Kajian Islam dan Ilmu ilmu Sosial (1)

De(Re)konstruksi Ilmu-ilmu Sosial & Islam
[Studi atas Implikasi Perbedaan Paham]
Oleh
Mahrus eL-Mawa

"Para muktamirin menolak untuk memberlakukan HERMENEUTIKA sebagai metode
penafsiran terhadap teks agama (Al-Quran dan al-Hadits)". Kutipan ini diambil dari catatan
tambahan hasil sidang komisi Bahtsul Masail Diniyyah Maudlu'iyyah yang dituangkan
dalam bagian surat keputusan organisasi melalui pertemuan resmi periodik yang berskala
nasional, yakni Muktamar Nahdlatul Ulama' (NU) pada tahun 2004 di Boyolali Jawa
Tengah. Salah satu ketetapan Keputusan Muktamar Nomor: V/MNU-31/XII/2004 tentang
Bahtsul Masa'il Diniyah Maudlu'iyyah Nahdlatul Ulama disebutkan dalam pasal 2, yaitu
mengamanatkan kepada pengurus dan warga Nahdlatul Ulama untuk menaati segala Hasilhasil Bahtsul Masail Diniyyah Maudlu'iyyah ini.1
Ada dua hal penting dari paparan pembuka ini terkait dengan bahasan penulis;
pertama, soal penolakan terhadap hermeneutika di kalangan muslim tertentu. Kasus
hermeneutika ini oleh mereka adalah salah satu pokok keilmuan sosial mutakhir yang
dianggap parasit atau benalu dan berbahaya dalam Islam2; dan kedua, soal pengurus dan
warga NU untuk menaatinya sebagai sebuah konsekwensi keputusan suatu organisasi yang
mempunyai hak dan wewenang pada warganya, atau sekurangnya, keputusan itu
berpengaruh terhadap warganya.Disitulah teori relasi kuasa berjalan.
Teks "Para muktamirin menolak untuk memberlakukan hermeneutika", bisa

dipahami bahwa sebelumnya telah ada diskusi atau perdebatan oleh para muktamirin. Salah
satu alasan penolakan yang terungkap dalam pembahasan itu antara lain istilah
hermeneutika bukan berasal dari tradisi Islam.3 Alasan serupa, terjadi pula dalam konteks
keilmuan sosial lainnya, seperti penolakan atas sosialisme, kapitalisme, sekularisme,
demokrasi, liberalisme, feminisme, pluralisme agama, dst.
Lebih dari soal penolakan semua itu, terdapat beberapa buku atau tulisan yang
secara langsung menghakimi dan menuduh bahwa yang mendukung atas gagasan-gagasan
tersebut berada di lingkungan IAIN. Karena, IAIN dianggap telah memberikan semua
pelajaran itu dalam waktu yang relatif lama. Dalam istilah kelompok penuduh, hal itu
disebut dengan "ada pemurtadan di IAIN".
Fenomena maraknya kelompok yang menanamkan dirinya sebagai Islam Liberal, sangat
banyak yang berasal dari IAIN maupun UIN. Bahkan ditengarai justru IAIN-IAIN dan
UIN-lah yang menjadi lahan subur maraknya barisan pengusung paham liberal. Sehingga
pengusung paham pluralisme agama, nikah beda agama, pikiran-pikiran yang keluar dari
4
mainstream Qur'an-Sunnah banyak sekali dilahirkan dari rahim IAIN.

Serupa tapi tidak sama, ungkapan penolakan atas karya pemikir muslim yang
menggunakan pendekatan analisis ilmu sosial (social science) dapat dilihat pula pada


1

PBNU, Hasil-Hasil Muktamar XXXI Nahdlatul Ulama (Jakarta: Sekjend, 2005), cet. II, h. 119-125
Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), cet. III, h. XIV.
Analisis "miring" semacam itu dikupas secara ilmiah pada edisi perdana majalah Islamia , Thn.1, No.1,
Muharram 1425/Maret 2004, "Hermeneutika, Tafsir Al-Qur'an".
3
Informasi ini berasal dari beberapa sumber. Sebab, panitia dari PBNU tidak membuat dokumentasi
atas alasan penolakannya. Teksnya, persis seperti dalam kutipan di atas, hanya itu. Dengan tanpa bermaksud
menyamakan, penjelasan senada diungkap oleh Hartono ketika mengadakan workshop tentang Bahaya
Hermeneutika menurut Islam di Jogjakarta, Ramadhan 1425 H. Hartono., Ada Pemurtadan., Ibid.
4
Lihat, Hartono., Ada Pemurtadan., Ibid., h. IX
2

