VOREMIDE ALGORITMA DIAGNOSIS DEFINITIF M

SCRIPTA RESEARCH FESTIVAL 2016 KARYA TULIS ILMIAH GAGASAN TERTULIS VOREMIDE: ALGORITMA DIAGNOSIS DEFINITIF MIGRAIN MUTAKHIR MENGGUNAKAN KOMBINASI PENGUKURAN KONSENTRASI CERAMIDE DAN AKTIVITAS VON WILLEBRAND FACTOR TERINTEGRASI KRITERIA DIAGNOSTIK ICHD-2

Ditulis oleh :

Hiradipta Ardining 1306440120 - 2013 Clara Gunawan

1306409766 - 2013 Gede Nyoman Jaya Nuraga

1306376194 - 2013

UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA 2016

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK

Migrain, menurut WHO, merupakan kondisi yang cukup umum terjadi secara global, dan 10% pasien yang sakit kepala mengalami migrain. Migrain menjadi suatu permasalahan serius karena dapat mengurangi kualitas hidup pasien dan meningkatkan risiko penyakit jantung. Namun, saat ini terdapat angka misdiagnosis migrain yang cukup tinggi sehingga pasien tidak mendapatkan tatalaksana yang tepat. Banyaknya kesalahan diagnosis saat ini menunjukkan diagnosis klinis melalui anamnesis dengan kriteria ICHD-2 tidak cukup untuk mendiagnosis migrain. Atas dasar itulah, penulis mengajukan sebuah solusi rancangan algoritma Voremide; suatu algoritma diagnosis migrain dengan mengintegrasikan pemeriksaan konsentrasi biomarker ceramide dan aktivitas biomarker von Willebrand Factor (vWF) dengan kriteria diagnostik ICHD-2. Metode penulisan berupa tinjauan pustaka dengan menganalisis informasi yang tersedia untuk disintesis menjadi sebuah solusi diagnosis migrain yang lebih akurat. Berdasarkan patofisiologi migrain, penulis mendapatkan biomarker ceramide dan vWF yang berpotensi digunakan untuk diagnosis migrain. Molekul ceramide mengalami penurunan konsentrasi pada migrain akibat peningkatan katabolisme ceramide di tubuh penderita migrain, sedangkan vWF mengalami peningkatan aktivitas seiring dengan disfungsi endotel yang terjadi pada penderita pasien migrain. Melalui penghitungan data, diketahui nilai sensitivitas-spesifisitas ceramide dan aktivitas vWF secara berturut turut sebesar 90,48%-65,58% dan 29%-92%. Berdasarkan hasil tersebut, penulis mengajukan algoritma Voremide dengan tahapan pemeriksaan sakit kepala melalui anamnesis sesuai kriteria ICHD-2, dilanjutkan dengan pemeriksaan ceramide , kemudian pemeriksaan aktivitas vWF. Algoritma ini memiliki kelebihan berupa diagnosis yang lebih objektif, dapat dilakukan pada fase interiktal dan dapat mengatasi hambatan komunikasi dokter-pasien. Akan tetapi masih diperlukan penyempurnaan seperti pengembangan alat pengukuran yang lebih efisien, penentuan nilai titik potong yang lebih tepat, dan uji efektivitas algoritma malalui replikasi penelitian pada sampel yang lebih luas dan populasi yang lebih beragam.

Kata Kunci: Diagnosis Migrain, Ceramide , Aktivitas vWF, ICHD-2

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah Gagasan Tertulis (KTI-GT) dengan judul “VOREMIDE: Algoritma Diagnosis Definitif Migrain Mutakhir Menggunakan Kombinasi Pengukuran Konsentrasi Ceramide dan Aktivitas von Willebrand Factor Terintegrasi Kriteria Diagnostik ICHD-2 ”. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan KTI-GT ini, yaitu

1. Dr. dr. Al Rasyid, SpS(K) sebagai dosen pembimbing yang telah membantu penulis melalui kritik, saran, dan dukungan,

2. orangtua penulis yang telah mendukung penulis,

3. teman-teman penulis yang telah memberikan dukungan kepada penulis, dan

4. pihak-pihak lain yang telah membantu dan mendukung penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Pepatah mengatakan bahwa tidak ada gading yang tidak retak, demikian pula KTI-GT yang sudah penulis buat dengan sungguh-sungguh ini tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis dengan terbuka menerima kritik dan saran dari pembaca supaya KTI-GT ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan bagi dunia kedokteran nantinya.

Jakarta, 5 Januari 2016

Penulis

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tabel perbandingan hasil pengukuran konsentrasi ceramide pada kelompok pasien dengan migrain dan kelompok kontrol (Migrain negatif)....... 24 Tabel 2. Tabel perbandingan hasil pengukuran aktivitas vWF pada kelompok pasien dengan migrain dan kelompok kontrol (Migrain negatif) ........................ 25

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Migrain, berdasarkan definisi pada kamus Merrien-Webster merupakan suatu kondisi sakit kepala yang berat dan berulang. Berdasarkan International Headache Society (IHS), migrain merupakan kelainan sakit kepala primer yang memiliki prevalensi yang tinggi dan sangat mempengaruhi kehidupan personal dan sosioekonomi penderita dan keluarga. Secara global, data World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa terdapat 47% penderita sakit kepala yang setengah hingga tiga perempatnya berusia 18-65 tahun dan 10% di antara mereka dilaporkan menderita migrain. Dalam setahun, prevalensi migrain terjadi pada sekitar 4,5-6% laki-laki dan 14,5-18%

wanita. 1,2 Migrain di Indonesia, berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2012, memiliki prevalensi sekitar 22,43%. 3

Pada layanan primer, keluhan migrain merupakan salah satu alasan pasien datang ke dokter untuk mendapatkan pengobatan. Dokter memainkan peran

yang penting dalam mendiagnosis dan memberikan tatalaksana migrain. 2 Selama ini, dokter menggunakan kriteria yang dibuat oleh IHS yaitu

International Classification of Headache Disorders 2 nd edition (ICHD-2) dan sekarang sedang dikembangkan menjadi ICHD-3 beta namun belum

digunakan. 4 Akan tetapi, sering terjadi kesalahan dalam penilaian klinis migrain karena spesifisitas yang rendah, dimana pasien yang seharusnya

migrain seringkali dianggap tidak mengalami migrain atau mengalami penyakit kepala yang lain. Pada penelitian yang dilakukan Hashel et al, sebanyak 87,8% pasien migrain yang di misdiagnosis diberikan terapi farmakologi dan sebanyak 12,3% diberikan terapi operasi yang tidak sesuai untuk migrain. Gejala migrain tersebut tidak menurun dengan pemberian tatalaksana farmakologi pada 84.9% pasien dan tatalaksana operasi pada

