Kau Tak Perlu Mencintaiku

Karen lagi, Karen lagi.

“Come on, Karen,” kata Bortje. “Kembalilah dengan bayi Rolling Stones-mu. Ambillah cuti hamil segera. Kamu butuh istirahat.”

Karen menjulurkan lidah. Itulah hobi barunya sejak hamil, sehingga orang sekantor yakin anaknya nanti akan jadi penyanyi rock, penerus The Rolling Stones.

“Belum siap, nih, ninggalin kantor. Bagaimana jadinya kalau saya nggak ada,” Karen mengangkat dagu sambil melirik ke arahku.

“Kalau begitu, melahirkan di kantor saja, bidannya Takeda San sekalian, siapa tahu ketularan jadi bos,” sembur Jean.

“Ironis juga ya,” ucap Karen, nggak menggubris. “Saya sudah mau punya anak, sedangkan yang lain punya pacar juga belum, umur sudah mau kepala tiga.”

Aku menahan napas. Tiba-tiba Jim mendekat sambil membawa kalender. “Wah, sebentar lagi kita makan-makan, deh. Ada dua orang yang ulang tahun.

Layla dan Rara. Asyik juga, nih. Ra, makan di restoran lantai bawah, dong. Saya sudah lama, nih, tidak makan sushi.”

“Makan melulu yang dipikirin,” ucap Layla, yang sedang membawa setumpuk surat dan menjatuhkannya beberapa di atas mejaku. “Ulang tahun apaan, besok mungkin saya sudah mati duluan.”

“Paling nggak sebelum mati kamu sudah tunangan dulu, Lay. Daripada jomblo sama sekali,” timpal Karen.

“Karen,“ Jim mendekati mejanya, “you’re sick! You better take leave soon!” Jim bangkit dan mengusap bahuku sambil berlalu. Karen terdiam seketika.

Layla juga berlalu. Karen manyun. “Mbak Rara, line satu,” suara Layla. “Halo?” ”Ra, ini Ibem. Kamu ada waktu nggak, ada pameran software di JHCC….” “Sori, Bem, aku mesti lembur hari ini.” “Besok gimana?” “Lihat besok, tapi nggak janji, ya.” “Ya, sudah. Ok, bye.” “Line empat buat mbak Rara, dari mamanya,” seru Layla lagi di intercom. Kuangkat telepon. “Ya, Ma?” “Hari ini bisa pulang cepat? Mama mau ngajak makan malam di rumah.”

“Ngajak makan siapa?” “Kamu. Kalau bisa, ajak Andrew.” “Kok, tumben? Kok, Andrew?” “Kan malam ini ulang tahun pernikahan Papa dan Mama. Lupa, ya? Tadi pagi

Mama nggak sempat bilang soalnya kamu berangkat pagi sekali. Bisa kan, Boru?”

“Kok, ngajak Andrew segala? Dia nggak bisa, mestinya dia lagi di Singapura sampai lusa,” jawabku, curiga.

“Ya, sudah, yang penting kamu ada. Jam tujuh bisa sampai rumah?” “Ya, sudah.” Telepon diputus. Kuputar nomor HP Andrew. Tidak aktif. Semoga dia masih di

Singapura. Aku curiga ada apa-apanya Mama mengundang dia segala. Sebaiknya Andrew nggak usah datang. Aku nggak suka karena aku tahu Mama suka orang bertipe Andrew.

Lalu, tanpa sengaja aku punya alasan untuk tetap menjaga jarak itu, walau aku tak menginginkannya. Takeda San memintaku lembur, membantunya membuat laporan bulanan ke Headquarter. Sebenarnya aku bisa menolaknya, tapi sebaiknya jangan.

Aku sudah menelepon ke rumah dan mereka bisa mengerti. Ketika pukul sembilan aku tiba di rumah, aku tak bisa memercayai penglihatanku. Dan, itu membuatku hampir naik darah.

“Kamu bilang kamu di Singapura,” kataku pada pria itu. Tanpa basa-basi. “Kamu bohong.”

Dia menatap suram. Diam. Mungkin terkejut melihat ekspresi ketidaksukaanku. “Siapa yang mengundang kamu? Mama, ya?” serangku, mungkin dengan nada

kemarahan. “Rara, makan dulu.” Mama mencoba menghela tanganku ke dapur. Kusergah. “Aku nggak lapar. Aku mau tidur.” Bum! Pintu kamarku kubanting. Aku punya alasan untuk marah!

Aku memang marah. Bukan karena Andrew membohongiku, tapi karena Mama! Dan, aku menyesal telah bersikap begitu pada Andrew.

Setiap kali bunyi bip-bip-bip di atas mejaku, aku akan segera menoleh dan berharap itu dari Andrew. Tapi, setiap kali aku kecewa.

“Selamat siang, bisa dibantu?” kuterima telepon. Entah siapa lagi ini. “Hai, Rara. Masih ingat saya?” Aku mengernyit. Suaranya bernada akrab sekali. Sok akrab sekali, tepatnya.

