ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA BUDID

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA BUDIDAYA
RUMPUT LAUT KOTONI DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT
Financial Feasibility Analysis of Red Seaweed Cultivation Business
in the Seram Bagian Barat Regency
Robert Pensa Maryunus
UPTD Balai Budidaya Laut Tual
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku
Jl. Taar Baru Kota Tual, Maluku, Indonesia 97611
Email: roby_pm@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis kelayakan finansial usaha budidaya rumput laut di
Kabupaten SBB. Analisis dilakukan berdasarkan harga riil untuk skala usaha rata-rata pada setiap lokasi
budidaya dan pengelompokan berdasarkan kepemilikan tali bentangan. Analisis kelayakan skala usaha
maju pada setiap lokasi budidaya dilakukan tersendiri berdasarkan proyeksi income statement. Hasil
yang diperoleh menunjukkkan kriteria investasi berdasarkan skala usaha rata-rata adalah: ROI :
76.46%, PP : 0.69, NPV : 5,738,824, IRR : 101.09 % dan Net B/C ratio : 1.80. Berdasarkan kepemilikan
tali bentangan didapatkan nilai kriteria investasi dengan kisaran masing-masing: ROI : 65.32 – 104.64%,
PP : 0.33 – 0.88, NPV : 3,663,824 – 24,193,350, IRR : 86.76 – 239.15% dan Net B/C ratio : 1.67 –
3.03 dimana terlihat bahwa semakin banyak kepemilikan tali bentangan maka nilai kriteria investasi
semakin baik pula. Sedangkan berdasarkan proyeksi income statement skala usaha maju diperoleh

nilai rata-rata masing-masing: ROI : 60.45%, PP : 0.72, NPV : 8,169,698, IRR : 130.74 % dan Net B/C
ratio : 2.06. Analisis sensitivitas untuk skenario cost overrun biaya bibit menunjukkan nilai kriteria
investasi yang masih bisa ditolerir. Secara umum usaha budidaya rumput laut ditinjau berdasarkan skala
usaha rata-rata, kepemilikan tali bentangan maupun proyeksi income statement skala usaha maju,
usaha dinyatakan “GO PROJECT”
Kata Kunci: analisis kelayakan finansial, kriteria investasi, rumput laut kotoni, seram bagian
barat

ABSTRACT
This study aims to perform financial feasibility analysis of red seaweed cultivation business in the SBB
Regency. The analysis is based on the real price for the average business scale at each cultivation
location and grouping based on the long line ownership. The feasibility analysis of the bankable business
scale at each cultivation location is done separately based on the projected income statement. The
results obtained show investment criteria based on average business scale are: ROI: 76.46%, PP: 0.69,
NPV: 5,738,824, IRR: 101.09% and Net B/C ratio: 1.80. Based on long line ownership, the investment
criteria are obtained with the range of ROI: 65.32 - 104.64%, PP: 0.33 - 0.88, NPV: 3,663,824 24,193,350, IRR: 86.76 - 239.15% and Net B / C ratio: 1.67 - 3.03 where it is seen that the more
ownership of long line shows the better criterion value of investment. While based on projected income
statements bankable business scale obtained the average value of each: ROI: 60.45%, PP: 0.72, NPV:
8,169,698, IRR: 130.74% and Net B/C ratio: 2.06. Sensitivity analysis for the cost overrun scenario seed
cost shows the value of investment criteria that can be still tolerated. In general, seaweed cultivation

business is reviewed based on the average business scale, long line ownership as well as projected
income statement of bankable business scale, the business is stated "GO PROJECT"
Keywords : financial feasibility analysis, investment criteria, red seaweed, seram bagian barat

PENDAHULUAN
Rumput laut (Seaweed) merupakan salah satu komoditas perikanan yang bernilai
ekonomis penting dan memiliki akses global yang luas serta prospek bisnis yang cerah di
pasar Nasional dan Internasional. Salah satu jenis rumput laut golongan karaginofit (penghasil

karaginan) yang saat ini banyak dibudidayakan, adalah jenis Eucheuma cottonii sinonim
Kappaphycus alvarezii. Karaginan sangat penting peranannya sebagai stabilizer (penstabil),
thickener (bahan pengental), pembentuk gel, pengemulsi dan lain-lain. Sifat ini banyak
dimanfaatkan dalam industri makanan, obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan
industri lainnya (Winarno, 1996).
Usaha budidaya rumput laut mempunyai karakteristik yang cepat menghasilkan (quick
yielding) dengan margin keuntungan yang cukup besar disamping itu memiliki kaitan usaha
backward dan forward linkage yang cukup luas, sehingga dapat memacu pembangunan
industri hulu maupun hilir.

Pada usaha budidaya rumput laut pencapaian produksi dan


kapasitas usaha akan tercapai bila pelaku usaha secara ekonomi mampu mencapai titik
optimal dari kelayakan usaha tersebut. Kelayakan usaha sangat tergantung pada jalannya
subsistem-subsistem yang saling berinteraksi mulai dari kegiatan di hulu (on-farm) sampai
kegiatan dihilir (off-farm), hal ini disebabkan keberadaan subsistem dalam siklus yang berjalan
secara efektif akan mampu meningkatkan efisiensi produksi (Cocon, 2011).
Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Barat dalam kebijakan pembangunannya telah
menempatkan komoditas rumput laut sebagai komoditas unggulan untuk dikembangkan
dengan pertimbangan luas wilayah potensial bagi pengembangan komoditas ini masih cukup
tersedia (Anonim, 2011). Usaha budidaya rumput laut didaerah ini merupakan usaha yang
tergolong agribisnis skala mikro yang pengelolaannya dilakukan oleh rumah tangga dan
beberapa dalam kelompok usaha budidaya.
Sebagai suatu unit usaha yang diharapkan mampu meningkatkan taraf perekonomian
pelaku usaha budidaya sekaligus meningkatkan perekonomian daerah dibutuhkan suatu
analisis finansial untuk menentukan layak tidaknya usaha ini dikembangkan. Penelitian ini
bertujuan untuk melakukan analisis finansial usaha budidaya rumput laut Kabupaten SBB.
Selanjutnya berdasarkan hasil analisis untuk menentukan kelayakan (pendapatan dan usaha)
akan disusun suatu rekomendasi kebijakan yang perlu diambil dalam rangka pengembangan
usaha rumput laut di wilayah tersebut.


METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan pada 2 (dua) kecamatan yang menjadi sentra budidaya
rumput laut Kabupaten Seram Bagian Barat yakni di Kecamatan Seram Barat masing-masing:
Dusun Pulau Osi, Kotania, dan Loun di Desa Eti; Wael, Airpesi dan Taman Jaya di Desa Piru
serta di Kecamatan Kairatu Barat yakni Negeri Nuruwe. Penelitian ini berlangsung dari bulan
April sampai dengan September 2011.

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dikumpulkan bersumber dari data primer dan data sekunder. Data
primer, yakni data yang diperoleh melalui kuisioner, wawancara dan observasi langsung dari
sumber pertama. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran ke lembaga terkait
yakni Bank Indonesia, Bank Komersil (Bank Maluku dan BRI) dan Badan Pusat Statistik
Provinsi Maluku. Data-data tersebut digunakan untuk menganalisa dan menghitung
permodalan, komponen dan struktur biaya, penerimaan dan keuntungan, non time value of
money dan time value of money, serta hal-lal terkait lainnya. Keseluruhan data dianalisis
secara kuantitatif dan kualitatif.

Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode survei deskriptif (the descriptive survey method).
Metode deskriptif adalah metode penelitian yang berusaha mendeskripsikan atau
menggambarkan serta melukiskan fenomena atau hubungan antara fenomena yang diteliti
secara sistematis, aktual dan akurat (Arikunto, 2002).
Pemilihan lokasi dusun/negeri dilakukan secara purposive (Sugiyono, 2009), dengan
pertimbangan lokasi tersebut eksis melakukan kegiatan budidaya pada saat pelaksanaan
penelitian. Pemilihan responden pembudidaya dilakukan berdasarkan teknik cluster random
sampling (Sugiyono, 2009) dengan pertimbangan: Pertama, sub populasi pembudidaya
tersebar pada lokasi-lokasi tertentu pada area yang luas dengan distribusi jumlah yang tidak
seimbang; Kedua, interval jumlah kepemilikan tali bentangan yang menjadi indikator luas
lahan pembudidaya berbeda-beda dan tidak terwakili pada semua sub populasi. Klaster
(cluster) yang terbentuk adalah lokasi budidaya dan interval kepemilikian tali bentangan yakni:
10 – 19 bal, 20 – 29 bal, 30 – 29 bal, 40 – 49 bal, 50 – 59 bal, 60 – 69 bal dan 70 – 79 bal.
Jumlah pembudidaya yang eksis berdasarkan informasi dari masing-masing kepala
dusun setempat berjumlah total 322 pembudidaya. Jumlah sampel pembudidaya (unit usaha)
ditetapkan kurang lebih 15 % dari populasi total (Arikunto, 2002), dengan mempertimbangkan
jumlah dari populasi pembudidaya yang eksis pada masing-masing lokasi penelitian. Jumlah
unit usaha yang diambil sebagai sampel pada masing-masing lokasi penelitian sebanyak 53
unit usaha masing-masing: Pulau Osi 10 unit usaha, Loun 5 unit usaha, Kotania 10 unit usaha,
Wael 15 unit usaha, Taman Jaya 5 unit usaha, Airpesi 5 unit usaha dan Nuruwe Nuruwe 3

unit usaha.

Metode Analisis Data
Analisis finansial dilakukan dua tahap sebagai berikut: Pertama, analisis berdasarkan
skala usaha rata-rata ditinjau berdasarkan lokasi budidaya dan jumlah kepemilikian tali
bentangan, dengan mengacu data produksi dan biaya-biaya riil yang timbul serta harga jual
rumput laut tahun 2010. Tujuannya untuk melihat kelayakan usaha berdasarkan lokasi,
kepemilikan tali bentangan dan masing-masing nilai rata-ratanya pada tingkat kabupaten.

Pada perhitungan ini panjang 1 bal tali bentangan diasumsikan 100 meter. Kedua, analisis
berdasarkan skala usaha maju (bankable) dari masing-masing lokasi budidaya didasarkan
pada data cross section, produksi dan harga jual, masing-masing sebanyak 1 kali pada periode
awal Musim Barat dan Musim Timur Tahun 2011, dari hasil kuisioner, wawancara dan
pengukuran di lapangan, dengan asumsi tingkat teknologi dan penggunaan faktor-faktor
produksi dalam jangka pendek adalah tetap (cateris paribus). Kriteria pemilihan unit usaha
yang dianggap maju adalah pembudidaya yang melakukan budidaya secara kontinyu
sepanjang musim dan memiliki produksi yang tinggi berdasarkan informasi lisan dari
pembudidaya setempat. Tujuannya untuk melihat proyeksi income statement pada masingmasing unit usaha yang dianggap maju.
Untuk mengetahui kondisi aspek finansial unit usaha dilakukan beberapa perhitungan
finansial sebagai berikut :

1. Total Biaya
Perhitungan penggunaan total biaya (total cost) (Kadariah dkk., 1999), secara sistematis
dirumuskan sebagai berikut:

TC = TVC + TFC

dimana :
TC

=

Total biaya/ Total cost (Rp)

TVC

=

Total biaya variabel/ Total variable cost (Rp)

TFC


=

Total biaya tetap/ Total fixed cost (Rp)

Perhitungan biaya penyusutan investasi pada total biaya tetap menggunakan metode garis
lurus (straight line balance method) (Kadariah, dkk., 1999).

2. Penerimaan
Perhitungan total penerimaan (total revenue) (Kadariah dkk., 1999) secara sistematis
dirumuskan sebagai berikut :

TR = Py . Y
dimana :
TR

= Total penerimaan/ Total revenue (Rp)

Py


= Harga produk/ Product price (Rp)

Y

= Jumlah produksi/ Production volume (Kg)

3. Keuntungan
Perhitungan keuntungan menggunakan keuntungan absolut (π), dengan rumus
(Soekartawi, 2002) sebagai berikut :

π

= TR – TC

dimana :

π

=


Keuntungan absolut/ Absolute return (Rp)

TR

=

Total pendapatan/ Total income (Rp)

TC

=

Total biaya/ Total cost (Rp)

Untuk mengetahui total profit berada di atas atau dibawah inflation rate (%) pada tahun yang
bersangkutan dihitung tingkat keuntungan (profit rate, dalam %) (Soekartawi, 2002),
berdasarkan rumus :


Profit Rate =


x 100 %

TC

dimana :

π

=

Total keuntungan/ Total Profit (Rp)

TC

=

Total biaya/ Total Cost (Rp)

4. Non Time Value of Money (Non Discount Factor)
a. Break Even Point (BEP)
Analisis BEP digunakan untuk menetapkan pada tingkat volume produksi dan harga
berapa suatu usaha pada kondisi tidak untung tetapi juga tidak rugi. BEP yang
dianalisis adalah BEP produksi dan harga. Secara sistematis BEP (Rahardi dkk.,
2005), dirumuskan sebagai berikut.

• BEP atas dasar produksi :
BEP (kg)

=

• BEP atas dasar harga :
BEP (Rp)

=

Total Biaya (Total cost)
Total Produksi (Total production)
Total Biaya (Total cost)
Harga Penjualan (Sales price)

b. Return on Invesment (ROI)
ROI digunakan untuk menghitung berapa tingkat keuntungan dari setiap modal yang
diinvestasikan. Semakin tinggi ROI maka semakin baik investasi yang dilakukan.
Secara sistematis ROI (Soekartawi, 2002), dirumuskan sebagai berikut :

ROI =

Pendapatan Bersih (Net Income)
Modal (Total Asset)

x 100 %

dengan kriteria kelayakan usaha :
ROI > suku bunga bank, usaha dinyatakan layak/ business is feasible
ROI < suku bunga bank, usaha dinyatakan tidak layak/ business is not feasible

c. Payback Period (PP)
PP digunakan untuk menghitung waktu berapa lama pengembalian investasi. Secara
sistematis PP (Kadariah dkk., 1999), dirumuskan sebagai berikut :
Investasi (Investation)
PP =

Keuntungan Bersih (Net Income)

x 1 Tahun (Year)

Kalau periode payback ini lebih pendek dari yang diisyaratkan maka proyek dikatakan
menguntungkan, dan bila lebih lama, proyek ditolak. Pada penelitian ini umur proyek
usaha budidaya rumput laut ditetapkan/diasumsikan 1 tahun. dengan kriteria
kelayakan usaha :
PP < 1 tahun usaha dinyatakan menguntungkan/ business is benefit
PP > 1 tahun usaha dinyatakan tidak menguntungkan/ business is not benefit

5. Time Value of Money (Discount Factor)
a. Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) adalah selisih antara present value dari benefit dan present
value dari biaya yang dirumuskan secara matematik (Kadariah dkk., 1999), sebagai
berikut :