1

tulisan-tulisan di Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam; Islamia (Jakarta).5 Jika melihat
beberapa terbitannya yang sudah beredar, majalah ini hanya memuat para penulis yang
mendukung penolakan itu secara teoritik, seperti tentang demokrasi, pluralisme agama,

hermeneutika, dst. Untuk menyebut beberapa ulasannya, antara lain Islamia Thn I No. 4,
Januari-Maret 2005, dengan topik utama "Pluralisme Agama dari Globalisasi ke Global
Theology".6 Sekilas, dengan tema semacam itu majalah Islamia akan menghadirkan
analisis Islam dan ilmu sosial sebagai suatu integrasi keilmuan, tetapi jika melihat hasil
analisis akhirnya, nampaknya justru kebalikannya, yakni klaim kebenaran ( truth claim)
yang muncul. Seperti beberapa kutipan berikut ini:
"Jika perbedaan konsepsi dan sejarah antara teologi Kristen dengan Islam, benar-benar
dikaji secara cermat, seyogyanya tidak perlu ada kalangan Muslim yang latah
menyebarkan paham pluralisme agama. Biarlah Barat dengan pengalaman traumatisnya
terhadap konsep dan praktik keagamaan, memeluk berbagai paham yang menghancurkan
sendi-sendi agamanya sendiri. Jika mereka "mereka masuk lubang biawak", mengapa kita
7
harus ikut?"
―Kesimpulannya, jika konsep dekonstruksi Arkoun terhadap makna Ahl al-Kitab
diterapkan tentu akan sangat merugikan Islam dan juga umat Islam sendiri. Sebab dengan
dekonstruksi itu pemahaman umat Islam terhadap teks al-Qur‘an menjadi semakin jauh
dari makna aslinya, semakin dangkal dan boleh jadi meragukan. Selain itu Islam sebagai
agama yang selama ini dianut ratusan juta umat Islam di dunia ini akhirnya akan
menampakkan wajah dirinya yang selalu problematik, sama problematiknya dengan
sains-sains sosial di Barat. Sebab dengan memahami teks-teks keagamaan dan ajaran

Islam dalam perspektif ilmu-ilmu humaniora Barat, wajah Islam akan tertutupi oleh
wajah Barat yang tidak menjanjikan kepastian itu. Barat bukan medium yang tepat untuk
menjelaskan ajaran Agama Islam. Di sini ide Arkoun yang dianggap brillian oleh
segelintir orang itu sepertinya tidak mengindikasikan adanya rasa tanggung jawab
terhadap kemungkinan timbulnya ekses negatif dari diterapkannya konsep
dekonstruksinya itu. Nampaknya pemikiran Arkoun lebih layak dikatakan sebagai
wacana for the sake of ‘knowledge’, ketimbang for the sake of Islam. ‖8

Nampaknya, dari kutipan-kutipan di atas, yang disebut penolakan oleh mereka
hanyalah soal penggunaan teori-teori sosial (social theories) yang dipahami secara berbeda
di kalangan penulis atau pemikir Islam. Dalam studi Islam ( islamic studies), baik yang
setuju untuk menggunakannya ataupun sebaliknya, seperti paparan sekilas di muka,
senyatanya hal itu sejalan dengan dinamika dan pertumbuhan ilmu sosial (social science)
dari para pengusungnya yang kebetulan dari Barat (nonmuslim), seperti Eropa, Amerika,
dan lainnya.9
Dalam perspektif lain dari kajian para penulis tentang Islam yang menggunakan
ilmu sosial atau ilmu humaniora tersebut adalah untuk melakukan pembelaan terhadap
kaum terpinggirkan (mustadl'afin), yakni peradaban dan metodologi umat Islam sendiri
pada saat itu (dan hingga kini). Belakangan, alasan serupa datang juga dari yang menentang
ilmu sosial, yakni untuk membela kepentingan umat Islam saat ini, yang merasa dijajah