76,9% pasien akibat kesalahan diagnosis tersebut. 5,6

Kesalahan dalam mendiagnosis terjadi karena masih banyak dokter yang belum familiar dengan kriteria tersebut dan masih belum mendapat pelatihan yang tepat untuk mengintepretasikan gejala spesifik migrain. Selain itu, kesalahan juga terjadi karena adanya sakit kepala jenis lain yang ikut

menyertai migrain. 7 Kesalahan dalam mendiagnosis migrain tersebut menyebabkan pasien tidak mendapatkan pengobatan yang cukup. Hanya

sepertiga penderita migrain yang mendapatkan pengobatan yang tepat. Pasien yang tidak mendapatkan pengobatan tepat akan terus mengalami sakit kepala yang dapat bertambah parah, sehingga menyebabkan penurunan kemampuan

dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dan penurunan kualitas hidup. 2,5,7 Migrain yang salah didiagnosis sebagai nonmigrain akan menyebabkan

penanganan tidak tepat dan menyebabkan sakit kepala yang berat, mual, muntah, photophobia , phonophobia , dan dapat berkembang menjadi CM. Pasien CM akan lebih rentan mengalami depresi, kecemasan, dan nyeri kronik sebanyak dua kali lipat. Selain itu, penderita CM juga rentan mengalami kelainan respiratorik seperti asma, bronkitis, PPOK, dan peningkatan risiko

penyakit jantung seperti hipertensi. 7,8 Atas dasar tersebut, penulis mengajukan solusi berupa algoritma Voremide,

yaitu algoritma diagnosis migrain dengan mengintegrasikan pemeriksaan konsentrasi biomarker ceramide dan aktivitas biomarker von Willebrand Factor (vWF) dengan kriteria diagnostik ICHD-2. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2015, konsentrasi ceramide dalam sirkulasi akan

turun pada penderita migrain. 9 Selain itu, ditemukan pula pada sebuah penelitian bahwa konsentrasi 10 von Willebrand Factor (vWF) meningkat.

Algoritma Voremide dapat dipakai pada saat pasien tidak sedang sakit kepala dan diharapkan dapat membantu penegakkan diagnosis definitif migrain menjadi lebih optimal sehingga diharapkan tatalaksana migrain berhasil dan

terjadi peningkatan kesembuhan serta mencegah progresi EM menjadi CM. 7

1.2.Rumusan Masalah

1. Bagaimana kelemahan penegakan diagnosis migrain saat ini?

2. Bagaimana mekanisme perubahan konsentrasi ceramide dan aktivitas vWF pada migrain?

3. Bagaimana teknik pengukuran konsentrasi ceramide dan aktivitas vWF untuk menegakkan diagnosis migrain?

4. Bagaimana solusi penegakan diagnosis migrain dengan menggunakan algoritma Voremide?

5. Bagaimana kelebihan dan kekurangan penggunaan algoritma Voremide? 1.3.Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum Mendapatkan metode diagnosis migrain yang lebih akurat sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien migrain.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui permasalahan diagnosis migrain saat ini.

2. Mendapatkan data karakteristik (mekanisme, metode pengukuran, dan aplikasi) penegakkan diagnosis migrain dengan biomarker ceramide .

3. Mendapatkan data karakteristik (mekanisme, metode pengukuran, dan aplikasi) penegakkan diagnosis migrain dengan biomarker aktivitas vWF.

4. Mengetahui peran integrasi kriteria ICHD-2, ceramide , dan vWF sebagai diagnosis migrain.

5. Mendapatkan algoritma Voremide untuk menegakkan diagnosis migrain. 1.4.Manfaat

1.4.1. Manfaat bagi Masyarakat

1. Dengan algoritma Voremide, diharapkan diagnosis migrain dapat ditegakkan dengan baik sehingga tatalaksana yang diberikan kepada masyarakat optimal.

1.4.2. Manfaat bagi Dunia Kedokteran

1. Memberikan cara baru untuk penegakkan diagnosis migrain yang dapat diaplikasikan oleh klinisi.

2. Mendorong penelitian lebih lanjut untuk mencari validitas algoritma yang mengintegrasikan ICHD-2, biomarker ceramide , dan biomarker vWF.

1.4.3. Manfaat bagi Penulis

1. Mengaplikasikan pengetahuan penulis untuk merumuskan metode diagnosis yang tepat untuk migrain.

BAB II TELAAH PUSTAKA

2.1. Definisi dan Epidemiologi Migrain Migrain adalah sakit kepala akibat kelainan neurovaskular yang sering terjadi, bersifat multifaktorial, rekuren, dan diturunkan. Biasanya, serangan migraine terjadi beberapa kali per tahun pada anak-anak dan berkembang menjadi beberapa kali per minggu pada orang dewasa. Migrain lebih sering menyerang wanita, dengan perbandingan wanita:pria adalah 3:1 di paruh baya. Data menunjukkan bahwa 1 dari 4 wanita pernah merasakan migrain. Migrain adalah penyakit yang dapat menyebabkan disabilitas secara signifikan dan memiliki komorbiditas medis dan psikiatri yang tinggi. Di USA, prevalensi

migrain bervariasi dari 16,6% hingga 22,7%. 11 Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2012, migrain di Indonesiamemiliki prevalensi sekitar

2.2.Patofisiologi Migrain Serangan migrain sering diawali dengan gejala prodromal dan aura (gejala neurologis fokal dan transien), yang diperkirakan terbentuk dengan melibatkan hipotalamus, batang otak, dan korteks. Fase aura mencakup berbagai gejala neurologis yang terjadi sesaat sebelum, atau selama fase sakit kepala. Gejala aura migrain berkembang secara gradual dan dapat hilang

dengan sempurna. 12 Sakit kepala pada migrain biasanya unilateral, berpulsasi, diperparah dengan

aktivitas fisik, dan dapat berlangsung hingga beberapa jam atau hari. Sakit kepala juga dapat diikuti dengan gejala autonomik, gejala psikis (depresi dan iritabilitas), gejala kognitif (berkurangnya atensi, amnesia transien) dan gejala sensorik (fotofobia, osmofobia, sakit pada otot). Adanya gejala-gejala yang

bervariasi ini menunjukkan bahwa migrain lebih dari sekedar sakit kepala. 12

Fase prodromal mencakup gejala-gejala yang muncul beberapa jam sebelum migrain, misalnya kelelahan, menguap, dan perubahan mood yang transien. Otak pasien migrain sangat sensitif terhadap deviasi homeostasis ini, sehingga diperkirakan hipotalamus (yang menjaga homeostasis manusia