NP V 


n

t 1

Bt  Ct
(1  i ) t

dimana :
NPV

=

Nilai saat ini/ Net present value

Bt

=

Keuntungan pada tahun t/ Annual benefit

Ct

=

Biaya pada tahun t/ Annual cost

n

=

Umur ekonomis suatu proyek/ Project life

i

=

Tingkat suku bunga yang berlaku/ Discount rate

dengan kriteria kelayakan usaha :
NPV > 0, berarti usaha tersebut layak/ business is feasible
NPV < 0, berarti usaha tersebut tidak layak/ business is not feasible
NPV = 0, berarti usaha tersebut dalam keadaan BEP dimana TR = TC dalam bentuk
present value/ business in break even point where TR = TC in present value

b. Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat diskonto dimana present value dari biaya
total sama dengan present value dari penerimaan total. Secara matematis (Kadariah
dkk., 1999) dapat dirumuskan sebagai berikut :

NP V'
IRR = i’+ NP V' NP V"

x (i” – i’)

dimana :
i’

= nilai discount rate tertinggi yang memberi NPV positif (NPV’)/ the interest

rate that produces NPV positive (NPV’)
i”

= nilai discount rate terendah yang memberi NPV negatif (NPV”), sehingga

diperoleh NPV sebesar nol/ the interest rate that produces NPV is zero (NPV”)’
NPV’ = nilai NPV pada discount rate pertama/ NPV when the discount rate i’
NPV” = nilai NPV pada discount rate kedua/ NPV when the discount rate i”
dengan kriteria kelayakan usaha:
IRR > suku bunga (i’), usaha dianggap layak/ business is feasible
IRR < suku bunga (i’), usaha dianggap tidak layak/ business is not feasible
IRR = 0, usaha berada dalam kondisi BEP/ business is break even point

c. Net Benefit Cost Ratio
Net B/C merupakan nilai perbandingan antara jumlah present value yang positif
dengan jumlah present value yang negatif. Secara sistematis Net B/C ratio (Kadariah
dkk., 1999) dirumuskan sebagai berikut :

 1  i 
NetB / C 
C B
 1  i 
n

t 0
n

Bt  Ct
t

t

t 0

t

t

dimana :
Bt = Keuntungan sehubungan dengan adanya investasi tahun t/ Annual benefit
Ct = Biaya sehubungan adanya investasi investasi pada tahun t/ Annual cost
t

= Umur ekonomis dari usaha/ Project life

i

= Tingkat suku bunga/ Discount rate

dengan kriteria kelayakan usaha :
Jika Net B/C > 1 maka usaha dianggap layak/ business is feasible
Jika Net B/C < 1 maka usaha dianggap tidak layak/ business is not feasible
Jika Net B/C = 1 maka usaha berada dalam kondisi BEP/ business in break even point.
Perhitungan cash flow pada kriteria time value of money menggunakan metode direct
cash flow (Kadariah dkk., 1999). Nilai discount factor (DF) ditetapkan sebesar 12 %

yang merupakan nilai tengah (mean) dari skim suku bunga kredit yang biasa diakses
oleh pembudidaya. Sedangkan biaya perawatan ditetapkan sebesar 5 % dari total
investasi (Parenrengi dkk., 2011).

6. Sensitivitas
Analisis sensitivitas dilakukan dengan menskenariokan terjadinya kejadian diluar
perhitungan (Kadariah dkk., 1999). Pada penelitian ini diuji komponen input produksi yakni
bibit, dengan skenario terjadi kenaikan harga (cost overrun) bibit sebesar 33,33 %, dengan
pertimbangan bibit merupakan komponen biaya variabel yang nilai nominalnya paling besar.
Skenario disusun berdasarkan data historis variasi harga bibit rumput laut berdasarkan hasil
wawancara dengan pembudidaya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Wilayah dan Usaha
Kabupaten Seram Bagian Barat atau biasa disingkat Kabupaten SBB sebagian besar
terletak di Pulau Seram, terletak antara 2o55’ – 3o30’ Lintang Selatan dan 127o29’ – 128o45’
Bujur Timur dengan luas seluruhnya 84.181 km 2 yang terdiri dari laut seluas 79.005 km 2 (93,83
%) dan daratan 5.176 km 2 (6,15 %) (BPS Prov. Maluku, 2011).
Iklim di Kabupaten SBB adalah iklim laut tropis dan iklim musim karena letaknya dekat
daerah garis khatulistiwa dan dikelilingi oleh lautan luas. Iklim di wilayah ini sangat dipengaruhi
oleh lautan dan berlangsung bersamaan dengan iklim musim, yaitu musim Barat atau Utara
dan musim Timur atau Tenggara. Ada 4 musim yang berpengaruh terhadap perairan SBB
yakni musim Barat (Desember – Pebruari), musim Pancaroba 1 (Maret – Mei), musim Timur
(Juni – Agustus), dan musim Pancaroba 2 (September – Nopember). Setiap musim memiliki
karakteristik cuaca yang berbeda-beda yang ditunjukkan dengan suhu udara, pola angin,
curah hujan, dan faktor cuaca lainnya (Diskanlut Prov. Maluku & Lemlit Unpatti 2005). Adapun
luas potensi lahan budidaya rumput laut diperkirakan mencapai 7690 Ha (Bappeda Kab. SBB,
2011).
Metode budidaya rumput laut yang dikembangkan oleh pembudidaya di Kabupaten SBB
adalah metode rawai atau long line. Sarana berupa komponen material yang digunakan dalam
usaha budidaya terdiri dari: tali jangkar (PE ø 8, 10 atau 12 mm), tali utama (PE ø 6, 8 atau 10
mm), tali bentangan (PE ø 4 atau 5 mm), jangkar (cor beton, tiang tancap atau karang mati),
pelampung utama (styroafoam ø 25 cm) dan pelampung bantu (botol bekas air mineral).
Sedangkan sarana penunjang terdiri dari: sampan (kayu), terpal (plastik), waring (nilon), parapara jemur (kayu atau bambu) dan beberapa pembudidaya memiliki mesin tempel perahu
motor (2,5 PK) yang oleh penduduk lokal biasa disebut ketinting. Bibit yang digunakan dalam
usaha budidaya sebagian besar merupakan hasil perbanyakan sendiri oleh pembudidaya

secara vegetatif dan hanya beberapa yang mendapatkan bibit dengan cara membeli dari
pembudidaya lainnya.