oleh Barat, terutama Amerika, para orientalis, dan pemikir muslim yang sudah tercampur
dari pemikiran Barat. Bagi kelompok ini, mereka merasa bahwa untuk mengurai berbagai
persoalan itu cukup dari keilmuan Islam sendiri, tanpa mengutip analisis dari pengalaman
keilmuan orang Barat atau nonmuslim.10

5

Majalah ini mirip namanya dengan jurnal Islamika yang terbit seiring dengan jurnal Ulumul Qur'an
asuhan Dawam Raharjo "di bawah naungan ICMI". Tentu saja isinya, sebagian besar bertolak belakang
dengan Islamia , jika bukan disebut bertentangan.
6
Lihat pula Islamia , Thn 1, No. 3, September-Nopember 2004, "Di Balik Paham Pluralisme Agama".
7
ِ Adian Husaini, "Pluralisme dan Problema Teologi Kristen", Islamia , Thn I No.4/Januari-Maret
2005, h. 36.
8
Malki Ahmad Nasir, ―Dekonstruksi Arkoun terhadap Makna Ahl al-Kitab‖, Islamia.,Ibid., h.70
9
Buku karya Prof. Dr. Azim Nanji (ed.) dengan judul Mapping Islamic Studies: Geneologi,
Continuity and Change yang diterjemahkan oleh Muamirotun menjadi Peta Studi Islam: Orientalisme dan

Arah Baru Kajian Islam di Barat (2003) adalah salah satu bukti, bahwa Ilmu sosial dan Islam telah digunakan.
10
Seperti dalam Islamia , Vol.II No.3/Desember 2005, dengan judul cover,"Kritik atas Framework
Studi Islam Orientalis".

2

Penolakan itu Identik dengan Perbedaan Paham
Sebelum lebih jauh melihat problematika ilmu sosial dan ilmu Islam saat ini,
penting untuk menengok sejenak praktek-praktek pemikir dan aktifis Islam sejak zaman
Nabi Muhammad SAW. Hal itu penting untuk mendudukkan persoalan secara proporsional
dan supaya tidak a-historis, sehingga antara cita dan fakta ilmu keislaman dan sosial tidak
hanya kleim sepihak saja atau menyalahkan pihak lainnya yang berbeda pemahamannya.
Tradisi berfikir sosiologis dalam sejarah peradaban muslim sudah ada sejak zaman
Rasulullah Muhammad SAW. Hal itu tak dapat dipungkiri. Peristiwa kelahiran piagam
madinah (shahifah madinah) adalah salah satu contohnya, dimana pada saat itu Nabi
Muhammad SAW. mewakili kelompok Islam melakukan perundingan dengan kelompok
Yahudi dan Nasrani (Kristen). Dalam perundingan itu, tentunya, gagasan kelompok Yahudi
atau Nasrani tidak sedikit yang diterima Nabi Muhammad SAW. Artinya, shahifah
madinah itu tidak murni dari kelompok Islam semata. Pertimbangan serupa juga dilakukan