“Maaf?” “Ini Tonny, yang ketemu di gereja minggu lalu. Yang pakai kemeja biru. Lupa?” “Ya, ya. Ingat. Kenapa, Pak Tonny, ada yang bisa saya bantu?” “Emh, jangan panggil ‘Pak’, dong. Sorry mengganggu, lagi sibuk, ya? Engh, anu,

kamu makan siangnya jam berapa?” “Hari ini saya ada meeting jadi makan siang di kantor.” “Kalau makan malam?” “Biasanya saya tidak pernah sempat makan malam.” “Kalau besok?” “Besok saya sales call ke tempat klien.” “Lusa, atau kapan bisa?” “Saya belum tahu. Kenapa?” “Oh, Rara, nggak heran mama kamu segitu paniknya mencarikan kekasih buat

kamu, kamu sangat sibuk ternyata.” “Aaa? Maaf?” aku bingung dan tersentak secara bersamaan. “Ya, kasihan mama kamu segitu khawatirnya akan kondisi kamu, karena kamu

sangat menutup diri dan menghindari pria. Kamu sadar nggak usia kamu berapa?”

Darahku mulai naik. “Kamu pikir kamu siapa, beraninya ngomong begitu sama saya!”

“Oh, jangan sewot begitu, dong. Saya cuma mau nolong mama kamu, kok. Mama kamu yang minta tolong saya mendekati kamu. Saya, sih, terpaksa saja.”

Brengsek. Kubanting telepon. Malamnya, sepulang kerja, kubanting pintu kamar di belakang Mama. Biasanya Mama akan mendiamkan dan membiarkanku bertapa di kamar dengan

damai. Tapi, kali ini tidak. Pintu kamarku digedor-gedor. “BUKAAA…” Aku yang sudah tak tahan pun segera menerima tantangan itu. Di depanku

sepasang manusia itu menatap marah dan terluka. “Kelakuan kamu sudah tak pantas!”

“Itu gara-gara Mama.” “Mama kan cuma ngenalin dan selanjutnya terserah kamu.” “Cuma ngenalin gimana! Mama sudah berapa kali nyuruh pria-pria ngejar-

ngejar Rara. Bahkan sampai ada yang begitu lancangnya ngomong menjatuhkan harga diri Rara sebagai wanita. Mau ditaruh di mana muka Rara? Kesannya Rara, tuh, cewek yang nggak laku, diobral dan dijodoh-jodohin seenak hati!”

“Itu kan gara-gara kamu yang menutup diri. Ingat-ingat, dong, usia kamu sudah berapa.”

“Tapi, bukan begitu caranya, dong, Ma.” “Jadi gimana caranya? Ayo, ajarin Mama. Kamu masih terus mengharapkan

Taka? Dengan menutup diri begini, apa kamu pikir pria akan pada datang dengan sendirinya?”

“Saya tidak peduli pada pernikahan.” “Kamu tidak boleh bicara begitu!” bentak Mama. Papa hanya diam. Tapi aku tahu, dia tak berpihak padaku. “Mama terlalu banyak mencampuri…,” aku mulai terisak. “Bahkan dalam hal-

hal kecil. Seperti hubunganku dengan Andrew. Ngapain juga mesti sok ngundang dia segala. Tahu nggak, sejak makan malam di anniversary waktu itu, dia sudah tak pernah muncul lagi, ‘kan? Mama bisa kasih tahu alasannya hal kecil. Seperti hubunganku dengan Andrew. Ngapain juga mesti sok ngundang dia segala. Tahu nggak, sejak makan malam di anniversary waktu itu, dia sudah tak pernah muncul lagi, ‘kan? Mama bisa kasih tahu alasannya

Aku terduduk lunglai. Mama mendekat. “Kamu bilang, Andrew nggak pernah muncul lagi?” *** Hanya ada satu pria yang mampu membuat hatinya bergetar. Tapi, hingga

kini, entah mengapa, ia masih ragu menerima cintanya. Aku

lunglai. Mama mendekat. “Kamu bilang, Andrew nggak pernah muncul lagi?”

terduduk

Tiba-tiba, entah sorot mata sedih atau sesal atau terluka, kulihat tebersit di sepasang mata tua itu. Tapi, aku hanya bisa memastikan bahwa nada suaranya hampir tak percaya.

“Dia satu-satunya teman yang masih bisa bikin Rara senang sejak Taka pergi. Tapi, dia juga akhirnya pergi, sejak dia kenal Mama. Entah kenapa. Entah apa yang salah. Yang jelas itu sejak Mama mulai mencampuri hubungan kami.”

“Andrew nggak pernah hubungi kamu lagi?” suara Mama sangat tidak yakin. Aku menoleh. Ada sesuatu yang menarik. Kulihat mata Mama mulai berkaca-

kaca. “Padahal, dia bilang dia sangat sayang pada kamu….” “Hah? Kok, bisa dia bilang gitu sama Mama? Mama ngomong apa sama dia?” Aku

makin marah. Mama menunduk. Air matanya mulai menitik. “Padahal, dia bilang sangat ingin jadi menantu Mama, waktu Mama minta dia

…” “Apa?” Darahku naik lagi. “Jadi, Mama…?” Ya, ampun! Oh, jadi diam-diam Mama meminta Andrew melamarku? BUM!! Kali ini pintu kubanting dan takkan kubuka, walau dengan gedoran sekeras apa

pun.