Permodalan
Berdasarkan hasil wawancara dengan pembudidaya pada lokasi-lokasi penelitian maka
sumber permodalan usaha budidaya secara umum dibagi atas 3 yakni: modal sendiri (self
financing), modal pinjaman dari bank dan modal berupa paket bantuan sarana budidaya dari
instansi pemerintah. Perbankan yang menyiapkan fasilitas kredit yaitu Bank Maluku melalui
skim kredit PUNDI dengan nominal Rp 10 – 15 juta dengan suku bunga 10 – 14 % dan BRI
melalui skim kredit KUPEDES dengan nominal Rp 5 – 10 juta dengan suku bunga 10 – 14 %.
Realisasi fasilitas kredit bagi pembudidaya rumput laut di Kabupaten SBB lebih banyak
didominasi oleh Bank Maluku dan hanya beberapa pembudidaya yang memanfaatkan kredit
dari BRI. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Pemimpin Cabang Bank
Maluku Piru diketahui bahwa dari total plafond per Juni 2011 yang dikucurkan untuk
pembudidaya rumput laut 34,78 % diantaranya masuk kedalam kategori kredit macet atau
NPL (non performing loan). Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi perbankan ada sekitar
sepertiga diantara debitur yang memiliki karakter yang kurang baik. Berdasarkan hal tersebut
dapat dikatakan bahwa dukungan sektor perbankan khususnya bagi upaya pengembangan
budidaya rumput laut di Kabupaten SBB sudah memadai, persoalannya adalah kembali
kepada karakter atau mental debitur.
Kesulitan utama dalam hal permodalan adalah modal investasi bagi pembudidaya yang
baru mau memulai usahanya adalah kesulitan modal awal. Hal ini mendorong pemerintah baik
Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten setiap tahunnya menganggarkan
bantuan paket budidaya di Kabupaten SBB. Pada usaha budidaya yang sudah berjalan sekitar
1 tahun biasanya tidak ada lagi kesulitan modal untuk sekedar bertahan sesuai dengan skala
usaha awal, namun beberapa pembudidaya sulit untuk meningkatkan skala usahanya karena
adanya pemahaman yang keliru pada sebagian pembudidaya yang menganggap bahwa untuk
pengembangan usaha budidaya yang mereka miliki, menjadi kewajiban pemerintah untuk
selalu menyiapkan sarana produksi yang diperlukan.

Komponen dan Struktur Biaya
Secara garis besar dikenal dua macam modal dalam perhitungan kelayakan usaha
yakni: modal investasi dan modal kerja (Ibrahim, 2009). Modal investasi terdiri dari biaya
investasi dan modal kerja terdiri yang terdiri dari biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel
(variable cost). Biaya merupakan salah satu unsur terpenting dalam proses produksi, sebab
apabila suatu unit usaha mampu mengendalikan biaya-biaya yang terjadi maka akan tercipta
kondisi yang efisien sehingga dapat meningkatkan daya saing unit usaha tersebut.

Komponen dan struktur biaya diperoleh dari hasil kuisioner ditambah dengan
perhitungan nilai nominal bibit berdasarkan jumlah bibit yang digunakan oleh pembudidaya
serta perhitungan nilai sisa (salvage value) komponen biaya investasi. Rekapitulasi komponen
dan struktur biaya yang terbentuk disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rekapitulasi Nilai Nominal Rata-Rata Komponen dan Struktur Biaya Usaha
Budidaya Rumput Laut di Kabupaten SBB.
Table 1. Recapitulation of Average Nominal Value of Component and Cost Structure of
Seaweed Cultivation in SBB Regency
Biaya
Biaya Tetap/ Fixed Cost
Investasi/
Penyusutan/
Perawatan/
Lokasi/
Investation
Depreciation
Maintenance
Location
Cost
(Rp)
(Rp)
(Rp)
1
2
3
4
Desa Eti, Kecamatan Seram Barat
Pulau Osi
7,878,650
2,589,117
393,933
Kotania
6,950,200
2,461,767
347,510
Loun
6,853,500
2,371,417
342,675
Desa Piru, Kecamatan Seram Barat
Wael
8,397,567
2,965,811
419,878
Airpesi
7,436,000
2,259,250
371,800
Taman Jaya
5,478,800
2,201,400
273,940
Negeri Nuruwe, Kecamatan Kairatu Barat
Nuruwe
7,302,667
2,945,944
365,133
Total
50,297,383
18,069,506
2,514,869
Rata-Rata
7,185,340
2,581,358
359,267

Biaya
Variabel/
Variable
Cost
(Rp)
5

Biaya Produksi/
Production
Cost
(Rp)

Jumlah
Aset/ Total
Asset
(Rp)

6 = (3 +4 + 5)

7 = (2 + 4 + 5)

7,063,650
9,114,486
7,528,572

10,046,699
11,923,763
10,517,464

15,336,233
16,412,196
14,724,747

10,995,605
7,711,854
7,009,479

14,379,295
10,342,704
9,484,819

19,811,050
15,519,654
12,762,219

7,677,588
57,099,234
8,157,033

10,522,056
77,217,000
11,031,000

14,878,779
109,444,877
15,634,982

Sumber : Data Primer, diolah (2011)/ Source: Primary data processed (2011)

Berdasarkan Tabel 1 struktur biaya yang terjadi pada usaha budidaya rumput laut di
Kabupaten SBB secara garis besar terdiri atas tiga yakni: a) Biaya Investasi, b) Biaya Tetap
dan c) Biaya Variabel, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut :

a) Biaya Investasi :
Biaya investasi dibutuhkan untuk memulai usaha budidaya rumput laut. Biaya ini
dibutuhkan untuk pengadaan sarana seperti tali PE, sampan, pelampung, jangkar, waring,
para-para, terpal dan lain-lain. Menurut Rahardi dkk., (2005) biaya investasi adalah biaya yang
dikeluarkan untuk pengadaan barang-barang modal pada tahun ke – 0 dengan harapan
memperoleh manfaat atau benefit pada tahun-tahun berikutnya. Hasil tabulasi menunjukkan
rentang kisaran nilai yang tidak terlalu berbeda jauh dikarenakan pada semua lokasi metode
budidaya yang diterapkan sama yakni metode long line. Nilai nominal rata-rata biaya investasi
pada setiap lokasi bervariasi, dari yang terkecil Dusun Taman Jaya sebesar Rp 5.478.800,-,
hal ini disebabkan karena pada lokasi ini sarana budidaya yang dipergunakan oleh responden
pembudidaya relatif sederhana dibandingkan lokasi lainnya, seperti tidak adanya ketinting
yang harga investasinya cukup mahal. Sedangkan nilai terbesar dijumpai pada Dusun Wael
sebesar Rp 8.397.567,-. Nilai investasi yang lebih besar pada lokasi ini terkait sarana yang
digunakan pembudidaya pada lokasi ini relatif lebih bervariasi disamping kuantitas jenis
sarana yang lebih banyak.

b) Biaya Tetap :

Berdasarkan hasil tabulasi data, komponen biaya tetap yang teridentifikasi pada usaha
budidaya rumput laut di Kabupaten SBB yakni biaya penyusutan dan biaya perawatan. Kedua
jenis komponen biaya tersebut memiliki keterkaitan erat dengan biaya produksi. Komponen
biaya investasi yang teridentifikasi mempunyai nilai sisa adalah ketinting dan perahu.
Sedangkan biaya perawatan dalam usaha budidaya rumput laut meliputi antara lain: biaya
penggantian tali, pelampung, perbaikan mesin dan sebagainya.
Besarnya nilai tetap pada usaha budidaya rumput laut di Kabupaten SBB tidak
menunjukkan adanya variasi yang menyolok diantara lokasi-lokasi budidaya yang ada.
Adapun nilai rata-rata penyusutan dan biaya perawatan terendah yakni masing-masing Rp
2.201.400,- dan Rp 273.940,- di Dusun Taman Jaya dan tertinggi masing-masing Rp
2.965.811,- dan Rp 419.878,- di Dusun Wael. Tidak terjadinya perbedaan yang menyolok
terhadap biaya tetap pada lokasi-lokasi budidaya terkait dengan nilai dan jenis komponen
biaya investasi yang juga tidak berbeda jauh.

c) Biaya Variabel
Pada usaha budidaya rumput laut sebagaimana halnya di Kabupaten SBB, biaya
variabel meliputi antara lain: biaya pengadaan dan pengangkutan bibit, karung, tali rafia, upah
tenaga kerja lepas, BBM, oli dan lain-lain. Berdasarkan hasil tabulasi nilai biaya variabel
terendah didapatkan di Dusun Taman Jaya sebesar Rp 7.009.479,- dan tertinggi di Dusun
Wael sebesar Rp 10.965.605.-. Tingginya nilai biaya variabel di Dusun Wael terkait dengan
aktifitas dan produktivitas yang tinggi di lokasi tersebut.