para Sahabat Khulafa‘ ar-Rasyidun ketika hendak mengumpulkan naskah al-Qur‘an dalam
satu mushaf (jam’ al-qur’an), mulai dari Khalifah Abu Bakar hingga Khalifah ‗Usman ibn
‗Affan. Yakni, meninggalnya para penghafal al-Qur'an (huffadh) dan perbedaan cara baca
(lahjah) antar komunitas muslim adalah diantara timbangan sosialnya.
Secara epistemologis, alasan senada dengan pendahulunya lebih kentara lagi pada
masa pasca Sahabat Nabi, bila melihat kerangka keilmuan yang dikemukakan Imam Syafi‘i
dengan dua paradigma keilmuan hukum (fiqh al-islami)-nya; qawl qadim (pendapat
terdahulu) dan qawl jadid (pendapat kemudian yang diperbarui). Munculnya perubahan
paradigma hukum Imam Syafi‘i antara lain karena perbedaan kultur masyarakat dan letak
geografisnya. Pada saat inilah tonggak keilmuan Islam mulai terlihat secara sosial,
kemanusiaan dan lebih global lagi; Kaidah-kaidah sosiologis keislaman mulai tertata
dengan rapih.
Tokoh lain yang bisa disebut adalah Ibn Jarir at-Tabari. Selain dikenal sebagai
mufassir al-qur’an, ia juga penulis handal bidang sejarah manusia di dunia pengetahuan
muslim melalui karya Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Pertimbangan ilmu sosial dalam
pendekatan sejarah jelas tidak mungkin dinafikan. Lalu, seiring dengan semarak pergulatan
ilmu filsafat Yunani di kalangan ilmuwan muslim, muncul Imam al-Ghazali sang hujjat alislam, penyeru kebenaran, pembela, dan penyebar keislaman. Al-Ghazali adalah salah
seorang intelektual muslim yang melakukan kritik secara ekstrim terhadap ilmu filsafat saat
itu, terutama pada karya Ibn Sina, al-Farabi dan kawan-kawannya. Kritiknya itu ditulis alGhazali melalui kitab dengan titel Tahafutut al-Falasifah. Adapun soal pandangan
filsafatnya sendiri, al-Ghazali juga menulis dalam bentuk kitab saku secara khusus dengan

judul al-Munqidh min adh-dhalal. Atas kritik al-Ghazali tersebut, oleh generasi penerus
berikutnya, Ibn Rusyd menangkis kritik al-Ghazali melalui kitab filsafat pula, Tahafutut atTahafutut. Artinya, Ibn Rusyd dalam konteks itu membela pendahulunya yang
mengembangkan filsafat dalam ranah keislaman.
Sejak pergulatan kedua kelompok tersebut, sepertinya, umat Islam terbelah dua;
kelompok pendukung filsafat dan penolak filsafat dalam tradisi Islam. Padahal, kedua kubu
kelompok filsafat dalam Islam tersebut, senyatanya lebih banyak karena perbedaan dalam
soal perspektif atau pemahaman akan filsafat itu sendiri. Diakui atau tidak, diskursus
filsafat dalam Islam, saat itu mengalami masa kepuncakan, sekaligus juga masa
kemandegan sesudahnya. Tak berlebihan kiranya, bila awal penolakan atas ilmu-ilmu sosial
melalui ilmu filsafat oleh generasi Islam saat ini, sebenarnya berasal dari pergulatan yang
demikian. Kontribusi lebih konkrit untuk ilmu sosial diberikan Ibn Khaldun dengan
menulis kitab Muqaddimah11. Dimana ia adalah ilmuwan (muslim) pertama yang
menyusun buku dengan pendekatan latar sosiologis dalam sejarah peradaban muslim.
Karena itu pula, menurut ilmu sosiologi dalam tradisi Barat, seperti diakui August Comte,
Max Weber atau Emile Durkheim, Ibn Khaldun dikenal sebagai bapak sosiologi modern.

11

Kitab atau buku ini, mengalami banyak cetakan dalam berragam bahasa, seperti Al-Muqaddimah
(Kairo), Muqaddimah (Libanon), The Muqaddimah (New York), dst.