Dear Taka, Aku

ketakutan. Ketakutan pada diriku sendiri. Aku mudah sekali naik darah. Walaupun setelah marah aku akan tersiksa dengan rasa sesal. Aku bukan membenci Papa dan Mama, tapi aku kesal dan muak dengan cara mereka mencampuri urusan dan mencoba

sedang

hidupku. Apakah mereka lupa kisah Siti Nurbaya, Titanic, Romeo dan Juliet, semuanya berakhir dengan kesedihan dan kehancuran? Bahwa cinta tidak bisa dipaksakan?

mengatur

Taka, aku juga mulai merasa takut… kehilangan Andrew…. Kuklik send. Lalu muncul report. Message sent. Teleponku berbunyi. Segera kuaktifkan voice mail. Aku sedang tak ingin

dihubungi. “Halo Rara, ini Yoel, Cuma pengen denger kabar kamu, kok. Masih suka bowling

nggak? Sesekali

lagi, yuk.” Lima menit kemudian. Voice mail lainnya.

main

bareng

“Hei, ke mana aja! Nathan, nih. Gue mau nganterin undangan, nih. Lu nggak mau ama gue, sih, jadi gue merit ama cewek lain. Kapan ada waktu?” Klik.

“Rara Chan, isogashii (Sibuk)?” Hahk! Aku tersentak. Itu suara Takeda San. “Call back ne, ketai denwa. Shikkyu.” Aku buru-buru menghubungi ponselnya. Shikkyu.Urgent, kata bos. “Haro, Rara Chan,” suara khasnya terdengar. “Torong kirimu imeru ku

Nakagawa San. Birang saya tidakku bisa besokku ku kantorunya. Kirimu juga kosto karukureshon ne. Arigatou.”

Dasar orang Jepang. L jadi R. Kirim jadi kirimu. Ke jadi ku…. Kirim juga apa tadi dia bilang? Cost calculation? Kejutan! Kejutan! Ternyata, Andrew tidak pergi ke mana-mana. Dia ternyata sedang mempersiapkan kejutan untukku. Setelah menghilang

sekian lama, tiba-tiba dia muncul. Ah, dia selalu begitu. Tak berubah.

Dia membawakanku sebentuk cincin berlian yang khusus dibelinya di Jerman. Dia sedang mempersiapkan pernikahan kami. Dia juga telah mempersiapkan bulan madu ke Eropa. Kami akan terbang ke Negeri Kincir Angin, Amsterdam, dan mengunjungi Desa Volendam, Dam square, Royal Palace, Museum Rijks. Lalu ke Paris, mengunjungi Place De La Concorde, Arch De Triomphe, Gereja Notre Dame, Menara Eiffel, yang dari lantai dua bisa menyaksikan pemandangan spektakuler ke seluruh penjuru kota Paris. Malamnya menyaksikan pertunjukan Cabaret Show di Lido Club.

Dia menanyakan apakah dia perlu meminta izin dulu pada Taka untuk mempersuntingku, kujawab tidak! Aku bahagia dalam gaun pengantin putih dan dia dalam tuxedo biru. Taka akan menjadi pendamping pengantin pria. Taka juga bahagia. Seperti janjinya. Bahagia untukku.

Di mana-mana ada bunga. Semua berwarna cerah. Indah. Bersinar. Hangat. Rasanya seperti surga. Mungkinkah ini selamanya? Bisakah?

Semua sahabatku datang. Teman-teman kantor juga. Papa, Mama, dan bahkan kakak laki-lakiku yang di Amerika muncul. Semua bahagia. Semua tersenyum. Tertawa bahagia.

Padahal, persiapan pernikahan ini sangat buru-buru. Andrew yang mengerjakan semuanya. Aku hanya tinggal terima jadi. Tapi, aku sangat bahagia. Lihat, bukan hanya Taka yang selalu bisa membuat kejutan yang menyenangkan, ‘kan? Andrew lebih spektakuler lagi!

Andrew menjadi suamiku! Aku menikah! Karen tidak bisa lagi mengata- ngataiku.

Aku bukan perawan tua. Aku bukan lesbian. Aku bukan gadis tak laku. Aku jadi pengantin. Bahagia sekali! Ketika kami berdiri di altar, dan pendeta menanyakan kesungguhan kami,

bahwa hanya maut yang bisa memisahkan kami, Andrew telah menjawab mantap, “Saya bersedia.”

Dan, ketika giliranku tiba.… “Rara, Raraaa….” Tiba-tiba kudengar Mama berteriak-teriak, memanggil-manggil namaku. Semua undangan menjadi geger. Tapi, Mama tetap tidak mau diam. Dia terus

memanggil-manggil namaku. Aku menoleh dengan panik.

Dan.… Kulihat Mama di pintu. “Bangun, Boru. Kamu nggak ngantor?” Kulihat jam dinding. Sudah pukul tujuh. Pagi. Aku baru bermimpi. Hanya mimpi. Seharian, entah kenapa, aku tak bisa membendung air mata. “Jangan lakukan ini pada dirimu sendiri, Boru,” kata Mama. “Kalau kamu

marah pada Mama, jangan dirimu sendiri yang kamu siksa.” Itu adalah kalimat Mama yang divariasikan dengan beberapa gaya bahasa,

ketika membukakan pintu, bila aku pulang malam atau pagi hari saat berangkat kerja dengan buru-buru.

Lalu siapa yang harus kusiksa? Ada yang mau jadi voluntir? Lalu Takeda San akan datang dengan ekspresi aneh. “Tolong beri tahu saya, berapa kira-kira kenaikan gaji yang kamu inginkan

tahun depan, supaya saya siap-siap.” Lalu dia akan memohonku untuk tersenyum sedikit untuknya.

Seandainya dia tahu, saya sungguh senang bekerja di perusahaan ini, yang memang cita-cita saya sejak kuliah, kecuali oleh satu hal.