secara kontinyu) berperan pada patogenesis migrain. 12

Neuron hipotalamus dapat meregulasi eksitasi neuron parasimpatis preganglionik di nukleus salivatorius superior (SSN) dan neuron preganglionik simpatis di nukleus intermediolateral spinalis. SSN dapat menstimulasi pelepasan asetilkolin, vasoactive intestinal peptide (VIP), dan nitrit oksida dari terminal meningeal neuron postganglionik parasimpatis di ganglion sfenopalatina (SPG). Hal ini menyebabkan dilatasi pembuluh darah intrakranial, ekstravasasi protein, dan pelepasan molekul inflamatorik secara lokal yang menyebabkan aktivasi nosiseptor meningeal. Aktivasi neuron SSN juga dapat memodulasi aktivitas neuron trigeminovaskular sentral di nukleus

trigeminalis spinalis (SpV) menjadi lebih mudah tereksitasi. 12

Gambar 1. Jalur parasimpatis-hipotalamus untuk aktivasi neuron SSN memicu pelepasan asetilkolin, VIP, dan NO dari neuron parasimpatis SPG. 12

Gambar 2. Input sensorik mengenai perubahan homeostasis fisiologis dan emosional yang mengubah eksitabilitas neuron trigeminovaskular. 12

Selain itu, terdapat pula bukti bahwa neuron hipotalamus dan batang otak yang mengatur respons terhadap deviasi homeostasis fisiologis dan emosional dapat menurunkan ambang batas untuk transmisi sinyal nosiseptif

trigeminovaskular dari talamus ke korteks. 12

Gambar 3. Tonus batang otak dapat membatasi rangsang nosiseptif yang mencegah sakit kepala terjadi. Namun pada pasien migraine, aktivitas batang

otak rendah sehingga neuron trigeminal menjadi lebih aktif. 12 Aura pada migrain terjadi akibat cortical spreading depression (CSD), yakni

propagasi gelombang eksitatorik lambat yang diikuti inhibisi di neuron korteks dan glia. Pada EEG, terjadi gangguan aktivitas elektroensefalografik yang transien, yang berpropagasi dengan kecepatan 2-5mm/detik melalui korteks otak atau area otak lain. Diduga, depolarisasi ini terjadi akibat molekul inflamatorik yang muncul akibat stress emosional atau fisiologis, seperti kekurangan tidur. Molekul inflamatorik ini dapat menyebabkan disfungsi endotel sehingga terjadi vasokonstriksi. Vasokonstriksi menyebabkan turunnya perfusi ke korteks, yang diduga menyebabkan

terjadinya depolarisasi. 12

Depolarisasi neuron menyebabkan aktivasi caspase-1. Caspase-1 dapat menginisiasi inflamasi, sehingga terjadi pelepasan COX-2 dan iNOS kedalam ruang subarakhnoid. Jadi, diperkirakan terdapat respons inflamatorik steril di duramater saat migrain. Molekul proinflamatorik menyebabkan vasodilatasi di ruang subarakhnoid, akibatnya terjadi ekstravasasi plasma yang dapat mengaktivasi neuron trigeminal. Selain itu, molekul-molekul ini juga

menurunkan ambang rangsang nyeri saraf trigeminal. 12,13 Jalur trigeminovaskular membawa informasi nosiseptif dari meninges ke

otak. Jalur ini berasal dari neuron trigeminal yang akson perifernya mencapai arteri serebral yang besar di piamater dan duramater, juga yang akson sentralnya mencapai kornu dorsalis nosiseptif di nukleus trigeminus spinalis. Di nukleus trigeminus spinalis, nosiseptor bergabung dengan neuron yang menerima tambahan input dari kulit periorbital dan otot perikranial, sehingga nyeri pada migrain juga dirasakan pada bagian-bagian tersebut. Kemudian,

rangsang dibawa ke nukleus 12 relay di thalamus untuk dilanjutkan ke korteks.

Gambar 4. Patofisiologi migrain dari fase prodromal, aura, hingga migrain

Gejala-gejala yang bertahan setelah resolusi sakit kepala disebut postdromal. Gejala-gejala ini umumnya muncul saat predromal atau saat fase sakit kepala. Biasanya, pasien melaporkan anoreksia, mual, ketegangan otot, kelelahan, dan gangguan kognitif. Fase ini dinamakan migraine hangover dan dapat menyebabkan disfungsi hingga 1-2 hari setelah fase sakit kepala. Patofisiologi gejala postdromal masih belum diketahui, namun kemungkinan merupakan representasi dari fase resolusi yang gradual dari disrupsi

neurologis ekstrem selama migraine. 14

2.3.Diagnosis Migrain Diagnosis migrain saat ini merupakan suatu diagnosis klinis dimana migrain

ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologis. 15 Pemeriksaan lanjutan saat ini belum disarankan untuk dilakukan apabila

pasien tidak secara signifikan memiliki kecenderungan untuk mengalami abnormalitas. 16 Kriteria diagnosis migrain saat ini berpedoman pada

International Classification of Headache Disorder (ICHD) 17 edisi kedua. Pada tahun 2013 International Headache Society (IHS) merilis ICHD edisi

ketiga versi percobaan (ICHD III 6 beta ). namun masih belum diaplikasikan secara luas. Berdasarkan kriteria diagnosis tersebut migrain dibedakan

menjadi migrain dengan aura, migrain tanpa aura dan probable migrain.

Kritera diagnosis migrain tanpa aura berdasarkan ICHD II berupa serangan minimal 5 kali yang memenuhi kriteria: 1) Sakit kepala yang berlangsung 4-

72 jam (tidak ditatalaksana atau gagal ditata laksana), 2) Sakit kepala yang memenuhi minimal 2 kriteria berupa lokasi unilateral, berdenyut, intensitas nyeri sedang atau kuat, dan diperparah oleh atau menghambat orang untuk melakukan aktivitas fisik. 3) Saat sakit kepala minimal terdapat salah satu dari gejala; mual dan/atau muntah, fotofobia dan fonofobia. Diagnosis

ditegakkan apabila tidak ada klasifikasi lain yang lebih sesuai. 17

Migrain dengan aura merupakan gangguan berulang dengan manifestasi gejala serangan neurologis fokal reversibel yang biasanya berkembang secara Migrain dengan aura merupakan gangguan berulang dengan manifestasi gejala serangan neurologis fokal reversibel yang biasanya berkembang secara

gangguan lain. 17 Pada ICHD III beta digambarkan lebih jelas berupa terdapat minimal 2 gejala yang memenuhi kriteria; 1) satu atau lebih gejala aura