3

Dari berbagai karya master peace ilmuwan muslim tersebut, tak sedikit ilmuwan
nonmuslim mengambil atau meneruskan gagasannya, sebagaimana ketika Ibn Sina, alFarabi, al-Ghazali, Ibn Rusyd yang mencoba mengembangkan pemikiran Aristoteles
ataupun Plato, dan filosof Yunani lainnya. Di dunia Barat, Ibn Sina lebih dikenal dengan
nama Aviecenna, adapun Ibn Rusyd lebih popular dengan nama Averroes. Bukti-bukti
inilah yang dapat menunjukkan bahwa peradaban Islam juga mempengaruhi atau
dipengaruhi keilmuan atau peradaban lainnya.
Itulah beberapa kontribusi penulis dan karya pemikir muslim pada masa-awal
kemajuan peradaban muslim di dunia dengan peradaban nonmuslim. Namun, belakangan,
pasca abad pertengahan, di tengah kemajuan ilmu pengetahuan Barat, para ilmuwan
muslim juga tidak sedikit yang belajar tentang ilmu pengetahuan di Barat, karena di dunia
muslim tengah mengalami kejumudan, jika bukan kemunduran dalam ilmu pengetahuan di
luar ilmu agama. Bahkan, tak jarang bangunan ilmu pengetahuan Barat itu mengalir seiring
dengan kolonialisasi atau penjajahan di negara-negara ketiga atau berkembang. Model
perkembangan terakhir inilah yang acapkali ditolak oleh pemikir muslim lainnya. 12
Serangan terhadap gagasan Harun Nasution, Nurcholis Majid (baca; Cak Nur),
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan yang sepaham dengannya dalam konteks keilmuan
Islam di Indonesia adalah beberapa contoh bentuk penolakan tersebut. Tokoh-tokoh

pemikir Islam pasca era Cak Nur, yang hingga kini terus mengalir mengukir khazanah
pemikiran Islam di Indonesia-pun mengalami "stigma" serupa antara lain; Ulil Abshar
Abdalla, Husen Muhammad, Taufik Adnan Amal, dst.13
Melihat model penolakannya itu, mungkinkah perbedaan dan perdebatan kedua
kelompok di atas seperti mengulang jarum sejarah, sebagaimana kelompok al-Farabi dan
Ibn Rusyd di satu sisi, dengan al-Ghazali di sisi lainnya? Namun, sebelum menjawab soal
ini, perlu kiranya mengungkap keterlibatan atau pengaruh PTAI dalam diskursus penolakan
ilmu sosial untuk kajian Islam.

Knowledge is Power
Seperti disebut-sebut sebelum ini, UIN, IAIN, atau semacamnya adalah tempat
produksi gagasan ilmu-ilmu sosial dan Islam bersinergi, maka wajar saja bila penolakan itu
lalu berasal dari luar kampus, tepatnya melalui media jurnal, majalah ilmiahnya, atau juga
melalui pembahasan (bahsul masail, fatwa ) suatu organisasi keislaman dan
kemasyarakatan.14 Hingga kini, nampaknya belum pernah ada suatu PTAIN/PTAIS yang
secara eksplisit melakukan penolakan ilmu sosial sebagaimana dilakukan kelompok
penolak. Pertanyaan kemudian, benarkah munculnya penolakan itu karena pengaruh
PTAIN seperti UIN, IAIN, STAIN atau PTAIS di Indonesia? Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam konteks PTAI saat ini; pertama, kebijakan kurikulumnya; kedua, para
pengajar/dosennya; ketiga, alumni dan jaringannya.

Menurut Ignas Kleiden, transformasi ilmu-ilmu sosial positif-empiris telah diterima
secara luas di Indonesia itu berdasarkan dua masa15; pertama, saat penjajahan Belanda,
12

Secara khusus, ketidaksepahaman kelompok ini dituangkan dalam Islamia , Thn 1, No. 2, JuniAgustus 2004, "Studi Kritis Pemikiran Arthur Jeffery, Arkoun, Nasr Hamid dan Abid al-Jabiri".
13
Beberapa buku yang mengungkap hal itu dapat disebutkan, seperti, karya Hartono Ahmad Jaiz;
Bahaya Islam Liberal, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002); Aliran & Paham Sesat di Indonesia , (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2002/1422 H); dan Menangkal Bahaya JIL & FLA, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004),
edisi Revisi,
14
Kasus fatwa itu antara lain Fatwa haram MUI tentang Pluralisme Agama, Liberalisme,
Sekularisme, dst.
15
Secara lebih panjang, kutipan dari Ignas Kleiden sebagai berikut; Alasan pertama, sekalipun
mempunyai sejarahnya yang panjang, yang berawal pada paroh kedua abad ke-19 dengan kedatangan
pegawai-pegawai administrasi kolonial yang terdidik dalam beberapa bidang ilmu-ilmu sosial, namun status
akademis dari tiap cabang ilmu yang diperkenalkan sejak waktu itu senantiasa tidak jelas dan tidak
didefinisikan… ….Maka dapatlah dimengerti, ketika orang Indonesia mulai menduduki posisi kunci dalam
pendidikan ilmu sosial di negaranya, salah satu hal yang diusahakan untuk ditangani yaitu memberikan status
akademis yang lebih jelas pada tiap disiplin ilmu sosial, dengan mendefinisikan batas-batasnya, memperjelas
ruang lingkupnya serta menspesifikasi tujuan-tujuan serta metode-metodenya.…. Alasan kedua, berhubungan
dengan pembangunan nasional yang dilakukan Pemerintah Orde Baru yang sejak awal berorientasi kepada