Karen menjulurkan lidah. “Sudah punya nama buat anak kamu nanti, Ren?” tanyaku pada Karen. Aku hanya mencoba berbasa-basi dengannya. Sebab, kulihat sorot mata sirik

itu. “It’s none of your business!” jawabnya, ketus. *** Jean mendongak. “Saya mau gantian sama kamu, Karen. Saya lebih suka punya

anak daripada kerja di kantor. Kamu kayaknya berat sekali meninggalkan pekerjaan, padahal kerjaan kamu nggak gitu-gitu amat, kok. Ada nggak ada kamu, nggak jadi masalah.”

Karen tidak menjawab. Mulutnya memanjang. Dia segera beranjak dan membanting file.

Jean mengalihkan tatapan padaku. Menahan tawa. Lalu, ada suara khas Layla di interkom. “Ada tamu di depan. Pak Andrew. Bukan klien. Temennya, katanya.” Jean tersenyum. “Jadi hari ini nggak lembur, dong.” Hari itu aku pulang kantor jauh lebih cepat dari biasanya. Di restoran yang senyap, dingin dan remang, aku duduk berhadapan dengan

orang bermuka kurus, dengan tulang dan urat-urat pipi yang menonjol nyata, pucat, dan sorot mata yang kelam. Sebegitu cepatnya dia berubah penampilan menjadi seburuk ini. Maksudku, pertemuan kami sebelumnya juga dia sudah kelihatan memburuk, tapi ini makin parah….

“Maafkan aku, menghilang lagi tiba-tiba.” Selalu kumaafkan. Sejak dulu. Masih belum mengertikah dia? “Tidak apa-apa. Aku yang harus minta maaf soal makan malam di rumah waktu

itu….” Segera disergahnya tanganku untuk memotong ucapanku. Aku terkesima.

Berdebar-debar. Kenapa jadi begini? “Maafkan Mama juga,” kusambung dengan nekat. “Mama….” Telapak tangannya langsung menyentuh bibirku. “Tidak, tidak. Mama kamu benar, nggak ada yang salah. Kamu nggak perlu

minta maaf. Akulah yang salah. Akulah yang membuat semuanya jadi berantakan. Akulah yang tidak berani menghadapi kenyataan dan selalu melarikan diri.”

Di restoran Jepang yang senyap dan dingin ini, dulu kami bertemu lagi setelah sekian lama tidak bertemu, dengan muka gembira, tawa dan canda. Segalanya berbeda dengan sekarang.

“Sebenarnya aku sangat menyukaimu,” ujarnya, dengan suaranya yang terdengar berat dan susah keluar. “Aku sangat ingin menikah denganmu.”

Entahlah, aku harus tersanjung atau malu dengan hal itu. Kalau Itu adalah hasil pendekatan kedua orang tuaku yang kuanggap sudah sangat keterlaluan, maka aku harus mencari tempat untuk membuang mukaku. It’s just a white lie, right? Saya tidak selugu itu, Andrew!

“Tapi?” tanyaku mencoba tenang, menahan malu. “I can’t make it true.” Aku tak punya keinginan untuk bertanya apa alasannya. Aku tahu permainan

ini. “Aku mengidap kanker.” Aku tersenyum. Alasan yang bagus. “Aku juga mengidap AIDS,” balasku. Badut! Kumat. “Aku serius, Ra.” Padahal, akhir-akhir ini, entah setan apa yang hinggap, aku mulai sedang-

hampir-akan mempertimbangkan usul Mama dan Papa untuk menikah dengan pria ini, setelah kupikirkan dalam-dalam dari banyak segi. Bukan karena mimpiku. Bukan hanya karena e-mail Taka. Bukan karena umur. Bukan karena demi orang tua. Bukan juga karena aku putus asa tak menemukan pria yang lebih cocok (dia tetap tak sebanding dengan Taka). Tetapi, karena makin kurasakan, walau sedikit (demi sedikit), hasil rekayasa percomblangan Amel yang dulu, yaitu adanya kebutuhan untuk bertemu dan bersama dia, yang makin hari makin menjadi, seperti dulu kurasakan dengan Taka. Apalagi sejak dia tiba-tiba menghilang akhir-akhir ini, perasaan sangat kehilangan itu makin terasa nyata. Aku jadi sangat takut kehilangan dia….

Setelah Taka, aku belum siap untuk kehilangan lagi. Kini, rupanya aku memang akan benar-benar kehilangan dia.

“Penyakit ini ketahuan sejak aku mulai bekerja, Ra. Ketika itu aku mulai sering harus mengingkari janji denganmu, sering menghilang, karena aku tiba-tiba ambruk, atau tiba-tiba harus ke dokter, atau dirawat di rumah sakit. Beberapa kali aku juga berobat ke luar negeri, walau itu hanya membuat kepalaku makin botak. Juga karena aku berpikir lebih baik menjaga jarak kita supaya tidak ada yang kecewa. Mungkin akulah yang akan paling kecewa karena dari dulu, sejak pertama bertemu, bibit-bibit rasa suka pada kamu sudah tumbuh. Entahlah dengan kamu, tapi kamu sangat berperan baik sebagai sahabat bagiku. Daripada berharap muluk-muluk, aku sudah merasa puas dengan persahabatan kita. Meskipun sering menghilang dan menjaga jarak, sebenarnya aku tetap nggak mampu melupakan kamu.”