reversibel visual, sensoris, bahasa, motorik, batang otak, retinal serta 2) memiliki minimal 2 dari karakteristik: satu gejala aura yang menyebar gradual > 5 menit dan/atau dua atau lebih gejala yang berlangsung secara kontinyu, setiap aura berlangsung 5-60 menit, minimal salah satu aura bersifat unilateral, dan aura bersamaan atau diikuti oleh sakit kepala. Penegakan diagnosis dilakukan apabila kriteria terpenuhi, tidak terdapat klasifikasi dalam ICHD III beta yang lebih sesuai dan kemungkinan serangan

iskemik transien sudah di eksklusi. 6

Migrain kronik adalah sakit kepala migrain yang terjadi 15 hari atau lebih dalam satu bulan selama lebih dari 3 bulan tanpa adanya penggunaan obat yang berlebihan. Kriteria diagnosis berupa sakit kepala yang memenuhi kriteria migrain tanpa aura dan terjadi selama 15 hari tiap bulan selama lebih dari 3 bulan, dan bukan merupakan akibat gangguan lain yang diketahui pada

pemeriksaan fisik dan neurologis. 6,17 Sakit kepala dikatakan sebagai probable migrain apabila: sakit kepala > 15

hari per bulan selama lebih dari 3 bulan dan memenuhi kriteria: terjadi pada pasien yang mengalami minimal 5 kali serangan yang memiliki karakteristik seperti migrain dengan atau tanpa aura. Apabila serangan terjadi > 8 hari tiap bulan selama 3 bulan, jangka waktu sakit kepala tidak harus memenuhi kriteria sakit kepala bertahan 4-72 jam, tapi membaik dengan pemberian

triptan atau derivat dan ergot. 6,17

2.4. Penelitian Terkait Diagnosis Migrain

Salah satu pemeriksaan penunjang yang ada saat ini adalah neuroimaging. Hingga saat ini belum terdapat penelitian yang cukup untuk mendukung guideline yang berbasis bukti terkait uji diagnostik migrain dengan neuroimaging. Terdapat review mengenai evidence penggunaan EEG namun ditemukan bahwa EEG tidak diindikasikan untuk pemeriksaan rutin

dalam evaluasi sakit kepala. 16 Neuroimaging pada sakit kepala dilakukan pada pasien dengan temuan abnormal pada pemeriksaan neurologis

( evidence grade B) . Pada pasien dengan migrain dan temuan normal pada pemeriksaan neurologis tidak disarankan untuk melakukan pemeriksaan neuroimaging (evidence grade B). Namun apabila sakit kepala berisifat atipikal dan tidak memenuhi kriteria migrain atau sakit kepala primer lainnya neuroimaging dapat dilakukan (evidence grade C). Penggunaan neuroimaging pada tension-type headache (TTH), dan sensitivitas relatif MRI dibandingkan CT pada evaluasi migrain belum memiliki dasar bukti

yang cukup. 16 Alternatif lain adalah penggunaan instrumen kuesioner. Berbagai form

kuesioner digunakan untuk meningkatkan keakuratan diagnosis migrain dan mengetahui kualitas hidup pasien. Buku harian sakit kepala ( headache diary ) digunakan untuk memperoleh riwayat penyakit khususnya sakit kepala pasien dengan lebih baik. Kasus migrain seringkali diasosiasikan dengan komorbiditas psikiatri yang dapat dinilai dengan menggunakan Beck Depression Inventory (BDI), 9-item Patient Health Questionnaire (PHQ-9), ataupun Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS). Meskipun terdapat cukup banyak instrumen yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas diagnosis migrain, jenis kuesioner lebih banyak untuk menilai kualitas hidup pasien, dan kemampuan pendiagnosis tetap memegang peranan terpenting, sehingga kesalahan diagnosis masih sering

terjadi. 2 Kemungkinan pemeriksaan penunjang lainnya adalah penggunaan

biomarker. Biomarker merupakan tanda fisik atau hasil pengukuran laboratorium yang diasosiasikan dengan proses patologis dan memiliki

kemampuan diagnostik dan/atau prognostik. Hingga saat ini belum terdapat biomarker yang tervalidasi terhadap rasa sakit kronis termasuk migrain. Biomarker dalam migrain dapat berupa mutasi gen tertentu, salah satunya untuk kasus migrain hemiplagik familial (FHM). Meskipun peran genetik pada timbulnya kasus migrain telah jelas diketahui, usaha untuk mengidentifikasi gen pada bentuk migrain tertentu belum menunjukkan adanya keberhasilan. Selain biomarker genetik, terdapat pula biomarker lain berupa marker molekuler yang meningkatkan risiko migrain. Beberapa marker inflamasi contohnya IL-1, IL-6, TNF- α, dan matriks metaloproteinase (MMP)-9, mengalami perubahan konsentrasi pada pasien migrain. CGRP, indole, kadar nerve growth factor dan kadar serotonin plasma mengalami peningkatan ketika terjadi transmisi rasa nyeri. Kelemahan yang ditemui adalah mediator inflamasi dan rasa sakit tidak spesifik pada migrain, sehingga marker inflamasi diteliti untuk memahami implikasi biologis migrain dan bukan sebagai marker diagnostik. Berbagai kadar molekul mengalami perubahan pada terjadinya migrain, akan tetapi masih banyak keterbatasan dalam studi yang dilakukan seperti ukuran

sampel yang kecil dan tidak dapat direplikasi pada penelitian lain. 18

BAB III METODE PENULISAN

4.1.Tempat dan Waktu Penulisan Karya tulis ini dibuat mulai 22 Desember 2015 – 6 Januari 2016 di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

4.2.Metodologi Penulisan Karya tulis ini dibuat dengan metode tinjauan pustaka. Informasi yang sesuai dengan topik penulisan dikumpulkan, dianalisis secara sistematis kemudian disintesis menjadi gagasan baru dan disimpulkan untuk menjawab rumusan masalah.

4.3.Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Sumber data diperoleh dari berbagai literatur yang relevan dan dapat dipercaya. Literatur yang digunakan antara lain jurnal kedokteran, artikel, dan buku teks kedokteran yang diperoleh dari database online NCBI, Science Direct , Clinical Key , dan Google Scholar . Informasi diperoleh melalui pencarian menggunakan kata kunci yang sesuai dengan topik penulisan seperti: ceramide, migraine, vWF activity, dan sebagainya.

4.4.Analisis dan Sintesis Analisis dan sintesis dilakukan dengan meninjau kembali fakta dan informasi dari tinjauan pustaka, memberikan argumentasi yang logis terkait permasalahan diagnosis migrain saat ini, dan mensintesis solusi yang ditawarkan berupa algoritma diagnosis migrain dengan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan biomarker ceramide dan aktivitas vWF.

4.5.Penarikan Kesimpulan Kesimpulan diambil berdasarkan hasil analisis informasi terkait permasalahan migrain dan sintesis solusi yang penulis ajukan untuk menjawab rumusan masalah.

