akan rusak. Tidak dapat dibayangkan jika seseorang membuat dan
meletuskan bom dengan alasan perecobaaan ilmiyah tanpa memperhatikan
keselamatan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya agama tidak pernah melarang dan

membatasi manusia untuk mendapatkan ilmu ataupun penemuan baru. Sangatlah
disayangkan jika ada seseorang tidak beralaskan ilmu dalam peraktek keagamaan.
Bagi al-Ghazali ilmu dan agama lebih bersifat aplikatif-implementatif bukan teoretisteologis. Perhatian manusia hendaknya dipusatkan untuk mendalami dan
mengaplikasikan keduanya. Jika keduanya sudah terealisasikan dan saling berjabat
tangan maka kikta akan menjadi kuat dan berhasil. Ringkasnya, dengan memadukan
ilmu dan agama perjalanan dan perjuangan kehidupan ini akan sampai pada kekuatan
yang kokoh dan menumbuhkan sifat profesional yang tinggi.[14]
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa ilmu dan agama mempunyai
hubungan yang sangat erat. Keduanya tidak bisa dipisahkan bahkan berjalan sendirisediri. Dikotomi antara keduanya akan menimbulkan pemikiran dan pemahaman
yang salah. Islam sendiri tidak tidak pernah membatasi dan membagi ilmu untuk
dipelajari. Ilmu dan agama merupakan dua kesatuan penting yang dapat menunjukkan
manusia menuju jalan yang benar.
Iman itu telanjang pakainnya adalah takwa perhiasannya adalah rasa malu dan
buahnya adalah ilmu. Itulah gambaran al-Ghazali akan hubungan antara ilmu dan
agama. dikesempatan lain, al-Ghazali juga berpendapat bahwa ilmu yang tidak
berlandaskan agama akan membawa manusia menuju jalan yang sesat. Begitu juga
agama, seseorang beragama tanpa dibekali ilmu yang mapan akan menghasilkan
kesiasiaan dan penyesalan.
Bagi al-Ghazali, ilmu dan agama harus digandengkan dan berjalan bersamaan dalam
diri manusia. Keduanya akan mengantarkan kepada sikap dan prilaku yang
professional.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali.Minhajul Abidin. trj. Abd. Hiyadh surabaya : Mutiara Ilmu. 1995.
Al-Ghazali. Mukhtashar Ihya’ Ulumiuddin . Bairut : Muassasah al-Kutub asTsaqafiah. 1990. trj. Irwan Kurniawan . Bandung : Mizan. 1997).
Bakhtiar, Amtsal. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rajawali Pers. 2004.
Nata, Abuddin,(dkk). IntegrasiIlmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: Rajawali pers.
2005.
Sibawaihi. Eskatologi al-Ghazali dan Fadzlur Rahman. Yogyakarta : Islamika.

Siswomiharjo, Koentowisbono. (dkk). Filsafat Ilmu., Yogyakarta : LP3 UGM, 1997.
[1] Abuddin Nata, (dkk), IntegrasiIlmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: Rajawali
pers, 2005), hlm.114
[2] Koentowibisono Siswomiharjo (dkk), Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : LP3 UGM,
1997), hlm.64
[3] Koentowibisono Siswomiharjo (dkk), Filsafat…hlm. 70
[4] Koentowibisono Siswomiharjo (dkk), Filsafat…hlm.55
[5] Rasidji, Filsafat Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 2002), hlm. 12.
[6] Louis O. Kattsoff, Elements of Philoshopy, (New York : tp, tt). Terj Soejono
Soemargono, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2004), hlm. 435-436.
[7] Nama lengkapnya adalah Zainudin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad alGhazali at-Thusi an-Naysaburi. Ia lahir di kota Thus yang merupakan kota kedua di
khurasan setelah Naysabur.
[8] Lihat : Minhajul Abidin, trj. Abd. Hiyadh ( surabaya : Mutiara Ilmu, 1995) hlm.16
[9] al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulumiuddin ( Bairut : Muassasah al-Kutub asTsaqafiah, 1990) trj. Irwan Kurniawan ( Bandung : Mizan, 1997), hlm. 32
[10] al-Ghazali, Mukhtashar…, hlm.26.
[11] Amtsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, ( Jakarta : Rajawali Pers, 2004 ), hlm. 123.
[12] Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fadzlur Rahman (Yogyakarta : Islamika,
2004), hlm. 169.
[13] Lihat : Minhajul Abidin, trj hlm. 17
[14] al-Ghazali, Mukhtashar…, hlm. 29.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2