Lalu mengapa kamu muncul lagi akhir-akhir ini? Oh, aku tahu. Hanya untuk menebus dosa, sebagai saat-saat terakhir yang manis dan takkan terlupakan. Aku mengerti. Oh. Taka, tolong aku, rasanya aku lebih baik melompat ke Batu Gantung

saja! “Soal Mama kamu, pernah aku menelepon ke sana mencari kamu, tapi kamu belum pulang. Mama mengajak ngobrol dan menceritakan semuanya. Mama sangat sedih melihat kondisi kamu, karena Mama begitu sayang padamu. Aku juga tidak bisa menutupi pada Mama bahwa sebenarnya aku sangat sayang pada kamu, tapi aku nggak berani karena aku nggak tahu perasaan kamu bagaimana. Apalagi waktu makan malam di anniversary itu, kamu sepertinya memang tak suka aku ada di sana, dan itu memang salahku. Aku dan Mama kamu sekongkol untuk membuat kejutan, bahkan dengan sengaja saya membohongi kamu dengan bilang bahwa saya sedang di Singapura. Setelah malam itu, saya tiba- tiba ambruk lagi. Dan, menghilang tanpa kabar. Sama sekali bukan karena ingin menghindari kamu atau Mama….”

“Maafkan aku….” Kami mengucapkannya bersamaan. Dengan air mata. Sementara lagu itu terdengar menusuk ke sanubari yang paling dalam. Too

kill you it’ll

a lie yes,

kill you and

understand why you’d

you

won’t

your soul but

give your life, you’d

sell

again too

kill you in the end.

Aku kembali ke kantor dengan sebuah kehancuran jiwa yang baru. Setelah Taka, kini Andrew. Apa yang salah dengan takdirku? Papa, Mama, what

more would you say? Hatiku yang belum pulih, kini hancur lagi. Makin parah! “Mbak Rara, line dua dari Jepang, Mr. Ogawa,” teriak Layla, ketika aku sedang

melintas. Thank God, dia memang selalu ada ketika aku membutuhkannya. Buru-buru aku menghambur dengan file ordner besar menuju ke mejaku, tanpa

sengaja menabrak seseorang yang langsung menghasilkan bunyi debuman, terjatuh. Bunyi benda besar ambruk. Seperti gajah. Aku menoleh. Bunyi file ordner jatuh sekeras itu? Astaga! Bukan ordner. Bukan gajah. Mana ada gajah di kantor. Lalu apa? Bukan apa. Siapa! Siapa?

Karen! Dia menjerit keras. Semua kegiatan di kantor tiba-tiba terhenti. Sepuluh menit kemudian kami sudah di rumah sakit. Kalau ada apa-apa dengan

bayinya, akulah yang bertanggung jawab. Aku sangat tegang. Rasanya ingin mati saja. Aku ingin matiii.

*** Demi kebahagiaan orang tuanya, Rara rela dijodohkan. Tapi, mampukah ia

mencintai suaminya dengan tulus, sebagaimana ia mencintai Taka? Karen sudah mengerahkan segenap tenaganya. Dia terlihat sangat menderita.

Dia menjerit berulang kali sambil mengejan. Kasihan Karen. Dia sudah kehabisan tenaga. Karen memang bersikeras melahirkan secara normal. Si bossy yang bermulut pedas, yang menjuluki aku perawan tua dan lesbian. Tapi, ia kumaafkan!

Aku bergidik ngeri melihat penderitaan Karen menjelang melahirkan. Tubuhku bergetar hebat. Kupejamkan mata.

Aku seakan melihat Mama di sana. Samar-samar terbayang wajah Mama, Papa, Taka, Andrew. Dan, suara-suara itu terus terngiang-ngiang. “Masih maukah kamu menikah denganku?” “Aku mencintaimu, bukan sekadar menyukaimu. Aishiteiru.” “Taka melamarku, Mama, Papa.” “Tidak!” “Sebenarnya aku sangat menyukaimu, aku sangat ingin menikah denganmu.” “Aku mengidap kanker.” Tiba-tiba Karen menjerit keras, untuk yang terakhir, sebelum jatuh terkulai

karena kehabisan tenaga. Akhirnya, semua berakhir. Aku menghambur keluar ruangan ketika terdengar tangisan bayi.

Ya, Tuhan, aku percaya bahwa melahirkan itu menyakitkan sekali. Tapi, aku baru mengerti setelah menyaksikannya sendiri. Aku jadi teringat cerita Papa.

Dulu, saking inginnya Mama memiliki anak lagi, biarpun dokter melarangnya, Mama tetap mengambil risiko dan nyaris meninggal. Tapi, Tuhan memang baik, masih memberikan kesempatan agar aku lahir di dunia, hidup pongah di atas penderitaan dan taruhan nyawa seorang ibu yang kini malah tak diacuhkannya, ibu yang telah ‘kehilangan’ anak laki-laki harapannya.

Rara. Namaku artinya merah. Pertanda semangat Mama melahirkanku dan banyaknya darah yang tercurah demi aku. Rara.

Aku makin membenci diriku sendiri.Aku tak pantas hidup. Selautan air mata pun takkan mampu membersihkan semua kesalahanku. Selautan berlian pun takkan mampu membalas kasihnya. Rasanya, aku ingin segera pulang, menyembah, mencium, dan membasuh kaki Mama dengan air mataku. Mama yang melahirkan aku dengan taruhan nyawa.

Andrew pergi untuk selamanya. Kuputuskan untuk menjadi anak manis bagi orang tuaku. Kukurangi kontak dengan Taka dan kuperbanyak perhatianku untuk Mama dan Papa. Kuputuskan menerima tawaran pekerjaan di tempat baru. Semua orang di kantor menuduh Karen sebagai penyebab kepindahanku. Mereka salah.