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS

4.1. Permasalahan pada Metode Diagnosis Migrain Saat Ini Diagnosis migrain saat ini ditegakkan berdasarkan kriteria yang dibuat oleh

International Classification of Headache Disorders edisi kedua (ICHD-2). Akan tetapi saat ini tidak semua dokter familiar dengan kriteria diagnosis ini. Diagnosis migrain yang tidak adekuat (underdiagnosed) masih terjadi pada praktik klinik yang dapat berakibat pada tatalaksana yang tidak sesuai.

Tepper, et. al menyebutkan bahwa sekitar 25% pasien dengan migraine- perdefinisi IHS, tidak memperoleh diagnosis klinis migrain. Pada penelitian tersebut diketahui nilai sensitivitas dan spesifisitas diagnosis migrain saat ini berturut-turut sebesar 98% dan 75%. Pada publikasi tahun 2004 tersebut disebutkan secara keseluruhan, 94% dari seluruh sampel dengan sakit kepala yang mencari pengobatan ke layanan primer termasuk migrain-perdefinisi IHS (76%) atau probable migrain (18%). Sampel terdiri dari kelompok pasien yang didiagnosis sakit kepala primer non migrain oleh dokter, dan kelompok dengan diagnosis klinis migrain. Pada kelompok dengan diagnosis klinis migrain, 98% pasien memiliki migrain-perdefinisi IHS (87%) atau probable migraine -perdefinisi IHS (11%). Disisi lain tinjauan terhadap riwayat sakit kepala pasien dengan diagnosis klinis bukan migrain menunjukkan 82% pasien memiliki migrain-perdefinisi IHS (48%) atau probable migrain

(34%). 19 Penelitian lain yang dilakukan Lipton et. al dengan sampel acak hanya 48% pasien migrain perdefinisi IHS memperoleh diagnosis klinis

migrain pada tahun 1999, dan hanya 38% pada 1989. Berdasarkan data tersebut, kejadian underdiagnosed migrain masih harus menjadi perhatian

agar pasien dapat diberikan tatalaksana yang lebih tepat. 20

Terdapat berbagai hal yang dapat mempengaruhi terjadinya diagnosis migrain yang tidak adekuat. Diagnosis migrain seringkali terlewatkan ketika terdapat Terdapat berbagai hal yang dapat mempengaruhi terjadinya diagnosis migrain yang tidak adekuat. Diagnosis migrain seringkali terlewatkan ketika terdapat

kepala selain migrain seperti sakit kepala sinus. 45 % kasus migrain memiliki setidaknya 1 gejala otonom (contoh: lakrimasi, mata merah, ptosis, edema kelopak mata, hidung tersumbat, dan rhinorrhea) ketika terjadi serangan migrain sehingaa sering dianggap sakit kepala sinus. Migrain juga dapat memiliki manifestasi nyeri di leher dan ketegangan pada otot leher, bahu, dan punggung atas. Sekitar 75% pasien migrain mendeskripsikan adanya nyeri di

leher yang sering diartikan oleh pemeriksa sebagai tanda TTH. 7

Penyebab-penyebab lain terjadinya misdiagnosis terhadap kasus migrain umumnya disebabkan oleh adanya bias misinformasi serta kurangnya edukasi dan pengetahuan pihak dokter dan/atau pasien. Pada konsultasi pasien dengan dokter terkait sakit kepala, komunikasi dokter-pasien yang kurang baik sering menjadi penghambat penegakan diagnosis yang sesuai. Sekitar 46,6% pasien menggunakan istilah khusus untuk mendeskripsikan sakit kepala yang dialami sehingga dokter seringkali kesulitan menginterpretasikan jenis sakit kepala pasien. Pada pasien yang memiliki riwayat sakit kepala migrain- perdefinisi IHS namun belum mengetahui dirinya mengalami migrain, sakit kepala sinus (25%) dan stres (24,2%) merupakan istilah yang paling sering digunakan, diikuti dengan menyebutkan tingkat keparahan (11,1%), lokasi sakit kepala (10,3%), berdenyut (5%), dan reguler (4,2%), yang menunjukkan kriteria klasifikasi sakit kepala itu sendiri juga merupakan penyebab sulitnya

diagnosis migrain. 7

Ketidaktersediaan alat diagnostik penunjang baik radiologi ataupun tes laboratorium semakin memperbesar kemungkinan misdiagnosis migrain. Berbagai modalitas pemeriksaan penunjang seperti penggunaan radiologi antara lain PET Scan, dan MRA belum memiliki dasar bukti yang cukup untuk diterapkan. Selain itu perubahan yang dapat diamati melalui modalitas ini dapat diamati hanya pada saat terjadinya serangan, dan tidak tampak pada

interiktal sehingga sulit untuk diterapkan sebagai alat diagnosis. 15 Penggunaan alat lain seperti kuesioner untuk meningkatkan kualitas dan

objektivitas diagnosis masih terbatas untuk mengetahui dampak migrain terhadap kualitas hidup dan disabilitas. Penggunaan kuesioner tidak dapat mengurangi hambatan yang dialami berupa kurangnya pengetahuan dan kesadaran pasien tentang detail sakit kepala yang dialaminya, dan kesalahan istiah yang sering digunakan. Alternatif lain adalah penggunaan biomarker. Namun hingga saat ini belum terdapat biomarker dengan validitas dan

evidence 18 yang cukup untuk dapat diterapkan secara klinis.

4.2. Mekanisme Perubahan Biomarker pada Migrain

4.2.1. Mekanisme Perubahan Konsentrasi Ceramide Ceramide (N-asil sfingosin) merupakan salah satu bentuk sfingolipid,

yang terdiri dari sfingosin yang terikat secara kovalen ke asam lemak. Ceramide yang ada secara alami tersusun dari bermacam-macam spesies molekular yang merupakan hasil dari kombinasi asam lemak C16-26 dengan sfingosin. Ceramide merupakan grup lipid bioaktif yang merupakan komponen penting mikrodomain membran. Selain memiliki peran struktural yang penting, lipid ini berfungsi sebagai second messengers pada proses seluler yang meregulasi homeostasis

energi, apoptosis dan inflamasi. 9

Defisiensi enzim yang meregulasi metabolisme sfingolipid dapat menyebabkan kelainan neurologis. Penelitian pada manusia baru-baru ini menunjukkan bahwa perubahan keseimbangan sfingolipid sedikit

saja dapat berperan dalam demensia, sklerosis multipel, dan obesitas. 9

Ceramide dapat dibentuk

de novo (dimulai dengan kondensasi palmitoil-koA dengan serin) atau melalui hidrolisis sfingomielin dan sfingolipid lainnya