4

melalui para pegawai administrasinya, dan; kedua, pada saat pembangunan nasional di era
Orde Baru melalui kebijakan pembangunannya.
Ungkapan Ignas tersebut, dalam konteks studi Islam di Indonesia, bisa dilihat dari
beberapa pernyataan Mohammad Hatta, sang proklamator yang pernah belajar semasa
pendidikan kolonial Belanda dan gagasannya yang ingin memasukkan ilmu-ilmu sosial,
seperti filsafat, sejarah, dan sosiologi dalam Sekolah Tinggi Islam (STI). Dalam
perkembangannya, ketika A. Mukti Ali yang alumni McGill Canada, menjadi Menteri
Agama RI pada era Orde Baru, gagasan Hatta tersebut lalu menjadi bagian tak terpisahkan
dari kurikulum IAIN.
"…Mukti Ali mengatakan bahwa ia benar-benar dibuat terpikat oleh program kajian
Islam di Universitas McGill itu yang diajarkan dengan pendekatan yang sistematis,
rasional, dan –meminjam istilahnya sendiri—holistis; baik dari segi ajaran, sejarah
maupun peradabannya… ia menegaskan perlunya memperkenalkan pendekatan yang
empiris atas Islam sebagai jalan untuk menafsirkan ulang khazanah pemikiran Islam
dalam konteks modernitas."16