Hidup harus dilanjutkan. Hidup adalah keputusan dan tindakan. Aku memulai sesuatu yang baru. Meninggalkan semua kejadian pahit, mengubur

dalam-dalam, dan memberinya nisan bertuliskan: Masa Lalu. Kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada Papa atau Mama, aku tahu siapa

orang pertama yang harus kusalahkan. Setelah mencoba berkali-kali, akhirnya nomor telepon, yang kusimpan sekian lama, tersambung juga.

“Yes, Jogi’s speaking.” “Ini Rara.” Tak ada reaksi. Dia pasti terkejut. “Rara who?” tanyanya, singkat. “Papa kena serangan jantung. Sekarang di rumah sakit. Aku hanya ingin

memberi tahu hal itu,” kututup telepon. Pulsa ke Amerika mahal. Lalu, kenapa aku harus meneleponnya?

Bukan untuk meminta perhatian atau simpatinya. Aku hanya ingin dia merasa bersalah! Aku ingin dia ikut merasakan akibat perbuatannya!

Aku ingin dia tidak bisa tidur oleh rasa sesal dan malu yang mendalam! Aku ingin dia hidup dalam penyesalan, kegusaran, dan kehampaan! Itu pun kalau dia masih punya perasaan! “Apa yang Papa pikirkan?” Papa menggeleng. Dia berbohong. Ya Tuhan, dia sudah tua. Sinar matanya

meredup. Dia berbaring tak berdaya. Aku tahu apa yang berkecamuk dalam benaknya. Hanya dua. Jogi, putranya yang durhaka. Rara, putrinya yang keras kepala dan belum menikah! Jadi, lima puluh persen penyebab dia tergeletak tak berdaya adalah aku! Itu membuatku menangis semalaman.

Taka,

me…. Aku

help

dengan siapa? Apa

Papa bahagia. Asal Papa tidak sakit, apalagi sampai meninggal. Apa pun akan kulakukan….

Rara, Menikahlah dengan pria yang betul-betul mencintaimu. Dia

mencintainya. Pakailah instingmu untuk memilih yang terbaik.

Kucoba turuti saran Taka. Sulit sekali. Robert bukan tipe bapak. Denny terlalu career-minded, takkan ada waktu

untukku. Toby kelihatan kurang dewasa. Hendrik terlalu bergaya bos. Lalu, siapa lagi? Aku makin pusing. Pria ini adalah anak sahabat Papa sewaktu masih sekolah di Pematang Siantar.

Mereka datang menjenguk Papa. Perjodohan yang tepat. Orang Batak. Dia anak pertama pembawa marga. Entah

kenapa, aku tidak punya alasan untuk menolak. Padahal, aku takut melihat sorot matanya. Dingin dan seolah tidak peduli.

Mungkin sama seperti aku. Kami sama-sama tidak begitu peduli akan perjodohan ini. Kami sepertinya menyimpan kepahitan akan masa lalu.

Tapi, apa artinya ini dibandingkan dengan kebahagiaan Papa dan Mama?

“Apa yang salah dengan cara kita mendidik anak, ya, Albert,” kata sahabat Papa itu. “Anakku hampir menikah dengan orang dari seberang yang tidak seiman.”

Hanya itu yang kuketahui tentang masa lalunya. Bulan berikutnya, kami berdua sudah berdiri di altar gereja yang bertaburan bunga.

Pria di hadapanku ini pasti tidak mendengarnya. Padahal, aku sudah meneriakkan

dalam hati. “Aku rela menikah denganmu. Kau tak perlu mencintaiku. Tapi, tolong jangan sakiti hatiku. Masih banyak luka yang belum sembuh, yang sedang kubalut. Tolong, jangan kau tambahi dulu.”

sekeras-kerasnya,

Pendeta pun meresmikan pernikahan kami. Kami resmi menjadi satu. Suami dan istri. Hanya maut yang bisa memisahkan kami!

Sepulang dari resepsi dan adat, otakku mulai berputar. Apa jadinya hidup tanpa cinta? Apa yang harus kulakukan pada malam pertama? Bagaimana aku harus bersikap di hadapan mertua?

Di rumah mertua, kami diberi wejangan oleh pihak keluarga suami sampai tengah malam. Tapi, karena itu, aku tidak perlu mencari alasan untuk menghindari malam pertama. Kami sama-sama terkapar kelelahan, tanpa sempat membuka baju pengantin.

Namanya Arga. Dalam bahasa Batak artinya mahal. Aku memanggilnya ‘Bang’. Kami terpaut lima tahun. “Kita bulan madu ke mana, ya?” tanyanya. “Ke mana saja, asal jangan di rumah.” “Jakarta atau daerah?” “Luar negeri?” Aku hanya mencoba bercanda. “Uangnya nggak cukup. Kan, kita mau cari kontrakan.” “Ya, sudah, terserah saja.” “Aku nggak punya ide.” “Aku juga.”

Kami memilih Bali. Aku merasa aneh berjalan dengannya. Dia tidak menggenggam tanganku seperti

layaknya pengantin baru. Selama lima hari di Bali, setiap kali pulang ke hotel, kami pasti langsung tertidur. Malam pertama itu tidak pernah ada.

Akhirnya, aku percaya bahwa dia tidak begitu peduli akan pernikahan ini. Dia tidak pernah mencintaiku. Aku juga begitu. Tiga bulan berjalan, aku masih perawan. Tapi, aku tak peduli!