Penerimaan dan Keuntungan
Penerimaan dan keuntungan terkait langsung dengan jumlah produksi dan harga jual
rumput laut kering dari pembudidaya. Pada perhitungan penerimaan dan keuntungan
diasumsikan umur proyek 1 tahun sehingga penerimaan murni berasal dari hasil penjualan
rumput laut kering, tidak ada yang berasal dari nilai sisa (salvage value) aktiva. Perbandingan
antara penerimaan dan keuntungan rata-rata per musim serta perkiraan penghasilan per bulan
pada setiap lokasi disajikan pada Tabel 2 yang dihitung berdasarkan produksi dan harga jual
dari pembudidaya pada Tahun 2010. Sedangkan penerimaan dan keuntungan rata-rata Tahun
2010 pada setiap lokasi ditampilkan pada Gambar 1.
Perbedaan volume produksi dan harga antara Musim Barat dan Musim Timur secara
langsung

berpengaruh

terhadap

penerimaan

ataupun

keuntungan

yang

diperoleh

pembudidaya. Tabel 2 menunjukkan bahwa secara umum semua lokasi pada Musim Barat
menderita kerugian (angka warna merah). Hal ini selain disebabkan oleh produktivitas yang
rendah, juga disebabkan oleh harga jual yang rendah pada musim tersebut.
Kondisi sebaliknya terjadi pada Musim Timur dimana skala produksi meningkat dan
harga jual yang relatif lebih baik mendatangkan keuntungan yang signifikan bagi pembudidaya
sekaligus dapat menutup kerugian yang timbul pada Musim Barat. Implikasi lain yang timbul

dengan kondisi usaha yang menderita kerugian pada Musim Barat adalah rata-rata secara
umum, tidak ada perbedaan penerimaan dan keuntungan yang signifikan antara lokasi yang
hanya berproduksi pada Musim Timur (3 periode produksi) dengan lokasi yang berproduksi
baik pada Musim Timur maupun Musim Barat ( lebih dari 3 periode produksi).
Terjadinya perbedaan penerimaan dan keuntungan yang terjadi antara Musim Barat dan
Timur disebabkan pada Musim Barat sering terjadi serangan penyakit ice-ice yang memaksa
pembudidaya memanen rumput lautnya sbelum berumur 45 hari. Selain itu pada periode
tersebut bobot rumput laut berkurang ditambah harga pembelian pedagang yang rendah.
Fakta-fakta

ini

mendorong

pembudidaya

dalam

operasional budidayanya

memilih

menghindari resiko (risk aversion), dengan hanya memasang sekitar setengah dari jumlah tali
bentangan yang dimilikinya.
Pada Gambar 1 terlihat bahwa secara rata-rata per lokasi penerimaan pembudidaya
rumput laut pada tahun 2010 berkisar antara Rp 18.792.301,- sampai dengan Rp 31.887.025,dengan rata-rata Rp 23.023.405,-. Sedangkan keuntungan berkisar antara Rp 9.362.022,sampai dengan Rp 17.330.621,- dengan rata-rata Rp 11.931.207,-. Hal ini bila dikaitkan
dengan pendapatan bulanan dan Upah Minimum Provinsi (UMP) Maluku tahun 2010 sebesar
Rp 840.000,- per bulan (Gajimu com, 2011) menunjukkan bahwa secara rata-rata pendapatan
pembudidaya per bulan pada lokasi: Pulau Osi, Kotania, Loun, Wael dan Nuruwe, berada
sedikit diatas UMP Maluku. Lokasi Airpesi dan Taman Jaya menunjukkan secara rata-rata
pendapatan pembudidaya masih dibawah UMP Maluku.
Meskipun demikian patut juga diakui bahwa dengan eksisnya kegiatan budidaya rumput
laut di Kabupaten SBB, beberapa pembudidaya yang menekuni usaha budidaya rumput laut
secara serius dan memiliki tali bentangan dalam jumlah yang cukup besar sebagian besar
telah berhasil memperbaiki taraf perekonomian keluarga mereka.
Tabel 2. Perbandingan Penerimaan vs Keuntungan dan Perkiraan Penghasilan Rata-Rata
Pembudidaya per Bulan.
Table 2. Comparison of Revenue vs Profit and Estimated Average Income of Aquaculturists
per Month.
Keuntungan/ Benefit
Lokasi/
Location

Musim Barat/
West Season
(Rp)

Musim Timur/
East Season
(Rp)

Perkiraan Penghasilan
Bersih
per Bulan/ Net Income
Estimation per Month
(Rp)

Desa Eti, Kecamatan Seram Barat
Pulau Osi
Kotania
Loun

(46,875)
(1,197,167)
(1,323,108)

12,237,388
12,097,784
12,401,179

1,015,876
908,385
923,173

(623,121)

17,962,742

1,444,968

(1,136,585)
(706,649)

10,734,192
10,068,671

799,801
780,169

Desa Piru, Kecamatan Seram Barat
Wael
Airpesi
Taman Jaya

Negeri Nuruwe, Kecamatan Kairatu Barat
Negeri Nuruwe

(29,154)

13,079,150

1,087,500

Total
Rata-Rata

(5,062,659)
(723,237)

88,581,106
12,654,444

6,959,871
994,267

Sumber : Data Primer, diolah (2011)/ Source: Primary data processed (2011)

Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya pergeseran kualitas hunian dari rumah papan ke rumah
batu, berhasil menyekolahkan putra-putrinya sampai jenjang perguruan tinggi bahkan
beberapa orang yang telah berhasil menunaikan ibadah haji dari hasil usaha rumput laut.

Rp
35,000,000
30,000,000
25,000,000
20,000,000
15,000,000
10,000,000
5,000,000
-

Pulau Osi

Kotania

Loun

Wael

Airpesi

Taman Jaya

Nuruwe

Penerimaan

22,433,500

22,963,645

21,252,859

31,887,025

19,866,311

18,792,301

23,980,472

Keuntungan

12,190,513

10,900,617

11,078,070

17,339,621

9,597,607

9,362,022

13,062,273

Sumber: Data Primer, diolah (2011)/ Source: Primary data processed (2011)

Gambar 1. Perbandingan Penerimaan vs Keuntungan Rata-Rata Pembudidaya dirinci per
Lokasi.
Figure 1. Comparison of Revenue vs Average Benefit Average of Aquaculturists are detailed
per Location.
Berdasarkan wawancara dengan responden pembudidaya diketahui bahwa dari semua
responden yang ada tidak ada satupun yang melakukan pembukuan terhadap biaya-biaya
yang dikeluarkan maupun penerimaan yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa
pembudidaya belum memperhatikan aspek menajemen usaha khususnya manajemen
keuangan, padahal hal tersebut sangat penting dilakukan untuk mengontrol sekaligus
membuat perencanaan usaha sehingga bisa berhasil dengan baik. Pada lokasi budidaya di
Wael dan Nuruwe dimana Bank Indonesia pernah melakukan pelatihan pembukuan
sederhana pada awal tahun 2011 juga tidak ditemui pembudidaya yang mempraktekkan
pembukuan usaha.