(misalnya monoheksilceramide seperti glukosilceramide dan galaktosilceramide). 9

Sintesis ceramide de novo dimulai dengan transfer residu serin kepada asam asil-koA melalui serine palmitoiltransferase (SPT) membentuk 3-keto-sfinganine (3KSn). Kemudian, tiga reaksi enzimatik berikutnya, dikatalisis oleh 3KSn reduktase, dihidroceramide syintase (CerS), dan dihidroceramide desaturase (Des1 dan Des2) mengubah

intermediet ini menjadi 9 ceramide . Jalur pembentukan ceramide yang kedua adalah melalui hidrolisis

sfingomielin. Pada jalur ini, terjadi hidrolisis gugus kepala fosfokolin dari sfingomielin oleh enzim sfingomyelinase (SMase). Sfingomielin merupakan sfingolipid paling banyak di mamalia, sehingga kapasitasnya besar sebagai sumber ceramide . Selain itu, ceramide

dapat diproduksi melalui katabolisme kompleks sfingolipid lainnya. 9

Gambar 5. Jalur Pembentukan 21 Ceramide

Terdapat beberapa teori yang menghubungkan rendahnya konsentrasi ceramide dengan migrain. Pertama, mediator upstream menstimulasi katabolisme ceramide lebih banyak pada pasien migrain. Misalnya, adiponektin dapat menstimulasi aktivitas ceramidase sehingga Terdapat beberapa teori yang menghubungkan rendahnya konsentrasi ceramide dengan migrain. Pertama, mediator upstream menstimulasi katabolisme ceramide lebih banyak pada pasien migrain. Misalnya, adiponektin dapat menstimulasi aktivitas ceramidase sehingga

konsentrasi 9 ceramide akan turun. Teori kedua, terjadi perubahan aktivitas enzimatik hidrolisis

sfingolipid. Pada pasien migrain, ditemukan peningkatan kadar sfingomielin dan penurunan level ceramide yang konsisten dengan hipotesis meningkatnya aktivitas enzimatik sfingomielin sintase.

Teori lainnya adalah perubahan sfingolipid dapat merefleksikan aktivasi kronik sistem kompensatorik akibat inflamasi neurogenik yang repetitif dan meningkat secara kronik. Teori keempat, kemungkinan terjadi peningkatan metabolit ceramide proinflamatorik yakni ceramide-1-phosphate (C1P). Aktivasi C1P berasosiasi dengan proses-proses dalam patofisiologi migrain, seperti pelepasan asam

arakidonat, peningkatan prostaglandin E 9

2 , dan kemotaksis makrofag.

4.2.2. Mekanisme Perubahan Aktivitas vWF von Willebrand F actor (vWF) adalah glikoprotein adesif dan multimerik. vWF berfungsi dalam homeostasis melalui ikatan dengan FVIII, ikatan dengan glikoprotein permukaan platelet, dan ke konstituen jaringan ikat. vWF berfungsi sebagai penstabil FVIII di sirkulasi dengan cara pembentukan kompleks vWF-FVIII yang melindungi FVIII dari degradasi oleh protein C yang teraktivasi. Selain itu, vWF memiliki peran penting dalam hemostasis primer, dimana vWF memediasi adhesi platelet ke lapisan subendotel vaskular yang mengalami kerusakan dan menimbulkan agregasi platelet. Setelah kerusakan vaskular, vWF berikatan dengan kolagen fibriler tipe I dan III. Saat vWF telah terimmobilisasi di jaringan ikat 4.2.2. Mekanisme Perubahan Aktivitas vWF von Willebrand F actor (vWF) adalah glikoprotein adesif dan multimerik. vWF berfungsi dalam homeostasis melalui ikatan dengan FVIII, ikatan dengan glikoprotein permukaan platelet, dan ke konstituen jaringan ikat. vWF berfungsi sebagai penstabil FVIII di sirkulasi dengan cara pembentukan kompleks vWF-FVIII yang melindungi FVIII dari degradasi oleh protein C yang teraktivasi. Selain itu, vWF memiliki peran penting dalam hemostasis primer, dimana vWF memediasi adhesi platelet ke lapisan subendotel vaskular yang mengalami kerusakan dan menimbulkan agregasi platelet. Setelah kerusakan vaskular, vWF berikatan dengan kolagen fibriler tipe I dan III. Saat vWF telah terimmobilisasi di jaringan ikat

terletak di membran platelet. Proses ini akan berujung pada adhesi platelet yang stabil melalui interaksi antara reseptor kolagen platelet GpVI dan GpIa/IIa38, aktivasi kompleks reseptor αIIbβ3, dan agregasi

platelet. 22 Saat ini, bukti bahwa terjadi disfungsi endotel pada migrain semakin

meningkat. Salah satu biomarker disfungsi endotel adalah von Willebrand factor (vWF). Pada disfungsi endotel, aktivasi endotel meningkat. Endotel yang teraktivasi mensintesis lebih banyak vWF. Konsentrasi vWF secara signifikan lebih tinggi pada pasien migrain dibanding pada kontrol yang tidak memiliki migrain pada fase

interiktal. 23 Pada disfungsi endotel, terjadi ketidakseimbangan vasodilator

(misalnya NO) dengan vasokonstriktor, sehingga pada disfungsi endotel pembuluh darah cenderung mengalami vasokonstriksi. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pada pasien migrain terjadi cortical spreading depression (CSD), yakni gelombang depolarisasi melewati korteks otak dan mengaktivasi nervus trigeminal.

Vasokonstriksi inilah yang menyebabkan CSD. 24

4.3. Teknik Pengukuran Biomarker pada Migrain

4.3.1. Teknik Pengukuran Konsentrasi Ceramide pada Migrain Ceramide dapat diukur konsentrasinya didalam darah melalui metode high pressure liquid chromatography (HPLC). Sebelum diambil darahnya, pasien diminta untuk berpuasa terlebih dahulu. Pertama- tama, ambil sampel darah pasien dan masukkan kedalam tabung serum tanpa menambah pengawet. Dinginkan dengan es, kemudian sentrifugasi untuk membuang sel-sel, kemudian simpan dalam suhu