Kami pindah ke kontrakan dekat kantorku. Tiap pagi kubuatkan kopi dan sarapan roti untuknya. Kadang-kadang, kami

berangkat bersama-sama. Tapi, pulangnya aku sering sendiri. Selain lembur, kuhabiskan waktu di mal atau kafe. Dia juga sering pulang malam. Tak ada tuntutan apa-apa satu sama lain.

Aku kurang cocok dengan ibu mertua dan adik ipar perempuanku yang sangat perhitungan dan materialistis. Suamiku harus membayar semua belanjaan mereka. Kalau begini terus, kapan tabungan kami akan cukup untuk membeli rumah sendiri?

Ya, ampun! Aku baru sadar. Aku mulai memikirkan rumah tangga dan masa depan kami. Tapi, aku tidak berani membicarakannya dengan Arga.

Lalu, datanglah cobaan pertama. Aku tak ingin pergi ke acara rekreasi untuk seluruh staf perusahaanku. Jarak

antara aku dan Arga akan menimbulkan kecurigaan. Arga tak tahu itu. Ketika aku cuti sehari untuk menemani Papa yang masuk rumah sakit lagi, Arga

berkata, “Tadi ada telepon. Tentang acara rekreasi kantor kamu.” “Aku sudah bilang tidak ikut.” “Kenapa?” “Aku ingin menjaga Papa.” “Tapi, aku sudah telanjur bilang kita ikut.” “Apa?” “Aku sudah lama sekali ingin ke Pulau Seribu.” Aku terpana. Baru kali ini dia meminta sesuatu. Aku tak mampu menolak.

Di sanalah pertama kalinya dia menggandeng tanganku. Kami juga berdansa bersama pasangan lain. Dia menciptakan kesan bahwa kami adalah pengantin baru yang sangat mesra dan bahagia. Sungguh aktor yang pintar!

Tapi, malam hari, di dalam kamar hotel, kami tidur di antara bantal. *** Kututup pintu kamar rawat Papa dengan perasaan khawatir. Khawatir hidupnya

tak akan lama lagi. Khawatir akan keinginannya memiliki cucu dariku. Aku harus hamil. Aku harus membicarakannya dengan Arga.

Tapi, apa yang harus kukatakan pada Arga? Beberapa menit kemudian, Arga keluar juga dari kamar Papa. Digandengnya tanganku menuju parkir. Kami pulang tanpa berkata sepatah

kata pun selama di perjalanan. Air mataku tumpah di kamar mandi. Tuhan, jangan ambil Papa dulu. Ketika aku kembali ke kamar tidur, Arga mengusap rambutku dan memeluk

kepalaku di dadanya. Yang ada di pikiranku hanyalah keinginan untuk melemparkan bom ke muka Jogi.

Mungkin benar, bahwa kutukan itu berlaku sepanjang masa. Tak ada ibu mertua dan

yang akur. “Abang kamu dulu kuliah di kedokteran, ya?” tanya ibu mertuaku.

menantu

perempuan

“Ya, Inang.” “Di mana dia sekarang?” “Amerika, Inang.” Aku sudah mencium bau tidak beres di sini. “Katanya, ia menikah di sana dengan wanita asing, ya?” “Ya. Maaf, kenapa tiba-tiba Inang menanyakan abang saya?” “Kemarin kan Inang ke undangan pernikahan. Kebetulan bertemu dengan

Nyonya Sihombing. Katanya, anaknya sempat berteman dengan abang kamu. Namanya Ida. Kenal?”

“Oh, kenal.” “Kok, pertunangan mereka bisa putus? Kabarnya, Ida sampai dirawat di

sanatorium dan sempat pula mencoba bunuh diri, ya?” Aku sudah muak pada semua ini. Aku tak tahu jika masa lalu Jogi akan jadi

bahan cemoohan bagi rumah tanggaku. Mertuaku yang menyebalkan dan memuakkan! Sepertinya, dia senang sekali bisa menemukan kelemahanku.

“Ya, mungkin bukan jodoh,” tiba-tiba suamiku muncul. “Kasihan banget mereka sekeluarga. Orang tuanya harus menanggung malu dan

sempat tidak berani muncul di acara adat. Undangan, gedung, katering, dan pakaian sudah dipesan. Eh, tahu-tahu dibatalkan. Rugi materi, waktu, tenaga, dan harga diri,” lanjut Inang.

“Keluarga kami juga sama menanggung malu seperti keluarga mereka, Inang,” ucapku, akhirnya. “Abang saya memang tidak bertanggung jawab.”

Inang dan putrinya saling melirik. “Kok, bisa ada anak seperti itu, ya,” gumam Inang.

“Itu, sih, tergantung didikan orang tuanya,” timpal putrinya. Dan, batas kesabaranku habis.

“Aku nggak suka cara mereka bicara!” kutumpahkan kekesalanku pada Arga. “Bukan urusan mereka. Mereka tak punya hak menghakimi keluargaku!”

Arga terdiam. “Jika mereka bicara seperti itu lagi, aku tidak akan tinggal diam,” ancamku. Arga terus menyetir mobil dengan diam. Arga mungkin tak peduli. Itu mengingatkanku bahwa kami menikah bukan atas

dasar keinginan. Hatiku teriris. Tiba-tiba aku merasa sangat kesepian. Suatu malam, Arga terlihat tidak bisa tidur, sepertiku. “Papa bilang apa tadi?” tanyaku. “Hanya bilang supaya kita hidup rukun.” “Masa?”