Berawal dari kebijakan Mukti Ali tersebut, hingga kini kurikulum di IAIN, UIN,
STAIN, atau PTAIS, nampaknya masih menggunakan kerangka itu. Kalaupun ada
perubahan, seperti Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau yang lainnya, hanya
sekedar perubahan polanya saja. Intinya, pendekatan kajian Islam ala Barat masih
digunakan, sebagaimana ala Timur Tengah juga masih dipakai sesuai dengan pengalaman
para dosennya.
Apabila melihat para pengajar atau dosennya, selain mereka itu dari para alumni
perguruan tinggi setempat, juga tidak sedikit yang berasal dari perguruan tinggi luar negeri,
terutama yang ada jurusan islamic studies-nya, seperti McGill, Leiden, Jerman, Turki,
Australia, London, dst. Tidak sedikit pula sebenarnya para dosen yang berasal dari lulusan
Timur Tengah, seperti Mesir, Syiria, Aljazair, Maroko, dst.
Dengan beberapa kenyataan di atas, alumni UIN, IAIN, STAIN atau PTAIS itu
memang memungkinkan menjadi apa saja; muslim liberal, muslim radikal, ataupun menjadi
muslim moderat di tengah pembangunan masyarakat Indonesia. Diakui atau tidak, sebagian
dari mereka, yang awalnya sekolah di luar negeri pun pernah belajar di IAIN terlebih
dahulu. Karena itu, tidak bisa dibenarkan dalam hemat penulis, jika menuduh UIN, IAIN,
atau semacamnya itu tempat untuk pemurtadan para alumninya. Ilmu sosial yang
disampaikan di kampus tidak lebih hanya sekedar tools of analysis, frame of thinking, atau
selebihnya untuk shifting paradigm. Bahkan jika mau jujur, isu seperti pluralisme agama,
multikulturalisme, gender, liberalisme, sekularisme, atau semacamnya, semua itu lebih
banyak mendapat porsi kajian di luar kampus, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), jaringan kajian Islam, Lembaga Dakwah Islam, atau semacamnya. Sebab, di
PTAIN itu porsi penyampaiannya hanya bersifat kulliyyah, bukan tafshili. Kelompok yang
menentang ilmu sosial dalam bahasan di sini tak jarang pula adalah alumni IAIN.
Dalam kerangka itu, penting kiranya relasi kuasa-pengetahuan yang lalu diteruskan
menjadi kebijakan (organisasi) dan diinstruksikan kepada institusi di bawahnya merupakan
bagian terpenting dari suatu sistem kuasa-pengetahuan. Di situlah makanya M. Foucoult
menyatakan, "knowledge is power " dan "power is knowledge". Dengan menyakini
pengetahuan adalah sang kuasa atau sang kuasa itu pengetahuan, maka senyatanya yang
perlu dipikirkan ulang adalah soal kontestasi dan budaya akademik di lingkungan
komunitas muslim. Dari dua kelompok yang berbeda tentang pemahamannya atas ilmu
sosial dan ilmu keislaman, maka yang seharusnya dikedepankan adalah kearifan intelektual
(intellectual wisdom), bukan melarang untuk mempelajarinya. Jangan-jangan karena belum
pertumbuhan ekonomi… Karena ilmu-ilmu social empiris didasarkan atas kepentingan teknis dan karena
rekayasa social yang terbukti memberikan sumbangan konkrit terhadap perkembangan ekonomi itu tidak lain
daripada terjemahan teknologis dari ilmu-ilmu social empiris, maka cukup terbukti bahwa ilmu-ilmu social
telah menikmati sebuah perkembangan yang sangat cepat sebagai hasil ―tetesan ke bawah‖ dari pertumbuhan
ekonomi…. Tahun 1983 merupakan sebuah tonggak baru dalam sejarah perkembangan ilmu sosial di
Indonesia. Ignas Kleiden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan , (Jakarta: LP3ES, 1988), cet.II., h. 6-9.
16
Lihat, Ali Munhanif,"Prof. Dr. A. Mukti Ali", seperti dikutip Fuad Jabali dan Jamhari
(penyunting), IAIN & Modernisasi di Indonesia , (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), cet. II, h. 17

5

mengetahui secara mendalam tentang ilmu sosial itu? Karena itu, jangan lagi ada truth
claim atas apa yang dipahaminya terkait dengan ilmu sosial kontemporer (apakah dari Barat
atau non-Barat), karena hal itu bagian dari sunnatullah wa sunnah rasulullah, serta tidak
akan memecahkan masalah umat. Biarkan saja perbedaan itu berlangsung, sebagaimana
perbedaan yang pernah terjadi antara Al-Ghazali dengan Ibn Rusyd, atau al-Farabi dengan
Al-Ghazali. Bukankah hingga kini hal itu tetap menjadi khazanah keilmuan dalam sejarah
peradaban Islam yang mendunia?
Last but not least, munculnya khazanah keilmuan (sosial) Islam yang berbeda
dengan sebelumnya dan memberikan manfaat bagi umat itulah sesungguhnya yang
ditunggu para ilmuwan muslim saat ini di tengah peradaban non-Islam yang mendunia.
Bukan lagi melihat caci maki atau saling tuduh yang tidak ilmiah sesama pemikir dan
penulis muslim, seperti yang terjadi belakangan ini. Sehingga, pemikir Islam seperti
Mohammad Iqbal, Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid,
Mohammad Abeed al-Jabiri, Mohammad Syahrur, ataupun yang lainnya dapat diterima
kehadirannya sebagaimana Imam Syafi'i, Imam Malik, Ibn Rusyd, Ibn Taimiyyah, Ibn
Khaldun, ataupun lainnya sesuai dengan keilmuannya, situasi dan kondisi zamannya.
Mudah-mudahan, melalui perangkat ilmu sosial kontemporer, umat Islam saat ini dapat
lebih menyakini keislaman dan keimanannya, bukan sebaliknya.
Wallahu a'lam bi as-sawab
*) Mahrus eL-Mawa adalah Pengampu mata kuliah Filsafat Islam di IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Direktur LP2M Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.

6

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2