Profit Rate
Profit rate berhubungan dengan sejauh mana efektifitas penggunaan biaya operasional
(biaya tetap dan biaya variabel) dalam menghasilkan keuntungan. Menurut Prihadi (2010),
posisi inflasi dalam penilaian investasi perlu dievaluasi karena inflasi mempengaruhi tingkat

biaya dan harga jual produk terutama di negara-negara berkembang karena sifat
perekonomiannya yang tidak stabil.
Nilai profit rate rata-rata selama tahun 2010 pada masing-masing lokasi budidaya tersaji
pada Tabel 3.
Tabel 3. Profit Rate Rata-Rata Usaha Budidaya Rumput Laut Dirinci per Lokasi
Table 3. Average Profit Rate of Seaweed Cultivation are Detailed per Location
Lokasi/
Location

Profit Rate

Kriteria/
Criteria

Justifikasi
Justification

Desa Eti, Kecamatan Seram Barat :
Pulau Osi

118.83%

> inflasi tahun 2010

Layak

Kotania

100.00%

> inflasi tahun 2010

Layak

Loun

112.04%

> inflasi tahun 2010

Layak

> inflasi tahun 2010
> inflasi tahun 2010
> inflasi tahun 2010

Layak
Layak
Layak

Desa Piru, Kecamatan Seram Barat
Wael
Airpesi
Taman Jaya

121.85%
101.48%
100.64%

Negeri Nuruwe, Kecamatan Kairatu Barat :
Negeri Nuruwe
Total

113.48%
768.32%

> inflasi tahun 2010

Layak

Rata-Rata
109.76%
> inflasi tahun 2010
Layak
Sumber : Data Primer, diolah (2011)/ Source: Primary data processed (2011)

Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa nilai rata-rata profit rate berkisar antara 100,00 % 121,85 % dengan rata-rata 109,76 %, berada jauh diatas nilai inflasi tahun 2010 berdasarkan
laporan Bank Indonesia (2011), dari yang terendah di Bulan Januari sebesar 3,72 % dan
tertinggi di Bulan Desember sebesar 6,96 %.

Hal ini tidak terlepas dari kondisi makro

perekonomian Indonesia yang cenderung stabil sepanjang tahun 2010. Tingginya nilai profit
rate pada semua lokasi juga dipengaruhi oleh kenyataan bahwa hingga saat ini sebagian
besar pembudidaya dalam menjalankan usahanya masih menggunakan modal sendiri (self
financing).
Nilai inflasi tahun 2010 yang berkisar antara 3,72 – 6,96 % menunjukkan nilai inflasi yang
tergolong kedalam skala moderat. Menurut Senduk (2000) berdasarkan tingkat keparahannya
ada tiga tipe inflasi yakni: (1) inflasi moderat, yaitu apabila laju inflasi hanya berada di bawah
dua digit per tahun (di bawah 10 persen), (2) inflasi ganas, yaitu apabila laju inflasi berada
pada dua digit per tahun (10 persen sampai dengan 99 persen) dan (3) inflasi hiper, yaitu
apabila laju inflasi berada pada tiga digit per tahun (100 persen atau lebih).

Break Even Point (BEP)
Break even point atau titik impas adalah suatu titik keadaan dimana jumlah pengeluaran
(total cost) dan jumlah penerimaan (total revenue) sama besar. Pada umumnya, setelah break
even point (BEP) tercapai, maka penerimaan selanjutnya merupakan keuntungan, artinya

pendapatan akan lebih besar dari biaya. Titik impas dicapai apabila keadaan usaha telah
menghasilkan pendapatan yang dapat menutup semua pengeluaran.
BEP terdiri dari 2 yakni BEP harga dan BEP produksi. Menurut Bank Indonesia (2008),
BEP bukan merupakan ukuran kelayakan usaha. Indikator ini hanya sebagai pedoman bagi
pengusaha untuk melihat batas penjualan minimum dan harga minimum yang harus dicapai
supaya memperoleh keuntungan. Analisis BEP usaha budidaya rumput laut di Kabupaten SBB
tidak terlepas dari kondisi harga dan volume produksi yang ada. Hubungan antara harga ratarata dan BEP harga serta produksi rata-rata dan BEP produksi pada setiap musim disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Harga Rata-Rata dan BEP Harga serta Produksi Rata-Rata dan BEP Produksi
Setiap Musim Dirinci per Lokasi.
Table 4. Average Price and BEP of Price and Average Production and BEP of Production
Each Season are Detailed per Location
Harga/ Price
Lokasi/
Location

Musim
Musim
Barat
Timur
West
East
Season Season
(Rp)
(Rp)
Desa Eti, Kecamatan Seram Barat
Pulau Osi
Kotania
Loun

6,675
6,390
-

BEP Harga/ BEP
of Price
Musim Musim
Barat
Timur
West
East
Season Season
(Rp)
(Rp)

9,680
9,920
9,400

Produksi/
Production
Musim Musim
Barat
Timur
West
East
Season Season
(Kg)
(Kg)

BEP Produksi/ BEP
of Production
Musim
Musim
Barat
Timur
West
East
Season
Season
(Kg)
(Kg)

6,812
8,950
-

3,331
3,804
3,861

632
531
-

1,898
1,971
2,269

732
720
-

629
759
949

Wael
6,480
9,747
7,425
Airpesi
6,300
9,600
8,951
Taman
6,500
9,800
8,242
Jaya
Negeri Nuruwe, Kecamatan Kairatu Barat

3,302
3,513

749
442

2,773
1,791

847
623

938
672

3,694

415

1,639

526

617

Nuruwe

3,064

696

2,127

701

923

Total
38,745
67,647
46,995
24,569
3,464
14,467
Rata-Rata
6,458
9,664
7,833
3,510
577
2,067
Sumber : Data Primer, diolah (2011)/ Source: Primary data processed (2011)

4,150
692

5,238
748

Desa Piru, Kecamatan Seram Barat

6,400

9,500

6,616

Berdasarkan Tabel 4 diatas diperoleh harga rata-rata pada Musim Barat sebesar Rp
6.458,- lebih rendah dari BEP harga Musim Barat sebesar Rp 7.833,- dan rata-rata produksi
Musim Barat sebesar 577 kg lebih rendah dari BEP Produksi sebesar 692 kg. Berdasarkan
harga Musim Barat dan BEP produksi Musim Barat terlihat bahwa meskipun penerimaan ratarata pada Musim Barat mencapai rata-rata Rp. 3.706.890 lebih tinggi dari biaya tetap yang
dikeluarkan yakni rata-rata Rp. 1.453.583,- namun karena rata-rata harga yang terbentuk
hanya mencapai Rp. 6.458,- berada dibawah BEP harga rata-rata yakni Rp. 7.833,- maka
secara umum usaha berada dalam kondisi rugi. Demikian pula dengan produksi rata-rata yang
dicapai yakni 577 kg masih berada dibawah BEP produksi rata-rata sebesar 692 kg. Hal ini

mengindikasikan bahwa baik dari segi harga maupun produksi secara umum, usaha budidaya
rumput laut di Kabupaten SBB pada Musim Barat mengalami kerugian.
Kondisi sebaliknya terjadi pada Musim Timur dimana harga rata-rata yang terbentuk
sebesar Rp 9.664,- lebih tinggi dari BEP harga sebesar Rp 3.510,- dan rata-rata produksi
mencapai 2.067 kg lebih tinggi dari BEP produksi rata-rata sebesar 748 kg (Tabel 4).
Penerimaan rata-rata pada Musim Timur mencapai rata-rata Rp. 19.846.071,- jauh lebih tinggi
dari biaya tetap yang dikeluarkan yakni rata-rata Rp. 1.453.583,-. Harga rata-rata yang
mencapai Rp. 9.664,- berada jauh diatas BEP harga rata-rata yakni Rp. 3.510,-. Demikian pula
dengan produksi rata-rata yang dicapai yakni 2.067 kg berada diatas BEP produksi rata-rata
sebesar 748 kg. Hal ini mengindikasikan bahwa baik dari segi harga maupun produksi, usaha
budidaya rumput laut di Kabupaten SBB pada Musim Timur sangat menguntungkan sekaligus
mampu menutupi kerugian yang timbul pada Musim Barat.