“Katanya, Amang sudah mengatakannya padamu.” Amang, panggilan untuk papak mertua.

“Bilang apa?” “Supaya segera punya anak.” Aku kehabisan kata-kata. “Aku ngantuk.” Entah siapa yang berbahagia atas pernikahan kami. Mungkin Mama, Papa, atau

bapak mertuaku. Yang jelas, bukan aku, suamiku, atau ibu mertuaku. “Kenalkan,” ujar Inang, ketika kami pulang dari gereja. Seorang gadis bergaun

hijau memakai perhiasan lengkap di seluruh tubuhnya. “Tuti.” “Rara.” “Ini mantan pacarnya Arga,” ujar adik iparku. “Kok, putus? Padahal, kalian terlihat serasi, lho,” kataku, cepat. “Itulah bodohnya Arga,” tangkap Inang. Sialan! Tuti pun pergi dengan mobil mewahnya, sedangkan aku menahan jengkel dalam

mobil Arga. “Sepertinya Tuti kaya ya, Bang. Kok, kalian putus?” “Kami tidak pernah berpacaran. Mama yang menjodohkan.” “Tak heran Inang suka padanya.” Di luar dugaan, Arga tertawa. “Kalau bukan karena Jogi, sekarang ini aku tak akan tinggal di rumah

kontrakan. Aku bisa beli rumah. Bisa punya mobil mewah. Inang pasti suka padaku.”

“Jahat sekali Jogi, menghabiskan harta kekayaan keluarga kalian, ya,” kata Arga.

“Itu bukan karena salah didikan orang tua, lho,” tukasku.

“Aku percaya,” sahutnya. “Kamu tidak perlu memusingkan sikap Mama dan adikku. Kalau mereka macam-macam, biar aku yang hadapi.”

Aku terdiam. Akhir-akhir ini, aku merasa dia lebih perhatian padaku. Ah, mungkin bukan perhatian, hanya kasihan.

“Boleh?” “Kenapa tidak?” “Siapa yang gantian menjaga Papa di rumah sakit?” “Aku. Siapa lagi?” “Kenapa Abang mau?” “Aku kan suamimu.” “Terima kasih ya, Bang,” kututup telepon. Aku meminta izinnya untuk perjalanan dinas ke Jepang. Cuma tiga hari. Dia memeluk dan mencium pipi serta dahiku di bandara. Aku tak habis pikir,

mengapa dia melakukannya. Sepertinya, bukan akting. Tulus. Tidak. Tidak mungkin dia kehilangan aku. Tak mungkin dia menyayangiku. Tak mungkin.

Aku tak merasa kehilangan dia. Saat ini, yang ada di pikiranku hanya Taka! “Kamu bahagia?” tanyanya. “Kelihatannya bagaimana?” “Kelihatannya begitu.” Salah. Aku bahagia karena bertemu dengannya! “Kamu bagaimana?” “Tidak bahagia sama sekali,” ujarnya, sambil tersenyum tipis. “Mama sudah

meninggal.” Aku terkejut. “Aku turut bersedih.” “Aku sangat menyesal.”

“Menyesal?” “Karena, dia meninggal sebelum aku memenuhi harapannya. Menikah dan

memiliki anak.” Aku terkesima. “Itu sangat menyiksaku sampai sekarang.” Matanya berkabut. “Aku merasa tak berguna. Tak berarti.” Wajahnya mendung. “Seandainya waktu bisa diputar kembali, apa saja akan kulakukan demi Mama.

Tapi, sekarang sudah terlambat.” Aku belum terlambat. Aku tidak mau seperti Taka Aku pulang ke Jakarta dengan tekad baru. Papa harus punya cucu. Di bandara, kutelepon Arga. Handphone-nya tidak aktif. Telepon rumah tidak

ada yang mengangkat. Aku segera mencari taksi. Di taksi kucoba menghubungi Arga di kantor. Ternyata, dia sedang cuti.

Kucoba menelepon rumah Papa. Nadanya sibuk. Kutelepon ke rumah sakit. Katanya, Papa sudah pulang. “Pak, ke Menteng saja, ya,” ujarku, kepada sopir taksi. Aku merasa ada yang tidak beres. Aku tiba di rumah orang tuaku. Sepi. Aku segera menuju kamar Papa. Ada Mama dan Arga di sana. Mereka sedang menggenggam tangan Papa sambil berurai air mata. “Papa!” seruku. Mama makin terisak-isak. “Papa!” jeritku, sambil menghambur.

Terlambat. Dia sudah pergi. Terlambat. Aku sangat menyesal! Aku sangat membenci diriku sendiri. Aku memang anak tak tahu diuntung.

Durhaka. Aku tak pantas hidup. Aku tak berguna. Aku tak berarti. Selautan air mata takkan mampu mengembalikan hidup Papa. Aku tak lebih baik daripada Jogi. Aku lebih buruk, lebih parah. Papa, maafkan aku…. Ampunilah aku…. Di sebuah layar komputer. Dear

Taka, Setahun sejak kepergian Papa, akhirnya Mama menimang cucu. Aku tahu dia bahagia. Kuharap Papa juga bahagia di alam sana. Dan, aku telah belajar satu hal. Perjodohan itu ternyata tidak selalu berakhir sedih

Nurbaya. Seperti harapanmu, sekarang aku bahagia, bersama anak dan suami. Dan, suamiku sungguh mencintaiku.

seperti

Siti

Salam, Rara

TAMAT