-80 derajat Celcius hingga pengukuran. 9

Kemudian, dilakukan Bligh and Dyer liquid-liquid extraction method untuk mengekstraksi total lipid dari serum. Metode ini menggunakan prinsip pengukuran gravimetrik, secara garis besar serum dicampur dengan metanol, kloroform dan air. Lipid yang murni akan terkumpul

pada lapisan kloroform. 25

Gambar 6. Metode Ekstraksi 26 Bligh and Dyer

Langkah pengerjaannya adalah sebagai berikut. 100 mikroliter serum dicampur dengan 1 ml kloroform, 2 ml metanol dan 0,6 ml KCl 0,9%. Kemudian, standar internal untuk LC-MS ditambahkan. Kocok larutan

selama 2 jam pada suhu 37 o

C, kemudian tambahkan 1 ml kloroform dan 1 ml 0,9% KCl. Sentrifugasi selama 5 menit pada 1600g. Fase yang dibawah diambil dan residunya diekstrasi dengan dikeringkan menggunakan nitrogen. Kemudian, lapisan lemak dilarutkan didalam 1,5ml campuran metanol dan kloroform (perbandingan volume 9:1). Untuk membuang gliserolipid, 150 mikroliter KOH 4M dalam metanol 70% ditambahkan, kemudian inkubasi selama 2 jam dalam

suhu 37 o

C. kemudian, netralkan pH larutan dengan menambahkan 1,3 ml kloroform, 1,36 l KCL 0,9% dan 50 mikroliter asam asetat. Sentrifugasi selama 5 menit dalam 1600g, fase bawah diambil. Kemudian tambahkan 1,5ml kloroform kedalam fase residu dan ekstraksi residunya. Keringkan dibawah aliran nitrogen. Hasilnya adalah lapisan lipid, kemudian larutkan lipid tersebut dalam 100

mikroliter asetonitril dan metanol (v/v 9:1). 27

Gambar 7. Teknik Pengukuran 28 Ceramide Menggunakan HPLC Kemudian, analisis sfingolipid dilakukan menggunakan HPLC

( high-pressure liquid chromatography ) yang digabungkan dengan electrospray ionization tandem mass spectrometry . Liquid chromatography digunakan untuk membagi sampel menjadi beberapa fraksi sesuai dengan analitnya, dan tandem mass spectrometry digunakan untuk menghitung analit ini.

Pertama-tama, ekstrak lipid sebanyak 5 mikroliter diinjeksikan kedalam kolom dan sumber pengion. Fase mobile A adalah asetonitril/metanol/asam format, dan fase mobile B adalah metanol/asam format. Sampel dielusi dengan laju 1,2ml/menit melalui gradien-gradien selama 45 menit. LC-MS dilakukan dalam mode ion positif. Lipid dibagi menjadi beberapa spesies, seperti dihidroceramide (DHC), ceramide , monohexosylceramide (MHC), dihexosylceramide, dan sfingomyelin menggunakan C18 reverse- phase column. Deteksi dan penghitungan kadar setiap spesies sfingolipid akan dilakukan oleh electrospray ionization tandem mass spectrometry dengan cara memonitor beberapa reaksi. Ceramide dikuantifikasi menggunakan kurva kalibrasi dan rasio area puncak subspesies ceramide dan standar internal. Hasil dari analisis adalah

berupa konsentrasi (massa per volume). 9,29

4.3.2. Teknik Pengukuran Aktivitas vWF pada Migrain Aktivitas vWF diukur dengan pengukuran kofaktor ristocetin . vWF plasma tidak berikatan dengan reseptor platet GP1b sehingga

diperlukan penambahan agonis agregasi yakni ristocetin . Bahan diperlukan penambahan agonis agregasi yakni ristocetin . Bahan

aktivitas vWF adalah agregometer. Prinsip pengukuran ini adalah mengukur vWF dalam plasma darah yang berikatan pada reseptor reagen platelet GP1b untuk mengaglutinasikan platelet reagen normal dengan bantuan agonis agregasi ristocetin. Ristocetin merupakan antibiotik yang diisolasi bakteri Nocardia lurida yang

membantu pengikatan reseptor GP1b platelet dengan vWF. Platelet reagen normal tesebut mengandung formalin yang mensubstitusi

platelet pasien yang dibuang setelah sentrifugasi. 30,31 Pengukuran aktivitas vWF pada migrain dilakukan dengan

mengesklusikan beberapa kriteria yaitu secara fisik tidak sehat, adanya penyakit diabetes melitus, vaskulitis, serangan iskemik, stroke, kehamilan, serta penggunaan antikoagulan, NSAID, dan agen

antiplatelet. 30,31

Pertama-tama, darah vena pasien diambil kemudian dimasukkan ke tabung yang telah ditambahkan 3.2%/0.109 M dapar natrium sitrat. Setelah itu, darah dicampur dengan sitrat yang berperan dalam mempertahankan pH dengan perbandingan volume darah dan sitrat 1:9. Kemudian, darah dimasukkan ke dalam vacutainer yang akan

disentrifugasi selama tiga puluh menit pada suhu 4 o

C. Setelah itu, plasma darah diambil dan platelet darah pasien dibuang. Jika plasma darah tidak langsung digunakan, plasma disimpan pada aliquot pada

suhu -80 o

C. Akan tetapi, plasma darah harus diuji antara tiga puluh menit hingga dua jam dan tidak boleh lebih dari empat jam. 30

Cara kerja pengukuran aktivitas vWF adalah setelah disentrifugasi, plasma darah dikumpulkan dan dicampurkan dengan reagen platelet. Campuran tersebut disebut dengan platelet rich protein (PRP).

Kemudian, PRP dipertahankan dalam suhu 37 o

C selama sepuluh

menit sebelum diuji untuk mendapatkan baseline yang stabil. Sebanyak 0.27 mL PRP diambil dan diletakkan ke dalam cuvette yang akan dimasukkan ke dalam kanal agregometer. Saat mesin dinyalakan, spesimen diputar dalam kecepatan 1000-1200 rpm, akan terekam hasil baseline light transmittance . Setelah itu, ditambahkan agonis agen agregasi yaitu ristocetin sebanyak 0.03 mL dimana dimasukkan secara langsung bukan ditetesi dari pinggir tabung dan memasukkan kembali cuvette ke kanal agregometer. Kemudian, mesin dinyalakan kembali dan akan terjadi peningkatan agregasi platelet saat penambahan agonis yang akan menyebabkan peningkatan light transmittance . Perubahan hasil tersebut dikonversi ke sinyal elektronik dan terekam dalam bentuk grafik. Hasil pengukuran dalam bentuk persen yang dapat dilihat setelah lima sampai sepuluh menit dengan alat pengukur yang biasanya berupa komputer. Pada migrain, persentase aktivitas vWF akan

meningkat. 31,32

4.4. Integrasi Penggunaan Biomarker Ceramide , vWF, dan Kriteria ICHD-2 untuk Diagnosis Migrain

4.4.1. Analisis Spesifisitas dan Sensitivitas Konsentrasi Ceramide Saat ini belum ada nilai spesifisitas, sensitivitas, dan nilai batas normal dan abnormal dari konsentrasi ceramide total untuk menilai apakah pasien mengalami migrain atau tidak. Penelitian yang dilakukan Peterlin et. al menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan pada rerata konsentrasi ceramide total pasien dengan migrain dengan kelompok kontrol (non-migrain). Pada kelompok migrain, rerata konsentrasi ceramide sebesar 6.052,9 ng/mL dengan standard deviasi (SD) 2633,4 ng/mL. Pada kelompok kontrol, rerata

konsentrasi 9 ceramide sebesar 10.518,5 ng/mL (SD: 2.932,5). Tidak terdapat penjelasan mengenai nilai masing-masing data pada

kelompok kontrol ataupun penjelasan persebaran data, maka kelompok kontrol ataupun penjelasan persebaran data, maka

(b) Gambar 8. Probabilitas area yang menunjukkan, nilai positif sebenarnya(a), dan

(a)

nilai positif palsu(b). 33

Tabel 1. Tabel perbandingan hasil pengukuran konsentrasi ceramide pada kelompok pasien dengan migrain dan kelompok kontrol (Migrain negatif).