Kriteria Investasi
Kriteria investasi digunakan untuk mengukur manfaat yang diperoleh dari biaya yang
dikeluarkan pada suatu proyek. Hasil perhitungan kriteria investasi merupakan indikator dari
modal yang diinvestasikan, yaitu perbandingan antara total benefit yang diterima dengan total
biaya yang dikeluarkan.
Analisis kriteria investasi skala usaha rata-rata ditinjau berdasarkan lokasi dan jumlah
kepemilikian tali bentangan, hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 5 dan 6. Analisis
kriteria investasi skala usaha maju berdasarkan proyeksi income statement skala usaha maju
dari masing-masing lokasi budidaya didasarkan atas produksi dan harga jual masing-masing
1 kali pada periode awal Musim Barat dan Musim Timur tahun 2011. Kriteria investasi
berdasarkan proyeksi income statement skala usaha maju pada setiap lokasi disajikan pada
Tabel 7.
Tabel 5. Nilai Rata-Rata Kriteria Investasi Dirinci Per Lokasi
Table 5. Average Value of Investment Criteria are Detailed per Location
Lokasi/
Location

Kriteria Investasi/ Investment Criteria
ROI

PP

NPV

IRR

Net B/C ratio

Desa Eti, Kecamatan Seram Barat
Pulau Osi

76.80%

0.75

5,317,448

87.59%

1.67

Kotania

71.25%

0.82

4,980,500

92.26%

1.72

Loun

76.67%

0.64

5,154,971

96.24%

1.75

Desa Piru, Kecamatan Seram Barat
Wael

88.53%

0.53

9,732,302

141.80%

2.16

Airpesi

65.67%

0.81

3,150,480

59.45%

1.42

Taman Jaya

75.47%

0.60

4,845,684

111.06%

1.88

Negeri Nuruwe, Kecamatan Kairatu Barat
Nuruwe
Total
Rata-Rata

80.84%

0.65

6,990,385

119.21%

1.96

535.24%

4.81

40,171,770

707.61%

12.57

76.46%

0.69

5,738,824

101.09%

1.80

Sumber : Data Primer, diolah (2011)/ Source: Primary Data Processed (2011)

Tabel 6. Nilai Rata-Rata Kriteria Investasi Berdasarkan Jumlah Kepemilikan Tali Bentangan
Table 6. Average Value of Investment Criteria based on Amount of Long Line Ownership
Kepemilikan
Tali Bentangan/
Long Line
Ownership (Bal)
10 - 19
20 - 29
30 - 39
40 - 49
50 - 59
60 - 69

Kriteria Investasi/ Investment Criteria
ROI
93.53%
79.74%
80.42%
83.62%
102.50%
65.32%

PP
0.88
0.68
0.65
0.54
0.43
0.55

NPV

IRR

Net B/C ratio

3,663,635
4,246,710
6,671,698
9,354,406
14,595,631
10,054,435

86.76%
90.41%
102.54%
133.24%
171.84%
135.00%

1.67
1.70
1.81
2.08
2.43
2.10

70 - 79
104.64%
0.33
24,193,350 239.15%
3.03
Sumber : Data Primer, diolah (2011)/ Source: Primary Data Processed (2011)

Tabel 7. Nilai Kriteria Investasi Skala Usaha Maju Berdasarkan Proyeksi Income Statement
Dirinci Per Pembudidaya dan Per Lokasi
Table 7. Value Investment Criteria of Bankable Business Based on Income Statement
Projection are Detailed per Aquaculturist and Per Location
Lokasi/
Location

Proyeksi Kriteria Investasi/ Projection of Investment Criteria
ROI

PP

NPV

IRR

Net B/C ratio

Desa Eti, Kecamatan seram Barat
Pulau Osi

77.50%

0.51

10,186,500

130.21%

2.06

Kotania

58.35%

0.43

12,690,277

171.70%

2.43

Loun

61.13%

0.57

7,192,054

109.23%

1.87

Desa Piru, Kecamatan seram Barat
Wael

56.64%

0.68

7,772,243

83.53%

1.64

Airpesi

21.65%

1.40

4,329,304

187.17%

2.56

Taman Jaya

39.29%

1.06

1,048,750

27.40%

1.14

Negeri Nuruwe Kecamatan Kairatu Barat
Nuruwe

108.60%

0.38

13,968,757

205.94%

2.73

Total

423.16%

5.03

57,187,886

915.18%

14.43

60.45%

0.72

8,169,698

130.74%

2.06

Rata-Rata

Sumber : Data Primer, diolah (2011)/ Source: Primary Data Processed (2011)

Berdasarkan Tabel 5, 6 dan 7 pembahasan dan jastifikasi kelayakan usaha budidaya
rumput di Kabupaten SBB adalah sebagai berikut:
a)

ROI (Return on Investment)
Hasil perhitungan secara rata-rata Tahun 2010 menunjukkan bahwa untuk skala usaha

rata-rata ditinjau berdasarkan lokasi dan jumlah kepemilikian tali bentangan menghasilkan nilai
masing-masing: 76, 46 % ( > 12 %) dan kisaran 65,32 – 104,64 % ( > 12 %). Hasil ini
menunjukkan bahwa jika dianalogikan setiap investasi sebesar Rp. 100,00 ditinjau
berdasarkan lokasi dan jumlah kepemilikan tali bentangan masing-masing akan menghasilkan

keuntungan rata-rata Rp 76,46,- dan Rp 65,32 - Rp 104,64,-. Sedangkan proyeksi Tahun 2011,
hasil perhitungan rata-rata untuk skala usaha maju menunjukkan nilai 60, 45 % (> 12 %) yang
jika dianalogikan

berarti bahwa setiap investasi sebesar Rp 100,00 akan menghasilkan

keuntungan rata-rata Rp 60,45,-.

b)

PP (Payback Period)
Hasil perhitungan secara rata-rata Tahun 2010 menunjukkan bahwa untuk skala usaha

rata-rata ditinjau berdasarkan lokasi dan jumlah kepemilikian tali bentangan menghasilkan nilai
masing-masing: 0,69 (< 1 tahun) dan kisaran 0,33 – 0,88 (< 1 tahun). Hasil ini menunjukkan
bahwa modal investasi budidaya rumput laut di Kabupaten SBB berdasarkan lokasi rata-rata
akan kembali dalam jangka waktu 0,69 tahun atau 8 bulan 8 hari dan berdasarkan jumlah
kepemilikan tali bentangan akan kembali dalam waktu 0,33 – 0,88 tahun atau 3 bulan 10 hari
– 10 bulan 6 hari. Sedangkan proyeksi Tahun 2011, hasil perhitungan berdasarkan proyeksi
income statement rata-rata untuk skala usaha maju menunjukkan nilai 0,72 (< 1 tahun) yang
berarti modal investasi akan dikembalikan dalam waktu 0,72 tahun atau 8 bulan 19 hari.
c)

NPV (Net Present Value)
Hasil perhitungan secara rata-rata Tahun 2010 menunjukkan bahwa untuk skala usaha

rata-rata ditinjau berdasarkan lokasi dan jumlah kepemilikian tali bentangan menghasilkan nilai
masing-masing: 5,738,824 (> 0) dan

kisaran 3,663,635 - 24,193,350 (> 0). Sedangkan

berdasarkan proyeksi Tahun 2011, hasil perhitungan rata-rata untuk skala usaha maju
menunjukkan nilai 8,169,698 (> 0). Ketiga nilai hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa
ditinjau dari lokasi, jumlah kepemilikan tali bentangan dan proyeksi pada skala usaha maju
menunjukkan usaha layak untuk dijalankan.
d)

IRR (Internal Rate of Return)
Hasil perhitungan secara rata-rata Tahun 2010 menunjukkan bahwa untuk skala usaha

rata-rata ditinjau berdasarkan lokasi dan jumlah kepemilikian tali bentangan menghasilkan nilai
masing-masing: 101,09 % (> 12%) dan kisaran 86,76 – 239,15 % (> 12%). Sedangkan
proyeksi Tahun 2011, hasil perhitungan rata-rata untuk skala usaha maju menunjukkan nilai
130,74% (> 12%). Ketiga nilai hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa ditinjau dari
lokasi, jumlah kepemilikan tali bentangan dan proyeksi pada skala usaha maju menunjukkan
usaha layak untuk dijalankan.
e)

Net B/C ratio (Net Benefit and Cost ratio)
Hasil perhitungan secara rata-rata Tahun 2010 menunjukkan bahwa untuk skala usaha

rata-rata ditinjau berdasarkan lokasi dan jumlah kepemilikian tali bentangan menghasilkan nilai
masing-masing: 1,80 (> 1) dan kisaran 1,67 – 3,03 (> 1). Sedangkan proyeksi Tahun 2011,
hasil perhitungan rata-rata untuk skala usaha maju menunjukkan nilai 2,06 (> 1). Ketiga nilai
hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa ditinjau dari lokasi, jumlah kepemilikan tali
bentangan dan proyeksi pada skala usaha maju menunjukkan usaha layak untuk dijalankan.

Nilai rata-rata secara umum yang memberikan nilai kriteria investasi yang terbaik
berdasarkan lokasi adalah Wael (Tabel 5), sedangkan bila ditinjau berdasarkan kepemilikan
tali bentangan (Tabel 6) terjadi kecenderungan bahwa semakin banyak tali bentangan yang
dimiliki pembudidaya maka nilai kriteria investasinya semakin baik. Berdasarkan nilai kriteria
investasi pada Tabel 5, 6 dan 7 dapat dikatakan bahwa usaha budidaya rumput laut di
Kabupaten SBB ditinjau dari lokasi, jumlah kepemilikan tali bentangan dan proyeksi pada skala
usaha maju dianggap “GO PROJECT”.
Sensitivitas
Analisis diskenariokan dengan terjadinya kenaikan harga (cost overrun) sebesar 33,33%
yakni dari Rp 3.000,- menjadi Rp 4.000,- berdasarkan temuan fakta di lapangan terutama pada
waktu-waktu tertertu dimana pembudidaya sulit mendapatkan bibit. Hasil analisis sensitivitas
skenario cost overrun biaya bibit terhadap kriteria investasi ditinjau berdasarkan jumlah
kepemilikan tali bentangan tersaji pada Tabel 8.

Tabel 8.
Table 8.

Sensitivitas Skenario Cost Overrun Biaya Bibit Terhadap Kriteria Investasi
Berdasarkan Jumlah Kepemilikan Tali Bentangan
Sensitivity Scenario of Cost Overrun Seed Cost to Investment Criteria based on
Long Line Ownership
Kepemilikan
Tali Bentangan/ Long
Line Ownership (Bal)
10 - 19
20 - 29
30 - 39
40 - 49

Kriteria Investasi/ Investment Criteria

1,882,372
2,820,154
4,623,438
7,307,105

50.41%
64.07%
75.70%
106.70%

1.34
1.46
1.57
1.85

50 - 59

7,283,619

91.76%

1.71

NPV

IRR

Net B/C ratio

60 - 69
5,900,216
84.18%
1.64
70 - 79
19,275,030
192.97%
2.62
Sumber : Data Primer, diolah (2011)/ Source: Primary Data Processed (2011)

Berdasarkan Tabel 8 terlihat kecenderungan bahwa berdasarkan uji sensitivitas semakin
banyak jumlah kepemilikan tali bentangan yang dimiliki pembudidaya kriteria investasinya
cenderung semakin membaik atau dengan kata lain tingkat kerentanan terhadap kemungkinan
terjadinya kegagalan usaha dari kacamata finansial akan semakin baik seiring dengan
pertambahan investasi tali bentangan. Khususnya pada pembudidaya dengan kepemilikan tali
antara 10 – 19 bal perlu lebih selektif dalam pemilihan komponen biaya investasi guna
memaksimalkan keuntungan (profit maximization).

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan

Sumber permodalan usaha budidaya rumput laut di Kabupaten SBB secara umum dibagi
atas 3 yakni: modal sendiri (self financing), modal pinjaman dari bank dan modal berupa paket
bantuan sarana budidaya dari instansi pemerintah. Nilai kriteria investasi yang terbaik
berdasarkan lokasi adalah Dusun Wael. Sedangkan bila ditinjau berdasarkan kepemilikan tali
bentangan terjadi kecenderungan bahwa semakin banyak tali bentangan yang dimiliki
pembudidaya maka nilai kriteria investasinya semakin baik. Berdasarkan nilai kriteria investasi
pada dapat dikatakan bahwa usaha budidaya rumput laut di Kabupaten SBB ditinjau dari
lokasi, jumlah kepemilikan tali bentangan dan proyeksi pada skala usaha maju dianggap “GO
PROJECT”.
Implikasi Kebijakan
Target pembudidaya yang akan diberi paket bantuan dari instansi pemerintah harus
lebih selektif dimana pemberian bantuan yang tidak menambah biaya operasional secara
signifikan misalnya tali bentangan harus diprioritaskan pada pembudidaya dengan
kepemilikan tali bentangan yang relatif masih kurang (10 – 39 bal). Sedangkan untuk
pembudidaya yang sudah memiliki tal bentangan yang cukup diarahkan untuk pemberian
bantuan sarana penunjang seperti ketinting (motor tempel) untuk mempermudah pengontrolan
usaha budidaya.

UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada Bapak Kepala Bidang
Budidaya beserta Staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Seram Bagian Barat yang
telah banyak membantu di lapangan serta menyiapkan data-data terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Penerbit Rineka Cipta.
Jakarta
Bank Indonesia. 2008. Budidaya Rumput Laut (Tali Letak Dasar). Direktorat Kredit, BPR dan
UMKM. Bank Indonesia. Jakarta
Bank Indonesia. 2011. Data Inflasi.
http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/Data+Inflasi/?display=print. (diakses 5
Oktober 2011)
Bappeda Kabupaten SBB. 2011. Selayang Pandang Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun
2010. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat. Piru
BPS Provinsi Maluku. 2010. Seram Bagian Barat dalam Angka 2009. Biro Pusat Statistik
Provinsi Maluku. Ambon
Cocon. 2011. Peran Kelembagaan Dalam Siklus Akuabisnis Rumput Laut. Makalah. Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya. Jakarta

Dinas Perikanan dan Kelautan & Lemlit UNPATTI. 2005. Rencana Tata Ruang Laut Pesisir
dan Pulau Pulau Kecil Wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat. Naskah Akademik.
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku bekerjsama dengan Lembaga Penelitian
UNPATTI. Ambon
Gajimu.c