Migrain negatif Konsentrasi

Migrain positif

ng/mL Konsentrasi

ng/mL

Nilai sensitivitas pengukuran konsentrasi ceramide dengan titik potong < 9.500 ng/mL adalah 90,48% dan spesifisitasnya 65,58%.

4.4.2. Analisis Spesifisitas dan Sensitivitas Aktivitas vWF Berdasarkan penelitian yang dilakukan Tietjen et.al disebutkan bahwa sekitar 29% dari orang migrain dan hanya 8% dari kelompok kontrol

memiliki aktivitas vWF diatas 150%. 9 Data tersebut dapat dibentuk menjadi tabel 2x2 untuk melihat nilai sensitivitas dan spesifisitasnya.

Tabel 2. Tabel perbandingan hasil pengukuran aktivitas vWF pada kelompok pasien dengan migrain dan kelompok kontrol (Migrain negatif).

Migrain (+) (125

Migrain (-) (50

orang) Aktivitas vWF

Aktivitas vWF <

92% = 46 Nilai sensitivitas : a/(a+c) = 29% ; dan spesifisitas : d/(b+d) =92%

71% = 89

4.4.3.Pengajuan Algoritma Voremide dalam Menegakkan Diagnosis Definitif Migrain Besarnya kecenderungan underdiagnose dari migrain jika hanya menggunakan diagnosis klinik mengindikasikan diperlukan metode tambahan untuk mengantisipasi tidak terjaringnya pasien migrain akibat berbagai kendala pada proses anamnesis migrain.

Penulis mengajukan mekanisme pemeriksaan sebagai berikut: pasien dengan keluhan sakit kepala terlebih dulu melalui anamnesis oleh dokter, untuk mengetahui kesesuaian gejala dengan kriteria diagnostik ICHD-2. Setelah itu dilakukan pemeriksaan fisik neurologis untuk mengetahui apakah terdapat defisit neurologis untuk membedakan jenis sakit kepala primer atau sekunder. Apabila terdapat defisit neurologis kecurigaan diarahkan menuju jenis sakit kepala sekunder seperti adanya stroke dan kondisi patologis lain. Jika hasil anamnesis

seuai kriteria ICHD-2 (ICHD-2 positif), dokter dapat menegakkan diagnosis migrain tanpa melalui pemeriksaan penunjang. Akan tetapi, jika anamnesis menunjukkan gejala yang tidak sesuai kriteria ICHD-2, yaitu ketika pasien tidak memenuhi seluruh kriteria migrain, pasien tidak dapat menjelaskan dengan baik riwayat sakit kepala, atau terdapat keraguan dari dokter, dokter dapat melanjutkan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan kadar ceramide . Apabila didapatkan hasil kadar ceramide lebih dari 9500 ng/mL, maka pasien tidak mengalami migrain. Apabila kadar ceramide < 9500 ng/mL, maka pasien tidak langsung didiagnosis migrain, melainkan harus dilanjutkan dengan pemeriksaan aktivitas vWF. Hal ini disebabkan karena ceramide kecil kemungkinannya negatif palsu namun besar kemungkinan positif palsu. Oleh karena itu, jika ceramide diatas cut- off (hasil negatif) dapat dipastikan pasien tidak mengalami migraine namun jika ceramide dibawah cut-off (hasil positif) butuh pemeriksaan yang lebih spesifik yakni VWF. Apabila aktivitas vWF abnormal (positif; >150%) pasien dapat dipastikan migrain, namun apabila aktivitas vWF normal (negatif; ≤150%) diagnosis migrain belum dapat ditegakkan. Hal ini disebabkan karena vWF memiliki kemungkinan yang kecil untuk positif palsu, namun kemungkinan besar untuk negatif palsu.

Penegakan diagnosis tetap dapat dilakukan dengan metode diagnosis klinis apabila dokter yakin bahwa pasien memenuhi kriteria diagnosis ICHD2 dan tanpa adanya defisit neurologis. Hal ini didasarkan pada kesalahan diagnosis migrain umumnya berupa negatif palsu dimana migrain sebanyak 25% sebagai penyakit kepala lain atau tidak migrain. Sedangkan, 98% pasien yang didiagnosis positif migrain memang menderita migrain sesuai kriteria diagnosis ICHD-2.

Pemeriksaan penunjang baru dilakukan apabila pasien memenuhi kriteria inklusi yaitu: pasien tidak memenuhi seluruh kriteria migrain, Pemeriksaan penunjang baru dilakukan apabila pasien memenuhi kriteria inklusi yaitu: pasien tidak memenuhi seluruh kriteria migrain,

penggunaan antikoagulan, NSAID, dan agen antiplatelet. 30,31

Keluhan Sakit Kepala

Anamnesis ICHD-2

Pemeriksaan Defisit Neurologis

Tidak Sesuai/ Tidak

Sesuai ICHD-2 dengan Dapat ditentukan

Sesuai ICHD-2 Tanpa

Defisit Neurologis

Defisit Neurologis

Sakit Kepala kadar ceramide

9500ng/mL)

(>9500ng/mL)

Inkonklusi*

Aktivitas vWF Negatif (<150%)

Sakit Kepala Primer

Pemriksaan aktivitas vWF saat

Non-Migrain

serangan Migrain

Migrain Migrain Non Migrain

Gambar 8. Algoritma Voremide untuk Penegakan Diagnosis Migrain

Pemeriksaan ceramide dilakukan terlebih dahulu sebab pemeriksaan ini lebih konklusif untuk memastikan bahwa apabila pemeriksaan negatif, pasien tidak mengalami migrain. Akan tetapi nilai positif palsu cukup besar, sehingga penegakan diagnosis migrain belum bisa dipastikan dan dibutuhkan pemeriksaan lain sepeti aktivitas vWF yang memiliki nilai positif palsu yang kecil.